Anda di halaman 1dari 113

TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM PADA SAAT

TERJADINYA KEJAHATAN GENOSIDA YANG DILAKUKAN


SUKU HUTU TERHADAP SUKU TUTSI DI RWANDA.

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum


Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

Nama : Arvin Brian


NIM : 130200419
Departemen : HukumInternasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

Universitas Sumatera Utara


TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM PADA SAAT
TERJADINYA KEJAHATAN GENOSIDA YANG DILAKUKAN
SUKU HUTU TERHADAP SUKU TUTSI DI RWANDA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum


Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

DISUSUN OLEH :

ARVIN BRIAN

130200419

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Abdul Rahman, SH, M.H.


NIP. 195710301984031002
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Sulaiman Hamid,SH. Makdin Munthe, SH. M.Hum.


NIP. 194712281979031001 NIP. 195508081980031004
FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa

karena berkat kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi

persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakutas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan dengan program kekhususan Hukum

Internasional. Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM pada saat

terjadinya kejahatan genosida yang dilakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi di

Rwanda.” Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kelemahan dan

kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi. Oleh karena itu,

segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka

penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari

berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


4. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Jelly Leviza S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Abdul Rahman, SH, M.H. selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Prof. SulaimanHamid,SH. selaku Dosen Pembimbing I penulis

yang telah memberi bimbingan dan masukan selama penulisan skripsi

8. Bapak Makdin Munthe, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II

penulis yang telah membimbing penulis sehingga penulis mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini

9. Ibu Prof. Sunarmi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik

penulis yang memberi semangat penulis, membimbing penulis, serta

mendoakan penulis agar dapat mewujudkan cita-cita penulis saat penulis

berkuliah di Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Dosen/ Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama

menjalani perkuliahan

11. Seluruh tenaga administrasi dan pegawai yang ada di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

12. Terkhususnya kepada kedua orangtua penulis untuk segala dukungan,

kasih sayang terutama doa yang tidak habisnya diberikan kepada penulis

Universitas Sumatera Utara


sampai penulis bisa menyelesaikan pendidikan penulis hingga Strata

Satu (S1)

13. Kepada nenek penulis yang telah membesarkan dan merawat penulis

dengan selalu memberikan curahan kasih sayang dan perhatian kepada

penulis hingga saat ini

14. Kepada sahabat-sahabat penulis grup C.SH (agung sirait, tumbur siallagan,

rizky sarni, novi harefa, nain manalu, fadil pulungan) yang selalu

membantu memberikan saran, dan menyemangati penulis

15. Kepada kekasih penulis Naomy Novelina Sianipar yang selalu mendoakan

dan menyemangati penulis.

16. Kepada Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan teman teman ILSA, terimakasih untuk semua

pengalaman yang menyenangkan saat melaksanakan program kerja ILSA

17. Kepada teman-teman grup c stambuk 2013 yang telah melaksanakan

aktivitas kuliah bersama-sama

18. Kepada teman-teman panitia natal 2016, terkhususnya ketua panitia natal

dan seluruh seksi acara panitia natal FH USU 2016

19. Sahabat-sahabat penulis lainnya Rahmad Karya, Suri Pratama, Perdana

Ketaren, Budianto, Andro Hartanto, Kelvin.

20. Kepada semua teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

semua teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih

juga atas kebersamaan ini.

Universitas Sumatera Utara


Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak

yang telah banyak membantu dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan

menjadi salah satu karya ilmiah yang dapat digunakan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan yang akan datang.

Medan, Juli 2017

Penulis

ARVIN BRIAN
NIM : 130200419

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................................

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ v

ABSTRAK ................................................................................................................. vii

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.............................................................. 11

D. Keaslian Penulisan ................................................................................ 12

E. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 13

F. Metode Penelitian .................................................................................. 16

G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 17

BAB II : TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA....................................... 19

A. Sejarah Hak Asasi Manusia .................................................................. 19

B. Instrumen-Instrumen Hak Asasi Manusia ............................................ 27

C. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat ................................................. 37

1. Genosida (Genocide) ...................................................................... 38

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity)........ 39

3. Kejahatan Perang (War Crimes) ..................................................... 41

4. Agresi (Agression) .......................................................................... 42

Universitas Sumatera Utara


BAB III : PERATURAN HUKUM INTERNASIONAL

TERHADAP KASUS KEJAHATAN GENOSIDA ......................... 44

A. Pengertian Genosida ...................................................................... 44

B. Perkembangan Kejahatan Genosida .............................................. 48

C. Konvensi Genosida dan Statuta Roma 1998 .................................. 50

BAB IV : PENYELESAIAN TERHADAP KASUS PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA DALAM KEJAHATAN GENOSIDA

DI RWANDA .................................................................................... 71

A. Penyebab terjadinya kasus kejahatan genosida di Rwanda. .......... 71

B. Langkah-langkah dalam penyelesaian pelanggaran

Hak Asasi Manusia dalam Kejahatan Genosida Rwanda .............. 84

C. Peran dunia Internasional dalam menyelesaikan kasus Kejahatan

Genosida di Rwanda ...................................................................... 89

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 93

A. Kesimpulan .................................................................................... 93

B. Saran .............................................................................................. 96

DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Arvin Brian1*
Sulaiman Hamid2**
Makdin Munthe 3***

HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia.
Keberadaannya diyakini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dri kehidupan
manusia. Meskipun kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas
berbagai tindakan yang mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak,
maka HAM pada hakikatnya telah ada ketika manusia itu ada dimuka bumi.
Penelitian yang dilakukan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian
Hukum Normatif. Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai
penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Penelitian Hukum
Normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Teknik pengumpulan data
yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) Teknik ini
dilakukan dengan cara mencari informasi dari berbagai macam buku, artikel,
jurnal, dan juga laporan penelitian, serta informasi dari sumber media massa dan
internet.
Bentuk kejahatan Genosida Menurut Hukum Internasional yaitu Kejahatan
Genosida (genocide), Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against
Humanity), Kejahatan Perang (War Crimes) dan Kejahatan Agresi (Crimes of
Aggression) dikategorikan sebagai kejahatan internasional karena kejahatan-
kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan yang paling serius, sehingga
memerlukan langkah serius juga untuk mencegah dan menindak. Untuk
menyelesaikan kasus genosida, pada tanggal 9 Desember 1948, PBB membuat
ketentuan hukum tentang genosida yang pertama, yakni, Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, ditandatangani oleh 45
negara dan terdapat 85 ratifikiasi serta penambahan. Konvensi ini mulai berlaku
pada tanggal 12 Januari 1961. 23 Konvensi ini terdiri dari 19 pasal dan khusus
membahas masalah genosida. PBB berusaha untuk “membayar” kegagalannya di
Rwanda dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda
[International Criminal Tribunal for Rwanda(ICTR)] yang berlokasi di Arusha,
Tanzania.
Kata Kunci : HAM, Kejahatan Genosida, Rwanda.

*1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


2
** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3
*** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan seperangkat hak yang menjamin

derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang disebut hak asasi manusia, yaitu

hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia

Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan sederajat dengan hak-hak yang

sama, prinsip persamaan, dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi

sosial.4

HAM merupakan sekumpulan hak yang menjamin orang untuk hidup

sesuai dengan martabat manusianya, baik sebagai individu maupun sebagai

kelompok. Dalam masyarakat abad pertengahan yang tertutup (abad kegelapan),

masalah HAM belum muncul. Saat itu, kepentingan individu dirasakan sama

dengan kepentingan antara individu dan masyarakatnya. Kehidupan individu dan

pemerintahnya merupakan satu kesatuan berdasarkan kepercayaan agama yang

sama.5

Dalam dunia yang semakin global ini, hampir di setiap negara, baik negara

maju maupun negara berkembang mulai memahami akan pentingnya keterlibatan

4
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mendefenisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang
wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia.” Lembaran Negara RI
tahun 1999 No.165, Tambahan Lembaga Negara RI No.3886.
5
Lihat Syahmin A.K., Kajian Hukum Internasional Mengenai Status Individu dan Peran
NGO’S dalam Perlindungan Hukum Internasional HAM, Simbur Cahaya No.31 Tahun XI Mei
2006, Fakultas Hukum UNSRI.

Universitas Sumatera Utara


terhadap persoalan Hak Asasi Manusia. Lebih dari itu, dengan semakin meluasnya

liberalisasi dan demokratisasi politik, makin banyak pula pemerintahan yang

setahap demi setahap mengupayakan terciptanya perlindungan HAM di negeri

masing-masing.6

Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan hak-

hak asasi manusia (HAM) sangat meningkat dalam tempo lebih dari sepuluh

tahun terakhir ini. Dari selatan Afrika ke Uni Soviet hingga ke Amerika Latin dan

tempat-tempat lain di dunia. Semenjak tahun 1989 sejumlah besar negara di

berbagai belahan dunia dan benua telah melaksanakan reformasi dan bergerak ke

arah kategori kemunculan kembalinya demokrasi dan memproklamirkan

dukungan terhadap HAM Internasional.7

Di tingkat internasional, regional, dan domestik semenjak pendirian

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945, kuatnya penghormatan

terhadap HAM ditandai dengan ditetapkannya berbagai instrumen HAM baik

dalam tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa, tingkat regional, dan tingkat

domestik.8

Dalam perspektif internasional, sejatinya HAM baru dikenal setelah PD II,

bahkan HAM kemudian dijadikan instrumen dalam interaksi antarnegara ketika

dilakukan pengadilan penjahat perang setelah PD II di Nuremberg. HAM dikenal

sebagai suatu mekanisme dalam melawan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal

6
Jack Donelly, Introduction to Human Rights, (dalam buku M.Afif Hasbullah, Politik
Hukum Ratifikasi Konvensi HAM Di Indonesia, Lamongan, UNISDA, 2005, hal 1.)
7
Satya Arinanto, Rekonsiliasi Dalam Penanganan Kasus-Kasus Pelanggaran Berat
HAM Masa Lalu, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak
Asasi Manusia R.I, Jakarta, 2008, hal 1.
8
Ibid, hal 2.

Universitas Sumatera Utara


6 (c) Piagam Nuremberg dalam hukum Internasional menyebutkan bahwa negara

dapat dikenakan hukuman oleh pengadilan mana pun atas perbuatannya

mengesahkan kejahatan terhadap rakyatnya. Pengadilan dan Piagam Nuremberg

telah mendorong DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Akan tetapi,

dalam pelaksanaannya deklarasi itu terhambat karena perang dingin antarblok.

Pada era perang tersebut dua blok yang bertikai (Ameriak Serikat dan Uni Soviet)

sama-sama mendukung rezim militer di berbagai kawasan dunia dan DUHAM

harus menyerah pada kepentingan politis.9

HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia.

Keberadaannya diyakini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dri kehidupan

manusia. Meskipun kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas

berbagai tindakan yang mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak,

maka HAM pada hakikatnya telah ada ketika manusia itu ada dimuka bumi.10

Hak Asasi Manusia sebagai perangkat hak yang melekat pada kodrat

manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugrah Tuhan untuk

menempatkan manusia dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak asasi

tersebut bukan pemberian negara dan telah ada sebelum negara dan organisasi

kekuasaan dalam masyarakat terbentuk. Penghormatan dan jaminan perlindungan

serta pemenuhan hak asasi secara efektif merupakan indikator akan tingkat

perkembangan peradaban satu bangsa. Ciri-ciri negara modern yang mengaku

sebagai negara hukum yang demokrasi yang berdasarkan konstitusi,menetapkan

9
Geoffrey QC Robertson, Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk
Mewujudkan Keadilan Global. (terjemahan), Komnas HAM Indonesia, Jakarta, 2002, hal XIV-XV.
10
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Penerbit Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005, hal 6.

Universitas Sumatera Utara


bahwa hak asasi manusia tersebut merupakan unsur penting yang harus ada dan

memperoleh perlindungan dan penghormatan yang dijamin dan dipenuhi oleh

Negara dan Pemerintah. 11

Pada masa kini, perkembangan peradilan dan pengadilan HAM tidak

terlepas dari pemahaman terhadap hukum pidana internasional (international

criminal law), yang merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan

tentang kejahatan internasional (international crimes). Dengan demikian

sebenarnya dapat dikatakan bahwa hukum pidana internasional mencakup dua

dimensi pemahaman yaitu "the penal aspects of international law" di satu pihak

termasuk hukum yang melindungi korban konflik bersenjata (international

humanitarian law) dan di lain pihak merupakan "the international aspects of

national criminal law".12

HAM merupakan hak dasar manusia yang perlu disadari dan dipahami

oleh setiap orang di dalam suatu negara. Dengan demikian, jika terjadi

pelanggaran oleh pihak lain atau oleh negara, hak tersebut dapat dituntut. HAM

juga di dalamnya berisi kewajiban yang harus ditaati oleh setiap orang dalam

suatu negara. HAM jangan diidentikkan dengan tuntutan kebebasan tanpa batas,

tetapi terkait erat dengan kebebasan yang bertanggung jawab.13

Pemahaman akan hak-hak asasi manusia dimaksudkan adalah hak-hak

yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat jadi

11
T. Daniel Sihombing Dkk., Jurnal HAM, Vol.7 No.2, Penerbit PT. Pohon Cahaya,
Jakarta, hal 70.
12
Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional,
Jakarta, 2003, hal 1.
13
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2009, hal 70

Universitas Sumatera Utara


bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan

martabatnya sebagai manusia. Paham hak-hak asasi manusia ini banyak

menimbulkan seperti kedudukan hak asasi sebagai hak, universalitas dan

relativitasnya.14

Hak-hak asasi manusia yang sudah diakui secara universal, idealnya

haruslah dihormati dan dilindungi oleh semua pihak, baik negara, organisasi

internasional antar pemerintah (inter governmental organizations), maupun non-

pemerintah (non-governmental organizations), orang-perorangan baik secara

individual ataupun kolektif. Hanya dengan penghormatan dan perlindungan yang

optimal maka hak asasi manusia benar-benar dapat ditegakkan dalam kehidupan

nyata masyarakat baik nasional maupun internasional.15

Akan tetapi hal ideal itu tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata

masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas hak asasi manusia dalam segala bentuk

dan macamnya, dari tingkatan yang paling ringan hingga yang paling berat,

hampir selalu terjadi di bumi ini. Walaupun mungkin peristiwa pelanggaran-

pelanggaran itu hanya sebagian kecil saja dibandingkan dengan peristiwa

penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, namun peristiwa

pelanggaran hukum pada umumnya pelanggaran hak asasi manusia pada

khususnya selalu menimbulkan rasa khawatir bahkan rasa cemas di kalangan

masyarakat.16

14
Ibid.
15
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, Penerbit CV. Yrama
Widya, Bandung, 2004, hal 89.
16
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Pada tataran internasional, kaidah-kaidah yang mengatur mengenai hak

asasi manusia sebagian besar telah dirumuskan dalam suatu perjanjian-perjanjian

internasional, sedangkan tataran nasional mengenai hak asasi manusia dirumuskan

di dalam peraturan perundang-undangan yang akan mengatur secara lengkap

tentang hak asasi manusia. Dalam praktisnya, pelanggaran ataupun kejahatan

terhadap hak asasi manusia yang melakukannya adalah orang atau individu

sebagai subjek-subjek hukum.17

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dapat dikategorikan sebagai

perbuatan kejahatan atau tindak pidana, yaitu karena melanggar ketentuan hukum

hak asasi manusia dengan dikenai suatu sanksi pidana di dalam lingkup nasional

maupun internasional. Jadi pada dasarnya hukum nasional maupun hukum

internasional telah memformulasikan dan mentransformasi dari pelanggaran hak

asasi manusia yang telah digolongkan sebagai kejahatan atau tindak pidana, oleh

karena itu disertai sanksi pidana sebagai hukumannya. 18

Terdapat empat kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat (Grave

Breaches) meliputi: Kejahatan Perang, Genosida, Kejahatan Kemanusiaan, dan

Agresi. Dari beberapa bentuk kejahatan yang tergolong pelanggaran Hak Asasi

Manusia berat tersebut menjadi kewenangan mutlak bagi Mahkamah Pidana

Internasional untuk mengadili para pelakunya. Hal ini berdasarkan pada Pasal 5

17
Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
hal 50.
18
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


statuta Roma tahun 1998 yang menyebutkan bahwa yurisdiksi dari International

Criminal Court (ICC) adalah sebagai berikut :19

a. Kejahatan Genosida (the crime of Genocide)

b. Kejahatan Kemanusiaan (crimes against humanity)

c. Kejahatan Perang (war crime)

d. Kejahatan Agresi (the crime of aggression)

Kejahatan yang salah satunya menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana

Internasional, yaitu Kejahatan Genosida yang merupakan tindakan kejahatan

dalam pembunuhan massal terhadap suatu kaum, kelompok, ataupun ras lain

dengan melakukan penyiksaan atau penyerangan terhadap tubuh dan kehidupan

dari kelompok atau kaum tersebut.20

Istilah genosida terdiri dari dua kata, yakni geno dan cide. Geno atau

genos berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa, atau etnis.

Sedangkan cide, caedere atau cidium berasal dari bahasa latin yang berarti

membunuh.21

Menurut Raphael Lemkin, Genosida berarti “pemusnahan kelompok etnis.


Secara umum, genosida tidak harus berarti pemusnahan yang segera terhadap
suatu bangsa. Ini diartikan sebagai adanya unsur niat yang sudah direncanakan
terlebih dahulu melalui berbagai tindakan yang ditujukan untuk menghancurkan
fondasi utama kehidupan kelompok suatu bangsa. Cara pelaksanaannya biasanya
dengan cara memecah belah institusi politik dan sosial, budaya, bahasa perasaan
kebangsaan, agama, dan pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan,
kesehatan martabat, dan bahkan kehidupan individu dari suatu kelompok”.22

19
Ibid.hal.57.
20
Ibid. hal 58.
21
Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, hal 191.
22
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman unsur-unsur Tindak Pidana
Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, MARI, Jakarta, 2006.hal.3.

Universitas Sumatera Utara


Dalam Konvensi Genosida Tahun 1998 tentang Pencegahan dan

Penghukuman bagi Kejahatan Genosida dijelaskan bahwa Genosida adalah:

“Tindakan yang dilakukan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok

bangsa, etnis, ras, dan agama.”

Tindakan itu mencakup antara lain pembunuhan, mengakibatkan penderitaan

serius terhadap jiwa dan mental, serta kemusnahan secara fisik, baik sebagian

maupun seluruhnya. Konvensi ini tidak hanya melarang segala bentuk perbuatan

kejahatan genosida, tetapi juga melarang segala bentuk tindakan yang

mengarahkan dan menghasut publik untuk melakukan genosida.23

Niat genosida dapat dimanifestasikan dalam dua bentuk. Manifestasi

tersebut adalah niat untuk membasmi sejumlah besar anggota kelompok, di mana

dalam kasus tersebut, tindakan dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok en

masse (secara massal). Namun tindakan tersebut dapat berupa penghancuran

disengaja atas sejumlah kecil orang yang dipilih, misalnya pimpinan kelompok

dengan tujuan bahwa hilangnya mereka akan mengganggu keberlangsungan

kelompok. Kondisi ini disebut dengan niat untuk menghancurkan kelompok

„secara selektif.24

Sasaran kejahatan genosida didasarkan pada keanggotaan korban dalam

sebuah kelompok. Niat untuk menghancurkan sebuah kelompok, secara

keseluruhan maupun sebagian, diperkirakan dipilih dengan alasan keanggotaan

mereka (korban) dalam kelompok yang dihancurkan. Keanggotaan korban dalam

23
Ibid. hal 4.
24
Human Rights Watch, Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan Jilid II: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional
untuk Bekas Negara Yugoslavia, ELSAM, Jakarta, 2004. hal 94.

Universitas Sumatera Utara


sebuah kelompok yang dijadikan sasaran penghancuran tidak cukup untuk

menetapkan niat untuk menghancurkan kelompok tersebut.25

Rwanda adalah sebuah negara yang berada di Afrika bagian tengah dengan

penduduk pribumi terdiri dari tiga suku, yakni suku Twa (sebanyak 1%) sebagai

suku tertua, suku Hutu (etnis mayoritas sebanyak 88%), dan suku Tutsi (11%,

etnis minoritas) sebagai orang suku yang tinggal di dusun-dusun yang menduduki

wilayah Rwanda sejak abad ke-15. Pembunuhan massal (genosida) yang terjadi di

Rwanda pada 1994 merupakan konflik yang terjadi dari akumulasi kebencian

antar etnis, yakni antara etnis Hutu dan Tutsi. Pembagian strata yang dilakukan

oleh kolonial Belgia yang menempatkan etnis Tutsi untuk menempati strata

tertinggi yang secara fisik dihubung-hubungkan memiliki kedekatan hubungan

dengan bangsa Eropa. Suku Tutsi memiliki warna lebih cerah dan hidung

mancung. Sebagai bangsa pendatang (minoritas), Belgia berusaha mendekatkan

diri dengan etnis minoritas juga (suku Tutsi). Pemerintah Belgia mulai melakukan

diskriminasi dengan lebih memberikan perhatian pada suku Tutsi dan memberi

porsi pemerintahan kepada suku Tutsi. Konflik pun dimulai setelah Rwanda

memperoleh kemerdekaannya, Belgia justru memberikan kontrol kekuasaan dan

pemerintahan pada etnis Hutu. Hal tersebut merupakan kesempatan pada etnis

Hutu untuk melakukan balas dendam dan diskriminasi yang selama ini telah

didapatkannya selain karena perbedaan pandangan dan kepentingan.26

Kesenjangan yang terjadi selama bertahun-tahun menjadi konflik skala

besar pasca terbunuhnya presiden Juvenal Habyarimana pada 6 Januari 1994,


25
Ibid, hal 96.
26
http://www.haryoprasodjo.com/2013/04/konflik-rwanda.html, diakses tanggal 02 Mei
2017.

Universitas Sumatera Utara


Pembantaian di Rwanda pada tahun 1994. Peristiwa ini bermula ketika Presiden

Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di

pesawat. Penembakan ini merupakan sebuah bentuk protes terhadap rencana

Presiden Habyarimana untuk menyatukan etnis-etnis di Rwanda dan pembagian

kekuasaan kepada masing-masing etnis tersebut. Presiden Juvenal Habyarimana

dibunuh pada tanggal 6 April 1994, beliau dibunuh saat sedang berada di dalam

pesawat yang membawa beliau dan Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira setelah

negosiasi masalah Piagam Arusha. Pesawat yang membawa kedua kepala negara

ini diledakkan oleh sebuah granat roket. Dari sinilah awal pembantaian etnis

secara terencana terhadap suku Tutsi oleh suku Hutu radikal. Kemudian, sehari

sesudah terbunuhnya Presiden Habyarimana, Angkatan Bersenjata Rwanda (FAR)

dan Interahamwe melakukan blokade di seluruh tempat di Rwanda. Anggota FAR

dan Interahamwe melakukan kampanye dimulai dari utara Negara dan menyebar

hingga ke selatan Negara. Yang menjadi target adalah suku Tutsi dan Hutu,

Perdana menteri, menteri, pastur, rakyat biasa, dan siapapun yang mendukung

rencana penyatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis

seperti yang dirancang dalam Piagam Arusha, menjadi korban dalam insiden ini.

Piagam Arusha merupakan rencana yang disusun oleh Presiden Habyarimana saat

beliau masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan Rwanda tahun 1993, setahun

sebelum beliau menjabat sebagai Presiden Rwanda. Piagam ini berisi tentang

rencana Presiden terhadap masa depan Rwanda, yaitu menyatukan suku-suku

etnis yang berada di Rwanda dan melaksanakan pembagian kekuasaan bagi

masing-masing etnis tersebut. Maka diperkirakan penyerangan terhadap Presiden

Universitas Sumatera Utara


Habyarimana ini sebagai bentuk protes para suku etnis yang tidak menginginkan

terwujudnya rencana piagam ini.27

Berdasarkan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki

semua manusia sejak berada didalam rahim ibunya sampai manusia tersebut

dilahirkan, dan setiap pelanggaran atas Hak Asasi Manusia merupakan

pelanggaran berat. Maka berdasarkan hal-hal diatas, penulis merasa tertarik untuk

membahas “Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM pada saat terjadinya kejahatan

genosida yang dilakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi di Rwanda.”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang merupakan permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana tinjauan Hukum Internasional terhadap Pelanggaran Hak Asasi

Manusia ?

2. Bagaimana peraturan Hukum Internasional terhadap Kasus Kejahatan

Genosida ?

3. Bagaimana Penyelesaian terhadap Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

dalam Kejahatan Genosida di Rwanda ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Hukum

Internasional.

27
https://www.scribd.com/document/56147346/Hukum-Internasional-Genosida-Rwanda, diakses tanggal 02 Mei
2017.

Universitas Sumatera Utara


b. Untuk mengetahui peraturan Hukum Internasional terhadap Kasus

Kejahatan Genosida.

c. Untuk mengetahui cara penyelesaian terhadap Kasus Pelanggaran

Hak Asasi Manusia dalam Kejahatan Genosida di Rwanda.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan

adalah :

a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan tentang hukum

internasional, khususnya terkait mengenai Tinjauan Yuridis

Pelanggaran HAM pada saat terjadinya kejahatan genosida yang

dilakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi di Rwanda.

b. Secara praktis

Memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang Pelanggaran

HAM pada saat terjadinya kejahatan genosida yang dilakukan suku

Hutu terhadap suku Tutsi di Rwanda kepada Almamater Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi

sesama rekan-rekan mahasiswa.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri serta

atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian

dimaksud. Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas

Universitas Sumatera Utara


Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Tinjauan Yuridis

Pelanggaran HAM pada saat terjadinya kejahatan genosida yang dilakukan suku

Hutu terhadap suku Tutsi di Rwanda belum pernah diteliti oleh peneliti

sebelumnya. Maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah

yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka

dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar

yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang

dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada

makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi

manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan

atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia

kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.

Hak asasi mencakup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan, dan hak

memiliki sesuatu. 28

Dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia nomor 39 Tahun 1999,

yang dimaksud dengan Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang

melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di

hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah,

28
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Jogjakarta, 2007, hal 3.

Universitas Sumatera Utara


dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan

martabat manusia.29

Menurut Koentjoro Poerbapranoto, HAM adalah hak-hak yang

dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari

hakikatnya sehingga sifatnya suci. Sedangkan menurut Miriam Budiarjo,

HAM adalah hak yang dimiliki setiap orang yang dibawa sejak lahir ke

dunia, hak itu sifatnya universal sebab dipunyai tanpa adanya perbedaan

kelamin, ras, budaya, suku, agama maupun sebagainya.

Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam

Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin

Lopa, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang

tanpanya mustahil dapat hidup. Pengertian hak asasi manusia menurut

Shalahuddin Hamid ialah kebenaran yang diperjuangkan kewenangannya

dan menjadi milik individu, kelompok sesuai dengan cara pandang

terhadap kebenaran baik berupa materi maupun non materi.30

2. Kejahatan Genosida

Genosida, sebagai suatu istilah, secara resmi belum terdapat dalam

kosakata Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, setidak-

tidaknya sampai Tahun 1990. Hal ini berarti istilah genosida (genocide)

dapat dikatakan tergolong baru, belum lagi makna yang terkandung di

dalamnya belum banyak awam yang memahaminya. Oleh karena itu

29
Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1.
30
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Amissco,
cet.ke-1, 2000, hal. 11.

Universitas Sumatera Utara


kehadiran buku berbahasa Indonesia mengenai seluk-beluk genosida

menjadi penting untuk menambah wawasan kita semua, khususnya aparat

yang duduk dalam pemerintahan, TNI, Polri, legislatif maupun

yudikatif.31

Kejahatan genosida, merupakan kejahatan yang berkaitan dengan

pemusnahan etnis (ethnical cleansing). Komite Keenam (Sixth Commitee)

dari Majelis Umum PBB menyimpulkan bahwa kejahatan genosida juga

mencakup kejahatan terhadap kelompok-kelompok politik (political

groups), karena dalam pandangan komite, kelompok-kelompok tersebut

adalah kelompok yang tidak dengan mudah diidentifikasi (non readily

identifiable), termasuk kelompok-kelompok politik yang akan

menyebabkan gangguan internasional dalam masalah-masalah politik

dalam negeri suatu negara.32

Oleh sebab itu, kejahatan genosida mencakup pula bentuk-bentuk

lain yang sama dengan kejahatan genosida, yaitu “ethonocide” dan

“politicide”.33

Secara yuridis, genosida di definisikan sebagai suatu tindakan

dengan menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian

31
Doortje D. Turangan, Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum
Internasional Dan Hukum Nasional, Karya Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,
Manado, 2011, hal 9.
32
M.C. Bassiouni (et.al), ILC Draft Statute for an International Criminal Court With
Suggested Modifications, Chicago, Maret 1996, hal. 28. Lihat juga pembahasan ini dalam Devy
Sondakh, Peradilan Mahkamah Internasional AD Hoc Den Haag Para Penjahat Perang Di
Wilayah Bekas Yugoslavia Dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Tesis, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 1999, hal. 53.
33
Louis R. Beres, Genocide And Genocide-Like Crimes, dalam M.C. Basiouni (Ed),
International Criminal Law, (Crimes), Volume I, Transnational Publishers, Inc. Dobbs & Ferry,
1987, hal. 271.

Universitas Sumatera Utara


kelompok bangsa, ras, etnis, atau keagamaan. Pengertian ini tercantum

dalam Pasal 2 Convention on the Prevention and Punishment of The

Crime of Genocide of 1948 atau yang juga dikenal dengan Konvensi

Genosida, yang kemudian diabsorbsi oleh Pasal 6 Rome Statute of

International Criminal Court of 1998 (Statuta Roma).

F. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian

Hukum Normatif. Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai

penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian

hukum doktriner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-

peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada pada

perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada

perpustakaan. 34 Penelitian Hukum Normatif (yuridis normatif) adalah metode

penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data

sekunder. 35 Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah penelitian

kepustakaan (library research) Teknik ini dilakukan dengan cara mencari

informasi dari berbagai macam buku, artikel, jurnal, dan juga laporan penelitian,

serta informasi dari sumber media massa dan internet.

34
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan
Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 10
35
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 13-14.

Universitas Sumatera Utara


G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar sekripsi ini dibagi dalam 5 (lima) Bab dan

masing-masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian sesuai dengan

kepentingan pembahasan.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar

Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat

Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam Bab ini penulis membahas tentang Sejarah Hak

Asasi Manusia, Instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia,

serta bentuk Pelanggaran HAM berat yang terdiri dari

Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan

Perang, dan Agresi.

BAB III : PERATURAN HUKUM INTERNASIONAL

TERHADAP KASUS KEJAHATAN GENOSIDA

Pada bab ini penulis membahas tentang Pengertian

Genosida, Perkembangan Kejahatan Genosida, serta

Konvensi Genosida dan Statu Roma 1998.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV : PENYELESAIAN TERHADAP KASUS

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM

KEJAHATAN GENOSIDA DI RWANDA

Pada bab ini, penulis membahas tentang Penyebab

terjadinya kasus kejahatan genosida di Rwanda, Langkah-

langkah dalam penyelesaian pelanggaran Hak Asasi

Manusia dalam Kejahatan Genosida Rwanda, dan Peran

dunia Internasional dalam menyelesaikan kasus Kejahatan

Genosida di Rwanda.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA

A. Sejarah Hak Asasi Manusia

Sejak para filosof Yunani hingga kebudayaan timur, khususnya Islam telah

ikut andil dalam membangun (hukum bangsa-bangsa) yang berkembang di

Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial, dan politik warga negara, baik secara

individual maupun secara kolektif telah sedemikian rupa diatur. Namun, dalam

realisasinya dari dulu hingga kini, HAM acapkali sangat tergantung kepada the

willingness of states. Begitu juga ajaran agama dan budaya setempat telah

mempengaruhi sikap masyarakat terhadap HAM. Timbulnya perbedaan persepsi

HAM antara masyarakat Barat dengan masyarakat Timur, khususnya Asia

Tenggara membuktikan adanya kaitan positif antara aspek HAM. 36

Dalam sejarah umat manusia, perjuangan untuk kemerdekaan merupakan

sebuah motor yang mempunyai arti yang sangat penting. Hal ini disebabkan

adanya kenyataan-kenyataan, pertama, bahwa semua perang dilakukan untuk

kemerdekaan, kedua, bahwa semua revolusi dimulai untuk kemerdekaan, dan

ketiga, bahwa percobaan manusia di lapangan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan

teknik mendapat daya pendorongnya dari keinginan untuk mencapai kemerdekaan

yang lebih luas.37

36
Jawahir Thontowi, 2002, Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press
Yogyakarta, Yogyakarta, hal 1.
37
Sri Sumantri, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV.Rajawali,
Jakarta, hal 30.

Universitas Sumatera Utara


Sejarah perkembangan hak asasi manusia (HAM) di dunia sudah sangat

panjang. Pemikiran mengenai hak-hak asasi manusia di dunia Barat diperkirakan

erat kaitannya pada pemikiran pada abad ke-XVII dan abad ke-XVIII. Konsep

mengenai hak suci raja (Dwine rights of kings) yang memberikan kesewenang-

wenangan kepada raja untuk menjalankan pemerintahan secara absolut, mulai

dipertanyakan keabsahannya karena dengan konsep demikin layak raja melakukan

tindakan yang sewenang-wenang dan menjatuhkan hukuman tanpa adanya proses

pengadilan dan membuat peraturan-peraturan berdasarkan apa yang dianggap baik

bagi seluruh rakyatnya.38

Secara historis, hak-hak asasi manusia adalah selalu diwarnai oleh

serangkaian perjuangan, yang tidak jarang bahkan menjelma dalam bentuk

revolusi. Sejarah juga mencatat banyak kejadian dimana orang baik secara

individu maupun kelompok, mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau

golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya, bahkan

kadang disertai dengan taruhan jiwa dan raga.39

Sejarah hak asasi dimulai dari gagasan hak asasi manusia yang muncul

sebagai akibat dari reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa yang memerintah

otoriter. Munculnya penguasa yang otoriter mendorong orang yang tertekan hak

asasinya untuk menyatakan keberadaannya sebagai mahluk yang bermartabat.

Kemudian dalam perkembangan perjuangan dalam hal mendukung perlindungan

hak asasi manusia dimulai dari gerakan hak asasi manusia di dunia.

38
Lihat dalam, Ruth Yenny Febrianty Kudadiri, Analisis Yuridis Terhadap Penahanan
Aung San Suu Kyi Oleh Junta Militer Myanmar Ditinjau Pada Instrumen Internasional Tentang
Hak Asasi Manusia, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal 20.
39
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. Cit., hal.72.

Universitas Sumatera Utara


Konsepsi HAM yang dipahami saat ini merupakan suatu hasil dari sharing

idea dari umat manusia. The New Encyclopedia Britannica, 1992, membagi

perkembangan HAM dalam beberapa tahap. Pertama, bahwa pengaruh Romawi,

(ius gentium) begitu besar pengaruhnya terhadap HAM, khususnya dalam

merumuskan hak-hak dasar bagi warga negara. Kejayaan zaman Renaissance,

yaitu sejak abad ke-13 hingga munculnya perdamaian Westphalia (1648) masih

merupakan rangkaian zaman Romawi.40

Sumber kedua rumusan konseptual HAM muncul dari beberapa doktrin

hukum alam, khususnya ajaran Thomas van Aquinas (1224-1274), Hugo De Gorte

(1583-1645). Ajaran-ajaran mereka itu kemudian disusul oleh lahirnya Magna

Charta (1215), Petisi Hak Asasi Manusia (1628), dan Undang-Undang HAM

Inggris (The English Bill Human Rights 1689). Pemikiran mereka kemudian

dielaborasi lebih modern oleh para empirisme, seperti Francis Bacon, John Locke,

dimana ajaran mereka lebih mempertegas kedudukan HAM dalam hukum alam

lebih rasional.41

Baru kemudian sejak 26 Agustus 1789, konsep HAM berkembang di

Amerika Serikat terutama sejak kemenangan Thomas Jefferson yang pada waktu

itu lebih mengkonsentrasikan kepada pengembangan teoritis John Locke, Thomas

Hobbes, dan Montesquieu.42

Secara konseptual, ada beberapa teori yang berkenaan dengan HAM,

yaitu :

40
Jahawir Thontowi, Op. Cit. hal 2.
41
Ibid.
42
Ibid, hal 3.

Universitas Sumatera Utara


1. Teori hak-hak alami (natural rights), yang berpandangan bahwa HAM

adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan

tempat.

2. Teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa hak harus

dituliskan dalam hukum yang riil, misalnya melalui konstitusi.

3. Teori relativis kultural (cultural relativist theory), teori ini merupakan

anti-tesis dari teori hak alami, karena berpandangan bahwa hak yang

bersifat universal merupakan pelanggaran terhadap dimensi kultural yang

lain, atau dalam kata lain disebut dengan imperialisme kultural.

4. Doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights), teori ini juga

menolak natural rights karena beranggapan bahwa negara atau sifat

kolektif yang menjadi sumber segala hak.43

Sejarah hak asasi manusia berawal dari dunia Barat (Eropa). Seorang filsuf

Inggris pada abad ke-17, John Locke, merumuskan adanya hak alamiah (natural

rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan,

dan hak milik. Pada waktu itu, hak masih terbatas pada bidang sipil (pribadi) dan

politik. Sejarah perkembangan hak asasi manusia ditandai adanya tiga peristiwa

penting di dunia Barat, yaitu .:

1. Magna Charta

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai

dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta

43
Majda El Muhtaj, Op. Cit., hal 2-3.

Universitas Sumatera Utara


antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan

absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada

hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai

pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak

kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu

mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus

mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi,

sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan

bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-

undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan

demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarki

konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.44

2. Revolusi Amerika

Revolusi Amerika adalah perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat

melawan penjajahan Inggris. Revolusi ini kemudian melahirkan

Declaration of independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika

Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli 1776.

3. Revolusi Perancis

Revolusi Prancis adalah penentangan rakyat Prancis pada rajanya sendiri

Louis XVI yang bertindak sewenang-wenang dan absolut. Revolusi

Prancis menghasilkan Declaration dres drotis de I’homme et du citoyen

44
A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education), IAIN jakarta press,
Jakarta, 2000, cet. 1, hal 208.

Universitas Sumatera Utara


(Pernyataan Hak-hak manusia dan warga negara). Pernyataan ini memuat

tiga hal yaitu, hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan

persaudaraan (fraternite).45

Kejadian lain dalam perkembangan hak asasi manusia yaitu terjadi pada

abad ke XX yang ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang memporak-

porandakan kehidupan manusia. Perang Dunia ini disebabkan oleh ulah para

pemimpin yang tidak mengindahkan hak asasi manusia bahkan dengan sengaja

menginjak-injaknya seperti Jerman oleh Hilter, Italia oleh Benito Musolini, dan

Jepang oleh Hirohito. Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah

rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial

ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB

membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human rights). Sidangnya

dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru

2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang

diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia

tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS

atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30

pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara

menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh

karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi

Manusia.46

45
Ibid, hal 209.
46
https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/ diakses pada
tanggal 13 Mei 2017.

Universitas Sumatera Utara


Batu tonggak hukum asasi manusia terhitung sejak disahkannya Piagam

PBB serta Deklarasi Universal HAM tahun 1948. Deklarasi Universal HAM

tahun 1948 bukanlah merupakan hukum yang mengikat. Namun demikian

Deklarasi HAM tersebut telah melandasi pembentukan norma-norma HAM

internasional yang diwujudkan dalam berbagai bentuk perjanjian internasional

yang secara hukum mengikat negara-negara pihak. Esensi hukum hak asasi

manusia internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang

dan waktu tertentu.47

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah elemen

pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional

(international bill of right) yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental.

Konvenan-konvenan internasional menetapkan tabulasi hak yang mengikat secara

hukum dan Protokol Tambahan pada Konvenan Internasional tentang Hak Sipil

dan Politik serta kedua komite yang memantau penerapan setiap konvenan

menyediakan mekanisme bagi penegakkan Hak-hak tersebut.48

Meskipun DUHAM telah di terima tetapi karena sifatnya sebagai deklarasi

yaitu berupa pernyataan, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum,

sehingga tujuan deklarasi sebagai pengakuan martbat manusia sulit diwujudkan.

Untuk itu supaya tujuan ( DUHAM ) dapat menjadi kenyataan diperlukan

alat/instrumen HAM internasional.

Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intesitas kesadaran

manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana
47
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal 28.
48
Knud D. Asplun, Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008,
hal 87.

Universitas Sumatera Utara


HAM menjadi actual karena sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal

hingga kurun waktu ini. Gerakan dan diskriminisasi HAM terus berlangsung

bahkan dengan menembus batas-batas teritorial sebuah negara. Begitu derasnya

kemauan dan daya tarik desak HAM, maka jika ada sebuah negara

diidentifikasikan melanggar dan mengabaikan HAM, dengan sekejap mata nation-

state di belahan bumi ini memberikan respon, terlebih beberapa negara yang

dijuluki sebagai adi kuasa memberikan kritik, tudingan bahkan kecaman keras

seperti embargo dan sebagainya. 49

Dalam sejarah modern, hak asasi manusia (HAM) berkembang pesat

menjadi bahan pembicaraan internasional semenjak perang dunia kedua di

pertengahan abad 20. Sejak saat itu, HAM menjadi bahan perbincangan yang luar

biasa, baik dalam konsep maupun jumlah perangkat (hukum) yang mengaturnya.

Dari istilah fundamental human rights (yang secara harfiah berarti hak dasar

manusia). Diakhir abad 20 ini di hampir seluruh dunia masalah hak-hak manusia

diangkat sebagai hal yang penting dalam Negara demokrasi. Hak asasi manusia

dianggap sebagai konsep etika politik modern dengan gagasan intinya adalah

adanya tuntutan moral yang menyangkut bagaimana manusia wajib diperlakukan

sebagai manusia, sehingga tuntutan moral itu secara potensial amat kuat untuk

melindungi orang dan kelompok yang lemah dari praktek kesewenangan mereka

yang kuat, baik karena kedudukan, usia, status, jenis kelamin dan lainnya. 50

B. Instrumen-Instrumen Hak Asasi Manusia

49
Majda El Muhtaj, Op. Cit., hal 1.
50
Komnas HAM & Insist, Pendidikan Hak Asasi Manusia : Panduan Untuk Fasilitator,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia & Insist, Yogyakarta, 2000, hal 27

Universitas Sumatera Utara


Instrumen dapat diartikan sebagai alat dan landasan sesuatu. Hukum

sebagaimana Mochtar Kusumaatmadja ungkapkan ialah suatu perangkat kaidah

dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat yang harus

mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan

hukum dalam kenyataan. Instrumen hukum disini berarti landasan dan alat

daripada hukum. Sedangkan HAM berarti hak-hak yang dimiliki manusia semata-

mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan

kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-

mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. 51

Instrumen Hukum HAM merupakan sekumpulan dasar atau peraturan-

peraturan yang mengatur tentang Penegakan, Perlindungan, dan Penghormatan

Hak Asasi Manusia dalam upaya perwujudan Hak Asasi Manusia yang

berkedaulatan secara utuh dan seimbang. Instrumen ini bersifat resmi dan

mengikat permasalahan mengenai Hak Asasi Manusia diatur dalam sebuah

peraturan yang dikenal dengan nama Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia. 52

Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dengan tujuan utama untuk memelihara

perdamaian dan keamanan, dan dengan demikian mencegah persengketaan atau

konflik bersenjata yang mewarnai hubungan internasional. Dua perang dunia

dalam jangka waktu 30 tahun telah mempora-porandakan eropa barat dan juga

telah meluas keseluruh bagian dunia lainnya, termasuk asia dan pasifik. Liga

bangsa-bangsa, pendahulu PBB, telah mengadvokasikan suatu sistem yang

51
M.Syafi‟ie, Instrumentasi Hukum Ham, Pembentukan Lembaga Perlindungan Ham di
Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi, Vol.9 No.4, 2012, hal 683.
52
Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional : Sebuah Pengantar Kontekstual,
Cianjur, Institute for Migrant Rights Press, 2007, hal 5.

Universitas Sumatera Utara


menjamin hak-hak minoritas untuk melindungi bahasa, agama, budaya tradisional,

dan rakyat perwalian yang hidup dibawah kekuasaan asing (termasuk masyarakat

yang dipindahkan melintasi perbatasan, menyusul penetapan kembali batas-batas

Negara-negara eropa oleh Negara-negara pemenang perang. Hak universal untuk

semua orang meniadakan rezim perlindungan minoritas. Hal ini tampak sebagai

suatu solusi sederhana bagi keuntungan seluruh umat manusia, namun nyatanya

sampai sekarang masih banyak kaum minoritas yang tertindas.53

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, HAM bersifat universal karena hak-

hak tersebut dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap manusia, apapun

warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau

kepercayaannya. HAM dikatakan melekat dan inheren karena hak-hak tersebut

dimiliki setiap manusia semata-mata karena keberadaannya sebagai manusia dan

bukan karena pemberian dari suatu organisasi kekuasaan manapun. HAM sifatnya

melekat karena hak-hak yang dimiliki manusia tidak dapat dirampas dan dicabut.

Dalam konteks ini sifat HAM yang melekat dan inheren pada setiap manusia

menghendaki tidak adanya institusi kekuasaan atau siapapun yang diperbolehkan

merampas dan mencabutnya kecuali adanya alasan kemanusiaan yang rasional

dan absah menurut hukum.54

Instrumen internasional dikenal sebagai Undang-undang HAM

(International Bill of Human Rights) yang diyakini sebagai standard dan menjadi

parameter penegakan hukum HAM di dunia. Hukum HAM internasional terdiri

53
Knud D. Asplun, Op. Cit., hal 88.
54
Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan
Pengertiannya Yang Klasik pada Masa-Masa Awal Perkembangannya, dalam Toleransi dan
Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia, Surabaya:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Surabaya dan The Asia Foundation, 2003, hal 4.

Universitas Sumatera Utara


dari kumpulan aturan, prosedur dan lembaga-lembaga internasional yang

dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan

terhadap HAM di semua Negara di seluruh dunia.

Dalam praktek, sumber hukum hak asasi manusia internasional yang

paling penting dan berguna barangkali adalah perjanjian-perjanjian internasional

yang secara langsung menimbulkan kewajiban bagi para Negara pihak. Namun

perlu diingat juga bahwa banyak norma-norma hak asasi manusia yang penting

justru terdapat dalam instrumen hukum hak asasi manusia internasional di luar

perjanjian, yang sifatnya tidak mengikat secara hukum, namun tetap dapat

digunakan sebagai rujukan.55

Pelaksanaan perlindungan HAM di berbagai negara dilakukan dengan

mengacu pada berbagai instrumen HAM internasional. Beberapa instrumen

hukum HAM internasional itu adalah sebagai berikut :

1. Hukum Kebiasaan

Hukum kebiasaan merupakan hukum yang diterima melalui praktik

umum. Dalam menyelesaikan berbagai sengketa intemasional, hukum

kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum yang digunakan oleh

Mahkamah Internasional. Hukum kebiasaan internasional mengenai

HAM, antara lain, terdiri dari larangan penyiksaan, larangan

diskriminasi, larangan pembantaian massal, larangan perbudakan dan

55
Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Cetakan Pertama, Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, 2008, hal 66.

Universitas Sumatera Utara


perdagangan manusia, dan larangan terhadap berbagai tindakan

pembunuhan dan sewenang-wenang.56

Menurut Starke Hukum Kebiasaan Internasional adalah “kebiasaan

yang belum memperoleh pengesahan hukum dan mungkin

bertentangan satu sama lain. Kebiasaan, harus terunifikasi dan

berkesesuaian”. Sedangkan menurut Boer Mauna Hukum Kebiasaan

Internasional adalah “Praktek-praktek negara-negara melalui sikap

dan tindakan yang diambilnya melalui suatu kebijaksanaan dan

kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan

berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain”.

Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk

bisa dipakai sebagai sumber Hukum Internasional :

a. Praktek Negara-negara:

Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa

lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration);

keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbegai

kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta

kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut

(generality).

b. Opinio Juris sive Necessitatis :

Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang

melakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk

56
http://pknips.blogspot.co.id/2015/03/instrumenhukumhaminternasional.html, diakses
pada tanggal 13 Mei 2017.

Universitas Sumatera Utara


mematuhi kebiasaan internasional tersebut sebagai sebuah hukum

yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara

tersebut.57

Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah Korespondensi

Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat

yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya,

komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh

ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional,

kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, paktek lembaga-

lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum

PBB.

2. Piagam PBB

Dasar pendirian dan tujuan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) adalah merupakan upaya kedua untuk membentuk suatu

organisasi internasional yang universal dengan tujuan utamanya adalah

memelihara perdamaian di bawah suatu sistem keamanan kolektif.58

Dua perang dunia dalam jangka waktu hanya 30 tahun telah memorak-

porandakan Eropa Barat dan juga telah meluas ke seluruh bagian dunia

lainnya, termasuk Asia dan Pasifik. Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu

PBB, telah mengadvokasikan suatu sistem yang menjamin hak-hak

57
I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit : Mandar maju,
Bandung, 2003, hal. 18.
58
Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional
Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 103.

Universitas Sumatera Utara


minoritas untuk melindungi bahasa, agama, dan budaya tradisional dan

rakyat perwalian yang hidup di bawah kekuasaan asing (termasuk

masyarakat yang dipindahkan melintasi perbatasan, menyusul

penetapan kembali batas–batas negara–Negara Eropa oleh negara-

negara pemenang perang). Hak universal untuk semua orang

meniadakan rezim perlindungan minoritas. Hal ini tampak sebagai

suatu solusi sederhana bagi keuntungan seluruh umat manusia, namun

nyatanya sampai sekarang masih banyak kaum minoritas yang

tertindas. Lebih jauh lagi, PBB sendiri, sebagaimana yang akan

diuraikan dalam bagian ini, terus berusaha untuk mengartikulasikan

instrumen-instrumen tambahan yang memuat hak-hak untuk

perempuan, masyarakat adat, anak-anak dan lain-lain.59

Piagam PBB ini merupakan traktat multilateral, yakni penuangan

kesadaran masyarakat internasional dalam memelihara perdamaian dan

keamanan kolektif, maka Piagam ini secara hukum menciptakan

kewajiban yang mengikat bagi semua negara anggota PBB. Piagam

PBB ini memuat beberpa ketetapan mengenai hak-hak asasi manusia.

Dalam Mukadimah Piagam tersebut dinyatakan suatu tekad rakyat

PBB untuk menyatakan kembali keyakinan pada hak asasi manusia,

pada martabat dan nilai manusia, pada persamaan hak antara pria dan

wanita, dan antara negara besar dan negara kecil. Pasal 1 (3) dalam

Piagam ini mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah

59
Rhona K.M. Smith, Op. Cit., hal 87

Universitas Sumatera Utara


menggalakkan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi

manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang tanpa membedakan

jenis kelamin, ras bahasa atau agama.60

Dalam mukadimah Piagam PBB disebutkan bahwa anggota PBB

bertujuan untuk menyelamatkan generasi berikut dari bencana perang,

yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak

terhitung bagi umat manusia, untuk menegaskan kembali iman dalam

hak asasi manusia, dalam martabat dan nilai pribadi manusia, dalam

kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan negara-negara besar dan

kecil, untuk membangun kondisi dimana keadilan dan penghormatan

terhadap kewajiban yang timbul dari perjanjian dan sumber hukum

internasional dapat dipertahankan, danuntuk mempromosikan

kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam kebebasan

yang lebih besar.61

Selain dalam Pasal 1 (3), juga terdapat ketentuan lain mengenai HAM

yang diatur dalam Piagam PBB :

Pasal 55 :

Dengan tujuan menciptakan keadaan yang stabil dan sejahtera, yang

diperlukan untuk hubungan perdamaian dan persahabatan antara

bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan terhadap asas-asas persamaan

hak dan hak menentukan nasib sendiri dari rakyat, maka Perserikatan

Bangsa-Bangsa akan mempromosikan:


60
http://ghitaff90.blogspot.co.id/2014/03/artikel-tentang-piagam-pbb.html diakses pada
tanggal 20 Mei 2017.
61
http://www.un.org/en/documents/charter/preamble.shtml, diakses pada tanggal 15 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


a. Tingkat hidup yang lebih tinggi. pekerjaan yang cukup bagi semua

orang, dan kondisi-kondisi bagi kemajuan ekonomi, kemajuan

sosial dan pembangunan.

b. Pemecahan masalah-masalah international dibidang ekonomi, sosial,

kesehatan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu;

serta kerjasama internasional di bidang kebudayaan dan pendidikan;

dan

c. Penghormatan hak asasi manusia seantero jagad demikian pula

pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua,

tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.

Pasal 56 : “Semua anggota berjanji kepada diri mereka sendiri untuk

melakukan tindakan secara bersama atau sendiri-sendiri dalam bekerja

sama dengan organisasi untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan

dalam Pasal 55”.62

3. The International Bill of Human Rights

The International Bill of Human Rights merupakan istilah yang

digunakan dalam pemilihan tiga instrumen utama HAM beserta

dengan protokol opsinya. Ketiga instrumen utama yang dimaksud

tersebut meliputi:

a. Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (The

International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR)

62
Pasal 55 dan 56, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Universitas Sumatera Utara


b. Pernyataan Sedunia mengenai Hak Asasi Manusia (The Universal

Declaration of Human Rights/ UDHR)

c. Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya (The International Covenant on Economic, Social, and

Cultural Rights/ICESCR)

d. Protokol opsi pertama pada ICCPR yang kini berubah menjadi

UDHR merupakan instrumen HAM terpenting. Semua instrumen

internasional HAM dan konstitusi di berbagai negara merujuk pada

UDHR.

4. Traktat-traktat pada bidang khusus HAM

Traktat atau Treaty merupakan istilah yang sudah umum dipergunakan

untuk perjanjian-perjanjian internasional antar negara-negara yang

substansinya tergolong penting bagi para pihak.63

Dalam bidang-bidang tertentu yang berkenaan dengan HAM, ada

berbagai traktat khusus yang mempunyai kekuatan mengikat bagi

negara-negara pesertanya. Adapun traktat-traktat khusus yang

terpenting adalah Konvensi tentang Status Pengungsi, Konvensi

tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, Konvensi

mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan, Perlakuan dan Penghukuman Hak Manusiawi atau yang

Merendahkan Martabat, Konvensi mengenai Hak-Hak Anak, Protokol

mengenai Status Pengungsi, Konvensi Internasional mengenai

63
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Penerbit CV. Mandar
Maju, Bandung, 2002, hal 27.

Universitas Sumatera Utara


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras, Konvensi mengenai

Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, dan Konvensi mengenai Protokol

Opsi pada ICCPR yang bertujuan menghapus hukuman mati.64

PBB membentuk organ pelengkap untuk lebih mengefektifkan

implementasi berbagai ketentuan mengenai HAM tersebut, di

antaranya, yaitu Komisi Hak Asasi Manusia (The Commission on

Human Rights/CHR). Badan ini melakukan studi, mempersiapkan

berbagai rancangan konvensi dan deklarasi, melaksanakan misi

pencarian fakta, membahas berbagai pelanggaran HAM dalam sidang-

sidang umum atau khusus PBB, serta memperbaiki prosedur

penanganan HAM.65

C. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

Pelanggaran HAM berat belum mendapat kesepakatan yang

diterima secara umum. Biasanya kata „berat‟ menerangkan kata

„pelanggaran‟, yaitu menunjukan betapa seriusnya pelanggaran yang

dilakukan. Akan tetapi, kata „berat‟ juga berhubungan dengan jenis-jenis

HAM yang dilanggar. Pelanggaran HAM berat terjadi jika yang dilanggar

adalah hak-hak berjenis non-derogable.66

Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra

ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang

64
Djaali.,et al. Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Teoritis dan Aplikasi). CV Restu
Agung, Jakarta, 2003 hal 50.
65
Ibid, hal 51.
66
Ifdal Kashim, Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran Ham Berat,
Elsam. Jakarta. 2002, hal xxiii

Universitas Sumatera Utara


sangat sistematis dan di lakukan oleh pihak pemegang kekuasaan,

sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan

kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam

(dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat

kemanusiaan).67

Setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik dalam kategori berat

atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi negara untuk

mengupayakan penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut bukan hanya

penting bagi pemulihan (reparation) hak-hak korban, tetapi juga bagi tidak

terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Jadi usaha penyelesaian

pelanggaran hak asasi manusia harus dilihat sebagai bagian dari langkah

memajukan dan melindungi hak asasi manusia secara keseluruhan. Sekecil

apapun langkah penyelesaian yang dilakukan, ia tetap harus dilihat sebagai

langkah kongkrit melawan impunitas. Itulah sasaran penyelesaian

pelanggaran hak asasi manusia, sebab tidak ada hak asasi manusia tanpa

pemulihan atas pelanggarannya. Itu sama artinya dengan mengatakan

bahwa impunitas akan terus berlangsung apabila tidak ada langkah

kongkrit untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia

dan memulihkan tatanan secara keseluruhan.68

Pelanggaran HAM berat (The most serious crime / Gross violation

of human rights) dalam hukum internasional diatur dalam International

67
Muchamad Ali Syafa‟at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan,
dalam F.Budi Hadirman, Terorisme Definisi, Aksi, dan Regulasi. Imparsial. Jakarta. 2003 Hal 63.
68
Rhona K.M. Smith. Op Cit., hal 71

Universitas Sumatera Utara


Criminal Court. Menurut pasal 5 ICC dikenal empat(4) jenis pelanggaran

HAM berat, yaitu:

1. Genosida (Genocide)

Menurut Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai

kejahatan genosida, bahwa kejahatan tersebut mencakup kejahatan

terhadap kelompok-kelompok politik (political groups), karena dalam

pandangan oleh komite PBB adalah kelompok-kelompok politik yang

tidak dengan mudah diidentifikasi (non-readly identifiable) dalam hal

kelompok politik yang akan menyebabkan gangguan internasional

dalam permasalahan politik dalam negeri suatu negara. 69

Menurut pasal 6 ICC Genosida adalah salah satu atau lebih dari

beberapa perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau

agama seperti:

a. Membunuh anggota kelompok

b. Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota kelompok

c. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruhnya atau

sebagian

d. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran

dalam suatu kelompok


69
Anis Widyawati, Op. Cit., hal 58.

Universitas Sumatera Utara


e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke

kelompok lainnya70

2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity)

Menurut William A.Schabas, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

against humanity) pertama kali dipergunakan pada tahun 1915 dalam

deklarasi bersama antara pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia pada

tanggal 24 Mei 1915. Deklarasi ini ditujukan untuk mengutuk tindakan

Turki atas kekejaman yang dilakukannya selama perang terhadap

populasi asal Armenia di Turki. Tindakan Turki ini dikatakan sebagai

kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban (crimes against

humanity an civilization).71

Menurut pasal 7 ICC, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah

satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung

ditujukan terhadap penduduk sipil seperti:

a. Pembunuhan

b. Pemusnahan

c. Perbudakan

d. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa

e. Pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-

wenang dan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional


70
I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana internasional Sebuah Pengantar, Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal 166-167.
71
Eddy O.S., Peradilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga,
Jakarta, 2010, hal 15.

Universitas Sumatera Utara


f. Penyiksaan

g. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,

kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa, atau berbagai

bentuk kekerasan seksual lainnya

h. Penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap

suatu kelompok politik, ras, bangsa,etnis, kebudayaan, agama,

jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 3 atau

kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak

diperbolehkan dalam hukum internasional sehubungan dengan

perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau kejahatan dalam

yurisdiksi mahkamah

i. Penghilangan orang secara paksa

j. Kejahatan rasial / apartheid

k. Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa, yang dengan

sengaja mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius

terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik sesorang.72

3. Kejahatan Perang (War Crimes)

Kejahatan Perang diuraikan secara rinci dalam Pasal 8 Statuta Roma,

yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari rencana atau

kebijakan atau bagian dari skala besar perintah untuk melakukan

kejahatan tersebut. Menurut Statuta Roma, kejahatan perang adalah

72
I Gede Widhiana Suarda, Op. Cit., hal 178-180.

Universitas Sumatera Utara


pelanggaran-pelanggaran berat terhadap konvensi-konvensi Jenewa 12

Agustus 1949, yaitu :

a. Perbuatan-perbuatan terhadap orang atau harta benda yang

dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dari konvensi yang relevan.

b. Pelanggaran-pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang berlaku bagi

keempat konvensi Jenewa dalam sengketa bersenjata yang bukan

bersifat internasional.

c. Pelanggaran-pelanggaran serius terhadap Pasal 3 yang berlaku bagi

keempat konvensi Jenewa dalam sengketa bersenjata yang bukan

bersifat internasional.73

4. Agresi (Agression)

Agresi adalah salah satu perbuatan yang menjadi yurisdiksi pengadilan

pidana internasional (ICC) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1)

Statuta Roma. Namun, pelaksanaan yurisdiksi atas perbuatan yang

termasuk kejahatan agresi dalam pasal tersebut masih mengalami

penundaan hingga tercapai suatu ketentuan, yang mendefinisikan dan

menetapkan kondisi kejahatan agresi tersebut, sesuai Pasal 121 dan 123

Statuta Roma.74

Menyangkut kejahatan agresi, belum ada kesepakatan mengenai

definisinya atau tindakan-tindakan pidana apa saja yang dapat

73
Ambarwati, Denny Rahmadany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam
Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 185.
74
Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas
University Press, Padang, 2006, hal 63.

Universitas Sumatera Utara


dikategorikan sebagai agresi, mengingat tidak cukupnya waktu untuk

membahas selama berlangsungnya konferensi di Roma.75

Definisi agresi itu sendiri banyak diberikan penjelasan oleh beberapa

tokoh serperti Robert Baron bahwa agresi adalah tingkah laku individu

yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang

tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Tindakan agresi

ini meliputi empat faktor yaitu tingkah laku, tujuan untuk melukai atau

mencelakakan (termasuk mematikan atau membunuh), individu yang

menjadi pelaku dan menjadi korban, serta ketidakinginan si korban

menerima tingkah laku si pelaku.76

Sedangkan menurut Leonard Barkowitz, menerangkan definisi agresi

dengan membedakan agresi ke dalam dua bentuk, yaitu agresi

instrumental (instrumental agression) dan agresi benci (hostile

agression) atau agresi impulsif (impulsive agression). Agresi

Instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh bagianisme atau

individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu.

Selanjutnya, agresi benci atau agresi impulsif adalah agresi yang

dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai

atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek

kerusakan, kesakitan, atau kematian pada sasaran atau korban.77

Sungguh sulit untuk membuat definisi tentang agresi yang dapat

diterima oleh semua pihak. Oleh karena itu, kejahatan agresi hanya
75
Ibid., hal 186.
76
E. Koeswara, Agresi Manusia, PT.Eresco, Bandung, hal 4.
77
Ibid, hal 5.

Universitas Sumatera Utara


dapat ditangani oleh Mahkamah, apabila majelis negara-negara pihak

telah mencapai kesepakatan mengenai definisi, unsur-unsur, dan

kondisi dari agresi itu sendiri.78

78
Boer Maulana, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, Fungsi, dan Era Dinamika
Global, PT.Alumni, Bandung, 2011, hal 296.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PERATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS

KEJAHATAN GENOSIDA

A. Pengertian Genosida

Kejahatan Genosida merupakan bentuk kejahatan yang mempunyai

tujuan untuk pemusnahan etnis (ethnical cleansing) dengan melakukan

penyerangan kaum lain. Menurut Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

Bangsa juga memberikan pernyataan mengenai kejahatan genosida bahwa

kejahatan tersebut mencakup kejahatan terhadap kelompok-kelompok

politik (political groups), karena dalam pandangan komite PBB adalah

kelompok-kelompok politik yang tidak dengan mudah diidentifikasi (non-

readly identifiable) dalam hal kelompok politik yang akan menyebabkan

gangguan internasional dalam permasalahan politik dalam negeri suatu

negara.79

Pada awalnya, genosida dianggap sebagai salah satu bentuk khusus

kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi akhirnya kekhususannya

menghasilkan sebuah perjanjian internasional (Konvensi Genosida) yang

sekarang telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Yang

membedakan genosida dari kejahatan berat lainnya adalah niat untuk

memusnahkan (sebagian atau seluruhnya) kelompok ras, agama, nasional

atau etnis. Yang membedakan kejahatan genosida adalah dolus specialis

atau sebuah niat khusus untuk memusnahkan, secara keseluruhan ataupun

79
Anis Widyawati, Op. Cit., hal 58.

Universitas Sumatera Utara


sebagian, sebuah kelompok tertentu. Niat khusus ini yang menaikkan

status kejahatan dari sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi

kejahatan genosida, tanpa niat ini maka tidak ada genosida.80

Defenisi Kejahatan Genosida sendiri masih tetap menjadi

perdebatan karena walaupun sejarah manusia telah menyaksikan banyak

tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan baru

dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II.

Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum,

Raphaël Lemkin, seorang pendukung utama dari konvensi internasional

tentang masalah ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini berpusat pada

adanya rencana terkoordinasi untuk menghancurkan “fondasi-fondasi

penting” dari kehidupan suatu kelompok, dengan tujuan untuk

memusnahkan kelompok tersebut.81

Menurut pasal 6 Statuta Roma, Genosida adalah salah satu atau

lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau

agama seperti:

a. Membunuh anggota kelompok

b. Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat

terhadap anggota kelompok

80
Atikah Nuraini, Hukum Pidana Internasional Dan Perempuan, Sebuah Resource Book
Untuk Praktisi, Penerbit Komnas Perempuan, Jakarta, 2013, hal 9.
81
Steven R. Ratner dan Jason S. Abram,. Melampaui Warisan Nuremberg:
Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional,
ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta, 2008, hal 40.

Universitas Sumatera Utara


c. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruhnya atau

sebagian

d. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah

kelahiran dalam suatu kelompok

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke

kelompok lainnya82

Dilihat dari pengertian genosida yang tercantum dalam Statuta

Roma pasal 6, maka unsur-unsur kejahatan genosida secara umum adalah :

1. Korban berasal dari bangsa, etnis, ras, atau agama tertentu,

2. Pelaku berniat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian

kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tertentu. 83

Untuk menyelesaikan kasus genosida, pada tanggal 9 Desember

1948, PBB membuat ketentuan hukum tentang genosida yang pertama,

yakni, ‚Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide‛, ditandatangani oleh 45 negara dan terdapat 85 ratifikiasi serta

penambahan. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 1961.23

Konvensi ini terdiri dari 19 pasal dan khusus membahas masalah

genosida.84

82
Ambarwati, Denny Rahmadany, Rina Rusman, Op. Cit., hal 183.
83
Nimas Masrullail Miftahuddini Ashar, Hukum Internasional Tentang Genosida Dalam
Perspektif Fikih Dauliy, Vol.4 No.1, 2014, hal 9.
84
Ibid, hal 12.

Universitas Sumatera Utara


Kemudian, pada 17 Juli 1998, dibuat peraturan baru tentang

genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma merupakan hasil dari

beberapa upaya untuk menciptakan sebuah pengadilan internasional.

Statuta Roma dibuat dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum perang

dan membatasi penggunaan senjata berteknologi maju yang terjadi pasca

Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Prioritas utamanya adalah untuk

mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan teradap

kemanusiaan. Dengan adanya Statuta Roma, para pelaku tindak kejahatan

terhadap umat manusia tidak dieksekusi di kotak umum atau dikirim ke

perkemahan penyiksaan, namun mereka diperlakukan sebagai penjahat

dengan sidang reguler, hak untuk membela diri dan praduga tak bersalah.

Statuta Roma mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli tahun 2002 dan

menjadi dasar dibentuknya Pengadilan Kriminal Internasional

(International Criminal Court) pada tahun 2002. Pengadilan Kriminal

Internasional merupakan sebuah tribunal permanen untuk menuntut

individual yang melanggar pada ketentuan Statuta Roma untuk membantu

sistem yudisional nasional yang telah ada. Oleh karena Statuta Roma

menjadi dasar berdirinya International Criminal Court, maka seluruh

kejahatan yang diatur di dalam Statuta Roma akan diadili di Pengadilan

tersebut.85

85
http://en.wikipedia.org/wiki/Rome-Statute-of-The-International-Criminal-Court,
diakses tanggal 10 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


B. Perkembangan Kejahatan Genosida

Kata genosida pertama kali diperkenalkan oleh seorang akademisi

berdarah Polandia-Yahudi bernama Raphael Lemkin. Dalam tulisannya,

Lemkin mengatakan bahwa:

“The crime of genocide involves a wide range of actions, including not


only deprivation of life but also the prevention of life (abortions,
sterilizations) and also devices considerably endangering life and health
(deliberate separation of families for depopulation purposes and so forth).
The acts are directed against groups, as such, and individuals are selected
for destruction only because they belong to these groups”
Sebagaimana diterjemahkan sebagai berikut:
“Kejahatan genosida mencakup tindakan yang luas, tidak hanya
pembunuhan tapi juga mencegah adanya keturunan (aborsi, sterilisasi) dan
juga sarana yang dianggap membahayakan nyawa dan kesehatan
(pemisahan keluarga secara paksa dengan tujuan untuk mengurangi
populasi, dan sebagainya). Tindakan-tindakan tersebut ditujukan terhadap
suatu kelompok dan beberapa individu yang menjadi anggota dari
kelompok tersebut.”86

Genosida dalam ilmu sosiologi termasuk sebagai bagian pola

hubungan antar kelompok. Kontak antar dua kelompok ras dapat diikuti

proses akulturasi (perpaduan budaya), dominasi (satu ras menguasai ras

yang lain), paternalism (dominasi ras pendatang), atau integrasi

(pengakuan perbedaan). Dalam kaitan dengan dominasi, menurut

Kornblum terdapat empat macam kemungkinan proses yang dapat terjadi

yaitu pengusiran, perbudakan, segregasi, asimilasi dan terakhir adalah

Genosida.87

86
R. Lemkin, “Genocide as a Crime under International Law”, American Journal of
International Law (1947) Vol. 41 No.1, 145-151.
87
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, LPFEUI, Jakarta, 2004, hal 149.

Universitas Sumatera Utara


Kata ini pertama kali digunakan oleh Raphael Lemkin, pada tahun

1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di

Amerika Serika. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos (ras,

bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan).88

Istilah genosida, namun mencantumkan pembasmian

(extermination) sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan

persekusi yang didasari atas alasan rasial atau agama sebagai perbuatan-

perbuatan kejahatan. Pemusnahan oleh rezim Nazi diadili di Pengadilan

Nuremberg sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada tanggal 9 Desember 1948, masih dalam bayang-bayang

Holocaust dan berkat upaya tak kenal lelah Lemkin, PBB menyetujui

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Genosida.

Konvensi ini menetapkan "genocide" (genosida) sebagai kejahatan

internasional, yang akan dicegah dan dihukum oleh negara-negara

penandatangannya. Meski banyak kasus kekerasan terhadap kelompok

yang terjadi sepanjang sejarah, perkembangan legal dan internasional

istilah ini terkonsentrasi pada dua periode sejarah utama yaitu pada waktu

mulai dimunculkannya istilah itu hingga diterimanya sebagai hukum

internasional (1944-1948), dan waktu diaktifkannya istilah itu yang

ditandai dengan digelarnya pengadilan penjahat internasional untuk

menuntut kejahatan genosida (1991-1998). Mencegah genosida, sebagai

88
http://jarzed08.blogspot.co.id/2014/05/kejahatan-genosida.html, diakses pada tanggal
15 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


amanat utama lainnya dari konvensi ini, tetap menjadi tantangan yang

terus dihadapi banyak negara dan individu.89

Konvensi ini juga mengkriminalisasi konspirasi untuk melakukan

genosida, langsung dan hasutan publik untuk melakukan genosida,

percobaan genosida, dan keterlibatan dalam genosida. Negara-negara

penanda tangan dapat meminta wewenang Dewan Keamanan

menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan genosida yang terjadi

di negara lain. Karena kebanyakan negara telah meratifikasi Konvensi ini,

dan hukumnya telah diterapkan di pengadilan internasional dan domestik,

maka Konvensi Genosida sudah dianggap menjadi bagian dari hukum

kebiasaan internasional.90

C. Konvensi Genosida dan Statuta Roma 1998

Salah satu instrumen HAM PBB yang mengatur mengenai

Genosida adalah Convention on the Prevention and Punishment of the

Crime of Genocide (Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman

Kejahatan Genosida). Pertimbangan dari Majelis PBB membuat deklarasi

yang berhubungan dengan genosida adalah karena genosida merupakan

kejahatan menurut hukum internasional, bertentangan dengan jiwa, serta

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat. Terbentuknya

Konvensi juga dikarenakan genosida merupakan pelanggaran terhadap

89
https://www.ushmm.org/wlc/id/article.php?ModuleId=10007865, diakses pada tanggal
17 Juni 2017.
90
Atikah Nuraini, Op.Cit., hal 9.

Universitas Sumatera Utara


Hak hidup seseorang atau sekelompok orang dan oleh karenanya

dibutuhkan suatu aturan yang berfungsi untuk melindungi hak tersebut.91

Konvensi Genosida 1948 merupakan salah satu konvensi yang

secara tegas menginginkan pembentukan suatu peradilan pidana

internasional selain peradilan pidana nasional untuk mengadili kejahatan

kemanusiaan khususnya genosida. Konvensi genosida (Convention on the

Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948) adalah salah

satu konvensi hak asasi manusia internasional yang tertua yang lahir

bahkan sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Salah

satu agenda transisional adalah pengakuan dan penghormatan hak asasi

manusia dalam sistem hukum nasional. Ratifikasi konvensi genosida

dipercaya sebagai langkah yang sangat penting bagi perlindungan dan

pemajuan hak asasi manusia.92

Genosida dalam konvensi ini merupakan perbuatan yang dilakukan

di masa damai atau pada saat perang. Genosida berarti setiap perbuatan

yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan

atau sebagian nasional, etnis, ras, atau kelompok agama seperti membunuh

anggota kelompok, menyebabkan tubuh atau mental yang berat, membawa

kehancuran fisik pada kondisi kehidupan kelompok, melakukan tindakan

91
http://aisyahrjsiregar.blogspot.co.id/2009/04/genosida.html, diakses pada tanggal 18
Juni 2017.
92
Rencana Aksi Nasional HAM yang telah berulang kali dirubah juga pernah
mengagendakan untuk meratifikasi konvensi tersebut.

Universitas Sumatera Utara


yang mencegah kelahiran di dalam kelompok, serta memindahkan secara

paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.93

Pada 8 Oktober 1945 konsep mengenai genocide untuk pertama

kali diterima secara legal formal dalam sebuah dokumen internasional,

yaitu pada pasal 6 (c) dari Piagam Nuremburg. Dalam proses pengadilan

itu sejumlah terdakwa dikenakan dakwaan melakukan Genosida. Salah

satunya dituduh dengan sengaja dan sistematis melakukan Genosida, yaitu

“the extermination of racial and national groups, against the civilian

populations of certain occupied territories in order to destroy particular

races and classes of people and national, racial or religious groups” 94

Berbeda dengan konvensi-konvensi HAM yang lain, Konvensi

Genosida tidak memiliki mekanisme seperti prosedur pelaporan periodik

oleh negara, atau prosedur bagi perorangan maupun organisasi non

pemerintah untuk mengajukan pengaduan, pencarian fakta, maupun

laporan dari pelapor khusus maupun kelompok kerja. Konvensi ini juga

tidak mempunyai badan pemantauan pelaksanaan konvensi sebagaimana

Konvensi Anti Penyiksaan yang memiliki Committee Against Torture

93
Lihat dalam, Tengku Devy Malinda, Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan
Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan, hal 32.
94
Trial of major war criminal before the International Military Tribunal, I: Official
Documents, lihat dalam Antonio Pradjasto H, Konvensi Genosida : Melindungi Hak Asasi
Manusia –
Memerangi Impunitas, hal 2.

Universitas Sumatera Utara


yang juga membantu pengembangan standar melalui resolusi atau

keputusan-keputusan lainnya.95

Konvensi untuk Pencegahan dan Penghukuman Tindak Pidana

Genosida yang disahkan oleh Sidang Umum pada 9 Desember 1948,

menyatakan bahwa penuntutan atas kejahatan genosida harus dilaksanakan

di hadapan suatu persidangan yang kompeten dari suatu negara dimana

kejahatan itu dilakukan, atau oleh semacam persidangan pidana

internasional yang memiliki yurisdiksi atas para negara penandatangan

yang telah mengakui yurisdiksi tersebut.

Dalam dekade terakhir, Konvensi Genosida telah menjadi suatu

instrumen yang kuat untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran hak

asasi manusia paling serius. Persidangan pidana internasional yang dahulu

pembentukannya oleh Sidang Umum tahun 1948, hanya bisa dibayangkan

sekarang telah terbentuk. Pengadilan Pidana Internasional bisa mengadili

kejahatan genosida yang dilakukan di mana saja di dunia sejak tanggal 1

Juli 2002, dengan catatan bahwa yurisdiksinya diakui oleh Negara-negara

yang bersangkutan seperti yang dinyatakan dalam Pasal VI. 96

95
Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan UU No. 5/1998. Disamping Konvensi Anti
Penyiksaan, Kovenan Hak SIPOL (ICCPR), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW), Konvensi Hak Anak (CRC) dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi RAS
(CERD) memiliki sistem perlindungan sejenis.
96
Sesuai dengan Pasal 12 Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional.
Dok.PBB.A / CONF183/9.

Universitas Sumatera Utara


Pemusnahan bangsa dengan sengaja (genosida) dinyatakan sebagai

kejahatan berdasarkan hukum internasional oleh Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa pada tahun 1946. Pada tahun 1948 hal ini dikuatkan dengan

disetujuinya Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan

Genosida.97 Konvensi Pencegahan dan hukuman kejahatan genosida menegaskan

bahwa :

Pasal 1

“Para Negara Peserta menguatkan bahwa genosida, apakah dilakukan pada

waktu damai atau pada waktu perang, merupakan kejahatan menurut

hukum internasional, di mana mereka berusaha untuk mencegah dan

menghukumnya”.

Pasal 2

Dalam Konvensi ini, genosida berarti setiap dari perbuatan-perbuatan

berikut, yangdilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam

keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau

agama seperti:

a. Membunuh para anggota kelompok;

b. Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota

kelompok;

c. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup

yang menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan ataupun

sebagian;

97
Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M. Zein, Instrumen Internasional Pokok Hak-
Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal 190

Universitas Sumatera Utara


d. Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah

kelahiran di dalam kelompok itu;

e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke

kelompok yang lain. 98

Kemudian dikatakan bahwa perbuatan yang dapat dihukum yang

tercantum dalam Pasal 3 yaitu :

Perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dihukum:

a. Genosida;

b. Persekongkolan untuk melakukan genosida;

c. Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida;

d. Mencoba melakukan genosida;

e. Keterlibatan dalam genosida.

Dalam konvensi genosida, ditegaskan bahwa usaha yang sistematik yang

dilakukan suatu kelompok untuk memusnahkan kelompok lain dapat dikatakan

sebagai suatu tindakan genosida, baik yang dilakukan pada masa damai maupun

pada saat situasi perang. Dalam pasal ke empat konvensi genosida juga ditegaskan

bahwa, orang yang melakukan tindakan genosida akan mendapat hukuman, tidak

terkecuali apakah orang tersebut adalah penguasa yang sah secara konstitusi,

pejabat pemerintahaan ataupun individu biasa.99

98
Dikutip dari Pasal 1-2, Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genosida.
99
Margareth. P. Karns & Karen A Mingst, International Organization; The Politics and
Processes of Global Governance, Lyne Rienner Publisher, London, 2004, hal 447.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan pada pasal ke lima konvensi genosida menjelaskan bahwa

setiap negara memilki kewajiban untuk memainkan peran memberikan hukuman

yang efektif bagi pelaku genosida, termasuk menyusun sebuah hukum yang

menyatakan bahwa genosida adalaah tindakan kejahatan yang harus dihukum.

Pasal-pasal dalam konvensi genosida tersebut menjelaskan bahwa pentingnya

peran negara dalam menjalankan dan mematuhi konvensi genosida. Konvensi

tersebut menuntut negara agar lebih aktif dalam melindingi hak azasi manusia, 100

Walaupun konvensi genosida telah ditandatangani pada tahun 1948, dan

telah diratifikasi oleh banyak negara, namun peristiwa yang mengakibatkan

pertumpahan darah dan tindakan pelanggaraan hak asasi manusia masih saja

terjadi dibeberapa negara. Sebagai contoh peristiwa yang menimbulkan banyak

korban tewas adalah peristiwa penyerangan umat muslim di Bosnia oleh pasukan

Serbia, penyerangan dan pemusnahan suku Albania di Kosovo oleh Serbia, dan

penyerangan terhadap etnis Tutsi oleh kaum ekstrimis Hutu di Rwanda. 101

Perkembangan untuk meletakkan tangung jawab langsung atas

pelanggaran hukum internasional juga dikukuhkan dalam Genocide Convention

(Konvensi tentang Pembunuhan Massal Manusia) yang telah diterima oleh Sidang

Umum PBB tanggal 9 Desember 1948. Menurut ketentuan dalam konvensi ini,

orang perorangan yang terbukti telah melakukan tindakan genosida harus

dihukum, terlepas dari persoalan apakah mereka itu bertindak sebagai orang

perorangan, pejabat pemerintah atau pimpinan pemerintahan atau negara. 102

100
Ibid, hal 450.
101
Ibid, hal 451
102
Rhona K.M. Smith, Op. Cit., hal 84

Universitas Sumatera Utara


Konvensi Genosida 1948 merupakan salah satu konvensi yang secara

tegas menginginkan pembentukan suatu peradilan pidana internasional selain

peradilan pidana nasional untuk mengadili kejahatan kemanusiaan khususnya

genosida. Majelis Umum PBB mendukung prinsip-prinsip Nuremberg sehingga

berupaya merumuskan tugas-tugas suatu Dewan Kriminal Internasional. Defenisi

dari tugas dewan ini diprakarsai melalui Resolusi 260 B (III) yang disahkan oleh

MU PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Dalam Resolusi itu Majelis Umum

meminta komisi hukum internasional untuk: Mempelajari keinginan dan

kemungkinan pendirian suatu organ pengadilan internasional untuk mengadili

orang-orang yang dituduh mengadakan pemusnahan suatu suku atau suku bangsa

atau melakukan tindakan kriminal lainnya dimana kepada orang tersebut

diberikan hak hukum yang diatur dalam konvensi-konvensi internasional.103

Konvensi Genosida yang disepakati pada tahun 1948 hingga sekarang

merupakan dokumen komprehensif tentang genosida yang pernah ditandatangani

Negara-negara. Konvensi genosida 1948 ini memiliki peran yang penting,

mengingat berbagai instrument hukum yang melandasi pendirian berbagai peraian

ad hoc pada masa berikutnya. Secara substansialm definisi “genosida” yang

dimuat dalam Konvensi Genosida 1948 belakangan diadopsi oleh Statuta ICTY,

ICTR dan Statuta Roma 1948. Selain memuat norma-norma tentang genosida,

konvensi ini sekaligus juga memuat kerangka kerjasama di antara Negara-negara

dalam kaitannya dengan upaya mencegah dan menindak kejahatan genosida.

Konvensi yang diterima oleh Negara-negara melalui Resolusi Majelis Umum

103
Marthen Napang, Sejarah Kejahatan HAM Internasional, Cetakan-1, Yusticia Press,
Makassar, 2013, hal 137.

Universitas Sumatera Utara


PBB No.260 (III) A pada tanggal 9 Desember 1948 ini mulai berlaku efektif pada

tanggal 12 Januari 1951.104

Dalam Konferensi Roma 1998 disepakati sebuah Statuta yang disebut

Statuta Roma 1998 sebagai dasar pembentukan Pengadilan Pidana Internasional

(The International Crime of Court-ICC) yang permanen. Statuta Roma 1998

mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2002, yaitu setelah lewat hari ke-60 sejak

ratifikasi negara ke-60 pada tanggal 11 April 2002 sesuai maksud Pasal 126

statuta. Pada tanggal tersebut tercatat 66 negara telah meratifikasi statuta

bersamaan dengan negara yang ke-60.105

Di dalam Pembukaan Statuta Roma 1998 yang telah berlaku efektif,

diingatkan bahwa merupakan tugas dan tanggungjawab dari setiap negara untuk

melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap kejahatan-kejahatan internasional.

Ditekankan bahwa pengadilan pidana internasional yang dibentuk sesuai dengan

statuta ini, harus menjadi pelengkap terhadap yurisdiksi pidana nasional. Hal yang

sama juga ditegaskan dalam Pasal 1 Statuta, bahwa yurisdiksi ICC terhadap

orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang serius yang menjadi

perhatian internasional, akan menjadi pelengkap yurisdiksi hukum pidana

nasional sesuai statuta ini.106

Dalam pasal 6 Statuta Roma disebutkan bahwa genosida merupakan suatu

tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan menghancurkan atau

memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras, atau kelompok, seperti:

104
Arie Siswanto, Hukum Internasional, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2015, hal 55.
105
Marthen Napang, Op. Cit., hal 4.
106
Ibid, hal 16.

Universitas Sumatera Utara


a. Membunuh anggota kelompok,

b. Menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota kelompok,

c. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang

mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik keseluruhan atau

sebagian,

d. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di

dalam suatu kelompok,

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari satu kelompok ke

kelompok lainnya.107

Salah satu latar belakang pendirian Statuta Roma adalah karena kelemahan

keempat Peradilan Internasional ad hoc yang telah terbentuk sebelumnya yang

ditujukan untuk menghukum pelaku kejahatan perang, kejahatan terhadap

kemanusiaan, genosida, dan kejahatan terhadap perdamaian. Keempat Peradilan

tersebut ialah Peradilan Nuremberg, Peradilan Tokyo, ICTY, dan ICTR.

Kelemahan-kelemahan yang mendasar tersebut, antara lain:108

1. Victor’s Justice

Dari keempat peradilan internasional yang telah tebentuk semuanya

mempunyai kesamaan, yaitu dianggap bertanggung jawab atas kejahatan

yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang kalah perang,

sementara bagi negara-negara pemenang perang akan terbebas dari

107
Pasal 6, Statuta Roma, 17 Juli 1998.
108
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Mengenal ICC
Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, 2009, hal 5–6.

Universitas Sumatera Utara


tanggung jawab. Istilah victor’s justice ini menggambarkan keadilan bagi

pemenang.

2. Selective Justice

Kelemahan lain yang terdapat dari peradilan ad hoc ialah terjadinya keadilan

tebang pilih (selective justice). Tidak semua kasus kejahatan internasional

paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan

internasional hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap mempengaruhi

stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya

kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai kesempatan

untuk diselesaikan. Hal ini berarti akan ada pelaku yang tidak ditindak dan

akan ada korban yang tidak mendapatkan keadilan dan kompensasi.

3. Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa mendatang

Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua peradilan pidana

internasional pasca Perang Dunia II namun kedua peradilan tersebut masih

memiliki keterbatasan yang sama diantaranya tidak adanya kerjasama

dengan negara dimana kejahatan internasional yang serius terjadi, tidak bisa

menghentikan konflik yang sedang berlangsung, serta jangkauan dari

penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik internal atau

internasional.

4. Muatan Politis

Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak

negara gagal membawa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan

genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang ke pengadilan.Hal

Universitas Sumatera Utara


ini disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan internasonal ad

hoc hanya bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB. Artinya, nasib

keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan Keamanan PBB

dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam

hal ini maka kepentingan politik akan lebih banyak berperan daripada

pertimbangan hukum dan keadilan.

Berdasarkan Mahkamah Peradilan Internasional atau International

Criminal Court, (ICC) yaitu mekanisme baru yang dirancang melalui perjanjian

internasional yang dibentuk di Roma dan disebut Statuta Roma 1998. Peradilan

atau Mahkamah ini terpisah dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bersifat

komplementer. Keberadaan ICC dimaksudkan untuk mencegah terulangnya

kembali peradilan yang bersifat Victor’s Justice, Selective Justice, dan Impunity

(yang hanya berdasarkan keadilan negara yang menang perang). Apabila negara

sudah tidak mau dan tidak mampu mengadili si pelaku kejahatan perang maka

akan diadili oleh ICC tanpa diskriminasi yaitu tidak memandang apakah pelaku

kejahatan perang itu berasal dari negara besar atau negara kecil. Selain itu

ditopang teori umum Hukum Internasional bahwa agar suatu negara terikat

dengan lembaga ICC, maka negara tersebut harus terlebih dahulu meratifikasi

Statuta Roma 1998.109

109
Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum
Nasional, Jurnal Hukum Internasional, Vol.5 No.3, Jakarta, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional UI, 2008, hal 515.

Universitas Sumatera Utara


Adapun Tujuan ICC adalah:110

1. Mewujudkan keadilan global, antara lain dengan memberikan pengertian

dan standar yang sama untuk kejahatan–kejahatan internasinal yang paling

serius

2. Mencegah konflik yang memakan korban anak-anak, wanita dan orang-

orang yang tidak berdosa (kekejaman yang mengguncangkan nurani umat

manusia)

3. Menghapuskan impunitas terhadap pelaku dan berkontribusi bagi

pencegahan terjadinya kembali kejahatan-kejahatan internasinal yang

paling serius

4. Mengatasi kelemahan dari pengadilan-pengadilan pidana internasional

sebelumnya

5. Menciptakan rasa keadilan bagi korban yang mencakup hak atas

kebenaran, keadilan dan pemulihan

6. Lebih mengefektifkan hukum nasional dengan memberlakukan prinsip

komplementaritas dan mencegah intervensi pengadilan internasional

terhadap pengadilan nasional

7. Mencegah politisasi dalam mengadili pelaku kejahatan internasional

dengan menjamin independensi dan imparsialitas peradilan

8. Mencegah kejahatan yang membahayakan keamanan dan perdamaian

dunia serta kemanusiaan (Statuta Roma 1998).

110
Agus Fadillah, Buku Pengenalan tentang International Criminal Court (ICC) Bagi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, FRR Law Office, Jakarta, hal 2.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 25 Statuta Roma 1998 menjelaskan mengenai ketentuan yurisdiksi

atau orang, seorang yang melakukan kejahatan didalam yurisdiksi mahkamah

bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman atas pelanggaran

yang dia lakukan.111

Pasal 25

Tanggung Jawab Pidana Perorangan :

1. Mahkamah mempunyai jurisdiksi atas orang (natural persons) sesuai

dengan Statuta ini.

2. Seseorang yang melakukan kejahatan di dalam jurisdiksi Mahkamah

bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman sesuai

dengan Statuta ini.

3. Sesuai dengan Statuta ini, seseorang bertanggung jawab secara pidana dan

dapat dikenai hukuman atas suatu kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah,

kalau orang itu:

a. Melakukan suatu kejahatan, baik sebagai seorang pribadi, bersama

orang lain atau lewat seseorang lain, tanpa memandang apakah orang

lain itu bertanggung jawab secara pidana.

b. Memerintahkan, mengusahakan atau menyebabkan dilakukannya

kejahatan semacam itu yang dalam kenyataan memang terjadi atau

percobaan.

c. Untuk keperluan mempermudah dilakukannya kejahatan tersebut,

membantu, bersekongkol atau bahkan menolong dilakukannya atau

111
Pasal 25, Statuta Roma 1998.

Universitas Sumatera Utara


percobaan untuk melakukannya, termasuk menyediakan sarana untuk

melakukannya.

d. Dengan suatu cara lain menyumbang atas dilakukannya atau percobaan

dilakukannya kejahatan tersebut oleh sekelompok orang yang

bertindak dengan suatu tujuan bersama. Sumbangan tersebut haruslah

bersifat sengaja dan haruslah:

1) Dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan tindak pidana atau

tujuan pidana kelompok itu, di mana kegiatan atau tujuan tersebut

mencakup dilakukannya suatu kejahatan dalam jurisdiksi

Mahkamah; atau

2) Dilakukan dengan mengetahui maksud dari kelompok itu untuk

melakukan kejahatan;

e. Berkenaan dengan kejahatan genosida, secara langsung atau tidak

langsung menghasut orang-orang lain untuk melakukan genosida

f. Berusaha melakukan kejahatan semacam itu dengan melakukan

tindakan yang memulai pelaksanaannya lewat suatu langkah penting,

tetapi kejahatan itu tidak terjadi karena keadaan-keadaan yang tidak

tergantung pada maksud orang tersebut. Tetapi, seseorang yang

meninggalkan usaha untuk melakukan kejahatan atau kalau tidak

mencegah dilanjutkannya kejahatan tidak dikenai hukuman

berdasarkan Statuta ini atas percobaan melakukan kejahatan itu, kalau

orang tersebut sama sekali dan secara suka rela meninggalkan tujuan

pidana itu.

Universitas Sumatera Utara


4. Tidak ada ketentuan dalam Statuta ini yang berkaitan dengan tanggung jawab

pidana individual akan mempengaruhi tanggung jawab Negara berdasarkan

hukum internasional.

Kemudian pada pasal 26 disebutkan bahwa pengadilan tidak memiliki

wewenang untuk mengadili anak berusia di bawah 18 tahun ketika anak tersebut

diduga melakukan tindak kejahatan. Selanjutnya pada Pasal 27 disebutkan bahwa

Statuta Roma berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang jabatan atau bangsa dari

pelaku yang diduga melakukan tindak kejahatan tersebut. Pertanggung jawaban

individu berlaku sama terhadap semua orang tanpa ada pembedaan, meskipun dia

seorang kepala negara atau pemerintahan atau parlemen. Statuta Roma tidak

mengecualikan seorang dari tanggung jawab pidana dibawah statute ini. Pejabat

negara akan bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan atas

nama negara.112

Pasal 27

Tidak Relevannya Jabatan Resmi:

1. Statuta ini berlaku sama terhadap semua orang tanpa suatu perbedaan atas

dasar jabatan resmi. Secara khusus, jabatan resmi sebagai seorang Kepala

Negara atau Pemerintahan, anggota suatu Pemerintahan atau parlemen, wakil

terpilih atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan

seseorang dari tanggung jawab pidana di bawah Statuta ini, demikian pula

112
Pasal 27, Statuta Roma 1998.

Universitas Sumatera Utara


dalam dan mengenai dirinya sendiri, tidak merupakan suatu alasan untuk

mengurangi hukuman.

2. Kekebalan atau peraturan prosedural khusus yang mungkin terkait dengan

jabatan resmi dari seseorang, baik di bawah hukum nasional atau

internasional, tidak menghalangi Mahkamah untuk melaksanakan

jurisdiksinya atas orang tersebut.

Pada awal pembentukan ICC terdapat kekhawatiran dari beberapa

kalangan bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma tentang ICC maka negara

harus menyetujui dan mengikatkan diri terhadap semua aturan dalam Statuta

Roma.Dengan begitu maka ICC dipandang dapat mengintervensi kedaulatan

hukum nasional suatu negara terhadap pengadilan atau sistem hukum suatu negara.

Hal tersebut tidak akan terjadi jika memahami prinsip komplementer ICC. Prinsip

komplementaritas menggarisbawahi bahwa ICC tidak dimaksudkan untuk

menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi melainkan untuk

menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena

sistem peradilan yang independen dan efektif yang tersedia. Hal ini menunjukkan

bahwa ICC harus mendahulukan sistem nasional kecuali jika sistem nasional yang

ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk

melakukan penyidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan

diambil alih menjadi di bawah yurisdiksi ICC sebagimana yang terdapat dalam

Pasal 17 Statuta Roma.113

113
UNPAD Journal of International Law: Urgensi Indonesia Untuk Mengaksesi Rome
Statute on The Establishment of The International Criminal Court Volume 5 No. 2, Department of
International Law Faculty of Law Padjadjaran University, 2006.

Universitas Sumatera Utara


Perbedaan antara Konvensi Genosida dan Statuta Roma adalah pada

Konvensi Genosida tidak diatur tentang sanksi yang akan diterima oleh pelaku

tindak kejahatan genosida, dikarenakan Konvensi Genosida menyerahkan

kewenangan sepenuhnya kepada Negara peserta di wilayahnya perbuatan

genosida itu sendiri dilakukan. Seperti yang dicantumkan pada Pasal 6 Konvensi

Genosida yaitu:

Pasal 6

Orang-orang yang dituduh melakukan genosida atau setiap dari perbuatan-

perbuatan lain yang disebutkan dalam pasal 3, harus diadili oleh suatu tribunal

yang berwenang dari Negara Peserta yang di dalam wilayahnya perbuatan itu

dilakukan, atau oleh semacam tribunal pidana internasional seperti yang mungkin

mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan para Negara peserta yang akan

menerima yurisdiksinya.

Sedangkan dalam Statuta Roma, negara yang telah meratifikasi atau

mengikat perjanjian bila terjadi tindak pidana kejahatan genosida di negaranya,

maka dapat diselesaikan di Pengadilan Mahkamah Internasional yang berpusat di

Den Haag. Dalam Pasal 15, Penuntut Umum dapat memulai penyelidikan proprio

motu atas dasar informasi tentang kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah serta

mencari informasi tambahan dari Negara, badan-badan tertentu di Perserikatan

Bangsa-Bangsa, organisasi antar-pemerintah atau organisasi non- pemerintah,

atau sumber-sumber lain terpercaya yang dianggapnya tepat, dan dapat menerima

kesaksian tertulis atau lisan di tempat kedudukan Mahkamah.

Universitas Sumatera Utara


Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan

penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan

politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa

Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, keputusan untuk melaksanakan

penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak

hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja,

tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari

berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial

Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan

tersebut dapat digugat oleh negara.114

Sanksi bagi pelaku tindak pidana kejahatan genosida tertera dalam Pasal 77

Statuta Roma yang berupa :

1. Tunduk pada pasal 110, Mahkamah dapat mengenakan satu di antara hukuman-

hukuman berikut ini kepada seseorang yang dihukum atas suatu kejahatan

berdasarkan pasal 5 Statuta ini:

a. Hukuman penjara selama tahun-tahun tertentu, yang tidak melebihi batas

tertinggi 30 tahun; atau

b. Hukuman penjara seumur hidup apabila dibenarkan oleh gawatnya

kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum.

2. Di samping hukuman penjara, Mahkamah dapat memutuskan:

114
http://junaidimaulana.blogspot.com/2013/11/sekilas-tentang-mahkamah-pidana.html,
diakses pada tanggal 20 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


a. Denda berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Hukum Acara dan

Pembuktian;

b. Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak

langsung dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga yang

bona fide.

Statuta Roma 1998 telah berlaku efektif dan menunggu pembentukan ICC

secara kelembagaan dengan segala kelengkapan organ-organnya yang terdiri dari:

Dewan Pimpinan, Divisi Banding, Divisi Peradilan dan Divisi Pra-Peradilan,

Kantor Penuntut dan Kantor Pencatat ( sesuai pasal 34 Statuta ). Organ-organ ini

diisi oleh para hakim, panitera, dan staff yang memiliki tugas dan wewenang

yudisial : mengadili, dan non yudisial : administrasi menurut jabatannya masing-

masing. Sedangkan Kantor Penuntut merupakan organ yang terpisah dari

pengadilan. Kesemuanya diangkat dan disumpah/berjanji serta menjalankan

tugasnya secara independen dan penuh waktu. Jumlah hakim ada 18 orang yang

dipilih dan diangkat secara rahasia melalui surat suara dalam rapat khusus Majelis

Negara-Negara yang terdiri dari perwakilan negara peserta yang menandatangani

Statuta ICC hasil konferensi Roma 1998.115

Dalam pembukaan Statuta Roma 1998 atau Statuta ICC yang telah berlaku

efektif tersebut diingatkan bahwa merupakan tugas dari setiap negara untuk

melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap tanggungjawab untuk

menanggulangi kejahatan-kejahatan internasional ini. Selanjutnya ditekankan

bahwa pengadilan pidana internasional yang dibentuk sesuai dengan statuta ini

115
Marthen Napang, Op. Cit., hal 227.

Universitas Sumatera Utara


harus menjadi pelengkap (komplementerik) terhadap yurisdiksi pidana nasional.

Hal yang sama juga ditegaskan dalam pasal 1 statuta, bahwa yurisdiksi ICC

terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang serius yang

menjadi perhatian internasional akan menjadi pelengkap yurisdiksi hukum pidana

nasional sesuai statuta ini.116

116
Ibid, hal 228.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENYELESAIAN TERHADAP KASUS PELANGGARAN HAK ASASI

MANUSIA DALAM KEJAHATAN GENOSIDA DI RWANDA

A. Penyebab Terjadinya Kasus Kejahatan Genosida di Rwanda

Pada masa pasca Perang Dingin, (post cold-war), kebanyakan konflik

yang terjadi di dunia merupakan konflik antar etnis (inter-ethnic conflicts), atau

perang sipil (civil wars), dan bukan konflik antar negara (inter-state conflicts).

Kebanyakan tersebut tidak lepas dari pelanggaran hak-hak asasi manusia yang

didasari akar etnis dan keagamaan.117

Berdasarkan studi terhadap konflik-konflik etnis yang terjadi, Robert

Cooper dan Mats Berdal menyebutkan dua ciri-ciri utama konflik etnis. Pertama,

konflik etnis memiliki kecenderungan berlangsung dalam waktu yang lama.

Kedua, konflik etnis umumnya terjadi antara Pemerintah dengan pergerakan

etnis.118

Michael E. Brown mendefinisikan ethnic conflict (konflik etnis) sebagai a

dispute about political, economic social, cultural, or territorial issues between

two or more ethnic communities (Sebuah perselisihan tentang masalah politik,

ekonomi sosial, budaya, atau teritorial antara dua atau lebih komunitas etnis). Jadi

secara singkat, konflik etnis merupakan konflik yang melibatkan dua atau lebih

komunitas etnis yang berlainan.119

117
David A. Lake, Donald Rothchild, “Containing Fear : The Origins and Management
Of Ethnic Conflict”, International Security, Vol.21 No.2, 1996, hal 41.
118
Robert Cooper, Mats Berdal, “Outside Intervention in Ethnic Conflicts”, Survival,
Vol.35 No.1, 1993, hal 133.
119
Arie Siswanto, Mahkamah Kejahatan Internasional, Penerbit Ghalia Indonesia,
Bogor, 2005, hal 51.

Universitas Sumatera Utara


Brown mengatakan bahwa terdapat enam kriteria yang harus dipenuhi oleh

suatu kelompok untuk bisa dikategorikan sebagai komunitas etnis. Keenam

kriteria itu adalah sebagai berikut :120

1. Kelompok itu harus memiliki nama sendiri sebagai cerminan identitas

kolektif

2. Mereka yang menjadi anggota kelompok itu meyakini bahwa mereka

berasal dari nenek moyang yang sama

3. Mereka menjadi anggota kelompok itu merasa bahwa mereka memiliki

pengalaman sejarah yang sama

4. Kelompok itu memiliki budaya yang sama

5. Kelompok itu haruslah merasa memiliki keterkaitan dengan wilayah

tertentu.

6. Para anggota kelompok harus menganggap diri mereka sebagai suatu

kelompok.

Kebanyakan orang meyakini bahwa konflik etnis dipicu oleh sebab yang

sederhana dan jelas, yakni kebencian turun-temurun (ancient hatreds) yang ada

diantara kelompok etnis yang berlainan. Sering kali kebencian antar etnis tidak

termanifestasikan ketika etnis-etnis yang memiliki potensi konfliktual itu berada

dibawah entitas politik yang bersifat otoriter.121

Di antara konflik-konflik yang muncul di era 1990-an, kasus yang terjadi

di Rwanda mungkin merupakan kasus yang menimbulkan bencana kemanusiaan

terbesar. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, antara 500.000 sampai

120
Ibid, hal 51-52.
121
Ibid, hal 52.

Universitas Sumatera Utara


800.000 orang Tutsi dan moderat Hutu, yang berseberangan dengan penguasa,

menjadi korban pembunuhan. Pemerkosaan dan penyembelihan orang terjadi

dalam jumlah yang sulit dibayangkan. Sedangkan korban-korban yang selamat

dari kematian akan dibayangi trauma seumur hidupnya. 122

Bibit-bibit perang sipil di Rwanda sebenarnya telah dimulai semenjak

tahun 1959, ketika suku hutu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan yang

dikuasai Tutsi. Penguasa kerajaan Tutsi akhirnya berhasil digulingkan pada tahun

1961 setelah pasukan militer Belgia menarik diri dari Rwanda.123

Tanggal 1 Juli 1962, Rwanda memperoleh pengakuan kemerdekaan dari

Persatuan Bangsa-Bangsa. Sistem pemerintahan yang digunakan adalah

presidensial dan ibukota negara sekaligus kota pusat pemerintahan terletak di

Kigali. Nama Rwanda diambil dari nama kerajaan terbesar pada abad ke-15 dan

disepakati ketika deklarasi kemerdekaan.124

Rwanda merupakan negara kecil dengan ukuran 26.000 km persegi,

namun memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Rwanda memiliki batas negara

dengan Uganda, Burundi, Tanzania, dan Zaire (Kongo). Negara yang dikenal

dengan “negeri seribu bukit”(the land of thousand hills) ini memiliki iklim dan

tanah yang sangat baik.125

Nenek moyang dua kelompok masyarakat terbesar di Rwanda, Hutu dan

Tutsi, telah sejak lama menduduki wilayah tersebut. Gelombang kedatangan

122
Tobias Debiel, Complex Emergencies and Humaitarian Intervention : Imperatives and
Pitfallin a Turbulent World, Law and State, Vol.55, 1997, hal 60.
123
Patrick J. O‟Halloran, Humanitarian Intervention and the Genocide in Rwanda,
Conflict Studies, Vol.277, 1995, hal 3.
124
Stephen Kinzer, A Thousand Hills : Rwanda’s Rebirth and the Man Who Can
Dreamed It, Inggris, 2008, hal 17.
125
www.sifithru.com/rwanews.htm, diakses pada tanggal 25 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


nenek moyang Tutsi ke wilayah Rwanda dan Burundi diperkirakan terjadi selama

abad ke-15 dan ke-16, berasal dari wilayah utara Afrika.126

Para ahli sejarah memperkirakan bahwa kerjaan Rwanda berawal sejak

tahun 1500-an. Warga kerajaan ini terdiri dari tiga kelompok sosial yaitu Hutu,

Tutsi, dan Twa. Hutu merupakan warga mayoritas Rwanda (85 persen), terdiri

dari kebanyakan petani miskin. Sementara Tutsi (14 persen), termasuk keluarga

Raja, hidup lebih sejahtera, memiliki tanah dan ternak, indikator kesejahteraan

dalam masyarakat tradisional Rwanda. Sedangkan Twa hanyalah kelompok kecil,

terdiri dari para pemburu yang hidup secara nomaden di area hutan.127

Dengan tanah yang subur disertai curah hujan yang turun secara teratur,

menjadikan Rwanda sebagai wilayah yang produktif dan membuat pertumbuhan

penduduk kedua etnis berkembang cepat sehingga mengantarkan Rwanda sebagai

negara dengan populasi penduduk terpadat di benua Afrika pada tahun 1994.128

Setelah beberapa abad tumbuh sebagai kerajaan otonom, Rwanda akhirnya

jatuh ke tangan pemerintahan kolonial Jerman. Kekaisaran Jerman menguasai

Rwanda berdasarkan Perjanjian Anglo-Jerman pada tahun 1890 yang

memasukkan Rwanda dan Burundi sebagai bagian dari wilayah Jerman Afrika

Timur, namun baru tahun 1897 Pemerintah Kolonial Jerman dapat secara efektif

melaksanakan kekuasaanya di wilayah tersebut.129

126
Peter Uvin, Ethnicity and Power in Burundi and Rwanda : Different Paths to Mass
Violent, Comparative Politics, Vol. 31 No.3, 1999, hal 255.
127
www.law.emory.edu/Eff.R/volumes/fall98/marlin.html, diakses pada tanggal 25 Juni
2017.
128
www.hrw.org/reports/1999/Rwanda, diakses pada tanggal 25 Juni 2017
129
Patrick J. O‟Halloran, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


Kekuasaan pemerintahan kolonial Jerman di Rwanda berlangsung sampai

dengan tahun 1916. Di tahun itu, pasukan tentara Inggris dan Belgia berhasil

memasuki wilayah Jerman Afrika Timur, namun gagal menghapus bersih oposisi

Jerman sampai November 1918. Di tahun 1922, mandat pengaturan Rwanda dan

Burundi diserahkan kepada Belgia yang melakukan konsolidasi dengan Kongo. 130

PBB membebankan tugas kepada Belgia untuk meningkatkan kemajuan

politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan para penduduk Rwanda yang berada

dalam pengawasan (trust territory), serta meningkatkan pengembangan mereka

menuju pemerintahan yang mandiri atau merdeka.131

Masuknya Belgia tidak membawa perubahan berarti, bahkan pemerintah

Belgia membuat kartu tanda penduduk yang mencantumkan asal etnis, sehingga

ada tiga macam kartu tanda penduduk bagi etnis Hutu, Tutsi, dan Twa. Nilai

ekspor kopi yang memiliki nilai ekonomi besar memperparah hubungan Hutu

dengan Tutsi karena terjadi perebutan lahan untuk ditanami kopi.132

Pada masa memerintah Rwanda, Belgia mengeluarkan ketentuan yang

menyatakan bahwa hanya warga Tutsi yang bisa menjadi pegawai pemerintahan.

Bangsa Eropa percaya bahwa etnis Tutsi lebih menyerupai mereka dibandingkan

orang-orang Rwanda lainnya, sehingga etnis Tutsi dipandang pantas memerintah

Hutu danTwa karena dianggap lebih memiliki kemampuan.133

Disamping secara sistematis disingkirkan dari posisi kekuasaan, etnis Hutu

juga dilarang mengikuti pendidikan tinggi, yang berarti juga membatasi akses

130
Ibid.
131
Christian Marlin, Loc. Cit.
132
Romeo Dallaire, Shake Hands With The Devils, Random House, Canada, 2003, hal 13.
133
www.hrw.org/reports/1999/Rwanda, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


kerja dan karir mereka dimasa selanjutnya. Hanya sedikit warga Tutsi yang

selamat dari perburuhan massal, yaitu mereka yang mendapat kesempatan belajar

di pusat-pusat seminari.134

Perubahan iklim di akhir tahun 1950-an mendukung perjuangan Hutu. Di

tengah proses dekolonisasi secara umum di Afrika, Belgia terus mendapat tekanan

dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menghadapi realita tersebut, ditambah

kenyataan semakin dekatnya kemerdekaan politik Kongo, yang merupakan

tetangga dekat Rwanda, pemerintahan kolonial dan gereja katolik mengubah

dukungannya dari minoritas Tutsi ke mayoritas Hutu dan menambah kesempatan

kepada warga Hutu untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik.135

Pergantian elite politik sebagai akibat dari Revolusi Hutu tersebut

merupakan sebuah dimensi baru yang memperkenalkan instabilitas sosial dan

politik, sekaligus menambah potensi terjadinya kekerasan etnis di Rwanda pada

masa selanjutnya. Peristiwa antara tahun 1959-1961 itu juga memaksa puluhan

ribu warga Tutsi mengungsi ke Burundi, Zaire, dan Uganda yang selanjutnya

berulangkali digunakan sebagai basis serangan bersenjata ke Rwanda oleh

kelompok pengungsi, sebuah permulaan masalah pengungsi berbau etnis bagi

negara tersebut.136

Kemenangan Parmehutu pada pemilihan umum tahun 1961 mengantarkan

Gregoire Kayibanda, seorang pemimpin Hutu mantan seminaris, menjadi presiden

Rwanda pertama. Pemerintahan baru ini melanjutkan pemberian label kepada

134
Ibid.
135
http.www.um.dk/danida/evalueringsrapporter/1997-Rwanda, diakses pada tanggal 26
Juni 2017.
136
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


semua warga Rwanda sebagai Hutu, Tutsi, atau Twa, hanya saja kartu identitas

yang pernah digunakan untuk menjamin hak istimewa bagi warga Tutsi kini justru

dipergunakan untuk mendiskriminasikan mereka baik di bidang pekerjaan

maupun pendidikan.137

Pada tahun 1973, di tengah stagnansi ekonomi dan sentiment anti Tutsi,

Jenderal Juvenal Habyarimana, Menteri Pertahanan Rwanda saat itu,

menggulingkan rezim Presiden Kayibanda melalui sebuah kudeta. Habyarimana

beralasan bahwa pemerintahan Parmehutu yang dipimpin oleh Kayibanda tidak

mampu melindungi Hutu dari kemungkinan bangkitnya Tutsi di negara

tersebut.138

Pada awal rezim Habyarimana melahirkan cukup banyak prestasi di

bidang eknonomi. Infrastruktur dan perumahan mengalami kemajuan pesat,

pelayanan sipil dimodernisasi, dan pemasangan sistem suplai air bersih yang baru

juga telah dilakukan. Kebijakan-kebijakan pemerintah mampu mendatangkan

bantuan luar negeri pada tahun 1970an-1980-an, meskipun banyak digunakan

untuk proyek-proyek berjangka pendek dan beresiko. Perbaikan ekonomi dan

kesejahteraan yang dicapai tidaklah mendasar dan sangat rentan. Kebanyakan

rakyat tetap miskin. Lebih dari 85 persen penduduk hidup di bawah garis

kemiskinan, dan sepertiga anak-anak mengalami kekurangan gizi. Pemerintah

juga menghadapi problem produksi makanan yang tidak seimbang dengan

pertumbuhan penduduk, di samping semakin kurangnya lahan yang tersedia. 139

137
Human Rights Watch, Loc. Cit.
138
Stephen B. Isabirye, Kooros M. Mahmoudi, Rwanda and Burundi : The Dynamics of
Their Tribal Conflicts, Africa Quarterly, Vol. 40 No.4, 2000, hal 32.
139
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Kemerosotan ekonomi yang dramatis dan meningkatnya korupsi serta

favoritism di kalangan Habyarimana dan orang-orang di sekitarnya, membuat para

pemimpin politik, cendekiawan, dan jurnalis mulai menuntut reformasi. Tuntutan

demokrasi di dalam negeri Rwanda didukung oleh negara-negara donor saat itu

melihat perlunya reformasi politik untuk mencapai kemajuan ekonomi. Di tengah

tuntutan dan tekanan dari dalam dan luar negeri, akhirnya Habyarimana

membentuk sebuah komisi di bulan September 1990 untuk menggarap Undang-

Undang Politik Nasional yang mengizinkan berdirinya partai-partai politik yang

berbeda.140

Tahun 1988, komunitas perantauan Tutsi di Uganda mendirikan kelompok

bersenjata yang bernama Front Patriotique Rwandais (FPR; Front Patriotik

Rwanda) dengan tujuan memperjuangkan kembali hak-hak komunitas Tutsi yang

terusir dari Rwanda via jalur perjuangan bersenjata. Youri Musevini selaku

pemimpin Uganda sendiri mendukung pendirian dan aktivitas FPR sebagai balas

jasa karena semasa perang sipil Uganda di tahun 1983-1986 dulu, orang-orang

Tutsi di Uganda ikut menjadi bagian dari pasukan Musevini dan simpatisannya.

Kemunculan FPR inilah yang nantinya menjadi penyebab utama meletusnya

perang sipil di Rwanda.141

Invasi militer pada bulan Oktober 1990 yang dilakukan FPR, menjadi slah

satu ancaman serius bagi rezim Habyarimana dan sejumlah kecil elite yang selama

ini diuntungkan. Meskipun serangan tersebut dapat dipukul mundur, FPR berhasil

140
www.puaf.umd.edu/CISSM/projects/NIC/khadiagala.htm., diakses pada tanggal 28
Juni 2017.
141
http://www.re-tawon.com/2013/03/rwanda-negara-mini-yang-menjadi-arena.html,
diakses pada tanggal 28 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


menguasai wilayah timur-laut Rwanda, dan ancamannya bersifat permanen.

Ratusan ribu penduduk terlantar akibat perang itu, dan perekonomian menjadi

semakin buruk. Serangan militer yang dilancarkan FPR ini merupakan awal

pecahnya perang sipil dan konflik berkepanjangan di era tahun 1990-an.142

Menghadapi serangan ofensif FPR, rezim Habyarimana menganggap

semua Tutsi, bukan hanya FPR, sebagai ancaman. Pasca invasi FPR di awal

Oktober itu, sejumlah 10.000 Tutsi yang ada di dalam negeri ditangkap dan

dipenjarakan. Kebanyakan dari mereka akhirnya dilepaskan beberapa bulan

selanjutnya, setelah dilakukan tekanan internasional. Banyak dari mereka disiksa

dan dibunuh.143

Presiden Habyarimana, di bawah tekanan dari oposisi domestic, FPR,

negara-negara donor, dan negara-negara tetanggam akhirnya menyetujui

perjanjian damai penuh dengan FPR dan partai-partai oposisi, serta menyetujui
144
transisi menuju demokrasi. Pemerintah Rwanda dan FPR akhirnya

menandatangani Kesepakatan Damai Arusha (The Arusha Peace Agreement) pada

tanggal 4 Agustus 1993. Implementasi perjanjian ini akan berada dalam

pengawasan PBB, yang akan menyediakan kekuatan pasukan internasional yang

netral dan fungsi tugas keamanan yang luas di bawah bab VI dan VII Piagam PBB.

Namun PBB tidak memenuhi komitmennya dalam mengawasi pelaksanaan

Perjanjian Arusha. UNAMIR, sebuah misi pasukan khusus PBB untuk Rwanda,

yang semula diproyeksikan berkekuatan 4.260 tentara dipangkas oleh DK-PBB

142
Peter Uvin, Op. Cit.,hal 259.
143
Ibid, hal 260.
144
Alex De Waal, Rakiya Omaar, The Genocide in Rwanda and the International
Response, Current History, 1995, hal 156.

Universitas Sumatera Utara


menjadi hanya berkekuatan 2.548. Mandat yang diberikan kepada misi tersebut

dibatasi sesuai bab VI Piagam PBB yaitu penyelesaian sengketa secara damai.

Operasinya pun dibatasi hanya di ibukota Kigali. Pengiriman kekuatan pasukan

ini, yang semula dijadwalkan sekitar satu bulan setelah penandatanganan, diundur

tiga bulan berikutnya sebagai akibat dari kelembaman birokrasi kantor pusat PBB

dan Dewan Keamanan.145

Pada tanggal 6 April 1994, pesawat pribadi milik Presiden Habyarimana

ditembak jatuh dekat bandar udara Kigali, menewaskan Habyarimana dan

Presiden Burundi Cyprien Ntarymira, dan semua yang ada dalam pesawat itu.

Kedua presiden tersebut baru saja kembali dari pelaksanaan KTT para pemimpin

regional yang berlangsung di Tanzania.146Peristiwa penembakan keji itu diduga

terjadi untuk unjuk protes terhadap rencana Presiden Habyarimana yang

berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan

kepada etnis-etnis yang cukup majemuk di Rwanda. Pada tahun 1990,

Habyarimana memiliki gagasan membentuk suatu pemerintahan yang melibatkan

tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%).147

Meskipun pelaku penembakan masih simpang siur dan tidak diketahui

dengan pasti, tetapi kematian Habyarimana menjadi alasan untuk memberlakukan

pembunuhan massal (Genocide) terhadap etnis Tutsi secara terencana dan

terorganisir oleh kumpulan militan teroris. Kumpulan militan ini bahkan

145
Edward A. Kolodziej, The Great Powers and Genocide : Lessons from Rwanda,
Pacifica Review, Vol. 12 No.2, 2000, hal 133.
146
www.gwu.edu/-nsarchiv/NSAEBB/NSAEBBS3/index.html. , diakses pada tanggal 30
Juni 2017.
147
http://warofweekly.blogspot.co.id/2010/10/pembantaian-rwanda-dan-munculnya-
islam.html.,diakses pada tanggal 30 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


membentuk Sistem Radio Genosidal yang digunakan untuk memberitahukan

dimana Tutsi bersembunyi. Dalam jangka 100 hari sejak kematian Habyarimana,

sekitar 800.000 atau bahkan hampir 1.000.000 warga etnis Tutsi mati secara keji

dan mengerikan.148

Peristiwa ini mengawali terjadinya upaya pemusnahan etnis (genocide)

dan pembantaian secara sistematis dan terorganisir atas etnis Tutsi dan oposisi

Hutu, serta kembali memicu perang sipil di Rwanda antara pasukan tentara

pemerintah dengan FPR. Hanya dalam waktu kurang lebih tiga bulan,

diperkirakan antara 500.000 sampai 800.000 orang terbunuh. Sementara itu, dua

juta orang mengungsi ke negara-negara tetangga, dan satu juta lainnya berada

dalam kamp-kamp pengungsian di dalam negeri.149

Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat

di Rwanda langsung diblokade. Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan

bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan

kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi. Dimulai dari ibu

kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang

mendukung piagam Arusha tanpa mempedulikan status dan sebagainya. Perdana

Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan

kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri,

pastor, dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi piagam

148
Ibid.
149
Hugh Mial, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik
Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 214.

Universitas Sumatera Utara


Arusha. Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan

secara layak.150

Operasi mereka dimulai dengan sweeping massal kartu identitas warga

negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut ada cap besar untuk

membedakan antara Hutu dan Tutsi. Teror itu pecah dan menghantui rakyat yang

tak berdaya, terutama suku Tutsi dengan pasukannya, Interahamwe, para Hutu

membantai para Tutsi. Kurang lebih 250.000 suku Tutsi dibantai pada hari itu dan

hampir 50.000 Suku Hutu tewas karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi

oleh Tutsi Rebels. Total semua korban yang tewas dari Genosida tersebut adalah

500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000 dan perhitungan bruto

akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada akhir teror tersebut, suku Tutsi

berhasil membalas para militan Hutu, dan mereka dapat menekan keberadaan

suku Hutu sampai ke perbatasan Kongo. 151

Terjadi pembunuhan suku Tutsi secara besar-besaran atau genosida, dan

kejahatan kemanusiaan lainnya berupa pemerkosaan perempuan, penyiksaan,

perusakan, dan pembakaran desa, kantor, sekolah, gereja, dan stadion. Korban

pembunuhan massal suku Tutsi sebagai tindakan genosida diperkirakan sekitar

800.000 yang merupakan ¾ dari jumlah keseluruhan suku Tutsi.152

Pelapor khusus PBB untuk Rwanda melukiskan kekejaman dan kebrutalan

pelaku genosida seperti pembunuhan besar-besaran ribuan warga Tuts, mutilasi,

150
http://dokumen.tips/documents/bab-i-ltr-blkg-genosida-di-rwanda.html, diakses pada
tanggal 30 Juni 2017.
151
http://warofweekly.blogspot.co.id/2011/03/pembantaian-rwanda.html, diakses pada
tanggal 03 Juli 2017.
152
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan
Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal 82.

Universitas Sumatera Utara


penguburan secara hidup-hidup dalam beberapa kuburan massal, dan

pemandangan yang sangat mengerikan adalah jalanan di sepanjang beberapa

kilometer dipenuhi dengan gundukan mayat yang belum terkubur.153

Kekuatan Internasional tidak dapat mencegah dan menghentikan

terjadinya genosida. Genosida di Rwanda baru berakhir setelah pasukan FPR

berhasil menguasai negeri tersebut. Serangan-serangan ofensif yang dilancarkan

oleh FPR atas pasukan pemerintah akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu

kurang lebih tiga bulan, pasukan FPR berhasil menguasai wilayah-wilayah

penting, Gitarama pada 9 Juni, Kigali pada 14 Juli, Butare pada 5 Juli, Ruhengeri

pada 14 Juli, dan Gisenyi pada 17 Juli, sebelum akhirnya menyatakan gencatan

senjata pada tanggal 18 Juli. Dua minggu setelah menguasai ibukota Kigali, FPR

mengumumkan pemerintahan baru, yang diantaranya beranggotakan para

pemimpin FPR dan menteri-menteri yang sebelumnya terpilih untuk

melaksanakan pemerintahan transisi sebagaimana disepakati dalam Perjanjian

Arusha.154

Meskipun konflik tahun 1990-an yang terjadi di Rwanda digambarkan

sebagai konflik etnis, pecahnya konflik tersebut bukan disebabkan oleh mutual

ancestral hatred atau ancestral enmities. Bibit etnisitas Hutu dan Tutsi baru mulai

muncul pada saat Mwami Rwabugiri melakukan restrukturisasi social dan politik

dalam masyarakat Rwanda, dan berkembang di era pemerintahan kolonial.155

153
Ibid, hal 83.
154
www.gwu.edu/-nsarchiv/NSAEBB/NSAEBBS3/index.html., Loc. Cit., diakses pada
tanggal 03 Juli 2017.
155
Danida, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


Krisis ekonomi sejak pertengahan 1980-an yang dampaknya dirasakan

oleh kebanyakan warga Rwanda, juga berperan besar dalam meningkatkan

kecenderungan terjadinya genosida secara cepat. Dengan jumlah populasi yang

besar sementara lahan yang dimiliki sangat terbatas, di tahun 1994 Rwanda

tercatat sebagai negara termiskin ke-15 berdasarkan statistik Bank Dunia. Faktor

kemiskinan dan kelangkaan sumber alam ini menjadi salah satu sebab utam

meningkatnya permusuhan etnis di Rwanda.156

Pasca genosida, yang terjadi antara April-Juni 1994, Rwanda muncul

sebagai tipe negara baru, yang ditandai dengan dua keyakinan. Pertama, pasca

genosida negara merasa bertanggung jawab atas keamanan setiap Tutsi secara

global, dan bukan hanya di dalam negeri Rwanda. Kedua, negara ini juga

meyakini bahwa prasyarat yang akan menentukan kelangsungan hidup Tutsi

adalah kekuasaan Tutsi. Ketegangan akan dapat terus mewarnai Rwanda dan

menjadi semacam gunung berapi yang siap meletus kapan saja.157

B. Langkah-langkah dalam penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia

dalam Kejahatan Genosida Rwanda

Statuta Tribunal Kriminal Internasional bagi Penuntutan Orang-orang

yang Bertanggung Jawab atas Genosida dan Pelanggaran Serius Hukum

Kumaniter Internasional lainnya yang dilakukan di Wilayah Rwanda dan Warga

Rwanda yang Bertanggung Jawab atas Genosida dan Pelanggaran Demikian

Lainnya yang Dilakukan di Wilayah Negara-negara Tetangga, antara 1 Januari

1994 dan 31 Desember 1994 (International Criminal tribunal for the Prosecution
156
Stephen B. Isabirye, Kooros M. Mahmoudi, Op. Cit. hal 41.
157
Mahmood Hamdani, African States, Citizenship, and War, International Affairs, Vol.
78, No.3, 2002, hal 101.

Universitas Sumatera Utara


of Persons Responsible for Genocide and Other Serious Violations of

International Humanitarian Law Commited in the Territory of Rwanda and

Rwanda Citizens Responsible for Genocide and Other Such Violations Committed

in the Territory of Neighbouring States, between 1 January 1994 and 31

December 1994), yang secara resmi disingkat the International Tribunal for

Rwanda atau yang lebih populer dengan akronimnya “ICTR”) ICTR menunjuk

tiga jenis kejahatan yang termasuk kewenangan ICTR, yakni, pertama, genosida

(genocide), kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), dan

ketiga pelanggaran Protokol Tambahan II (violations of Article 3 common to the

Geneva Conventions and Additional Protocol II).158

Pada tanggal 1 Juli 1994, Dewan Keamanan PBB mendorong dibentuknya

Komisi Ahli (Commission of Expert) yang bertugas melakukan investigasi dan

membuat rekomendasi tentang grave violations of international humanitarian law

dan evidence of possible acts of genocide di Rwanda. Pada tanggal 29 September

1994, Komisi Ahli menyerahkan laporan awalnya kepada Dewan Keamanan,

seraya merekomendasikan dibentuknya Mahkamah Kejahatan Internasional untuk

mengadili pelaku kejahatan perang dan genosida di Rwanda sejak tanggal 6 April

1994.159

Tanpa menunggu konklusi akhir dari hasil kerja Komisi Ahli, pada tanggal

8 November 1994, memutuskan untuk membentuk Mahkamah Kejahatan

Internasional. Dalam kasus Rwanda, kebutuhan akan Mahkamah Kejahatan

158
http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/04/dunia-internasional-menyikapi-
masalah.html, diakses pada tanggal 03 Juli 2017.
159
Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Penerbit
Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal 7.

Universitas Sumatera Utara


Internasional menjadi semakin mendesak karena tindakan pembalasan terhadap

mereka yang dicurigai terlibat dalam pembantaian massal mulai dilancarkan.

Sama seperti ICTY, pihak yang sangat menentukan pembentukan ICTR adalah

Dewan Keamanan PBB.160

Oleh karena itu, implikasi dari pembentukan kedua pengadilan tersebut

sangat penting bagi perkembangan hukum pidana internasional, yaitu penegakan-

penegakan kaidah-kaidah hukum pidana internasional melalui badan-badan dan

mekanisme internasional. Artinya berbeda dengan Pengadilan Nuremberg dan

Pengadilan Tokyo yang dibentuk negara-negara tertentu sebagai pemenang dalam

Perang Dunia II.161

Melalui resolusi 872 DK-PBB, sebuah misi khusus PBB untuk Rwanda

yang disebut dengan UNAMIR (United Nations Assistance Mission for Rwanda)

dibentuk pada 5 Oktober 1993. Komandan pasukan UNAMIR tiba di Kigali pada

22 Oktober 1993, yang diikuti oleh tim pendahulu yang terdiri dari 27 personil

militer pada 27 Oktober. Misi pasukan penjaga perdamaian PBB ini baru mulai

bekerja pada 1 November 1993 setelah elemen NMOG dilebur kedalam

UNAMIR.162

Sampai dengan masa tugasnya berakhir, UNAMIR tidak dapat

melaksanakan fungsinya dengan baik. Melalui resolusi 918 (1994), DK-PBB

memutuskan pembentukan UNAMIR II dengan mandate yang diperluas dan

berkekuatan 5.500 tentara. Melalui resolusi yang sama, DK-PBB juga

memberlakukan embargo senjata, amunisi, dan materi lain yang terkait ke


160
Ibid, hal 8.
161
I Gede Widhiana Suarda, Op. Cit., hal 24.
162
www.un.org/depts/DPKO/Missions/unamir.htm., diakses pada 05 Juli 2017.

Universitas Sumatera Utara


Rwanda, serta melarang penjualan senjata kepada warga Rwanda melalui teritori

negara-negara lain. Guna memonitor pelaksanaan embargo, DK-PBB juga

membentuk sebuah komisi yang terdiri dari semua anggota Dewan Keamanan.163

Permintaan PBB kepada dunia internasional untuk memenuhi kebutuhan

pasukan UNAMIR II mendapat respon dingin dari Negara-negara besar dalam

mendukung operasi tersebut. Sementara itu situasi keamanan di Rwanda, pasca

terbunuhnya Presiden Habyarimana, semakin memburuk akibat dari pecahnya

perang dan upaya genosida. Keadaan ini mendorong Sekjen PBB

merekomendasikan kepada DK untuk mempertimbangkan tawaran Prancis untuk

membantu menghadapi krisis kemanusiaan di Rwanda tersebut. Dan akhirnya

melalui resolusinya, DK-PBB memberikan otoritas kepada Perancis untuk

melaksanakan Operasi Turquoise, sebuah operasi militer unilateral dengan tujuan

memberikan perlindungan kepada para pengungsi dan mengamankan bantuan

kemanusiaan. Kemudian Operasi tersebut akhirnya ditarik mundur pada 21

Agustus di tengah kritikan adaya kepentingan Perancis di balik operasi tersebut.

Dengan ditariknya operasi Turquoise secara penuh, tanggung jawab zona

perlindungan kemanusiaan (humanitarian protection zone) dilanjutkan secara

penuh berada di tangan UNAMIR. Namun pada ahkirnya UNAMIR tidak begitu

berhasil dalam upaya perdamaian ini karena DK-PBB menetapkan mandat yang

lebih terbatas.164

163
The United Nations and Rwanda, (New York : Department of Public Information, UN),
1996, hal 47-48.
164
http://hartantowae.blogspot.co.id/2012/02/konflik-rwanda.html, diakses pada tanggal
10 Juli 2017.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun secara umum misi UNAMIR dianggap gagal, harus diakui

bahwa para personilnya telah melakukan tindakan yang berani dalam menghadapi

kekacauan di Rwanda, dan dalam menyelamatkan banyak nyawa, baik dari

kalangan sipil, pimpinan politik, maupun staff PBB, meskipun dengan resiko

kehilangan nyawa mereka sendiri.

Berbagai upaya mengakhiri kekerasan selalu saja gagal sampai akhirnya

dicapai kesepakatan gencatan senjata pada tahun 1992. Komisi kebenaran Rwanda

yang lahir setelah itu tidak bisa dipisahkan dari dicapainya kesepakatan

menghentikan kekerasan antara pemerintah dan kelompok bersenjata. Komisi itu

kemudian disetujui dalam kesepakatan Arusha di Tanzania akhir tahun 1992.

Selanjutnya lima Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia Rwanda

memprakarsai pendirian sebuah Komisi dengan mengundang LSM dari Amerika

Serikat, Kanada, Perancis dan Burkino Fuso. Setelah membicarakan segala

masalah di sekitar rencana pendirian Komisi, keempat LSM dari empat Negara

tersebut akhirnya sepakat membentuk “Komisi Internasional untuk menyelidiki

berbagai pelanggaran HAM di Rwanda sejak 1 Oktober 1990”. Penentuan tanggal

itu dimaksudkan untuk mencakup periode perang saudara. Upaya Komisi

melakukan penyelidikan ternyata tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan

militer Rwanda. Terjadi aneka tindakan teror, penculikan dan bahkan

pembunuhan terhadap sejumlah orang yang diharapkan memberikan kesaksian di

depan Komisi. Keadaan menjadi lebih buruk setelah Komisi meninggalkan

Universitas Sumatera Utara


Rwanda karena terjadi pembunuhan besar-besaran yang menewaskan sekitar 300-

500 jiwa. 165

Bernard Munyagishari, seorang pimpinan kelompok etnis Hutu yang

bertanggung jawab atas pembantaian massal di Rwanda, ditangkap di Kongo.

Munyagishari ditahan dan dibawa ke Kinshasa, Ibu Kota Kongo. Dia dituduh

memimpin milisi Interahamwe yang terlibat dalam aksi perkosaan dan

pembunuhan massal terhadap etnis Tutsi. Dewan Keamanan PBB sangat

menyambut tertangkapnya Munyagishari dan mengucapkan selamat terhadap

otoritas yang berhasil dalam kerja samanya dengan mahkamah internasional.

Dewan Keamanan PBB juga masih mencari beberapa buronan lainnya yang

terkait dalam kasus yang sama.166

C. Peran dunia Internasional dalam menyelesaikan kasus Kejahatan

Genosida di Rwanda

Banyak pihak menilai, genosida di Rwanda ini sebenarnya tidak perlu

terjadi seandainya PBB mau bertindak untuk melakukan intervensi dari sejak awal

sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Konvensi Genosida. Pada konteks ini,

dipandang dari segi apapun, kasus di Rwanda adalah titik terendah kegagalan

PBB dalam melakukan peranannya. Tidak hanya Majelis Umum PBB yang

memalingkan muka dari terjadinya genosida ini, tetapi juga pasukan PBB yang

dikirim ke wilayah ini turut bertanggung jawab terhadap sejumlah pembunuhan

yang terjadi. Keterlibatan pasukan perdamaian PBB dalam sejumlah pembunuhan

165
http://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/Pengadilan%20HAM%20dalam%20konte
ks%20-%20ifdhal%20kasim.pdf, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
166
http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_PerkembKonsepTanggungJwbAtasanTh
dKejahatanPlgSerius.pdf, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.

Universitas Sumatera Utara


di Rwanda terungkap dari adanya bukti, pasukan perdamaian Belgia dan Ghana di

Rwanda malah menyerahkan suku Tutsi yang seharusnya mereka lindungi kepada

pasukan penembak Interhamwe.167

Kegagalan PBB untuk mewujudkan janji-janjinya tidak terlepas kaitannya

dengan sistem PBB sendiri yang tidak dirancang baik secara struktural maupun

psikologis untuk bisa mewujudkan janji-janji tersebut. Organ di PBB memang

dapat membuat keputusan yang mengikat kepada anggotanya, namun hal itu tidak

bisa berjalan jika tidak ada dukungan kekuatan dari Dewan Keamanan.168

Dengan kata lain, ada konteks penguasaan realpolitik yang “bermain” di

tubuh PBB, yang pada akhirnya terus menggerogoti kedaulatan negara dan prinsip

netralitas petugas dan prosedur PBB itu sendiri. Hak veto yang dimiliki oleh

negara-negara superpower anggota tetap Dewan Keamanan PBB, misalnya,

seringkali dijadikan ancaman atau digunakan secara tidak konsisten dan sinis

untuk berbagai krisis internasional yang terjadi. Hak veto tersebut telah

menghilangkan otoritas moral Dewan Keamanan untuk menilai apa yang

sebenarnya penting untuk bentuk hukum manapun, baik secara nasional maupun

internasional.169

PBB berusaha untuk “membayar” kegagalannya di Rwanda dengan

membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda [International

Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB

167
https://dauzsy.wordpress.com/2007/08/17/hotel-rwnda-genosida-di-rwanda-dan-
kegagalan-pbb/, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
168
Geoffrey Robertson Q.C., Op. Cit., hal 514.
169
Ibid. hal 515.

Universitas Sumatera Utara


No. S/RES/955 tahun 1994. Pengadilan ad hoc yang masih merupakan bagian dari

Mahkamah Internasional Den Haag ini, berlokasi di Arusha, Tanzania.170

ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang

bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang

melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang Rwanda di

negara-negara tetangga selama tahun 1994. Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan

genosida; pelanggaran Pasal 3 seluruh Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol

Tambahan II 1977; dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan yuridiksinya,

ICTR telah mengadili sekitar 70 orang, termasuk Jean Kambanda, mantan

Perdana Menteri Rwanda.171

Pembunuhan besar-besaran di Rwanda sayangnya tidak mendapatkan

perhatian besar dari dunia internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika

Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena negeri ini tidak

memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional. Jadi negeri yang lain

tidak memiliki national interest terhadap Rwanda. Selain itu, negeri ini tidak

memiliki sumber daya alam yang menguntungkan menurut negara-negara tersebut.

Pihak internasional baru benar-benar turun tangan menyelesaikan konflik yang

terjadi setelah melihat banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan. PBB yang

merupakan organisasi internasional yang berperan penting menjaga keamanan dan

perdamaian dunia, di dalam konflik Rwanda ini, dinilai tidak tegas dan lamban

dalam menyelesaikan konflik. Seharusnya PBB lebih berperan penting untuk

menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan melakukan sebuah Human

170
Geoffrey Robertson Q.C., Op. Cit., hal 84.
171
Ibid. hal 85.

Universitas Sumatera Utara


Intervention. Untuk menebus dan menyelesaikan konflik yang ada hingga tuntas,

didirikan ICTR. Munculnya International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)

menunjukkan kepedulian dunia internasional akan terselesainya konflik etnis

tersebut dilihat dari parameter Hukum Humaniter Internasional.172

ICTR atau International Criminal Tribunal for Rwanda didirikan dengan

alasan terjadinya pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional

(International Humanitarian Law) yang terjadi di Rwanda. Tujuan pendirian

ICTR ini adalah untuk membantu proses rekonsiliasi di Rwanda dan untuk

mengembalikan kedamaian di negara tersebut. Sejauh ini, ICTR telah

menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28 orang tersangka. 11

pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih menunggu proses

pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke yurisdiksi

nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada

tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.173

172
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-
rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran, diakses pada tanggal 08 Juli 2017.
173
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari beberapa bab sebelumnya yang berdasarkan

rumusan masalah penulis, maka dapat disimpulkan:

1. Setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik dalam kategori berat atau

bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi negara untuk

mengupayakan penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut bukan hanya

penting bagi pemulihan (reparation) hak-hak korban, tetapi juga bagi

tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Pelanggaran HAM

berat (The most serious crime / Gross violation of human rights) dalam

hukum internasional diatur dalam International Criminal Court. Menurut

pasal 5 ICC dikenal empat (4) jenis pelanggaran HAM berat :

a. Genosida

Menurut pasal 6 ICC Genosida adalah salah satu atau lebih dari

beberapa perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau

agama.

b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Menurut pasal 7 ICC, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah

satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang

langsung ditujukan terhadap penduduk sipil.

Universitas Sumatera Utara


c. Kejahatan Perang

Kejahatan Perang diuraikan secara rinci dalam Pasal 8 Statuta Roma,

yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari rencana atau

kebijakan atau bagian dari skala besar perintah untuk melakukan

kejahatan tersebut. Menurut Statuta Roma, kejahatan perang adalah

pelanggaran-pelanggaran berat terhadap konvensi-konvensi Jenewa 12

Agustus 1949.

d. Agresi

Agresi adalah salah satu perbuatan yang menjadi yurisdiksi

pengadilan pidana internasional (ICC) sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma. Namun, pelaksanaan yurisdiksi atas

perbuatan yang termasuk kejahatan agresi dalam pasal tersebut masih

mengalami penundaan hingga tercapai suatu ketentuan, yang

mendefinisikan dan menetapkan kondisi kejahatan agresi tersebut,

sesuai Pasal 121 dan 123 Statuta Roma.

2. Konvensi Genosida 1948 merupakan salah satu konvensi yang secara

tegas menginginkan pembentukan suatu peradilan pidana internasional

selain peradilan pidana nasional untuk mengadili kejahatan kemanusiaan

khususnya genosida. Dalam Konferensi Roma 1998 disepakati sebuah

Statuta yang disebut Statuta Roma 1998 sebagai dasar pembentukan

Pengadilan Pidana Internasional (The International Crime of Court-ICC)

yang permanen. Statuta Roma 1998 mulai berlaku efektif pada tanggal 1

Juli 2002, yaitu setelah lewat hari ke-60 sejak ratifikasi negara ke-60 pada

tanggal 11 April 2002 sesuai maksud Pasal 126 statuta. Pada tanggal

tersebut tercatat 66 negara telah meratifikasi statuta bersamaan dengan

Universitas Sumatera Utara


negara yang ke-60. Di dalam Pembukaan Statuta Roma 1998 yang telah

berlaku efektif, diingatkan bahwa merupakan tugas dan tanggungjawab

dari setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap

kejahatan-kejahatan internasional. Ditekankan bahwa pengadilan pidana

internasional yang dibentuk sesuai dengan statuta ini, harus menjadi

pelengkap terhadap yurisdiksi pidana nasional. Hal yang sama juga

ditegaskan dalam Pasal 1 Statuta, bahwa yurisdiksi ICC terhadap orang-

orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang serius yang menjadi

perhatian internasional, akan menjadi pelengkap yurisdiksi hukum pidana

nasional sesuai statuta ini.

3. PBB membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda

[International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi

Dewan Keamanan PBB No. S/RES/955 tahun 1994 untuk menyelesaikan

kasus Kejahatan Genosida yang terjadi di Rwanda. Pengadilan ad hoc

yang masih merupakan bagian dari Mahkamah Internasional Den Haag ini,

berlokasi di Arusha, Tanzania. ICTR bertujuan untuk menuntut dan

mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida

dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional

di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara-negara tetangga selama

tahun 1994. Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan genosida; pelanggaran

Pasal 3 seluruh Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II 1977;

dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan yuridiksinya, ICTR telah

mengadili sekitar 70 orang, termasuk Jean Kambanda, mantan Perdana

Menteri Rwanda.

Universitas Sumatera Utara


B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah kita bahas, maka penulis memberikan

beberapa saran yaitu sebagai berikut:

1. Tindak kejahatan genosida merupakan tindakan keji yang dilakukan

terhadap umat manusia. Oleh karena itu, hendaknya umat beragama,

suku dan ras tetap berpegang teguh untuk mempertahankan hak-hak dan

kebebasannya agar terhindar dari tindak kejahatan genosida, serta tetap

menta‟ati perjanjian dan menghormati perjanjian tersebut sebagai hukum

yang dipercaya untuk kemaslahatan secara internasional.

2. Kepada para penegak hukum harus lebih tegas untuk menangani kasus

Genosida yang terjadi di dunia ini, hal ini dikarenakan Tindak pidana

Genosida bukan masalah yang biasa, tindakan ini merupakan tindakan

yang menyimpang dan tidak manusiawi.

3. Bentuk penyelesaian Hukum Internasional Terhadap Hak Asasi Manusia

dalam Kejahatan Genosida di Rwanda diambil alih oleh Dewan

Keamanan PBB untuk diselesaikan dengan cara membentuk Pengadilan

Pidana Internasional untuk Rwanda [International Criminal Tribunal for

Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No.

S/RES/955 tahun 1994 untuk menyelesaikan kasus Kejahatan Genosida

yang terjadi di Rwanda. Kejahatan Genosida yang terjadi di Rwanda

dapat diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda,

karena Kejahatan Genosida di Rwanda merupakan pelanggaran HAM

berat.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU
Agustina, Shinta, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan
Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006.
Ali, Mahrus, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013.
Ambarwati, Denny Rahmadany, dan Rina Rusman, Hukum Humaniter
Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009.
Arinanto, Satya, Rekonsiliasi Dalam Penanganan Kasus-Kasus
Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I, Jakarta, 2008.
Asplun, Knud D., Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta,
PUSHAM UII, 2008.
Bassiouni, M.C. (et.al), ILC Draft Statute for an International Criminal
Court With Suggested Modifications, Chicago, Maret 1996, hal. 28. Lihat juga
pembahasan ini dalam Devy Sondakh, Peradilan Mahkamah Internasional AD
Hoc Den Haag Para Penjahat Perang Di Wilayah Bekas Yugoslavia Dan
Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Tesis, Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1999.
Dallaire, Romeo, Shake Hands With The Devils, Random House, Canada,
2003.
De Waal, Alex, dan Rakiya Omaar, The Genocide in Rwanda and the
International Response, Current History, 1995.
Diantha, I Made Pasek, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika
Pengadilan Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.
Djaali.,et al. Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Teoritis dan Aplikasi).
CV Restu Agung, Jakarta, 2003.

Universitas Sumatera Utara


Donelly, Jack, Introduction to Human Rights, (dalam buku M.Afif
Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM Di Indonesia, Lamongan,
UNISDA, 2005.)
El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari
UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Penerbit
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
Fadillah, Agus, Buku Pengenalan tentang International Criminal Court
(ICC) Bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, FRR Law
Office, Jakarta.
Hamid, Shalahuddin, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta
: Amissco, cet.ke-1, 2000.
Human Rights Watch, Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan Jilid II: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan
Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia, ELSAM, Jakarta, 2004.
Iskandar, Pranoto Hukum HAM Internasional : Sebuah Pengantar
Kontekstual, Cianjur, Institute for Migrant Rights Press, 2007.
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Jogjakarta, 2007.
Kashim, Ifdal, Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran
Ham Berat, Elsam. Jakarta. 2002.
Kinzer, Stephen, A Thousand Hills : Rwanda’s Rebirth and the Man Who
Can Dreamed It, Inggris, 2008.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional,
Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, 2009.
Koeswara, E., Agresi Manusia, PT.Eresco, Bandung.
Komnas HAM & Insist, Pendidikan Hak Asasi Manusia : Panduan Untuk
Fasilitator, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia & Insist, Yogyakarta, 2000
Lihat dalam, Ruth Yenny Febrianty Kudadiri, Analisis Yuridis Terhadap
Penahanan Aung San Suu Kyi Oleh Junta Militer Myanmar Ditinjau Pada
Instrumen Internasional Tentang Hak Asasi Manusia, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2010.

Universitas Sumatera Utara


Lihat dalam, Tengku Devy Malinda, Tanggung Jawab Individu Terhadap
Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik
Kongo, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Lihat Syahmin A.K., Kajian Hukum Internasional Mengenai Status
Individu dan Peran NGO’S dalam Perlindungan Hukum Internasional HAM,
Simbur Cahaya No.31 Tahun XI Mei 2006, Fakultas Hukum UNSRI.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman unsur-unsur Tindak
Pidana Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando,
MARI, Jakarta, 2006.
Maulana, Boer, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, Fungsi, dan
Era Dinamika Global, PT.Alumni, Bandung, 2011.
Mial, Hugh, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai
Konflik Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan
Internasional, Jakarta, 2003.
Napang, Marthen, Sejarah Kejahatan HAM Internasional, Cetakan-1,
Yusticia Press, Makassar, 2013.
Nasution, Adnan Buyung dan A.Patra M. Zein, Instrumen Internasional
Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001.
Nuraini, Atikah, Hukum Pidana Internasional Dan Perempuan, Sebuah
Resource Book Untuk Praktisi, Penerbit Komnas Perempuan, Jakarta, 2013.
O.S., Eddy, Peradilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM,
Erlangga, Jakarta, 2010.
P. Karns, Margareth, & Karen A Mingst, International Organization; The
Politics and Processes of Global Governance, Lyne Rienner Publisher, London,
2004.
Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Penerbit
CV. Mandar Maju, Bandung, 2002.
Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, Penerbit
CV. Yrama Widya, Bandung, 2004.

Universitas Sumatera Utara


Phartiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit : Mandar
maju, Bandung, 2003.
Ratner, Steven R., dan Jason S. Abram,. Melampaui Warisan Nuremberg:
Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat),
Jakarta, 2008.
Robertson, Geoffrey Q.C. Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Perjuangan
untuk Mewujudkan Keadilan Global. (terjemahan), Komnas HAM Indonesia,
Jakarta, 2002.
Siswanto, Arie, Hukum Internasional, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2015.
Siswanto, Arie, Mahkamah Kejahatan Internasional, Penerbit Ghalia
Indonesia, Bogor, 2005.
Siswanto, Arie, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional,
Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.
Smith, Rhona K.M., Hukum Hak Asasi Manusia, Cetakan Pertama, Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),
Yogyakarta, 2008.
Soekanto, Soerjono, & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Suarda, I Gede Widhiana, Hukum Pidana internasional Sebuah Pengantar,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.
Suherman, Ade Maman, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi
Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Penerbit: Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2003.
Sumantri, Sri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,
CV.Rajawali, Jakarta, 1981.
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, LPFEUI, Jakarta, 2004.
Sunggono, Bambang, dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2009.

Universitas Sumatera Utara


Syafa‟at, Muchamad Ali, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi
Kemerdekaan, dalam F.Budi Hadirman, Terorisme Definisi, Aksi, dan Regulasi.
Imparsial. Jakarta. 2003.
The United Nations and Rwanda, (New York : Department of Public
Information, UN), 1996.
Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press
Yogyakarta, Yogyakarta, 2002.
Ubaidillah, A., dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education), IAIN
jakarta press, Jakarta, 2000.
Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
1.
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Widyawati, Anis, Hukum Pidana Internasional, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2014.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan
Pengertiannya Yang Klasik pada Masa-Masa Awal Perkembangannya, dalam
Toleransi dan Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 Kumpulan Tulisan tentang Hak
Asasi Manusia, Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Surabaya dan The Asia
Foundation, 2003.

II. Jurnal

Ariadno, Melda Kamil, Kedudukan Hukum Internasional Dalam Sistem


Hukum Nasional, Jurnal Hukum Internasional, Vol.5 No.3, Jakarta, Lembaga
Pengkajian Hukum Internasional UI, 2008.
Ashar, Nimas Masrullail Miftahuddini, Hukum Internasional Tentang
Genosida Dalam Perspektif Fikih Dauliy, Vol.4 No.1, 2014.
Cooper, Robert, Mats Berdal, “Outside Intervention in Ethnic Conflicts”,
Survival, Vol.35 No.1, 1993.
Debiel, Tobias, Complex Emergencies and Humaitarian Intervention :
Imperatives and Pitfallin a Turbulent World, Law and State, Vol.55, 1997.

Universitas Sumatera Utara


Hamdani, Mahmood, African States, Citizenship, and War, International
Affairs, Vol. 78, No.3, 2002.
Isabirye, Stephen B., Kooros M. Mahmoudi, Rwanda and Burundi : The
Dynamics of Their Tribal Conflicts, Africa Quarterly, Vol. 40 No.4, 2000.
Kolodziej, Edward A., The Great Powers and Genocide : Lessons from
Rwanda, Pacifica Review, Vol. 12 No.2, 2000.
Lake, David A., dan Donald Rothchild, “Containing Fear : The Origins
and Management Of Ethnic Conflict”, International Security, Vol.21 No.2, 1996.
Lemkin, R., “Genocide as a Crime under International Law”, American
Journal of International Law (1947) Vol. 41 No.1.
O‟Halloran, Patrick J., Humanitarian Intervention and the Genocide in
Rwanda, Conflict Studies, Vol.277, 1995.
R. Beres, Louis, Genocide And Genocide-Like Crimes, dalam M.C.
Basiouni (Ed), International Criminal Law, (Crimes), Volume I, Transnational
Publishers, Inc. Dobbs & Ferry, 1987.
Sihombing, T. Daniel, Dkk., Jurnal HAM, Vol.7 No.2, Penerbit PT. Pohon
Cahaya, Jakarta.
Syafi‟ie, M., Instrumentasi Hukum Ham, Pembentukan Lembaga
Perlindungan Ham di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi, Vol.9 No.4,
2012.
Turangan, Doortje D., Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan
Hukum Internasional Dan Hukum Nasional, Karya Ilmiah, Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011.
UNPAD Journal of International Law: Urgensi Indonesia Untuk
Mengaksesi Rome Statute on The Establishment of The International Criminal
Court Volume 5 No. 2, Department of International Law Faculty of Law
Padjadjaran University, 2006.
Uvin, Peter, Ethnicity and Power in Burundi and Rwanda : Different
Paths to Mass Violent, Comparative Politics, Vol. 31 No.3, 1999.

Universitas Sumatera Utara


III. Internet
http://aisyahrjsiregar.blogspot.co.id/2009/04/genosida.html, diakses pada
tanggal 18 Juni 2017.
http://en.wikipedia.org/wiki/Rome-Statute-of-The-International-Criminal-
Court, diakses tanggal 10 Juni 2017.
http://ghitaff90.blogspot.co.id/2014/03/artikel-tentang-piagam-pbb.html
diakses pada tanggal 20 Mei 2017.
http://hartantowae.blogspot.co.id/2012/02/konflik-rwanda.html, diakses
pada tanggal 10 Juli 2017.
http://jarzed08.blogspot.co.id/2014/05/kejahatan-genosida.html, diakses
pada tanggal 15 Juni 2017.
http://junaidimaulana.blogspot.com/2013/11/sekilas-tentang-mahkamah-
pidana.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2017.
http://pknips.blogspot.co.id/2015/03/instrumenhukumhaminternasional.ht
ml, diakses pada tanggal 13 Mei 2017.
http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/04/dunia-internasional-
menyikapi-masalah.html, diakses pada tanggal 03 Juli 2017.
http://warofweekly.blogspot.co.id/2011/03/pembantaian-rwanda.html,
diakses pada tanggal 03 Juli 2017.
http://www.haryoprasodjo.com/2013/04/konflik-rwanda.html, diakses
tanggal 02 Mei 2017.
http://www.un.org/en/documents/charter/preamble.shtml, diakses pada
tanggal 15 Juni 2017.
https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/
diakses pada tanggal 13 Mei 2017.
https://www.scribd.com/document/56147346/Hukum-Internasional-Genosida-
Rwanda, diakses tanggal 02 Mei 2017.
https://www.ushmm.org/wlc/id/article.php?ModuleId=10007865, diakses
pada tanggal 17 Juni 2017.
www.gwu.edu/-nsarchiv/NSAEBB/NSAEBBS3/index.html. , diakses pada
tanggal 30 Juni 2017.

Universitas Sumatera Utara


www.gwu.edu/-nsarchiv/NSAEBB/NSAEBBS3/index.html., Loc. Cit.,
diakses pada tanggal 03 Juli 2017.
www.un.org/depts/DPKO/Missions/unamir.htm., diakses pada 05 Juli
2017.
http://warofweekly.blogspot.co.id/2010/10/pembantaian-rwanda-dan-
munculnya-islam.html.,diakses pada tanggal 30 Juni 2017.
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-
tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran, diakses pada tanggal 08
Juli 2017.
http.www.um.dk/danida/evalueringsrapporter/1997-Rwanda, diakses pada
tanggal 26 Juni 2017.
http://dokumen.tips/documents/bab-i-ltr-blkg-genosida-di-rwanda.html,
diakses pada tanggal 30 Juni 2017.
http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_PerkembKonsepTanggungJ
wbAtasanThdKejahatanPlgSerius.pdf, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
http://www.lfip.org/english/pdf/bali-
seminar/Pengadilan%20HAM%20dalam%20konteks%20-
%20ifdhal%20kasim.pdf, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
http://www.re-tawon.com/2013/03/rwanda-negara-mini-yang-menjadi-
arena.html, diakses pada tanggal 28 Juni 2017.
https://dauzsy.wordpress.com/2007/08/17/hotel-rwnda-genosida-di-
rwanda-dan-kegagalan-pbb/, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
www.hrw.org/reports/1999/Rwanda, diakses pada tanggal 25 Juni 2017
www.law.emory.edu/Eff.R/volumes/fall98/marlin.html, diakses pada
tanggal 25 Juni 2017.
www.puaf.umd.edu/CISSM/projects/NIC/khadiagala.htm., diakses pada
tanggal 28 Juni 2017.
www.sifithru.com/rwanews.htm, diakses pada tanggal 25 Juni 2017.
IV. UNDANG-UNDANG
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
Statuta Roma 1998
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai