Anda di halaman 1dari 18

Untuk keperluan belajar

Tujuan teknologi pembelajaran adalah untuk memacu (merangsang) dan memicu (menumbuhkan)
belajar. Dalam definisi disebutkan bahwa belajar menyangkut adanya perubahan yang relatif permanen
pada pengetahuan atau perilaku seseorang karena pengalaman (Mayer, 1982:1040). Berlo (1960).
menunjukkan bahwa unsur-unsur pada proses belajar dengan proses komunikasi sejalan. Pada
komunikasi, pesan diolah dan disalurkan yang kemudian diterima dan diberi makna serta disalurkan
kembali sebagai umpan balik (feed back) kepada pengirim pesan. Sedangkan pada proses belajar, orang
menanggapi, manafsirkan dan merespon terhadap rangsangan dan mengambil pelajaran dari akibat
tanggapan tersebut.

4. Desain Pesan Pembelajaran Dalam Kawasan Teknologi Pendidikan Menurut Supratman (Hamzah, dkk.
2010:94) dalam wilayah teknologi pendidikan terdapat lima wilayah yang menjadi bidang garapan
penelitian.

Kelima wilayah tersebut adalah sebagai berikut :

a. Design (Desain)

b. Development (Pengembangan)

c. Utilization (Penggunaan)

d. Management (Manajemen)

e. Evaluation (Evaluasi)

Dalam domain Teknologi Pendidikan, kawasan desain paling tidak meliputi empat cakupan utama dari
teori dan praktek. Kawasan desain meliputi studi mengenai desain sistem pembelajaran, desain pesan,
stategi pembelajaran, dan karakteristik siswa atau peserta belajar (Asri Budiningsih, 2003:8). Desain
pesan pembelajaran menjadi salah satu hal penting dalam penentuan kualitas pembelajaran. Melaluai
desain pesan pembelajaran, perancangan sebuah pembelajaran dapat menjadi titik awal perbaikan
kualitas pembelajaran.

Dengan berkembangnya teknologi dalam pendidikan, tentu harus diimbangi dengan semakin selektif
dalam memilih bahan ajar. Dengan menggunakan prinsip-prinsip desain pesan pembelajaran maka
pemilihan sebuah bahan ajar atau media yang tepat akan mempermudah dalam pemilihan sebuah
bahan ajar atau media pembelajaran.

Adapun pengertian dari belajar menurut Ernest R. Hilgard adalah kegiatan atau proses yang dilakukan
secara sengaja dan menimbulkan perubahan atas keadaan sebelumnya. Umumnya setelah belajar
seseorang cenderung melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik.

Pengertian Belajar Secara Umum

Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil
dari pengalaman atau praktek yang diperkuat. Belajar merupakan hasil dari interaksi antara stimulus
dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilaku. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah bahwa bentuk input dan output dari
stimulus dalam bentuk tanggapan.

Stimulus adalah apa yang guru kepada siswa, sedangkan reaksi atau respon dalam bentuk tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
penting untuk dicatat karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah
stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima
oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur.

Pengertian Belajar Menurut Para Ahli

Pengertian Belajar

Pengertian Belajar

Dimyati dan Mudjiono (2006) : Belajar merupakan suatu proses internal yang kompleks, yang terlibat
dalam proses internal tersebut adalah yang meliputi unsur afektif, dalam matra afektif berkaitan dengan
sikap, nilai-nilai, interes, apresiasi, dan penyesuaian perasaan sosial.

Djamarah dan Zain (2010) : Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan.
Artinya tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan,
keterampilan maupun sikap bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi.

Hamalik (2010) : Belajar adalah bukan suatu tujuan tetapi merupakan proses untuk mencapai tujuan.
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.

Hamzah (2006) : Belajar merupakan suatu proses yang sistematis yang tiap komponennya sangat
menentukan keberhasilan anak didik.

Menurut Hilgard & Bowner (1987 : 12) Belajar sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal
atau berubah lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi dengan karakteristik-karakteristik dari
perubahan-perubahan aktifitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan dasar kecenderungan-
kecenderungan reaksi asli,kematangan atau perubahan-perubahan sementara dari organisme.

Hilgard (dalam Sanjaya, 2007) : learning is the process by which an activity originates or changed
through training procedures (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished
from changes by factors not attributable to training (belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan
atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah).

Hudoyo (1990) : Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang. Seseorang dikatakan belajar, bila dapat
diasumsikan dalam diri orang itu menjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan
tingkah laku.

Reber (dikutip Suprijono, 2010) : Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan.

Riyanto (2010) : Seseorang dikatakan belajar kalau dapat melakukan sesuatu dengan cara latihan-latihan
sehingga yang bersangkutan menjadi berubah.
Sagala (2005) : Belajar merupakan suatu proses perubahan prilaku atau pribadi seseorang berdasarkan
praktek dan pengalaman tertentu.

Sanjaya (2008) : Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman
dan latihan.

Sardiman (2008) : Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian
kegiatan, misalnya membaca, menulis dan sebagainya serta belajar itu akan lebih baik jika si subjek
mengalami dan melakukannya.

Skinner (dalam Mudjiono dan Dimyati, 2006) : Belajar didefenisikan sebagai suatu perilaku. Pada saat
orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik, sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya
menurun.

Slameto (2010) : Belajar pada hakikatnya adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya
sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan.

Sudjana (2010) : Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Perubahan hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti
penambahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, kebiasaan serta perubahan
aspek-aspek lain yang ada pada individu-individu yang belajar.

Suprijono (2010) : Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan
pribadi seutuhnya.

Syah (2008) : Belajar merupakan tahap perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor yang terjadi
dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju dari
pada keadaan sebelumnya.

Thursan Hakim (2002) : Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan
perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kecakapan pengetahuan, sikap, kebiasaan,
pemahaman, keterampilan, daya fikir, dan lain-lain kemampuannya.

Trianto (2011) : Belajar sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman dan bukan
karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karekteristik seseorang sejak lahir.

Winkel (2009) : Belajar merupakan suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan yang relatif konstan dan berbekas.

Menurut Doris Lessing (dalam buku Pembelajaran. Andrias Harifa,2001 : 1) Belajar adalah mengerti
sesuatu yang telah diketahui sepanjang hidup tetapi dengan pemahaman yang berbeda.

Menurut Ahmad Mudzalir (1997 : 33) Belajar adalah syarat mutlak untuk menjadi pandai dalam segala
hal baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun keterampilan.

Menurut teori ilmu jiwa Gestalt (dalam buku Psikolog Pendidikan. Alisuf Sabri,1996 : 72) : Belajar bukan
hanya sekedar proses asosiasi antara stimulus dengan respon yang diperkuat dengan koneksi-koneksi
atau conditioning dengan melalui latihan-latihan atau ulangan-ulangan.
Cronbach mengemukakan bahwa learning is shown by change in behaviour as a result of experience
(belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman).

Menurut M. Ngalim Purwanto dalam buku “Psikologi Pendidikan” Belajar adalah suatu perubahan
didalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa
kecakapan sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian.

Wittig (dalam Syah, 2003 : 65-66), belajar sebagai any relatively permanen change in an organism
behavioral repertoire that accurs as a result of experience (belajar adalah perubahan yang relatif
menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil
pengalaman).

Tujuan Belajar

Melihat pentingnya pendidikan baik untuk individu dan bangsa, menjadikannya sebagai salah satu
peluang bisnis. Sekarang banyak marak usaha yang bergerak di bidang pendidikan, seperti lembaga
bimbingan belajar dan konsultan pendidikan. Banyak orang tua yang mengambil keuntungan dari
adanya upaya untuk membuat anak-anak mereka memahami pelajaran. Dengan demikian, anak-anak
bisa mendapatkan nilai bagus di sekolah. Dikutip dari: http://www.duniapelajar.com/

Tahapan belajar

Inkompetensi bawah sadar

Kondisi pada saat ini kita tidak tahu kalau ternyata kita tidak tahu. Contohnya adalah banyak pembalap
muda ketika mulai belajar mengemudi sering terjadi kecelakaan. Itu dikarenakan pembalap muda lebih
memiliki dari driver yang lebih tua dan berpengalaman.

Orang-orang yang berada dalam situasi ini cenderung mengambil risiko, membuka diri untuk bahaya
atau merugikan, karena alasan sederhana bahwa mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka
lakukan.

Inkompetensi sadar

Sadar diri pengakuan bahwa kita tidak tahu, dan penerimaan penuh pada ketidaktahuan kita.

Kompetensi sadar

Menyadari bahwa kita tahu, bahwa adalah ketika kita mulai memiliki keahlian pada subjek, tetapi
tindakan kami belum berjalan secara otomatis. Belajar dari ini, kita harus melaksanakan semua tindakan
di tingkat sadar. Ketika belajar mengemudi, misalnya, kita harus sadar tahu di mana tangan dan kaki,
berpikir dalam setiap keputusan apakah akan menginjak rem, putar, atau gigi.
Ketika kita melakukannya, kita berpikir secara sadar tentang bagaimana melakukannya. Pada tahap ini,
reaksi kita jauh lebih lambat dibandingkan reaksi dari para ahli.

Kompetensi bawah sadar

Tahapan ahli yang hanya melakukannya, dan bahkan mungkin tidak tahu bagaimana dia melakukannya
secara rinci. Dia tahu apa yang dia lakukan, dengan kata lain, ada sesuatu yang dia lakukan dalam hidup
ini untuk orang lain tampak berisiko, tetapi baginya bebas dari risiko. Hal ini terjadi karena ia telah
membangun pengalaman dan mencapai kompetensi sadar dalam kegiatan selama beberapa tahun. Dia
tahu apa yang dia lakukan, dan dia juga tahu apa yang dia tidak bisa lakukan. Untuk seseorang yang
tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, apa yang tampak berisiko.Dikutip dari :
https://id.wikipedia.org/

Penjelasan dari perubahan dalam definisi belajar

Perubahan karena pembelajaran dapat berlangsung dalam berbagai bentuk perilaku, kognitif, afektif,
dan / atau psikomotor. Tidak terbatas pada penambahan pengetahuan saja.

Sifat perubahan yang relatif permanen, tidak akan kembali ke keadaan semula. Tidak bisa diterapkan
pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.

Proses perubahan perilaku yang dinyatakan dalam bentuk kontrol, penggunaan, dan penilaian sikap dan
nilai-nilai pengetahuan yang terkandung dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas dalam berbagai
aspek kehidupan.

Perubahan tidak harus segera mengikuti pengalaman belajar. Perubahan yang terjadi segera umumnya
tidak dalam bentuk perilaku, tapi terutama hanya dalam potensi seseorang untuk berperilaku.

Perubahan terjadi sebagai hasil dari pengalaman, praktek atau latihan. Berbeda dengan segera berubah
karena perilaku refleks atau insting.

Perubahan akan lebih mudah terjadi ketika penguat, dalam bentuk imbalan yang diterima – hadiah atau
hukuman – sebagai konsekuensi dari perubahan perilaku.

Perubahan dalam proses pembelajaran menuju tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya
sendiri atau orang lain.

Kebanggaan dalam diri mereka karena dapat dipahami dan akan mengerti apa yang dipelajari.

Pengertian Hasil Belajar Menurut Para Ahli

Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:250), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua
sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan
mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental
tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil
belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran.

Menurut Hamalik (2006:30), hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan
tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti
menjadi mengerti. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui
tiga kategori ranah, dua diantaranya adalah kognitif, dan afektif. Perinciannya adalah sebagai berikut :

Ranah Kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian

Ranah Afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu
menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks
nilai.

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu
tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh
perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi Howard Kingsley membagi 3 macam hasil belajar:

Keterampilan dan kebiasaan

Pengetahuan dan pengertian

Sikap dan cita-cita

DAFTAR PUSTAKA

Harifa, A. (2001). Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Mudzalir, A. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Setia

Hilgard. (2006). Pembelajaran Metode Kasus. Bandung: Bonoma

Sabri, Alisuf. (1996). Psikologi Pendidikan dalam Kurikulum Nasional. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

Hamalik Oemar. 2001.Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.

M. Ngalim Purwanto. 1986.Prinsip-prinsip dan Tehnik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Karya

Sardiman AM. 1990.Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: CV.Rajawali.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.

Saifudin Azwar. 1996. Pengantar Psikologi Intelegensi. Jogyakarta : Pustaka Pelajar.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : Raja Grafindo Persada


Winkel, W.S. 1987. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta : Gramedia.

Djalal, M.F. 1986. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa Asing. Malang: P3T IKIP Malang

Dr. Nana Sudjana. (1998:28)

wordpres.com/2011/07/03/definisi-belajar.

(https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-belajar/)

Makna Peserta Didik


Siswa atau yang biasa disebut dengan peserta didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan
yang tidak bisa ditinggalkan, karena tanpa adanya peserta didik tidak akan mungkin proses
pembelajaran dapat berjalan. Peserta didik merupakan komponen manusiawi yang menempati posisi
sentral dalam proses belajar-mengajar. Didalam proses belajarmengajar, peserta didik sebagai pihak
yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal.

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu.

Menurut Sudarwan Danim (2010: 1) “Peserta didik merupakan sumber utama dan terpenting dalam
proses pendidikan formal”. Peserta didik bisa belajar tanpa guru. Sebaliknya, guru tidak bisa mengajar
tanpa adanya peserta didik. Oleh karena itu kehadiran peserta didik menjadi keniscayaan dalam proses
pendidikan formal atau pendidikan yang dilembagakan dan menuntut interaksi antara pendidik dan
peserta didik.

Sudarwan Danim (2010: 2) menambahkan bahwa terdapat hal-hal essensial mengenai hakikat peserta
didik, yaitu:

Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi potensi dasar kognitif atau intelektual,
afektif, dan psikomotorik.

Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan
pertumbuhan, meski memiliki pola yang relatif sama.

Peserta didik memiliki imajinasi, persepsi, dan dunianya sendiri, bukan sekedar miniatur orang dewasa.

Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi kebutuhan yang harus dipenuhi, baik
jasmani maupun rohani, meski dalam hal-hal tertentu banyak kesamaan.
Peserta didik merupakan manusia bertanggung jawab bagi proses belajar pribadi dan menjadi
pembelajar sejati, sesuai dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat.

Peserta didik memiliki adaptabilitas didalam kelompok sekaligus mengembangkan dimensi


individualitasnya sebagai insan yang unik.

Peserta didik memerlukan pembinaan dan pengembangan secara individual dan kelompok, serta
mengharapkan perlakuan yang manusiawi dari orang dewasa termasuk gurunya.

Peserta didik merupakan insan yang visioner dan proaktif dalam menghadap lingkungannya.

Peserta didik sejatinya berperilaku baik dan lingkunganlah yang paling dominan untuk membuatnya
lebih baik lagi atau menjadi lebih buruk.

Peserta didik merupakan makhluk Tuhan yang memiliki aneka keunggulan, namun tidak akan mungkin
bisa berbuat atau dipaksa melakukan sesuatu melebihi kapasitasnya.

Disamping itu Oemar Hamalik (2004: 99) menjelaskan bahwa “Peserta didik merupakan salah satu
komponen dalam pengajaran, disamping faktor guru, tujuan, dan metode pengajaran”. Sedangkan
Samsul Nizar (2002: 47) menjelaskan bahwa “Peserta didik merupakan orang yang dikembangkan”.

Dilain pihak Abu Ahmadi (1991: 251) juga menjelaskan tentang pengertian peserta didik yaitu “Peserta
didik adalah orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan, bimbingan orang lain untuk
menjadi dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat manusia,
sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat dan sebagai suatu pribadi atau individu”.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah seseorang yang
mengembangkan potensi dalam dirinya melalui proses pendidikan dan pembelajaran pada jalur, jenjang
dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik bertindak sebagai pelaku pencari, penerima dan penyimpan
dari proses pembelajaran, dan untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan seorang
pendidik/guru.

Karakteristik Peserta Didik

Setiap peserta didik memiliki ciri dan sifat atau karakteristik yang diperoleh lingkungan. Agar
pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteristik peserta didik.
Karakteristik bawaan merupakan karakteristik yang dimiliki sejak lahir baik menyangkut faktor biologis
maupun faktor sosial psikologis Untuk mengetahui siapa peserta didik perlu dipahami bahwa sebagai
manusia yang sedang berkembnag menuju kearah ke dewasaan memiliki beberapa karakteristik.

Menurut Tirtaraharja, 2000 (Uyoh Sadullah, 2010: ) mengemukakan 4 karakeristik yang dimaksudkan
yaitu :
Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas sehingga merupakan makhluk yang unik

Individu yang sedang berkembang. Anak mengalami perubahan dalam dirinya secara wajar.

Individu yang membutuhkan bimbingan individual.

Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri dalam perkembangannya peserta didik memiliki
kemampuan untuk berkembang kea rah kedewasaan.

Dalam mengungkapkan ciri-ciri anak didik Edi Suardi (1984) mengemukakan 3 ciri anak didik:

1. Kelemahan dan ketidakberdayaan.

Anak ketika dilahirkan dalam keadaan lemah yang tidak berdaya untuk dapat bergerak harus melalui
berbagai tahapan. Kelemahan yang dimiliki anak adalah kelemahan rohaniah dan jasmaniah misalnya
tidak kuat gangguan cuaca juga rohaniahnya tidak mampu membedakan keadaan yang berbahaya
ataupun menyenangkan. Kelemahan dan ketidakberdayaan anak makin lama makin hilang karena berkat
bantuan dan bimbingan pendidik atau yang disebut dengan pendidikan. Pendidikan akan berhenti
manakala kelemahan dan ketidakberdayaan sudah berubah menjadi kekuatan dan keberdayaan, yaitu
suatu keadaan yang dimiliki oleh orang dewasa. Pendidikan justru ada karena adanya ciri kelemahan dan
ketidakberdayaan tersebut.

2. Anak didik adalah makhluk yang ingin berkembang

Keinginan berkembang yang menggantikan ketidakmampuan pada saat anak lahir merupakan karunia
yang besar untuk membawa mereka ketingkat kehidupan jasmaniah dan rohaniah yang tinggi lebih
tinggi lebih tinggi dari makhluk lainnya. Keinginan berkembang mendorong anak untuk giat, itulah yang
menyebabkan adanya kemungkinan atau pergaln yang disebut pendidikan. Tanpa keinginan
berkembang pada anak, akan menjadikan tidak ada kemauan tidak mempunyai vitalitas, tidak giat
bahkan barang kali menjadi malas dam acuh tak acuh.

3. Anak didik yang ingin menjadi diri sendiri.

Sepeti pernah dikemukakan bahwa anak didik itu ingin menjadi diri sendiri. Hal tersebut penting baginya
karena untuk dapat bergaul dalam masyarakat. Seseorang harus merupakan diri sendiri, orang seorang
atau pribadi. Tanpa itu manusia akan menjadi manusia penurut, dan manusia yang tidak punya pribadi.
Pendidikan yang bersifatotoriter bahkan mematikan pribadi anak yang sedang tumbuh.
Secara garis besar karakteristik peserta didik dibentuk oleh dua faktor yaitu.

Faktor bawaan merupakan faktor yang diwariskan dari kedua orang tua individu yang menentukan
karakteristik fisik dan terkadang intelejensi, Faktor lingkungan merupakan faktor yang menentukan
karakteristik spiritual, mental, psikis, dan juga terkadang fisik dan intelejensi. Faktor lingkungan dibagi
menjadi tiga yaitu

a. lingkungan keluarga, Pada lingkungan keluarga seperti motivasi dari kedua orang tua agar menjadi
orang yang sukses kedepannya dan tidak boleh kalah dengan kesuksesan orang tuanya, kesuksesan
teman orang tuanya, kesuksesan anak teman orang tuanya, ingin merubah nasib keluarga yang melarat,
motivasi sebagai kakak yang merupakan contoh bagi adik-adiknya, motivasi sebagai adik yang tidak
boleh kalah dengan kesuksesan kakaknya.

b. lingkungan sekolah, Dari lingkungan sekolah seperti motivasi ingin menjadi juara kelas, motivasi ingin
kaya karena melihat orang tua temannya yang kaya, ataupun motivasi dari gurunya.

c. lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat misalnya motivasi dari tetangganya yang sukses,
motivasi karena keluarganya selalu diremehkan masyarakat, ataupun motivasi karena masyarakatnya
diremehkan masyarakat lain.

Setelah mengetahui faktor-faktor tersebut guru dapat memahami bahwa peserta didiknya digolongkan
sebagai individu yang unik dan pilah karena peserta didik pada hakikatnya terdiri dari individu-individu
yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Terdapatnya perbedaan individual dalam diri masing-
masing peserta didik membuat guru harus pandai-pandai menempatkan porsi keadilan dengan tepat
pada setiap peserta didiknya. Misalnya saja dalam pelajaran fisika, tentunya tidak semua siswa berminat
dalam pelajaran fisika, mungkin ada siswa berminat pada musik, lantas guru tidak harus memaksanya
untuk dapat menyukai fisika apalagi memaksakan agar paham fisika lebih mendalam dengan
memberikan soal dan tugas yang banyak dan sulit ditambah lagi sanksinya yang berat bila tidak dapat
mengerjakan soal/tugas tersebut. Hal inilah yang nantinya menciptakan potensi buruk pada diri peserta
didik sebagai hasil ketidakpuasanya terhadap lingkungan yang diterimanya.

Pada prinsipnya perkembangan psikis peserta didik selalu ke arah yang lebih baik seiring dengan tingkat
materi pelajaran yang diberikan juga semakin tinggi sehingga membuat peserta didik terbiasa berpikir
secara realistis dan sistematis. Tapi guru hendaknya mendukung dan membantunya mengembangkan
potensi tersebut agar lebih optimal. Peserta didik yang demikian tidak perlu diajarkan fisika sampai
mendalam karena itu hanya akan membuatnya menjadi jenuh pada setiap pertemuan dan sudah
menjadi kompetensi guru untuk dapat menyadari hal ini, tapi bisa juga divariasikan konsep-konsep fisika
yang berhubungan dengan bidang yang diminatinya, seandainya peserta didik tersebut tidak mengerti
paling tidak pasti ia akan menikmati proses pembelajaran di kelasnya. Selain dengan cara itu guru juga
bisa melakukan pendekatan-pendekatan dalam proses pembelajaran terhadap peserta didiknya dengan
terlebih dahulu membaca situasi. Misalnya saja dengan memberikan kesempatan kepada siswa yang
pintar untuk mengajarkan kepada temannya yang kurang mengerti. Seperti itulah guru yang profesional.

Peran Guru Dalam Mengembangkan Potensi Peserta Didik

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat (2)
menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi. Sedangkan dalam pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Agar pelayanan pendidikan yang selama ini diberikan kepada peserta didik mencapai sasaran yang
optimal, maka pembelajaran harus diselaraskan dengan potensi peserta didik. Oleh karena itu guru
perlu melakukan pelacakan potensi peserta didik.

Pemahaman tentang berbagai potensi peserta didik mutlak harus dimiliki oleh setiap pendidik. Hal itu
sejalan dengan tujuh prinsip penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), yaitu

Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya,

Beragam dan terpadu,

Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,

Relevan dengan kebutuhan kehidupan,

Menyeluruh dan berkesinambungan,

Belajar sepanjang hayat, dan

Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Agar kita dapat mengenali potensi peserta didik, cara yang paling mudah dan sederhana adalah dengan
mengajukan pertanyaan, ”Apa yang paling senang kamu lakukan dan orang lain menilai hasilnya sangat
bagus dan luar biasa?”. Sebagian peserta didik mungkin menjawab suka mengerjakan Matematika. Itu
artinya dia memiliki kecerdasan logika. Sebagian siswa mungkin merasa senang apabila menulis atau
belajar bahasa asing. Artinya, dia memiliki kecerdasan linguistik. Sebagian lagi mungkin senang bermain
musik, dan sebagainya.

Dalam pembelajaran guru sebagai pendidik berinteraksi dengan peserta didik yang mempunyai potensi
beragam. Untuk itu pembelajaran hendaknya lebih diarahkan kepada proses belajar kreatif dengan
menggunakan proses berpikir divergen (proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan
banyak alternatif penyelesaian) maupun proses berpikir konvergen (proses berpikir mencari jawaban
tunggal yang paling tepat). Dalam konteks ini guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dari pada
pengarah yang menentukan segala-galanya bagi peserta didik. Sebagai fasilitator guru lebih banyak
mendorong peserta didik (motivator) untuk mengembangkan inisiatif dalam menjajagi tugas-tugas baru.
Guru harus lebih terbuka menerima gagasan-gagasan peserta didik dan lebih berusaha menghilangkan
ketakutan dan kecemasan peserta didik yang menghambat pemikiran dan pemecahan masalah secara
kreatif.

Bagaimana hal ini dapat diwujudkan pada suasana pembelajaran yang dapat dinikmati oleh peserta
didik? Jawabannya adalah pembelajaran menggunakan pendekatan kompetensi, antara lain dalam
proses pembelajaran guru :

Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bermain dan berkreativitas,

Memberi suasana aman dan bebas secara psikologis, Disiplin yang tidak kaku, peserta didik boleh
mempunyai gagasan sendiri dan dapat berpartisipasi secara aktif Memberi kebebasan berpikir kreatif
dan partisipasi secara aktif.

Semua ini akan memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara
optimal. Suasana kegiatan belajar-mengajar yang menarik, interaktif, merangsang kedua belahan otak
peserta didik secara seimbang, memperhatikan keunikan tiap individu, serta melibatkan partisipasi aktif
setiap peserta didik akan membuat seluruh potensi peserta didik berkembang secara optimal.
Selanjutnya tugas guru adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan yang
maksimal.

Ternyata, banyak sekali potensi yang dimiliki peserta didik. Tugas pendidik adalah bagaimana agar
potensi-potensi tersebut dapat berkembang dengan maksimal, baik melalui kegiatan intrakurikuler
maupun ekstrakurikuler.

Pengembangan potensi siswa melalui kegiatan intrakurikuler dapat terwujud melalui proses belajar yang
melibatkan peserta didik secara aktif (active learning). Dengan demikian, siswa terus mengasah
kecerdasan logika saat merumuskan ide-ide atau pendapat, kecerdasan bahasa saat menyampaikan
secara lisan ide atau pendapat tersebut, kecerdasan keuletan saat harus beradu argumen dengan
teman, kecerdasan intrapersonal saat harus bersikap toleran kepada yang lain, dan seterusnya.

(https://www.silabus.web.id/pengertian-peserta-didik/)
https://pusdiklatwas.bpkp.go.id/asset/files/post/a_76/Assure_sebagai_sebuah_model_Desain_Pemb
elajaran.pdf

Hepi. 2011. Model Pembelajaran Jerold E. Kemp. From


http://hepimakassar.wordpress.com/2011/11/07/model-pembelajaran-jerold-e-kemp/ Diakses
pada Hari Minggu,  08/04/2013, Pukul 07.30.

© Langkah Menerapkan Desain Pembelajaran Model ASSURE


Source: https://www.mandandi.com/2018/11/desain-pembelajaran-model-
assure.html?m=1

© Langkah Menerapkan Desain Pembelajaran Model ASSURE


Source: https://www.mandandi.com/2018/11/desain-pembelajaran-model-
assure.html?m=1

Pengertian Model Penelitian Pengembangan ADDIE


https://ranahresearch.com/model-penelitian-pengembangan-
addie/
Model Penelitian Pengembangan ADDIE sesuai namanya merupakan model yang melibatkan tahap-
tahap pengembangan model dengan lima langkah/fase pengembangan
meliputi: Analysis, Design, Development or Production, Implementation or
Delivery dan Evaluations).  Model ADDIE dikembangkan oleh Dick and Carry pada tahun 1996
untuk merancang sistem pembelajaran (Mulyanitiningsih, 2016). 

Dalam langkah-langkah pengembangan produk, model penelitian pengembangan ADDIE dinilai


lebih rasional dan lebih lengkap.  Mulyatiningsih (2016) mengemukakan Model ini dapat digunakan
untuk berbagai macam bentuk pengembangan produk dalam kegiatan pembelajaran seperti model,
strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media dan bahan ajar.
MODEL PENELITIAN PENGEMBANGAN
ADDIE

Tahap Model Penelitian Pengembangan ADDIE


1. Analysis

Dalam model penelitian pengembangan ADDIE tahap pertama adalah menganalisis perlunya
pengembangan produk (model, metode, media, bahan ajar) baru dan menganalisis kelayakan serta
syarat-syarat pengembangan produk. Pengembangan suatu produk dapat diawali oleh adanya
masalah dalam produk yang sudah ada/diterapkan. Masalah dapa muncul dan terjadi karena produk
yang ada sekarang atau tersedia sudah tidak relevan dengan kebutuhan sasaran, lingkungan belajar,
teknologi, karakteristik peserta didik dan sebagainya. 

Selesai menganalisis masalah perlunya pengembangan produk baru, kita juga perlu menganalisis
kelayakan dan syarat pengembangan produk. Proses analisis dapat dilakukan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan, misalnya: (1) apakah produk baru mampu mengatasi masalah pembelajaran
yang dihadapi?, (2) apakah produk baru mendapat dukungan fasilitas untuk diterapkan?, (3) apakah
dosen atau guru mampu menerapkan produk baru tersebut. Analisis produk baru perlu dilakukan
untuk mengetahui kelayakan apabila produk tersebut diterapkan.

2. Design
Kegiatan desain dalam model penelitian pengembangan ADDIE merupakan proses sistematik yang
dimulai dari merancang konsep dan konten di dalam produk tersebut. Rancangan ditulis untuk
masing-masing konten produk. Petunjuk penerapan desain atau pembuatan produk diupayakan ditulis
secara jelas dan rinci. Pada tahap ini rancangan produk masih bersifat konseptual dan akan mendasari
proses pengembangan di tahap berikutnya.

Baca Juga :  Pengertian Metode Waterfall dan Tahap-Tahapnya

3. Development

Development dalam model penelitian pengembangan ADDIE berisi kegiatan realisasi rancangan
produk yang sebelumnya telah dibuat. Pada tahap sebelumnya, telah disusun kerangka konseptual
penerapan produk baru. Kerangka yang masih konseptual tersebut selanjutnya direalisasikan menjadi
produk  yang siap untuk diterapkan.  Pada tahap ini juga perlu dibuat intrumen untuk mengukur
kinerja produk.

4. Implementation

Penerapan produk dalam model penelitian pengembangan ADDIE dimaksudkan untuk memperoleh
umpan balik terhadap produk yang dibuat/dikembangkan. Umpan balik awal (awal evaluasi) dapat
diperoleh dengan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tujuan pengembangan produk.
Penerapan dilakukan mengacu kepada rancangan produk yang telah dibuat.

5. Evaluation

Tahap evaluasi pada penelitian pengembangan model ADDIE dilakukan untuk memberi umpan balik
kepada pengguna produk, sehingga revisi dibuat sesuai dengan hasil evaluasi atau kebutuhan yang
belum dapat dipenuhi oleh produk tersebut. Tujuan akhir evaluasi yakni mengukur ketercapaian
tujuan pengembangan.

Model Hanafin dan Peck merupakan salah satu dari banyak model desain
pembelajaran yang berorietasi produk. Model berorientasi produk adalah model
desain pembelajaran utuk menghasilkan suatu produk, biasanya media pembelajaran
(Afandi dan Badarudin, 2011:22).

Afandi, Muhammad dan Badarudin. (2011). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta


Tahapan belajar (http://yanuariaeksa.blogspot.com/2014/06/fase-fase-belajar-menurut-para-
ahli.html)

Menurut Gagne

1.  Fase pengenalan (apprehending phase)

          Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan
memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. ini berarti
bahwa belajar adalah suatu proses yang unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa
bertanggung jawab terhadap belajarnya karena cara yang unik yang dia terima pada situasi belajar.

2.  Fase perolehan (acqusition phase)

          Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru dengan menghubungkan informasi yang
diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa membentuk asosiasi-
asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.

3.  Fase penyimpanan (storage phase)

          Fase storage atau retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan
dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori
jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.

4.  Fase pemanggilan (retrieval phase)

          Fase retrieval atau recall adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang
ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan
hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru
dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan
menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil

Menurut Jerone S. Bruner

             Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu:

1.    Tahap informasi (tahap penerimaan materi)

       Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai
materi yang sedang dipelajari.

2.     Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)

          Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau            
ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrakatau konseptual.

3.     Tahap evaluasi
          Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informas  yang telah
ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala    atau masalah yang dihadapi.

Menurut Arno F. Wittig

Menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning , setiap proses belajar selalu
berlangsung dalam tiga tahap, yaitu:

1.       Acquicition (tahap perolehan/penerimaan informasi)

Pada tingkat acquicition seorang siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus

dan melakukan respon terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku  baru.

2.       Storage (tahap penyimpanan informasi)

Pada tingkat storage seorang siswa secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan
pemahaman dan  perilaku baru yang ia peroleh ketika menjalani proses acquicition.

3.       Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)

Pada tingkatan retrieval seorang siswa akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem  memorinya,
msalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah. Proses retrieval pada dasarnya
adalah upaya atau peristiwa  mental dalam mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang
tersimpan dalam memori berupa informasi, simbol, pemahaman dan perilaku tertentu sebagai respon
atau stimulus yang sedang dihadapi.

Menurut Albert Bandura

Menurut bandura (1977), seorang behavioris moderat penemu teori social learning/observational
learning, setiap proses belajar (yang dalam hali ini terutama belajar social dengan menggunakan
model) terjadi dalam urutan tahapan peristiwa yang meliputi :

1.       Tahap Perhatian (attention phase)

Pada tahap ini para siswa/peserta didik pada umumnya memusatkan perhatian pada objek materi
atau perilaku model yang lebih menarik terutama karena keunikannya dibanding dengan materi atau
perilaku lain yang sebelumnya telah diketahui.

2.       Tahap Penyimpanan dalam Ingatan (retention phase)

Pada tahap berikutnya, informasi berupa materi dan contoh perilaku model itu ditangkap, diproses
dan disimpan dalam memori.

3.       Tahap Reproduksi (reproduction phase)

Pada tahap reproduksi, segala bayangan citra mental (imagery) atau kode-kode simbolis yang berisi
informasi pengetahuan dan perilaku yang tersimpan dalam memori diproduksi kembali.
4.       Tahap terakhir dalan proses terjadinya peristiwa perilaku belajar adalah tahap penerimaan
dorongan yssng berfungsi sebagai sebagai reinforcemenr, “penguatan” bersemayam segala informasi
dalam memori para peserta didik.

Menurut J. Piaget

       Perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.

1.    Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan dengan anak
sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara perasaan dan motif
pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum dapat memahami dasar matematikan dan
fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini
kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.

2.  Fase operasi kongkrit,  pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya dalam menghadapi
suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan perbuatan yang nyata; ia telah
dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf operai kongkrit ini ia hanya dapat
memecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu memecahkan
masalah yang tidak dihadapinya secara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialami
sebelumnya.

3.  Fase operasi formal,  pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan kemungkinan
hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya sebelumnya.

kanalati.wordpress.com/2015/03/17/fungsi-dan-pentingnya-perencanaan-dan-desain-pembelajaran/

Anda mungkin juga menyukai