Latar Belakang
Perjalanan Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali dapat diperas dalam
empat babak, yakni (i) masa Bersiap; (ii) kedatangan Sekutu dan pendaratan
NICA; (iii) perang gerilya; dan (iv) menyerah-meneruskan perlawanan. Babak
pertama terjadi setelah insiden penurunan bendera Belanda di Buleleng. Diawali
dengan datangnya kapal ‘Abraham Grijns’ berbendera Belanda di Pelabuhan
Buleleng pada 25 Oktober 1945. Para hari ketiga, terjadi saling turun menurunkan
bendera. Dalam peristiwa ini seorang pemuda pejuang tewas karena terkena
tembakan senjata api dari atas kapal. Setelah kapal Abraham Grijns meninggalkan
Pelabuhan Buleleng, para pemuda pejuang memasuki masa Bersiap untuk
menyambut kedatangan Belanda, antara lain pada 13 Desember 1945 merebut
senjata di tangsi-tangsi militer Jepang, namun gagal.
Babak kedua kedatangan Sekutu dan pendaratan NICA. Tentara Sekutu
datang pada tanggal 16 Februari 1946 di Pelabuhan Benoa, Badung. Disusul oleh
Makalah yang dibawakan dalam Workshop Revolusi Indonesia di UGM Yogyakarta tanggal 27
April s/4 Mei 2018.
1
2
Kapal Gajah Merah, mendarat di Pantai Sanur pada 2 Maret 1946 yang
menurunkan satu kesatuan alat pemerintah sipil Hindia Belanda, disebut
Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil
Administration (NICA). Jadi, NICA tidak ‘dibonceng’ dalam pengertian harfiah
oleh Sekutu, datang bersamaan dalam satu kapal, melainkan hanya di-backing dari
Pelabuhan Benoa, yang jaraknya relatif dekat.
Babak ketiga Perang Gerilya. Langkah pertama yang dilakukan oleh
pasukan Gajah Merah (NICA) adalah menduduki semua daerah di Bali mulai dari
Denpasar, Gianyar dan seterusnya. Pada tanggal 11 Maret 1946 NICA
mengadakan perundingan dengan para pejabat pemerintahan Republik Indonesia
Sunda Kecil di Singaraja yang berlanjut dengan penangkapan dan penurunan
bendera Merah Putih. Bersamaan dengan itu barisan Pemuda Pembela Negara
(PPN) bentukan Raja Gianyar menyatakan bekerja sama dengan NICA. Situasi
semakin genting. Mulai 12 Maret terjadi perang gerilya secara seporadis terutama
di daerah pegunungan. Berakhir dengan kalahnya pasukan Ciungwanara di bawah
pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai dalam perang di lahan terbuka Klaci,
Margarana pada 20 Nopember 1946. Jadi Revolusi Indonesia (1945-1949) melalui
jalur militer di Bali hanya berlangsung 8 bulan.
Babak keempat, menyerah-meneruskan perlawanan. Pada awalnya ada
keputusan dari Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil untuk
melanjutkan perjuangan melalui jalur militer dan sudah sempat mengirim kurir ke
Jawa untuk memohon bantuan. Akan tetapi hasil Konferensi Denpasar dan
Persetujuan Linggarjati memperlemah langah-langkah tersebut. Mereka
dihadapkan pada dua pilihan antara menyerah atau melawan yang disebut oleh
NICA sebagai perusuh dan perampok. Para pemuda pejuang terpecah jadi dua:
ada yang menyerah kepada Dewan Raja-raja di Bali dan melanjutkan perjuangan.
Sedangkan kelompok yang masih mengadakan perlawanan mendirikan markas
perjuangan baru disebut Markas Besar Istimewa (MBI). ‘Istimewa,’ maksudnya
mereka tidak sepenuhnya berperang memakai taktik militer, tetapi juga
‘berkomunikasi’ dengan alam gaib.
3
keinginan H.J. van Mook membasmi para gerilyawan yang masih melakukan
perjuangan (Nyoman S. Pendit, 2008: 228-231), termasuk di Sanur, 6 km di
sebelah Timur Kota Denpasar. Desa ini memiliki sejumlah pejuang antara lain Ida
Bagus Alit Sudarma, Ida Bagus Raca, dan Ida Bagus Banjar. Keberadaan mereka
sulit dilacak sekalipun sudah menggunakan bantuan NICA Gandek, yakni orang-
orang lokal yang berpihak secara sembunyi-sembunyi kepada Belanda
(Wawancara dengan Ide Pedanda Gde Dwidja Ngenjung, di Sanur, tanggal 18
Desember 2010).
NICA Gandek di Sanur berkoordinasi dengan polisi yang tinggal di sebuah
asrama. Mereka sering meneror warga Sanur. Mereka juga kerap melakukan razia.
Semua laki-laki dewasa harus keluar rumah dan berkumpul di depan rumah atau
balai banjar masing-masing. Para polisi NICA itu ikut memeriksa kondisi fisik
orang-orang yang sedang dirazia. Mereka yang berambut gondrong atau yang
wajahnya pucat, diambil dan diinterogasi karena disinyalir sebagai gerilyawan
pembela Republik Indonesia, ditawan di Puri Pemecutan, salah satu dari 3 istana
Badung, pada zaman kerajaan. Kejadian ini hanya salah satu dari sekian banyak
peristiwa kecil sehari-hari yang remeh temeh di zaman Revolusi Indonesia (1945-
1949) di Bali. Peristiwa-peristiwa lainnya, misalnya olok-olok anak-anak kecil
terhadap NICA dengan cara meluncurkan roket kertas mesiu yang bisa menyala di
utara, dan pencurian benda-benda pusaka oleh tentara NICA (Wawancara dengan
Ide Pedanda Gde Dwidja Ngenjung, di Sanur, tanggal 18 Desember 2010).
Masih dalam babak pertama, gambaran peristiwa sehari-hari di Desa Sanur
sangat berbeda dengan yang di Desa Peguyangan, 7 km di sebelah Utara Kota
Denpasar. Di desa ini, situasi revolusi (perang dan kemerdekaan) tampak lebih
jelas. Pada babak pertama, setelah gagalnya penyerbuan tangsi-tangsi Jepang pada
13 Desember 1945 itu, para pejuang kemerdekaan sempat terjepit di Puri Satria
dan Puri Kesiman, keduanya merupakan rumah keluarga kerajaan di Badung,
dapat meloloskan diri menuju ke Desa Peguyangan. Mereka membentuk base
camp di Taman, di seberang jalan, di depam Jro Gede Peguyangan, rumah seorang
pejabat di zaman kerajaan Badung. Kebutuhan konsumsi para pejuang ditanggung
6
keluarnya, Sanggra lalu mendaur ulang kertas bekas pakai. Kertas itu direndam,
lalu dijemur, dan untuk menjadikannya rata, karena tidak ada strika lalu ditaruh di
bawah tempat tidur.
Di antara begitu banyak peristiwa kecil sehari-hari, baik di dalam maupun
di luar arena perang, tentunya ada yang dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk
menjelaskan situasi dan kondisi pada pasca pengakuan kedaulatan di tahun 1950.
Salah satunya dapat dicari dalam peristiwa kecil sehari-hari yang ada
hubungannya dengan MBI dan DPRI. Pada November 1949 di Buleleng
berlangsung pertemuan yang melahirkan organisasi Lanjutan Perjuangan.
Organisasi ini merupakan hasil peleburan MBI dan Gerakan Rakyat Indonesia
Merdeka (GERIM). Ida Bagus Tantra terpilih menjadi ketua organisasi Lanjutan
Perjuangan, yang sebelumnya adalah ketua MBI seperti sudah disebutkan di atas.
Pada tanggal 4 Januari 1950 nama organisasi Lanjutan Perjuangan diganti
menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di bawah perintah Ida
Bagus Tantra, pada tanggal 15 Januari 1950, semua anggota MBI turun dari
gunung-gunung untuk bergabung dengan PDRI guna ‘membangun negeri.’
Mereka lalu membentuk Batalyon Arjuna TNI Bali. Namun karena
ketidakcermatan Ketua Komisi Militer Kapten Andi Yusuf dalam bertindak, maka
terjadi pergesekan antara orang-orang PDRI dengan DPRI. Rupanya sekalipun
DPRI sudah menyerah kepada Dewan Raja-raja seperti sudah disebutkan di atas,
namun Kapten Andi Yusuf tidak membubarkannya ( Nyoman S. Pendit : 377 dan
380).
Mengingat keberadaan organisasinya belum dibubarkan, orang-orang
DPRI masih merasa memiliki hak memimpin perjuangan ‘membangun negeri.’
Namun mereka berhadapan dengan PDRI yang sekalipun belum disyahkan,
namun secara de facto, dalam kenyataannya merupakan wakil perjuangan rakyat
Bali yang sah. Setelah berakhirnya era Komisi Militer, pertentangan tajam antara
PDRI dan DPRI melahirkan tragedi. Diawali dengan keputusan pemerintah pusat
membentuk tiga kompi serdadu alat-alat kekuasaan Belanda (KNIL) menjadi
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Akibatnya banyak mantan
10
tentara KNIL yang secara sah diangkat menjadi anggota APRIS. Keputusan ini
dinilai oleh DPRI sama sekali tidak memperhitungkan aspirasi daerah.
Peristiwa kecil sehari-hari yang remeh temeh selama masa Revolusi
Indonesia (1945-1949) di Bali juga bisa dicari dan ditemukan dalam hubungan
antara Dewan Raja-raja dengan para pemuda pejuang seperti yang terlihat di
Badung, sekarang sudah menjadi Kodya Denpasar. Di Badung ada bekas kerajaan,
yakni Puri Satria pelanjut Puri Denpasar), Puri Kesiman, dan Puri Pemecutan.
Dua puri disebutkan belakangan, Satria dan Kesiman yang terlibat dalam revolusi
fisik di Bali, sedangkan yang satu lagi, lebih pro ke NICA, sesuai dengan
kedudukan pemimpinnya sebagai Regent Badung, menggantikan I Gusti Alit
Ngurah dari Puri Satria.
I Gusti Alit Ngurah memilih melepaskan jabatannya sebagai Regent Badung,
supaya bisa sepenuhnya membela Republik Indonesia. Sementara raja-raja lainnya
di Bali sebagian besar memilih pro NICA, I Gusti Alit Ngurah menugaskan seorang
anaknya, Tjokorde Bagus Sayoga bertemu dengan Presiden Soekarno di Yogyakarta
untuk menyampaikan surat pernyataan bahwa Puri Satria berpihak pada Republik
Indonesia. Sayoga menjalankan tugas itu bersama Mahadewa, salah seorang
temannya di Brigade 16, seorang polisi asal Singaraja. Mereka tidak bisa langsung
bertemu dengan Soekarno, karena ada rapat-rapat di istana. Barulah setelah selesai
rapat mereka bisa bertemu. Setelah cerita basa-basi mengenai seni tari di Bali,
Presiden Soekarno sempat menanyakan situasi perjuangan di Bali dan apa yang akan
dikerjakan oleh Sayoga nanti setelah tiba di Bali (wawancara Nyoman Wijaya dalam
ARC Project).
Peristiwa tersebut di atas, perbedaan pilihan politik antara Puri Satria dan
Puri Pemecuran, bukan saja dapat dipakai sebagai pintu masuk untuk memahami
peristiwa politik di Bali tahun 1940-an, tetapi juga di zaman kolonial. Di awal
tahun 1950-an yang ditandai dengan terjadinya perseteruan antara Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Puri Kesiman dan
Pemecutan pro PNI, sedangkan Puri Pemecutan ke PSI (A.A. GN Dwipayana,
2004: 86).
11
Perbedaan itu tidak semata-mata karena alasan ideologi politik yang satu
lebih baik daripada yang lain, namun ada latar belakang sejarahnya, sehingga bisa
dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan peristiwa Perang Badung versus
Belanda tahun 1906, yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Puputan Badung.
Di balik peristiwa tersebut, ada masalah cinta segi tiga yang melibatkan pangeran
dari Puri Denpasar, pelaku utama dalam Perang Puputan Badung (yang anak
cucunya kemudian tinggal di Puri Satria) dengan pangeran Puri Pemecutan, suatu
hal yang belum terungkap dalam sejarah ‘resmi.’ Sejak persitiwa itu bangsawan di
kedua bekas instana Kerajaan Badung itu, menerapkan politik asal berbeda (Hasil
wawancara dengan I Gusti Ngurah Made Pemecutan, pelukis Sidik Jari, di
Denpasar pada 14 Februari 2017). Di zaman kolonial, jika yang satu pro Belanda,
yang satu lagi memilih tidak bergabung dan cenderung gerakan nasionalis dan ini
berlangsung hingga zaman Revolusi Indonesia (1945-1949), jika yang sati pro
Republik dan yang satu lagi pro NICA (wawancara Nyoman Wijaya dengan Ida
Bagus Tantra dalam ARC Project, 1996)
Pokok permasalahan
Latar belakang di atas menunjukkan ada permasalahan penting yang perlu
dibahas dalam studi ini yakni ditemukannya suatu peristiwa kecil sehari-hari di
yang remah temeh, baik di dalam maupun di luar arena perang di Bali yang
berbeda-beda satu sama lain. Sebagian dari peristiwa kecil sehari-hari yang remeh
temeh tersebut dapat dijadikan sebagai pintu masuk dalam menjelaskan peristiwa-
peristiwa yang lebih besar dalam empat babak Revolusi Indonesia (1945-1949) di
Bali.
Permasalahan tersebut akan dikaji dengan cara mengajukan tiga
pertanyaan penelitian, yakni:
1. Peristiwa kecil sehari-hari apa saja yang bisa dipakai sebagai pintu masuk
untuk menjelaskan masa Bersiap dalam Revolusi Indonesia (1945-1949) di
Bali?
12
Tujuan:
Penelitian ini dimaksudkan bukan hanya untuk melengkapi studi mengenai
masa revolusi yang cenderung bersifat makro seperti karya Nyoman S. Pendit
(2008), Anak Agung Bagus Wirawan (2012), dan Geoffrey Robinson (2006).
Bukan pula hanya untuk membuktikan pendapat yang menyatakan bahwa masa
revolusi bukan hanya berkisar pada perang dan perang yang terlihat dalam karya I
Gusti Ngurah Pindha (2013) dan Gert Oostindie (2016). Lebih dari itu, penelitian
ini juga dimaksudkan untuk mengisi ‘kekosongan’ studi Revolusi Indonesia
(1945-1949) di Bali. Studi yang sudah ada sebelumnya cenderung terpecah-pecah,
lebih condong membicarakan babak ketiga (masa revolusi fisik-militer), sehingga
diperlukan upaya untuk menyatukannya melalui sebuah tema sentral, yakni
peristiwa kecil sehari-hari yang menyatu dengan perang dan kemerdekaan dalam
Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali.
kantor sejarawan di Bali. Supaya lebih mudah ditranskrip, terlebih dahulu harus di
digitalisasi. Sebelumnya, ada pula sejumlah proyek sejarah lisan yang didanai
oleh ANRI, khusus mewancarai tokoh-tokoh revolusi Indonesia di Bali, antara
lain dengan Nyoman Buleleng.
Di TSP ada juga sejumlah rekaman wawancara dengan generasi awal
1930-an, yang tidak terlibat secara langsung di dalam kancah revolusi. Sebagian
darinya sudah diolah menjadi buku biografi seperti Bhikkhu Thita Ketoko Thera
(Nyoman Wijaya, 2003), Ide Pedanda Gede Dwidja Ngenjung (Nyoman Wijaya,
2014), I Gusti Ngurah Bagus (Nyoman Wijaya, 2012), I Wayan Mastra (Nyoman
Wijaya, 2013), dan Tjokorda Raka Soekawati ‘Sosrobahu’ (Nyoman Wijaya,
2013). Ketika masuk pada pengalaman hidup masing di masa Revolusi Indonesia
(1945-1949) di Bali, banyak informasi peristiwa kecil sehari-hari yang bisa
dipetik dari mereka, yang sebagian namanya sudah disebutkan di atas. Sekarang
ini, jumlah generasi awal 1930-an, yang tidak terlibat secara langsung dalam
Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali sudah semakin berkurang. Hal ini tentu
akan menyulitkan langkah-langkah penelitian studi ini.
Demikian pula veteran pejuang yang jumlahnya semakin hari semakin
berkurang. Mereka dihimpun dalam satu wadah yang disebut Markas Daerah
Legiun Veteran (LVRI) yang tersebar di 8 Kabupaten dan 1 Kota Madya di Bali.
Hasil penelitian sementara tahun 2017 di Buleleng Barat menunjukkan masih
ditemukan tokoh veteran yang berusia lebih dari 90 tahun, dengan daya ingat yang
masih normal. Mereka adalah Haji Muhammad Sanusi dan Made Sudana, yang
masih mampu menceritakan pengalamannya di Bali Barat, antara lain sekalipun
pucuk pimpinan DPRI tidak pernah datang langsung ke wilayah Buleleng Barat
yang merupakan daerah dataran rendah, namun dibawah komando pimpinan lokal,
Revolusi Indonesia (1945-1949) di daerah ini dapat berjalan. Musuh paling berat
yang mereka hadapi adalah NICA Gandek, orang-orang lokal yang berkompromi
dengan Belanda.
Demi mendapatkan kesaksian lisan, baik kepada tokoh-tokoh veteran
pejuang dan orang-orang sipil di luar arena perang, maka itu diperlukan sekurang-
kurangnya 3 orang asisten peneliti yang bekerja secara serius dan berkelanjutan,
14
untuk penelitian dan penulisan. Para asisten peneliti yang bukan berasal dari
lulusan prodi Ilmu Sejarah, terlebih akan diberikan pelatihan teknik wawancara
dan semua anggota asisten peneliti akan diberikan kuliah singkat mengenai materi
Revolusi Indonesia (1945-1949) di Bali. Pemilihan informan dilakukan dengan
memakai teknik porposive sampling (Ulber Silalahi, 2012: 272-273)
Selain para veteran, informan sipil yang akan dicari dan ditemukan dalam
studi ini tidak mesti orang besar, bisa juga rakyat jelata yang sudah berusia antara
13 sampai 15 tahun pada periode revolusi (1945-1949). Saksi-saksi yang diambil
dari kalangan kelas bawah seperti itu dapat dilakukan karena metode sejarah lisan
yang dipakai dalam studi ini memungkinkan untuk melakukan pengujian yang
lebih berimbang (Paul Thomson, 2012: 7).
Hasil wawancara ditranskrip, lalu diolah sesuai dengan prosedur metode
sejarah. Sementara sumber-sumber tertulis berupa artikel-artikel terkait untuk
akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1950-an dicari dan ditemukan dengan
melakukan penelitian kearsipan dan kepustakaan. Penelitian kearsipan akan
dilakukan di ANRI, Jakarta. Sementara arsip-arsip peninggalan NIT akan dicari
dan ditemukan di perpustakan daerah dan kearsipan di Makassar. Akan
dimanfaatkan pula sejumlah arsip peninggalan tokoh revolusi nasional di Bali
dalam skripsi Rama (1980) yang belum diolah secara maksimal. Sedangkan
penelitian kepustakaan akan dilakukan di Gedong Kirtya, Singaraja, Bali untuk
mencari dan menemukan pustaka-pustaka yang terkait dengan kejadian sejarah
tiga periode: masa revolusi, masa sebelum dan sesudah revolusi. Sedangkan
peristiwa yang terekam di dalam surat kabar, terutama di tahun 1950-an, akan
ditemukan di Perpustakaan Daerah Yogyakarta. Sementara untuk kebutuhan
literature secara umum akan dilakukan di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Data yang berhasil ditemukan diolah dalam tahapan metode sejarah
berikutnya, terutama tahapan rekonstruksi. Diperlukan 2 orang asisten penulisan
laporan yang bekerja secara bersamaan dengan 3 orang asisten peneliti lapangan.
Metodologi:
15
Metodologi disesuaikan dengan teori ilmu sosial kritis yang akan dijadikan
sebagai landasan berpikir, terutama teori-teori yang termasuk ke dalam rumpun
teori praktik, khususnya Pierre Boudieu dan Michel Foucault. Teori Bourdieu
(Grag Calhoum, Edward Li Purna, and Moishe Postone, 1993: 3); Richard Harker,
et al., passim) dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga.
Data yang paling banyak dibutuhkan dalam pertanyaan ini, terutama yang terkait
dengan habitus kolektif orang Bali dan medan perjuangan sosial para elite,
sehingga mampu menggambarkan proses terbentuknya peristiwa sehari-sehari
yang remeh temeh di Bali pada masa Revolusi Indonesia (1945-1949).
Sedangkan pertanyaan penelitian pertama dan kedua tidak begitu
memerlukan bantuan teori ilmu sosial, karena hanya membicarakan apa dan
bagaimana peristiwa itu terjadi, seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo
(1992: 2) tidak memerlukan bantuan teori ilmu sosial, melainkan cukup hanya
memakai teori sejarah. Bantuan teori ilmu sosial terutama dari Michel Foucault
sebagai landasan berpikir kembali digunakan dalam menjawab pertanyaan
penelitian ketiga, supaya mampu menguraikan faktor-faktor atau kondisi apa
memungkinkan ada peristiwa kecil sehari-hari terjadi di masa Revolusi Indonesia
(1945-1945) bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan kejadian
sejarah sebelumnya dan sesudahnya.
Sebelumnya, sebagai ilmu dalam melakukan penelitian, studi ini akan
ditopang dengan memakai perpaduan metode/metodologi Arkeologi Ilmu
Pengetahuan (Michel Foucault, 1972: 7) dan Genealogi Kekuasaan dari Michel
Foucault (George Ritzer, 2014: 574-575), (Foucault, 1977: 9 dan 73), (Paul
Rabinow, 2002: 17 ), dan F.R. Ankersmit, 1987 : 310-312). Dari arkeologi ilmu
pengetahuan akan dibahas tentang aturan-aturan formasi diskursus (wacana),
sedangkan dari genealogi kekuasaan akan dibahas bukan hanya kelangkaan
pernyataan (statement) tetapi juga kekuasaan dari pihak yang afirmatif
(menyetujui) adanya peristiwa kecil sehari-hari di masa revolusi.
Genealogi menolak penyebaran metahistoris dari kebenaran yang ideal dan
teleologis tak terbatas. Dia memusatkan perhatian pada pencarian asal-usul,
namun bukan dalam pengertiannya sebagai ursprung (pengujian asal muasal dari
16
Mereka datang dari berbagai banjar yang ada di Sanur, dengan membawa senjata-
senjata tajam milik masing-masing.
Analisis empiris terhadap wacana sejarah seperti tersebut di atas, secara
spesifik ditangani oleh Arkeologi Ilmu Pengetahuan, sedangkan genealogi
kekuasaan menjalankan serangkaian analisis kritis terhadap wacana sejarah dan
hubungannya dengan isu-isu yang menjadi perhatian di masa pra revolusi, masa
revolusi, dan pasca revolusi. Oleh karena itu akan dapat diperoleh ilmu tentang
cara-cara mengetahui mengapa peristiwa kecil sehari-hari di tiga desa tersebut di
atas di masa revolusi bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan
kejadian sejarah sebelum dan sesudah Revolusi Indonesia (1945-1949). Sekaligus
pula mengetahui implikasi peristiwa kecil sehari-hari di masa revolusi terhadap
peristiwa lain di masa di awal kemerdekaan, khususnya yang terkait dengan
perseteruan antara golongan sosialis dengan nasionalis di Bali tahun 1950-an.
Daftar Bacaan
Ankersmit, F.R., 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Ari Dwipayana, A.A. GN. 2004. Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para
Ningrat di Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press.
Calhoun, Craig, Edward Li Puma, Moishe Postone (Ed). Bourdieu Critical
Perspectives. Chicago: The University of Chicago Press.
_______. 1980. Power/Knowledge, Colin Gordon, ed., trans. Colin Gordon, Leo
Marshall, John Mepham, Kate Soper. Sussex: The Harvester Pres
Oostindie, Gert. 2016. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian
Perang pada Sisi Sejarah yang Salah, terj. Susi Moeiman, Nurhayu
Santoso, Maya Suteja-Liem (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan
Otoritarianisme, terj. Nuruddin Mhd. Ali, Uzair Fauzan. Yogyakarta:
LKIS.
Pindha, I Gusti Ngurah. 2013. Perang Bali Sebuah Kisah Nyata. Jakarta: Dolphin.
S. Pendit, Nyoman. 2008. Bali Berjuang. Denpasar: Pustaka Larasan.
Suada, I Nyoman. 2003. Peguyangan Sebagai Desa Basis Perjuangan Dalam
Masa Revolusi Fisik di Bali, naskah yang belum dipublikasikan, Denpasar.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh, terjemahan
Triwibowo B.S. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rabinow, Paul. 2012. Pengetahuan dan Metode Karya-karya Penting Foucault,
terjemahan Arief. Yogyakarta: Adipura.
Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik,
terj, Arif B. Prasetyo. Yogyakarta: LKiS.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Thomson, Paul. 2012. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Ombak
Wirawan, Anak Agung Bagus. 2012. Pusaran Revolusi Indonesia Di Sunda Kecil
1945-1950. Denpasar: Udayana University Press.
Sumber lisan
Wawancara Nyoman Wijaya dan Nyoman Sukiada engan Ida bagus Tantra, ARC
Project, tahun l996, koordinator Adrian Vickers dan Carol Werren.
Wawancara Nyoman Wijaya dengan Ida Pedanda Gde Dwidja Ngenjung di Sanur