Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2017
SKRIPSI
DISUSUN OLEH :
ARVIN BRIAN
130200419
DISETUJUI OLEH :
MEDAN
2017
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi
Internasional. Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM pada saat
terjadinya kejahatan genosida yang dilakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi di
Rwanda.” Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kelemahan dan
kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi. Oleh karena itu,
segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka
berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan
Sumatera Utara
3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas
5. Bapak Jelly Leviza S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
menjalani perkuliahan
11. Seluruh tenaga administrasi dan pegawai yang ada di Fakultas Hukum
kasih sayang terutama doa yang tidak habisnya diberikan kepada penulis
Satu (S1)
13. Kepada nenek penulis yang telah membesarkan dan merawat penulis
14. Kepada sahabat-sahabat penulis grup C.SH (agung sirait, tumbur siallagan,
rizky sarni, novi harefa, nain manalu, fadil pulungan) yang selalu
15. Kepada kekasih penulis Naomy Novelina Sianipar yang selalu mendoakan
18. Kepada teman-teman panitia natal 2016, terkhususnya ketua panitia natal
20. Kepada semua teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
semua teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih
yang telah banyak membantu dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan
menjadi salah satu karya ilmiah yang dapat digunakan bagi perkembangan
Penulis
ARVIN BRIAN
NIM : 130200419
DI RWANDA .................................................................................... 71
A. Kesimpulan .................................................................................... 93
B. Saran .............................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA
HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia.
Keberadaannya diyakini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dri kehidupan
manusia. Meskipun kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas
berbagai tindakan yang mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak,
maka HAM pada hakikatnya telah ada ketika manusia itu ada dimuka bumi.
Penelitian yang dilakukan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian
Hukum Normatif. Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai
penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Penelitian Hukum
Normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Teknik pengumpulan data
yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) Teknik ini
dilakukan dengan cara mencari informasi dari berbagai macam buku, artikel,
jurnal, dan juga laporan penelitian, serta informasi dari sumber media massa dan
internet.
Bentuk kejahatan Genosida Menurut Hukum Internasional yaitu Kejahatan
Genosida (genocide), Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against
Humanity), Kejahatan Perang (War Crimes) dan Kejahatan Agresi (Crimes of
Aggression) dikategorikan sebagai kejahatan internasional karena kejahatan-
kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan yang paling serius, sehingga
memerlukan langkah serius juga untuk mencegah dan menindak. Untuk
menyelesaikan kasus genosida, pada tanggal 9 Desember 1948, PBB membuat
ketentuan hukum tentang genosida yang pertama, yakni, Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, ditandatangani oleh 45
negara dan terdapat 85 ratifikiasi serta penambahan. Konvensi ini mulai berlaku
pada tanggal 12 Januari 1961. 23 Konvensi ini terdiri dari 19 pasal dan khusus
membahas masalah genosida. PBB berusaha untuk “membayar” kegagalannya di
Rwanda dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda
[International Criminal Tribunal for Rwanda(ICTR)] yang berlokasi di Arusha,
Tanzania.
Kata Kunci : HAM, Kejahatan Genosida, Rwanda.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang disebut hak asasi manusia, yaitu
hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia
Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan sederajat dengan hak-hak yang
sama, prinsip persamaan, dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi
sosial.4
masalah HAM belum muncul. Saat itu, kepentingan individu dirasakan sama
sama.5
Dalam dunia yang semakin global ini, hampir di setiap negara, baik negara
4
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mendefenisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang
wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia.” Lembaran Negara RI
tahun 1999 No.165, Tambahan Lembaga Negara RI No.3886.
5
Lihat Syahmin A.K., Kajian Hukum Internasional Mengenai Status Individu dan Peran
NGO’S dalam Perlindungan Hukum Internasional HAM, Simbur Cahaya No.31 Tahun XI Mei
2006, Fakultas Hukum UNSRI.
masing-masing.6
hak asasi manusia (HAM) sangat meningkat dalam tempo lebih dari sepuluh
tahun terakhir ini. Dari selatan Afrika ke Uni Soviet hingga ke Amerika Latin dan
berbagai belahan dunia dan benua telah melaksanakan reformasi dan bergerak ke
domestik.8
6
Jack Donelly, Introduction to Human Rights, (dalam buku M.Afif Hasbullah, Politik
Hukum Ratifikasi Konvensi HAM Di Indonesia, Lamongan, UNISDA, 2005, hal 1.)
7
Satya Arinanto, Rekonsiliasi Dalam Penanganan Kasus-Kasus Pelanggaran Berat
HAM Masa Lalu, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak
Asasi Manusia R.I, Jakarta, 2008, hal 1.
8
Ibid, hal 2.
telah mendorong DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Akan tetapi,
Pada era perang tersebut dua blok yang bertikai (Ameriak Serikat dan Uni Soviet)
HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia.
manusia. Meskipun kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas
maka HAM pada hakikatnya telah ada ketika manusia itu ada dimuka bumi.10
Hak Asasi Manusia sebagai perangkat hak yang melekat pada kodrat
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugrah Tuhan untuk
menempatkan manusia dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak asasi
tersebut bukan pemberian negara dan telah ada sebelum negara dan organisasi
serta pemenuhan hak asasi secara efektif merupakan indikator akan tingkat
9
Geoffrey QC Robertson, Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk
Mewujudkan Keadilan Global. (terjemahan), Komnas HAM Indonesia, Jakarta, 2002, hal XIV-XV.
10
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Penerbit Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005, hal 6.
criminal law), yang merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan
dimensi pemahaman yaitu "the penal aspects of international law" di satu pihak
HAM merupakan hak dasar manusia yang perlu disadari dan dipahami
oleh setiap orang di dalam suatu negara. Dengan demikian, jika terjadi
pelanggaran oleh pihak lain atau oleh negara, hak tersebut dapat dituntut. HAM
juga di dalamnya berisi kewajiban yang harus ditaati oleh setiap orang dalam
suatu negara. HAM jangan diidentikkan dengan tuntutan kebebasan tanpa batas,
yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat jadi
11
T. Daniel Sihombing Dkk., Jurnal HAM, Vol.7 No.2, Penerbit PT. Pohon Cahaya,
Jakarta, hal 70.
12
Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional,
Jakarta, 2003, hal 1.
13
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2009, hal 70
relativitasnya.14
haruslah dihormati dan dilindungi oleh semua pihak, baik negara, organisasi
optimal maka hak asasi manusia benar-benar dapat ditegakkan dalam kehidupan
Akan tetapi hal ideal itu tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata
dan macamnya, dari tingkatan yang paling ringan hingga yang paling berat,
masyarakat.16
14
Ibid.
15
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, Penerbit CV. Yrama
Widya, Bandung, 2004, hal 89.
16
Ibid.
terhadap hak asasi manusia yang melakukannya adalah orang atau individu
perbuatan kejahatan atau tindak pidana, yaitu karena melanggar ketentuan hukum
hak asasi manusia dengan dikenai suatu sanksi pidana di dalam lingkup nasional
asasi manusia yang telah digolongkan sebagai kejahatan atau tindak pidana, oleh
Agresi. Dari beberapa bentuk kejahatan yang tergolong pelanggaran Hak Asasi
Internasional untuk mengadili para pelakunya. Hal ini berdasarkan pada Pasal 5
17
Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
hal 50.
18
Ibid.
dalam pembunuhan massal terhadap suatu kaum, kelompok, ataupun ras lain
Istilah genosida terdiri dari dua kata, yakni geno dan cide. Geno atau
genos berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa, atau etnis.
Sedangkan cide, caedere atau cidium berasal dari bahasa latin yang berarti
membunuh.21
19
Ibid.hal.57.
20
Ibid. hal 58.
21
Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, hal 191.
22
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman unsur-unsur Tindak Pidana
Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, MARI, Jakarta, 2006.hal.3.
serius terhadap jiwa dan mental, serta kemusnahan secara fisik, baik sebagian
maupun seluruhnya. Konvensi ini tidak hanya melarang segala bentuk perbuatan
tersebut adalah niat untuk membasmi sejumlah besar anggota kelompok, di mana
disengaja atas sejumlah kecil orang yang dipilih, misalnya pimpinan kelompok
„secara selektif.24
23
Ibid. hal 4.
24
Human Rights Watch, Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan Jilid II: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional
untuk Bekas Negara Yugoslavia, ELSAM, Jakarta, 2004. hal 94.
Rwanda adalah sebuah negara yang berada di Afrika bagian tengah dengan
penduduk pribumi terdiri dari tiga suku, yakni suku Twa (sebanyak 1%) sebagai
suku tertua, suku Hutu (etnis mayoritas sebanyak 88%), dan suku Tutsi (11%,
etnis minoritas) sebagai orang suku yang tinggal di dusun-dusun yang menduduki
wilayah Rwanda sejak abad ke-15. Pembunuhan massal (genosida) yang terjadi di
Rwanda pada 1994 merupakan konflik yang terjadi dari akumulasi kebencian
antar etnis, yakni antara etnis Hutu dan Tutsi. Pembagian strata yang dilakukan
oleh kolonial Belgia yang menempatkan etnis Tutsi untuk menempati strata
dengan bangsa Eropa. Suku Tutsi memiliki warna lebih cerah dan hidung
diri dengan etnis minoritas juga (suku Tutsi). Pemerintah Belgia mulai melakukan
diskriminasi dengan lebih memberikan perhatian pada suku Tutsi dan memberi
porsi pemerintahan kepada suku Tutsi. Konflik pun dimulai setelah Rwanda
pemerintahan pada etnis Hutu. Hal tersebut merupakan kesempatan pada etnis
Hutu untuk melakukan balas dendam dan diskriminasi yang selama ini telah
dibunuh pada tanggal 6 April 1994, beliau dibunuh saat sedang berada di dalam
pesawat yang membawa beliau dan Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira setelah
negosiasi masalah Piagam Arusha. Pesawat yang membawa kedua kepala negara
ini diledakkan oleh sebuah granat roket. Dari sinilah awal pembantaian etnis
secara terencana terhadap suku Tutsi oleh suku Hutu radikal. Kemudian, sehari
dan Interahamwe melakukan kampanye dimulai dari utara Negara dan menyebar
hingga ke selatan Negara. Yang menjadi target adalah suku Tutsi dan Hutu,
Perdana menteri, menteri, pastur, rakyat biasa, dan siapapun yang mendukung
seperti yang dirancang dalam Piagam Arusha, menjadi korban dalam insiden ini.
Piagam Arusha merupakan rencana yang disusun oleh Presiden Habyarimana saat
beliau masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan Rwanda tahun 1993, setahun
sebelum beliau menjabat sebagai Presiden Rwanda. Piagam ini berisi tentang
semua manusia sejak berada didalam rahim ibunya sampai manusia tersebut
pelanggaran berat. Maka berdasarkan hal-hal diatas, penulis merasa tertarik untuk
B. Rumusan Masalah
Adapun yang merupakan permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut :
Manusia ?
Genosida ?
1. Tujuan Penelitian
Internasional.
27
https://www.scribd.com/document/56147346/Hukum-Internasional-Genosida-Rwanda, diakses tanggal 02 Mei
2017.
Kejahatan Genosida.
2. Manfaat Penulisan
adalah :
a. Secara Teoritis
b. Secara praktis
D. Keaslian Penulisan
Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri serta
atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian
Pelanggaran HAM pada saat terjadinya kejahatan genosida yang dilakukan suku
Hutu terhadap suku Tutsi di Rwanda belum pernah diteliti oleh peneliti
sebelumnya. Maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah
yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka
E. Tinjauan Pustaka
dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada
manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan
atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia
memiliki sesuatu. 28
yang dimaksud dengan Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
28
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Jogjakarta, 2007, hal 3.
martabat manusia.29
HAM adalah hak yang dimiliki setiap orang yang dibawa sejak lahir ke
dunia, hak itu sifatnya universal sebab dipunyai tanpa adanya perbedaan
Lopa, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang
2. Kejahatan Genosida
tidaknya sampai Tahun 1990. Hal ini berarti istilah genosida (genocide)
29
Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1.
30
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Amissco,
cet.ke-1, 2000, hal. 11.
yudikatif.31
“politicide”.33
31
Doortje D. Turangan, Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum
Internasional Dan Hukum Nasional, Karya Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,
Manado, 2011, hal 9.
32
M.C. Bassiouni (et.al), ILC Draft Statute for an International Criminal Court With
Suggested Modifications, Chicago, Maret 1996, hal. 28. Lihat juga pembahasan ini dalam Devy
Sondakh, Peradilan Mahkamah Internasional AD Hoc Den Haag Para Penjahat Perang Di
Wilayah Bekas Yugoslavia Dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Tesis, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 1999, hal. 53.
33
Louis R. Beres, Genocide And Genocide-Like Crimes, dalam M.C. Basiouni (Ed),
International Criminal Law, (Crimes), Volume I, Transnational Publishers, Inc. Dobbs & Ferry,
1987, hal. 271.
F. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian
Hukum Normatif. Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai
peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada pada
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
informasi dari berbagai macam buku, artikel, jurnal, dan juga laporan penelitian,
34
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan
Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 10
35
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 13-14.
Secara garis besar sekripsi ini dibagi dalam 5 (lima) Bab dan
masing-masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian sesuai dengan
kepentingan pembahasan.
BAB I : PENDAHULUAN
Genosida di Rwanda.
Sejak para filosof Yunani hingga kebudayaan timur, khususnya Islam telah
Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial, dan politik warga negara, baik secara
individual maupun secara kolektif telah sedemikian rupa diatur. Namun, dalam
realisasinya dari dulu hingga kini, HAM acapkali sangat tergantung kepada the
willingness of states. Begitu juga ajaran agama dan budaya setempat telah
sebuah motor yang mempunyai arti yang sangat penting. Hal ini disebabkan
36
Jawahir Thontowi, 2002, Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press
Yogyakarta, Yogyakarta, hal 1.
37
Sri Sumantri, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV.Rajawali,
Jakarta, hal 30.
erat kaitannya pada pemikiran pada abad ke-XVII dan abad ke-XVIII. Konsep
mengenai hak suci raja (Dwine rights of kings) yang memberikan kesewenang-
revolusi. Sejarah juga mencatat banyak kejadian dimana orang baik secara
golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya, bahkan
Sejarah hak asasi dimulai dari gagasan hak asasi manusia yang muncul
otoriter. Munculnya penguasa yang otoriter mendorong orang yang tertekan hak
hak asasi manusia dimulai dari gerakan hak asasi manusia di dunia.
38
Lihat dalam, Ruth Yenny Febrianty Kudadiri, Analisis Yuridis Terhadap Penahanan
Aung San Suu Kyi Oleh Junta Militer Myanmar Ditinjau Pada Instrumen Internasional Tentang
Hak Asasi Manusia, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal 20.
39
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. Cit., hal.72.
idea dari umat manusia. The New Encyclopedia Britannica, 1992, membagi
yaitu sejak abad ke-13 hingga munculnya perdamaian Westphalia (1648) masih
hukum alam, khususnya ajaran Thomas van Aquinas (1224-1274), Hugo De Gorte
Charta (1215), Petisi Hak Asasi Manusia (1628), dan Undang-Undang HAM
Inggris (The English Bill Human Rights 1689). Pemikiran mereka kemudian
dielaborasi lebih modern oleh para empirisme, seperti Francis Bacon, John Locke,
dimana ajaran mereka lebih mempertegas kedudukan HAM dalam hukum alam
lebih rasional.41
Amerika Serikat terutama sejak kemenangan Thomas Jefferson yang pada waktu
yaitu :
40
Jahawir Thontowi, Op. Cit. hal 2.
41
Ibid.
42
Ibid, hal 3.
adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan
tempat.
anti-tesis dari teori hak alami, karena berpandangan bahwa hak yang
4. Doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights), teori ini juga
Sejarah hak asasi manusia berawal dari dunia Barat (Eropa). Seorang filsuf
Inggris pada abad ke-17, John Locke, merumuskan adanya hak alamiah (natural
rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan,
dan hak milik. Pada waktu itu, hak masih terbatas pada bidang sipil (pribadi) dan
politik. Sejarah perkembangan hak asasi manusia ditandai adanya tiga peristiwa
1. Magna Charta
dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta
43
Majda El Muhtaj, Op. Cit., hal 2-3.
absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada
kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu
mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus
sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan
undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan
2. Revolusi Amerika
3. Revolusi Perancis
44
A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education), IAIN jakarta press,
Jakarta, 2000, cet. 1, hal 208.
tiga hal yaitu, hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan
persaudaraan (fraternite).45
Kejadian lain dalam perkembangan hak asasi manusia yaitu terjadi pada
porandakan kehidupan manusia. Perang Dunia ini disebabkan oleh ulah para
pemimpin yang tidak mengindahkan hak asasi manusia bahkan dengan sengaja
menginjak-injaknya seperti Jerman oleh Hilter, Italia oleh Benito Musolini, dan
Jepang oleh Hirohito. Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah
rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial
dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru
atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30
pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara
karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi
Manusia.46
45
Ibid, hal 209.
46
https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/ diakses pada
tanggal 13 Mei 2017.
PBB serta Deklarasi Universal HAM tahun 1948. Deklarasi Universal HAM
yang secara hukum mengikat negara-negara pihak. Esensi hukum hak asasi
(international bill of right) yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental.
hukum dan Protokol Tambahan pada Konvenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik serta kedua komite yang memantau penerapan setiap konvenan
yaitu berupa pernyataan, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum,
manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana
47
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal 28.
48
Knud D. Asplun, Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008,
hal 87.
hingga kurun waktu ini. Gerakan dan diskriminisasi HAM terus berlangsung
kemauan dan daya tarik desak HAM, maka jika ada sebuah negara
state di belahan bumi ini memberikan respon, terlebih beberapa negara yang
dijuluki sebagai adi kuasa memberikan kritik, tudingan bahkan kecaman keras
pertengahan abad 20. Sejak saat itu, HAM menjadi bahan perbincangan yang luar
biasa, baik dalam konsep maupun jumlah perangkat (hukum) yang mengaturnya.
Dari istilah fundamental human rights (yang secara harfiah berarti hak dasar
manusia). Diakhir abad 20 ini di hampir seluruh dunia masalah hak-hak manusia
diangkat sebagai hal yang penting dalam Negara demokrasi. Hak asasi manusia
dianggap sebagai konsep etika politik modern dengan gagasan intinya adalah
sebagai manusia, sehingga tuntutan moral itu secara potensial amat kuat untuk
melindungi orang dan kelompok yang lemah dari praktek kesewenangan mereka
yang kuat, baik karena kedudukan, usia, status, jenis kelamin dan lainnya. 50
49
Majda El Muhtaj, Op. Cit., hal 1.
50
Komnas HAM & Insist, Pendidikan Hak Asasi Manusia : Panduan Untuk Fasilitator,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia & Insist, Yogyakarta, 2000, hal 27
dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat yang harus
hukum dalam kenyataan. Instrumen hukum disini berarti landasan dan alat
daripada hukum. Sedangkan HAM berarti hak-hak yang dimiliki manusia semata-
Hak Asasi Manusia dalam upaya perwujudan Hak Asasi Manusia yang
berkedaulatan secara utuh dan seimbang. Instrumen ini bersifat resmi dan
peraturan yang dikenal dengan nama Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia. 52
dalam jangka waktu 30 tahun telah mempora-porandakan eropa barat dan juga
telah meluas keseluruh bagian dunia lainnya, termasuk asia dan pasifik. Liga
51
M.Syafi‟ie, Instrumentasi Hukum Ham, Pembentukan Lembaga Perlindungan Ham di
Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi, Vol.9 No.4, 2012, hal 683.
52
Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional : Sebuah Pengantar Kontekstual,
Cianjur, Institute for Migrant Rights Press, 2007, hal 5.
dan rakyat perwalian yang hidup dibawah kekuasaan asing (termasuk masyarakat
semua orang meniadakan rezim perlindungan minoritas. Hal ini tampak sebagai
suatu solusi sederhana bagi keuntungan seluruh umat manusia, namun nyatanya
hak tersebut dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap manusia, apapun
warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau
bukan karena pemberian dari suatu organisasi kekuasaan manapun. HAM sifatnya
melekat karena hak-hak yang dimiliki manusia tidak dapat dirampas dan dicabut.
Dalam konteks ini sifat HAM yang melekat dan inheren pada setiap manusia
(International Bill of Human Rights) yang diyakini sebagai standard dan menjadi
53
Knud D. Asplun, Op. Cit., hal 88.
54
Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan
Pengertiannya Yang Klasik pada Masa-Masa Awal Perkembangannya, dalam Toleransi dan
Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia, Surabaya:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Surabaya dan The Asia Foundation, 2003, hal 4.
yang secara langsung menimbulkan kewajiban bagi para Negara pihak. Namun
perlu diingat juga bahwa banyak norma-norma hak asasi manusia yang penting
justru terdapat dalam instrumen hukum hak asasi manusia internasional di luar
perjanjian, yang sifatnya tidak mengikat secara hukum, namun tetap dapat
1. Hukum Kebiasaan
55
Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Cetakan Pertama, Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, 2008, hal 66.
berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain”.
Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk
a. Praktek Negara-negara:
(generality).
56
http://pknips.blogspot.co.id/2015/03/instrumenhukumhaminternasional.html, diakses
pada tanggal 13 Mei 2017.
tersebut.57
PBB.
2. Piagam PBB
Dua perang dunia dalam jangka waktu hanya 30 tahun telah memorak-
porandakan Eropa Barat dan juga telah meluas ke seluruh bagian dunia
57
I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit : Mandar maju,
Bandung, 2003, hal. 18.
58
Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional
Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 103.
pada martabat dan nilai manusia, pada persamaan hak antara pria dan
wanita, dan antara negara besar dan negara kecil. Pasal 1 (3) dalam
59
Rhona K.M. Smith, Op. Cit., hal 87
yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak
hak asasi manusia, dalam martabat dan nilai pribadi manusia, dalam
kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam kebebasan
Selain dalam Pasal 1 (3), juga terdapat ketentuan lain mengenai HAM
Pasal 55 :
hak dan hak menentukan nasib sendiri dari rakyat, maka Perserikatan
dan
tersebut meliputi:
62
Pasal 55 dan 56, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Cultural Rights/ICESCR)
UDHR.
63
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Penerbit CV. Mandar
Maju, Bandung, 2002, hal 27.
penanganan HAM.65
HAM yang dilanggar. Pelanggaran HAM berat terjadi jika yang dilanggar
ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang
64
Djaali.,et al. Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Teoritis dan Aplikasi). CV Restu
Agung, Jakarta, 2003 hal 50.
65
Ibid, hal 51.
66
Ifdal Kashim, Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran Ham Berat,
Elsam. Jakarta. 2002, hal xxiii
sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan
kemanusiaan).67
penting bagi pemulihan (reparation) hak-hak korban, tetapi juga bagi tidak
pelanggaran hak asasi manusia harus dilihat sebagai bagian dari langkah
pelanggaran hak asasi manusia, sebab tidak ada hak asasi manusia tanpa
67
Muchamad Ali Syafa‟at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan,
dalam F.Budi Hadirman, Terorisme Definisi, Aksi, dan Regulasi. Imparsial. Jakarta. 2003 Hal 63.
68
Rhona K.M. Smith. Op Cit., hal 71
1. Genosida (Genocide)
Menurut pasal 6 ICC Genosida adalah salah satu atau lebih dari
agama seperti:
anggota kelompok
sebagian
kelompok lainnya70
humanity an civilization).71
satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung
a. Pembunuhan
b. Pemusnahan
c. Perbudakan
yurisdiksi mahkamah
72
I Gede Widhiana Suarda, Op. Cit., hal 178-180.
bersifat internasional.
bersifat internasional.73
4. Agresi (Agression)
menetapkan kondisi kejahatan agresi tersebut, sesuai Pasal 121 dan 123
Statuta Roma.74
73
Ambarwati, Denny Rahmadany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam
Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 185.
74
Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas
University Press, Padang, 2006, hal 63.
tokoh serperti Robert Baron bahwa agresi adalah tingkah laku individu
ini meliputi empat faktor yaitu tingkah laku, tujuan untuk melukai atau
atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek
diterima oleh semua pihak. Oleh karena itu, kejahatan agresi hanya
75
Ibid., hal 186.
76
E. Koeswara, Agresi Manusia, PT.Eresco, Bandung, hal 4.
77
Ibid, hal 5.
78
Boer Maulana, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, Fungsi, dan Era Dinamika
Global, PT.Alumni, Bandung, 2011, hal 296.
KEJAHATAN GENOSIDA
A. Pengertian Genosida
negara.79
79
Anis Widyawati, Op. Cit., hal 58.
tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan baru
dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II.
Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum,
tentang masalah ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini berpusat pada
agama seperti:
80
Atikah Nuraini, Hukum Pidana Internasional Dan Perempuan, Sebuah Resource Book
Untuk Praktisi, Penerbit Komnas Perempuan, Jakarta, 2013, hal 9.
81
Steven R. Ratner dan Jason S. Abram,. Melampaui Warisan Nuremberg:
Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional,
ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta, 2008, hal 40.
sebagian
kelompok lainnya82
genosida.84
82
Ambarwati, Denny Rahmadany, Rina Rusman, Op. Cit., hal 183.
83
Nimas Masrullail Miftahuddini Ashar, Hukum Internasional Tentang Genosida Dalam
Perspektif Fikih Dauliy, Vol.4 No.1, 2014, hal 9.
84
Ibid, hal 12.
Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Prioritas utamanya adalah untuk
dengan sidang reguler, hak untuk membela diri dan praduga tak bersalah.
Statuta Roma mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli tahun 2002 dan
sistem yudisional nasional yang telah ada. Oleh karena Statuta Roma
tersebut.85
85
http://en.wikipedia.org/wiki/Rome-Statute-of-The-International-Criminal-Court,
diakses tanggal 10 Juni 2017.
hubungan antar kelompok. Kontak antar dua kelompok ras dapat diikuti
Genosida.87
86
R. Lemkin, “Genocide as a Crime under International Law”, American Journal of
International Law (1947) Vol. 41 No.1, 145-151.
87
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, LPFEUI, Jakarta, 2004, hal 149.
Amerika Serika. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos (ras,
persekusi yang didasari atas alasan rasial atau agama sebagai perbuatan-
Holocaust dan berkat upaya tak kenal lelah Lemkin, PBB menyetujui
istilah ini terkonsentrasi pada dua periode sejarah utama yaitu pada waktu
88
http://jarzed08.blogspot.co.id/2014/05/kejahatan-genosida.html, diakses pada tanggal
15 Juni 2017.
kebiasaan internasional.90
89
https://www.ushmm.org/wlc/id/article.php?ModuleId=10007865, diakses pada tanggal
17 Juni 2017.
90
Atikah Nuraini, Op.Cit., hal 9.
satu konvensi hak asasi manusia internasional yang tertua yang lahir
di masa damai atau pada saat perang. Genosida berarti setiap perbuatan
atau sebagian nasional, etnis, ras, atau kelompok agama seperti membunuh
91
http://aisyahrjsiregar.blogspot.co.id/2009/04/genosida.html, diakses pada tanggal 18
Juni 2017.
92
Rencana Aksi Nasional HAM yang telah berulang kali dirubah juga pernah
mengagendakan untuk meratifikasi konvensi tersebut.
yaitu pada pasal 6 (c) dari Piagam Nuremburg. Dalam proses pengadilan
laporan dari pelapor khusus maupun kelompok kerja. Konvensi ini juga
93
Lihat dalam, Tengku Devy Malinda, Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan
Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan, hal 32.
94
Trial of major war criminal before the International Military Tribunal, I: Official
Documents, lihat dalam Antonio Pradjasto H, Konvensi Genosida : Melindungi Hak Asasi
Manusia –
Memerangi Impunitas, hal 2.
keputusan-keputusan lainnya.95
95
Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan UU No. 5/1998. Disamping Konvensi Anti
Penyiksaan, Kovenan Hak SIPOL (ICCPR), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW), Konvensi Hak Anak (CRC) dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi RAS
(CERD) memiliki sistem perlindungan sejenis.
96
Sesuai dengan Pasal 12 Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional.
Dok.PBB.A / CONF183/9.
Bangsa-Bangsa pada tahun 1946. Pada tahun 1948 hal ini dikuatkan dengan
bahwa :
Pasal 1
menghukumnya”.
Pasal 2
agama seperti:
kelompok;
sebagian;
97
Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M. Zein, Instrumen Internasional Pokok Hak-
Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal 190
a. Genosida;
sebagai suatu tindakan genosida, baik yang dilakukan pada masa damai maupun
pada saat situasi perang. Dalam pasal ke empat konvensi genosida juga ditegaskan
bahwa, orang yang melakukan tindakan genosida akan mendapat hukuman, tidak
terkecuali apakah orang tersebut adalah penguasa yang sah secara konstitusi,
98
Dikutip dari Pasal 1-2, Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genosida.
99
Margareth. P. Karns & Karen A Mingst, International Organization; The Politics and
Processes of Global Governance, Lyne Rienner Publisher, London, 2004, hal 447.
yang efektif bagi pelaku genosida, termasuk menyusun sebuah hukum yang
tersebut menuntut negara agar lebih aktif dalam melindingi hak azasi manusia, 100
pertumpahan darah dan tindakan pelanggaraan hak asasi manusia masih saja
korban tewas adalah peristiwa penyerangan umat muslim di Bosnia oleh pasukan
Serbia, penyerangan dan pemusnahan suku Albania di Kosovo oleh Serbia, dan
penyerangan terhadap etnis Tutsi oleh kaum ekstrimis Hutu di Rwanda. 101
(Konvensi tentang Pembunuhan Massal Manusia) yang telah diterima oleh Sidang
Umum PBB tanggal 9 Desember 1948. Menurut ketentuan dalam konvensi ini,
dihukum, terlepas dari persoalan apakah mereka itu bertindak sebagai orang
100
Ibid, hal 450.
101
Ibid, hal 451
102
Rhona K.M. Smith, Op. Cit., hal 84
dari tugas dewan ini diprakarsai melalui Resolusi 260 B (III) yang disahkan oleh
MU PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Dalam Resolusi itu Majelis Umum
orang-orang yang dituduh mengadakan pemusnahan suatu suku atau suku bangsa
dimuat dalam Konvensi Genosida 1948 belakangan diadopsi oleh Statuta ICTY,
ICTR dan Statuta Roma 1948. Selain memuat norma-norma tentang genosida,
103
Marthen Napang, Sejarah Kejahatan HAM Internasional, Cetakan-1, Yusticia Press,
Makassar, 2013, hal 137.
mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2002, yaitu setelah lewat hari ke-60 sejak
ratifikasi negara ke-60 pada tanggal 11 April 2002 sesuai maksud Pasal 126
diingatkan bahwa merupakan tugas dan tanggungjawab dari setiap negara untuk
statuta ini, harus menjadi pelengkap terhadap yurisdiksi pidana nasional. Hal yang
sama juga ditegaskan dalam Pasal 1 Statuta, bahwa yurisdiksi ICC terhadap
memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras, atau kelompok, seperti:
104
Arie Siswanto, Hukum Internasional, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2015, hal 55.
105
Marthen Napang, Op. Cit., hal 4.
106
Ibid, hal 16.
anggota kelompok,
sebagian,
kelompok lainnya.107
Salah satu latar belakang pendirian Statuta Roma adalah karena kelemahan
1. Victor’s Justice
107
Pasal 6, Statuta Roma, 17 Juli 1998.
108
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Mengenal ICC
Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, 2009, hal 5–6.
pemenang.
2. Selective Justice
Kelemahan lain yang terdapat dari peradilan ad hoc ialah terjadinya keadilan
stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya
untuk diselesaikan. Hal ini berarti akan ada pelaku yang tidak ditindak dan
dengan negara dimana kejahatan internasional yang serius terjadi, tidak bisa
internasional.
4. Muatan Politis
Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak
hoc hanya bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB. Artinya, nasib
dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam
hal ini maka kepentingan politik akan lebih banyak berperan daripada
Criminal Court, (ICC) yaitu mekanisme baru yang dirancang melalui perjanjian
internasional yang dibentuk di Roma dan disebut Statuta Roma 1998. Peradilan
atau Mahkamah ini terpisah dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bersifat
kembali peradilan yang bersifat Victor’s Justice, Selective Justice, dan Impunity
(yang hanya berdasarkan keadilan negara yang menang perang). Apabila negara
sudah tidak mau dan tidak mampu mengadili si pelaku kejahatan perang maka
akan diadili oleh ICC tanpa diskriminasi yaitu tidak memandang apakah pelaku
kejahatan perang itu berasal dari negara besar atau negara kecil. Selain itu
ditopang teori umum Hukum Internasional bahwa agar suatu negara terikat
dengan lembaga ICC, maka negara tersebut harus terlebih dahulu meratifikasi
109
Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum
Nasional, Jurnal Hukum Internasional, Vol.5 No.3, Jakarta, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional UI, 2008, hal 515.
serius
manusia)
paling serius
sebelumnya
110
Agus Fadillah, Buku Pengenalan tentang International Criminal Court (ICC) Bagi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, FRR Law Office, Jakarta, hal 2.
bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman atas pelanggaran
Pasal 25
3. Sesuai dengan Statuta ini, seseorang bertanggung jawab secara pidana dan
orang lain atau lewat seseorang lain, tanpa memandang apakah orang
percobaan.
111
Pasal 25, Statuta Roma 1998.
melakukannya.
Mahkamah; atau
melakukan kejahatan;
orang tersebut sama sekali dan secara suka rela meninggalkan tujuan
pidana itu.
hukum internasional.
wewenang untuk mengadili anak berusia di bawah 18 tahun ketika anak tersebut
Statuta Roma berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang jabatan atau bangsa dari
individu berlaku sama terhadap semua orang tanpa ada pembedaan, meskipun dia
seorang kepala negara atau pemerintahan atau parlemen. Statuta Roma tidak
mengecualikan seorang dari tanggung jawab pidana dibawah statute ini. Pejabat
negara akan bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan atas
nama negara.112
Pasal 27
1. Statuta ini berlaku sama terhadap semua orang tanpa suatu perbedaan atas
dasar jabatan resmi. Secara khusus, jabatan resmi sebagai seorang Kepala
terpilih atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan
seseorang dari tanggung jawab pidana di bawah Statuta ini, demikian pula
112
Pasal 27, Statuta Roma 1998.
mengurangi hukuman.
kalangan bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma tentang ICC maka negara
harus menyetujui dan mengikatkan diri terhadap semua aturan dalam Statuta
hukum nasional suatu negara terhadap pengadilan atau sistem hukum suatu negara.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika memahami prinsip komplementer ICC. Prinsip
sistem peradilan yang independen dan efektif yang tersedia. Hal ini menunjukkan
bahwa ICC harus mendahulukan sistem nasional kecuali jika sistem nasional yang
ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk
melakukan penyidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan
diambil alih menjadi di bawah yurisdiksi ICC sebagimana yang terdapat dalam
113
UNPAD Journal of International Law: Urgensi Indonesia Untuk Mengaksesi Rome
Statute on The Establishment of The International Criminal Court Volume 5 No. 2, Department of
International Law Faculty of Law Padjadjaran University, 2006.
Konvensi Genosida tidak diatur tentang sanksi yang akan diterima oleh pelaku
genosida itu sendiri dilakukan. Seperti yang dicantumkan pada Pasal 6 Konvensi
Genosida yaitu:
Pasal 6
perbuatan lain yang disebutkan dalam pasal 3, harus diadili oleh suatu tribunal
yang berwenang dari Negara Peserta yang di dalam wilayahnya perbuatan itu
dilakukan, atau oleh semacam tribunal pidana internasional seperti yang mungkin
mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan para Negara peserta yang akan
menerima yurisdiksinya.
Den Haag. Dalam Pasal 15, Penuntut Umum dapat memulai penyelidikan proprio
motu atas dasar informasi tentang kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah serta
atau sumber-sumber lain terpercaya yang dianggapnya tepat, dan dapat menerima
politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa
hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja,
Sanksi bagi pelaku tindak pidana kejahatan genosida tertera dalam Pasal 77
1. Tunduk pada pasal 110, Mahkamah dapat mengenakan satu di antara hukuman-
hukuman berikut ini kepada seseorang yang dihukum atas suatu kejahatan
114
http://junaidimaulana.blogspot.com/2013/11/sekilas-tentang-mahkamah-pidana.html,
diakses pada tanggal 20 Juni 2017.
Pembuktian;
b. Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak
langsung dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga yang
bona fide.
Statuta Roma 1998 telah berlaku efektif dan menunggu pembentukan ICC
Kantor Penuntut dan Kantor Pencatat ( sesuai pasal 34 Statuta ). Organ-organ ini
diisi oleh para hakim, panitera, dan staff yang memiliki tugas dan wewenang
tugasnya secara independen dan penuh waktu. Jumlah hakim ada 18 orang yang
dipilih dan diangkat secara rahasia melalui surat suara dalam rapat khusus Majelis
Dalam pembukaan Statuta Roma 1998 atau Statuta ICC yang telah berlaku
efektif tersebut diingatkan bahwa merupakan tugas dari setiap negara untuk
bahwa pengadilan pidana internasional yang dibentuk sesuai dengan statuta ini
115
Marthen Napang, Op. Cit., hal 227.
Hal yang sama juga ditegaskan dalam pasal 1 statuta, bahwa yurisdiksi ICC
116
Ibid, hal 228.
yang terjadi di dunia merupakan konflik antar etnis (inter-ethnic conflicts), atau
perang sipil (civil wars), dan bukan konflik antar negara (inter-state conflicts).
Kebanyakan tersebut tidak lepas dari pelanggaran hak-hak asasi manusia yang
Cooper dan Mats Berdal menyebutkan dua ciri-ciri utama konflik etnis. Pertama,
etnis.118
ekonomi sosial, budaya, atau teritorial antara dua atau lebih komunitas etnis). Jadi
secara singkat, konflik etnis merupakan konflik yang melibatkan dua atau lebih
117
David A. Lake, Donald Rothchild, “Containing Fear : The Origins and Management
Of Ethnic Conflict”, International Security, Vol.21 No.2, 1996, hal 41.
118
Robert Cooper, Mats Berdal, “Outside Intervention in Ethnic Conflicts”, Survival,
Vol.35 No.1, 1993, hal 133.
119
Arie Siswanto, Mahkamah Kejahatan Internasional, Penerbit Ghalia Indonesia,
Bogor, 2005, hal 51.
kolektif
tertentu.
kelompok.
Kebanyakan orang meyakini bahwa konflik etnis dipicu oleh sebab yang
sederhana dan jelas, yakni kebencian turun-temurun (ancient hatreds) yang ada
diantara kelompok etnis yang berlainan. Sering kali kebencian antar etnis tidak
terbesar. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, antara 500.000 sampai
120
Ibid, hal 51-52.
121
Ibid, hal 52.
tahun 1959, ketika suku hutu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan yang
dikuasai Tutsi. Penguasa kerajaan Tutsi akhirnya berhasil digulingkan pada tahun
Kigali. Nama Rwanda diambil dari nama kerajaan terbesar pada abad ke-15 dan
namun memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Rwanda memiliki batas negara
dengan Uganda, Burundi, Tanzania, dan Zaire (Kongo). Negara yang dikenal
dengan “negeri seribu bukit”(the land of thousand hills) ini memiliki iklim dan
122
Tobias Debiel, Complex Emergencies and Humaitarian Intervention : Imperatives and
Pitfallin a Turbulent World, Law and State, Vol.55, 1997, hal 60.
123
Patrick J. O‟Halloran, Humanitarian Intervention and the Genocide in Rwanda,
Conflict Studies, Vol.277, 1995, hal 3.
124
Stephen Kinzer, A Thousand Hills : Rwanda’s Rebirth and the Man Who Can
Dreamed It, Inggris, 2008, hal 17.
125
www.sifithru.com/rwanews.htm, diakses pada tanggal 25 Juni 2017.
tahun 1500-an. Warga kerajaan ini terdiri dari tiga kelompok sosial yaitu Hutu,
Tutsi, dan Twa. Hutu merupakan warga mayoritas Rwanda (85 persen), terdiri
dari kebanyakan petani miskin. Sementara Tutsi (14 persen), termasuk keluarga
Raja, hidup lebih sejahtera, memiliki tanah dan ternak, indikator kesejahteraan
terdiri dari para pemburu yang hidup secara nomaden di area hutan.127
Dengan tanah yang subur disertai curah hujan yang turun secara teratur,
negara dengan populasi penduduk terpadat di benua Afrika pada tahun 1994.128
memasukkan Rwanda dan Burundi sebagai bagian dari wilayah Jerman Afrika
Timur, namun baru tahun 1897 Pemerintah Kolonial Jerman dapat secara efektif
126
Peter Uvin, Ethnicity and Power in Burundi and Rwanda : Different Paths to Mass
Violent, Comparative Politics, Vol. 31 No.3, 1999, hal 255.
127
www.law.emory.edu/Eff.R/volumes/fall98/marlin.html, diakses pada tanggal 25 Juni
2017.
128
www.hrw.org/reports/1999/Rwanda, diakses pada tanggal 25 Juni 2017
129
Patrick J. O‟Halloran, Loc. Cit.
dengan tahun 1916. Di tahun itu, pasukan tentara Inggris dan Belgia berhasil
memasuki wilayah Jerman Afrika Timur, namun gagal menghapus bersih oposisi
Jerman sampai November 1918. Di tahun 1922, mandat pengaturan Rwanda dan
Burundi diserahkan kepada Belgia yang melakukan konsolidasi dengan Kongo. 130
politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan para penduduk Rwanda yang berada
Belgia membuat kartu tanda penduduk yang mencantumkan asal etnis, sehingga
ada tiga macam kartu tanda penduduk bagi etnis Hutu, Tutsi, dan Twa. Nilai
ekspor kopi yang memiliki nilai ekonomi besar memperparah hubungan Hutu
menyatakan bahwa hanya warga Tutsi yang bisa menjadi pegawai pemerintahan.
Bangsa Eropa percaya bahwa etnis Tutsi lebih menyerupai mereka dibandingkan
juga dilarang mengikuti pendidikan tinggi, yang berarti juga membatasi akses
130
Ibid.
131
Christian Marlin, Loc. Cit.
132
Romeo Dallaire, Shake Hands With The Devils, Random House, Canada, 2003, hal 13.
133
www.hrw.org/reports/1999/Rwanda, Loc. Cit.
selamat dari perburuhan massal, yaitu mereka yang mendapat kesempatan belajar
di pusat-pusat seminari.134
tengah proses dekolonisasi secara umum di Afrika, Belgia terus mendapat tekanan
masa selanjutnya. Peristiwa antara tahun 1959-1961 itu juga memaksa puluhan
ribu warga Tutsi mengungsi ke Burundi, Zaire, dan Uganda yang selanjutnya
negara tersebut.136
134
Ibid.
135
http.www.um.dk/danida/evalueringsrapporter/1997-Rwanda, diakses pada tanggal 26
Juni 2017.
136
Ibid.
yang pernah digunakan untuk menjamin hak istimewa bagi warga Tutsi kini justru
maupun pendidikan.137
Pada tahun 1973, di tengah stagnansi ekonomi dan sentiment anti Tutsi,
tersebut.138
pelayanan sipil dimodernisasi, dan pemasangan sistem suplai air bersih yang baru
rakyat tetap miskin. Lebih dari 85 persen penduduk hidup di bawah garis
137
Human Rights Watch, Loc. Cit.
138
Stephen B. Isabirye, Kooros M. Mahmoudi, Rwanda and Burundi : The Dynamics of
Their Tribal Conflicts, Africa Quarterly, Vol. 40 No.4, 2000, hal 32.
139
Ibid.
demokrasi di dalam negeri Rwanda didukung oleh negara-negara donor saat itu
tuntutan dan tekanan dari dalam dan luar negeri, akhirnya Habyarimana
berbeda.140
terusir dari Rwanda via jalur perjuangan bersenjata. Youri Musevini selaku
pemimpin Uganda sendiri mendukung pendirian dan aktivitas FPR sebagai balas
jasa karena semasa perang sipil Uganda di tahun 1983-1986 dulu, orang-orang
Tutsi di Uganda ikut menjadi bagian dari pasukan Musevini dan simpatisannya.
Invasi militer pada bulan Oktober 1990 yang dilakukan FPR, menjadi slah
satu ancaman serius bagi rezim Habyarimana dan sejumlah kecil elite yang selama
ini diuntungkan. Meskipun serangan tersebut dapat dipukul mundur, FPR berhasil
140
www.puaf.umd.edu/CISSM/projects/NIC/khadiagala.htm., diakses pada tanggal 28
Juni 2017.
141
http://www.re-tawon.com/2013/03/rwanda-negara-mini-yang-menjadi-arena.html,
diakses pada tanggal 28 Juni 2017.
Ratusan ribu penduduk terlantar akibat perang itu, dan perekonomian menjadi
semakin buruk. Serangan militer yang dilancarkan FPR ini merupakan awal
semua Tutsi, bukan hanya FPR, sebagai ancaman. Pasca invasi FPR di awal
Oktober itu, sejumlah 10.000 Tutsi yang ada di dalam negeri ditangkap dan
dan dibunuh.143
perjanjian damai penuh dengan FPR dan partai-partai oposisi, serta menyetujui
144
transisi menuju demokrasi. Pemerintah Rwanda dan FPR akhirnya
netral dan fungsi tugas keamanan yang luas di bawah bab VI dan VII Piagam PBB.
Perjanjian Arusha. UNAMIR, sebuah misi pasukan khusus PBB untuk Rwanda,
142
Peter Uvin, Op. Cit.,hal 259.
143
Ibid, hal 260.
144
Alex De Waal, Rakiya Omaar, The Genocide in Rwanda and the International
Response, Current History, 1995, hal 156.
dibatasi sesuai bab VI Piagam PBB yaitu penyelesaian sengketa secara damai.
ini, yang semula dijadwalkan sekitar satu bulan setelah penandatanganan, diundur
tiga bulan berikutnya sebagai akibat dari kelembaman birokrasi kantor pusat PBB
Presiden Burundi Cyprien Ntarymira, dan semua yang ada dalam pesawat itu.
Kedua presiden tersebut baru saja kembali dari pelaksanaan KTT para pemimpin
tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%).147
145
Edward A. Kolodziej, The Great Powers and Genocide : Lessons from Rwanda,
Pacifica Review, Vol. 12 No.2, 2000, hal 133.
146
www.gwu.edu/-nsarchiv/NSAEBB/NSAEBBS3/index.html. , diakses pada tanggal 30
Juni 2017.
147
http://warofweekly.blogspot.co.id/2010/10/pembantaian-rwanda-dan-munculnya-
islam.html.,diakses pada tanggal 30 Juni 2017.
dimana Tutsi bersembunyi. Dalam jangka 100 hari sejak kematian Habyarimana,
sekitar 800.000 atau bahkan hampir 1.000.000 warga etnis Tutsi mati secara keji
dan mengerikan.148
dan pembantaian secara sistematis dan terorganisir atas etnis Tutsi dan oposisi
Hutu, serta kembali memicu perang sipil di Rwanda antara pasukan tentara
pemerintah dengan FPR. Hanya dalam waktu kurang lebih tiga bulan,
diperkirakan antara 500.000 sampai 800.000 orang terbunuh. Sementara itu, dua
juta orang mengungsi ke negara-negara tetangga, dan satu juta lainnya berada
kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang
Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan
kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri,
pastor, dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi piagam
148
Ibid.
149
Hugh Mial, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik
Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 214.
secara layak.150
negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut ada cap besar untuk
membedakan antara Hutu dan Tutsi. Teror itu pecah dan menghantui rakyat yang
tak berdaya, terutama suku Tutsi dengan pasukannya, Interahamwe, para Hutu
membantai para Tutsi. Kurang lebih 250.000 suku Tutsi dibantai pada hari itu dan
hampir 50.000 Suku Hutu tewas karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi
oleh Tutsi Rebels. Total semua korban yang tewas dari Genosida tersebut adalah
500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000 dan perhitungan bruto
akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada akhir teror tersebut, suku Tutsi
berhasil membalas para militan Hutu, dan mereka dapat menekan keberadaan
perusakan, dan pembakaran desa, kantor, sekolah, gereja, dan stadion. Korban
150
http://dokumen.tips/documents/bab-i-ltr-blkg-genosida-di-rwanda.html, diakses pada
tanggal 30 Juni 2017.
151
http://warofweekly.blogspot.co.id/2011/03/pembantaian-rwanda.html, diakses pada
tanggal 03 Juli 2017.
152
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan
Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal 82.
oleh FPR atas pasukan pemerintah akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu
penting, Gitarama pada 9 Juni, Kigali pada 14 Juli, Butare pada 5 Juli, Ruhengeri
pada 14 Juli, dan Gisenyi pada 17 Juli, sebelum akhirnya menyatakan gencatan
senjata pada tanggal 18 Juli. Dua minggu setelah menguasai ibukota Kigali, FPR
Arusha.154
sebagai konflik etnis, pecahnya konflik tersebut bukan disebabkan oleh mutual
ancestral hatred atau ancestral enmities. Bibit etnisitas Hutu dan Tutsi baru mulai
muncul pada saat Mwami Rwabugiri melakukan restrukturisasi social dan politik
153
Ibid, hal 83.
154
www.gwu.edu/-nsarchiv/NSAEBB/NSAEBBS3/index.html., Loc. Cit., diakses pada
tanggal 03 Juli 2017.
155
Danida, Loc. Cit.
besar sementara lahan yang dimiliki sangat terbatas, di tahun 1994 Rwanda
tercatat sebagai negara termiskin ke-15 berdasarkan statistik Bank Dunia. Faktor
kemiskinan dan kelangkaan sumber alam ini menjadi salah satu sebab utam
sebagai tipe negara baru, yang ditandai dengan dua keyakinan. Pertama, pasca
genosida negara merasa bertanggung jawab atas keamanan setiap Tutsi secara
global, dan bukan hanya di dalam negeri Rwanda. Kedua, negara ini juga
adalah kekuasaan Tutsi. Ketegangan akan dapat terus mewarnai Rwanda dan
1994 dan 31 Desember 1994 (International Criminal tribunal for the Prosecution
156
Stephen B. Isabirye, Kooros M. Mahmoudi, Op. Cit. hal 41.
157
Mahmood Hamdani, African States, Citizenship, and War, International Affairs, Vol.
78, No.3, 2002, hal 101.
Rwanda Citizens Responsible for Genocide and Other Such Violations Committed
December 1994), yang secara resmi disingkat the International Tribunal for
Rwanda atau yang lebih populer dengan akronimnya “ICTR”) ICTR menunjuk
tiga jenis kejahatan yang termasuk kewenangan ICTR, yakni, pertama, genosida
mengadili pelaku kejahatan perang dan genosida di Rwanda sejak tanggal 6 April
1994.159
Tanpa menunggu konklusi akhir dari hasil kerja Komisi Ahli, pada tanggal
158
http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/04/dunia-internasional-menyikapi-
masalah.html, diakses pada tanggal 03 Juli 2017.
159
Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Penerbit
Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal 7.
Sama seperti ICTY, pihak yang sangat menentukan pembentukan ICTR adalah
Melalui resolusi 872 DK-PBB, sebuah misi khusus PBB untuk Rwanda
yang disebut dengan UNAMIR (United Nations Assistance Mission for Rwanda)
dibentuk pada 5 Oktober 1993. Komandan pasukan UNAMIR tiba di Kigali pada
22 Oktober 1993, yang diikuti oleh tim pendahulu yang terdiri dari 27 personil
militer pada 27 Oktober. Misi pasukan penjaga perdamaian PBB ini baru mulai
UNAMIR.162
membentuk sebuah komisi yang terdiri dari semua anggota Dewan Keamanan.163
penuh berada di tangan UNAMIR. Namun pada ahkirnya UNAMIR tidak begitu
berhasil dalam upaya perdamaian ini karena DK-PBB menetapkan mandat yang
lebih terbatas.164
163
The United Nations and Rwanda, (New York : Department of Public Information, UN),
1996, hal 47-48.
164
http://hartantowae.blogspot.co.id/2012/02/konflik-rwanda.html, diakses pada tanggal
10 Juli 2017.
bahwa para personilnya telah melakukan tindakan yang berani dalam menghadapi
kalangan sipil, pimpinan politik, maupun staff PBB, meskipun dengan resiko
dicapai kesepakatan gencatan senjata pada tahun 1992. Komisi kebenaran Rwanda
yang lahir setelah itu tidak bisa dipisahkan dari dicapainya kesepakatan
masalah di sekitar rencana pendirian Komisi, keempat LSM dari empat Negara
Munyagishari ditahan dan dibawa ke Kinshasa, Ibu Kota Kongo. Dia dituduh
Dewan Keamanan PBB juga masih mencari beberapa buronan lainnya yang
Genosida di Rwanda
terjadi seandainya PBB mau bertindak untuk melakukan intervensi dari sejak awal
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Konvensi Genosida. Pada konteks ini,
dipandang dari segi apapun, kasus di Rwanda adalah titik terendah kegagalan
PBB dalam melakukan peranannya. Tidak hanya Majelis Umum PBB yang
memalingkan muka dari terjadinya genosida ini, tetapi juga pasukan PBB yang
165
http://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/Pengadilan%20HAM%20dalam%20konte
ks%20-%20ifdhal%20kasim.pdf, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
166
http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_PerkembKonsepTanggungJwbAtasanTh
dKejahatanPlgSerius.pdf, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
Rwanda malah menyerahkan suku Tutsi yang seharusnya mereka lindungi kepada
dengan sistem PBB sendiri yang tidak dirancang baik secara struktural maupun
dapat membuat keputusan yang mengikat kepada anggotanya, namun hal itu tidak
bisa berjalan jika tidak ada dukungan kekuatan dari Dewan Keamanan.168
tubuh PBB, yang pada akhirnya terus menggerogoti kedaulatan negara dan prinsip
netralitas petugas dan prosedur PBB itu sendiri. Hak veto yang dimiliki oleh
seringkali dijadikan ancaman atau digunakan secara tidak konsisten dan sinis
untuk berbagai krisis internasional yang terjadi. Hak veto tersebut telah
sebenarnya penting untuk bentuk hukum manapun, baik secara nasional maupun
internasional.169
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB
167
https://dauzsy.wordpress.com/2007/08/17/hotel-rwnda-genosida-di-rwanda-dan-
kegagalan-pbb/, diakses pada tanggal 07 Juli 2017.
168
Geoffrey Robertson Q.C., Op. Cit., hal 514.
169
Ibid. hal 515.
bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang
perhatian besar dari dunia internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika
Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena negeri ini tidak
memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional. Jadi negeri yang lain
tidak memiliki national interest terhadap Rwanda. Selain itu, negeri ini tidak
terjadi setelah melihat banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan. PBB yang
perdamaian dunia, di dalam konflik Rwanda ini, dinilai tidak tegas dan lamban
170
Geoffrey Robertson Q.C., Op. Cit., hal 84.
171
Ibid. hal 85.
ICTR ini adalah untuk membantu proses rekonsiliasi di Rwanda dan untuk
172
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-
rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran, diakses pada tanggal 08 Juli 2017.
173
Ibid.
A. Kesimpulan
1. Setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik dalam kategori berat atau
berat (The most serious crime / Gross violation of human rights) dalam
a. Genosida
Menurut pasal 6 ICC Genosida adalah salah satu atau lebih dari
agama.
sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang
Agustus 1949.
d. Agresi
yang permanen. Statuta Roma 1998 mulai berlaku efektif pada tanggal 1
Juli 2002, yaitu setelah lewat hari ke-60 sejak ratifikasi negara ke-60 pada
tanggal 11 April 2002 sesuai maksud Pasal 126 statuta. Pada tanggal
yang masih merupakan bagian dari Mahkamah Internasional Den Haag ini,
Menteri Rwanda.
suku dan ras tetap berpegang teguh untuk mempertahankan hak-hak dan
2. Kepada para penegak hukum harus lebih tegas untuk menangani kasus
Genosida yang terjadi di dunia ini, hal ini dikarenakan Tindak pidana
berat.
I. BUKU
Agustina, Shinta, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan
Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006.
Ali, Mahrus, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013.
Ambarwati, Denny Rahmadany, dan Rina Rusman, Hukum Humaniter
Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009.
Arinanto, Satya, Rekonsiliasi Dalam Penanganan Kasus-Kasus
Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I, Jakarta, 2008.
Asplun, Knud D., Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta,
PUSHAM UII, 2008.
Bassiouni, M.C. (et.al), ILC Draft Statute for an International Criminal
Court With Suggested Modifications, Chicago, Maret 1996, hal. 28. Lihat juga
pembahasan ini dalam Devy Sondakh, Peradilan Mahkamah Internasional AD
Hoc Den Haag Para Penjahat Perang Di Wilayah Bekas Yugoslavia Dan
Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Tesis, Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1999.
Dallaire, Romeo, Shake Hands With The Devils, Random House, Canada,
2003.
De Waal, Alex, dan Rakiya Omaar, The Genocide in Rwanda and the
International Response, Current History, 1995.
Diantha, I Made Pasek, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika
Pengadilan Pidana Internasional, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.
Djaali.,et al. Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Teoritis dan Aplikasi).
CV Restu Agung, Jakarta, 2003.
II. Jurnal