Dosen Pengampu :
Lucia Setyawahyuningtyas, SH., M.Kn
Disusun Oleh :
Nama : Amilatul fadhilah
NIM : 20110410011
Program Studi : Hukum
Mata Ujian : Pengantar Hukum Indonesia
Kelas : B - Karyawan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
3.1 Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Proses pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik diawali
dengan pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan. Perjanjian tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 huruf b UUPA
haruslah berbentuk otentik dan dituangkan dalam akta PPAT yang berjudul: Akta Pemberian
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut
PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997), sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai
pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu mengecek
keabsahan dari sertipikat Hak Milik yang bersangkutan pada Kantor Pertanahan setempat.
Oleh karena perbuatan hukum pembebanan hak ini merupakan obyek Pajak
Penghasilan (PPh) pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan obyek Bea Perolehan Hak
atau Tanah dan Bangunan (BPHTB), maka masing-masing pihak wajib membayar pajak-
pajak dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dilakukan
terhadap seluruh tanah Hak Milik atau sebagian dari tanah Hak Milik, hal mana disepakati
para pihak secara tegas dalam Akta PPAT.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut
memuat syarat-syarat yang disepati oleh para pihak, yakni :
3.2 Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 40 Tahun 1996)
menetapkan Hak. Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu
paling lama 30 tahun. Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka
waktu paling lama 25 tahun. Jangka waktu tersebut tidak dapat diperpanjang, akan tetapi atas
kesepakatan antara para pihak, pembebanan hak tersebut dapat diperbaharui dengan
pembuatan akta PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan.
Permasalahannya, dengan jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang, apakah
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik menguntungkan bagi para
investor/penanam modal, baik lokal maupun asing?
Bandingkan dengan jangka waktu untuk tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas
tanah negara dan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat
diperpanjang dan diperbaharui haknya. Dan khusus untuk kepentingan penanaman modal,
Pasal 28 juncto Pasal 48 PP 40 Tahun 1996 menetapkan, permintaan perpanjangan dan
pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dapat dilakukan sekaligus dengan membayar
uang pemasukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai. Dan dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk
perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai hanya dikenakan biaya
administrasi. Hal ini berarti investor dapat memperoleh jaminan kepastian hukum atas jangka
waktu penggunaan tanah Hak Guna Bangunan selama 80 tahun dan untuk tanah Hak Pakai
selama 70 tahun dengan pembayaran uang pemasukan sekaligus di muka.
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut memberi hak kepada pemegang hak yang
bersangkutan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik yang
menjadi obyek pemberian hak sampai berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai tersebut.
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap membebani Hak Milik yang
bersangkutan, walaupun Hak Milik itu telah beralih atau dialihkan oleh pemegang Hak Milik
kepada pihak lain, dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap dapat
melaksanakan haknya sampai jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai itu berakhir.
Dalam melaksanakan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut, pemegang Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai tidak diperbolehkan menghilangkan tanda-tanda batas pada tanah.
Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan tidak boleh membangun
bangunan yang melintasi batas obyek pemberian hak.
Dalam melaksanakan pembangunan, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib
memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendirian bangunan
dan rencana tata ruang wilayah serta wajib memiliki ijin-ijin yang disyaratkan. Pelanggaran
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku menjadi tanggung jawab pemegang
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang bersangkutan.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai akan memelihara dan mengelola
bangunan, termasuk benda-benda serta sasarannya dengan sebaik-baiknya, dan apabila
ternyata ditelantarkan, maka yang bersangkutan menyerahkan dan memberi kuasa kepada
pemegang Hak Milik untuk mengelola dan memeliharanya hingga jangka waktu pemberian
haknya berakhir.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperkenankan menjual dan/atau
dengan cara apapun mengalihkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di
atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak diperkenankan
untuk mengagunkan/menjaminkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di
atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik.
Khusus untuk Hak Pakai atas tanah Hak Milik, sekalipun dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda- Benda yang
Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) termasuk obyek
hak tanggungan, namun karena hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang
mengaturnya lebih lanjut, sehingga belum bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.
3.4 Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dilakukan pada
Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan :
Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak
Milik; Sertipikat Hak Milik;
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Negara yang dibuat di
hadapan PPAT yang berwenang;
Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai; Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);
Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dalam hal
bea tersebut terhutang;
Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam hal pajak tersebut terhutang.
Pendaftaran pembebanan hak tersebut dicatat dalam buku tanah dan sertipikat Hak
Milik yang bersangkutan dan selanjutnya sertipikat Hak Milik dikembalikan kepada pemegang
Hak Milik. Sedangkan untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dibuatkan Buku Tanah
dan Surat Ukur tersendiri dan kepada pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diterbitkan
Sertipikat Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, yang di dalamnya disebutkan asal sertipikat Hak
Milik
3.5 Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan Badan
Hukum Asing Pada pertengahan tahun 1996, tepatnya tanggal 17 Juni 1996, Pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (untuk selanjutnya
disebut PP 41 Tahun 1996). Setelah lebih dari 14 tahun berlaku, peraturan tersebut dirasa
belum mampu memacu minat orang asing untuk memiliki properti di Indonesia.
Pemerintah saat ini tengah gencar melakukan upaya deregulasi dan debirokratisasi di
bidang penanaman modal, agar Indonesia masuk dalam jajaran negara berkembang yang
mempunyai daya tarik bagi para investor, terutama investor asing.
Dengan masuknya investor asing ke Indonesia, maka banyak warga negara asing yang
bekerja di Indonesia. Di samping itu dengan telah diberlakukannya Peraturan Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Permohonan dan Tata Cara
Permohonan Penanaman Modal pada tanggal 2 Januari 2010 dan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal pada tanggal 25 Mei 2010, maka
akan semakin banyak investor asing yang membutuhkan tanah dan properti untuk kegiatan
proyek usahanya.
Dengan hal tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat telah menuntaskan Rancangan
Peraturan Pemerintah pengganti PP 41 Tahun 1996 (untuk selanjutnya disebut RPP). RPP ini
diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi warga lokal, meningkatkan arus wisatawan,
serta meningkatkan pasar perumahan Indonesia di luar negeri.
Hingga makalah ini dibuat, RPP tersebut belum diundangkan, oleh karena masih
menunggu disetujuinya amandemen 2 (dua) Undang-Undang, yakni UU No 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
BAB IV
TINJUAN PUSTAKA
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-
beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan,
perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-
beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada
tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;
2. Seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik
Indonesia;
3. Seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
4. Sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan
galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha
industry, perrtambangan dan sejenisnya;
5. Sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman
maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai
bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita
nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. Menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian
kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;
2. Mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin
memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3. Mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan
sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi
masing- masing;
4. Mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala
hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5. Memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut
tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh
para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang
bersangkutan;
6. Menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang
menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi
tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.
1. Fase Pertama
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA,yang terbagi pula atas 2 “kutub” hukum, yakni;
Hukum agraria Adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik,hak pakai, dan hak
ulayat. Hukum agraria Barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas tanah seperti hak
eigendom (hak milik), hak opsal( hak guna pakai), hak erfpacht ( hak guna usaha), hak
gebruik (hak guna bangunan) dan sebagainya.
2. Fase Kedua
Hukum Agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960), yang
melahirkan hak atas tanah seperti: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang dan sebagainya
4.3 . SUMBER HUKUM AGRARIA
Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria yaitu;
1. Perundang-undangan;
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang N0. 56 Tahun 1960, Tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian
d. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan Tambahan
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
2. Hukum Kebiasaan
3. Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam Pasal 1 dan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang Undang
No. 5/1960 – UUPA dikenal dengan istilah Hak Bangsa Indonesia, dimana berdasarkan Hak
ini, maka konsep hukum tanah Indonesia dinyatakan bahwa pada dasarnya seluruh tanah
yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh bangsa
Indonesia.
Karena keseluruhan tanah yang ada di Indonesia konsepnya merupakan karunia dari
Tuhan Yang Maha Esa, maka untuk menghindari kekacauan dalam peruntukan dan
pemilikannya, diperlukan suatu pengaturan terhadap peruntukan dan pemilikan tanah
tersebut. Untuk itu lebih lanjut dalam pasal 2 juncto pasal 8 UUPA dikenal dengan Hak
Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara adalah hak yang dimiliki oleh Negara untuk melakukan
pengaturan tanah yang merupakan Karunia dari Tuhan Yang Maha Esa baik dalam
peruntukan maupun kepemilikan terhadap tanah di Indonesia.
Dengan pengaturan yang dilakukan oleh Negara diharapkan cita-cita Undang Undang
Dasar pasal 33 ayat 3 dapat tercapai, yaitu; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Dalam Hak Bangsa Indonesia, terdapat hak yang diberi kewenangan khusus, yaitu
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak Ulayat pada dasarnya hampir sama dengan Hak
Bangsa Indonesia, karena Hak Ulayat adalah milik semua anggota masyarakat hokum adat
setempat. Kepala adat berhak dalam melakukan pengaturan penggunaan maupun pengelolaan
tanah atas Hak Ulayat. Hak Ulayat ini sebagaimana telah dipertegas dalam ketentuan pasal 3
juncto pasal 5 UUPA.
Kepada Hak Menguasai Negara, maka konsekuensinya mengakibatkan seluruh tanah
yang belum ada kepemilikannya (kecuali tanah ulayat sebagaimana dijelaskan sebelumnya),
adalah dikuasai oleh Negara. Sehingga jika ada seorang warga Negara Indonesia hendak
memiliki atau mempergunakan sebuah lahan tanah, maka warga tersebut hanya dapat
dinyatakan sebagai pemilik jika sudah mengajukan permohonan hak atas tanah. Atau, jika
orang ini sudah menempati lahan tanah tersebut selama lebih dari 30 tahun, maka dapat
mengajukan permohonan pengakuan hak.
5.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pemerintah untuk lebih menguasai hak-hak yang
seharusnya dikuasai oleh negara. Dan lebih mempertanggung jawabkan atas konsekuensinya
yang telah dicatat dan yg telah dipertanggung jawabkan oleh pemerintah agar pemerintah
lebih menguasai hak atas tanahnya dan dibatasi mana yg milik negara dan mana yang bukan
milik negara karna hak atas milik tanah negara sudah tercampur dengan hak milik atas tanah
orang lain.
DAFTAR PUSTAKA