Mahfud
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Email : mahfud.abdullah@yahoo.co.id.
Naskah diterima : 05/05/2013; direvisi : 08/06/2013; disetujui : 09/07/2013
Abstract
The violation on the law of war and human right regulations may cause foreign (international)
intervention on every war violations, if violating country does not implement the law enforcement
for the violating criminal. The international interventions to punish the violating actor (of the
law of war and of human right) happening in a military conflict will occur if the national court
of the country is unwilling and unable to punish the prisoner of war .
Key word ; The Violation of the Law of War and Human Right, War Criminal
Abstrak
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum perang dan HAM memungkinkan
akan munculnya intervensi asing (internasional) atas setiap pelanggaran perang yang
terjadi, apabila negara yang melakukan pelanggaran tersebut tidak melakukan upaya
hukum terhadap pihak yang ikut bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut. Munculnya
intervensi internasional untuk mengadili para pelaku tersebut (pelanggar Hukum perang/
HAM) yang terjadi dalam suatu konflik bersenjata di suatu negara akan muncul, apabila
mahkamah nasional dari negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) dan tidak mampu
(unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud.
Kata kunci : Pelanggaran Hukum Perang dan HAM, Kejahatan Perang.
sama sekali tidak turut bertempur, yaitu umnya dalam segala keadaan. Hal ini seb-
penduduk sipil. HAM tidak ada dalam sen- agaimana diatur dalam Pasal 1 dan 2 Kon-
gketa bersenjata karena fungsinya diam- vensi Jenewa 1949 yang menyatakan :
bil oleh hukum humaniter, tetapi terbatas
Pasal 1 ”Pihak Peserta Agung berjanji
pada golongan tertentu saja. Hal ini dimak-
untuk menghormati dan menjamin
sud untuk memperkuat kewajiban negara
penghormatan dalam segala keadaan”.
peserta untuk mengambil tindakan-tinda-
Sedangkan Pasal 2 mengenai berlakunya
kan untuk memberantas setiap dari pelang-
konvensi menyatakan dalam paragrap
garan-pelanggaran ketentuan konvensi dan
1 bahwa: “..Konvensi ini akan berlaku
menegaskan tanggungjawab negara peserta
untuk semua peristiwa perang yang
atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan
diumumkan atau setiap pertikaian
oleh anggota angkatan perangnya. Keten-
bersenjata (armed conflict) lainnya
tuan ini sebagaimana terdapat dalam Pasal
yang mungkin timbul antara dua atau
49 dan 50.77 Tanggungjawab negara disini
lebih pihak penandatangan, sekalipun
adalah hukum mengenai kewajiban negara
keadaan perang tidak diakui oleh
yang timbul manakala negara telah atau
salah satu di antara mereka” (kursip
tidak melakukan suatu tindakan.
periulis).99
Menurut Professor Higgins, hukum
Dari ketentuan Pasal di atas, dapat dis-
tentang tanggungjawab negara tidak lain
impulkan adanya legitimasi bahwa keten-
adalah hukum yang mengatur akuntabili-
tuan hukum humaniter bekolerasi dengan
tas (accountability) terhadap suatu pelang-
nilai-nilai HAM dan berlaku bagi setiap
garan hukum internasional. Jika suatu
pertikaian bersenjata (armed conflict), se-
negara melanggar suatu kewajiban interna-
hingga memunculkan tanggungjawab baik
sional, negara tersebut bertanggungjawab
negara maupun individu untuk bertang-
(responscibility) untuk pelanggaran yang
gungjawab atas segala pelangaran berat dari
dilakukannya. Penggunaan istilah akunt-
setiap ketetuan konvensi. Dasar Pasal ini
abilitas disamping tanggungjawab. Dikare-
pulalah yang dapat dijadikan alasan pem-
nakan istilah akuntabilitas mempunyai dua
benar untuk menghukum dan meminta
pengertian. Pertama, istilah tersebut berarti
pertanggungjawaban baik negara maupun
negara memiliki kemampuan mental (men-
invidu atas pelangaran perang yang telah
tal capacity) untuk menyadari apa yang
dilakukanya.
dilakukannya. Kedua, kata tersebut berarti
terdapat tanggungjawab (liability) untuk Ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa
tindakan negara yang melanggar hukum in- 1949 juga tidak hanya mengatur mengenai
ternasional (internationally wrongful behav- kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi
iour) dan bahwa tanggungjawab tersebut juga mengatur tentang hak orang peroran-
harus dilaksanakan.88) gan sebagai pihak yang dilindungi. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 tentang
Secara harfiah dalam keempat Konvensi
ketentuan yang bersamaan pada Keempat
Jenewa yang mengatur tentang hukum
Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan
humaniter, ada kewajiban bagi pihak yang
setiap negara peserta untuk menghormati
terlibat dalam suatu konflik bersenjata un-
peraturan-peraturan dasar kemanusiaan
tuk menghormati ketentuan-ketentuan
pada sengketa bersenjata yang tidak bersi-
yang mengatur tentang perang pada um-
fat internasional. Dengan demikian, maka
7
Lihat Pasal 49 dan 50 Konvensi Jenewa 1949. Pasal 3 ini mengatur hubungan antara
8
Rosalyn Higgins, Problems and Proces : Internatio-
nal Law and How We Use It, Oxford: Clarendon Press, 9
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Pa-
1994. hlm. 146. lang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm 18-19.
pemerintah dengan warga negaranya, yang merupakan hak dasar bagi setiap orang,
berarti mencakup bidang tradisional dari setiap waktu dan berlaku di segala tem-
HAM.10 Pelangaran terhadap ketentuan ini pat. Jadi hak asasi manusia merupakan
bisa memunculkan intervensi asing guna genus dan hukum humaniter merupakan
melaksanakan eksekusi penghukuman ter- speciesnya, karena hanya berlaku untuk
hadap pihak yang ikut bertanggung jawab golongan tertentu dan dalam keadaan ter-
atas pelangaran-pelangaran nilai-nilai kem- tentu pula.
anusiaan dalam suatu konflik bersenjata.
2.
Hukum Humaniter Internasional me
Kesadaran akan adanya hubungan HAM rupakan dasar dari Hak Asasi Manusia,
dan hukum humaniter baru terjadi pada dalam arti bahwa hak asasi manusia meru-
akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini ma- pakan bagian dari hukum humaniter.
kin meningkat dengan terjadinya berbagai Pendapatinididasarkanpadaalasanbahwa
sengketa bersenjata, seperti dalam perang hukum humaniter lahir lebih dahulu dari-
kemerdekaan di Afrika dan di berbagai pada hak-hak asasi manusia. Jadi secara
belahan dunia lainnya yang menimbulkan kronologis, hak asasi manusia dikembang-
masalah, baik dari segi hukum humaniter kan setelah hukum humaniter interna-
maupun dari segi HAM. Konferensi inter- sional.
nasional mengenai HAM yang diselengga-
b. Aliran Separatis
rakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968
secara resmi menjalin hubungan antara Aliran separatis melihat Hak Asasi Ma-
HAM dan Hukum Humaniter Internasion- nusia dan Hukum Humaniter Internasional
al (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 sebagai sistem hukum yang sama sekali ti-
Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM dak berkaitan, karena keduanya berbeda.
pada waktu pertikaian bersenjata”, me- Perbedaan kedua sistem tersebut terletak
minta agar konvensi-konvensi tentang per- pada :
tikaian bersenjata diterapkan secara lebih
sempurna dan supaya disepakati perjanjian 1. Obyeknya Hukum Humaniter Interna-
baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendo- sional mengatur sengketa bersenjata
rong PBB untuk menangani pula HHI. antara negara dengan kesatuan (entity)
lainnya; sebaliknya hak asasi manusia
Dalam kepustakaan ada 3 (tiga) aliran mengatur hubungan antara pemerintah
berkaitan dengan hubungan hukum hu- dengan warga negaranya di dalam negara
maniter internasional: tersebut.
a. Aliran Integrationis 2. Sifatnya Hukum Humaniter Internasi-
onal bersifat mandatory a political serta
Aliran integrationis berpendapat bahwa
peremptory.
sistem hukum yang satu berasal dari hu-
kum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 3. Saat berlakunya Hukum Humaniter Inter-
(dua) kemungkinan, yaitu : nasional berlaku pada saat perang atau
masa sengketa bersenjata, sedangkan hak
1. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi
asasi manusia berlaku pada saat damai.
hukum humaniter internasional, dalam
Salah seorang dari penganut teori ini
arti bahwa hukum humaniter merupakan
adalah Mushkat, yang menyatakan bahwa
cabang dari hak asasi manusia. Pendapat
secara umum dapat dikatakan bahwa hu-
ini antara lain dianut oleh Robertson, yang
kum humaniter itu berhubungan dengan
menyatakan bahwa hak asasi manusia
akibat dari sengketa bersenjata antar nega-
ra, sedangkan hak asasi manusia berkaitan
10
Lihat Pasal 3 Konvensi jenewa 1949.
pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak flik bersenjata baik internasional maupun
asasi atau “hard core rights” tetap berlaku non internasional. Karena pada umumnya
sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. dalam suatu konflik atau sengketa yang
Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada demikian nilai-nilai kemanusiaan sering
keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah terabaikan. Sehingga penghormatan terha-
yang berasal dari instrumen-instrumen hak dap nilai-nilai hakiki HAM seorang anak
asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang manusia itu sering terbaikan dalam suatu
berasal dari instrumen-instrumen hukum konflik yang terjadi tersebut.12
humaniter internasional. Keduanya tidak
Upaya untuk mengurangi timbulnya ko-
hanya mengatur hubungan diantara negara
rban dan kerugian kalau pun perang ter-
dengan negara dengan menetapkan hak-
jadi tampak dari berkembangnya konsep
hak dan kewajiban mereka secara timbal
(dan praktik kebiasaan) tentang apa yang
balik. Selain hal tersebut, terdapat pula per
boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam
samaan antara Hukum Hak Asasi Manusia
perang. Aturan-aturan tentang bagaimana
dan Hukum Humaniter
melakukan perang ini disebut sebagai jus ad
bellum dan jus in bello.13 Apabila ditelusuri
PEMBAHASAN berdasarkan sentrum perkembangannya,
A. Legalitas Munculnya Intervensi Asing akan didapati bahwa hukum humaniter in-
Atas Pelangaran HAM Dalam Suatu Kon- ternasional selama ini telah menempuh tiga
flik Bersenjata jalur yang semuanya bermuara pada tujuan
humanization of war.
Sejarah mencatat bahwa sulit menemu-
kan suatu negara yang tidak pernah terlibat Jalur yang pertama adalah melalui upaya
dalam perang karena perang itu merupakan mengatur cara berperang dan sarana yang
tingkah laku sosial yang muncul pada ham- diperbolehkan dalam peperangan (conduct
pir semua bangsa dalam mencapai tujuan- of war and permissible means of war), yang
tujuan geopolitiknya, dan lebih jauh lagi dalam diskursus tentang hukum human-
bahwa perang sesungguhnya suatu bentuk iter internasional kemudian lazim dikenal
tingkah laku yang hanya dapat ditemukan dengan nama Hukum Den Haag (The Law
di dalam lingkungan manusia yang menge- of The Hague). Jalur kedua, yang dikenal
nal kehidupan bernegara. Hal ini juga kare- dengan nama Hukum Jenewa (The Law of
na manusia sebagai mahluk bermasyarakat Geneva) merupakan upaya yang lebih diti-
yang hidup dalam suatu masyarakat besar tikberatkan pada pengaturan kondisi kor-
dan negara yang selalu menghadapi berb- ban perang (condition of war victims). Jalur
agai tantangan dan salah satu cara untuk 12
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Adita-
mempertahankan diri dari tantangan terse- ma, Bandung, 2001, hlm 78.
but adalah melalui berperang.11
13
Jus ad bellum sebenarnya telah muncul sejak masa
berabad-abad yang lalu melalui konsep “perang yang
adil” (just war/bellum justum). St. Agustinus misalnya,
Oleh karena itu di butuhkan suatu aturan meskipun tidak secara sistematik membicarakan ten-
hukum, yaitu “Hukum Perang” yang terdiri tang perang yang adil, telah mulai menyinggung gagasan
tentang dalam keadaan bagaimana orang boleh mengu-
dari sekumpulan pembatasan oleh hukum nakan perang yang adil. Sedangkan Jus in bello aturan-
internasional dalam mana kekuatan yang aturan tentang bagaimana perang harus dilakukan dan
telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Jus in
diperlukan untuk mengalahkan musuh bello inilah yang secara tradisional dikenal sebagai hu-
boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang kum perang (the law in war), yang dimaksudkan untuk
mengatur perlakuan terhadap individu- memanusiawikan perang melalui pengaturan cara ber-
perang dan sarana yang diperbolehkan dalam peperan-
individu pada saat berlangsungnya kon- gan (conduct of war and permissible means of war), serta
menjamin kondisi korban perang (conditions of war
11
E. Koswara, Agresi Manusia, PT Eresco, Ban- victims), Lihat F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional,
dung, 1988, hlm 151. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994, hlm 104.
ketiga yang oleh Kalshoven & Zegveld dise- MU meminta Sekjen PBB dalam kon-
but sebagai “The Current of New York” meru- sultasi dengan ICRC untuk melakukan stu-
pakan upaya yang terutama dilakukan oleh di sebagaimana diminta oleh Deklarasi Te-
PBB sejak dasawarsa 1960-an dan 1970-an, heran. Belakangan, The Current of New York
untuk meletakkan norma-norma yang me- ini melahirkan mekanisme-mekanisme per-
nitikberatkan pada sisi HAM dari konflik tanggungjawaban pidana pelaku pelangga-
bersenjata.14 ran hukum perang serta pelanggaran HAM
melalui pembentukan ICTY (International
Sebagian besar penulis pada umumnya
Criminal Tribunal for the Former Yugosla-
hanya membuat kategori Hukum Den Haag
via), ICTR (International Criminal Tribu-
dan Hukum Jenewa terhadap substansi hu-
nal for Rwanda), serta ICC (International
kum humaniter internasional. Namun, se-
Criminal Court.15
lain dua kategori di atas, Kalshoven & Ze-
gveld mengintroduksi satu kategori norma Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa
lagi yang mereka sebut sebagai ”Aliran New munculnya intervensi internasional untuk
York” (The Current of New York) yang me- mengadili para pelaku pelangar HAM yang
nitikberatkan pada aspek HAM dalam per- terjadi dalam suatu konflik besenjata di
tikaian bersenjata. Kalshoven & Zegveld suatu negara akan muncul, apabila mahka-
mencatat bahwa ada dua isu yang menarik mah nasional dari negara yang bersangku-
perhatian PBB, yang kemudian meletak- tan tidak mau (unwilling) dan tidak mampu
kan dasar bagi perkembangan “Aliran New (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-
York”. Isu yang pertama menyangkut peng- kejahatan yang dimaksud. Ini berarti apa-
hukuman penjahat penjahat Perang Dunia bila terjadi suatu kejahatan yang termasuk
II, sedangkan isu yang kedua menyangkut dalam kejahatan internasional,16 si pelaku
persoalan senjata atom. harus diadili dahulu oleh mahkamah nasi-
onalnya. Apabila mahkamah nasional tidak
Perhatian PBB terhadap isu pemidan-
mau dan atau tidak mampu mengadili si
aan penjahat perang kemudian diwujudkan
pelaku, maka barulah pihak internasional
dalam Resolusi MU (Majelis Umum) PBB
akan menjalankan fungsinya untuk men-
No. 95 (I) Tahun 1946, yang menegaskan
gadili si pelaku kejahatan yang bersangku-
prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh
tan.17
Mahkamah Nuremberg (the Nuremberg
Principles). Perhatian PBB terhadap per-
soalan hukum perang menemukan momen
yang penting ketika pada tahun 1968 dike- 15
Ibid, hlm 76-77.
luarkan Deklarasi Teheran yang memin- 16
Adapun yang dimaksud dengan kejahatan interna-
sional adalah kejahatan yang diangap oleh masyarakat in-
ta MU PBB memerintahkan Sekjen PBB ternasional sebagai perbuatan jahat. Penentuan kejahatan
melakukan studi untuk menjamin penera- internasional yang dikalifikasikan sebagai kejahatan in-
ternasional dilakukan atas dasar suatu kebiasaan yang ter-
pan yang lebih baik dari konvensi-konven- pelihara atas kebiasaan negara-negara. Pada titik tertentu
si hukum humaniter yang telah ada, serta kebiasaan ini dapat menjadi hukum kebiasaan internasi-
penerapan aturan-aturan hukum perang. onal. Hukum kebiasaan internasional yang menentukan
kejahatan internasional dalam proses selanjutnya kerap
Melalui Resolusi MU PBB No. 2444 (XXIII) dikodifikasikan dan dituangkan dalam perjanjian inter-
tahun 1968 yang berjudul Respect for Hu- nasional. Hikmahanto Juwana, Konsep Tanggungjawab
Pimpinan Dalam Hukum Pidana Internasional, Indonesia
man Rights in Armed Conflict. Journal of International Law, Jurnal Hukum Indonesia,
Fakulatas Hukum Universitas Indonesia, Volume 1 No-
mor 4 Juli Tahun 2004, hlm 736-737.
17
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional
Mengadili : Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanu-
14
Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah siaan, Kejahatan Perang, Agresi, Penerbit Lembaga Studi
Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2000, hlm
hlm 72-73. xviii.
Apabila kita perhatikan, yurisdiksi in- yang sama menyatakan bahwa: “Tanpa men-
ternasional terhadap kejahatan interna- gurangi penerapan Konvensi-konvensi dan
sional yang terjadi dalam suatu konflik Protokol ini, pelanggaran berat dari ke dua
bersenjata,18) maka kita akan mendapatkan perjanjian tersebut harus dianggap sebagai
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan kejahatan-kejahatan perang”. Jadi, dapat di-
dan HAM ini juga diatur dalam hukum simpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran
humaniter. Ini dapat dilihat dalam Kon- berat (grave breaches) yang dicantumkan,
vensi Jenewa 1949 di mana kejahatan per- baik dalam Konvensi Jenewa 1949 maupun
ang atau kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Protokol Tambahan 1977 dapat di-
ini diistilahkan dengan pelanggaran berat anggap sebagai kejahatan perang.20
(grave breaches), sebagaimana diatur dalam
Ketentuan dari Pasal-Pasal ini dapat di-
Pasal 50 Konvensi I :
jadikan sebagai alasan hukum, bahwa pi-
“Pelanggaran-pelanggaran berat (grave hak internasional (negara/PBB) dapat turut
breaches) yang dimaksudkan oleh Pas- campur melalui mekanisme internasional
al yang terdahulu ialah pelanggaran- pada umumnya untuk menghukum setiap
pelanggaran yang meliputi perbuatan- individu yang ikut bertanggungjawab atas
perbuatan berikut, apabila dilakukan setiap pelangaran perang yang terjadi. Hal
terhadap orang atau milik yang dilind- ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3
ungi oleh Konvensi : pembunuhan disen- tentang Pelanggaran Berat dan Pelanggaran
gaja, penganiayaan atau perlakuan tak Hukum dan Kebiasaan Perang dari Konven-
berperikemanusiaan, termasuk percobaan si Jenewa 1949 yang menyatakan bahwa:
biologis, menyebabkan dengan sengaja
”Mahkamah Internasional harus memi-
penderitaan besar atau luka berat atas
liki kewenangan untuk mengadili orang-
badan atau kesehatan, serta pembina-
orang yang melakukan atau menyuruh
saan yang luas dan tindakan pemilikan
melakukan pelanggaran-pelanggaran
atas harta benda yang tidak dibenarkan
berat dari Konvensi Jenewa 1949, yaitu
oleh kepentingan militer dan yang dilak-
tindakan-tindakan yang ditujukan ke-
sanakan dengan melawan hukum”.19
pada orang-orang atau obyek-obyek yang
Selain dalam Pasal 50 tersebut di atas, dilindungi menurut Konvensi-konvensi Je-
pelanggaran berat juga diatur di dalam Pasal newa yang relevan sebagai berikut :
85 Protokol Tambahan I tahun 1977. Perlu
(a)Pembunuhan yang disengaja;
dikemukakan aturan yang terdapat di dalam
ayat (1) dari Pasal 85 tersebut, yaitu seb- (b)Penganiayaan atau perlakuan yang
agai berikut :”Ketentuan-ketentuan dalam tidak manusiawi, termasuk perco-
Konvensi yang mengatur mengenai penghu- baan bilogis;
kuman atas pelanggaran serta pelanggaran (c)Dengan sengaja mengakibatkan pen-
berat, yang dilengkapi di dalam Bagian ini, deritaan yang luar biasa atau luka-lu-
harus diterapkan pula sebagai hukuman bagi ka yang serius pada kesehatan tubuh
pelanggaran dan pelanggaran berat pada Pr- atau kesehatan manusia;
otokol”. Di samping itu, ayat (5) dari Pasal
(d)Perusakan secara besar-besaran dan
18
Hingga saat ini yang dianggap sebagai kejahatn in- pemilikan harta benda yang tidak
ternasional adalah, kejahatan bajak laut dan empat jenis
kejahatan yang termaktub dalam statuta pendirian mah- dapat dibenarkan oleh kepentingan
kamah internasional yaitu kejahatan genosida (geno-
side), kejahaan terhadap kemanusiaan (crimes againt 20
KGPH. Haryomataram, Masalah ”Kejahatan Per-
humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahat- ang”, ”Penjahat Perang”, dan Penganan ” Penjahat Per-
an melancarkan perang agresi (the crimes of aggression) ang”, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1 No. 1 Juli 2005,
Hikmahanto Juwana, ibid. Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hu-
19
Bunyi Pasal 50 Konvensi Konvensi Jenewa I 1949. kum Universitas Trisakti, hlm 217-218.
militer serta dilaksanakan secara (e) penjarahan atas harta benda milik
tidak sah dan keji; publik maupun milik masyarakat:”21
(e)Memaksa seorang tawanan perang Apabila kita perhatikan, yurisdiksi
atau penduduk sipil untuk bekerja dari Mahkamah tersebut, maka kita akan
pada angkatan bersenjata negara mu- mendapatkan bahwa istilah kejahatan per-
suh; ang tidak terdapat di dalamnya. Sebagai
(f)Dengan sengaja mengurangi hak- gantinya, untuk menunjukkan adanya
hak seorang tawanan perang atau kejahatan-kejahatan yang sama, maka hal
orang sipil atas kesamaannya di tersebut diwujudkan dalam bentuk uraian
muka hukum; sebagai berikut :
dari negara yang bersangkutan tidak mau yang dimaksud. Ini berarti apabila terjadi
(unwilling) dan tidak mampu (unable) un- suatu kejahatan yang termasuk dalam keja-
tuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan hatan internasional.
Daftar Pustaka
1. Buku-buku dan jurnal
Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan
Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.
Boer Mauna, Hukum International Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2000.
Dinstein, Yoram, War, Aggression and Self Deffence, Grotius
Publications Cambridge University Press, New York, 1995.
E. Koswara, Agresi Manusia, PT Eresco, Bandung, 1988.
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 1994.
Gray, Cristine, International Law and The Use of Force, OXFORD
University Press, New York, 2000.
Harris, DJ, Casses and Materials on International Law, Sweet and
Maxwell, London, 1998.
Hikmahanto Juwana, Konsep Tanggungjawab Pimpinan Dalam
Hukum Pidana Internasional, Indonesia Journal of
International Law, Jurnal Hukum Indonesia, Fakulatas
Hukum Universitas Indonesia, Volume 1 Nomor 4 Juli
Tahun 2004.
Kaczorowska, Public International Law, Old bailey Press, London,
2002.
KGPH. Haryomataram, Masalah ”Kejahatan Perang”, ”Penjahat
Perang”, dan Penganan ” Penjahat Perang”, Jurnal Hukum
Humaniter Vol.1 No. 1 Juli 2005, Pusat Studi Hukum
Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi palang Merah Tahun
1949, Binacipta, Bandung, 1986.
Small, Melvine, dan Singer, David J, The History of lnternational War,
dalam International War, an Onthology and Study Guide,
Dorsey Press, Illinois, 1985.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika
Aditama, Bandung, 2000.
Rosalyn Higgins, Problems and Proces : International Law and How We
Use It, Oxford: Clarendon Press, 1994.
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung,
2001.
2. Sumber Lain
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional Mengadili : Genosida,
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang,
Agresi, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Jakarta, 2000, hlm xviii.
Konvensi Konvensi Jenewa I 1949 tentang Pelanggaran Berat dan
Pelanggaran Hukum dan Kebiasaan Perang.