Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

HUBUNGAN ANTARA AKAL, WAHYU, DAN INTUISI DALAM


FILSAFAT DAN ISLAM

DI SUSUN OLEH :

SRI INDAH LESTARI

1847040023

M74

DOSEN PENGAMPU :

Dr. ROHANA, M.Pd.

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU


PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa
menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam kita kirimkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita jalan yang lurus
menuju jalan kebenaran yang berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa
yang sangat indah.

Penulis akhirnya dapat merasa bersyukur karena telah dapat menyelesaikan


makalah yang berjudul “Hubungan Antara Akal, Wahyu, Dan Intuisi Dalam
Bangunan Keilmuan Filsafat Dan Islam” sebagai tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika
makalah ini jauh dari kata sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna memperbaiki karya-karya kami di waktu mendatang.

Makassar, 17 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR……………………………………………………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………... ii

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………….. 1

A. Latar Belakang…………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………... 1
C. Tujuan……………………………………………………………. 1

BAB II PEMBAHASAN 2

A. Pengertian Akal, Wahyu, dan Intuisi 2


B. Hubungan antara Akal, Wahyu, dan Intuisi 3

BAB III PENUTUP 7

A. Kesimpulan 7
B. Saran 7

DAFTAR PUSTAKA iii

EVALUASI iv

JAWABAN v

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk
memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari
Tuhan kepada manusia, dan kedua, melalui jalan akal, yang dianugerahkan
Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca
indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulankesimpulan.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar,
sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin
benar dan mungkin salah. Allah telah menciptakan manusia dengan banyak
hidayah dan anugerah, beberapa di antaranya yang menjadi pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya adalah akal dan wahyu dimana hanya
manusialah yang memiliki hal tersebut, berbeda dengan hewan yang hanya
memiliki nafsu saja. Jika manusia menerima wahyu tersebut maka ia akan
mendapatkan bimbingan untuk akal atau rasionya yang terkadang ragu-ragu
dan mengalami kekacauan. Islam juga menantang akal manusia agar
mendatangkan kitab semisal Al-Qur‟an. Diharapkan dengan ketidak
kemampuan akal mendatangkan kitab semisal Al-Qur‟an, manusia mau
mengakui bahwa Al-Qur‟an benar-benar datang dari sisi Allah SWT.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Akal, Wahyu, dan Intuisi?
2. Jelaskan hubungan antara Akal, Wahyu, dan Intuisi!

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari akal, wahyu, dan intuisi
2. Untuk mengetahui hubungan antara akal, wahyu, dan intuisi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal, Wahyu, dan Intuisi


Secara etimologis, “akal” yang berasal dari bahasa Arab al-„aql berarti
rabth (ikatan, tambatan), „uqul (akal pikiran), fahm (paham, mengerti), qalb
(hati), al-hijr (menahan), an-nahy (melarang), dan al-man‟u (mencegah). Akal
juga bisa berarti cahaya Robbani, yang dengannya jiwa dapat mengetahui
sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh indera.
Menurut Harun Nasution, kata „aqala mengandung arti mengerti,
memahami dan berpikir. Dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani ke
dalam filsafat Islam, menurut Toshihiko Izutzu, kata al-„aql mengandung arti
yang sama dengan nous, yaitu daya berpikir yang terdapat dalam jiwa
manusia. Namun, istilah akal seringkali dikacaukan dengan term “otak”.
Meskipun keduanya merujuk adanya kesamaan, tetapi juga mengandung
perbedaan yang mendasar. Pengertian otak misalnya, adalah merujuk kepada
materi (jaringan syaraf yang sangat lembut) yang terdapat dalam tempurung
kepala. Disamping dimiliki oleh manusia, otak juga dimiliki oleh binatang.
Oleh karena itu, dapat saja seseorang berotak tetapi tidak berakal, misalnya
orang gila. Sedangkan dalam Kamus Ilmu Al-Qur‟an disebutkan bahwa kata
„aql searti dengan akal, wisdom atau reason, yang mempunyai tugas berpikir
atau memikirkan atau menghayati dan melihat atau memperhatikan alam
semesta. Kebanyakan ahli tafsir mengartikan akal tidak hanya dengan arti
pikiran semata, tetapi juga perasaan. Akal, menurut Endang Saifuddin
Anshari, merupakan satu potensi dalam ruhani manusia yang memiliki
kesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realitas kosmis yang
mengelilinginya dan yang secara praktis dapat mengubah dan
mempengaruhinya. Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan akal adalah suatu potensi atau daya yang
terdapat dalam jiwa manusia sebagai alat untuk mengerti dan memahami

2
segala sesuatu, baik yang bersifat teologis, kosmologis maupun etis, serta
yang secara praktis dapat merubah dan mempengaruhinya.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu
masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut, tanpa
melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai disitu
inilah yang disebut intuisi. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan oleh Tuhan kepada manusia, Pengetahuan ini disalurkan melalui
para nabi yang diutus-Nya di setiap zaman (Sumantri, 1991: 56). Lebih lanjut
Sumantri (1991: 59) mengungkapkan, agama merupakan pengetahuan bukan
saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman,
namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti
latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia
tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif. Hubungan
manusia dengan materi, menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya
materi pula, yakni indra, karena sesuatu yang materi tidak bisa diubah
menjadi yang tidak materi, misalnya, aktivitas keseharian manusia di dunia
ini, seperti makan, minum, dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam
semesta yang materi merupakan sumber pengetahuan yang paling awal dan
indra merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan yang
bersumber dari indra-indra lahiriah seperti hasil dari melihat, mendengar,
meraba, mencium, dan merasa adalah suatu jenis pengenalan dan pemahaman
yang bersifat lahiriah, permukaan, dan tidak mendalam.

B. Hubungan Antara Akal, Wahyu dan Intuisi


Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan
kewajibankewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam
memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya
berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada

3
diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun
kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan
kewajibankewajiban manusia terhadap Tuhan. Konsepsi ini dapat
digambarkan bahwa Tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia di
kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Dan Tuhan
sendiri dengan belas kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia,
diperbandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan. Menolong manusia dengan
menurunkan wahyu melalui para Nabi dan para Rasul. Persoalan kekuasaan
akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang
masing-masing bercabang dua. Masalah pertama adalah soal mengetahui
Tuhan dan masalah yang kedua soal baik dan jahat. Masalah yang pertama
bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan
yang dalam istilah „Arab disebut husul ma‟rifah Allah dan wujud ma‟rifah
Allah. Cabang dari masalah yang kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan
kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan
jahat atau ma‟rifah al-husn wa al-qubh dan wujub I‟tinaq al-hasan wa iljinab
al-qabih, yang disebut al-tahsin wa al-taqbih. Jika kamu bertanya :
“Bagaimanakah keadaan kaum-kaum dari ahli tasawwuf yang mencela akal
dan apa yang digarap akal?”. Maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah
manusia itu memindahkan nama akal dan apa yang digarap oleh akal kepada
sebuah perdebatan dan mendiskusikan pertentangan-pertentangan dan hal-hal
yang pasti (lazim), yaitu perbuatan Ilmu Kalam. Mereka tidak mampu untuk
menetapkan di sisi mereka bahwa kamu sekalian salah dalam pemberian nama
itu karena hal itu tidak terhapus dari hati mereka setelah penguasaan lidah,
dan meresap di dalam hati. Lalu mereka mencela akal dan apa yang di garap
oleh akal. Yaitu lah akal yang disebut dari sisi mereka.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya
terhadap indera penglihatan manusia. Karena wahyu itu akan difungsikan bila
akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami
Islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil

4
pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak
boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu. Oleh karena
itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar
tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi
sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan
petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk
memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusia diciptakan oleh tuhan
dengan tujuan yang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan
untuk mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu
yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban
manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk,
serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:
a. Aliran Mu‟tazilah berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat
diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat
diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
b. Aliran Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui
dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat
menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
adalah wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau
wajib. Wahyu sebaliknya, tidak pula mewujudkan pengetahuan
melainkan wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Al-Ghazali juga
berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi
manusia, tetapi kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan

5
demikian, kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban berbuat baik dan
menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
c. Aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran
kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni
mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih
kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta
meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
d. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam
tradisional, mengatakan bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada
pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpuji-Nya tetapi kewajiban
mengetahui Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban
berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan.

Dalam menangani hal tersebut, banyak beberapa tokoh dengan


pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal.
Bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan
tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.

Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar
pada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai
kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan
daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran
Mu‟tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam
aliran Asy‟ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran
Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia
dalam pandangan Mu‟tazilah dan manusia dalam pandangan Asy‟ariah.
Dalam pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan
merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya
terhadap indera penglihatan manusia. Karena wahyu itu akan difungsikan bila
akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami
Islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil
pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak
boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu. Oleh karena
itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar
tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat.

B. Saran
Islam adalah agama yang universal dan sangat mutlak benar karena
datangnya dari Alloh melalui perantarannya yaitu para nabi dan rasul.
Oleh sebab itu setiap persoalan yang masih berupa issue atau kabar yang
masih belum jelas dasarnya, hendaknya dikaji juga dalam bidang
keislaman (Al-Qur‟an). Karena pada dasarnya dalam al-Qur‟an terdapat
segala ilmu yang di butuhkan oleh manusia untuk menjawab semua
persoalan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI Press)

Sudarsono. 2004. Filsafat islam. Jakarta: Rineka Cipta

iii
EVALUASI

1. Jelaskan pengertian akal secara etimologis!


2. Apa yang dimaksud dengan wahyu dalam pandangan filsafat islam?
3. Bagaimanakah yang dimaksud dengan intuisi?
4. Jelaskan mengapa manusia dikatakan sebagai wujud yang materi, maka
selama di alam ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara
interaktif?
5. Tuliskan teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan
kewajibankewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu
dalam memperoleh pengetahuan!
6. Bagaimana kedudukan wahyu terhadap akal manusia?
7. Mengapa dikatakan meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih
tepat dibandingkan struktural?
8. Tuliskan 3 potensi epistimologi untuk memperoleh pengetahuan!
9. Tuliskan aliran yang berpendapat tentang wahyu dan akal!
10. Uraikan kewajiban wahyu dan akal menurut aliran Aliran Asy‟ariyah!
JAWABAN

1. Secara etimologis, “akal” yang berasal dari bahasa Arab al-„aql berarti
rabth (ikatan, tambatan), „uqul (akal pikiran), fahm (paham, mengerti), qalb
(hati), al-hijr (menahan), an-nahy (melarang), dan al-man‟u (mencegah).
Akal juga bisa berarti cahaya Robbani, yang dengannya jiwa dapat
mengetahui sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh indera.

2. Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada


manusia, Pengetahuan ini disalurkan melalui para nabi yang diutus-Nya di
setiap zaman

iv
3. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada
suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut, tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia
sudah sampai disitu inilah yang disebut intuisi.

4. Karena hubungan manusia dengan materi, menuntutnya untuk


menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra, karena sesuatu
yang materi tidak bisa diubah menjadi yang tidak materi, misalnya,
aktivitas keseharian manusia di dunia ini, seperti makan, minum, dan lain
sebagianya. Dengan demikian, alam semesta yang materi merupakan
sumber pengetahuan yang paling awal dan indra merupakan alat untuk
mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan yang bersumber dari indra-indra
lahiriah seperti hasil dari melihat, mendengar, meraba, mencium, dan
merasa adalah suatu jenis pengenalan dan pemahaman yang bersifat
lahiriah, permukaan, dan tidak mendalam.

5. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras
untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari
alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan
tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.

6. Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap


indera penglihatan manusia. Karena wahyu itu akan difungsikan bila akal
difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami
Islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil
pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak
boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.

v
7. karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi sebagai alat untuk
memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan
pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan
menjabarkan secara praktis. Manusia diciptakan oleh tuhan dengan tujuan
yang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk
mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.

8. a. Panca Indra
b. Akal
c. Wahyu (Intuisi)

9. a. Aliran Mu‟tazilah
b. Aliran Asy‟ariyah
c. Aliran Maturidiah Bukhara
d. Aliran Maturidiyah Samarkand

10 Aliran Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui


dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat
menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
adalah wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau
wajib. Wahyu sebaliknya, tidak pula mewujudkan pengetahuan melainkan
wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Al-Ghazali juga berpendapat
bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, tetapi
kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian,
kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi
yang buruk hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.

vi

Anda mungkin juga menyukai