Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KELOMPOK

ANALISIS PERMASALAHAN PERUSAHAN BESAR YANG PERNAH


TERSANDUNG KASUS YANG MASIH TETAP EKSIS DAN
PENYELESAIANYA

Disusun Oleh:
1. Rahmad Sagaf Ramadhan
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum antara dua
pihak dimana satu pihak itu ada hak dan dipihak lain ada kewajiban. Dengan
berpegang pada perumusan seperti itu, maka di dalamnya termasuk semua
hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam  lapangan hukum
kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan yang lain ada kewajiban. Ada berbagai
macam-macam perikatan: Perikatan bersyarat, Perikatan yang digantungkan pada
suatu ketetapan waktu, Perikatan yang membolehkan memilih, Perikatan tanggung
menanggung, Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, Perikatan
tentang penetapan hukuman.

Sebagai contoh, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan


PT.KSE dalam memesan peralatan mesin traktor dan peralatan kebun lainnya.
Namun peralatan mesin perkebunan itu telah rusak setelah dipakai beberapa bulan.
PT.KSE menuding perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak perbaikan mesin
perkebunan mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1
tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru
dipakai selama 3 bulan, akan tetapi PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di
luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena
kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak PT.KSE naik pitam sehingga kasus
ini di bawa ke pengadilan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Permasalahan apa yang terjadi antara PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan
PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy)?
2. Bagaimana penyelesaian kasus tersebut?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui dasar atau permasalahan antara PT. GPU (Gorby Putra Utama)
dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy).
2. Mengetahui penyelesaian dan akhir permasalahan atau kasus tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KRONOLOGI KASUS

Kasus antara PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia
Energy) PT.GPU salah satu perusahaan peralatan yang menyediakan peralatan
kebutuhan perkebunan tersandung masalah dengan PT.KSE. Kasus ini muncul saat
keduanya menjalin kerjasama pada bulan maret 2012. Kala itu, PT.KSE memesan
peralatan mesin traktor dan peralatan kebun lainnya dari PT.GPU, kemudian pada
bulan  mei tahun 2012 peralatan mesin perkebunan itu datang secara bertahap dan
pada bulan juni 2012 pemesan peralatan mesin perkebunan itu usai atau telah tuntas.

Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 september 2012 peralatan
mesin perkebunan itu telah rusak setelah dipakai beberapa bulan. PT.KSE menuding
perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak perbaikan mesin perkebunan mereka
yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1 tahun. Saat itu PT.KSE
meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai selama 3 bulan, akan
tetapi PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam
kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang
membuat pihak PT.KSE naik pitam. Pada bulan desember 2012 PT.KSE pun
menggugat ke PT.GPU dengan ganti rugi sebesar US$ 5 juta atau sekitar Rp 76 miliar
ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui
jalan buntu.

Dengan dasar itu, pada maret 2013 PT.KSE mengalihkan gugatannya ke


Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu
ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, PT.GPU memiliki hutang perawatan
mesin perkebunan milik PT.KSE sejak Agustus 2011, dan tiba-tiba di tengah
transaksi perjanjian tersebut PT.GPU memutuskan secara sepihak beberapa kontrak
perjanjian perbaikan dan pembelian peralatan perkebunan, padahal peralatatan
perkebunan itu sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak PT.KSE
mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak
tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak
awal 2012. Tapi tak kunjung dilunasi oleh PT.GPU hingga pertengahan tahun 2012.

Pada mulanya pihak PT.KSE tidak ingin memperkeruh permasalahan ini


mengingat hubungan antara PT.KSE dan PT.GPU sangat baik, namun setelah
dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak PT.KSE dengan cara mendatangi
pihak PT.GPU di kantor PT.KSE, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari
PT.GPU. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh PT.KSE dengan
membawa perkara peralatan mesin perkebunan itu ke pengadilan bisa berbanding
terbalik dengan perlakuan PT.GPU yang ingin menyelesaikan perkara hutang
PT.KSE dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak
PT.KSE bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan
kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.

Menurut Sugeng “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan yang menyediakan


peralatan perkebunan, telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan
didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien
yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan oleh pihak
PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak
PT.KSE”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum PT.KSE akan
menggugat PT.GPU ke pengadilan, begitulah, PT.GPU benar-benar dalam keadaan
siaga saat.
B. ANALISIS KASUS

Perseteruan yang terjadi antara PT.GPU milik perusahaan ternama di bidang


peralatan perkebunan dengan PT.KSE tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:

1. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan
transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2. Pihak PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU
sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3. Pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan peralatan
mesin perkebunan, padahal peralatan perkebunan sudah selesai dikerjakan dan siap
untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh
PT.KSE.
4. Pembayaran hutang perawatan oleh pihak PT.GPU yang melampaui tempo yang
diperjanjikan.

Sebelum menganalisis poin-poin di atas yang akan dihubungkan dengan


pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan dipaparkan mengenai
pengertian perjanjian yang sesuai dengan Pasal 1313 B.W, yang berbunyi, ”Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Dalam Pasal 1313 B.W dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pasal ini
menurut pakar hukum perdata (pada umumnya) bahwa definisi perjanjian terdapat di
dalam ketentuan di atas tidak lengkap karena hanya bersifat sepihak saja, kata
perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas, dan
tanpa menyebut tujuan, akan tetapi berdasarkan alasan tersebut perjanjian dapat
dirumuskan, yaitu perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh
pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan
i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-
pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan
pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah adanya
permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak.

Asas-asas tersebut antara lain:

1. Asas Kebebasan Berkontrak


2. Asas Pacta Sunt Servanda
3. Asas Konsesualisme

Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena
asas ini merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan bagi
terciptanya kepastian hukum. Ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegang
adalah ucapannya, adalah suatu tuntutan kesusilaan dan memanglah benar bahwa
kalau orang ingin dihormati sebagai manusia, ia harus dapat dipegang perkataannya
namun hukum yang harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan
dalam masyarakat, memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya Kepastian
Hukum. Asas konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan asas
universil, dalam B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1): Semua perjajian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dengan istilah “semua” maka pembuat undang-undang menunjukkan
bahwa perjanjian yang dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian
bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah “secara sah”
pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus
menurut. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah
mengikat, maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal
1320) KUH Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai
kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini juga akan
tersimpulkan bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan
dalam Pasal 1320 B.W untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek pejanjian, sedangkan kedua syarat yang terakhir disebutkan
syarat objektif, karena mengenai objek dari perjanjian akan tetapi dalam analisis ini
terfokus pada subjek perjanjian. Sebagaimana pernyataan kuasa hukum PT.KSE,
Sugeng Riyono S.H, “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan peralatan perkebunan
telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad
buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak
bekerjasama, bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak PT.KSE terhadap
PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE. I’tikad baik
diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan
menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan
tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat
menimbulkan kesulitan-kesulitan. I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti
kejujuran, maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah
kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindakan suatu pihak dalam hal
melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 1338
B.W yang berbunyi, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik. Maka,
sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan
i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang
dalam hal pelaksanaan tersebut.
PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU
sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan
PT.GPU merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi
terlambat, sebagaimana menurut Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang
debitur, dalam hal:

1.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan

2.      Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan

3.      Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat

4.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Kelalaian PT.GPU terhadap PT.KSE menjadikan terhambatnya kinerja


produksi lain yang akan dibuat oleh PT.KSE. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang
berbunyi,”Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas
dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti
dalam Pasal 1243 B.W yaitu:

1.      Memberikan sesuatu

2.      Berbuat sesuatu

3.      Tidak berbuat sesuatu

Tindakan wanprestasi membawa konsekwensi terhadap timbulnya hak yang


dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan
ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun
yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut terjadi
karena:

1.      Kesengajaan

2.      Kelalaian

3.      Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang


menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai.
pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase,
dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” wanprestasi. Jadi maksudnya adalah
peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur
wajib memebuhi prestasi. Dalam Pasal 1238 B.W disebutkan bahwa,“Si berutang
adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ia
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan g telah ditentukan.
Bahwasanya peryataan lalai diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau
meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini
digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur.

Disebutkan dalam poin ketiga adalah pihak PT.GPU telah mengadakan


pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian peralatan perkebunan sehari
setelah peralatan tersebut selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan
dibuat oleh PT.KSE menjadi terbengkalai. Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas
dari PT.GPU. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W bahwa,Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-
alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan
bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat
antara keduanya, dan apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai
ketentuan dalam kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa pengecualian) tidak
dapat dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. debitur dinyatakan lalai
oleh kreditor yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh pihak kreditor
(pasal 1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ketentuan di atas maka PT.GPU
dikenakan beberapa pasal, antara lain:

1. Pasal 1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya
perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus
diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya.

2. Pasal 1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut
akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya
dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi
pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut.

3. Pasal 1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga
yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan
dialahirkannya, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu
tipu daya yang dialakukan olehnya.

4. Pasal 1249 B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai
memenuhinya, sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlah uang tertentu,
maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun
kurang dari pada jumlah itu.

5. Pasal 1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan denga
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar
disebabkan terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang
ditentukan undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan undang-undang
khusus. Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar dengan tidak
usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.

Ganti rugi yang diterima dari hitungan materil yakni berupa penyitaan
peralatan mesin perkebunan milik PT.GPU yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin
sudah memadai kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak dipenuhinya
perjanjian oleh si berutang, namun rasa kecewa tidak mungkin dapat ditebus,
sebagaimana PT.GPU yang tidak merespon baik ketika pihak PT.KSE datang
menemui PT.GPU di kantornya untuk menagih utang PT.GPU yang tersendat
menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik PT.GPU dengan
PT.KSE mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang
dilakukannya mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi
hanyalah merupakan “obat” atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu
tidak datang atau diberikan oleh pihak lawan.
BAB III
PENUTUP

A. Penyelesaian
1. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE pada dasarnya
sebelum mengadakan perjanjin diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian untuk mengetahui dengan seksama dan sedetail mungkin akan
pentingnya asas-asas perjanjian yang telah disepakati,yang mana hal ini dapat
mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak.
2. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE harus dilandaskan
dengan niat dan kerjasama yang baik sehingga sesuai dengan pasal 1313 B.W
yang berbunyi “ suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik untuk
menceggah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal
pelaksanaan tersebut sehingga tidak merugikan antara pihak satu dengan yang
lainya.

Anda mungkin juga menyukai