Anda di halaman 1dari 21

HARI KEANEKARAGAMAN HAYATI

Tanggal 22 Mei, diperingati sebagai hari Keanekaragaman Hayati Dunia, atau


International Day for Biological Diversity. Hari Internasional untuk Keanekaragaman Hayati
(The International Day for Biological Diversity) diperingati pertama kali pada tanggal 29
Desember 1993 berdasarkan penetapan Komite Kedua Majlis Umum PBB pada tahun 1993.
Penetapan tanggal 29 Desember sebagai Hari Keanekaragaman Sedunia bertepatan dengan
pelaksanaan Konvensi Tentang Kenaekaragaman Hayati (COP- Convention on Biological
Diversity).
Namun pada Desember 2000, PBB mengadopsi tanggal 22 Mei sebagai Hari
Internasional untuk Keanekaragaman Hayati (The International Day for Biological
Diversity). Hal ini berkaitan dengan banyaknya negara yang kesulitan untuk merencanakan
dan melaksanakan Hari Internasional untuk Keanekaragaman Hayati pada tanggal 29
Desember mengingat bertepatan dengan liburan akhir tahun.
Tanggal 22 Mei 1992 merupakan tanggal pengesahan Teks Kesepakatan
Keanekaragaman (Nairobi Final Act of the Conference for the Adoption of the Agreed Text
of the Convention on Biological Diversity). Pertemuan di Nairobi, Kenya yang berlangsung
pada tanggal 11-22 Mei 1992 merupakan pertemuan terakhir sebelum pelaksanaan United
Nations Conference on Environment and Development (3-14 Juni 1992) yang menghasilkan
UN Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati).
Keanekaragaman hayati merupakan hasil dari evolusi selama 3,5 miliar tahun. Asal-
usul kehidupan belum dipastikan oleh sains, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa
kehidupan mungkin telah ada hanya beberapa ratus juta tahun setelah Bumi terbentuk.
Hingga sekitar 2,5 miliar tahun yang lalu, semua kehidupan terdiri dari mikroorganisme,
yaitu arkea, bakteri, serta protozoa dan protista bersel tunggal.
Sejarah keanekaragaman hayati pada Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir),
dimulai dengan pertumbuhan yang cepat melalui letusan Kambrium, yaitu periode ketika
hampir setiap filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama kurang lebih 400
juta tahun berikutnya, keanekaragaman invertebrata menunjukkan sedikit peningkatan tren
secara keseluruhan, sementara keanekaragaman vertebrata menunjukkan tren peningkatan
eksponensial secara keseluruhan. Peningkatan dramatis dalam keanekaragaman ini juga
diikuti dengan hilangnya keanekaragaman besar secara berkala yang digolongkan sebagai
peristiwa kepunahan massal. Kerugian yang signifikan terjadi ketika hutan hujan mengalami
kerusakan pada periode Karbon. Kepunahan yang terburuk adalah peristiwa kepunahan
Perm-Trias, 251 juta tahun yang lalu. Organisme vertebrata membutuhkan waktu 30 juta
tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini.
Catatan fosil menunjukkan bahwa beberapa juta tahun terakhir memiliki
keanekaragaman hayati terbesar sepanjang sejarah. Namun, tidak semua ilmuwan
mendukung pandangan ini, karena ada ketidakpastian mengenai seberapa kuat rekaman fosil
tersebut mengalami bias akibat ketersediaan dan pelestarian fosil yang lebih besar pada
periode geologi baru-baru ini. Beberapa ilmuwan percaya bahwa dengan melakukan koreksi
atas pengambilan sampel artefak, keanekaragaman hayati modern mungkin tidak jauh
berbeda dari keanekaragaman hayati 300 juta tahun yang lalu, sedangkan peneliti lain
menganggap catatan fosil telah cukup mencerminkan diversifikasi kehidupan. Perkiraan
keanekaragaman spesies makroskopis global saat ini berkisar dari 2 juta hingga 100 juta,
dengan perkiraan terbaik sekitar 9 juta, sebagian besar di antaranya
merupakan artropoda. Keragaman tampaknya terus meningkat tanpa adanya seleksi alam.
Keberadaan daya dukung global, yang membatasi jumlah kehidupan yang dapat hidup
sekaligus pada satu waktu, masih diperdebatkan. Timbul pula pertanyaan seperti apakah batas
tersebut juga akan membatasi jumlah spesies. Catatan kehidupan di laut menunjukkan pola
pertumbuhan logistik, sementara kehidupan di darat (serangga, tanaman, dan tetrapoda)
menunjukkan peningkatan keanekaragaman yang eksponensial. Seperti yang dinyatakan
dalam sebuah penelitian bahwa, "Tetrapoda belum menginvasi 64 persen area yang
berpotensi layak huni dan bisa jadi bahwa tanpa pengaruh manusia, keanekaragaman hayati
dan taksonomi tetrapoda akan terus meningkat secara eksponensial sampai mengisi sebagian
besar atau semua area ekologis yang ada." Selain itu, keanekaragaman juga terlihat terus
meningkat dari waktu ke waktu, terutama setelah kepunahan massal.
Di sisi lain, perubahan selama Eon Fanerozoikum berkorelasi jauh lebih baik
dengan model hiperbolik (model yang banyak digunakan dalam biologi
populasi, demografi dan sosiologi makro, serta keanekaragaman hayati fosil) dibandingkan
dengan model eksponensial dan logistik. Model logistik menyiratkan bahwa perubahan dalam
keanekaragaman dipandu oleh umpan balik positif tingkat pertama (lebih banyak leluhur,
lebih banyak keturunan) dan/atau umpan balik negatif yang timbul dari keterbatasan sumber
daya. Model hiperbolik menyiratkan umpan balik positif tingkat kedua. Perbedaan dalam
kekuatan umpan balik tingkat kedua akibat intensitas persaingan antarspesies mungkin
menjelaskan rediversifikasi Ammonoidea yang lebih cepat dibandingkan
dengan Bivalvia setelah kepunahan Permian akhir. Model hiperbolik pertumbuhan populasi
dunia muncul dari umpan balik positif tingkat kedua antara ukuran populasi dan laju
pertumbuhan teknologi. Karakter hiperbolik dari pertumbuhan keanekaragaman hayati dapat
juga dijelaskan dengan umpan balik antara keragaman dan kompleksitas struktur komunitas.
Kesamaan antara kurva keanekaragaman hayati dan populasi manusia mungkin berasal dari
fakta bahwa keduanya berasal dari campur tangan tren hiperbolik dengan dinamika siklus
dan stokastik.
Namun, sebagian besar ahli biologi sepakat bahwa periode sejak kemunculan manusia
adalah bagian dari kepunahan massal baru, yang disebut peristiwa kepunahan Holosen, yang
terutama disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan manusia terhadap lingkungan. Tingkat
kepunahan saat ini dipandang cukup untuk menghilangkan sebagian besar spesies di planet
Bumi dalam 100 tahun.
Spesies baru ditemukan secara rutin (rata-rata antara 5–10.000 spesies baru setiap
tahun, kebanyakan merupakan serangga) dan banyak di antara mereka yang belum
diklasifikasikan (diperkirakan bahwa hampir 90% dari semua artropoda belum
diklasifikasikan). Sebagian besar keanekaragaman terestrial ditemukan di hutan tropis dan
secara umum, wilayah daratan memiliki lebih banyak spesies dibandingkan lautan; sekitar 8,7
juta spesies mungkin ada di Bumi dan sekitar 2,1 juta di antaranya hidup di lautan
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah variasi dan variabilitas kehidupan di
Bumi. Keanekaragaman hayati biasanya merupakan ukuran variasi pada
tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. Biodiversitas daratan (terestrial) biasanya lebih besar
di sekitar khatulistiwa, akibat iklim yang hangat dan produktivitas primer (aliran energi) yang
tinggi. Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di Bumi, dan paling
bervariasi di daerah tropis. Meskipun ekosistem hutan tropis hanya mencakup 10 persen dari
permukaan Bumi, tapi ekosistem ini memiliki sekitar 90 persen spesies yang ada di dunia.
Keanekaragaman hayati laut biasanya tertinggi di sepanjang pantai Samudra Pasifik bagian
barat, tempat suhu permukaan laut paling tinggi, dan di pita lintang tengah di semua lautan.
Keanekaragaman spesies juga dipengaruhi gradien lintang. Keanekaragaman hayati
umumnya cenderung mengelompok di titik panas, dan telah meningkat seiring waktu, tetapi
kemungkinan akan melambat di masa depan.
Perubahan lingkungan yang cepat biasanya menyebabkan kepunahan massal. Lebih
dari 99,9 persen dari semua spesies yang pernah hidup di Bumi, yang berjumlah lebih dari
lima miliar spesies, diperkirakan telah punah. Perkiraan jumlah spesies Bumi saat ini berkisar
antara 10 juta hingga 14 juta sekitar 1,2 juta spesies telah dicatat, tetapi lebih dari 86 persen
di antaranya belum dideskripsikan. Pada Mei 2016, para ilmuwan melaporkan bahwa
diperkirakan ada 1 triliun spesies yang berada di Bumi saat ini, dan hanya seperseribu dari
satu persen yang telah dideskripsikan. Jumlah total pasangan basa DNA di Bumi diperkirakan
5,0 x 1037 dengan berat 50 miliar ton. Sebagai perbandingan, total massa biosfer diperkirakan
sebanyak 4 TtC (triliun ton karbon). Pada Juli 2016, para ilmuwan mengidentifikasi satu set
yang terdiri atas 355 gen dari leluhur universal terakhir (LUCA) dari semua organisme yang
hidup di Bumi.
Usia Bumi diperkirakan sekitar 4,54 miliar tahun. Bukti yang tak terbantahkan
tentang awal kehidupan di Bumi paling tidak berasal dari 3,5 miliar tahun yang lalu, yaitu
selama era Eoarkean setelah kerak geologis mulai mengeras, setelah sebelumnya meleleh
pada eon Hadean. Ada fosil tikar mikrob yang ditemukan di batupasir berumur 3,48 miliar
tahun di Australia Barat. Bukti fisik awal lain dari zat biogenik adalah grafit pada batuan
metasedimentari berumur 3,7 miliar tahun yang ditemukan di Greenland Barat. Pada tahun
2015, "sisa-sisa kehidupan biotik" ditemukan di batuan berumur 4,1 miliar tahun di Australia
bagian barat. Menurut salah satu peneliti, "Jika kehidupan muncul relatif cepat di Bumi maka
bisa menjadi hal yang umum di alam semesta."
Sejak kehidupan dimulai di Bumi, lima kepunahan massal besar dan beberapa
peristiwa kecil telah menurunkan keanekaragaman hayati secara besar dan mendadak.
Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir) ditandai dengan pertumbuhan keanekaragaman
hayati yang cepat melalui letusan Kambrium, sebuah periode ketika
mayoritas filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama 400 juta tahun
berikutnya terjadi beberapa kali kepunahan massal, yaitu hilangnya keanekaragaman
hayati secara besar-besaran. Pada periode Karbon, hancurnya hutan hujan menyebabkan
hilangnya kehidupan tumbuhan dan hewan. Peristiwa kepunahan Perm–Trias yang
berlangsung 251 juta tahun lalu merupakan kepunahan terburuk; organisme vertebrata
memerlukan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini. Kepunahan terakhir,
yaitu peristiwa kepunahan Kapur–Paleogen yang terjadi 65 juta tahun lalu, lebih menarik
perhatian dibandingkan peristiwa kepunahan lainnya karena mengakibatkan
kepunahan dinosaurus non-avian.
Sejak munculnya manusia, pengurangan keanekaragaman hayati dan
hilangnya keanekaragaman genetik terus berlangsung. Peristiwa ini dinamakan kepunahan
Holosen, yaitu pengurangan yang terutama diakibatkan oleh manusia, terutama
penghancuran habitat. Sebaliknya, keanekaragaman hayati memberi pengaruh positif
terhadap kesehatan manusia melalui berbagai cara, walaupun beberapa dampak negatifnya
sedang dipelajari.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan periode tahun 2011–2020
sebagai Dekade Keanekaragaman Hayati PBB, dan periode 2021–2030 sebagai Dekade
Restorasi Ekosistem PBB. Menurut Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman
Hayati dan Layanan Ekosistem pada tahun 2019 oleh IPBES, 25% spesies tumbuhan dan
hewan terancam punah akibat aktivitas manusia.
Istilah "keanekaragaman hayati" paling banyak dipakai untuk menggantikan istilah
yang sudah lebih dahulu didefinisikan dengan jelas, yaitu keanekaragaman
spesies dan kekayaan spesies. Ahli biologi sering kali mendefinisikan keanekaragaman hayati
sebagai "keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem di suatu wilayah". Keuntungan dari definisi
ini yaitu menggambarkan sebagian besar keadaan dan menyajikan pandangan terpadu tentang
jenis keanekaragaman hayati tradisional yang telah diidentifikasi sebelumnya:
 keanekaragaman taksonomi (biasanya diukur pada tingkat keanekaragaman spesies)
 keanekaragaman ekologis (sering dilihat dari perspektif keanekaragaman ekosistem)
 keanekaragaman morfologi (yang berasal dari keanekaragaman
genetik dan keanekaragaman molekuler)
 keanekaragaman fungsional (yang merupakan ukuran jumlah spesies yang berbeda
secara fungsional dalam suatu populasi, misalnya cara makan yang berbeda,
pergerakan yang berbeda, predator vs mangsa, dll) Konstruksi bertingkat ini konsisten
dengan Datman dan Lovejoy.

Definisi eksplisit yang konsisten dengan interpretasi ini pertama kali dituliskan dalam
makalah Bruce A. Wilcox yang ditugaskan oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam
dan Sumber Daya Alam (IUCN) dalam Konferensi Taman Nasional Dunia 1982. Definisi
Wilcox yaitu "Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman bentuk kehidupan, pada
semua tingkat sistem biologis (yaitu, molekuler, organisme, populasi, spesies, dan
ekosistem)". Pada tahun 1984, Wilcox kembali mendefisikan keanekaragaman hayati secara
genetis sebagai keanekaragaman alel, gen, dan organisme, yang mempelajari proses seperti
mutasi dan transfer gen yang mendorong terjadinya evolusi.
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1992
mendefinisikan "keanekaragaman hayati" sebagai "variabilitas di antara organisme hidup dari
semua sumber, termasuk, antara lain, ekosistem darat, ekosistem laut dan perairan lainnya,
serta kompleks ekologis di tempat mereka menjadi bagiannya: termasuk keanekaragaman
dalam spesies, di antara spesies, dan ekosistem". Definisi ini digunakan dalam Konvensi
Keanekaragaman Hayati PBB. Sementara itu, definisi Gaston dan Spicer dalam buku mereka
"Biodiversity: an Introduction" adalah "variasi kehidupan di semua tingkatan organisasi
biologis".

Manfaat Keanakearagaman Hayati Bagi Manusia:


1) Keseimbangan bukti
Musim panas lapangan di Belgia (Hamois). Bunga-bunga berwarna biru adalah cyanus
Centaurea dan yang merah adalah Papaver rhoeas.
"Manfaat ekosistem adalah rangkaian manfaat yang disediakan ekosistem bagi umat
manusia." Spesies alami, atau biota, merupakan penjaga semua ekosistem. Seolah-olah
dunia alami adalah rekening bank yang besar dari aset modal yang mampu membayar
dividen seumur hidup tanpa batas waktu, tetapi hanya jika modalnya dipertahankan.
Manfaat ini meliputi tiga bentuk layanan:
1. Layanan penyediaan yang melibatkan produksi sumber daya terbarukan (misalnya
makanan, kayu, air tawar)
2. Layanan pengatur yang mengurangi perubahan lingkungan (misalnya peraturan iklim,
pengendalian hama atau penyakit)
3. Layanan budaya yang mewakili nilai dan kenikmatan manusia (misalnya estetika
lanskap, warisan budaya, rekreasi luar ruangan, dan signifikansi spiritual).
Ada banyak klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan
ekosistem ini, terutama layanan penyediaan dan pengaturan. Survei mendalam melalui
tinjauan sejawat dilakukan untuk mengevaluasi 36 klaim tentang efek keanekaragaman
hayati terhadap layanan ekosistem. Hasilnya, 14 klaim tersebut divalidasi, 6 klaim
bercampur antara didukung atau tidak didukung, 3 klaim tidak benar, dan 13 klaim
kekurangan cukup bukti untuk mendapatkan kesimpulan definitif.

2) Pertanian
Keanekaragaman pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama
yaitu keanekaragaman intraspesifik, yang mencakup variasi genetik dalam satu spesies,
seperti kentang (Solanum tuberosum) yang terdiri dari berbagai bentuk dan jenis
(misalnya di AS yang membandingkan kentang cokelat muda dengan kentang baru atau
kentang ungu, semua kentang tersebut berbeda, tetapi merupakan bagian dari spesies
yang sama, S. tuberosum). Kategori kedua disebut keanekaragaman interspesifik dan
mengacu pada jumlah dan jenis spesies yang berbeda. Contoh keanekaragaman yaitu
berbagai tumbuhan berbeda yang ditanam oleh petani sayuran kecil, misalnya kentang,
wortel, paprika, selada, dan sebagainya.
Keanekaragaman pertanian juga dapat dibagi menjadi keanekaragaman yang
'direncanakan' atau keanekaragaman 'terkait'. Pengelompokan ini merupakan klasifikasi
fungsional dan bukan sifat intrinsik kehidupan. Keanekaragaman yang direncanakan
misalnya tumbuhan yang didukung, ditanam, atau dibesarkan oleh petani (misalnya
tanaman, simbion, dan hewan ternak), yang dapat dibedakan dengan keanekaragaman
'terkait' yang muncul dari tumbuhan tanpa diatur (misalnya herbivora serta spesies gulma
dan patogen).
Pengendalian keanekaragaman hayati terkait merupakan salah satu tantangan besar
yang dihadapi petani. Pada pertanaman tunggal (monokultur), pendekatan yang diambil
untuk memberantas keanekaragaman terkait umumnya menggunakan pestisida yang
merusak secara biologis, peralatan mekanis dan teknik rekayasa transgenik,
kemudian rotasi tanaman. Meskipun sebagian petani pertanaman campuran (polikultur)
menggunakan teknik yang sama, mereka juga menggunakan strategi pengendalian hama
terpadu serta strategi yang lebih padat karya, tetapi umumnya kurang bergantung pada
modal, bioteknologi, dan energi.
Keanekaragaman interspesifik juga menentukan sebagian variasi makanan kita.
Keanekaragaman intraspesifik, berupa variasi alel dalam satu spesies, juga menawarkan
kita pilihan untuk memilih diet. Jika pertanaman tunggal mengalami kegagalan panen,
kita mengandalkan keanekaragaman pertanian untuk menanam kembali lahan dengan
tumbuhan baru. Jika tanaman gandum dihancurkan oleh hama, kita mungkin menanam
varietas gandum yang lebih kuat pada tahun berikutnya, dengan mengandalkan
keanekaragaman intraspesifik. Kita juga dapat meninggalkan produksi gandum di daerah
tersebut dan menanam spesies lain yang berbeda, tergantung pada keanekaragaman
interspesifik. Bahkan, masyarakat agraris yang terutama menanam secara monokultur,
pada titik tertentu tetap bergantung pada keanekaragaman hayati.
 Wabah Kelaparan Besar Irlandia tahun 1846 akibat matinya tanaman kentang
merupakan faktor utama dalam kematian satu juta orang dan emigrasi jutaan lainnya.
Hal ini diakibatkan oleh penanaman kentang yang hanya dua varietas, yang keduanya
rentan terhadap penyakit busuk daun, akibat Phytophthora infestans, yang tiba pada
tahun 1845.
 Ketika rice grassy stunt virus melanda sawah dari Indonesia hingga India pada 1970-
an, sebanyak 6.273 varietas diuji ketahanannya. Hanya satu varietas yang tahan, yaitu
varietas India dan telah dikenal di dunia ilmu pengetahuan sejak 1966. Varietas ini
membentuk hibrida dengan varietas lainnya yang sekarang banyak ditanam.
 Ketika karat kopi akibat Hemileia vastatrix yang menyerang perkebunan kopi di Sri
Lanka, Brasil, dan Amerika Tengah pada tahun 1970, varietas yang tahan ditemukan
di Etiopia. Penyakit itu sendiri merupakan bentuk keanekaragaman hayati.

Pertanaman tunggal adalah faktor yang berkontribusi terhadap bencana pertanian,


termasuk runtuhnya industri anggur Eropa pada akhir abad ke-19, dan epidemi penyakit
busuk daun pada jagung di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1970. Meskipun
sekitar 80 persen dari pasokan makanan manusia berasal dari 20 jenis tumbuhan saja,
manusia menggunakan setidaknya 40.000 spesies. Banyak orang tergantung pada spesies
ini untuk makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Keanekaragaman hayati yang masih
hidup menyediakan sumber daya untuk meningkatkan variasi makanan dan produk
lainnya yang cocok untuk digunakan manusia, meski laju kepunahan memperkecil
potensi tersebut.

3) Kesehatan manusia
Keanekaragaman kanopi hutan di Pulau Barro Colorado, Panama, menghasilkan
tampilan buah yang berbeda. Relevansi keanekaragaman hayati terhadap kesehatan
manusia menjadi isu politik internasional, ketika bukti ilmiah menunjukkan implikasi
kesehatan dunia akibat hilangnya keanekaragaman hayati. Masalah ini terkait erat dengan
isu perubahan iklim, karena banyak risiko kesehatan—yang mengantisipasi perubahan
iklim—dikaitkan dengan perubahan keanekaragaman hayati (misalnya perubahan
populasi dan distribusi vektor penyakit, kelangkaan air bersih, dampak terhadap
keanekaragaman hayati pertanian dan sumber makanan, dan lain-lain). Spesies yang
paling mungkin hilang adalah mereka menjadi penyangga melawan penularan penyakit
infeksi, sementara spesies yang bertahan cenderung merupakan spesies yang
meningkatkan penularan penyakit, seperti pada kasus infeksi virus West Nile, penyakit
Lyme, dan infeksi Hantavirus, menurut sebuah penelitian di Universitas Cornell.
Meningkatnya permintaan dan kurangnya ketersediaan air minum di planet ini
merupakan tantangan tambahan bagi masa depan kesehatan manusia. Sebagian
masalahnya terletak pada keberhasilan pemasok air untuk meningkatkan suplai, dan
kegagalan kelompok penggerak pelestarian sumber daya air. Meskipun distribusi air
bersih meningkat, di beberapa bagian dunia tetap tidak setara. Menurut WHO pada 2008,
hanya 71% populasi dunia yang dapat mengakses air bersih yang bisa diminum. Sebagian
masalah kesehatan dipengaruhi oleh keanekaragaman hayati,
seperti keamanan dan ketahanan pangan, penyakit menular, ilmu dan sumber daya
kedokteran, serta kesehatan sosial dan psikologis. Keanekaragaman hayati juga diketahui
berperan penting dalam mengurangi risiko bencana dan dalam upaya pemulihan
pascabencana.
Keanekaragaman hayati memberi dukungan penting dalam penemuan obat dan
ketersediaan sumber daya obat. Sebagianobat berasal dari sumber biologi (baik secara
langsung atau tidak langsung): setidaknya 50% senyawa farmasi di pasar AS berasal dari
tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, sementara sekitar 80% populasi dunia
berrgantung pada obat-obatan dari alam (yang digunakan baik dalam praktik medis
modern maupun tradisional) untuk kesehatan primer. Hanya sebagian kecil spesies liar
yang telah diteliti untuk mengetahui potensi medisnya. Keanekaragaman hayati
merupakan hal penting untuk kemajuan seluruh bidang bionik. Analisis pasar dan ilmu
pengetahuan keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa penurunan keluaran dari sektor
farmasi sejak pertengahan 1980-an dapat dikaitkan dengan perpindahan dari eksplorasi
produk alami (pencarian hayati) menjadi pendekatan genomik dan kimia sintetis, karena
nilai dari produk farmasi yang belum ditemukan mungkin tidak memberikan insentif yang
cukup tinggi bagi perusahaan di pasar bebas untuk mencarinya akibat tingginya biaya
riset dan pengembangan, sementara itu, produk alami memiliki sejarah panjang dalam
mendukung inovasi dalam bidang ekonomi dan kesehatan yang signifikan. Ekosistem laut
sangat penting, walaupun pencarian hayati yang tidak sesuai dapat meningkatkan
hilangnya keanekaragaman hayati serta melanggar hukum masyarakat dan negara tempat
sumber tersebut diambil.

4) Bisnis dan industri


Traktor dan kereta gandengnya yang digunakan dalam produksi pertanian.
Banyak bahan baku industri diambil langsung dari sumber biologis, termasuk bahan
bangunan, serat, pewarna, karet, dan minyak. Keanekaragaman hayati juga penting untuk
keamanan sumber daya seperti air, kayu, kertas, serat, dan makanan. Akibatnya,
hilangnya keanekaragaman hayati merupakan faktor risiko yang signifikan dalam
pengembangan bisnis dan ancaman bagi keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

5) Kenyamanan, budaya dan nilai estetika


Keanekaragaman hayati memperkaya kegiatan rekreasi seperti mendaki, mengamati
burung, atau mempelajari sejarah alam. Keanekaragaman hayati
mengilhami musisi, pelukis, pemahat, sastrawan, dan seniman lainnya. Banyak
kebudayaan melihat diri mereka sebagai bagian integral dari alam yang mengharuskan
mereka untuk menghormati makhluk hidup lainnya.
Kegiatan populer seperti berkebun, memelihara ikan, dan mengumpulkan spesimen
sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Jumlah spesies terlibat dalam kegiatan
tersebut mencapai puluhan ribu, meskipun sebagian besar tidak diperdagangkan.
Hubungan yang cukup kompleks dan kurang dipahami terjadi antara habitat alam asli dari
hewan dan tumbuhan ini (yang sering kali bersifat eksotik) dengan kolektor, pemasok,
peternak, dan pelaku budi daya komersial, serta orang-orang yang mempromosikan
pemahaman dan kenikmatan mereka. Masyarakat umum memberi respons yang baik
terhadap paparan organisme langka dan tidak biasa, yang mencerminkan nilai yang
melekat pada mereka. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati
memiliki nilai estetika dan spiritual yang intrinsik untuk umat manusia itu sendiri.
Gagasan ini dapat digunakan sebagai penyeimbang terhadap anggapan bahwa hutan tropis
dan ekologi alam lain hanya layak dikonservasi karena manfaat yang mereka berikan.

6) Layanan ekologi
Keanekaragaman hayati mendukung banyak layanan ekosistem: “Sekarang ada bukti
nyata bahwa hilangnya keanekaragaman hayati mengurangi efisiensi pada komunitas
ekologis yang menangkap sumber daya biologis penting, menghasilkan biomassa,
menguraikan dan mendaur ulang nutrisi penting biologis. Ada bukti kuat bahwa
keanekaragaman hayati meningkatkan stabilitas fungsi ekosistem melalui waktu.
Komunitas yang beragam lebih produktif karena mengandung spesies kunci yang
memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas dan perbedaan sifat fungsional di antara
organisme yang meningkatkan penangkapan jumlah sumber daya. Dampak hilangnya
keanekaragaman terhadap proses ekologis mungkin cukup besar untuk menyaingi
dampak dari banyak pendorong global perubahan lingkungan lainnya. Mempertahankan
berbagai proses ekosistem di berbagai tempat dan waktu membutuhkan tingkat
keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan proses tunggal di satu tempat dan
waktu." Keanekaragaman hayati berperan dalam mengatur
kimiawi atmosfer dan persediaan air kita, serta terlibat secara langsung dalam pemurnian
air, daur ulang nutren, dan penyediaan tanah yang subur. Eksperimen dengan lingkungan
terkendali menunjukkan bahwa manusia tidak dapat membangun ekosistem untuk
mendukung kebutuhan manusia dengan mudah misalnya penyerbukan serangga tidak
dapat ditiru, meskipun telah ada upaya untuk menciptakan penyerbuk buatan
menggunakan pesawat tanpa awak. Kegiatan ekonomi penyerbukan saja mewakili antara
$ 2,1–14,6 miliar pada tahun 2003.

Ancaman:
Pada tahun 2006, banyak spesies secara resmi diklasifikasikan sebagai spesies
langka atau genting atau terancam; para ilmuwan juga memperkirakan bahwa jutaan spesies
lainnya memiliki risiko yang belum diakui secara formal. Sekitar 40 persen dari 40.177
spesies yang dinilai menggunakan kriteria Daftar Merah IUCN sekarang terdaftar sebagai
terancam punah, totalnya yaitu 16.119.
Jared Diamond menggambarkan "Kuartet Jahat", yaitu pengrusakan habitat,
pemburuan berlebihan, spesies pendatang, dan kepunahan sekunder. Edward O. Wilson lebih
memilih akronim HIPPO, yang merujuk pada pengrusakan habitat (habitat
destruction), spesies invasif (invasive species), polusi, overpopulasi manusia, dan panen
berlebih (over-harvesting). Klasifikasi yang paling otoritatif yang digunakan saat ini adalah
Klasifikasi Ancaman langsung IUCN  (versi 2.0 dirilis pada 2016) yang telah diadopsi oleh
organisasi konservasi internasional utama seperti The Nature Conservancy AS, World
Wildlife Fund, Conservation International, dan BirdLife International.
Ada 11 ancaman langsung utama terhadap konservasi, yaitu:
1. Pengembangan tempat tinggal dan area komersial (area perumahan dan daerah
perkotaan, area komersial dan industri, serta area pariwisata dan rekreasi).
2. Kegiatan pertanian dan akuakultur.
3. Pertambangan dan produksi energi.
4. Transportasi dan layanan koridor.
5. Penggunaan sumber daya hayati (perburuan, pembunuhan, penebangan, dan kegiatan
perikanan).
6. Intrusi dan aktivitas manusia yang mengubah, menghancurkan, atau mengganggu
habitat dan spesies dari kecenderungannya menunjukkan perilaku alami (kegiatan
rekreasional, perang, dan aktivitas ilegal).
7. Modifikasi sistem alami (pengelolaan air, penciptaan api, dan proyek lainnya seperti
reklamasi).
8. Spesies, patogen, dan gen yang invasif dan bermasalah.
9. Pencemaran.
10. Kejadian geologis yang merusak (gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor).
11. Perubahan iklim.
a) Pengrusakan habitat
Penggundulan hutan dan meningkatnya pembangunan jalan di hutan hujan Amazon
menyebabkan kekhawatiran yang signifikan karena meningkatnya perambahan manusia
pada daerah liar, meningkatnya ekstraksi sumber daya, dan ancaman lebih lanjut bagi
keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat berperan penting dalam kepunahan, terutama
terkait dengan kerusakan hutan tropis. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
hilangnya habitat meliputi overkonsumsi, overpopulasi, berubahnya penggunaan tanah,
penggundulan hutan, pencemaran (pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran
tanah), dan pemanasan global atau perubahan iklim.
Ukuran habitat dan jumlah spesies saling berkaitan secara sistematis. Spesies yang
fisiknya lebih besar dan spesies yang tinggal di lintang rendah atau di hutan atau lautan
lebih sensitif terhadap pengurangan area habitat. Konversi ke ekosistem standar yang
"sederhana" (misalnya pembuatan monokultur setelah penggundulan hutan) secara efektif
menghancurkan habitat beragam spesies yang telah menempati lokasi tersebut sebelum
konversi. Bahkan bentuk-bentuk pertanian yang paling sederhana pun memengaruhi
keanekaragaman, melalui pembersihan atau pengeringan lahan, mencegah gulma dan
hama, serta hanya mendorong sejumlah spesies tumbuhan dan hewan tertentu secara
terbatas. Di sejumlah negara, hak milik atau lemahnya penegakan hukum dikaitkan
dengan penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Sebuah studi pada 2007 yang dilakukan oleh Yayasan Sains Nasional menemukan
bahwa keanekaragaman hayati dan keanekaragaman genetik bersifat kodependen, artinya
keanekaragaman di antara spesies membutuhkan keanekaragaman dalam satu spesies, dan
sebaliknya. "Jika salah satu tipe dihapus dari sistem, siklusnya dapat rusak dan komunitas
menjadi didominasi oleh satu spesies." Saat ini, ekosistem yang paling terancam
merupakan ekosistem air tawar, menurut Penilaian Ekosistem Milenium pada 2005, yang
dikonfirmasi oleh "Penilaian Keragaman Hewan Air Tawar", yang diselenggarakan oleh
platform keanekaragaman hayati, dan Institut Prancis, Institut de recherche pour le
développement.
Kepunahan bersama adalah salah satu bentuk kerusakan habitat. Hal ini terjadi ketika
kepunahan atau penurunan pada satu spesies menyertai proses serupa pada spesies
lainnya, seperti pada tumbuhan dan kumbang. Sebuah laporan pada 2019 mengungkapkan
bahwa lebah dan serangga penyerbuk lainnya telah dihilangkan dari hampir seperempat
habitat mereka di Britania Raya. Kecelakaan populasi telah terjadi sejak 1980-an dan
memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan pertanian industri dan penggunaan
pestisida, yang dikombinasikan dengan penyakit, spesies invasif, dan perubahan iklim,
mengancam masa depan serangga ini dan pertanian yang mereka dukung.

b) Spesies pendatang dan invasif


Burung Lophura nycthemera jantan asal dari Asia Timur yang telah diperkenalkan ke
beberapa wilayah Eropa karena alasan hias. Penghalang seperti sungai, laut, samudra,
gunung, dan gurun yang besar mendorong keanekaragaman dengan memungkinkan
evolusi independen di kedua sisi penghalang tersebut, melalui proses spesiasi alopatrik.
Istilah spesies invasif diberikan pada spesies yang menembus penghalang alami yang
biasanya membuat mereka terkekang. Tanpa adanya penghalang, spesies tersebut
menempati wilayah baru, sering kali menggantikan spesies asli dengan menduduki relung
mereka, atau dengan menggunakan sumber daya yang biasanya akan mempertahankan
kehidupan spesies asli. Jumlah spesies invasif telah meningkat setidaknya sejak awal
1900-an. Berbagai spesies semakin banyak dipindahkan oleh manusia (sengaja dan tidak
sengaja).
Dalam beberapa kasus, spesies yang berpindah mengakibatkan perubahan drastis dan
kerusakan pada habitat baru mereka (misalnya kerang zebra dan kumbang Agrilus
planipennis di wilayah Danau-Danau Besar dan ikan singa atau lepu di sepanjang pantai
Atlantik Amerika Utara). Beberapa bukti menunjukkan bahwa spesies invasif lebih
kompetitif di habitat barunya mereka karena mereka lebih sedikit mengalami gangguan
oleh patogen. Studi lainnya melaporkan bukti yang membingungkan yang kadang-kadang
menunjukkan bahwa komunitas yang kaya spesies memiliki banyak spesies asli dan
eksotik secara bersamaan, sementara beberapa studi mengatakan bahwa ekosistem yang
beragam lebih tangguh dan tahun terhadap tumbuhan dan hewan invasif. Pertanyaan
pentingnya adalah, "Apakah spesies invasif menyebabkan kepunahan?" Banyak penelitian
mengutip dampak spesies invasif pada spesies asli, tetapi tidak mengakibatkan
kepunahan. Spesies invasif tampaknya meningkatkan keanekaragaman lokal (yaitu
keanekaragaman alfa), yang mengurangi pergantian keanekaragaman (yaitu
keanekaragaman beta).
Keanekaragaman gama secara keseluruhan dapat diturunkan karena spesies akan
punah akibat sebab lainnya. Meskipun demikian, bahkan beberapa pendatang yang paling
berbahaya (misalnya penyakit elm Belanda, kumbang penggerek abu zamrud, kumbang
penggerek kastanye di Amerika Utara) tidak menyebabkan spesies inangnya punah.
Kepunahan lokal, penurunan populasi, dan homogenisasi keanekaragaman hayati regional
jauh lebih umum ditemukan. Aktivitas manusia sering kali menjadi penyebab spesies
invasif melintasi penghalang mereka, yang memindahkan mereka untuk dimakan atau
untuk keperluan lainnya. Oleh karena itu, aktivitas manusia memungkinkan spesies untuk
bermigrasi ke daerah baru (dan dengan demikian menjadi invasif) terjadi pada skala
waktu yang jauh lebih pendek dibandingkan waktu alami yang diperlukan bagi suatu
spesies untuk memperluas jangkauannya.
Tidak semua spesies pendatang bersifat invasif, atau semua spesies invasif tidak
sengaja didatangkan. Dalam kasus-kasus seperti kerang zebra, invasi saluran air AS
terjadi tanpa disengaja. Dalam kasus lain, seperti garangan di Hawaii, perpindahan
dilakukan dengan sengaja tetapi tidak efektif (tikus yang nokturnal tidak rentan terhadap
garangan yang diurnal). Dalam kasus lain, seperti kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia,
perpindahan menghasilkan manfaat ekonomi yang substansial, tetapi manfaat tersebut
disertai dengan konsekuensi mahal yang tidak diinginkan.
Pada akhirnya, spesies pendatang mungkin secara tidak sengaja merugikan spesies
yang tergantung pada spesies yang digantikannya. Di Belgia, tanaman perdu Prunus
spinosa dari Eropa Timur membentuk daun lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya di
Eropa Barat sehingga mengganggu kebiasaan makan kupu-kupu Thecla betulae (yang
memakan daun). Kedatangan spesies baru sering mengakibatkan spesies endemik dan
spesies lokal lainnya tidak dapat bersaing dengan spesies eksotik dan tidak dapat bertahan
hidup. Organisme eksotik dapat berupa predator, parasit, atau hanya mengalahkan spesies
asli untuk mendapatkan nutrisi, air dan cahaya. Saat ini, beberapa negara telah
mengimpor begitu banyak spesies eksotik, terutama tanaman pertanian dan tanaman hias,
sehingga fauna atau flora asli mereka mungkin kalah jumlah. Misalnya, pengenalan
kudzu dari Asia Tenggara ke Kanada dan Amerika Serikat telah mengancam
keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.
c) Pencemaran genetik
Spesies endemik dapat terancam punah melalui proses pencemaran genetik, yaitu
persilangan, introgresi, dan kelebihan genetik yang tidak terkendali. Pencemaran genetik
menyebabkan homogenisasi atau penggantian genom lokal sebagai hasil dari keuntungan
numerik dan/atau kesesuaian dari suatu spesies pendatang. Persilangan dan introgresi
merupakan efek samping dari kedatangan dan invasi. Fenomena ini dapat sangat
merugikan spesies langka yang terpapar dengan spesies yang lebih berlimpah. Spesies
yang berlimpah dapat kawin silang dengan spesies langka dan membanjiri lungkang
gennya. Masalah ini tidak selalu terlihat dari pengamatan morfologis (penampilan luar)
saja. Beberapa tingkat aliran gen merupakan adaptasi normal, dan tidak semua konstelasi
gen dan genotipe dapat dilestarikan. Namun, persilangan dengan atau tanpa introgresi
dapat mengancam keberadaan spesies langka.

d) Eksploitasi berlebihan
Eksploitasi berlebihan terjadi ketika sumber daya dikonsumsi pada tingkat yang tidak
berkelanjutan. Hal ini terjadi di darat dalam bentuk perburuan dan penebangan kayu yang
berlebihan, konservasi tanah yang buruk di bidang pertanian, dan perdagangan satwa liar
ilegal. Sekitar 25% perikanan dunia saat ini ditangkap secara berlebihan sampai pada titik
ketika biomassa mereka saat ini berada di bawah tingkat yang memaksimalkan
keberlangsungan mereka.
Hipotesis perburuan berlebihan, yaitu suatu pola kepunahan hewan besar yang
dihubungkan dengan pola migrasi manusia, dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa
kepunahan megafauna dapat terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat.Persilangan,
pencemaran/erosi genetik, dan keamanan pangan Kultivar gandum Yecoro (kanan) peka
terhadap salinitas, sedangkan gandum yang dihasilkan dari persilangan hibrida dengan
kultivar W4910 (kiri) menunjukkan toleransi yang lebih besar terhadap salinitas tinggi.
Dalam pertanian dan peternakan, Revolusi Hijau memopulerkan penggunaan
persilangan konvensional untuk meningkatkan hasil produksi. Sering kali keturunan hasil
persilangan berasal dari negara-negara maju dan selanjutnya disilangkan dengan varietas
lokal di negara berkembang untuk menciptakan galur berproduksi tinggi yang tahan
terhadap iklim dan penyakit setempat. Pemerintah dan industri lokal telah mendorong
persilangan. Sebelumnya, lungkang gen yang sangat besar dari keturunan liar dan
keturunan asli telah runtuh dan menyebabkan erosi genetik dan pencemaran genetik yang
luas. Hal ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman genetik dan keanekaragaman
hayati secara keseluruhan.
Organisme termodifikasi secara genetika memiliki materi genetik yang diubah oleh
rekayasa genetik. Tanaman rekayasa genetik telah menjadi sumber umum bagi
pencemaran genetik, tidak hanya pada varietas liar tetapi juga pada varietas domestik
yang berasal dari persilangan klasik. Erosi genetik dan pencemaran genetik berpotensi
menghancurkan genotipe unik, sehingga bisa menciptakan ancaman terhadap ketahanan
pangan. Penurunan keanekaragaman genetik melemahkan kemampuan tanaman dan
ternak untuk disilangkan dalam rangka melawan penyakit dan bertahan hidup dari
perubahan iklim.

e) Perubahan Iklim
Beruang kutub di laut es Samudra Arktik, di dekat Kutub Utara. Perubahan iklim
mulai memengaruhi populasi beruang. Pemanasan global merupakan ancaman besar bagi
keanekaragaman hayati global. Misalnya, terumbu karang—yang menjadi titik panas
keanekaragaman hayati—akan hilang pada abad ini jika pemanasan global terus berlanjut
dengan laju saat ini. Perubahan iklim terbukti memengaruhi keanekaragaman hayati.
Peningkatan karbon dioksida di atmosfer pasti memengaruhi morfologi tumbuhan dan
mengasamkan samudra, sementara perubahan suhu memengaruhi jangkauan hidup
spesies,fenologi,dan cuaca, tetapi untungnya dampak utama yang diprediksi masih
merupakan potensi yang akan muncul di masa depan. Kepunahan besar belum diprediksi,
bahkan ketika perubahan iklim secara drastis mengubah biologi banyak spesies. Pada
tahun 2004, sebuah studi kolaboratif internasional di empat benua memperkirakan bahwa
10 persen spesies akan punah pada tahun 2050 karena pemanasan global. "Kita perlu
membatasi perubahan iklim atau kita akan berada dalam kesulitan bersama banyak
spesies lain, mungkin punah," kata Dr. Lee Hannah, salah satu penulis makalah dan
kepala ahli biologi perubahan iklim di Pusat Ilmu Pengetahuan Keanekaragaman Hayati
Terapan di Konservasi Internasional.
Sebuah penelitian pada 2015 memperkirakan bahwa hingga 35% karnivora dan
ungulata terestrial dunia akan menghadapi risiko kepunahan yang lebih tinggi pada tahun
2050 akibat efek perubahan iklim ditambah penggunaan lahan yang diprediksi dengan
skenario laju pembangunan manusia masa kini. Perubahan iklim telah mengubah waktu
ketika kelelawar ekor bebas Brasil (Tadarida brasiliensis) muncul untuk mencari makan
menjadi senja hari. Perubahan ini diyakini terkait dengan pengeringan daerah akibat
kenaikan suhu. Kemunculan yang lebih awal ini membuat kelelawar menjadi pemangsa
yang lebih besar dan meningkatkan persaingan dengan serangga lain yang mencari makan
pada waktu senja atau siang hari.

f) Overpopulasi manusia
Populasi dunia berjumlah hampir 7,6 miliar pada pertengahan 2017 (kira-kira satu
miliar lebih banyak dibandingkan tahun 2005) dan diperkirakan akan mencapai 11,1
miliar pada tahun 2100. Sir David King, mantan kepala penasihat ilmiah untuk
pemerintah Inggris, mengatakan pada parlemen: "Sudah jelas bahwa pertumbuhan
populasi manusia secara besar-besaran selama abad ke-20 berdampak lebih besar pada
keanekaragaman hayati dibandingkan faktor tunggal lainnya." Paling tidak sampai
pertengahan abad ke-21, hilangnya keanekaragaman hayati murni di seluruh dunia
mungkin akan sangat bergantung pada tingkat kelahiran manusia di seluruh dunia. Ahli
biologi seperti Paul R. Ehrlich dan Stuart Pimm mencatat bahwa pertumbuhan populasi
manusia dan konsumsi berlebihan adalah pendorong utama kepunahan spesies.
Menurut sebuah studi pada tahun 2014 oleh WWF, populasi manusia global sudah
melebihi biokapasitas planet dibutuhkan 1,5 kali biokapasitas Bumi untuk memenuhi
kebutuhan kita saat ini. Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa jika semua orang di
planet ini memiliki jejak kaki dari rata-rata penduduk Qatar, kita akan membutuhkan 4,8
Bumi dan jika kita menjalani gaya hidup penduduk AS yang khas, kita akan
membutuhkan 3,9 Bumi.

Konservasi:
Biologi konservasi mulai matang pada pertengahan abad ke-20 ketika ahli ekologi,
naturalis, dan ilmuwan lain mulai meneliti dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan
penurunan keanekaragaman hayati global. Etika konservasi menyarankan
pengelolaan sumber daya alam untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dalam
spesies, ekosistem, proses evolusi, serta budaya manusia dan masyarakat. Biologi konservasi
mengalami perubahan terkait rencana strategis yang akan diambil untuk melindungi
keanekaragaman hayati. Melestarikan keanekaragaman hayati global merupakan prioritas
dalam rencana konservasi strategis yang dirancang untuk melibatkan kebijakan publik dan isu
yang berpengaruh di dalam masyarakat, ekosistem, dan budaya dalam skala lokal, regional
dan global.  Rencana aksi yang disusun mengidentifikasi cara mempertahankan kesejahteraan
manusia menggunakan modal alam, modal pasar, dan layanan ekosistem. Dalam Pedoman
Uni Eropa 1999/22/EC, kebun binatang digambarkan memiliki peran dalam pelestarian
keanekaragaman hayati hewan liar dengan melakukan penelitian atau berpartisipasi dalam
program pemuliaan.

Kawasan Perlindungan:
Kawasan perlindungan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pada hewan liar
dan habitatnya yang juga mencakup cagar hutan dan cagar biosfer. Kawasan perlindungan
didirikan di seluruh dunia dengan tujuan spesifik untuk melindungi dan melestarikan
tumbuhan dan hewan. Beberapa ilmuwan meminta komunitas global untuk menetapkan 30
persen dari Bumi sebagai kawasan perlindungan pada tahun 2030 dan 50 persen pada tahun
2050, untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh manusia.
a) Taman nasional
Taman nasional adalah area yang dipilih oleh pemerintah atau organisasi swasta untuk
melindungi area tersebut secara khusus dari kerusakan atau degradasi dengan tujuan
konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap. Taman nasional biasanya dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah nasional atau negara bagian. Jumlah pengunjungnya dibatasi,
terutama untuk memasuki area rapuh tertentu. Para pengunjung hanya diizinkan masuk
untuk tujuan belajar, budaya, dan rekreasi. Operasi kehutanan, penggembalaan hewan,
dan perburuan hewan diatur, sementara eksploitasi habitat atau satwa liar dilarang.

b) Cagar alam dan suaka margasatwa


Cagar alam dan suaka margasatwa (wildlife sanctuaries) hanya bertujuan untuk
mengonservasi spesies dan memiliki karakteristik:
1. Batas-batasnya tidak dibatasi oleh peraturan suatu negara.
2. Pembunuhan, perburuan, atau penangkapan spesies apa pun dilarang kecuali oleh atau
di bawah kendali otoritas tertinggi di departemen yang bertanggung jawab atas
pengelolaan suaka.
3. Kepemilikan pribadi dapat diizinkan.
4. Kegiatan kehutanan dan penggunaan lainnya juga bisa diizinkan.

c) Hutan lindung
Hutan memainkan peran penting untuk menyimpan berbagai spesies flora dan fauna,
termasuk spesies endemik. Spesies tumbuhan dan hewan yang terbatas pada wilayah
geografis tertentu disebut spesies endemik. Pada hutan yang dilindungi, hak untuk
melakukan beberapa kegiatan seperti berburu dan merumput kadang-kadang diberikan
kepada masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan, yang mempertahankan mata
pencaharian mereka sebagian atau seluruhnya dari sumber daya hutan atau produknya.
Hutan yang tidak diklasifikasikan memiliki karakteristik berupa hutan besar yang tidak
dapat diakses, banyak di antaranya yang tidak dihuni, dan dinilai kurang penting secara
ekologis dan ekonomis.

d) Kebun binatang
Di kebun binatang, hewan hidup dipelihara untuk tujuan rekreasi, pendidikan, dan
konservasi. Kebun binatang modern memiliki layanan kedokteran hewan, memberikan
peluang bagi spesies terancam untuk berkembang biak di penangkaran, dan biasanya
membangun lingkungan yang mensimulasikan habitat asli hewan dalam lingkungan
perawatan mereka. Kebun binatang memainkan peran utama dalam membangun
kesadaran masyarakat tentang perlunya melestarikan alam.

e) Kebun botani
Di kebun botani atau kebun raya, tumbuhan ditanam dan dipajang terutama untuk
tujuan ilmiah dan pendidikan. Mereka terdiri dari koleksi tanaman hidup yang ditanam di
luar ruangan atau di bawah kaca pada rumah kaca dan konservatori. Kebun botani juga
dapat mencakup koleksi tumbuhan kering atau herbarium dan fasilitas seperti ruang
kuliah, laboratorium, perpustakaan, museum, dan penanaman eksperimental atau
penelitian.

Tujuan peringatan hari Keanekaragaman Hayati adalah untuk meningkatkan pemahaman


dan kesadaran serta menumbuhkan kecintaan terhadap keanekaragaman hayati atau
biodiversitas di bumi. Tanggal 22 Mei sebagai Hari Keanekaragaman Hayati ini disepakati
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman
dan kesadaran terkait dengan isu keanekaragaman hayati.
Sebelumnya, selama 7 tahun sejak ditetapkan pada tahun 1993, hari Keanekaragaman
Hayati diperingati pada tanggal 29 Desember yang dilatarbelakangi oleh konferensi PBB
mengenai Pembangunan dan Lingkungan, yaitu “The Earth Summit” di Rio de Janeiro,
Brazil. Dalam konferensi tersebut, salah satu kesepakatan penting yang dihasilkan adalah
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Laman resmi
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) menulis, sejak tahun 2000, Hari
Keanekaragaman Hayati diperingati setiap tanggal 22 Mei untuk memperingati adopsi
Konvensi pada tanggal 22 Mei 1992 di Nairobi, Kenya.
Setiap tahunnya, Hari Internasional Keanekaragaman Hayati mengusung tema berbeda
yang ditentukan oleh pihak sekretariat PBB dalam upaya mengangkat isu spesifik terkait
dengan keanekaragaman hayati. Tema Hari Keanekaragaman Hayati 2021 Biodiversity Day
2021 dirayakan dengan tema "We're part of the solution #ForNature" atau "Kami adalah
bagian dari solusi #ForNature". Hal ini diumumkan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman
Hayati di laman resminya. "Dengan bangga mengumumkan slogan Hari Keanekaragaman
Hayati 2021: “Kami adalah bagian dari solusi”," tulisnya. Slogan tersebut dipilih sebagai
kelanjutan dari momentum tahun 2020 lalu dengan tema “Solusi kami ada di alam”. Tema ini
berfungsi sebagai pengingat bahwa keanekaragaman hayati tetap menjadi jawaban atas
beberapa tantangan pembangunan berkelanjutan. "Dari solusi berbasis alam hingga iklim,
masalah kesehatan, ketahanan pangan dan air, dan mata pencaharian yang berkelanjutan,
keanekaragaman hayati adalah fondasi di mana kita dapat membangun kembali dengan lebih
baik," tulisnya.
Cara merayakan Hari Keanekaragaman Hayati di Tengah Pandemi. Dalam masa pandemi
COVID-19 ini, Hari Keanekaragaman Hayati 2021 dapat diperingati salah satunya melalui
kampanye online. Melalui kampanye Biodiversity Day ini, masyarakat diharapkan dapat
memahami dan menyadari hal-hal tentang Keanekaragaman Hayati. Upaya pelestarian dan
penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan penting bagi kesejahteraan
masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan mengurangi konsumsi daging, membeli makanan
lokal, mengurangi sisa makanan dan masih banyak lagi, demikian dikutip laman resmi
Pemkot Semarang. Isu perubahan iklim tak kalah pentingnya mengambil peran dalam
keberlanjutan keanekaragaman hayati. Sebagaimana dikutip laman Program Pengembangan
Kota Hijau, dengan meningkatnya suhu udara, maka habitat seperti di kutub yang berupa batu
es akan tergerus udara yang semakin panas dan mencair secara perlahan sehingga berakibat
terjadinya perubahan struktur dan fungsi ekosistem. "Oleh karena itu, dengan menghentikan
tingkat kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) yang terjadi di dunia maka
secara otomatis menjadikan sebuah investasi untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan
setiap manusia," jelas pihak Program Pengembangan Kota Hijau. Salah satu langkah
Indonesia menyikapi hal tersebut adalah melalui partisipasi aktif dalam perundingan
internasional mengenai keanekaragaman hayati. Perundingan tersebut telah diratifikasi
Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam bentuk Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati.

Maka dari itu cara kita menjaga Keanekaragaman Hayati yaitu dengan cara :
1. Melakukan penghijauan atau reboisasi.
2. Melindungi dan menjaga habitat di hutan.
3. Menerapkan sistem tebang pilih.
4. Menerapkan sistem tebang-tanam.
5. Melakukan penebangan secara konservatif.
6. Mencegah kebakaran hutan.
7. Tidak mencoret-coret pohon di hutan.
8. Tidak membuang sampah di hutan.

Sumber:
Mongabay.go.id

Tirto.id

Id.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai