Anda di halaman 1dari 31

ELIMINASI URINE DAN FEKAL

A. Definisi

Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak

diperlukan oleh tubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : eliminasi urine

dan eliminasi fekal.

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.

Pembuangan dapat melalui urine dan bowel (tarwoto, wartonah, 2006).

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa

urine atau alvi (buang air besar). Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas dua, yakni

eliminasi urine (kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air

besar).

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.

Pembuangan tersebut dapat melalui urin ataupun bowel.

Eliminasi materi sampah merupakan salah satu dari proses metabolic tubuh.

Produk sampah dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan.

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik

yan berupa urin maupun fekal.

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa

urin atau bowel (feses).


1. Eliminasi urine

Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem perkemihan.

Dimana sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemoh, dan uretra. Proses

pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu : filtrasi , reabsorpsi dan

sekresi .

Proses filtrasi berlangsung di glomelurus. Proses ini terjadi karena

permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen

Proses reabsorpsi terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,

sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion karbonat. Proses sekresi ini sisa reabsorpsi

diteruskan keluar.

2. Eliminasi fekal

Eliminasi fekal sangat erat kaitannya dengan saluran pencernaan. Saluran

pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan

mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan proses penernaan

(pengunyahan, penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair dari mulut

sampai anus. Organ utama yang berperan dalam eliminasi fekal adla usus besar. Usus

besar memiliki beberapa fungsi utama yaitu mengabsorpsi cairan dan elektrolit,

proteksi atau perlindungan dengan mensekresikan mukus yang akan melindungi

dinding usus dari trauma oleh feses dan aktivitas bakteri, mengantarkan sisa makanan
sampai ke anus dengan berkontraksi.

Proses eliminasi fekal adalah suatu upaya pengosongan intestin. Pusat refleks

ini terdapat pada medula dan spinal cord. Refleks defekasi timbul karena adanya

feses dalam rektum.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi

1. Eliminasi Urine

a. Diet dan intake

Jumlah dan tipe makanana mempengaruhi output urine, seperti protein

dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar.

b. Respon keinginan awal untuk berkemih

Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan yang mengabaikan respon

awal untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi

lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan dalam kandung kemih.

Masyarakat ini mempunyai kapasitas kamdung kemih yang lebih dari

normal.

c. Gaya hidup

Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi

urine. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi.

d. Stress psikologi
Meningkatnya stres seseorang dapat meningkatkan frekuensi keinginan

berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan

berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.

e. Tingkat aktivitas

Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi

urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus

spingter internal dan eksternal.

f. Tingkat perkembangan

Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola

berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun

karena adanya tekanan dari fetus atau adanya

g. Kondisi patologis

Saat seseorang dalam keadaan sakit,produksi urinnya sedikit hal ini

disebabkan oleh keinginan untuk minum sedikit.

2. Eliminasi Fekal

a. Tingkat perkembangan

Pada bayi sistem pencernaannya belum sempurna. Sedangkan pada

lansia proses mekaniknya berkurang karena berkurangnya kemampuan

fisiologis sejumlah organ.

b. Diet
Ini bergantung pada kualitas, frekuensi, dan jumlah makanan yang

dikonsumsi. Sebagai contoh, makanan berserat akan mempercepat

produksi feses. Secara fisiologis, banyaknya makanan yang masuk

kedalam tubuh juga berpengaruh terhadap keinginan defekasi.

c. Asupan Cairan

Asupan cairan yang kurang akan menyebabkan feses lebih keras. Ini

karena jumlah absorpsi cairan dikolon meningkat.

d. Tonus Otot

Tonus otot terutama abdomen yang ditunjang dengan aktivitas yang

cukup akan membantu defekasi. Gerakan peristaltik akan memudahkan

materi feses bergerak disepanjang kolon.

e. Faktor psikologis

Perasaan cemas atau takut akan mempengaruhi peristaltik atau motilitas

usus sehingga dapat menyebabkan diare.

f. Pengobatan

Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif dan

katartik dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik. Akan

tetapi, jika digunakan dalam waktu lama, kedua obat tersebut dapat

menurunkan tonus usus sehingga usus menjadi kurang responsif terhadap

stimulus laksatif. Obat-obat lain yang dapat mengganggu pola defekasi


antara lain: analgesik narkotik,opiat, dan anti kolinergik.

g. Penyakit

Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare atau konstipasi.

h. Gaya hidup

Aktivitas harian yang biasa dilakukan, bowel training pada saat kanak-

kanak, atau kebiasaan menahan buang air besar.

i. Aktivitas fisik

Orang yang banyakn bergerak akan mempengaruhi mortilitas usus.

j. Posisi selama defekasi

Posisi jongkok merupakan posisi paling sesuai untuk defekasi. Posisi

tersebut memungkinkan individu mengerahkan tekanan yang terabdomen

dan mengerutkan otot pahanya sehingga memudahkan proses defekasi.

k. Kehamilan

Konstipasi adalah masalah umum ditemui pada trimester akhir

kehamilan . seiring bertambahnya usia kehamilan , ukuran janin dapat

menyebabkan obstruksi yang akan menghambat pengeluaran feses.

Akibatnya , ibu hamil sering kali mengalami hemoroid permanen karena

seringnya mengedan saat defekasi .

C. KLASIFIKASI

1. Eleminasi urine
a. Retensi urine

Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih

akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih .

b. Dysuria

Adanya rasa setidaksakit atau kesulitan dalam berkemih .

c. Polyuria

Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti 2500 ml /

hari , tanpa adanya intake cairan .

d. Inkontinensi urine

Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk

mengontrol keluarnya urine dari kantong kemih .

e. Urinari suppresi

Adalah berhenti mendadak produksi urine.

2. Fekal

a. Konstipasi

Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti oleh

pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering .

parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen

kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris

pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang
otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih

sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran

parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada

otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk

merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya

urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum

merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini

terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan

pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau

trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,

khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver

Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan

drainase kandung kemih yang adekuat.

parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen

kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris

pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang

otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih

sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada

otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk

merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya

urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum

merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini

terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan

pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau

trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,

khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver

Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan

drainase kandung kemih yang adekuat.

2. Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut

bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari

beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga

bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam

kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu

menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi
instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum

memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai

gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.

Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati

anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka

feses keluar.

Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum

dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke

kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini

meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan

meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau

bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.

Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang

akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada

dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal

dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan
posisi

duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi

diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan

muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat
menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di

absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipas

2. Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut

bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari

beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga

bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam

kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu

menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi

instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum

memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai

gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.

Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati

anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka

feses keluar.

Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum

dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke

kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan

meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau

bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.

Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang

akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada

dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal

dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan
posisi

duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi

diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan

muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat

menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di

absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

F. PEMERIKSAAN FISIK

1. Eleminasi urine

a. Abdomen, kaji dengan cermat adanya pembesaran , distensi kandung kemih ,

pembesaran ginjal , nyeri tekan pada kandung kemih .

b. Genitalia. Kaji kebersihan daerah genetalia . Amati adanya bengkak , rabas ,

atau radang pada meatus uretra .

c. Urine, kaji karakteristik urine klien bandingkan dengan karakteristik urine


normal.

2. Eleminasi fekal

a. Abdomen, pemeriksaan dilakukan pada posisi terlentang , hanya pada bagian

yang tampak saja

 Inspeksi. Amati abdomen untuk melihat bentuknya , simetrisitas , adanya

distensi atau gerak peristaltik .

 Auskultasi , dengarkan bising usus , lalu perhatikan intensitas , frekuensi

dan kualitasnya.

b. Rektum dan anus , pemeriksaan dilakukan pada posisi litotomi atau sims.

a. Feses , amati feses klien dan catat konstitensi, bentuk , bau , warna , dan

jumlahnnya.

Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan USG

2) Pemeriksaan foto rontgen

3) Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

G. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian keperawatan

1. Pola defekasidan keluhan selama defekasi


Pengkajian ini antara lain : bagaimana pola defekasi dan keluhannya selama defekasi,

secara normal, frekuensi buang air besar pada bayi sebanyak 4-6 kali/hari, sedangkan

orang dewasa adalah 2-3 kali/hari dengan jumlah rata-rata pembuangan per hari
adalah

150 g.

2. Keadan feses, meliputi:

No Keadaan Normal Abnormal Penyebab

1. warna Bayi, kuning. Putih, hitam/tar,

atau merah

Kurang kadar empedu,

perdarahan saluaran saluaran

cerna bagian atas, atau

peradangan saluran cerna

bagian bawah

Dewasa: coklat Pucat berlemak Malabsorpsi lemak

2. Bau Khas feses dan

dipengaruhi oleh

Amis dan

perubahan bau

Darah dan infeksi


makanan

3. konsistensi Lunak dan

berbentuk.

cair Diare dan absorpsi kurang.

4. bentuk Sesuai diameter

rektum

Kecil, bentuknya

sesperti pensil.

Obstruksi dan peristaltik yang

cepat

5. konsituen Makanan yang

dicerna, bakteri

yang maati, lemak,

pigmen, empedu,

mukosa usus, air

Darah, pus, benda

asing, mukus, atau

cacing.
Internal belding, infeksi,

trtelan bendam iritasi, atau

inflamasi.

3. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal:

Faktor yang meningkatkan Eliminasi :

1. Lingkungan yang bebas

2. Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi.

3. Diet tinggi serat

4. Asupan cairan normal (jus buah, cairan hangat)

5. Olahraga

6. Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok

7. Laksatif atau katartik secara tepat

Faktor yang merusak eliminasi :

1. Stress emosional

2. Gagal mencetuskan refleks defekasi, kurang waktu atau kurang privasi

3. Diet tinggi lemak, tinggi KH

4. Asupan cairan berkurang

5. Imobilitas atau tidak aktif

6. Tidak mampu jongkok, mis : usila, deformitas muskulo, nyeri defekasi


Injuri spinal cord

眉 Ketidakmampuan menahan defekasi

眉 Diare

眉 Impaktion fekal

眉 Gangguan proses fakir/persepsi

眉 Kelemahan

4. Potensial kekurangan volume cairan sehubungan dengan diare

C. Perencanaan Keperawatan

Tujuan:

a. Mengenal eliminasi normal.

b. Kembali kekebiasaan defekasi yang regular

c. Cairan dan makanan yang sesuai

d. Olah raga teratur

e. Rasa nyaman terpenuhi

f. Integritas kulit dapat dipertahankan

g. Konsep diri baik

Rencana tindakan:

1. Kaji perubahan fakor yang memengaruhi maslah eliminasi fekal.

2. Kurang faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah seperti:

a. Konstipasi secara umum


- Membiasakan pasien untuk buang air secara teratur, misalnya pergi ke kamar

mandi satu jam setelah makan pagi dan tinggal di sana sampai ada keinginan untuk
buang

air.

- Meningkatkan asupan cairan dengan banyak minum.

- Diet yang seimbang dan makan bahan makanan yang banyak mengandung serat.

- Melakukan latihan fisik, misalnya melatih otot perut.

- Mengaturposisi yang baik untuk buang air besar, sebaiknya posisi duduk dengan

lutut melentur agar otot punggung dan perut dapat membantu prosesnya.

- Anjurkan untuk tidak memaksakan diri dalam buang air besar.

- Berikan obat laksanatif, misalnya dulcolax

TM

atau jenis obat supositoria.

- Lakukan enema (huknah)

b. Konstipasi akibat nyeri

- Tingkatkan asupan cairan.

- Diet tingkat serat

- Tingkatkan latihan setiap hari

- Berikan pelumas disekitar anus untuk mengurangi nyeri

- Kompres dingin sekitar anus mengurangi rasa gatal.


- Rendamduduk atau mandi di bak dengan air hangat (43-46 derjat celcius, selama

15 menit) jika nyeri hebat.

- Berikan pelunak feses.

- Cegah duduk lama apabila hemoroid, dengan cara berdiri tiap 1 jam kurang lebih

5-10 menit untuk menurunkan tekanan.

c. Konstipasi kolonik akibat perubahan gaya hidup

- Berikan stimulus untuk defekasi, seperti minum kopi atau jus

- Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila memungkinkan.

- Gunakan kamar mandi daripada pispot bila memungkinkan.

- Ajarkan latihan fisik dengan memberikan ambulasi, latihan rentang gerak, dan

lain-lain.

- Tingkatkan diet tinggi serat buah dan sayuran.

Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan merupakan cara yang dilakukan untuk

mengambil fases sebagai bahan pemeriksaan, yaitu pemeriksaan lengkap dan

pemeriksaan kultur (pembiakan)

1. Pemeriksaan fases lengkap merupakaan pemeriksaan fases yang terdiriatas

pemeriksaan warna, bau konsistensi, lendir, darah, dan lain-lain.

2. Pemeriksaaan fases kultur merupakan pemeriksaan fases melalui biakan dengna

cara taoucher (prosedur pengambilan fases melalui tangan).


Alat:

• Tempat penampung atau botol penambung beserta penutup.

• Etiket khusus.

• Dua batang lidi kapas sebagai alat untuk mengambil fases.

Prosedur kerja:

1. Cuci tangan.

2. Jelas prosedur yang dilakukan.

3. Anjurkan pasien untuk buang air besar lalau ambil fases melalui lidi kapas yang

elah di keluarkan, setelah selesai anjurkan pasien untuk membersihkan daerah sekitar

anusnya.

4. Masukkan bahan pemeriksaan kedalam botolyang telah disediakan..

5. Catat nama pasien dan tanggal pengambilan bahan pemeriksaan.

6. Cuci tangan.

E. Evaluasi keperawatan

Evaluasi terhadap masalah kebutuhan eliminasi fekal dapat dinilai dengan adanya

kemampuan dalam.

1. Memahami cara eliminasi yang normal.

2. Melakukan latihan secara teratur, seperti rentang gerak atau lain (jalan, berdiri, dan

lain-lain).

3. Mempertahankan defekasi secara normal yang ditunjukkan ddenga keampuan


pasien dalam pengontrol pasien dalam mengontrol defekasi tanpa bantuan
obat/enema,

berpatisipasi dalam program latihansecara teratur,defekasi tanpa harus mengedan.

4. Mempertahankan rasa nyaman yang ditunjukkan dengan kenyamanan dalam

kemampuan defekasi, tidak terjadi bleeding,tidak terjadi imflamasi, dan lain-lain.

5. Mempertahankan integrasi kulit yang ditunjukkan keringnya area perianal, tidak

adainflamasi atau ekskoriasi, keringnya kulit sekitar stoma, dan lain-lain.

1. Pengkajian

a. Kebiasaan berkemih

Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi

berkemih tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap
hari pada

waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada waktu malam
hari.

b. Pola berkemih

• Frekuensi berkemih : frekuesi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih


dalam

waktu 24 jam

• Urgensi : Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena


takut

megalami inkotinensia jika tidak berkemih


• Disuria : Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan
pada

striktur uretra, infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.

• Poliuria : Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa
adanya

peingkata asupa caira. Keadaan ini dapat terjadi pada penyekit diabetes, defisiensi
ADH, da

pen yakit kronis ginjal.

• Urinaria supresi : Keadaan produksi urine yang berhenti secara medadak. Bila
produksi

urine kurag dari 100 ml/hari dapat dikataka anuria, tetapi bila produksiya atara 100 –
500

ml/hari dapat dikataka sebagai oliguria.

c. Volume urine

Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarka dalam waktu 24 jam.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan pola eliminasi urine berdasarkan :

• Ketidakmampuan salurab kemih akibat anomali saluran urinaria

• Penurunan kapsitas atau iritasi kandung kemih akibat penyakit

• Kerusakan pada saluran kemih

• Efek pembedahan pada saluran kemih


b. Inkontinensia fungsional berdasarkan :

• Penurunan isyarat kandung kemih dan kerusakan kemampuan untuk mengenl isyarat
akibat

cedera atau kerusakan k. Kemih

• Kerusakan mobilitas

• Kehilangan kemampuan motoris dan sensoris

c. Inkontinensia refleks berdasarkan gagalnya fungsi rangsang di atas tingkatan arkus


refleks

akibat cedera pada m. spinalis

d. Inkontinensia stress berdasarkan :

• Tingginya tek. Intraabdimibal dan lemahnya otor peviks akibat kehamilan

• Penurunan tonus otot

e. Inkontinensia total berdasarkan defisit komnikasi atau persepsi

f. Inkontinensia dorongan berdasarkan penurunan kapasitas k. Kemih akibat penyakit


infeksi,

trauma, tindakan pembedahan, faktor penuaan

g. Retesi urine berdasarkan adanya hambatan pada sfingter akibat penyakit struktur,
BHP

h. Perubahan body image berdasarkan inkontinensia dan enuresis

i. Resiko terjadinya infeksi salura kemih berdasarkan pemasangan kateter, kebersihan

perineum yang kurang


j. Resiko perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d gangguan drainase
ureterostomi.

3. Perencanaan Keperawatan

Tujuan :

a. Memahami arti eliminasi urine

b. Membantu mengosongkan kandung kemih secara penuh

c. Mencegah infeksi

d. Mempertahankan integritas kulit

e. Memberikan rasa nyaman

f. Mengembalikan fungsi kandung kemih

g. Memberikan asupan secara tepat

h. Mencegah kerusakan kulit

i. Memulihkan self sistem atau mencegah tekanan emosional

Rencanakan Tindakan :

a. Monitor/obervasi perubahan faktor, tanda dan gejala terhadap masalah perubahan


eliminasi

urine, retensi dan urgensia

b. Kurangi faktor yang mempengaruhi/penyebab masalah

c. Monitor terus perubahan retensi urine

d. Lakukan kateterisasi urine


Inkontinensia dorongan

a. Pertahankan hidrasi secara optimal

b. Ajarkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan cara

c. Ajarkan pola berkemih terencana (untuk mengatasi kontraksi kandung kemih yang
tidak

biasa)

d. Anjurkan berkemih pada saat terjaga seperti setelah makan, latihan fisik, mandi

e. Anjurkan untuk menahan sampai waktu berkemih

f. lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam mengatasi iritasi kandung kemih

Inkontinensia total

a. Pertahankan jumlah cairan dan berkemih

b. Rencanakan program kateterisasi intermiten apabila ada indikasi

c. Apabila terjadi kegagalan pada latihan kandung kemih pertimbangan untuk


pemasangan

kateter indweeling.

Inkontinensia stress, kurangi faktor penyebab seperti :

a. menghilangan jaringan atau tonus otot, dengan cara :

• Ajarkan untuk mengidentifikasi otot dasar pelviks dan kekuatan dan kelemahannya
saat

melakukan latihan
• Untuk otot dasar pelviks anterior bayangkan anda mencoba menghentikan aliran
urine,

kencangkan otot-otot belakang dan depan dalam waktu 10 detik, kemudian lepaskan
atau

rileks, ulangi hingga 10 kalidan lakukan 4 kali sehari

b. Meningkatkan tekanan abdomen dengan cara :

• Latih untuk menghindari duduk lama

• Latih untk sering berkemih sedikitnya tiap 2 jam.

Inkontinensia fungsional, Ajarkan teknik merangsang refleks berkemih, dengan


berkemih

seperti : mekanisme supra pubis kutaneus

a. Ketuk supra pubis secara dalam, tajam dan berulang

b. Anjurkan pasien untuk

• Posisi setengah duduk

• Mengetuk kandung kemih secara langsug denga rata-rata 7-8 kali / detik

• Gunakan sarung tangan

• Pindahkan sisi rangsangan di atas kandung kemih untuk menentukan posisi saling
berhasil

• Lakukan hingga aliran baik

• Tunggu kurang lebih 1 menit dan ulangi hingga kandung kemih kosong

• Apabila rangsangan dua kali lebih dan tidak ada respon, berarti sudah tidak ada lagi
yang
dikeluarkan.

c. Apabila belum berhasil, lakukan hal berikut ini selama 2- 3 menit dan berikan jeda
waktu 1

menit di antara setiap kegiatan

• Tekan gland penis

• Pukul perut di atas ligamen inguinalis

• Tekan paha bagian dalam

d. Catat jumlah asupan dan pengeluaran

e. Jadwalkan program kateterisasi pada saat tertentu

4. Tindakan Keperawatan

Pengumpulan Urine untuk bahan pemeriksaan

Mengingat tujuan pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga


dibeda-

bedakan sesuai dengan tujuannya. Cara pengambilan urine tersebut atara lain :
pegambilan

urine biasa, pegambila urine steril dan pengumpulan selama 24 jam.

a. Pengambilan urine biasa merupaka pengambilan urine dengan cara mengeluarkan


urine

seperti biasa, yaitu buang air kecil. Biasanya untuk memeriksa gula atau kehamilan.

b. Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan cara dengan


menggunakan
alat steril, dilakukan dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan keteterisasi
atau

pungsi supra pubis. Pengambilan urine steril bertujuan mengetahui adanya infeksi
pada

uretra, ginjal atau saluran kemih lainnya.

c. Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine yang


dikumpulkan dalam

24 jam, bertujuan untuk mengeetahui jumlah urine selama 24 jam dan mnegukur berat
jenis

urine, asupan dan pengeluaran serta mengetahui fungsi ginjal.

Menolong untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal

Menolong BAK dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan


dengan

membantu pasien yang tidak mampu BAK sendiri dikamar kecil dengan
menggunakan alat

penampung dengan tujuan menampung urine dan mengetahui kelainan urine (warna
dan

jumlah)

Melakukan kateterisasi

Indikasi :

a. Tipe Intermitten

• Tidak mampu berkemih 8 – 12 jam setelah operasi

• Retensi akut setelah trauma uretra


• Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau analgesic

• Cedera pada tulang belakang

• Degenerasi neuromuskular secara progresif

• Pengeluaran urine residua

b. Tipe Indwelling

• Obstruksi aliran urine

• Pasca operasi saluran uretra dan struktur disekitarnya

• Obstruksi uretra

• Inkontinensia dan disorientasi berat

Menggunakan kondom kateter

Menggunakan kondom kateter merupakan tindakan keperawata dengan cara


memeberikan

kondom kateter pada pasine yang tidak mampu mengontrol berkemih. Cara ini
bertujuan agar

pasine dapat berkemih dan mempertahankannya.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum


dapat

dinilai dari adanya kemampuan dalam :


a. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan
asupan

cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi pada kandung
kemih

atau kateter.

b. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurannya distensi, volume


urine

residu, dan lancarnya kepatenan drainase

c. Mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya infeksi,
tidak

ditemukan adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa terbakar

d. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering tanpa

inflamasi an kulit di sekitar uterostomi kering.

e. Memberikan pasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak


ditemukan

adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.

f. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi


inkontinensia dan

mampu berkemih di saat ingin berkemih.

DAFTAR PUSTAKA

 Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.


Terdapat

pada:
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-kebutuhan-

eliminasi-fecal/

 Hidayat Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta:


Salemba

Medika.

 http://xsumertax.blogspot.com/2011/09/laporan-pendahuluan-kebutuhan-

eliminasi.html

 Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC

 Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:

www.kiva.org

 Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC:


Jakarta.

 Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan

Anda mungkin juga menyukai