DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….3
A. Latar Belakang……………………………………………………………...3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………..3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4
A. Kesimpulan............................................................................................................12
B. Saran……………………………………………………………………………...12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................13
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Biblioterapi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Di atas gedung
PerpustakaanThebes terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan
dibawahnya ada manuskrip berbunyi tempat penyembuhan jiwa (the healing place of
the soul). Ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak
dapat dilepaskan dari Plato. Menurutnya, orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita
dan kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi
model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Biblioterapi berasal dari kata biblion dan therapeia. Biblion berarti buku atau
bahan bacaan, sementara therapeia artinya penyembuhaan. Jadi, biblioterapi dapat
dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan berfungsi untuk
mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga
menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Biblio Edukasi?
2. Bagaimanakah karakteristik Biblio Edukasi?
3. Bagaimanakah bentuk dari Biblio Edukasi?
4. Apa sajakah langkah-langkah Biblio Edukasi?
5. Bagaimanakah kelemahan dan kekuatan dari Biblio Edukasi?
6. Bagaimankah sejarah dari teknik Biblio Edukasi?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam penerapan biblioterapi konseli sebaiknya melewati tiga tahapan berikut ini:
4
b. Katarsis, konseli menjadi terlibat secara emosional dalam kisah dan
menyalurkan emosi-emosi yang terpendam dalam dirinya secara aman (seringnya
melalui diskusi atau karya seni).
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan biblio edukasi, baik dilakukan
secara perorangan maupun kelompok:
b. berikan waktu yang cukup. konselor mengajak peserta untuk membaca bahan-
bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab
dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan.
d. Tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Lewat
diskusi peserta mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga
memunculkan gagasan baru. Lalu, terapis membantu peserta untuk merealisasikan
pengetahuan itu dalam hidupnya.
e. Evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh peserta. Hal ini
memancing peserta untuk memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti
peengalaman yang dialami.
5
Elizabeth Hurlock mengemukakan bahwa penyebab masalah yang dihadapi
oleh konseli terbagi atas dua penyebab, yaitu : pertama, penyebab yang
mempengaruhi, dan kedua ; penyebab yang menggerakkan. Kekuatan penyebab
pertama menjadukan penyebab kedua mendorong konseli untuk menuju pada
kenakalan. Jenis atau tingkat masalah yang dapat diselesaikan dengan tekhnik
biblioterapi adalah :
a. Masalah keseharian,
b. Masalah pendidikan,
c. Masalah pekerjaan,
d. Masalah kesehatan,
e. Masalah sosial.
Wujud masalah tersebut seperti tidak tahu cara belajar yang efektif, sulit
menghilangkan rasa malu, tidak mampu bersikap asertif, kurang percaya diri,
sulitmenurunkan berat badan, menghilangkan kebiasaan merokok atau
ketergantungan pada alkohol.
b. Sesuaikan konseli dengan bahan-bahan bacaan yang tepat. Carilah buku yang
berhubungan dengan perceraian, kematian keluarga, atau apapun yang dibutuhkan
yang telah diidentifikasi. Jagalah hal-hal ini dalam ingatan:
6
Karakteristik seharus dapat dipercaya dan mampu memunculkan rasa empati.
Alur kisah seharusnya realistis dan melibatkan kreativitas untuk
menyelesaian masalah.
c. Putuskan susunan waktu dan sesi serta bagaimana sesi diperkenalkan pada
konseli.
g. Berilah waktu jeda beberapa menit agar klien bisa merefleksikan materi
bacaannya.
7
h. Dampingi konseli untuk meraih penutupan melalui diskusi dan menyusun daftar
jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.
2. Memberikan waktu yang cukup untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah
disiapkan hingga selesai. Sebelumnya, peneliti atau konselor sudah memahami benar
bacaan yang disediakan.
3. Lakukan inkubasi, Peneliti atau konselor memberikan waktu pada konseli untuk
merenungkan dan merefleksi materi yang baru saja mereka baca.
4. Tindak lanjut, Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Melalui
diskusi klien mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga
memunculkan gagasan baru. Kemudian, peneliti atau konselor membantu konseli
untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
5. Evaluasi, Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh konseli. Hal ini
dilakukan untuk memancing konseli memperoleh kesimpulan yang tuntas dan
memahami arti pengalaman yang dialami.
1) Kekuatan tekhnik
8
yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran
penulis, menerjemahkan simbol dan huruf kedalam kata dan kalimat yang memiliki
makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri”
dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat
tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional.
Pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang
dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan
wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan
dalam menangai masalah.
Pada tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat
melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini
dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan
saling memiliki.
Pada tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk
membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut,
malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa
malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
Pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan
kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan
solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain
sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan
masalahnya.
2) Kelemahan tekhnik
9
Selama berabad‐abad, buku telah digunakan sebagai sumberdaya untuk
membantu orang mengatasi masalahnya. Sebagai contoh, pada masa Thebes kuno,
perpustakaan digambarkan sebagai “The Healing Place of The Soul”, tempat
penyembuhan jiwa. Masyarakat Thebes kuno menghargai buku sebagai sebuah
sumber untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Schrank dan Engels (1981)
menyatakan bahwa praktik bibliotherapi dapat telusuri sampai masa Thebes kuno dan
kemudian digunakan sebagai sumber bantuan untuk pengajaran dan penyembuhan.
Beberapa buku sekolah permulaan di Amerika seperti New England Primer
dan Mc Guffy Readers digunakan tidak hanya untuk tujuan mengajar anak‐anak
namun juga membantu mereka mengembangkan karakter dan nilai (value) positif,
dan untuk meningkatkan penyesuaian pribadi (Spache, 1974). Para pendidik saat ini,
termasuk banyak klinisi, menyadari bahwa dapat memainkan peran positif dalam
membantu orang mengatasi masalah penyesuaian pribadi, termasuk masalah
kehidupan sehari‐hari.
Biblio edukasi baru belakangn ini mendapat pengakuan sebagai sebuah pendekatan
treatment. Perkembangan ini terjadi sekitar abad 20. Dua orang pendukung awal
biblio edukasi pada abad 20 adalah Dr. Karl dan Dr. William Menninger sejumlah
artikel muncul dalam literature professional pada tahun 1940-an. Artikel-artikel itu
sering kali memfokuskan pada validasi psikologis dari teknik treatment baru ini.
Sejumlah tokoh berpendapat bahwa biblio edukasi tidak harus merupakan proses
yang perlu diarahkan oleh terapis terlatih. Sebagaimana kemudian dinyatakan dalam
bukunya, bibliotherapy dapat dilakukan oleh individu yang tidak dilatih sebagai
terapis. Sebagai contoh, orangtua atau guru dapat berhasil menggunakan biblio
edukasi untuk membantu anak mengatasi masalah yang berhubungan dengan
perkembangan dan penyesuaian pribadi. Pada tahun 1960an, Hannigan dan
Henderson (1963) melakukan penelitian, Penelitian mereka terdiri atas beberapa
upaya awal untuk menguji keefektifan bibliotherapy sebagai alat treatment
10
Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan
pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca
menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam
kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati.
Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku
lebih positif.
Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan
dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama,
pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang
dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan
intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam
menangai masalah.
Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia
dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini
dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling
memiliki.
Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk
membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu,
dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu
akibat rahasia pribadinya terbongkar.
Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan
mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat
menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami
orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk
memecahkan masalahnya.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya semua tekhnik dalam Bimbingan dan Konseling kegunaannya
adalah sama untuk menyelesaikan masalah konseli itu sendiri. Tapi, untuk
menyelesaikan masalah itu tidak secara tiba – tiba menggunakan teknik yang ada
tetapi masalah konseli harus diidentifikasi dulu agar konselor bisa menggunakan
teknik yang sesuai dengan masalah konseli. Dengan demikian, konselor haruslah
memahami betul teknik – teknik agar menjadikan konselor yang berwawasan luas dan
profesional.Dengan mengetahui kegunaan buku sebagai media untuk terapi konseli
itu sendiri yaitu dengan disebut biblio terapi.
3.2 Saran
Kami menyarankan khususnya pada para konselor hendaknya dalam
menangani masalah konseli agar lebih variatif dalam menggunakan teknik dan lebih
banyak menguasai teknik salah satunya Teknik Biblioterapi guna proses konseling
bisa berjalan efektif dan efisien sehingga masalah konseli bisa dipecahkan.
12
Daftar Pustaka
13