Anda di halaman 1dari 21

PERANG DAN KEMERDEKAAN: Peristiwa Kecil Sehari-hari dalam Revolusi

Indonesia (1945-1949) di Bali


Oleh Nyoman Wijaya

Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3,


staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana, Denpasar Bali,
Peneliti senior TSP Art and Science Writing

Penulis koresponden: iwijayastsp@yahoo.co.id

Latar Belakang
Perjalanan Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali dapat diperas dalam
empat babak, yakni (i) masa Bersiap; (ii) kedatangan Sekutu dan pendaratan
NICA; (iii) perang gerilya; dan (iv) menyerah-meneruskan perlawanan. Babak
pertama terjadi setelah insiden penurunan bendera Belanda di Buleleng. Diawali
dengan datangnya kapal ‘Abraham Grijns’ berbendera Belanda di Pelabuhan
Buleleng pada 25 Oktober 1945. Para hari ketiga, terjadi saling turun menurunkan
bendera. Dalam peristiwa ini seorang pemuda pejuang tewas karena terkena
tembakan senjata api dari atas kapal. Setelah kapal Abraham Grijns meninggalkan
Pelabuhan Buleleng, para pemuda pejuang memasuki masa Bersiap untuk
menyambut kedatangan Belanda, antara lain pada 13 Desember 1945 merebut
senjata di tangsi-tangsi militer Jepang, namun gagal.
Babak kedua kedatangan Sekutu dan pendaratan NICA. Tentara Sekutu
datang pada tanggal 16 Februari 1946 di Pelabuhan Benoa, Badung. Disusul oleh


Makalah yang dibawakan dalam Workshop Revolusi Indonesia di UGM Yogyakarta tanggal 27
April s/4 Mei 2018.

1
2

Kapal Gajah Merah, mendarat di Pantai Sanur pada 2 Maret 1946 yang
menurunkan satu kesatuan alat pemerintah sipil Hindia Belanda, disebut
Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil
Administration (NICA). Jadi, NICA tidak ‘dibonceng’ dalam pengertian harfiah
oleh Sekutu, datang bersamaan dalam satu kapal, melainkan hanya di-backing dari
Pelabuhan Benoa, yang jaraknya relatif dekat.
Babak ketiga Perang Gerilya. Langkah pertama yang dilakukan oleh
pasukan Gajah Merah (NICA) adalah menduduki semua daerah di Bali mulai dari
Denpasar, Gianyar dan seterusnya. Pada tanggal 11 Maret 1946 NICA
mengadakan perundingan dengan para pejabat pemerintahan Republik Indonesia
Sunda Kecil di Singaraja yang berlanjut dengan penangkapan dan penurunan
bendera Merah Putih. Bersamaan dengan itu barisan Pemuda Pembela Negara
(PPN) bentukan Raja Gianyar menyatakan bekerja sama dengan NICA. Situasi
semakin genting. Mulai 12 Maret terjadi perang gerilya secara seporadis terutama
di daerah pegunungan. Berakhir dengan kalahnya pasukan Ciungwanara di bawah
pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai dalam perang di lahan terbuka Klaci,
Margarana pada 20 Nopember 1946. Jadi Revolusi Indonesia (1945-1949) melalui
jalur militer di Bali hanya berlangsung 8 bulan.
Babak keempat, menyerah-meneruskan perlawanan. Pada awalnya ada
keputusan dari Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil untuk
melanjutkan perjuangan melalui jalur militer dan sudah sempat mengirim kurir ke
Jawa untuk memohon bantuan. Akan tetapi hasil Konferensi Denpasar dan
Persetujuan Linggarjati memperlemah langah-langkah tersebut. Mereka
dihadapkan pada dua pilihan antara menyerah atau melawan yang disebut oleh
NICA sebagai perusuh dan perampok. Para pemuda pejuang terpecah jadi dua:
ada yang menyerah kepada Dewan Raja-raja di Bali dan melanjutkan perjuangan.
Sedangkan kelompok yang masih mengadakan perlawanan mendirikan markas
perjuangan baru disebut Markas Besar Istimewa (MBI). ‘Istimewa,’ maksudnya
mereka tidak sepenuhnya berperang memakai taktik militer, tetapi juga
‘berkomunikasi’ dengan alam gaib.
3

Pembabakan sedemikian rupa, tertuang dalam karya monumental Nyoman


S. Pendit (1976) yang dalam batas-batas tertentu ditemukan pula pada karya Anak
Agung Bagus Wirawan (2012). Sebelumnya ada karya Ida Bagus Rama (1981),
yang lebih menukik pada struktur organisasi perjuangan dalam Revolusi Fisik di
Bali 1945-1950, sehingga tampak sedikit berbeda dengan dua karya sebelumnya
di atas. Lebih berbeda lagi adalah karya I Gusti Ngurah Pindha (2012), seorang
aktor, pelaku dalam revolusi fisik di Bali. Dalam bukunya ini Pindha
membicarakan perang dari dalam tubuhnya sendiri. Di dalamnya antara lain
disebutkan para pemuda pejuang bukan hanya berperang dan berperang, namun
ada juga sisi lainnya mengenai kecantikan seorang gadis desa, keluguan para
gadis desa, serta taktik dan strategi para mata-mata NICA, bisa disebut sebagai
peristiwa sehari-hari yang remeh temeh dalam arena Revolusi Indonesia (1945-
1949) di Bali. Sekalipun jumlah peristiwa sehari-hari yang remeh temeh seperti
diceritakan oleh Pindha relatif sedikit, namun sudah cukup memberikan inspirasi
untuk penulisan studi ini.
Jika di arena perang saja, masih terbaca kisah sehari-hari yang remeh
temeh, lalu bagaimana halnya dengan di luar? Berangkat dari pertanyaan sentral
tersebut, maka studi ini akan mencoba melihat peristiwa kecil sehari-hari yang
remeh temeh dalam Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali, baik yang
berlangsung di dalam maupun di luar arena perang. Akan tetapi fokus
penelitiannya bukan sekedar peristiwa sehari-hari yang remeh temeh saja,
melainkan harus ada kaitannya secara langsung dengan perang dan kemerdekaan
di masa Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali. Di luar arena perang, peristiwa
kecil sehari-hari yang remeh temeh itu dapat dilihat hampir pada setiap babakan
dalam Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali dan terpencar di berbagai desa.
Demi mudahnya menangkap dan memahami ‘wujud’ peristiwa kecil
sehari-hari yang remeh temeh tersebut, maka dalam studi ini, revolusi diposisikan
sebagai sebuah wacana ala Foucault, sehingga bisa diasumsikan menjadi begitu
banyak orang yang menangkap pengetahuan tersembunyi di baliknya untuk
dijadikan sebagai kekuasaan, maka lahirlah wacana sekunder, tersier, dan
seterusnya. Akan tetapi pengertian kekuasaan dalam studi ini bukan elite penguasa
4

maupun atribut-atributnya, melainkan strategi yang diakibatkan oleh fungsi


(disposisi, manuver, taktik, dan teknik). Jelasnya, kekuasaan itu tidak ada
dasarnya, karena dia bertahan sebagai jaringan kompleks yang tak terbatas dari
kekuasaan mikro, dari hubungan yang meresap pada setiap aspek kehidupan
sosial. Kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga mencipta (Michel Foucault,
1980: 114).
Tujuan kekuasaan adalah untuk menjadikan tubuh orang-orang Bali
disiplin, dalam pengertian patuh dan taat, baik bersifat yang produktif maupun
non-produktif, yang kandungan ceritanya berbeda-beda sesuai dengan tipikal
masing-masing desa terhadap Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali. Di desa
Sanur, tidak pernah terjadi perang yang sesungguhnya. Situasi seolah-olah sedang
terjadi perang, hanya terlihat pada babak pertama menjelang pelaksanaan
serangan umum terhadap tangsi-tangsi militer Jepang tanggal 13 Desember 1945.
Setelah itu, keesokan hari dan seterusnya kehidupan masyarakat kembali berjalan
normal seperti biasanya (Nyoman Wijaya, 2014).
Suasana perang-kemerdekaan di desa ini, dalam pengertian sebatas adanya
situasi agak mencekam, baru terlihat kembali ketika Revolusi Indonesia (1945-
1949) di Bali memasuki babak keempat. Sehari setelah perang Margarana,
tepatnya, Kamis, 21 November 1946 NICA mengumumkan peristiwa kekalahan
pasukan Ciungwanara di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai di Desa
Klaci, Margarana keliling kota menggunakan pengeras suara dari atas mobil.
Dengan demikian, sebagian besar anggota masyarakat Bali mengetahui peristiwa
kekalahan itu (Nyoman Wijaya, 2003: 98). Kekalahan ini begitu berpengaruh bagi
perjalanan perjuangan selanjutnya, yang antara lain ditandai dengan tampilnya
Widja Kusuma (alias Joko) sebagai pimpinan baru DPRI dan kurang solidnya
jalan organisasi perjuangan di Bali (Nyoman Wijaya, 2014).
Beberapa lama kemudian berlangsung Konferensi Denpasar, yang
berujung pada berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibukota di
Makassar dan Tjokorde Gde Raka Soekawati terpilih sebagai presidennya, dibantu
Anak Agung Gde Agung selaku wakilnya. Setelah itu muncul tindakan agresif
polisi dalam menyisir keberadaan para gerilyawan. Hal itu sesuai dengan
5

keinginan H.J. van Mook membasmi para gerilyawan yang masih melakukan
perjuangan (Nyoman S. Pendit, 2008: 228-231), termasuk di Sanur, 6 km di
sebelah Timur Kota Denpasar. Desa ini memiliki sejumlah pejuang antara lain Ida
Bagus Alit Sudarma, Ida Bagus Raca, dan Ida Bagus Banjar. Keberadaan mereka
sulit dilacak sekalipun sudah menggunakan bantuan NICA Gandek, yakni orang-
orang lokal yang berpihak secara sembunyi-sembunyi kepada Belanda
(Wawancara dengan Ide Pedanda Gde Dwidja Ngenjung, di Sanur, tanggal 18
Desember 2010).
NICA Gandek di Sanur berkoordinasi dengan polisi yang tinggal di sebuah
asrama. Mereka sering meneror warga Sanur. Mereka juga kerap melakukan razia.
Semua laki-laki dewasa harus keluar rumah dan berkumpul di depan rumah atau
balai banjar masing-masing. Para polisi NICA itu ikut memeriksa kondisi fisik
orang-orang yang sedang dirazia. Mereka yang berambut gondrong atau yang
wajahnya pucat, diambil dan diinterogasi karena disinyalir sebagai gerilyawan
pembela Republik Indonesia, ditawan di Puri Pemecutan, salah satu dari 3 istana
Badung, pada zaman kerajaan. Kejadian ini hanya salah satu dari sekian banyak
peristiwa kecil sehari-hari yang remeh temeh di zaman Revolusi Indonesia (1945-
1949) di Bali. Peristiwa-peristiwa lainnya, misalnya olok-olok anak-anak kecil
terhadap NICA dengan cara meluncurkan roket kertas mesiu yang bisa menyala di
utara, dan pencurian benda-benda pusaka oleh tentara NICA (Wawancara dengan
Ide Pedanda Gde Dwidja Ngenjung, di Sanur, tanggal 18 Desember 2010).
Masih dalam babak pertama, gambaran peristiwa sehari-hari di Desa Sanur
sangat berbeda dengan yang di Desa Peguyangan, 7 km di sebelah Utara Kota
Denpasar. Di desa ini, situasi revolusi (perang dan kemerdekaan) tampak lebih
jelas. Pada babak pertama, setelah gagalnya penyerbuan tangsi-tangsi Jepang pada
13 Desember 1945 itu, para pejuang kemerdekaan sempat terjepit di Puri Satria
dan Puri Kesiman, keduanya merupakan rumah keluarga kerajaan di Badung,
dapat meloloskan diri menuju ke Desa Peguyangan. Mereka membentuk base
camp di Taman, di seberang jalan, di depam Jro Gede Peguyangan, rumah seorang
pejabat di zaman kerajaan Badung. Kebutuhan konsumsi para pejuang ditanggung
6

bersama dengan cara gotong-royong, yang sampai melibatkan anak-anak kecil


untuk mencari belut.
Pada babak kedua, setelah gagalnya serangan terhadap tangsi NICA di
Denpasar pada tanggal 10 April 1946 semakin banyak pula pimpinan pejuang
yang bersembunyi di Desa Peguyangan, antara lain I Gusti Ngurah Kusuma Judha
(dari Puri Kesiman, salah satu istana Kerajaan Badung), I Gusti Ngurah Pindha,
Ida Bagus Djapa, dan G. K Regig. Mereka mengatur strategi serangan bersama
dengan para pimpinan pejuang lokal di antaranya I Wayan Diarsa. Pada hari
Sabtu, tanggal 7 April 1946 Diarsa sudah mulai memobilisasi massa, terutama
yang berpengalaman dalam bidang militer, untuk berkumpul di Pagutan, Gaji
(Badung), sekitar lima belas kilometer di sebelah barat Desa Peguyangan. Pada
hari Sabtu, tanggal 13 April 1946, tentara NICA mengepung Desa Peguyangan,
menggiring penduduknya berkumpul di suatu tempat, diperiksa satu persatu
(Nyoman Suada, 2003: 20). Dalam upaya mengelabui tentara NICA, para pejuang
di Desa Peguyangan menyelenggarakan kegiatan sosial-budaya, di antaranya
pemberantasan buta huruf dan latihan-latihan seni karawitan dan seni tari.
Gerakan ini dikoordinir oleh para guru sekolah rakyat, di antaranya I Gusti Putu
Rai Tjakra, I Gusti Ketut Jatra, I Gusti Putu Pegeg, dan I Wayan Kandi (Nyoman
Suada, 2003: 24).
Demikianlah sebagian dari peristiwa kecil sehari-hari yang remeh temeh
dalam Revolusi Indonesia (1945-1949) yang terjadi di Desa Peguyangan Bali.
Peristiwa yang terjadi di Peguyangan berbeda dengan di Desa Sobangan, sekitar
22 km di utara Denpasar. Setelah peristiwa Margarana 20 Nopember 1946, desa
ini menjadi markas perjuangan MBI di bawah pimpinan Ida Bagus Tantra alias
Poleng. Dia didampingi oleh para pimpinan pejuang lainnya, seperti Tjokorde
Tresna, seorang bangsawan Puri Satria, yang merupakan penerus Puri Denpasar
setelah dihancurkan oleh Belanda tahun 1906. Sekalipun strategis, namun lokasi
Desa Sobangan sangat sulit ditembus oleh orang-orang pro Republik yang tinggal
di Denpasar, karena di sebelah selatan desa ini ada tangsi Baha, tempat
bermarkasnya tentara NICA.
7

Daerah-daerah di sekitar Baha, seperti Mengwi dan Babakan, sebagian


besar jatuh ke tangan NICA. Oleh karena para pimpinan pejuang di desa ini
memerlukan kehadiran anak-anak muda, para pelajar sebagai penghubung dengan
pihak keluarga mereka masing-masing. Akan tetapi tidak banyak yang dapat
diketahui dari para penghubung ini mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Desa Sobangan, karena tugas mereka hanya mengantarkan surat saja. Masalah ini
dapat diatasi melalui hasil rekaman wawancara dengan Ida Bagus Tantra di tahun
1996 (ARC Project), sehingga dapat diketahui setelah peristiwa Margarana 20
Nopember 1946 itu, perlawanan para pejuang kemerdekaan di Bali masih tetap
berlangsung, sekalipun tidak sefrontal sebelumnya. Mereka bergerak secara
sembunyi-sembunyi dan menjalin hubungan dengan dunia gaib. Oleh karena itu
kelompok ini menyebut diri sebagai nama Markas Besar Istimewa. Istimewa
artinya, perjuangan mereka terjadi atas sepengetahuan dan mendapat perlindungan
dari alam gaib, seluruh dewa yang ada di Bali.
Sementara di Kota Gianyar yang merupakan markas PPN, ditemukan
kisah cerita lain. Peristiwa kecil sehari-hari yang remeh temeh di kota Gianyar
adalah penyiksaan para tawanan yang terjadi pada babak ketiga, ketika perang
gerilya di gunung-gunung sedang berlangsung. Ternyata PPN begitu aktif
menangkap orang-orang yang diduga terlibat atau pro Republik. Mereka yang
berhasil ditangkap, lalu ditahan dan disiksa dalam penjara. Ternyata tidak semua
tawanan itu pemuda pejuang, melainkan banyak juga orang yang tidak terlibat
dalam Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali, seperti yang dialami oleh
Tjokorde Gede Agung Soekawati, adik tiri Tjokorde Gde Raka Soekawati,
Presiden NIT. Pada awalnya, ketika masih di zaman Jepang, dia bersama dengan
sejumlah anggota keluarganya, mengungsi dari Puri Ubud sambil membawa
barang perhiasan dan senjata pusaka warisan leluhurnya yang ingin ‘dirampas’
oleh tentara Jepang. Pengungsian itu berlanjut hingga masa NICA, dia akhirnya
ditangkap, ditahan, dan disiksa lebih dari satu bulan. Ia kemudian dibebaskan oleh
kakaknya, Tjokorde Gde Raka Soekawati atas persetujuan Anak Agung Gde
Agung, Wakil Presiden NIT (Rosemary Hilbery, 1979: 48-53).
8

Di Denpasar, pada babak ketiga, ketika perjuangan MBO DPRI Sunda


Kecil masih stabil, para pejuang Bali masih dominan, sering menang dalam
pertempuran melawan NICA, muncul pusat pelatihan pencak silat aliran ilmu
setrum. Ilmu silat model ini tidak memiliki dasar gerakan yang pasti, melainkan
menggunakan kekuatan magis, bagai terkena strum. Sumber kekuatan berasal dari
mantram-mantram berbahasa Arab-Islam yang dilatih berulang-ulang sambil
memejamkan mata dan memusatkan pikiran pada alunan mantram. Para
pesertanya bukan orang-orang yang terjun langsung ke arena perang, melainkan
mereka yang memilih jalur sebagai penghubung, yang berfungsi sebagai media
komunikasi para pemuda pejuang dengan pihak keluarganya (Nyoman Wijaya,
2003).
Masih di Denpasar, ketika Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali sudah
memasuki babak ke empat, pada tahun 1947 muncul model perjuangan baru
dalam bentuk aksi-aksi sosial melalui suatu organisasi bernama Persatuan Wanita
Indonesia (PWI). Organisasi ini didirikan oleh Yasmin Oka, saudara ipar dari Ida
Bagus Tantra, dengan tujuan membantu orang-orang miskin, tetapi punya tujuan
akhir membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Gerakan sosial
memang menjadi suatu alternatif, karena situasi politik saat itu sudah mulai agak
tenang, tetapi Bali masih menjadi bagian dari wilayah Negara Indonesia Timur.
Gerakan sosial PWI berada di sekitar figur Nyonya Ida Bagus Putra Manuaba
(istri dari Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Provinsi Sunda Kecil, yang
adalah juga pamannya Ida Bagus Tantra, ketua MBI), Yasmin Oka, dan I Gusti
Ayu Rapeg (Nyoman Wijaya, 2003).
Sementara di dalam arena perang, selain yang sudah disebutkan oleh
Pindha (2012) di atas, masih banyak lainnya yang masih tercecer. Salah satunya
dapat terungkap dari hasil wawancara dengan I Made Sanggra (wawancara
Nyoman Wijaya dalam ARC Project, 1996). Tahun 1947, sesudah Perang
Margarana, Sanggra ditugasi oleh Wija Kusuma, ketua DPRI untuk membuat
buletin yang diberi nama ‘Suara Beruang Hitam,’ yang diambil dari nama
peleburan pasukan Gianyar dan Badung. Logo dan stempel buletin sudah dibuat,
namun mesin ketik sangat sulit didapat, demikian pula kertas. Sebagai jalan
9

keluarnya, Sanggra lalu mendaur ulang kertas bekas pakai. Kertas itu direndam,
lalu dijemur, dan untuk menjadikannya rata, karena tidak ada strika lalu ditaruh di
bawah tempat tidur.
Di antara begitu banyak peristiwa kecil sehari-hari, baik di dalam maupun
di luar arena perang, tentunya ada yang dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk
menjelaskan situasi dan kondisi pada pasca pengakuan kedaulatan di tahun 1950.
Salah satunya dapat dicari dalam peristiwa kecil sehari-hari yang ada
hubungannya dengan MBI dan DPRI. Pada November 1949 di Buleleng
berlangsung pertemuan yang melahirkan organisasi Lanjutan Perjuangan.
Organisasi ini merupakan hasil peleburan MBI dan Gerakan Rakyat Indonesia
Merdeka (GERIM). Ida Bagus Tantra terpilih menjadi ketua organisasi Lanjutan
Perjuangan, yang sebelumnya adalah ketua MBI seperti sudah disebutkan di atas.
Pada tanggal 4 Januari 1950 nama organisasi Lanjutan Perjuangan diganti
menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di bawah perintah Ida
Bagus Tantra, pada tanggal 15 Januari 1950, semua anggota MBI turun dari
gunung-gunung untuk bergabung dengan PDRI guna ‘membangun negeri.’
Mereka lalu membentuk Batalyon Arjuna TNI Bali. Namun karena
ketidakcermatan Ketua Komisi Militer Kapten Andi Yusuf dalam bertindak, maka
terjadi pergesekan antara orang-orang PDRI dengan DPRI. Rupanya sekalipun
DPRI sudah menyerah kepada Dewan Raja-raja seperti sudah disebutkan di atas,
namun Kapten Andi Yusuf tidak membubarkannya ( Nyoman S. Pendit : 377 dan
380).
Mengingat keberadaan organisasinya belum dibubarkan, orang-orang
DPRI masih merasa memiliki hak memimpin perjuangan ‘membangun negeri.’
Namun mereka berhadapan dengan PDRI yang sekalipun belum disyahkan,
namun secara de facto, dalam kenyataannya merupakan wakil perjuangan rakyat
Bali yang sah. Setelah berakhirnya era Komisi Militer, pertentangan tajam antara
PDRI dan DPRI melahirkan tragedi. Diawali dengan keputusan pemerintah pusat
membentuk tiga kompi serdadu alat-alat kekuasaan Belanda (KNIL) menjadi
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Akibatnya banyak mantan
10

tentara KNIL yang secara sah diangkat menjadi anggota APRIS. Keputusan ini
dinilai oleh DPRI sama sekali tidak memperhitungkan aspirasi daerah.
Peristiwa kecil sehari-hari yang remeh temeh selama masa Revolusi
Indonesia (1945-1949) di Bali juga bisa dicari dan ditemukan dalam hubungan
antara Dewan Raja-raja dengan para pemuda pejuang seperti yang terlihat di
Badung, sekarang sudah menjadi Kodya Denpasar. Di Badung ada bekas kerajaan,
yakni Puri Satria pelanjut Puri Denpasar), Puri Kesiman, dan Puri Pemecutan.
Dua puri disebutkan belakangan, Satria dan Kesiman yang terlibat dalam revolusi
fisik di Bali, sedangkan yang satu lagi, lebih pro ke NICA, sesuai dengan
kedudukan pemimpinnya sebagai Regent Badung, menggantikan I Gusti Alit
Ngurah dari Puri Satria.
I Gusti Alit Ngurah memilih melepaskan jabatannya sebagai Regent Badung,
supaya bisa sepenuhnya membela Republik Indonesia. Sementara raja-raja lainnya
di Bali sebagian besar memilih pro NICA, I Gusti Alit Ngurah menugaskan seorang
anaknya, Tjokorde Bagus Sayoga bertemu dengan Presiden Soekarno di Yogyakarta
untuk menyampaikan surat pernyataan bahwa Puri Satria berpihak pada Republik
Indonesia. Sayoga menjalankan tugas itu bersama Mahadewa, salah seorang
temannya di Brigade 16, seorang polisi asal Singaraja. Mereka tidak bisa langsung
bertemu dengan Soekarno, karena ada rapat-rapat di istana. Barulah setelah selesai
rapat mereka bisa bertemu. Setelah cerita basa-basi mengenai seni tari di Bali,
Presiden Soekarno sempat menanyakan situasi perjuangan di Bali dan apa yang akan
dikerjakan oleh Sayoga nanti setelah tiba di Bali (wawancara Nyoman Wijaya dalam
ARC Project).
Peristiwa tersebut di atas, perbedaan pilihan politik antara Puri Satria dan
Puri Pemecuran, bukan saja dapat dipakai sebagai pintu masuk untuk memahami
peristiwa politik di Bali tahun 1940-an, tetapi juga di zaman kolonial. Di awal
tahun 1950-an yang ditandai dengan terjadinya perseteruan antara Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Puri Kesiman dan
Pemecutan pro PNI, sedangkan Puri Pemecutan ke PSI (A.A. GN Dwipayana,
2004: 86).
11

Perbedaan itu tidak semata-mata karena alasan ideologi politik yang satu
lebih baik daripada yang lain, namun ada latar belakang sejarahnya, sehingga bisa
dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan peristiwa Perang Badung versus
Belanda tahun 1906, yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Puputan Badung.
Di balik peristiwa tersebut, ada masalah cinta segi tiga yang melibatkan pangeran
dari Puri Denpasar, pelaku utama dalam Perang Puputan Badung (yang anak
cucunya kemudian tinggal di Puri Satria) dengan pangeran Puri Pemecutan, suatu
hal yang belum terungkap dalam sejarah ‘resmi.’ Sejak persitiwa itu bangsawan di
kedua bekas instana Kerajaan Badung itu, menerapkan politik asal berbeda (Hasil
wawancara dengan I Gusti Ngurah Made Pemecutan, pelukis Sidik Jari, di
Denpasar pada 14 Februari 2017). Di zaman kolonial, jika yang satu pro Belanda,
yang satu lagi memilih tidak bergabung dan cenderung gerakan nasionalis dan ini
berlangsung hingga zaman Revolusi Indonesia (1945-1949), jika yang sati pro
Republik dan yang satu lagi pro NICA (wawancara Nyoman Wijaya dengan Ida
Bagus Tantra dalam ARC Project, 1996)

Pokok permasalahan
Latar belakang di atas menunjukkan ada permasalahan penting yang perlu
dibahas dalam studi ini yakni ditemukannya suatu peristiwa kecil sehari-hari di
yang remah temeh, baik di dalam maupun di luar arena perang di Bali yang
berbeda-beda satu sama lain. Sebagian dari peristiwa kecil sehari-hari yang remeh
temeh tersebut dapat dijadikan sebagai pintu masuk dalam menjelaskan peristiwa-
peristiwa yang lebih besar dalam empat babak Revolusi Indonesia (1945-1949) di
Bali.
Permasalahan tersebut akan dikaji dengan cara mengajukan tiga
pertanyaan penelitian, yakni:
1. Peristiwa kecil sehari-hari apa saja yang bisa dipakai sebagai pintu masuk
untuk menjelaskan masa Bersiap dalam Revolusi Indonesia (1945-1949) di
Bali?
12

2. Bagaimana proses terbentuknya perisiwa sehari-sehari yang remeh temeh


di Bali pada babak kedua dan ketiga Revolusi Indonesia (1945-1949) di
Bali, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar arena perang?
3. Mengapa ada peristiwa kecil sehari-hari terjadi pada masa Revolusi
Indonesia (1945-1949) di Bali yang bisa dijadikan sebagai pintu masuk
untuk menjelaskan kejadian sejarah sebelumnya (1906-1946) dan
sesudahnya (1950-1955) ?

Tujuan:
Penelitian ini dimaksudkan bukan hanya untuk melengkapi studi mengenai
masa revolusi yang cenderung bersifat makro seperti karya Nyoman S. Pendit
(2008), Anak Agung Bagus Wirawan (2012), dan Geoffrey Robinson (2006).
Bukan pula hanya untuk membuktikan pendapat yang menyatakan bahwa masa
revolusi bukan hanya berkisar pada perang dan perang yang terlihat dalam karya I
Gusti Ngurah Pindha (2013) dan Gert Oostindie (2016). Lebih dari itu, penelitian
ini juga dimaksudkan untuk mengisi ‘kekosongan’ studi Revolusi Indonesia
(1945-1949) di Bali. Studi yang sudah ada sebelumnya cenderung terpecah-pecah,
lebih condong membicarakan babak ketiga (masa revolusi fisik-militer), sehingga
diperlukan upaya untuk menyatukannya melalui sebuah tema sentral, yakni
peristiwa kecil sehari-hari yang menyatu dengan perang dan kemerdekaan dalam
Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali.

Metode dan metodologi


Metode:
Sumber utama studi ini dicari dan ditemukan pada hasil rekaman (sejarah
lisan) yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Pada tahun 1996,
Australian Research Council (ARC) Project mendanai penelitian sejarah lisan di
Bali. Sejumlah tokoh revolusi Indonesia asal Bali antara lain Ida Bagus Tantra, I
Nyoman Mantik, dan I Made Sanggra tercatat sebagai informan dalam riset ini.
Sekalipun sudah ada link wesite-nya, namun sangat sulit diakses, sehingga harus
didengarkan langsung dari kaset rekaman aslinya yang tersimpan di TSP, sebuah
13

kantor sejarawan di Bali. Supaya lebih mudah ditranskrip, terlebih dahulu harus di
digitalisasi. Sebelumnya, ada pula sejumlah proyek sejarah lisan yang didanai
oleh ANRI, khusus mewancarai tokoh-tokoh revolusi Indonesia di Bali, antara
lain dengan Nyoman Buleleng.
Di TSP ada juga sejumlah rekaman wawancara dengan generasi awal
1930-an, yang tidak terlibat secara langsung di dalam kancah revolusi. Sebagian
darinya sudah diolah menjadi buku biografi seperti Bhikkhu Thita Ketoko Thera
(Nyoman Wijaya, 2003), Ide Pedanda Gede Dwidja Ngenjung (Nyoman Wijaya,
2014), I Gusti Ngurah Bagus (Nyoman Wijaya, 2012), I Wayan Mastra (Nyoman
Wijaya, 2013), dan Tjokorda Raka Soekawati ‘Sosrobahu’ (Nyoman Wijaya,
2013). Ketika masuk pada pengalaman hidup masing di masa Revolusi Indonesia
(1945-1949) di Bali, banyak informasi peristiwa kecil sehari-hari yang bisa
dipetik dari mereka, yang sebagian namanya sudah disebutkan di atas. Sekarang
ini, jumlah generasi awal 1930-an, yang tidak terlibat secara langsung dalam
Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali sudah semakin berkurang. Hal ini tentu
akan menyulitkan langkah-langkah penelitian studi ini.
Demikian pula veteran pejuang yang jumlahnya semakin hari semakin
berkurang. Mereka dihimpun dalam satu wadah yang disebut Markas Daerah
Legiun Veteran (LVRI) yang tersebar di 8 Kabupaten dan 1 Kota Madya di Bali.
Hasil penelitian sementara tahun 2017 di Buleleng Barat menunjukkan masih
ditemukan tokoh veteran yang berusia lebih dari 90 tahun, dengan daya ingat yang
masih normal. Mereka adalah Haji Muhammad Sanusi dan Made Sudana, yang
masih mampu menceritakan pengalamannya di Bali Barat, antara lain sekalipun
pucuk pimpinan DPRI tidak pernah datang langsung ke wilayah Buleleng Barat
yang merupakan daerah dataran rendah, namun dibawah komando pimpinan lokal,
Revolusi Indonesia (1945-1949) di daerah ini dapat berjalan. Musuh paling berat
yang mereka hadapi adalah NICA Gandek, orang-orang lokal yang berkompromi
dengan Belanda.
Demi mendapatkan kesaksian lisan, baik kepada tokoh-tokoh veteran
pejuang dan orang-orang sipil di luar arena perang, maka itu diperlukan sekurang-
kurangnya 3 orang asisten peneliti yang bekerja secara serius dan berkelanjutan,
14

untuk penelitian dan penulisan. Para asisten peneliti yang bukan berasal dari
lulusan prodi Ilmu Sejarah, terlebih akan diberikan pelatihan teknik wawancara
dan semua anggota asisten peneliti akan diberikan kuliah singkat mengenai materi
Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali. Pemilihan informan dilakukan dengan
memakai teknik porposive sampling (Ulber Silalahi, 2012: 272-273)
Selain para veteran, informan sipil yang akan dicari dan ditemukan dalam
studi ini tidak mesti orang besar, bisa juga rakyat jelata yang sudah berusia antara
13 sampai 15 tahun pada periode revolusi (1945-1949). Saksi-saksi yang diambil
dari kalangan kelas bawah seperti itu dapat dilakukan karena metode sejarah lisan
yang dipakai dalam studi ini memungkinkan untuk melakukan pengujian yang
lebih berimbang (Paul Thomson, 2012: 7).
Hasil wawancara ditranskrip, lalu diolah sesuai dengan prosedur metode
sejarah. Sementara sumber-sumber tertulis berupa artikel-artikel terkait untuk
akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1950-an dicari dan ditemukan dengan
melakukan penelitian kearsipan dan kepustakaan. Penelitian kearsipan akan
dilakukan di ANRI, Jakarta. Sementara arsip-arsip peninggalan NIT akan dicari
dan ditemukan di perpustakan daerah dan kearsipan di Makassar. Akan
dimanfaatkan pula sejumlah arsip peninggalan tokoh revolusi nasional di Bali
dalam skripsi Rama (1980) yang belum diolah secara maksimal. Sedangkan
penelitian kepustakaan akan dilakukan di Gedong Kirtya, Singaraja, Bali untuk
mencari dan menemukan pustaka-pustaka yang terkait dengan kejadian sejarah
tiga periode: masa revolusi, masa sebelum dan sesudah revolusi. Sedangkan
peristiwa yang terekam di dalam surat kabar, terutama di tahun 1950-an, akan
ditemukan di Perpustakaan Daerah Yogyakarta. Sementara untuk kebutuhan
literature secara umum akan dilakukan di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Data yang berhasil ditemukan diolah dalam tahapan metode sejarah
berikutnya, terutama tahapan rekonstruksi. Diperlukan 2 orang asisten penulisan
laporan yang bekerja secara bersamaan dengan 3 orang asisten peneliti lapangan.

Metodologi:
15

Metodologi disesuaikan dengan teori ilmu sosial kritis yang akan dijadikan
sebagai landasan berpikir, terutama teori-teori yang termasuk ke dalam rumpun
teori praktik, khususnya Pierre Boudieu dan Michel Foucault. Teori Bourdieu
(Grag Calhoum, Edward Li Purna, and Moishe Postone, 1993: 3); Richard Harker,
et al., passim) dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga.
Data yang paling banyak dibutuhkan dalam pertanyaan ini, terutama yang terkait
dengan habitus kolektif orang Bali dan medan perjuangan sosial para elite,
sehingga mampu menggambarkan proses terbentuknya peristiwa sehari-sehari
yang remeh temeh di Bali pada masa Revolusi Indonesia (1945-1949).
Sedangkan pertanyaan penelitian pertama dan kedua tidak begitu
memerlukan bantuan teori ilmu sosial, karena hanya membicarakan apa dan
bagaimana peristiwa itu terjadi, seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo
(1992: 2) tidak memerlukan bantuan teori ilmu sosial, melainkan cukup hanya
memakai teori sejarah. Bantuan teori ilmu sosial terutama dari Michel Foucault
sebagai landasan berpikir kembali digunakan dalam menjawab pertanyaan
penelitian ketiga, supaya mampu menguraikan faktor-faktor atau kondisi apa
memungkinkan ada peristiwa kecil sehari-hari terjadi di masa Revolusi Indonesia
(1945-1945) bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan kejadian
sejarah sebelumnya dan sesudahnya.
Sebelumnya, sebagai ilmu dalam melakukan penelitian, studi ini akan
ditopang dengan memakai perpaduan metode/metodologi Arkeologi Ilmu
Pengetahuan (Michel Foucault, 1972: 7) dan Genealogi Kekuasaan dari Michel
Foucault (George Ritzer, 2014: 574-575), (Foucault, 1977: 9 dan 73), (Paul
Rabinow, 2002: 17 ), dan F.R. Ankersmit, 1987 : 310-312). Dari arkeologi ilmu
pengetahuan akan dibahas tentang aturan-aturan formasi diskursus (wacana),
sedangkan dari genealogi kekuasaan akan dibahas bukan hanya kelangkaan
pernyataan (statement) tetapi juga kekuasaan dari pihak yang afirmatif
(menyetujui) adanya peristiwa kecil sehari-hari di masa revolusi.
Genealogi menolak penyebaran metahistoris dari kebenaran yang ideal dan
teleologis tak terbatas. Dia memusatkan perhatian pada pencarian asal-usul,
namun bukan dalam pengertiannya sebagai ursprung (pengujian asal muasal dari
16

suatu peristiwa), melainkan entstehung dan herkunft. Di dalam genealogi,


Foucault tidak menggunakan ursprung karena kata ini memiliki banyak
kelemahan. Salah satunya karena dia mencari esensi yang tepat pada suatu
persoalan. Ursprung juga ingin mencari kemungkinan yang paling murni
sekaligus pula bisa mengetahui identitas yang ditutupi secara cermat. Pencarian
ini mengharuskan adanya pemindahan semua topeng untuk menutupi suatu
identitas sesungguhnya secara total. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan
karena sama hal dengan mengajukan pertanyaan kapan Tuhan harus memikul
prihal asal muasal kejahatan (Paul Rabinow, 2002: 272-274).
Selain itu, ursprung tidak perlu dipakai karena sejarah mengajarkan
bagaiman mentertawakan asal muasal. Asal muasal yang begitu dibangga-
banggakan itu tidak lebih dari hanya perluasan metafisika yang muncul dari
keyakinan bahwa semua hal sesungguhnya adalah sesuatu yang paling esensial
dan tepat pada saat dilahirkan. Mereka yang senang mencari asal muasal model
ini, berpikir bahwa persoalan ini adalah momen yang paling hebat, padahal dia
muncul sebelum tubuh, sebelum dunia dan waktu, dia dipersatukan dengan dewa-
dewa, dan narasinya selalu dinyanyikan sebagai teogoni, adalah suatu konsep
yang sangat lazim pada agama-agama politeistik (yang menyebutkan Tuhan-tuhan
mempunyai tugasnya masing-masing) dan menjadi sesuatu yang ditinggalkan
begitu mulai berkembangnya monoteisme (Paul Robinow, 2002: 275).
Sementara dalam Nietzsche disebutkan, Ursprung memiliki dua kegunaan,
yakni: (i) tidak ditekankan dan tidak bisa digantikan dengan istilah lain seperti
Entstehung, Herkunft, Abkunft, Geburt (kemunculan, turunan, keturunan, lahir).
Ursprung dan Entstehung sama-sama berguna untuk menunjukkan asal-usul tugas
atau kesadaran rasa bersalah. Asal usul mereka sama-sama mengacu pada
Ursprung, Entstehung atau Herkunft; (ii) Ursprung digunakan dalam cara-cara
ironis dan tersembunyi, misalnya apakah dapat ditemukan asal-usul dasar
moralitas (fonadasi yang dicari sejak zaman Plato) dalam kebencian dan
kesimpulan yang sempit. Termasuk juga di dalamnya ke mana seharusnya
mencari asal usung agama (Dadang Rusbiantoro, 2001: 123-124).
17

Sebaliknya, seperti sudah disebutkan di atas, Foucault lebih mengajak


untuk memperhatikan Entstehung dan Herkunft. Sekalipun kedua konsep tersebut
telah terbiasa pula diterjemahkan sebagai asal-muasal, namun ada perbedaannya
dengan ursprung. Dalam pengertiannya sebagai Herkunft setidaknya, ada lima
poin yang harus diperhatikan dalam memahami Genealogi, yakni: (i) dia
merupakan padanan dari kata keturunan atau turunan, yang seringkali melibatkan
ras dan tipe sosial; (ii) dia membiarkan pemisahan latar belakang sekaligus pula
membiarkan pula proses penyusunan ciri-ciri yang berbeda; (iii) dia berencana
membuat susunan untuk menyelediki permulaan, yang sebenarnya tidak penting;
(iv) dia mengisi suatu keberlanjutan yang tiada henti, yang beroperasi di atas
penyebaran kelalaian; dan (v) dia membiarkan adanya suatu penemuan, di bawah
aspek yang unik atas konsep atau sifat, atas peristiwa yang berlimpah sampai di
mana mereka telah terbentuk (Paul Robinow, 2002: 275).
Padahal, seperti dikatakan oleh Foucault, genealogi tidak berhasrat
kembali pada waktu, tidak pula untuk mengisi suatu keberlanjutan yang tiada
henti yang beroperasi di atas penyebaran kelalaian. Tugas genealogi bukanlah
untuk membuktikan bahwa masa lalu secara aktif tetap eksis di masa kini. Dia
juga bukan dimaksudkan untuk membuktikan masa lalu terus menerus
menghidupkan masa kini, membuat bentuk yang dapat dibuktikan pada semua
perubahannya. Dia tidak menyamakan evolusi suatu spesies dan juga tidak
memetakan takdir suatu masyarakat (Paul Robinow, 2002: 279).
Justru kebalikan dari yang disebutkan di atas, genealogi mengikuti jalan
yang kompleks atas turunan yang berarti pula mempertahankan kelanjutan
peristiwa dalam penyebarannya yang selayaknya. Langkah itu dilakukan untuk
mengidentifikasi suatu musibah, penyimpangan waktu. Atau membalikkan suatu
penilaian yang salah, serta perhitungan yang gagal, yang dibiarkan pada semua hal
yang terus menerus, yang dibiarkan muncul pada semua hal yang terus eksis dan
bernilai bagi masyarakat. Tujuan dari semua ini adalah untuk menemukan
kebenaran atau kebohongan tidak terdapat pada akar yang telah diketahui dan
siapa kita, melainkan muncul dari kecelakaan atau kebetulan (Paul Robinow,
2002: 279-280).
18

Atas dasar uraian tersebut di atas, Foucault meminta supaya Genealogi


dalam pengertiannya sebagai Herkunft harus digunakan secara berhati-hati,
terutama untuk membocorkan dokumen-dokumen. Selebihnya, Foucault meminta
supaya memahami Genealogi dalam pengertiannya sebagai Entstehung. Begitu
banyak hal yang harus diperhatikan untuk bisa memahami Genealogi sebagai
entstehung, yakni: (i) dia perlu menyusun kembali sistem yang beragam tentang
subjek, bukan kekuatan makna yang bersifat antisipatoris, melainkan permainan
yang penuh dengan dominasi-dominasi; (ii) analisisnya harus mampu
menggambarkan interaksi ini, mencari pola perjuangan di mana kekuatan-
kekuatan ini untuk saling bertentangan satu sama lain, atau bertentangan dengan
lingkungan tidak sesuai dan upaya yang harus dilakukan untuk menghindari
kemerosotan dan meraih kembali kekuatannya, yang dapat dilakukan dengan cara
semua kekuatan ini untuk menentang diri mereka sendiri; (iii) dia mampu
memahami kekuatan-kekuatan yang cukup untuk berbelok melawan dirinya
sendiri, membuatnya malu sejarah dan tubuhnya sendiri, dan memberikan
semangat spiritualitas pada dirinya sendiri menuju agama kesadaran yang murni
(Paul Rabinow, 2002: 281-284).
Pada poin yang ketiga seperti telah disebutkan di atas ada kesempatan
untuk mengungkap kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam sebuah cerita,
peristiwa, wacana yang mampu membuatnya menelanjangi dirinya sendiri,
sehingga tanpa dipaksa-paksa dia mengungkap sendiri relasi-relasi kuasa yang
tersembunyi di dalam ketelanjangan itu dan akan jelas pula bagaimana relasi-
relasi kuasa itu membentuk dirinya sendiri dalam teks cerita ini (Paul Rabinow,
2002: 24).
Dengan cara demikian akan bisa diketahui proses terbentuknya peristiwa
kecil sehari-hari baik di dalam maupun di luar arena Revolusi Indonesia (1945-
1949). Di desa Sanur misalnya, begitu terdengar adanya wacana rencana
penyerangan terhadap tangsi militer Jepang di Kayumas, Denpasar pada tanggal
15 Desember 1945, sejumlah laki-laki dewasa berkumpul di depan Griya Jero Gde
Sanur, rumah brahmana lokal. Di zaman kerajaan hingga awal masa kolonial,
rumah ini merupakan tempat tinggal dari salah seorang punggawa Badung.
19

Mereka datang dari berbagai banjar yang ada di Sanur, dengan membawa senjata-
senjata tajam milik masing-masing.
Analisis empiris terhadap wacana sejarah seperti tersebut di atas, secara
spesifik ditangani oleh Arkeologi Ilmu Pengetahuan, sedangkan genealogi
kekuasaan menjalankan serangkaian analisis kritis terhadap wacana sejarah dan
hubungannya dengan isu-isu yang menjadi perhatian di masa pra revolusi, masa
revolusi, dan pasca revolusi. Oleh karena itu akan dapat diperoleh ilmu tentang
cara-cara mengetahui mengapa peristiwa kecil sehari-hari di tiga desa tersebut di
atas di masa revolusi bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan
kejadian sejarah sebelum dan sesudah Revolusi Indonesia (1945-1949). Sekaligus
pula mengetahui implikasi peristiwa kecil sehari-hari di masa revolusi terhadap
peristiwa lain di masa di awal kemerdekaan, khususnya yang terkait dengan
perseteruan antara golongan sosialis dengan nasionalis di Bali tahun 1950-an.

Daftar Bacaan
Ankersmit, F.R., 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Ari Dwipayana, A.A. GN. 2004. Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para
Ningrat di Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press.
Calhoun, Craig, Edward Li Puma, Moishe Postone (Ed). Bourdieu Critical
Perspectives. Chicago: The University of Chicago Press.

Foucault, Michel. 1972. The Archaelogy of Knowledge. London: Tavstock


Publications.

_______. 1975. Discipline And Punish: The Birth of Prison England:Penguin


Book.

_______. 1977. Power/Knowledge: Selected Intervews and Other Writtings Colin


Gordon (Ed). Brighton: The Harvester Press.

_______. 1977 Sejarah Seksualitas: Seks Dan Kekuasaan. (Trj. Rahayu S


Hidayat). Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.
20

_______. 1980. Power/Knowledge, Colin Gordon, ed., trans. Colin Gordon, Leo
Marshall, John Mepham, Kate Soper. Sussex: The Harvester Pres
Oostindie, Gert. 2016. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian
Perang pada Sisi Sejarah yang Salah, terj. Susi Moeiman, Nurhayu
Santoso, Maya Suteja-Liem (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan
Otoritarianisme, terj. Nuruddin Mhd. Ali, Uzair Fauzan. Yogyakarta:
LKIS.
Pindha, I Gusti Ngurah. 2013. Perang Bali Sebuah Kisah Nyata. Jakarta: Dolphin.
S. Pendit, Nyoman. 2008. Bali Berjuang. Denpasar: Pustaka Larasan.
Suada, I Nyoman. 2003. Peguyangan Sebagai Desa Basis Perjuangan Dalam
Masa Revolusi Fisik di Bali, naskah yang belum dipublikasikan, Denpasar.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh, terjemahan
Triwibowo B.S. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rabinow, Paul. 2012. Pengetahuan dan Metode Karya-karya Penting Foucault,
terjemahan Arief. Yogyakarta: Adipura.
Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik,
terj, Arif B. Prasetyo. Yogyakarta: LKiS.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Thomson, Paul. 2012. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Ombak

Wijaya, Nyoman. 2014. “Ide Pedanda Dwija Ngenjung: Menyambung Tali


Sejarah Griya Jero Gde Sanur.” Manuskrip.
_______. 2012. Menerobos Badai: Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah
Bagus. Denpasar: Pustaka Larasan.
_______. 2011. Tutur I Wayan Mastra Seorang Bali Beralih Keyakianan.
Denpasar: Pustaka Larasan.
_______.2013. “Tjokorda Raka Sukawati: Biografi sang Penemu Teknologi Jalan
Layang Sosrobahu.” Manuskrip.
_______. 2003 Sang Sendi Dhamma: Biografi Sosial Bhante Thitaketuko Thera.
Manuskrip.
Wirata, I Gusti Putu . 1982. “Pergerakan Taman Siswa di Bali Tahun 1933 sampai
Tahun 1943.” Skripsi Sarjana Muda, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Udayana, Denpasar.
21

Wirawan, Anak Agung Bagus. 2012. Pusaran Revolusi Indonesia Di Sunda Kecil
1945-1950. Denpasar: Udayana University Press.

Sumber lisan
Wawancara Nyoman Wijaya dan Nyoman Sukiada engan Ida bagus Tantra, ARC
Project, tahun l996, koordinator Adrian Vickers dan Carol Werren.
Wawancara Nyoman Wijaya dengan Ida Pedanda Gde Dwidja Ngenjung di Sanur

Anda mungkin juga menyukai