Anda di halaman 1dari 44

BAB II

KESEHATAN MENTAL

DAN

BIMBINGAN KONSELING ISLAM

A. Kesehatan Mental

1. Pengertian Kesehatan Mental

Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari

adanya problem yang mengganggu kejiwaannya. Oleh karena itu sejarah

manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut.

Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga

yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah (Mubarok, 2000: 13). Pada

masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban

Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem

kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam

hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat Islam, karena

mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah mengalami problem

psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka solusi yang

ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni tasawuf atau akhlak.

Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh

kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya bermakna (Mubarok,

2000: 14).

15
16

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara

agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut

di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa

Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan (Shihab, 2003: 181). Namun

demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap batasan atau definisi

kesehatan mental (mental healt). Hal itu disebabkan antara lain karena

adanya berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang berbeda.

Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan tersebut, sedikit

menimbulkan perbedaan konsep kesehatan mental. Lebih jauh lagi

mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam mencapai dan

mengusahakan mental yang sehat. Perbedaan itu wajar dan tidak perlu

merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu justru memperkaya

khasanah dan memperluas pandangan orang mengenai apa dan bagaimana

kesehatan mental (Musnamar, 1992: xiii). Sejalan dengan keterangan di

atas maka di bawah ini dikemukakan beberapa rumusan kesehatan jiwa,

antara lain:

Pertama, menurut Musthafa Fahmi, sesungguhnya kesehatan jiwa

mempunyai pengertian dan batasan yang banyak. Di sini dikemukakan

dua pengertian saja; sekedar untuk mendapat batasan yang dapat

digunakan dengan cara memungkinkan memanfaatkan batasan tersebut

dalam mengarahkan orang kepada pemahaman hidup mereka dan dapat

mengatasi kesukarannya, sehingga mereka dapat hidup bahagia dan

melaksanakan misinya sebagai anggota masyarakat yang aktif dan serasi


17

dalam masyarakat sekarang. Pengertian pertama mengatakan kesehatan

jiwa adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan.

Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri).

Pengertian kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas,

lengkap dan tidak terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan orang

untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat

lingkungannya. Hal itu membawanya kepada kehidupan yang sunyi dari

kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan tidak

terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial,

dia juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi ia

berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran

dalam berbagai lapangan dan di bawah pengaruh semua keadaan (Fahmi,

1977: 20-22).

Kedua, menurut Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya

sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa di IAIN "Syarif Hidayatullah

Jakarta" (1984) mengemukakan lima buah rumusan kesehatan jiwa yang

lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan-

rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari

urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup

rumusan-rumusan sebelumnya.

a. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa

(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini


18

banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang

memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.

b. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan

tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum

daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan

kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri

diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.

c. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-

sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan

untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta

terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi

ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan,

sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja

sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan

orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa

gelisah dan konflik batin.

d. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan

untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan

pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa

kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan

dan penyakit jiwa (Daradjat, 1983: 11-13)


19

Definisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan

dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir,

sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain

dan dirinya sendiri.

e. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-

sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian

diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan

keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang

bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat (Daradjat, 1983:

11-13).

Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental,

Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah

terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu

menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan

kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa

(tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan

bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal

mungkin (Daradjat, 1983: 9).

Ketiga, menurut M.Buchori yang dikutip Jalaluddin dalam

bukunya Psikologi Agama (2004: 154), kesehatan mental (mental hygiene)

adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-

peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani.

Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam
20

hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dalam

bukunya dengan mengutip H.C. Witherington menambahkan,

permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-

prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri,

biologi, sosiologi, dan agama.

Keempat, Kartini Kartono dan Jenny Andari mengetengahkan

rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu

yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah

timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha

mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan

kesehatan jiwa rakyat. Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema

sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin

manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta

berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu

oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka serta

konflik batin (Kartono, 1989: 4).

Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan

menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia

memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang

berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang

memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil

menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk

menggapainya.
21

Dari definisi-definisi di atas, tampaknya yang lebih tepat dan

lengkap adalah definisi yang kelima dari Zakiah Daradjat yang

menyatakan bahwa kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang

sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya

penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya,

berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai

hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat

(Daradjat, 1983: 11-13).

Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan

harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan

penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan

baik dengan sesama manusia.

2. Ciri-Ciri Kesehatan Mental

Ilmu kesehatan mental (mental hygiene) merupakan salah satu

cabang termuda dari ilmu jiwa yang tumbuh pada akhir abad ke-19 M dan

sudah ada di Jerman sejak tahun 1875 M. Namun demikian, sebenarnya

para Nabi sejak Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad saw. telah

terlebih dahulu berbicara tentang hakikat jiwa, penyakit jiwa, dan

kesehatan jiwa yang terkandung dalam ajaran agama yang diwahyukan

Allah SWT. Sebabnya dikatakan demikian karena semua nabi

mengajarkan tentang perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang

diperintahkan yang harus dilakukan umat manusia. Ajaran yang

disampaikan para nabi bersangkut paut utamanya dengan kepentingan


22

rohani yang menyangkut aspek esoteris (batiniah). Masalah aspek batiniah

menyangkut pula persoalan mental yang di dalamnya menyangkut

kesehatan mental.

Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu yang memasalahkan

kehidupan rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai

satu totalitas psikofisik yang kompleks. Pada abad kedua puluh, ilmu ini

berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan

modern. Kesehatan mental dipandang sebagai ilmu praktis yang banyak

dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk bimbingan

dan penyuluhan yang dilaksanakan di rumah tangga, sekolah, kantor dan

lembaga-lembaga maupun dalam kehidupan masyarakat.

Sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pengertian terhadap

kesehatan mental juga mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian

manusia tentang kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit, terbatas

pada pengertian gangguan dan penyakit jiwa. Dengan pengertian ini,

kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang mengalami

gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental tersebut

diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketenteraman dan

kebahagiaan.

Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang

kesehatan mental. Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya

seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang

yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.


23

a. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat

mengenal diri sendiri dengan baik.

b. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.

c. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan

pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.

d. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari

dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.

e. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta

memiliki empati dan kepekaan sosial.

f. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya

secara baik (Jaelani, 2000: 75-77 )

Hanna Djumhana Bastaman merangkum pandangan-pandangan

tentang kesehatan mental menjadi empat pola wawasan dengan masing-

masing orientasinya sebagai berikut:

a. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis

b. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri

c. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi

d. Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian

Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap

bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan

tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya

hilang atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan

bebasnya seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Dan ini


24

dianggap sebagai kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat

ditandai oleh bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan

tertentu (psikosis)

Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini

berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri

merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini

penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya

memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau

memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang

lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau

serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak

sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi

mudah terombang-ambing situasi (Bastaman, 1997: 133-135).

Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi

pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk

bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani

(human qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggungjawab,

kecerdasan, kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini

sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara

optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan

lingkungannya. Dalam mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu

diperhitungkan norma-norma yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut,


25

karena potensi dan kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang

buruk.

Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian.

Berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat

menunjang kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari

keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-

tuntunan keagamaan dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan

tersebut dapat diajukan secara operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau

kondisi jiwa yang sehat, yakni:

• Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.

• Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan

antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.

• Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap,

sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan

lingkungan.

• Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan

tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari (Bastaman, 1997: 133-

135).

Saparinah Sadli, mengemukakan tiga orientasi dalam kesehatan

jiwa, yaitu:

a. Orientasi Klasik

Seseorang dianggap sehat bila ia tidak mempunyai kelakuan

tertentu, seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau


26

perasan tak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan “sakit”

atau rasa “tak sehat” serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari.

Aktivitas klasik ini banyak dianut di lingkungan kedokteran.

b. Orientasi penyesuaian diri

Seorang dianggap sehat secara psikologis bila ia mampu

mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orang-orang lain serta

lingkungan sekitarnya.

c. Orientasi pengembangan potensi

Seseorang dikatakan mencapai tarap kesehatan jiwa, bila ia

mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya

menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya

sendiri (Sadli, 1997: 132)

Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara

ideal bahwa orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha

secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu

dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar

berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat,

kemampuan, sifat, dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif.

Sejalan dengan itu ia pun berupaya untuk menghambat dan mengurangi

kualitas-kualitas negatif dirinya, karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi

sumber berbagai gangguan dan penyakit kejiwaan.


27

Dalam pergaulan orang yang sehat jiwanya adalah seorang yang

luwes, dalam artian menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan tanpa ia

sendiri kehilangan identitas dirinya serta berusaha secara aktif agar

berfungsi dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.

Ada benarnya juga bila orang dengan kesehatan mental yang baik

digambarkan sebagai seseorang yang sehat jasmani-rohani, otaknya penuh

dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, rohaninya sarat dengan iman dan

taqwa kepada Tuhan, dengan karakter yang dilandasi oleh nilai-nilai

agama dan sosial budaya yang luhur. Pada dirinya seakan-akan telah

tertanam dengan suburnya moralitas dan rasa adil dan makmur memberi

manfaat dan melimpah ruah kepada sekelilingnya (Bastaman, 1997: 133).

3. Tujuan Mempelajari Kesehatan Mental

Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andari, mental hygien

(kesehatan mental) ialah ilmu yang bertujuan:

a. Memiliki dan membina jiwa yang sehat

b. Berusaha mencegah timbulnya kepatahan jiwa (mental breakdown),

mencegah berkembangnya macam-macam penyakit mental dan sebab

musabab timbulnya penyakit tersebut

c. Mengusahakan penyembuhan dalam stadium permulaan (Kartono dan

Jenny Andari, 1989: 4)

Jadi kecuali melakukan kegiatan-kegiatan preventif guna

mencegah timbulnya penyakit-penyakit mental, juga berusaha


28

menyehatkan kembali orang-orang yang tengah terganggu mental dan

emosinya.

Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi

pengendali utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang

bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan

kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa

tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi

sebaliknya, pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa

keharmonisan antara pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan

seseorang tampak matang dan wajar (Daradjat, 1982: 13). Sehingga dapat

dikatakan bahwa tujuan hygiene mental atau kesehatan mental adalah

mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi

atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan jiwa”.

Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya

tujuan masyarakat sehingga membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan

perseorangan sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa kesehatan

mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat,

karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan kebahagiaan

dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan

dalam pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek

individu, dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan

kemampuan sosial (El-Quusy, 2000: 40).

Dari uraian di atas jelas bahwa tujuan mental hygiene atau


29

kesehatan mental adalah tercapainya kebahagiaan secara individu maupun

kebahagiaan masyarakat pada umumnya.

4. Upaya Mencapai Kesehatan Mental

Menurut Moeljono Notosoedirjo, guru besar psikiatri dan

kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program Pascasarjana

Universitas Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan

tentang beberapa definisi kesehatan mental pada bagian di atas, untuk

menetapkan suatu keadaan psikologis berada dalam keadaan sehat

tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan mental telah membuat kriteria-

kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam

kondisi yang sehat. Kondisi optimum ini dapat dijadikan sebagai acuan

dan arah yang dapat dituju dalam melakukan pemeliharaan dan

peningkatan kesehatan mental serta pencegahannya.

Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk

menyebut kesehatan mental berbeda-beda, kriteria yang dibuat pun tidak

sama secara tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat

disebut di sini, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-

actualization, Rogers menyebutnya dengan fully functioning, Allport

memberi nama dengan mature personality, dan banyak yang menyebut

dengan mental health (Notosoedirjo, 1999, hlm. 24-31).

Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu

diperdebatkan meskipun berada dalam kerangka teorinya masing-masing.

Pada bagian-berikut akan diuraikan berbagai pandangan tentang kriteria


30

kesehatan mental itu satu persatu, dengan maksud dapat memberikan

gambaran yang lebih luas tentang kondisi mental yang sehat.

Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut

Maslow dan Mittlemenn adalah sebagai berikut.

a. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan

merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan

keluarganya.

b. Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang

memadai), yang mencakup: (a) harga diri yang memadai, yaitu merasa

ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya, (b)

memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral masuk

akal, dengan perasaan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang

berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara sosial dan

personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada

sepanjang kehidupan di masyarakat (Notosoedirjo, 1999: 24-31).

c. Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan

perasaan yang memadai, dengan orang lain), Hal ini ditandai oleh

kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi,

seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan member!

ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol,

kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain,

kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah


31

tidak senang pada suatu saat, tetapi dia hams memiliki alasan yang

tepat.

d. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan

realitas) Kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu .dunia fisik,

sosial, dan diri sendiri atau internal. Hal ini ditandai (a) tiadanya

fantasi yang berlebihan, (b) mempunyai pandangan yang realistis dan

pandangan yang luas terhadap dunia, yang disertai dengan

kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit

dan kegagalan. dan (c) kemampuan untuk berubah jika situasi

eksternal tidak dapat dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah:

bekerja sama tanpa dapat ditekan (cooperation with the inevitable).

e. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-

keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk

memuaskannya). Hal ini ditandai dengan (a) suatu sikap yang sehat

terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima mereka tetapi bukan

dikuasai; (b) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari

dunia fisik dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih

kembali dari kelelahan; (c) kehidupan seksual yang wajar, keinginan

yang sehat untuk memuaskan tanpa rasa takut dan konflik; (d)

kemampuan bekerja; (e) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan

untuk mengikuti dalam berbagai aktivitas tersebut.

f. Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang

wajar). Termasuk di dalamnya (a) cukup mengetahui tentang: motif,


32

keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan,

perasaan rendah diri, dan sebagainya; dan (b) penilaian yang realistis

terhadap milik dan kekurangan. Penilaian diri yang jujur adalah dasar

kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sifat dan tidak untuk

menanggalkan (tidak mau mengakui) sejumlah has rat penting atau

pikiran jika beberapa di antara hasrat-hasrat itu secara sosial dan

personal tidak dapat diterima. Hal itu akan selalu terjadi sepanjang

kehidupan di masyarakat.

g. Integration and concistency of personality (kepribadian yang utuh dan

konsisten). Ini bermakna (a) cukup baik perkembangannya,

kepandaiannya, berminat dalam beberapa aktivitas; (b) memiliki

prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan

pandangan kelompok; (c) mampu untuk berkonsentrasi; dan (d)

tiadanya konflik-konflik besar dalam kepribadiannya dan tidak

dissosiasi terhadap kepribadiannya.

h. Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti

(a) memiliki tujuan yang sesuai dan. dapat dicapai; (b) mempunyai

usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan; dan (c) tujuan itu

bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.

i. Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari

pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk

tidak hanya kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan

terhadap dunia praktik, tetapi elastisitas dan kemauan menerima dan


33

oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan dalam penerapan untuk

menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting lagi adalah

kemampuan untuk belajar secara spontan.

j. Ability to satisfy the requirements of the group (kemampuan

memuaskan tuntutan kelompok). Individu harus: (a) tidak terlalu

menyerupai anggota kelompok yang lain dalam cara yang dianggap

penting oleh kelompok: (b) terinformasi secara memadai dan pada

pokoknya menerima cara yang berlaku dari kelompoknya; (c)

berkemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang

dilarang kelompoknya; (d) dapat menunjukkan usaha yang mendasar

yang diharapkan oleh kelompoknya: ambisi, ketepatan; serta

persahabatan, rasa tanggung jawab, kesetiaan, dan sebagainya, serta

(e) minat dalam aktivitas rekreasi yang disenangi kelompoknya.

k. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai

emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya), Hal ini

mencakup: (a) kemampuan untuk menganggap sesuatu itu baik dan

yang lain adalah jelek setidaknya; (b) dalam beberapa hal bergantung

pada pandangan kelompok; (c) tidak ada kebutuhan yang berlebihan

untuk membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok;

dan (d) untuk beberapa tingkat toleransi; dan menghargai terhadap

perbedaan budaya.

Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang

berfungsi sepenuhnya) sebagai bentuk kondisi mental yang sehat. Secara


34

singkat fully functioning person ditandai (1) terbuka terhadap pengalaman;

(2) ada kehidupan pada dirinya; (3) kepercayaan kepada organismenya;

(4) kebebasan berpengalaman; dan (5) kreativitas.

Golden Allport (1950) menyebut mental yang sehat dengan

maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi yang

matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses

becoming. Orang yang matang jika: (l)-memiliki kepekaan pada diri

secara luas; (2) hangat dalam berhubungan dengan orang lain; (3)

keamanan emosional atau penerimaan diri; (4) persepsi yang realistik,

ketrampilan dan pekerjaan; (5) mampu menilai diri secara objektif dan

memahami humor; dan (6) menyatunya filosofi hidup.

D.S. Wright dan A Taylor mengemukakan tanda-tanda orang yang

sehat mentalnya adalah: (1) bahagia (happiness) dan terhindar dari

ketidakbahagiaan; (2) efisien dalam menerapkan dorongannya untuk

kepuasan kebutuhannya; (3) kurang dari kecemasan; (4) kurang dari rasa

berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari kebutuhan self-punishment);

(5) matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya; (6) Mampu

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya; (7) memiliki otonomi dan

harga diri; (8) mampu membangun hubungan emosional dengan orang

lain; dan (9) dapat melakukan kontak dengan realitas (Notosoedirjo, 1999:

24-31).

Berangkat dari definisi kesehatan mental yang berbeda-beda sesuai

dengan bidang dan pandangan masing-masing, maka upaya


35

pencapaiannya juga beragam.

Kartini Kartono berpendapat ada tiga prinsip pokok untuk

mendapatkan kesehatan mental, yaitu;

a. Pemenuhan kebutuhan pokok

Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan

kebutuhan-kebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis)

dan yang bersifat sosial. Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-

dorongan itu menuntut pemuasan. Timbullah ketegangan-ketegangan

dalam usaha pencapaian-nya. Ketegangan cenderung menurun jika

kebutuhan-kebutuhan terpenuhi, dan cenderung naik/makin banyak,

jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.

b. Kepuasan.

Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat

jasmaniah maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang,

aman terlindung, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat

simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang,

lalu timbullah Sense of Importancy dan Sense of Mastery, (kesadaran

nilai dirinya dan kesadaran penguasaan) yang memberi rasa senang,

puas dan bahagia.

c. Posisi dan status sosial

Setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status

sosial dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih

dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri
36

aman/assurance, keberanian dan harapan-harapan di masa mendatang.

Orang lalu menjadi optimis dan bergairah. Karenanya individu-

individu yang mengalami gangguan mental, biasanya merasa dirinya

tidak aman. Mereka senantiasa dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi

ketakutan. Dia tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan

hari esok, jiwanya senantiasa bimbang dan tidak imbang (Kartono,

1989: 29-30).

Zakiah Darajat berpendapat kehilangan ketentraman batin itu,

disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri, kegagalan, tekanan

perasaan, baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor ataupun dalam

masyarakat. Maka sebagai upayanya Zakiah Daradjat mengutip firman

Allah SWT. (Darajat, 1982: 103)

(28:‫ﺏ )ﺍﻟﺮﻋﺪ‬
 ‫ﻦ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﻠﹸﻮ‬ ‫ﻤِﺌ‬ ‫ﺗ ﹾﻄ‬ ‫ﹶﺃ ﹶﻻ ِﺑ ِﺬ ﹾﻛ ِﺮ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ‬...
Artinya “……ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah itu hati
menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’du : 28).(Depag, 1997:
373).

Dalam ayat di atas dinyatakan bahwa dzikir itu bisa membentuk

hati manusia untuk mencapai ketentraman. Dzikir berasal dari kata

dzakara artinya mengingat, memperhatikan, mengena, sambil mengambil

pelajaran, mengenal atau mengerti. Biasanya perilaku dzikir diperlihatkan

orang hanya dalam bentuk renungan sambil duduk berkomat-kamit. Al-

Qur'an memberi petunjuk bahwa dzikir itu bukan hanya ekspresi daya

ingat yang ditampilkan dengan komat-kamitnya lidah sambil duduk


37

merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam

berbagai variasi yang aktif dan kreatif (Daradjat, 1975: 104).

Al-Qur'an menjelaskan dzikir berarti membangkitkan daya

ingatan: “dengan mengingat Allah (dzikrullah), hati orang-orang beriman

menjadi tenang”. Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang

(al-Ra’ad:28). Dzikir berarti pula ingat akan hukum-hukum Allah:

“sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberikan kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan. Dan memberi pengajaran kepada kamu

agar kamu dzikir (dapat mengambil pelajaran)” (an-Nahl : 90) (Daradjat,

1975: 104).

Dzikir juga mengambil pelajaran atau peringatan : “Allah

memberikan hikmah kepada orang atau siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan

yang banyak dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-

orang yang berakal (ulul albab)” (al-Baqarah : 269) (Daradjat, 1975: 104).

Hasan Langgulung mensyaratkan, bahwa untuk mencapai

kebahagiaan ada dua syarat, yaitu : iman dan amal. Iman adalah

kepercayaan kepada Allah, Rasul-rasul, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab,

hari kiamat, dan qodlo qodhar, ini semua berkaitan dengan kebahagiaan

akhirat. Adapun syarat kedua adalah amal, yakni perbuatan, tindakan,

tingkah laku termasuk yang lahir dan yang batin, yang nampak dan tidak

tampak, amal jasmaniah ataupun amal rohaniah.


38

Amal itu ada dua macam, amal ibadah (devational acts), yaitu

amal yang khusus dikerjakan untuk membersihkan jiwa, untuk

kebahagiaan jiwa itu sendiri. Adapun jenis amal yang kedua ialah yang

berkaitan dengan manusia lain, seperti amal dalam perekonomian,

kekeluargaan, warisan, hubungan kenegaraan, politik, pendidikan, sosial,

kebudayaan dan lain-lain (Langgulung, 2000: 398-399). Kedua hal

tersebut (iman dan amal) akan mendapat balasan dari Allah SWT.

Sebagaimana firman-Nya.

‫ﺎ‬‫ﺤِﺘﻬ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ﺠﺮِﻱ ﻣِﻦ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ﺕ‬
ٍ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺕ ﹶﺃﻥﱠ ﹶﻟ‬
ِ ‫ﺎ‬‫ﺎِﻟﺤ‬‫ﻋ ِﻤﻠﹸﻮﹾﺍ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻮﹾﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺸ ِﺮ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻦ ﺁ‬
 ‫ﺑ‬‫ﻭ‬

(25 :‫) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬... ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻬ‬‫ﺍ َﻷ‬


Artinya : Dan sampaikan berita gembira kepada mereka yang beriman
dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-
surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ….(QS.Al-
Baqarah : 25) (Depag, 1997: 12)

5. Kesehatan Mental dalam Islam

Dalam Islam pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam

pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan

yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang

secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula

ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya

pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang

otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat serta bersemayam dalam


39

kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan. Sikap dan tingkah lakunya

benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh.

Otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan

keimanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian

dan kasih sayang. Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe

manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi

dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif

dan terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah

SWT (QS. Ar-Ra’du ayat 11) (Bastaman, 1997: 150)

(11:‫) ﺍﻟﺮﻋﺪ‬...‫ﻢ‬ ‫ﺴ ِﻬ‬


ِ ‫ﻧﻔﹸ‬‫ﺎ ِﺑﹶﺄ‬‫ﻭﹾﺍ ﻣ‬‫ﻴﺮ‬‫ﻐ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻮ ٍﻡ‬ ‫ﺎ ِﺑ ﹶﻘ‬‫ﺮ ﻣ‬ ‫ﻐﻴ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻪ ﹶﻻ‬ ‫ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠ‬

Artinya :“Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum


sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri” (Depag, 1997: 370).

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan

berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang

terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara

sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri

dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan

tercurah padanya.

Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu

harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu dalam

Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat,


40

tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan

norma-norma yang berlaku.

B. Bimbingan dan Konseling Islam

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam

Setiap manusia dalam hidupnya tidak terlepas dari masalah-

masalah yang ditemui/dihadapi dan tentu ia ingin memecahkan/mengatasi

masalahnya sendiri. masalah tersebut bersifat kompleks dan berbeda

tingkatannya, sesuai dengan perkembangan zaman dan persepsi manusia

terhadap zaman itu. Bilamana masalahnya tidak dapat diatasi sendiri,

maka ia memerlukan bantuan orang lain untuk memcahkannya atau

mengatasinya. Itu pun kalau ia sadar, bahwa ia memiliki masalah dalam

dirinya, sebab seringkali masalah tersebut tidak disadari oleh seseorang,

dan bahkan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa saja. Jadi

diperlukan bantuan orang lain, bukan hanya untuk mengatasi masalah

yang dihadapi seseorang, melainkan juga untuk memberitahukan

kepadanya bahwa ia mempunyai masalah (W.Lusikooy, 1983: 9-10)

Masalah manusia dan kemanusiaan dalam lingkup kehidupan

manusia begitu kompleks, terutama sekali penyesuaian diri dengan

lingkungan. Pendekatan masalah dalam lingkup pendidikan, dilakukan

dengan sistem pendidikan, dalam mana bimbingan adalah merupakan

pelengkap pendidikan formal (Ramayulis, 2002: 90)

Bimbingan dan konseling merupakan alih bahasa dari istilah

Inggris guidance dan counseling. Dalam kamus bahasa Inggris kata


41

guidance berarti: pimpinan, bimbingan, pedoman, petunjuk. Kata

counseling berarti: pemberian nasihat, perembukan, penyuluhan (M.

Echols dan Shadily, 1992: 150 dan 283). Dahulu istilah counseling di

indonesiakan menjadi penyuluhan. Akan tetapi, karena istilah penyuluhan

banyak digunakan di bidang lain, semisal dalam penyuluhan pertanian dan

penyuluhan keluarga berencana yang sama sekali berbeda isinya dengan

yang dimaksud counseling, maka agar tidak menimbulkan salah paham,

istilah counseling tersebut langsung diserap saja menjadi konseling

(Musnamar, 1992: 3).

Dalam hubungan ini ada yang kurang sependapat jika

“counseling” hanya diterjemahkan dengan “penyuluhan”. Kata

“counseling” meliputi perembukan, pemberian nasihat, penyuluhan,

penerangan (informasi). Sedang kata penyuluhan (lebih sempit)

pengertiannya penerangan atau penyelidikan, pengintaian. Kata

penyuluhan memberi kesan hanya satu pihak yang aktif yaitu orang yang

memberi penerangan saja (Ahmadi dan Rohani, 1991:21).

Bimbingan dan konseling di lingkungan lembaga pendidikan, dan

lingkungan masyarakat Indonesia pada umumnya, semakin dirasakan

kehadirannya, sebagai kebutuhan dalam usaha pemberian bantuan kepada

seseorang yang mengalami problema kehidupan pribadi, terutama yang

berkaitan dengan aspek mental spiritual dan psikologis. Problema

kehidupan mental spiritual tersebut timbul karena adanya gangguan


42

psikologis dari pengaruh faktor internal dan eksternal, atau faktor

kemampuan individual, dan faktor lingkungan sekitar (M.Arifin, 2003: 4).

Secara terminologis, bimbingan itu sendiri adalah pemberian

bantuan kepada seseorang atau kepada sekelompok orang dalam membuat

pilihan-pilihan secara bijaksana dan dalam mengadakan penyesuaian diri

terhadap tuntutan-tuntutan hidup. Bantuan itu bersifat psikologis dan tidak

berupa pertolongan finansial, medis dan sebagainya. Dengan adanya

bantuan ini seseorang akhirnya dapat mengatasi sendiri masalah yang

dihadapinya yang kelak kemudian menjadi tujuan bimbingan. Jadi yang

memberikan bantuan menganggap orang lain mampu menuntun dirinya

sendiri, meskipun kemampuan itu mungkin harus digali dan

dikembangkan melalui bimbingan (W. S. Winkel, 1990: 17). Adapun

rumusan lainnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Menurut Bimo Walgito, “Bimbingan adalah bantuan atau

pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu

dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam

kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai

kesejahteraan hidupnya” (Walgito, 1989: 4), sementara menurut Dewa

Ketut Sukardi, bimbingan adalah pemberian bantuan oleh seseorang

kepada orang lain dalam menentukan pilihan, penyesuaian dan pemecahan

masalah. Bimbingan bertujuan membantu seseorang agar bertambah

kemampuan bertanggung jawab atas dirinya (Sukardi, 1983: 65).


43

Dalam konteks ini M. Arifin mengatakan, pengertian harfiyyah

“bimbingan” adalah “menunjukkan, memberi jalan, atau menuntun” orang

lain ke arah tujuan yang bermanfaat bagi hidupnya di masa kini, dan masa

mendatang. Istilah “bimbingan” merupakan terjemahan dari kata bahasa

inggris guidance yang berasal dari kata kerja “to guide” yang berarti

“menunjukkan” (M. Arifin, 1994: 1). Priyatno dan Ermananti

memaparkan : rumusan tentang bimbingan formal telah diusahakan orang

setidaknya sejak awal abad ke-20, sejak dimulainya bimbingan yang

diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1908. Sejak itu, rumusan demi

rumusan tentang bimbingan bermunculan sesuai dengan perkembangan

pelayanan bimbingan itu sendiri sebagai suatu pekerjaan khas yang

ditekuni para peminat dan ahlinya. Dalam kaitan ini Priyatno dan Erman

Anti sebagaimana mengutip pendapat Crow & Crow, 1960, bimbingan

adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan,

yang memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada

individu-individu setiap usia untuk membantunya mengatur kegiatan

hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya sendiri, membuat

keputusan sendiri dan menanggung bebannya sendiri (Priyatno dan Erman

Anti, 1999: 93-94).

Dengan memperhatikan rumusan-rumusan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa bimbingan adalah merupakan pemberian bantuan

yang diberikan kepada individu guna mengatasi berbagai kesukaran di


44

dalam kehidupannya, agar individu itu dapat mencapai kesejahteraan

hidupnya.

Adapun Konseling diartikan sebagai proses pemberian bantuan

yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut

konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah

(disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi

klien (Priyatno dan Erman Anti, 1999: 105).

Menurut Andi Mappiare AT, konseling (counseling), kadang

disebut penyuluhan karena keduanya merupakan bentuk bantuan. Ia

merupakan suatu proses pelayanan yang melibatkan kemampuan

profesional pada pemberi layanan. Ia sekurang-kurangnya melibatkan pula

orang kedua, penerima layanan, yaitu orang yang sebelumnya merasa

ataupun nyata-nyata tidak dapat berbuat banyak dan setelah mendapat

layanan menjadi dapat melakukan sesuatu (Mappiare AT, 1996: 1).

Mengenai kedudukan dan hubungan antara bimbingan dan

konseling terdapat banyak pandangan, salah satunya memandang

konseling sebagai teknik bimbingan, sebagaimana dikemukakan oleh

Arthur J. Jones yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Ahmad Rohani, bahwa

konseling sebagai salah satu teknik dari bimbingan, sehingga dengan

pandangan ini maka pengertian bimbingan adalah lebih luas bila

dibandingkan dengan konseling, konseling merupakan bagian dari

bimbingan (Ahmadi dan Rohani, 1991: 28). Dengan kata lain, konseling

berada di dalam bimbingan. Pendapat lain menyatakan: bimbingan


45

terutama memusatkan diri pada pencegahan munculnya masalah,

sementara konseling memusatkan diri pada pemecahan masalah yang

dihadapi individu. Dalam pengertian lain, bimbingan sifat atau fungsinya

preventif, sementara koseling kuratif atau korektif. Dengan demikian

bimbingan dan konseling berhadapan dengan obyek garapan yang sama,

yaitu problem atau masalah. Perbedaannya terletak pada titik berat

perhatian dan perlakuan terhadap masalah tersebut. Bimbingan titik

beratnya pada pencegahan, konseling menitik beratkan pemecahan

masalah. Perbedaan selanjutnya, masalah yang dihadapi atau digarap

bimbingan merupakan masalah yang ringan, sementara yang digarap

konseling yang relatif berat (Musnamar, 1992: 3-4).

Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud adalah

Bimbingan Konseling yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi

arti lebih dahulu. Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab,

terambil dari asal kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata

itu dibentuk kata aslama yang artinya menyerahkan diri, tunduk, patuh

dan taat. Kata aslama itulah menjadi pokok kata Islam mengandung

segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang

melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan muslim (Razak, 1986:

56). Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Harun Nasution,

Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada

masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul

(Nasution, 1985: 24).


46

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka yang di maksud bimbingan

Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu

hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat

mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sedang konseling

Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari

kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup

selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai

kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 5).

2. Dasar Pijakan Bimbingan dan Konseling Islam

Yang menjadi dasar pijakan utama bimbingan dan konseling Islam

adalah al-Qur'an dan Hadits. Keduanya merupakan sumber hukum Islam

atau dalil-dalil hukum (Khallaf, 1978: 10).

Dalam al-Qur'an Allah berfirman:

(7:‫) ﺍﳊﺸﺮ‬...‫ﻮﺍ‬‫ﺘﻬ‬‫ ﻓﹶﺎﻧ‬‫ﻨﻪ‬‫ﻋ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﻧﻬ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺨﺬﹸﻭ‬


 ‫ﻮ ﹸﻝ ﹶﻓ‬‫ﺮﺳ‬ ‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﺎ ﺁﺗ‬‫ﻭﻣ‬ ...
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah (Q.S. Al-Hasyr:7)

Al-Qur'an dan Hadits merupakan landasan utama yang apabila

dilihat dari sudut asal-usulnya, merupakan landasan naqliyah. Adapun

landasan lain yang dipergunakan oleh bimbingan dan konseling Islam

adalah yang aqliyah seperti filsafat dan ilmu, dalam hal ini filsafat Islam

dan ilmu atau landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam.
47

Landasan filosofis Islam yang penting artinya bagi bimbingan dan

konseling Islam antara lain :

a. Falsafah tentang dunia manusia (citra manusia)

b. Falsafah tentang dunia dan kehidupan

c. Falsafah tentang pernikahan dan keluarga.

d. Falsafah tentang pendidikan.

e. Falsafah tentang masyarakat dan hidup kemasyarakatan.

f. Falsafah tentang upaya mencari nafkah atau falsafah kerja.

Dalam gerak dan langkahnya, bimbingan dan konseling Islam

berlandaskan pula pada berbagai teori yang telah tersusun menjadi ilmu.

Sudah barang tentu teori dan ilmu itu, khususnya ilmu-ilmu atau teori-

teori yang dikembangkan bukan oleh kalangan Islam yang sejalan dengan

ajaran Islam sendiri. Ilmu-ilmu yang membantu dan dijadikan landasan

gerak operasional bimbingan dan konseling Islam itu antara lain:

a. Ilmu jiwa (psikologi)

b. Ilmu hukum Islam (syari’ah)

c. Ilmu kemasyarakatan (sosiologi, antropologi sosial dan sebagainya)

(Musnamar,.1992; 6)

Dari uraian diatas, jelaslah bahwa al-Qur'an dan Hadits merupakan

basis utama yang mewarnai gerak langkah bimbingan dan konseling

Islam.

3. Metode dan Teknik Bimbingan Konseling Islam

Dalam pengertian harfiyyah, metode adalah jalan yang harus


48

dilalui untuk mencapai suatu tujuan, karena kata metode berasal dari meta

yang berarti melalui dan hodos berarti jalan (M. Ariffin, 1994: 43).

Metode lazim diartikan sebagai jarak untuk mendekati masalah sehingga

diperoleh hasil yang memuaskan, sementara teknik merupakan penerapan

metode tersebut dalam praktek. Dalam pembicaraan ini kita akan melihat

bimbingan dan konseling sebagai proses komunikasi .Oleh karenanya,

berbeda sedikit dari bahasan-bahasan dalam berbagai buku tentang

bimbingan dan konseling, metode bimbingan dan konseling Islam ini akan

diklasifikasikan berdasarkan segi komunikasi tersebut.

Metode bimbingan dan konseling Islam berbeda dengan metode

dakwah. Sebagaimana diketahui metode dakwah meliputi: metode

ceramah, metode tanya jawab, metode debat, metode percakapan antar

pribadi, metode demonstrasi, metode dakwah Rasulullah SAW,

pendidikan agama dan mengunjungi rumah (silaturrahmi) (Asmuni

Syukir, 1983: 104). Demikian pula bimbingan dan konseling Islam bila

diklasifikasikan berdasarkan segi komunikasi, pengelompokannya

menjadi: (1) metode komunikasi langsung atau disingkat metode

langsung, dan (2) metode komunikasi tidak langsung atau metode tidak

langsung.

a. Metode langsung

Metode langsung (metode komunikasi langsung) adalah

metode di mana pembimbing melakukan komunikasi langsung


49

(bertatap muka) dengan orang yang dibimbingnya. Metode ini dapat

dirinci lagi menjadi:

b. Metode individual

Pembimbing dalam hal ini melakukan komunikasi

langsung secara individual dengan pihak yang dibimbingnya. Hal

ini dapat dilakukan dengan mempergunakan teknik:

a). Percakapan pribadi, yakni pembimbing melakukan dialog

langsung tatap muka dengan pihak yang dibimbing;

b). Kunjungan ke rumah (home visit), yakni pembimbing

mengadakan dialog dengan kliennya tetapi dilaksanakan di

rumah klien sekaligus untuk mengamati keadaan rumah klien

dan lingkungannya;

c). Kunjungan dan observasi kerja, yakni pembimbing/konseling

jabatan melakukan percakapan individual sekaligus megamati

kerja klien dan lingkungannya.

c. Metode kelompok

Pembimbing melakukan komunikasi langsung dengan

klien dalam kelompok. Hal ini dapat dilakukan dengan teknik-

teknik:

a). Diskusi kelompok, yakni pembimbing melaksanakan

bimbingan dengan cara mengadakan diskusi dengan/bersama

kelompok klien yang mempunyai masalah yang sama.


50

b). Karya wisata, yakni bimbingan kelompok yang dilakukan

secara langsung dengan mempergunakan ajang karya wisata

sebagai forumnya.

c). Sosiodrama, yakni bimbingan/konseling yang dilakukan

dengan cara bermain peran untuk memecahkan/mencegah

timbulnya masalah (psikologis) (Musnamar, 1992: 49-51).

d). Psikodrama, yakni bimbingan/konseling yang dilakukan

dengan cara bermain peran untuk memecahkan/mencegah

timbulnya masalah (psikologis).

e). Group teaching, yakni pemberian bimbingan/konseling dengan

memberikan materi bimbingan/konseling tertentu (ceramah)

kepada kelompok yang telah disiapkan. Di dalam bimbingan

pendidikan, metode kelompok ini dilakukan pula secara

klasikal, karena sekolah umumnya mempunyai kelas-kelas

belajar.

a. Metode tidak langsung

Metode tidak langsung (metode komunikasi tidak langsung)

adalah metode bimbingan/konseling yang dilakukan melalui media

komunikasi massa. Hal ini dapat dilakukan secara individual maupun

kelompok, bahkan massal (Musnamar, 1992: 49-51).

1). Metode individual

a). Melalui surat menyurat.

b). Melalui telepon dan sebagainya.


51

2). Metode kelompok / massal

a). Melalui papan bimbingan.

b). Melalui surat kabar / majalah.

c). Melalui brosur.

d). Melalui radio (media audio).

e). Melalui televisi.

Metode dan teknik mana yang dipergunakan dalam melaksanakan

bimbingan atau konseling, tergantung pada:

a. Masalah/problem yang sedang dihadapi/digarap.

b. Tujuan penggarapan masalah.

c. Keadaan yang dibimbing/klien.

d. Kemampuan pembimbing/konselor mempergunakan metode / teknik.

e. Sarana dan prasarana yang tersedia.

f. Kondisi dan situasi lingkungan sekitar.

g. Organisasi dan administrasi layanan bimbingan dan konseling.

h. Biaya yang tersedia (Musnamar, 1992: 49-51).

4. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam

Secara garis besar atau secara umum tujuan Bimbingan dan

Konseling Islam itu dapat dirumuskan sebagai membantu individu

mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan, hal

ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Individu yang


52

dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling,

baik orang perorangan maupun kelompok.

Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan

diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia

yang selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau

kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk

individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya.

Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia bisa

seperti yang tidak dikehendaki yaitu menjadi manusia seutuhnya. Dengan

kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan masalah atau problem,

yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara seharusnya (ideal) dengan

yang senyatanya. Orang yang menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat,

maka yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Bimbingan dan konseling

Islam berusaha membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di

dunia, melainkan juga di akhirat. Karena itu, tujuan akhir bimbingan dan

konseling Islam adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Bimbingan dan Konseling Islam berusaha membantu jangan

sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain

membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan

pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan.

Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi

masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan

masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu memecahkan


53

masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini

merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan

fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik bimbingan.( Musnamar,

1992: 33-34).

5. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam

Dengan memperhatikan tujuan umum dan khusus bimbingan dan

konseling Islam tersebut di atas, dapatlah dirumuskan fungsi (kelompok

tugas atau kegiatan sejenis) dari bimbingan dan konseling Islam itu

sebagai berikut:

a. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah

timbulnya masalah bagi dirinya.

b. Fungsi kuratif atau korektif; yakni membantu individu memecahkan

masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.

c. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan

kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik

(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good).

d. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni membantu individu

memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik

agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak

memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya

(Rahim, 2001: 37-41).

Untuk mencapai tujuan seperti disebutkan di muka, dan sejalan

dengan fungsi-fungsi bimbingan dan konseling Islam tersebut, maka


54

bimbingan dan konseling Islam melakukan kegiatan yang dalam garis

besarnya dapat disebutkan sebagai berikut:

a. Membantu individu mengetahui, mengenal dan memahami keadaan

dirinya sesuai dengan hakekatnya, atau memahami kembali keadaan

dirinya, sebab dalam keadaan tertentu dapat terjadi individu tidak

mengenal atau tidak menyadari keadaan dirinya yang sebenarnya.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa bimbingan dan konseling Islam

"mengingatkan kembali individu akan fitrahnya.

‫ﺒﺪِﻳ ﹶﻞ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ ﻟﹶﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺱ‬


 ‫ﺎ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﻓ ﹶﻄ‬ ‫ﺣﻨِﻴﻔﹰﺎ ِﻓ ﹾﻄ‬ ‫ﻳ ِﻦ‬‫ﻚ ﻟِﻠﺪ‬
 ‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﹶﻓﹶﺄِﻗ‬

(30:‫ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺱ ﻟﹶﺎ‬


ِ ‫ﺎ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ‬ ‫ﻭﹶﻟ ِﻜ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻴ‬ ‫ﻳ‬‫ﻚ ﺍﻟﺪ‬
 ‫ﺨ ﹾﻠ ِﻖ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺫِﻟ‬
 ‫ِﻟ‬

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada


agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar
Rum, 30: 30).

Fitrah Allah dimaksudkan bahwa manusia itu membawa fitrah

ketauhidan, yakni mengetahui Allah SWT Yang Maha Esa, mengakui

dirinya sebagai ciptaanNya, yang harus tunduk dan patuh pada

ketentuan dan petunjukNya. Manusia ciptaan Allah yang dibekali

berbagai hal dan kemampuan, termasuk naluri beragama tauhid

(agama Islam). Mengenal fitrah berarti sekaligus memahami dirinya

yang memiliki berbagai potensi dan kelemahan, memahami dirinya

sebagai makhluk Tuhan atau makhluk religius, makhluk individu,


55

makhluk sosial dan juga makhluk pengelola alam semesta atau

makhluk berbudaya. Dengan mengenal dirinya Sendiri atau mengenal

fitrahnya itu individu akan lebih mudah mencegah timbulnya masalah,

memecahkan masalah, dan menjaga berbagai kemungkinan timbulnya

kembali masalah.

b. Membantu individu menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya,

segi-segi baik dan buruknya, kekuatan serta kelemahannya, sebagai

sesuatu yang memang telah ditetapkan Allah (nasib atau taqdir), tetapi

juga menyadari bahwa manusia diwajibkan untuk berikhtiar,

kelemahan yang ada pada dirinya bukan untuk terus menerus disesali,

dan kekuatan atau kelebihan bukan pula untuk membuatnya lupa diri

(Rahim, 2001: 39). Dalam satu kalimat singkat dapatlah dikatakan

sebagai membantu individu tawakkal atau berserah diri kepada Allah.

Dengan tawakkal atau berserah diri kepada Allah berarti meyakini

bahwa nasib baik buruk dirinya itu ada hikmahnya yang bisa jadi

manusia tidak tahu. Berikut dikemukakan beberapa ayat yang

berkenaan dengan itu, antara lain:

‫ﺌﹰﺎ‬‫ﺷﻴ‬ ‫ﻮﹾﺍ‬‫ﺤﺒ‬
ِ ‫ﺗ‬ ‫ﻰ ﺃﹶﻥ‬‫ﻋﺴ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺮ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﺌﹰﺎ‬‫ﺷﻴ‬ ‫ﻮﹾﺍ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﺗ ﹾﻜ‬ ‫ﻰ ﺃﹶﻥ‬‫ﻋﺴ‬ ‫ﻭ‬ ...
(216:‫ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ ﹶﻻ‬ ‫ﺘ‬‫ﻭﺃﹶﻧ‬ ‫ﻌﹶﻠﻢ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺍﻟﻠﹼ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ ﱠﻟ ﹸﻜ‬‫ﺷﺮ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﻫ‬
Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu dan boleh jadi juga kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Baqarah, 2 :
216).
56

‫ﻑ‬
 ‫ﻮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺑ ِﻪ‬‫ﺭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ ﻋِﻨ‬‫ﻩ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ ﹶﺃ‬‫ﻦ ﹶﻓﹶﻠﻪ‬ ‫ﺴ‬
ِ‫ﺤ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ ِﻟﹼﻠ ِﻪ‬‫ﻬﻪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳﹶﻠ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺑﻠﹶﻰ‬
(216:‫ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﺰﻧ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬
Artinya: (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan
din kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Q.S. Al Baqarah, 2 : 112).

‫ﺮﻛﹸﻢ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﻨ‬‫ﻦ ﺫﹶﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻳ‬‫ﻢ ﹶﻓﻤ‬ ‫ﺨ ﹸﺬﹾﻟ ﹸﻜ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﻭﺇِﻥ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺐ ﹶﻟ ﹸﻜ‬
 ‫ﻼ ﻏﹶﺎِﻟ‬
‫ﻪ ﹶﻓ ﹶ‬ ‫ﻢ ﺍﻟﻠﹼ‬ ‫ﺮ ﹸﻛ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﻨ‬‫ﺇِﻥ ﻳ‬
(160:‫ﻮ ﹶﻥ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻮ ﱢﻛ ِﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﹶﻓ ﹾﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻌ ِﺪ ِﻩ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬‫ﻣ‬
Artinya: Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang
dapat mengalahkanmu. Jika Allah membiarkanmu (tidak
memberi pertolongan), siapakah gerangan yang dapat
menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu
hendaklah kepada Allah sajalah orang-orang mukmin
bertawakkal. (Q.S. Ali lmran, 3 :160).

‫ﺠﺮِﻱ ﻣِﻦ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻓﹰﺎ‬‫ﻨ ِﺔ ﹸﻏﺮ‬‫ﺠ‬


 ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻮﹶﺋ‬ ‫ﺒ‬‫ﻨ‬‫ﺕ ﹶﻟ‬
ِ ‫ﺎ‬‫ﺎِﻟﺤ‬‫ﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﻭﺍﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ﻭﺍ‬‫ﺒﺮ‬‫ﺻ‬
 ‫ﻦ‬ ‫{ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬58} ‫ﲔ‬  ‫ﺎ ِﻣِﻠ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﺟﺮ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺎ ِﻧ‬‫ﻦ ﻓِﻴﻬ‬ ‫ﺎِﻟﺪِﻳ‬‫ﺭ ﺧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻬ‬‫ﺎ ﺍﹾﻟﹶﺄ‬‫ﺤِﺘﻬ‬
 ‫ﺗ‬
(59-58 :‫ﻮ ﱠﻛﻠﹸﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺕ‬ ‫ﺘ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺑ ِﻬ‬‫ﺭ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻭ‬
Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh
sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-
tempat yang tinggi di dalam syurga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal,
yaitu yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya
(Q..S. Al Ankabut, 29: 58- 59).

c. Membantu individu memahami keadaan (situasi dan kondisi) yang

dihadapi saat ini. Kerapkali masalah yang dihadapi individu tidak

dipahami si individu itu sendiri, atau individu tidak merasakan/ tidak


57

menyadari bahwa dirinya sedang menghadapi masalah, tertimpa

masalah. Bimbingan dan konseling Islam membantu individu

merumuskan masalah yang dihadapinya dan membantunya

mendiagnosis masalah yang sedang dihadapinya itu. Masalah bisa

timbul dari bermacam faktor. Bimbingan dan konseling Islam

membantu individu melihat faktor-faktor penyebab timbulnya masalah

tersebut. Allah berfirman:

‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬‫ﺣ ﹶﺬﺭ‬ ‫ﻢ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻭﹰﺍ ﱠﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻋﺪ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﻟﹶﺎ ِﺩ ﹸﻛ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍ ِﺟ ﹸﻜ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ِﻣ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻦ ﺁ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻳ‬
‫ﺎ‬‫ﻧﻤ‬‫{ ِﺇ‬14} ‫ﻢ‬ ‫ﺭﺣِﻴ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪ ﹶﻏﻔﹸﻮ‬ ‫ﻭﺍ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ‬‫ﻐ ِﻔﺮ‬ ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﻮﺍ‬‫ﺼ ﹶﻔﺤ‬  ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﻌﻔﹸﻮﺍ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭﺇِﻥ‬
(15-14:‫ﻢ )ﺍﻟﺘﻐﺎﺑﻦ‬ ‫ﻋﻈِﻴ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺟ‬ ‫ ﹶﺃ‬‫ﺪﻩ‬ ‫ ﻋِﻨ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻨ ﹲﺔ ﻭ‬‫ﺘ‬‫ﻢ ِﻓ‬ ‫ﺩ ﹸﻛ‬ ‫ﻭﻟﹶﺎ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺍﹸﻟ ﹸﻜ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﹶﺃ‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara
isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan
jika kamu memaafkan dan tak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu, dan anak-
anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan disisi Allah-lah
pahala yang besar. (Q.S.At Tagabun, 64:14-15).

‫ﻦ‬ ‫ﺮ ِﺓ ِﻣ‬ ‫ﻤﻘﹶﻨ ﹶﻄ‬ ‫ﺎ ِﻃ ِﲑ ﺍﹾﻟ‬‫ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻨ‬‫ﲔ ﻭ‬


 ‫ﺒِﻨ‬‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺎﺀ ﻭ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﺕ ِﻣ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﻬﻮ‬ ‫ﺸ‬  ‫ ﺍﻟ‬‫ﺣﺐ‬ ‫ﺱ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﻦ ﻟِﻠﻨ‬ ‫ﻳ‬‫ﺯ‬
‫ﻉ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻣﺘ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺙ ﹶﺫِﻟ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﺎ ِﻡ ﻭ‬‫ﻧﻌ‬‫ﺍ َﻷ‬‫ﻣ ِﺔ ﻭ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻴ ِﻞ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﺨ‬
 ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻀ ِﺔ ﻭ‬
 ‫ﺍﹾﻟ ِﻔ‬‫ﺐ ﻭ‬
ِ ‫ﻫ‬ ‫ﺍﻟﺬﱠ‬
(14 :‫ﺏ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬ ِ ‫ﺂ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﻤ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺪﻩ‬ ‫ﻪ ﻋِﻨ‬ ‫ﺍﻟﻠﹼ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻧﻴ‬‫ﺪ‬ ‫ﺎ ِﺓ ﺍﻟ‬‫ﺤﻴ‬
 ‫ﺍﹾﻟ‬
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-
anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
58

kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat


kembali yang baik (syurga). (Q.S. Ali Imran, 3 :14).

(20 :‫ﻤﹰﺎ )ﺍﻟﻔﺠﺮ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺒﹰﺎ‬‫ﺎ ﹶﻝ ﺣ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟﻤ‬‫ﺤﺒ‬


ِ ‫ﺗ‬‫ﻭ‬
Artinya: Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan. (Q. S Al-Fajr.89:20).

Sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat di atas, ternyata

banyak bentuknya. Tetapi intinya adalah hendaknya ada keselarasan

antara dunia dan akhirat, antara kebutuhan keduniaan dengan mental

spiritual (ukhrawi).

Dengan memahami keadaan yang dihadapi dan memahami

sumber masalah, individu akan dapat lebih mudah mengatasi

masalahnya tersebut.

d. Membantu individu menemukan alternatif pemecahan masalah.

Bimbingan dan konseling Islam, pembimbing atau konselor, tidak

memecahkan masalah, tidak menentukan jalan pemecahan masalah

tertentu, melainkan sekedar menunjukkan alternatif yang disesuaikan

dengan kadar intelektual ("qodri 'aqli") masing-masing individu

Anda mungkin juga menyukai