Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH KEPERAWATAN KESELAMATAN PASIEN DAN K3

EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM K3


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keselamatan Pasien Dan
Keselamatan Kesehatan Kerja Dalam Keperawatan
Dosen Pengampu: Sari Candra Dewi SKM, M. Kep

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 10

1. ARDIYANTO H. YUSUF P07120521003


2. ASYA ZAHARA ULFIANA P07120521017
3. NIRYOLANDANI HASAN P07120521025

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan karunia-Nya, kami telah menyelesaikan makalah mata kuliah
Keperawatan K3 mengenai “Evidence Based Practice Dalam K3”. Kami juga
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
Keperawatan Gerontik dari Ibu Sari Candra Dewi SKM, M. Kep selaku dosen
pengampu.

Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk kita semua. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk itu kritik dan saran
sangat kami harapkan demi perbaikan penulisan makalah selanjutnya. Oleh karena
itu, kami meminta maaf bila ada kesalahan atau kekurangan dalam kata-kata maupun
penulisan.

Yogyakarta, 1 Mei 2021

Penyusun
Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusah Masalah......................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
D. Manfaat......................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Evidence Based Practice..............................................................3
B. Konsep K3 ................................................................................................17
C. Konsep Penyakit Akibat Kecelakaan Kerja...............................................24
D. Konsep Evidence Based Practice Dalam K3.............................................30

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan ...............................................................................................42
B. Saran .........................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................43

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Evidence-based practice (EBP) merupakan metode pendekatan perawatan
professional untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan. Sebagian
besar perawat meyakini EBP berdampak positif pada kualitas perawatan dan
kepuasan kerja (Berland, 2012). Evidence Based Nursing Practice (EBNP)
digunakan oleh perawat sebagai pemberi pelayanan asuhan keperawatan yang
baik karena pengambilan keputusan klinis berdasarkan pembuktian.
World Health Organization merekomendasikan agar asuhan keperawatan
yang aman bias diberikan pada pasien, maka upaya penelitian dan penerapan
hasil penelitian perlu dilakukan (Hande, 2017). Upaya penerapan hasil/ penelitian
ini dikenal dengan asuhan keperawatan berbasis Evidence Based Practice (EBP).
Tujuan dari penerapan EBNP mengidentifikasi solusi dari pemecahan masalah
dalam perawatan serta membantu penurunan bahaya pada pasien (Almaskari,
2017).
Menurut penelitian Hidayat (2019) tentang pendidikan evidance based
practice melalui mentoring program oleh perawat di Rumah Sakit, pendidikan
EBP melalui program mentoring mampu meningkatkan implementasi praktik
berbasis bukti di rumah sakit. Sedangkan menurut penelitian Elysabeth (2015)
tentang hubungan tingkat pendidikanperawat dengan kompetensi aplikasi
Evidence-Based Practice, perawat dapat meningkatkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi, karena terbukti bahwa pendidikan dapat menuntun seseorang
terampil dalam mencari sumber penelitian,berorganisasi dan bersikap
professional dalam bekerja, meningkatkan akses-akses untuk meningkatkan dan
menerapkan praktik berdasarkan bukti (Silitonga, 2019).
. K3 merupakan aspek yang penting dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan karyawan. Apabila tingkat keselamatan kerja tinggi, maka
kecelakaan yang menyebabkan sakit, cacat, dan kematian dapat ditekan sekecil
mungkin. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan upaya untuk memberikan

1
Dalam dunia kesehatan sendiri Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(PAK), pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan,
dan rehabilitasi. Keselamatan pasien (patient safety) adalah permasalahan yang
sangat penting dalam setiap pelayanan kesehatan sehingga keselamatan
merupakan tanggung jawab dari pemberi jasa pelayanan kesehatan terutama
pelayanan keperawatan di setiap unit perawatan baik akut maupun kronis harus
berfokus pada keselamatan pasien baik dalam tatanan rumah sakit[ CITATION Cin \l
1033 ].

B. Rumusan masalah
Bagaimanakah Evidence Based Practice (EBP) dalam K3?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk menjelaskan dan memahami
tentang Evidence Based Practice (EBP) dalam K3.

D. Manfaat
1. Untuk Mahasiswa
Sebagai media informasi dan pembelajaran tentang Evidence Based Practice
(EBP) dalam meningkatkan keselamatan pasien khususnya bagi mahasiswa
kesehatan.
2. Untuk Tim Kesehatan
Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan sarana informasi dalam
melaksanakan asuhan keperawatan di pelayanan kesehatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Evidence Based Practice (EBP)


1. Pengertian Evidence Based Practice (EBP)
Arti kata evidence dalam Bahasa Indonesia adalah bukti. Bukti dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran
suatu peristiwa. Arti based dalam Bahasa Indonesia adalah dasar atau
berdasarkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berdasarkan memiliki
arti memakai sebagai dasar; beralaskan; bersendikan. Sedangkan practice
dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti praktek atau proses, dimana dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna pelaksanaan secara nyata
apa yang disebut dalam teori.
Secara umum, Evidence-Based Practice adalah sebuah pendekatan
yang bertujuan untuk meningkatkan proses melalui pertanyaan yang
manakah bukti penelitian ilmiah yang berkualitas tinggi yang dapat
diperoleh dan diterjemahkan ke dalam keputusan praktik terbaik untuk
meningkatkan kesehatan (Steglitz, Warnick, Hoffman, Johnston, & Spring,
2015). Sackett et al di dalam Gerrish et al (2006), EBP adalah segala
tindakan yang berbasis bukti, baik dalam pengobatan, eksplisit dan bijaksana
dalam penggunaan EBP untuk mengambil keputusan dalam perawatan
pasien.
Menurut Carlon (2010) Evidence Based Practice merupakan suatu
kerangka kerja yang menguji, mengevaluasi dan menerapkan temuan-
temuan penelitian dengan tujuan untuk memperbaiki pelayanan keperawatan
kepada pasien. Majid et al (2011) mengatakan bahwa EBP merupakan salah
satu teknik yang cepat untuk perkembangan dalam praktik keperawatan
karena EBP mampu memberikan penanganan masalah – masalah klinis
secara efektif yang mungkin terjadi disaat pemberian pelayanan kesehatan
serta pemberian perawatan berdasarkan hasil – hasil penelitian yang tertera.

3
Sedangkan menurut Muhal (1998) EBP adalah penggabungan dari seorang
perawat mengenai hasil penelitian yang didapatkannya dengan
menerapkannya di praktik klinis kepada pasien serta ditambah dengan
pilihan dari pasien dalam keputusan klinis. EBP pada masa ini sangat perlu
dikembangkan dan diaplikasikan dalam praktiknya untuk mendukung semua
profesi dalam kesehatan baik dokter, perawat ataupun farmasi untuk
menuntun pengambilan keputusan atau tindakan yang harus diberikan
kepada klien dengan kualitas yang terjamin dan profesinal.
Dalam Evidence-Based Nursing Position Statement (2005),
dinyatakan bahwa EBP telah menjadi isu menonjol dalam keperawatan
kesehatan internasional, biaya kesehatan meningkat, prinsip manajemen
dalam melakukan praktik keperawatan yang tepat dan keinginan perbaikan
kualitas EBP. Untuk itu keperawatan menjadi terlibat dalam gerakan untuk
mendefinisikan EBP dalam setiap praktik keperawatan, yang jelas adalah
tanggung jawab perawat untuk melaksanakan EBP dalam tindakan
keperawatan, dan mengevaluasi, mengintegrasikan dan menggunakan bukti
terbaik yang telah tersedia untuk meningkatkan praktik keperawatan
(Rycroft-Malone, Bucknall, Melnyk, 2004) dikutip oleh Tarihoran (2015)
dalam jurnalnya.
2. Tujuan Evidence Based Practice (EBP)
Grinspun, Vinari & Bajnok dalam Hapsari (2011) menyatakan tujuan
EBP memberikan data pada perawat praktisi berdasarkan bukti ilmiah agar
dapat memberikan perawatan secara efektif dengan menggunakan hasil
penelitian yang terbaik, menyelesaikan masalah yang ada di tempat
pemberian pelayanan terhadap pasien, mencapai kesempurnaan dalam
pemberian asuhan keperawatan dan jaminan standar kualitas dan memicu
inovasi.
3. Tingkatan Evidence Based Practice (EBP)
Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence yang
digunakan untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti

4
terbaik sampai dengan bukti yang paling rendah. Tingkatan evidence ini
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam EBP. Hirarki untuk tingkatan
evidence yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Penelitian dan Kualitas
(AHRQ), sering digunakan dalam keperawatan (Titler, 2010). Adapun level
of evidence tersebut adalah sebagai berikut :
a. Level 1 : Evidence berasal dari systematic review atau meta-analysis dari
RCT yang sesuai.
b. Level 2 : Evidence berasal dari suatu penelitian RCT dengan randomisasi.
c. Level 3 : Evidence berasal dari suatu penelitian RCT tanpa randomisasi.
d. Level 4 : Evidence berasal dari suatu penelitian dengan desain case
control dan kohort.
e. Level 5 : Evidence berasal dari systematic reviews dari penelitian
descriptive dan qualitative.
f. Level 6 : Evidence berasal dari suatu penelitian descriptive atau
qualitative.

g. Level 7 : Evidence berasal dari suatu opini dan atau laporan dari para ahli.
4. Keuntungan Evidence Based Practice (EBP)
a. Metode untuk mengevaluasi sistem kerja perawat dalam melakukan
praktik keperawatan.
b. Mengintegrasikan komponen – komponen pendukung EBP dalam
pelayanan kesehatan.
c. Melakukan intervensi kepada pasien berdasarkan bukti – bukti hasil
penelitian.
d. Meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dalam proses pelayanan
kesehatan.
e. Bersikap profesional dalam memberikan layanan kesehatan kepada
pasien.
f. Menguntungkan perawat, pasien, serta institusi kesehatan.

5
5. Model Evidence Based Practice (EBP)
Langkah-langkah yang sistematis dibutuhkan dalam memindahkan
evidence ke dalam praktik guna meningkatkan kualitas kesehatan dan
keselamatan (patient safety) dan dalam mengembangkan konsep, perawat
dapat dibantu dengan berbagai model EBP melalui pendekatan yang
sistematis dan jelas, alokasi waktu dan sumber yang jelas, sumber daya yang
terlibat, serta mencegah implementasi yang tidak runut dan lengkap dalam
sebuah organisasi (Gawlinski & Rutledge, 2008). Setiap institusi dapat
memilih model yang sesuai dengan kondisi organisasi karena beberapa model
memiliki keunggulannya masing-masing.
Model-model yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan
EBP adalah Iowa Model (2001), Stetler Model (2001), ACE STAR Model
(2004), John Hopkin’s EBP Model (2007), Rosswurm dan Larrabee’s Model.
Karakteristik model yang dapat dijadikan landasan dalam menerapkan EBP
yang sering digunakan yaitu IOWA Model dimana model ini dalam EBP
digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, digunakan dalam
berbagai akademik dan setting klinis. Ciri khas dari model ini adalah adanya
konsep (triggers) dalam melaksanakan EBP. Triggers adalah informasi
ataupun masalah klinis yang berasal dari luar organisasi. Terdapat 3 kunci
dalam membuat keputusan, yaitu; adanya penyebab mendasar timbulnya
masalah, pengetahuan terkait dengan kebijakan institusi atau organisasi,
penelitian yang cukup kuat, dan pertimbangan mengenai kemungkinan
diterapkannya perubahan ke dalam praktik sehingga dalam model tidak
semua jenis masalah dapat diangkat dan menjadi topik prioritas organisasi.
Model John Hopkins memiliki 3 domain prioritas masalah, yaitu
praktik keperawatan, penelitian, dan pendidikan. Terdapat beberapa tahapan
dalam pelaksanaan model ini, yaitu menyusun practice question yang
menggunakan PICO approach, menentukan evidence dengan penjelasan

6
mengenai setiap level yang jelas dan translation yang lebih sistematis dengan
model lainnya serta memiliki lingkup yang lebih luas.
ACE Star Model merupakan model transformasi pengetahuan
berdasarkan research atau penelitian. Model ini tidak menggunakan evidence
non-research. Sedangkan untuk Stetler’s Model tidak berorientasi pada
perubahan formal tetapi pada perubahan oleh individu perawat. Model ini
dilaksanakan dengan menyusun masalah berdasarkan data internal yang
disebut juga quality improvement dan operasional dan data eksternal yang
berasal dari research atau penelitian (Schneider & Whitehead, 2013).
6. Komponen – Komponen Pendukung Evidence Based Practice (EBP)
a. Penelitian Keperawatan
Penelitian keperawatan sangat berpengaruh terhadap praktik
keperawatan berbasis bukti. Penelitian keperawatan memegang peranan
penting terhadap suatu hambatan atau masalah yang timbul di dalam
praktik keperawatan sehingga dengan adanya penelitian ini hambatan atau
masalah yang terjadi di dalam praktik keperawatan dapat diatasi dengan
mudah secara efektif dan efisien serta tidak merugikan klien atau pasien.
Hambatan dalam suatu penilitian seringkali dikaitkan dengan masalah
yang ditimbulkan dari adanya suatu faktor yang menyebabkan kegiatan
penelitian terhambat. Hambatan tersebut dapat berupa kurangnya waktu
dalam melakukan pengkajian suatu masalah yang telah dijadikan sebagai
pokok permasalahan. Selain itu, manajemen waktu, lokasi yang geografis,
ukuran sampel, tingkat respons, dan organisasi dapat menghambat proses
penelitian berlangsung.
Pelaksanaan EBP terhadap penilitian keperawatan sangat
berhubungan satu sama lainnya dimana di dalam pelaksanaan EBP
terdapat sebuah hasil dari riset penilitian ilmiah yang dilakukan. Hal ini
akan membuat pelaksanaan EBP semakin diperkuat dan dapat
menunjukkan keprofesionalan seorang perawat dalam melakukan
intervensi terhadap kliennya. Selain itu, pelaksanaan penelitian

7
keperawatan akan menghasilkan suatu inovasi terbaru dan jaminan
standar kualitas seorang perawat dalam memberikan intervensi asuhan
keperawatan kepada kilen atau pasien. Intervensi dari seorang perawat
harus disertai komponen – komponen EBP sehingga dalam proses
pelayanan kesehatan dapat memuaskan klien dan menguntungkan klien.
Dengan demikian, pentingnya penelitian keperawatan yang berdasarkan
metode atau analisa ilmiah yang berpengaruh terhadap EBP seorang
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan untuk memenuhi proses
pelayanan kesehatan.
b. Pengalaman
Praktik keperawatan merupakan salah satu kegiatan secara rutin
yang dilakukan oleh seorang perawat di dalam pelayanan kesehatan.
Dalam hal ini, perawat akan bertugas sesuai dengan topoksinya masing –
masing dalam memenuhi kebutuhan seorang pasien atau klien.
Pemenuhan kebutuhan seorang pasien atau klien yang menjadi salah satu
tugas pokok bagi seorang perawat dalam menjalankan tugasnya. Hal
tersebut dilakukan oleh setiap perawat berdasarkan tingkatan masalah –
masalah yang dialami oleh seorang pasien. Seperti yang kita ketahui
bahwa pasien adalah individu yang unik dan berbeda sehingga perawat
harus mengerti akan hal ini.
Dengan masalah yang ditimbulkan dan pemecahan akan masalah
tersebut sudah menjadi kebiasaan yang melekat dari seorang perawat
sehingga terciptanya banyak pengalaman di dalam pelayanan kesehatan.
Pengalaman seorang perawat dapat menunjukan kualitas EBP nya dalam
memberikan suatu asuhan keperawatan atau pelayanan yang lainnya
kepada klien. Ketika seorang perawat diberikan sebuah pertanyaan yang
berkaitan dengan suatu masalah yang terjadi, perawat akan menjawab
permasalahan tersebut dengan menggunakan bukti – bukti penelitiannya
yang pernah dia lakukan sesuai dengan kajian ilmiah. Jelas demikian

8
bahwa penelitian juga berkaitan terhadap pengalaman seorang perawat
dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada.
Pengalaman yang dimiliki oleh seorang perawat dapat
memberikan suatu keputusan yang jelas dan terarah. Selain itu, perawat
yang berpengalaman banyak dalam hal intervensi kepada klien atau
pasien dapat memberikan suatu pengajaran kepada perawat – perawat
yang lain dalam menindaklanjuti seorang pasien dengan diagnosis yang
berbeda. Jadi, peran perawat terhadap teman sejawatnya adalah sebagai
fasilitator mengenai pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian,
pengalaman seorang perawat sangat diperlukan untuk mendukung pratik
berdasarkan EBP kepada seorang klien.
c. Pendidikan
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap kompetensi atau
pengetahuan bagi seorang perawat dalam melakukan asuhan keperawatn
berbasis bukti kepada klien atau pasien. Seperti yang kita ketahui bahwa
jenjang pendidikan yang diberlakukan di Indonesia berbeda - beda yaitu
vokasi dan sarjana. Setiap tingkatan jenjang memiliki karakteristik atau
penciri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tingkatan vokasi
lebih mengarah kepada hard skillnya dalam praktik kerja lapangan di
institusi kesehatan atau yang lainnya. Pendidikan ini mengarah pada
aspek umum saja sehingga ilmu – ilmu yang dimiliki hanya sebagian
besar umum dan belum mendetail secara spesifiknya. Sedangkan,
tingkatan pendidikan akademik sarjana lebih mengarah pada soft skillnya
atau ilmu – ilmunya yang telah dipelajarinya. Pendidikan ini lebih
membahas menyeluruh dan mendetail dimana ilmu yang diajarkan pada
pendidikan ini tidak diajarkan di pendidikan sebelumnya. Cakupan
bahasannya juga luas dan dikhususkan pada bidang tertentu.
Pendidikan seorang perawat sangat berpengaruh terhadap
kompetensi dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Perawat yang lulus dari perguruan tinggi memiliki ilmu yang

9
berbeda – beda dalam dirinya masing – masing sehingga dalam
memberikan asuhan keperawatan juga berbeda antara perawat satu
dengan lainnya. Perawat yang bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi
akan semakin kompeten dalam melakukan tugasnya sebagai seorang
perawat. Menurut Eizenberg (2010) hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan mampu menuntun seseorang terampil dalam mencari sumber
penelitian, berorganisasi dan bersikap profesional dalam bekerja,
meningkatkan akses-akses untuk meningkatkan dan menerapkan praktik
berdasarkan bukti
Pendidikan juga diperlukan bagi seorang perawat dalam
menunjukan keprofesionalitasannya dalam mengurus pasien tentunya
keprofesionalitasan ini sangat mendukung implementasi EBP dalam
praktiknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seorang perawat maka semakin tinggi pula tingkat
pengetahuan yang dimilikinya sehingga dalam praktik keperawatan
perawat dapat kompeten dan profesional dalam praktik keperawatannya
dengan memberikan perawatan yang bermutu kepada klien atau pasien.
Selain itu, hal ini juga yang dapat mendukung dan meningkatkan kualitas
EBP di dalam pelayanan kesehatan.
d. Pengetahuan
Pengetahuan seorang perawat sangat berhubungan dengan
kompetensi seorang perawat dalam menjalankan tugasnya di bidang
pelayanan kesehatan. Pengetahuan seorang perawat didukung oleh
pendidikannya dan kegiatannya selama proses penempuan ilmu
keperawatan. Kita sudah mempelajari bahwa pendidikan juga
berpengaruh terhadap pengetahuan seorang perawat. Pengetahuan yang
dimiliki oleh seorang perawat merupakan wujud dari profesional perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan atau pelayanan kesehatan yang
bermutu.

10
Pengetahuan juga dapat membuat perawat lebih berpikir kritis
dalam memecahkan suatu masalah atau hambatan – hambatan lain yang
berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Berpikir kritis juga termasuk salah
satu komponen EBP dimana perawat akan berpikir secara mendalam
untuk menggali bukti – bukti yang mendukung di dalam praktiknya.
Seperti yang sudah saya jelaskan, pengetahuan berpengaruh terhadap
kompetensi seorang perawat.
Menurut Gruendemann (2006), kompetensi merupakan suatu
keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang dimilikinya dalam
melakukan praktik keperawatan yang profesional di dalam tugas –
tugasnya terhadap klien atau pasien. Hal ini juga dijelaskan pada Undang
– Undang RI No 20 pasal 35 ayat 1 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa kompetensi adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai
standard nasional yang telah disepakati. Dengan demikian, pengetahuan
berpengaruh terhadap praktik berbasis bukti seorang perawat kepada
kliennya dengan memberikan pelayanan yang bermutu, berkualitas, dan
menguntungkan bagi pasien sehingga pasien memiliki kesan terbaik dan
percaya untuk ditindak lanjuti oleh perawat.
e. Pelatihan / Seminar
Pelatihan atau seminar sangat diperlukan bagi perawat dalam
melakukan kegiatannya di praktik keperawatan untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Perawat akan memiliki banyak pengetahuan mengenai
cara memenuhi kebutuhan pasien dalam pelayanan kesehatan. Pelatihan
ini diadakan bertujuan melatih dan mengembangkan keterampilan,
kreativitasan, serta pengetahuan perawat dalam menjalankan tugasnya
serta mengatasi segala kerumitan atau masalah yang didapat disaat praktik
keperawatan berlangsung. Selain itu, perawat akan memiliki banyak ilmu
– ilmu terbaru di dunia keperawatan yang diberikan oleh pemateri atau
motivator lainnya.

11
Ilmu- ilmu tersebut tentunya berdasarkan ilmu – ilmu keperawatan
yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan
adanya hal ini, perawat akan memberikan pelayanan yang terbaik dan
bermutu bagi pasien serta dapat meningkatkan kualitas perawat terutama
dalam pengaplikasian EBP. Pelatihan ini juga akan membuat perawat
bersikap profesional terhadap tugasnya. Dengan demikian, pelatihan ini
juga sangat diperlukan oleh perawat dalam mengembangkan
kompetensinya di pelayanan kesehatan terutama mengenai ilmu – ilmu
terbaru seiring perkembangan zaman. Hal tersebut berpengaruh terhadap
pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.
f. Keterampilan
Keterampilan sangat diperlukan dalam pengimplementasian EBP.
Keterampilan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keterampilan
menggunakan bukti –bukti yang telah ada yang dapat digali dari riset
hasil penelitian. Keterampilan seorang perawat akan diuji dengan
tindakannya kepada seorang pasien. Apakah ia terampil dalam
menggunakan fasilitas yang ada di institusi kesehatan. Perawat yang
terampil dalam hal menangani seorang pasien, mereka akan melakukan
pendekatan – pendekatan yang membuat dirinya merasa lebih percaya diri
dan profesional dalam tindak pengurusan pasien.
Menurut Hart et al (2008) keterampilan seorang profesi kesehatan
atau yang lainnya dapat dibuktikan dengan pengaplikasian atau penerapan
mengenai riset hasil penelitian tersebut. Pencarian atau penemuan
mengenai hasil riset penelitian yang relevan dengan kondisi klinis pasien,
perawat dapat menggunakan segala fasilitas yang ada serta mendukung
untuk mencari artikel ilmiah, jurnal ataupun sumber – sumber bukti
ilmiah yang lainnya. Apabila mereka tidak dapat memanfaatkan fasilitas
yang ada maka mereka sama saja tidak menunjukkan soft skillnya atau
kompetensi dalam intervensi atau yang lainnya. Selain itu, menurut
(Thompson, McCaughan, Cullum, Sheldon, & Raynor, 2003).

12
Keterampilan dapat berbentuk evaluasi hasil penelitian sehingga perawat
klinisi dapat menentukan mana yang terbaik untuk pasiennya dari
temuan-temuan tersebut.
7. Faktor – Faktor Penghambat dalam Pengaplikasian Evidence Based
Practice (EBP)
a. Model konsep Evidance-based Practice hanya berfokus di kota-kota besar
baik yang berada di dalam maupun luar negeri sehingga pada daerah-
daerah pelosok atau pedesaan yang terdapat di Indonesia belum
berkembang. Hal itu terjadi karena kurangnya informasi yang masuk
antara pihak eksternal dari kota besar menuju pedasaan. Selain itu,
perawat kurang terampil dalam memainkan perannya.
b. Pada perawat sendiri menyatakan tidak setuju bahwa pengetahuan mereka
memadai untuk mengimplementasi Evidance-based Practice tetapi
sebaliknya, banyak dari responden yang sudah memiliki keterampilan
yang cukup untuk melaksanakan Evidance-based Practice serta mereka
mengatakan bahwa mereka terbiasa membaca hasil penelitian akan tetapi
dalam melakukan suatu penelitian mereka tidak terbiasa.
c. Belum cukup memadainya banyak komponen persiapan perawat dalam
mengimplementasikan konsep Evidance-based Practice. Kurangnya
komponen yang terdapat pada diri seorang perawat menyebabkan mereka
tidak siap untuk mengaplikasikan EBP dalam praktik keperawatan.
Komponen – komponen tersebut sangat mendukung untuk eksistensi
seorang perawat di dalam pelayanan kesehatan. Ketika komponen yang
terdapat pada diri perawat terpenuhi baik dari segi internal maupun
eksternal. Mereka akan memberikan pelayanan profesional kepada pasien
atau klien sehingga memberikan kesan positif pada pasien serta membuat
pasien merasa termotivasi untuk sehat.
d. Faktor penghambat utama yaitu pemahaman bahasa asing yang minim dan
pengetahuan yang terbatas. Hal ini dapat terjadi kepada seorang perawat
karena kurang nya budaya literasi atau kurang keikutsertaannya dalam

13
mengikuti kegiatan pelatihan untuk pengembangan ilmu dan peningkatan
keterampilan yang bisa didapat dengan kegiatan seperti seminar,
pengaplikasian riset hasil penelitian dsb.
e. Waktu dan pengetahuan merupakan hambatan utama yang di temukan dari
berbagai penelitian yang ada mengenai implementasi.
f. Dukungan yang kurang dari organisasi dapat juga menghambat
pengembangan Evidance-based Practice.
g. Seorang perawat yang tidak diberi tanggung jawab untuk
mengimplementasikan Evidance-based Practice. Semua profesi yang
bekerja di dalam pelayanan kesehatan sangatlah perlu menerapkan EBP
dalam praktik keperawatannya khususnya dalam pemberian asuhan
keperawatan. Dengan diberlakukannya EBP di setiap pekerjaan atau tugas
dari seorang yang memiliki profesi maka pelayanan yang dihasilkan akan
berkualitas dan selalu bertumpu pada bukti – bukti yang mendukung kita
ketika kita melakukan intervensi kepada seorang pasien.
h. Fasilitas yang kurang memadai apa lagi pada era 4.0 dimana majunya
teknologi pada saat ini sehingga ketersediaan komputer sangat penting.
Seharusnya fasilitas harus dikembangkan baik dalam institusi kesehatan
atau pada saat proses penelitian. Dengan adanya fasilitas seperti komputer
yang tersambung internet akan memudahkan profesi kesehatan untuk
mencari sumber – sumber ilmiah yang mendukung dalam pemberian
asuhan keperawatan kepada klien. Sumber – sumber ilmiah yang terdapat
di internet seperti jurnal, artikel ilmiah, dan riset hasil penelitian dapat
dijadikan bukti sebagai dasar pengimplementasian EBP dalam pelayanan
kesehatan.
i. Tingkat pendidikan yang berbeda setiap individu. Pendidikan sangat
berpengaruh terhadap pengetahuan serta kompetensi seorang perawat.
Semakin lama pendidikan yang ditempuh oleh individu maka semakin
banyak pula pengetahuan yang didapatkan oleh individu tersebut. Ketika
pengetahuan yang didapat oleh seorang individu sangat banyak atau

14
meluas, kompetensi yang dimiliki oleh individu tersebut akan mengikuti
pengetahuan yang didapatkannya. Kompetensi ini akan melahirkan
keterampilan serta soft skill seorang perawat dalam praktik keperawatan.
8. Langkah-langkah Implementasi Evidence Based Practice (EBP)
Terdapat tujuh langkah yang harus dilewati ketika akan
mengimplementasikan suatu Evidence Based Practice yaitu (Melnyk &
Fineout-Overholt, 2011):
a. Menumbuhkan semangat terhadap penelitian Sebelum memulai dalam
tahapan yang sebenarnya didalam EBP, harus ditumbuhkan semangat
dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih nyaman dan tertarik
mengenai pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan perawatan pasien.
b. Merumuskan pertanyaan klinis dalam format PICOT Pertanyaan klinis
dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence yang lebih baik dan
relevan.
P : Patient Population (kelompok / populasi pasien)
I : Intervention or Issue of Interest (intervensi atau issue yang menarik)
C : Comparison intervention of group (perbandingan intervensi didalam
populasi)
O : Outcome (tujuan)
T : Time frame (waktu)
c. Mencari dan mengumpulkan literatur evidence yang berhubungan
Mencari evidence yang baik adalah langkah pertama didalam penelitian,
untuk menjawab pertanyaan tindakan dengan melakukan systematic
reviews dengan mempertimbangkan level kekuatan dari evidence yang
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Guyatt & Rennie,
2002).
d. Melakukan telaah atau penilaian kritis terhadap evidence Langkah ini
merupakan langkah vital, didalamnya termasuk penilaian kritis terhadap
evidence. Kegiatannya meliputi evaluasi kekuatan dari evidence tersebut,
yaitu tentang kevalidan dan kegeneralisasiannya.

15
e. Mengintegrasikan evidence terbaik dengan pengalaman klinis dan rujukan
serta nilai-nilai pasien didalam pengambilan keputusan atau perubahan.
Konsumen dari jasa pelayanan kesehatan menginginkan turut serta dalam
proses pengambilan keputusan klinis dan hal tersebut merupakan
tanggung jawab etik dari pemberi pelayanan kesehatan dengan
melibatkan pasien didalam pengambilan keputusan terhadap tindakan
(Melnyk & Fineout-Overholt, 2005).
f. Mengevaluasi tujuan di dalam keputusan praktis berdasarkan evidence.
Pada tahap ini dievaluasi EBP yang dipakai, bagaimana atau sejauh mana
perubahan yang dilakukan berefek terhadap tujuan pasien atau apakah
efektif pengambilan keputusan yang dilakukan.
g. Menyebarluaskan tujuan EBP atau perubahan Sangat penting
menyebarluaskan EBP baik yang sesuai ataupun yang tidak sesuai,
dengan cara melakukan oral atau poster presentation diwilayah local,
regional, nasional atau internasional.
9. Pengkajian dan Alat untuk Evidence Based Practice (EBP)
Penerapan konsep praktek klinis berbasis bukti menandai pergeseran
dari pelayanan tradisional menjadi pelayanan kesehatan professional yang
dalam pelaksanaannya berdasar pada pendapat dari otoritas, data, studi klinis
yang relevan, dan penelitian. Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus
dimiliki tenaga kesehatan professional untuk dapat menerapkan praktek klinis
berbasis bukti, yaitu :
a. Mengindentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek
b. Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan
c. Melakukan pencarian literature yang efisien
d. Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari bukti
tersebut untuk menentukan tingkat validitasnya
e. Mengaplikasikan temuan literature pada masalah pasien

16
f. Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya pasien dapat
mempengaruhi keseimbangan antara potensial keuntungan dan kerugian
dari pilihan manajemen/terapi (Jette et al., 2003).
Dalam penerapan praktek klinis berbasis bukti, perlu adanya beberapa
pengkajian awal, diantaranya kesiapan; kepercayaan; sikap; pengetahuan; dan
perilaku terhadap EBP, hingga implementasi dari EBP sendiri. Beberapa
instrument telah dikembangkan untuk membantu mengkaji hal-hal tersebut.
Kesiapan implementasi dapat dikaji menggunakan Organizational Culture and
Readiness for System-Wide Implementation of EBP (OCRSIEP).Instrument
ini dikembangkan oleh Fineout-Overholt and Melnyk tahun 2006, terdiri dari
25 item yang diukur dengan 5 point skala Likert. Semakin tinggi total skor
yang didapat, menunjukkan semakin tinggi pula kesiapan organisasi tersebut
dalam implementasi EBP. Koefisien alpha Cronbach’s berada pada rentang
0.93 – 0.94 (Wallen & Mitchell, 2011).
Instrument lain yaitu EBP Beliefs Scale (EBPBS) yang dikembangkan
oleh FineoutOverholt and Melnyk tahun 2003, terdiri dari 16 item yang diukur
dengan 5 point skala Likert dengan rentang sangat tidak setuju (1) sampai
sangat setuju (5). Terdapat dua item yang terdiri dari pernyataan negatif.
Semakin tinggi total skor yang didapat, menunjukkan semakin tinggi pula
kepercayaan/keyakinan dan kemampuan seseorang untuk
mengimplementasikan EBP dan koefisien alpha Cronbach’s berada pada
rentang 0.90 – 0.92 (Wallen & Mitchell, 2011).
Implementasi dari EBP pun dapat dikaji pelaksanaannya, yaitu dengan
menggunakan EBP Implementation Scale (EBPIS) yang juga dikembangkan
oleh FineoutOverholt and Melnyk tahun 2003, terdiri dari 18 item.Pada tiap
item mengindikasikan seberapa sering individu tersebut menggunakan EBP
dalam waktu 8 minggu. Respon mulai dari tidak pernah sama sekali dalam 8
minggu sampai lebih dari 8 kali dalam 8 minggu dengan koefisien alpha
Cronbach’s berada pada rentang 0.92 – 0.94 (Wallen & Mitchell, 2011).

17
B. Konsep Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)
1. Pengertian Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan istilah yang sudah
sangat familiar di setiap bidang kerja, baik rumah sakit, industri, ataupun
perkantoran. Setiap pekerjaan pasti memiliki tingkat risiko masing-masing
tergantung kesulitan dari pekerjaan tersebut. Potensi bahaya dan risiko di
tempat kerja antar lain akibat sistem kerja atau proses kerja, penggunaan
mesin, alat dan bahan yang bersumber dari keterbatasan pekerjaannya
sendiri, perilaku hidup yang tidak sehat dan perilaku kerja yang tidak aman,
uruknya lingkungan kerja, kondisi pekerjaan yang tidak ergonomik,
pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja yang tidak kondusif bagi
keselamatan dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja,2010 dalam Rangkuti,
2020).
2. Indikator Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Menurut (Dessler, 1997) indikator kesehatan karyawan terdiri dari :
1) Keadaan dan Kondisi Karyawan adalah keadaan yang dialami oleh
karyawan pada saat bekerja yang mendukung aktifitas dalam bekerja.
2) Lingkungan kerja Lingkungan kerja adalah lingkungan yang lebih luas
dari tempat kerja yang mendukung aktifitas karyawan dalam bekerja.
3) Perlindungan karyawan Perlindungan karyawan merupakan fasilitas
yang diberikan untuk menunjang kesejahteraan karyawan.
4) Tempat kerja adalah merupakan lokasi dimana para karyawan
melaksanakan aktifitas kerjanya.
5) Mesin dan peralatan Adalah bagian dari kegiatan operasional dalam
proses produksi yang biasanya berupa alat-alat berat dan ringan.
3. Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan
merupakan resultante dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas
kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban
tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa

18
dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan
produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak serasian dapat menimbulkan
masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja
yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
a. Kapasitas Kerja
Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum
memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-
40% masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia
gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan
seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan
produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan
bahwa angkatan kerja yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas
kesehatan dan non kesehatan yang mempunyai banyak keterbatasan,
sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering mendapat
kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.
b. Beban Kerja
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis
beroperasi 8 - 24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan
kesehatan pada laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilirdan
tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat menyebabkan
kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik
(irama tubuh). Faktor lain yang turut memperberat beban kerja antara
lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja yang masih relatif
rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan
secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan stres.
c. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi
kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational

19
Accident), Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja
(Occupational Disease & Work Related Diseases).
4. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( K3)
Menurut (IBK Bayangkara, 2015) Keselamatan dan kesehatan kerja
mengacu pada kondisi fisisologis-fisik dan psikologis karyawan yang di
akibatkan oleh lingkungan dan fasilitas kerja yang di sediakan perusahaan.
Perusahaan yang melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja
dengan baik secara signifikan dapat mencegah berbagai kecelakaan kerja
atau penyakit tertentu pada karyawannya. Kondisi fisiologis-fisik merupakan
berbagai akibat dalam bentuk penyakit, cedera, atau meninggal karena
pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja yang kurang baik. Gangguan
keselamatan dan kesehatan kerja dapat berupa:
1) Kecelakaan kerja.
2) Penyakit yang di akibatkan oleh pekerjaan.
3) Kehidupan kerja yang berkualitas rendah.
4) Stress pekerjaan.
5) Kelelahan kerja.
Oleh sebab itu, perusahaan harus mengelola program keselamatan
dan kesehatan kerja dengan sebaik-baiknya. Program keselamatan dan
kesehatan kerja harus di kelola sebagai suatu strategi perusahaan untuk
meningkatkan kualitas kerja. Maka sebelum program ini di tetapkan,
perusahaan harus mengidentifikasi permasalahan keselamatan dan kesehatan
kerja untuk menentukan penyebab terjadinya permasalahan tersebut. Setelah
di ketahui penyebab permasalahannya, perusahaan dapat menjalankan
beberapa program keselamatan dan kesehatan kerja secara terintregrasi agar
dapat menekan kecelakaan dan sakitnya karyawan dalam bekerja. Program-
program tersebut dapat meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Pemantuan Tingkat Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pemantuan ini bertujuan untuk menilai efektifitas program
keselamatan dan kesehatan kerja yang di tetapkan perusahaan dalam

20
menekan kecelakaan dan berbagai permasalahan keselamatan dan
kesehatan kerja lainnya. Untuk itu perusahaan harus memiliki
dokumentasi yang memadai tentang pelaksanaan program tersebut
mengenai hal-hal berikut.
1) Tingkat insiden merupakan indeks keamanan industri yang
menggambarkan jumlah kecelakaan dan penyakit dalam satu tahun.
2) Frekuensi insiden menggambarkan jumlah kecelakaan dan penyakit
dalam setiap satuan jam kerja tertentu.
3) Tingkat emergency menggambarkan jam kerja yang hilang sebagai
akibat dari terjadinya kecelakaan dan penyakit pada karyawan.
4) Pengendalian kecelakaan merupakan bentuk pencegahan terhadap
kecelakaan kerja dan berbagai penyakit yang terjadi karena
lingkungan kerja yang tidak sehat seperti :
a) Menempatkan penjaga ( rambu-rambu ) di dekat mesin.
b) Menyediakan pegangan pada tangga.
c) Kaca mata dan helm pelindung.
d) Lampu peringatan.
e) Fasilitas pengamanan pada peralatan yang berbahaya.
f) Penghentiaan pekerjaan secara otomatis.
g) Mekanisme perbaikan diri.
h) Kaca mata dan helm pelindung.
i) Lampu peringatan.
j) Fasilitas pengamanan pada peralatan yang berbahaya.
k) Penghentiaan pekerjaan secara otomatis.
l) Mekanisme perbaikan diri.
5) Ergonomis membuat pekerjaan menjadi lebih nyaman dan tidak
melelahkan melalui penyesuaian kemampuan fisik dan fisiologis
pekerja dengan lingkungan kerjanya.
6) Divisi keselamatan kerja yaitu pemanfaatan divisi keselamatan kerja
dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan akibat buruk

21
lainnya. Divisi ini bisa beranggotakan dari serikat pekerja dan
departemen-departemen yang berkaitan dengan di koordinasikan oleh
departemen SDM.
7) Pengubahan tingkah laku, pengubahan tingkah laku dalam bekerja
juga efektif dalam mencegah kecelakaan kerja. Seperti di ketahui
bahwa sebagian besar kecelakaan kerja terjadi karena kelalaian
manusia ( human error ). Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
kecelakaan kerja, perilaku karyawan dalam bekerja harus di arahkan
pada berbagai ketentuan yang sudah menjadi standar perusahaan
dalam program keselamatan dan kesehatan kerjanya.
8) Mengurangi timbulnya penyakit, penyakit akibat kerja biasanya
terjadi akibat lingkungan kerja yang kurang sehat. Lingkungan kerja
yang kurang sehat meliputi sanitasi, sirkulasi udara, penerangan,
kebisingan, dan pengelolahan limbah yang buruk dapat
menyebabakan terjadinya berbagai penyakit bagi karyawan.
Perusahaan harus menjadikan lingkungan kerja yang sehat sebagai
bagian dari strategi untuk meningkatkan produktifitas karyawan.
9) Penyimpanan dokumen, dokumen tentang pengaruh berbagai bahan
kimia yang di gunakan, jarak yang aman, pengaruh berbahaya bahan
tersebut, dan penyakit yang bisa di timbulkan dalam lingkungan
kerja, harus di simpan untuk memberikan informasi tentang ketaatan
perusahaan dalam mengelola program keselamatan dan kesehatan
kerjanya.
10) Memantau kontak langsung , mengendalikan kontak langsung
karyawan dengan berbagai zat kimia dan bahan beracun lainnya
sangat penting dalam program keselamatan dan kesehatan kerja. Di
samping pencegahan kontak langsung, fasilitas keamanan seperti
masker, sarung tangan penutup kepala, dan seragam khusus harus
tersedia jika kontak langsung harus terjadi.

22
b. Mengendalikan stress dan kelelahan kerja
Berbagai tekanan yang di hadapi dalam menyelesaikan pekerjaan,
hubungan kerja yang tidak harmonis dan tidak terpenuhinya kebutuhan
karyawan dalam bekerja merupakan sumber-sumber stres yang di derita
karyawan biasanya berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja
karyawan. Untuk mengatasi hal ini, perusahaan dapat melakukan
beberapa tindakan, misalnya pelatihan dan penyegaran, maupun langkah
berikut.
1) Peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan
Memberikan kesempatan yang lebih besar kepada karyawan dalam
pengambilan keputusan, merencanakan, mengimplementasikan,
dan mengendalikan rencana yang di buatnya dapat menjadi motivasi
intrinsik dan penghargaan yang sangat berarti dalam meningkatkan
kepuasan kerja karyawan. Hal ini dapat mengurangi tingkat stres
yang di hadapi karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya.

2) Strategi manajemen stres pribadi


Beberapa hal yang sangat bermanfaat dalam startegi manajemen
stres karyawan secara pribadi antara lain : manajemen waktu, pola
makan yang sehat, olahraga teratur, serta ikut serta dalam kelompok
sosial dan sebagainya.

3) Mengembangkan kebijakan kesehatan kerja


Jika perusahaan semakin menyadari bahwa program keselamatan
dan kesehatan kerja karyawan secara terintegrasi dapat meningkatkan
kinerja karyawan dan perusahaan secara keseluruhan, maka semakin
tinggi tingkat kepedulian perusahaan terhadap program tersebut.
Berbagai program keselamatan dan kesehatan kerja di kembangkan
dan di kelola secara serius untuk mencegah terjadinya berbagai

23
kecelakaan dan penyakit akibat buruknya lingkungan kerja.
Perusahaan harus proaktif menangani permasalahan ini, bukan karena
semata-mata demi memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, tetapi
sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

4) Menciptakan program kebugaran


Lebih baik mencegah daripada mengobati. Hal ini menjadi dasar dari
semakin pedulinya perusahaan dalam menjaga kesehatan
karyawannya, daripada harus menolong mereka setelah sakit. Oleh
karena itum semakin banyak klub-klub olahraga ( kebugaran ) di
bentuk di perusahaan, mulai dari yang paling sederhana (biaya
murah) sampai dengan yang paling kompleks (memerlukan
keterampilan dan biaya yang tinggi).

C. Konsep Penyakit Akibat Kecelakan Kerja


Tenaga kesehatan yang sering berkontak langsung dengan pasien adalah
perawat. Perawat adalah tenaga kesehatan yang paling besar jumlahnya dan
paling lama kontak dengan pasien, sehingga sangat berisiko dengan
pekerjaannya. Rumah sakit merupakan salah satu tempat kerja yang berpotensi
menimbulkan bahaya masalah kesehatan maupun kecelakaan pada kerja.
Kecelakaan kerja menjadi salah satu masalah urgen di lingkungan rumah sakit.
Hal ini diakibatkan karena rumah sakit merupakan suatu unit pelayanan
kesehatan yang memberikan pelayanan pada semua bidang dan jenis penyakit.
Namun banyak perawat tidak menyadari terhadap risiko yang mengancam
dirinya, melupakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Rumah sakit
merupakan tempat kerja yang berisiko tinggi untuk terjadinya kecelakaan kerja.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1993 tentang
kecelakaan kerja, kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan
dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah

24
menuju tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar
dilalui.
Pengetahuan tentang kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang baik
dapat menurunkan angka kecelakaan kerja hingga tercapainya zero
accident.Untuk itu Perawat yang merupakan tenaga kesehatan yang sering kontak
dengan pasien sehingga diharapkan mampu menerapkan K3 dengan baik.
Penerapan K3 di Indonesia diatur oleh UndangUndang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan K3 rumah sakit
(K3RS) diatur oleh KEPMENKES RI Nomor 1087/MENKES/SK/VIII/2010. K3
pada umumnya bertujuan melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja ataupun
buruh dalam mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Tujuan
diterapkannya K3RS adalah terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat,
aman, nyaman, dan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS.
Pengetahuan K3RS yang baik diharapkan mampu menekan angka kecelakaan
kerja karena individu tersebut dapat menerapakan tindakan yang sesuai dengan
pengetahuan K3 yang dimilikinya.
Kecelakaan adalah kejadian tidak terduga yang disebabkan oleh tindakan
tidak aman dan kondisi tidak aman (Heinrich, 1930 dalam Marbun, 2020).
Sebagian besar (85%) kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia dengan
tindakan yang tidak aman. Angka kecelakaan kerja di rumah sakit lebih tinggi
dibandingkan tempat kerja lainnya dan sebagian besar diakibatkan oleh perilaku
yang tidak aman. Kecelakaan kerja di kalangan petugas kesehatan dan non
kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Sebagai faktor
penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja yang kurang memadai. Angka kecelakaan kerja tertinggi
pada tenaga kesehatan adalah perawat, yaitu sebesar empat kali lipat dibanding
dengan kecelakaan kerja tenaga kesehatan lain. Tingginya kasus kecelakaan kerja
perawat di Rumah Sakit juga berakibat pada terganggunya proses pelayanan
kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu perlu diketahui faktor risiko penyebab
kecelakaan tersebut sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan.

25
1. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja
Menurut Djati (2002) dalam Marbun (2020) terdapat beberapa
penyebab kecelakaan akibat kerja, antara lain :
a. Kondisi tidak aman (unsafe condition): Kondisi tidak aman dapat
dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pekerja di lingkungan kerja
seharusnya mematuhi aturan dari Industri Hygiene, yang mengatur agar
kondisi tempat kerja aman dan sehat. Apabila tempat kerja tidak
mengikuti aturan kesehatan dan keselamatan kerja yang telah ditentukan
maka terjadilah kondisi yang tidak aman.
b. Tindakan tidak aman (unsafe action): Menurut penelitian hampir 80 %
kecelakaan terjadi disebabkan factor manusia yang melakukan tindakan
tidak aman. Tindakan tidak aman ini dapat disebabkan oleh :
1) Karena tidak tahu: Yang bersangkutan tidak mengetahui bagaiamana
melakukan pekerjaan dengan aman dan tidak tahu bahya-bahaya yang
ada
2) Karena tidak mampu atau tidak bisa: Yang bersangkutan telah
mengetahui cara kerja yang aman, bahaya¬bahaya yang ada tetapi
karena belum mampu, kurang trampil dia melakukan kesalahan.
3) Karena tidak mau: Walaupun telah mengetahui dengan jelas cara
kerja dan peraturan¬peraturannya serta yang bersangkutan dapat
melaksanakannya, tetapi karena tidak mau melaksanakan
melaksanakan maka terjadi kecelakaan, misalnya tidak mau memakai
alat keselamatan atau melepas alat pengaman.
Beberapa contoh tindakan yang tidak aman, antara lain meliputi :
Menjalankan sesuatu tanpa wewenang pekerja; Menjalankan sesuatu alat
kerja dengan kecepatan tinggi; Membuat alat pengaman diri tidak berfungsi:
Mempergunakan peralatan yang kurang baik; Pemuatan, penempatan,
pencampuran secara berbahaya; Mengambil kedudukan atau sikap yang
salah; Mengancam, menggoda, sembrono, membuat terkejut; Tidak
menggunakan alat pelindung diri Menurut Silalahi (1995) dalam Marbun

26
(2002), beberapa faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai didalam
setiap bahaya terhadap pekerja, antara lain meliputi faktor lingkungan, faktor
biaya, faktor peralatan dan perlengkapan kerja, serta faktor manusia.
2. Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Terdapat beberapa resiko penyakit yang dialami seorang pekerja
karena pekerjaannya. Menurut Pusparini (2003) dalam Marbun (2002),
penyakit akibat kerja ini dapat disebabkan karena faktor biologis seperti:
Bakteri, Virus, Jamur, Parasit. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003),
penyakit akibat kerja juga dapat disebabkan oleh binatang atau hewan dan
tumbuh-tumbuhan misalnya ; nyamuk, lalat, kecoak, lumut, taman yang tak
teratur dan sebagainya. Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja. Faktor risiko PAK antara
lain: Golongan fisik, kimiawi, biologis atau psikososial di tempat kerja.
Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja merupakan penyebab yang pokok
dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja. Faktor lain seperti
kerentanan individual juga berperan dalam perkembangan penyakit di antara
pekerja yang terpajan. Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian cedera
kecelakaan kerja pada perawat,yaitu :
a. Pendidikan
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang. Oleh sebab itu, semakin tinggi pendidikan
seseorang, pengetahuan yang dimilikinya akan semakin baik.
b. Usia
Usia/umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung
sejak dilahirkan. Semakin tinggi umur seseorang maka semakin bertambah
pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki karena pengetahuan seseorang
diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman yang diperoleh
dari orang lain Usia dapat mempengaruhi tingkat kematangan seseorang
dalam berpikir dan menangkap suatu hal yang pada akhirnya dapat
meningkatkan pengetahuan seseorang.

27
c. Masa Kerja
Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja
disuatu tempat. Pengalaman perawat dapat dilihat dari berbagai aspek.
Salah satunya adalah masa kerja. Semakin lama masa kerja perawat maka
pengalaman yang dimiliki juga semakin meningkat sehingga perilakunya
dalam menjaga keselamatan dirinya juga menjadi lebih baik. Pengalaman
untuk waspada terhadap kecelakaan kerja bertambah baik sesuai denga
pertambahan masa kerja dan lama bekerja di tempat kerja yang
bersangkutan lama seseorang bekerja juga mempengaruhi dimana pekerja
yang memiliki masa kerja lebih dari satu tahun cenderung lebih rendah
dalam mengalami kecelakaan kerja. maka dari itu lama kerja secara tidak
langsung akan meningkatkan pengetahuan seseorang melalui pengalaman
yang telah dialaminya.
d. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri adalah alat yang digunakan untuk melindungi perawat
agar dapat memproteksi dirinya sendiri. pengendalian ini adalah alternatife
terakhir yang dapat dilakukan bila kedua pengendalian sebelumnya belum
dapat mengurangi bahaya dan dampak yang mungkin timbul. Alat
pelindung diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan
oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh dari
kemungkinan adanya paparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja
e. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh pengusaha dan/atau
pengurus yang memuat seluruh visi dan tujuan perusahaan, komitmen dan
tekad melaksanakan kesehatan dan keselamatan kerja, serta kerangka dan
program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh
yang bersifat umum atau operasional. Kebijakan/peraturan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (Health and safety) merupakan persyaratan penting
dalam penerapan sistem manajemen K3 dalam perusahaan. Kebijakan K3

28
ini merupakan bentuk nyata dari komitmen manajemen terhadap K3 yang
dituangkan dalam bentuk peryataan tertulis yang memuat pokok-pokok
kebijakan perusahaan tentang pelaksanaan keselamatan kerja dalam
perusahaan. Kebijakan tertulis ini secara tegas mengandung sikap dan
komitmen manajemen K3. Penyusunan kebijakan K3 dilakukan dengan
mempertimbangkan hasil tinjauan awal yang telah dilakukan sebelumnya,
kemudian melakukan proses konsultasi antara pengurus dan wakil
pekerja/buruh. Adapun faktor yang lainnya ialah:
1) Hubungan Pengawasan dengan Kecelakaan Kerja Perawat.
Berdasarkan hasil ada hubungan yang signifikan antara pengawasan
dengan kecelakaan perawat, menyatakan pengawasan baik dari kepala
perawat. Pengawasan yang dilakukan antara lain yaitu sebelum
melakukan pergantian shift dilakukan pengarahan terlebih dahulu,
pengawasan juga dilakukan pada saat perawat memberikan pelayanan
kepada pasien, pengawasan kinerja berdasarkan SOP dan juga
pengawasan terhadap posisi pada saat bekerja melayani pasien.
2) Hubungan Prosedur Kerja dengan Kecelakaan Kerja Perawat.
Prosedur kerja merupakan rangkaian langkah yang dilaksanakan
untuk menyelesaikan kegiatan atau aktivitas, sehingga dapat tercapai
tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien serta dapat dengan
mudah menyelesaikan suatu masalah yang terperinci menurut waktu
yang telah ditetapkan. Perawat juga memiliki prosedur kerja yang
sudah ditetapkan dimana prosedur tersebut digunakan untuk
melindungi perawat dan juga melindungi pasien. Beberapa perawat
yang terlupa atau tidak sesuai dengan prosedur dalam melakukan
tindakan mungkin disebabkan karena buru-buru atau sedang dalam
kondisi yang tidak sehat. Kepala perawat menyatakan bahwa seorang
perawat harus memiliki sikap yang baik seperti mengikuti prosedur
kerja dan harus peduli terhadap bahaya yang ada dirumah sakit,
karena perawat tidak hanya bertanggung jawab terhadap

29
keselamatannya sendiri tetapi yang terutama itu harus memperhatikan
keselamatan pasien juga karena jika mereka bersikap yang buruk hal
ini menyangkut mutu pelayanan rumah sakit juga. Tetapi masih
adanya perawat yang bersikap kurang sesuai, seperti masih ada
perawat yang tidak memakai sarung tangan saat menyuntik yang
mungkin karena agar lebih gampang pada saat akan melakukan
tindakan.
3) Hubungan Kondisi Fisik dengan Kecelakaan Kerja Perawat.
Kondisi fisik yang tidak prima dapat mengurangi kapasitas kerja dan
ketahanan tubuh pekerja. Penurunan konsisi fisik pada perawat
ditandai dengan ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk
bekerja yang sebabnya adalah persyaratan psikis. Penyebab kelelahan
umum adalah monotoni, intensitas, dan lamanya kerja mental dan
fisik, keadaan lingkungan. Lemahnya kondisi fisik perawat
menyebabkan perawat kurang berkonsentrasi dalam mengerjaan tugas
dan tanggung jawabnya dan terkadang lalai dalam mengerjakan tugas
tersebut yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kerja.
4) Kecelakaan Kerja Juga Timbul Sebagai Hasil Gabungan Dari
Beberapa Factor.
Faktor yang paling utama adalah faktor peralatan teknis, lingkungan
kerja, dan pekerja itu sendiri (Ridley, 2008). Kecelakaan kerja pada
perawat juga terjadi karena lingkungan kerja yang buruk seperti
Memperpanjang waktu kerja berlebih ataupun beban kerja yang
berlebih dan tidak disertai efesiensi yang tinggi, biasanya terlihat
penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk timbulnya
kelelahan pada perawat. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja
dan menambah tingkat kesalahan kerja. meningkatnya kesalahan kerja
akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja.

D. Konsep EBP (Evidence Based Practice) Dalam K3

30
Kesehatan kerja merupakan suatu unsur kesehatan yang berkaitan dengan
lingkungan kerja dan pekerjaan, yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja. Sedangkan, keselamatan
kerja merupakan suatu sarana utama untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja
yang dapat menimbulkan kerugian berupa luka atau cidera, cacat atau kematian,
kerugian harta benda, kerusakan peralatan atau mesin dan kerusakan lingkungan
secara luas.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa
setiap tenaga kerja memiliki hak untuk mendapat perlindungan bagi
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan
meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional. Isi dalam pasal 23 undang-
undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa setiap tempat
kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja. Berdasarkan pernyataan tersebut,
maka rumah sakit sebagai salah satu tempat kerja juga wajib untuk
menyelenggarakan kesehatan kerja bagi para pekerjanya agar terhindar dari
potensi bahaya yang ada di rumah sakit. Rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan secara kompleks. Pelayanan di rumah sakit melibatkan berbagai
macam fungsi pelayanan, penelitian, pendidikan serta berbagai tindakan dan
disiplin medis.
Salah satu tempat kerja yang berisiko adalah Rumah Sakit, hal ini karena
rumah sakit memiliki potensi terjadinya penyakit infeksi terhadap para karyawan,
pasien, bahkan pengunjung. Beberapa contoh penyakit infeksi yang dapat terjadi
di Rumah Sakit adalah TB, Hepatitis B, Hepatitis C, dan bahkan berisiko
terinfeksi HIV/AIDS. Selain penyakit-penyakit infeksi, di rumah sakit juga
memiliki risiko atau bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di
rumah sakit, seperti kecelakaan (meliputi kejadian ledakan, kebakaran,
kecelakaan yang diakibatkan adanya masalah pada instalasi listrik, serta faktor-
faktor yang dapat menimbulkan cidera lainnya), radiasi, paparan bahan kimia
beracun dan berbahaya, gasgas anastesi, gangguan terkait psikis dan ergonomi.
Semua potensi bahaya di atas, jelas dapat mengganggu dan menimbulkan rasa

31
kurang aman dan nyaman bagi pekerja di RS, pasien maupun pengunjung yang
ada di lingkungan RS.
Setiap pekerjaan pasti memiliki risiko dan potensi bahaya yang nantinya
dapat berpengaruh terhadap tenaga kerja. Risiko dan potensi bahaya tersebut
dapat berupa gangguan baik fisik maupun psikis. Gangguan psikis yang tidak
segera diatasi dapat menimbulkan terjadinya stres kerja. Stres kerja biasanya
muncul sebagai bentuk reaksi emosional dan fisik terhadap tuntutan dari dalam
ataupun dari luar organisasi. Stres kerja adalah perasaan yang menekan atau
merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Berikut
penerapan EBP dalam K3 pada kasus stress kerja perawat.
a. Penelitian Yang Dapat Digunakan
1. Penelitian oleh indra frana jaya kk, irfannuddin, budi santoso (2018),
Pengaruh teknik afirmasi terhadap tingkat stress kerja perawat covid 19.
Kesimpulan : Rata-rata tingkat stress kerja sebelum di intervensi 119,24
dengan nilai maksimal 160 dan nilai minimal 93. Rata-rata
tingkat stress kerja sesudah di intervensi 92,92 dengan nilai
maksimal 120 dan nilai minimal 65, dari data diatas terlihat
penurunan nilai rata-rata tingkat stress kerja sebelum dan
sesudah.
2. Penelitian oleh imtihanah amri dan moh. Mansyur thalib (2020),
Pengaruh terapi relaksasi terhadap tingkat Stres kerja perawat.
Kesimpulan: Hasil pengukuran terhadap tingkat stres subjek sebelum
pemberian intervensi terapi relaksasi (pretest)
menunjukkan bahwa tingkat stress perawat berada pada
kategori “Tinggi”. Setelah diberikan intervensi terapi
relaksasi, dilakukan pengukuran terhadap tingkat stress
perawat (posttest). Hasil penelitian menunjukkan
penurunan tingkat stress perawat (berkisar antara 10%-
30%) setelah mengikuti intervensi terapi relaksasi. Tingkat

32
stress perawat menurun dari kategori “Tinggi” menjadi
“Sedang”
3. Penelitian oleh [ CITATION deE20 \l 1033 ] Pengaruh relaksasi otot
progresif pada stres dan kesejahteraan tempat kerja perawat rumah
sakitrelaksasi otot progresif pada stres dan kesejahteraan di tempat
kerja Perawat
Kesimpulan: Studi ini mengungkapkan bahwa relaksasi otot progresif
mengurangi cara stres dan meningkatkan kesejahteraan di
tempat kerja di antara para perawat
Untuk menentukan intervensi yang sesuai berdasarkan bukti
ilmiah yang diperoleh, perawat dapat menggunakan metode PICO
dengan bantuan pertanyaan seperti dibawah ini:
 Ask a Clinical Question
Apakah perawat yang yang bekerja di rumah sakit mengalami Stress ?
P (Problem) : Stress Kerja
I (Intervention) : Afirmasi
C (Comparison) : Relaksasi
O (Outcome) : Mencegah stres pada perawat
b. Hasil
Pencarian awal artikel dimulai dengan memasukkan kata kunci “
“Stress Kerja (Work Stress)” mendapatkan hasil 15.000 jurnal. Jurnal yang
tidak sesuai dengan kriteria inklusi dikeluarkan sebanyak 7.435 jurnal dan
menyisakan 7.565 jurnal. 7.565 jurnal kemudian diambil 3 jurnal yang paling
sesuai dengan Tema Kasus yang di angkat oleh kelompok. Terdapat dua
jurnal yang dianalisa lebih lanjut yaitu,[ CITATION Ind20 \l 1033 ] dan [ CITATION
Amr18 \l 1033 ]. Hasil kajian dari studi literature sebagai berikut:

33
Tabel 1. Hasil Penelitian
Judul
Tempat Prosedur
Penelitian, Tahun Desain Sampel Hasil
Penelitian Penelitian
Penulis, Tahun
1. Pengaruh Sumatera 2018 Metode penelitian pengambilan Dilakukan Statistik tingkat stress
Teknik Selatan yang digunakan sampel pada dengan cara kerja perawat Covid-19
Afirmasi dalam penelitian ini penelitian ini memberikan sebelum dan sesudah
Terhadap adalah quasi- adalah total kuesioner stress intervensi dengan teknik
Tingkat eksperimen dengan sampling, kerja perawat afirmasi di dapatkan p–
Stress pre dan post test. jumlah sampel (ENSS) sebelum value = 0,000.
Kerja Analisa data yang pada penelitian dan sesudah di Implikasi.Kesimpulan:
Perawat digunakan uji t- ini 25 Intervensi penelitian ini diharapkan
Covid 19 Test. Tekni responden, dengan teknik dapat diterapkan secara
penelitian Afirmasi, terus-menerus guna
intervensi memepertahakan
dilakukan 4 kali kesehatan jiwa perawat
seminggu selama merawat pasien
selama 4 minggu Covid-19.
2. Pengaruh Palu, 2020 Metode penelitian Penentuan Intervensi yang Berdasarkan hasil dan
Terapi Sulawesi yang digunakan peserta terapi digunakan dalam pembahasan

34
Relaksasi Tengah adalah relaksasi penelitian ini penelitian ini, maka
Terhadap eksperimen dengan menggunakan adalah terapi peneliti menyimpulkan
Tingkat desain eksperimen, metode relaksasi dan bahwa hipotesis
Stres Kerja yaitu: quasi purposive non follow up. Untuk penelitian ini terbukti.
Perawat experiment one random menguji Hal ini
group pre test-post sampling, yaitu hipotesis dalam ditunjukkan dengan
test design. pemilihan penelitian ini, adanya pengaruh terapi
sampel sesuai data skala stress relaksasi terhadap tingkat
dengan tujuan perawat stress kerja perawat.
yang dianalisis Setelah perawat
dikehendaki, dengan mengikuti terapi
yaitu perawat menggunakan relaksasi,
dengan tingkat statistik maka tingkat stressnya
stress yang deskriptif untuk menurun atau menjadi
tergolong menganalisis lebih rendah,
tinggi. data tingkat dibandingkan sebelum
stress perawat perawat
saat pretest dan mengikuti terapi relaksasi
posttest.
3. Effect of Brazil 2020 Metode Ini adalah Dipantau 16 Pengumpulan Hasil: Rerata tingkat stres

35
progressive intervensi, dari tipe dari institusi data dilakukan menurun (60/55 p=
muscle sebelum-sesudah, rumah sakit dengan 0,166) dan rerata faktor
relaxation longitudinal, selama delapan kuesioner, Work kesejahteraan tempat
on stress minggu Stress Scale dan kerja: afek positif, afek
and diserahkan ke Well-being at negatif dan pemenuhan
workplace protokol Work Scale. Tes meningkat (3,22/3,42
well-being relaksasi otot Shapiro-Wilk, p=0,073; 2,07/2,29
of hospital progresif Wilcoxon, p=0,094 dan 3,71/3,92
nurses Sperman dan p=0,060), masing-masing
Mann-Whitney
digunakan

36
c. Pembahasan
Temuan pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh[ CITATION
Ind20 \l 1033 ] Pandemi Covid-19 di Indonesia memberikan dampak
psikologis pada tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah sakit dan melayani
pasien positif Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penelitian
yang dilakukan oleh (Dede dkk, 2020) yang mengambil sampel 8 kepulauan
di Indonesia didapatkan hasil, dari 644 responden, responden tenaga
kesehatan di Indonesia mengalami kecemasan, dan tingkat stress pada
responden yang merawat pasien Covid-19 sebesar 55% yag terdiri dari stress
ringan sampai dengan stress sangat berat. Keadaan Psikologis ini harus
segera diselesaikan dan segera di tindaklanjuti agar tenaga kesehatan dapat
memberikan pelayanan yang optimal dan tidak terjadi permasalahan yang
lebih besar.
Stress dapat di minimalisir salah satunya dengan menggunakan teknik
afirmasi, afirmasi adalah salah satu terapi psikologis yang sangat kuat
pengaruhnya terhadap perubahan positif individu (Yanto.A dan Rejeki.S,
2017). Pada penelitian ini peneliti memberikan kata-kata positif untuk
memberikan stimulus agar perawat berpikir positif dan menghilangkan
pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stress pada perawat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa
tujuan dari latihan afirmasi antara lain melawan pikiran negatif, membantu
memvisualisasikan dan menegaskan kepada diri sendiri serta membantu
membuat perubahan positif terhadap kehidupan, secara khusus juga untuk
meningkatkan motivasi, meningkatkan kepercayaan diri, mengontrol
perkataan negatif, rasa prustasi, kemarahan serta meningkatkan produktivitas
individu.Teknik afrimasi menjadi bagian dari terapi kognitif prilaku,
mengajarkan kepada individu tentang cara mengenal suatu keadaan yang
sesungguhnya dengan mengubah cara berpikir individu melihat suatu secara
lebih seimbang dan terhindar dari dampak negatif dari pikirannya (Sherman,
et all, 2014).

37
Berdasarkan hasil Perbedaan tingkat stress kerja Perawat Covid-19
sebelum dan sesudah intervensi dengan teknik Afirmasi di dapatkan hasil
nilai p<0.05 yang berarti bahwa ada pengaruh teknif Afirmasi terhadap
tingkat stress kerja Perawat Sejalan dengan teori afirmasi merupakan suatu
cara yang dapat digunakan untuk mengubah cara seseorang berpikir dan
merasakan keadaan dirinya. Penggunaan kata-kata positif secara berulang-
ulang dan teratur dapat membuat seseorang “memprogram ulang” proses
berpikirnya, sikap dan segala sesuatu yang sudah ada pada pikiran bawah
sadar, menggantikan hal negatif dengan hal positif (Desi, N dan Ratna, 2017).
Temuan kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh [ CITATION Amr18
\l 1033 ], Dimana hasil pengukuran terhadap tingkat stres subjek sebelum
pemberian intervensi terapi relaksasi (pretest) menunjukkan bahwa tingkat
stress perawat berada pada kategori “Tinggi”. Setelah diberikan intervensi
terapi relaksasi, dilakukan pengukuran terhadap tingkat stress perawat
(posttest). Hasil penelitian menunjukkan penurunan tingkat stress perawat
(berkisar antara 10%-30%) setelah mengikuti intervensi terapi relaksasi.
Tingkat stress perawat menurun dari kategori “Tinggi” menjadi “Sedang”.
Pada tahap selanjutnya peneliti telah mengadakan follow up setelah terapi
relaksasi.
Follow up dilaksanakan dalam jangka waktu 2 minggu setelah terapi
relaksasi, sebanyak 4kali pertemuan selama 2 bulan. Follow up dilakukan
untuk mengetahui perubahan tingkat stress pada perawat sebagai dampak dari
intervensi terapi relaksasi yang sudah dilaksanakan. Dalam kegiatan follow
up ini juga dilakukan sharing dan diskusi dengan peserta terapi relaksasi
tentang dampak terapi relaksasi terhadap pelaksanaan pekerjaan sebagai
perawat sehari-hari. Selain itu tim peneliti juga mengadakan review dan
pengulangan teknik sederhana dari terapi relaksasi, sehingga perawat dapat
mempraktekkan teknik relaksasi sederhana tersebut untuk mengatasi stress
sehari-hari.

38
Di akhir fase follow up dalam jangka waktu 2 bulan kemudian
dilakukan posttest untuk mengetahu tingkat stress perawat setelah mengikuti
follow up sebagai kelanjutan dari terapi relaksasi. Adapun hasil follow up
dari terapi relaksasi ini menunjukkan bahwa penurunan tingkat stress perawat
(berkisar antara 17%-29%) setelah mengikuti intervensi terapi relaksasi.
Tingkat stress perawat menurun dari “Sedang” menjadi “Rendah”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat setelah follow up dilakukan,
diketahui bahwa para perawat merasa senang dan antusias karena
memperoleh pengetahuan dan teknik baru untuk mengatasi stress kerja yang
dialami sehari-hari. Para perawat juga telah mempraktekkan teknik relaksasi
dalam kegiatan bekerja sehari-hari yang telah dipelajari dalam pelatihan dan
follow up terapi relaksasi. Saat beban kerja terasa berat dan menekan, para
perawat menyempatkan diri untuk melakukan teknik relaksasi dan mereka
memperoleh manfaat dalam hal berkurangnya tingkat stress yang mereka
alami.
Temuan berikut adalah penelitian yang di lakukan oleh [ CITATION
deE20 \l 1033 ], Penelitian ini mengadopsi intervensi keperawatan untuk
manajemen stres dan promosi di tempat kerja kesejahteraan perawat rumah
sakit, layak dalam lingkungan kerja, murah dan mudah diterapkan, yang
memungkinkan untuk respon perilaku yang lebih baik dari para peserta,
membuat hasil mereka relevan dan menjanjikan untuk promosi kesehatan di
antara para profesional ini.
Dalam studi ini, kesejahteraan di tempat kerja diukur dalam tiga
faktor: afek negatif, afek positif, dan pemenuhan. Setelah intervensi, rata-rata
semua faktor meningkat, dengan prevalensi pengaruh positif dan faktor
pemenuhan. Data ini menggembirakan, karena menunjukkan efek positif dari
PMR. Strategi yang mempromosikan kesejahteraan di tempat kerja,
memungkinkan pekerjaan menambahkan makna lain bagi pekerja, sebagai
makhluk sumber kebahagiaan, membantu pencegahan penyakit, pengurangan

39
ketidakhadiran, dan peningkatan kualitas layanan yang diberikan kepada
pengguna.
Mengenai jam kerja, meskipun ada hubungan antara tugas dan aspek
psikologis negatif, absensi, kelelahan, kelelahan, data penelitian ini
menunjukkan bahwa perawat dengan pekerjaan sehari-hari rata-rata stres
lebih tinggi daripada intensifivis, yang dapat dijelaskan dengan lebih besar
Rentang istirahat perawat yang bertugas, tidak melakukan aktivitas rumah
sakit setiap hari, yang dapat dilunakkan oleh keluarga atau aktivitas lain yang
menjauhkan mereka dari stresor kerja. Ini tidak mungkin bagi mereka yang
melakukan aktivitas sehari-hari, yang, dalam penelitian ini, juga menjalankan
peran administratif di unit, memperburuk stres kerja.
Hubungan lain yang diamati adalah perawat yang melakukan aktivitas
fisik memiliki rata-rata stres kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang tidak melakukan praktik, yang berbeda dari beberapa penelitian terkait
dengan efek menguntungkan aktivitas fisik dalam mengelola stres. Meskipun
demikian, aktivitas fisik dapat dipahami sebagai tugas sehari-hari, baik
dengan pemaksaan sosial, pribadi atau dengan mencari kondisi fisik yang
lebih baik. Aktivitas fisik yang dilakukan dalam konteks waktu luang
cenderung meningkatkan kepuasan, tetapi ketika dipraktikkan sebagai
kewajiban, atau hanya untuk mencegah atau meminimalkan penyakit, dapat
berdampak negatif pada individu.
Korelasi antara stres dan tiga faktor kesejahteraan di tempat kerja
menunjukkan bahwa, sebelum intervensi, pengurangan stres akan mengarah
pada peningkatan pemenuhan pribadi, fakta yang dibuktikan setelah
intervensi, di mana stres rata-rata berkurang dan faktor pemenuhan. Setelah
intervensi, korelasi menunjukkan bahwa peningkatan stres akan
menyebabkan peningkatan pengaruh negatif; Namun, meskipun perasaan
negatif, stres rata-rata menurun.
Paparan stres kronis di antara perawat merugikan kesehatan pekerja
dan organisasi, menghadirkan hubungan yang sempit dengan peningkatan

40
ketidakhadiran, kepuasan kerja yang lebih rendah, kualitas perawatan yang
buruk, yang berdampak negatif pada keselamatan pasien. Data ini
memperkuat pentingnya mengembangkan strategi untuk mengatasi stres kerja
secara lebih efektif.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, perawat dapat
membuktikan bahwa intervensi keperawatan dapat dilakukan dengan
menggunakan bukti-bukti ilmiah sebagai dasar pemilihan/penentuan
intervensi keperawatan. Dengan menggunakan intervensi keperawatan
berdasarkan bukti-bukti ilmiah, maka perawat dapat berperan serta dalam
upaya melaksanakan upaya penurunan tingkat stres kerja pada perawat.
.

41
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
EBP sangat perlu diaplikasikan di dalam praktik keperawatan terutama
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan kepada klien. Dengan mengaplikasikan
EBP di dalam tindak keperawatan akan memberikan pelayanan yang terbaik dan
berkualitas dalam kondisi klinis pasien. Dengan adanya komponen – komponen
pendukung EBP dalam pelayanan kesehatan dapat diberikan secara professional
serta meminimlaisir terjadinya insiden dalam praktik keperawatan khusunya
terkait dengan keselamatan kerja dan keselamatan pasien.

B. Saran
Penerapan EBP perlu ditingkatkan kembali dalam praktik keperawatan
khususnya dalam hal keselamatan pasien. Karena ketika EBP dilakukan dengan
baik, maka pasien yang dirawat akan menerima dampak yang baik pula. Maka
dari itu, pengetahuan mengenai EBP harus di perlu diperhatikan bagi para tenaga
kesehatan khususnya perawat yang dituntut untuk profesionalitas tinggi dengan
berbagai kompetensi dan skill.

42
DAFTAR PUSTAKA

Darliana, Devi. 2016. Hubungan Pengetahuan Perawat dengan upaya penerapan


patient safety di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh Tahun 2014. Jurnal. Idea Nursing Journal
Malinda Putri Fkep, N. Cara Mencegah Hazard Psikososial Berupa Stress Kerja Pada
Perawat.
Marbun, N. C. P. (2020). Faktor Terjadinya Penyakit Atau Kecelakaan Akibat Kerja
Pada Perawat.
Minannisa, C. (2020). Pengaruh Asuhan Keperawatan Terhadap Konsep Kesehatan
dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit.
Nurhidayanti, D., & Suryalena, S. (2017). Pengaruh Pelaksanaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) terhadap Kepuasan Kerja Perawat (Studi Kasus
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru) (Doctoral
dissertation, Riau University).
Rangkuti, N. A. (2020, November 7). Hazard Dan Resiko Dalam Penerapan Dan
Pemberian Suhan Keperawatan. Https://Doi.Org/10.31219/Osf.Io/4e6ks
Renoningsih Pratiwi Diah. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan
patient safety di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum GMIM Pancaran
Kasih Manado. Jurnal. Univ Sam Ratulangi Manado
Roswati, A. (2019). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Perawat Dengan Pelaksanaan
Keselamatan Pasien (Patient Safety) Di Rumah Sakit Pusri Palembang Tahun
2019. Masker Medika, 7(2), 323-331.
Silitonga, T. R. (2020). Tantangan Perawat Manager Dalam Penerapan Evidence
Based Nursing Practice (EBNP).
de Avila Silveira, E., de Melo Batista, K., da Silva Grazziano, E., de Oliveira
Bringuete, M. E., & Lima, E. D. F. A. (2020). Effect of progressive muscle
relaxation on stress and workplace well‐being of hospital nurses. Enfermería
Global, 58, 485-493

43
KK, I. F. J., Irfannuddin, I., & Santoso, B. (2020). PENGARUH TEKNIK
AFIRMASI TERHADAP TINGKAT STRESS KERJA PERAWAT COVID-
19. JURNAL MEDIA KESEHATAN, 13(2 Desember), 67-72.
Amri, I., & Thalib, M. M. (2018). PENGARUH TERAPI RELAKSASI TERHADAP
TINGKAT STRES KERJA PERAWAT. Healthy Tadulako Journal (Jurnal
Kesehatan Tadulako), 4(1), 7-13.

44

Anda mungkin juga menyukai