Anda di halaman 1dari 12

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT MINI

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2018

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Morbus Hansen Tipe Borderline Tuberculoid

Disusun Oleh :

Asrianti, S.ked 10542047213

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2018

1
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................................ 1

Daftar Isi .............................................................................................................. 2

Bab I Pendahuluan ................................................................................................ 3

Bab II Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 4

A. Definisi............................................................................................... 4
B. Epidemiologi...................................................................................... 4
C. Etiologi .............................................................................................. 5
D. Patogenesis......................................................................................... 5
E. Gejala Klinis........................................................................................6
F. Diagnosis.............................................................................................7
G. Penatalaksanaan ..................................................................................8
H. Prognosis............................................................................................10

Bab III Kesimpulan ..............................................................................................11

Daftar Pustaka ....................................................................................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kusta (Lepra atau Morbus Hansen) adalah penyakit infeksi kronik granulomatous

yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. M. Leprae merupakan basil tahan asam

(BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti

mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa

tunas M. Leprae sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun,

rata-rata 3-5 tahun. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi diduga melalui inhalasi

atau melalui kontak kulit yang lama dan erat. 1,2

Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013

merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka

prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000

penduduk) dan telah mencapai target <1 per 10.000 penduduk atau <10 per 100.000

penduduk. Dan mengalami penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. Dari data tahun

2011-2013 didapatkan bahwa kasus baru kusta terbanyak di provinsi Jawa Timur (4.132

jiwa), Jawa Barat (2.180 jiwa), Jawa Tengah (1.765 jiwa), Papua (1.180 jiwa), dan Sulawesi

Selatan (1.172 jiwa).3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke

organ lain kecuali susunan saraf pusat. 2

B. Epidemiologi

World Health Organization (WHO) melaporkan prevalensi kusta secara global

pada tahun 2012 sebesar 232.857 kasus. Sedangkan pada tahun 2013 sebesar 215.656

kasus. Awal tahun 2014 sebesar 180.618 kasus. Angka tersebut menunjukkan

penurunan prevalensi kejadian penyakit kusta tiap tahun, namun masih dikategorikan

tinggi. Tingginya angka insidensi kusta pada orang-orang kontak serumah hampir

sepuluh kali dibanding mereka yang tidak kontak serumah. Pada mereka yang kontak

serumah dengan penderita Multi Basiler (borderline dan lepromatosa) mempunyai

risiko lebih tinggi daripada kontak serumah dengan penderita Pausi Basiler

(tuberculoid dan indeterminate), yaitu antara empat sampai sepuluh kali pada kontak

4
dengan penderita Multi Basiler dibandingkan hanya dua kali pada kontak dengan

penderita Pausi Basiler.4

C. Etiologi

Penyebab penyakit ini adalah mikobakterium lepra. Secara morfologik, M.

Leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel, dengan kedua ujung

bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif tidak

bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk

kelompok, termasuk masa ireguler besar yang disebut sebagai globi.

Myobacterium leprae bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur

kamar dibuktikan dapat bertahan sampai 46 hari. 5

D. Patogenesis

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki

mencit dan berkembang biak sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen,

bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar

dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan dan kalau

melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.2

Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r,

sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh

kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung. cuping telinga,

kaki, dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti me-

menuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.2

Sebenarnya M leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala

5
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi

dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang

menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat

sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai

penyakit imunologik. Gejala klinisnya sebanding dengan tingkat reaksi seluler

daripada intensitas infeksinya.2

E. Gejala klinis

Diagosis kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopi, histopatologis, dan

serologis.2 Untuk menetapkan diagnostik penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda

utama atau “Cardinal Sign”, yaitu :

1. Lesi ( kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/ lesi dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau

kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anatesi)

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi.

Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa

a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot(parese) atau kelumpuhan

(paralisis)

c. Ganggun fungsi otonom : kulit kering dan retak retak

3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)

Seseorang dapat dikatakan penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-

tanda utama diatas.6

Klasifikasi dari WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan

pausebasiler. Yang termasuk multibasiler adalah LL, BL, dan BB sedangkan

6
pausebasiler adalah tipe I, TT, dan BT. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai

pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Joping yang

mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran

klinik, bakteriologik, histopatologik dan imunologik. Dan sekarang klasifikasi ini

juga dipakai di klinik untuk pemberantasan.2,5

1. Tipe Tuberkoloid (TT)

2. Tipe Borderline Tubercoloid (BT)

3. Tipe Interminate (I)

4. Tipe bordeline (BB)

5. Tipe Bordeline Lepromatous (BL)

6. Lepromatosa ( LL)

 Tipe Borderline Tuberkuloid adalah tipe yang termasuk dalam golongan

pausebasiler menurut WHO tanpa disertai BTA positif. Lesi pada tipe ini

menyerupai tipe TT, yakni berupa makula anastesi atau plak yang disertai lesi

satelit dipinggir, distribusi masi asimetris, permukaan kering bersisik, batas

jelas, BTA pada lesi kulit negatif atau hanya 1+,tes lepromin positif lemah.

Pada Tipe Borderline Tuberkuloid resitens imunologis dari penderita masih

kuat.

F. Diagnostik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis

dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan

dan kerokan mukosa hidung yang pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain

7
dengan ZEIHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif bukan berarti orang tersebut tidak

mengandung kuman M. leprae.2

Pada tipe Borderline Tuberkuloid biasanya di diagnostik

Reaksi lepromin 1+
Stabilitas imunologik +/-
Reaksi Borderline +
ENL -
Kuman dalam hidung -
Kuman dalam granuloma 1-3 +
Sel epiteloid +
Sel datia Langhans +
Globi -
Sel busa ( sel virchow) -
Limfosit ++
Infiltrasi zona sub epidermal +/-
Kerusakan saraf ++

G. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan kusta adalah penyembuhan pada pasien kusta dan

mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta

untuk menurunkan insiden penyakit. Regimen pengobtan kusta di indonesia

disesuaikan dengan rekomendasi WHO(1995) yaitu program Multi Drug Theraphy

dengan kombinasi obat medikamentosa utama yang terdiri dari rimpafisin, klofazimin

(lamprene) dan DDS (Dapson/ 4,4-diamino-difenil-sulfon).6

Tipe Borderline Tuberkuloid masuk ke tipe Pausebasiler maka pengobatan

yang diberikan yaitu Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang

direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :

Pasien pausibasiler (PB)

o Dewasa

8
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

• 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)

• 1 tablet dapson 100 mg

Pengobatan hari ke 2-28 :

• 1 tablet dapson 100 mg

1 blister untuk 1 bulan. Di butuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan

o Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

• 2 kapsul rifampisin 300 mg dan 150 mg (450 mg)

• 1 tablet dapson 50 mg

Pengobatan hari ke 2-28 :

• 1 tablet dapson 50 mg

1 blister untuk 1 bulan. Di butuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan

H. Prognosis

9
Pada kusta tipe Borderline Tuberkuloid pronosisnya baik, namun kelainan berupa

kerusakan saraf dapat terjadi.7

BAB III
10
PENUTUP

Kesimpulan

Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksi kronik yang penyebabnya adalah

mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dimana syaraf perifer merupakan

afinitas pertama lalu berlanjut ke kulit dan mukosa serta traktus respiratorius bagian atas lalu

ke organ lain kecuali susunan syaraf pusat.

Diagnosis penyakit kusta secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko

tinggi untuk terjadinya kerusakan syaraf.

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini

kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith, LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff Klaus.

Fitzpatrick: Dermatology in General Medicine 8 th ed. USA: Mc Graw Hill Medical.

2012. p.2259-62

2. Wisnu, IM, SSD Emmy, Menaldi SL. Kusta. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi

W (Eds.). Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ketujuh. Jakarta : Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017. Hal 83, 96-102

3. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Kusta. 2015

4. Tarmisi A, Arifuddin A, Herawanto. Analisis Resiko Tinggi Endemis di Desa Air

Panas Kecamatan Parigi Barat Kabupaten Parigi Moutong. 2016;2(1):23–3.

5. Harahap,Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipocrates. 2000. Hal 261-62

6. Musafirah, Sitti. Program Pengendalian Penyakit Kusta Untuk Kepanitraan Klinik.

2015: 9

7. Kumar B. Clinical Diagnosis of Leprosy. 2016;(1):1–24

12

Anda mungkin juga menyukai