Anda di halaman 1dari 12

SYARI’AH/HUKUM

ISLAM
Oleh :
Tim Penyusun Modul PAI UNP

Lisensi Dokumen:
Copyright © 2020 Universitas Negeri Padang
Seluruh dokumen di e-Learning Universitas Negeri Padang, hanya digunakan untuk kalangan
Internal Universitas, untuk kebutuhan Perkuliahan Online. Penggunaan dokumen ini di luar UNP tidak
diizinka dan tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin terlebih dahulu
dari Penulis dan Universitas Negeri Padang.

1. Deskripsi
Program Learning Outcome 2:
Mahasiswa menunjukkan sikap cinta tanah air dan setia kepada NKRI
Program Learning Outcome 3:
Mahasiswa mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan
antarumat beragama
Program Learning Outcome 4:
Mahasiswa mampu memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama
yang diserasikan dengan bidang penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi
dan senin
Program Learning Outcome 4:
Mahasiswa terbiasar berpikir kritis menyelesaikan persoalan berbasis nilai agama
Course Outcome (CO):
Mahasiswa mampu mengidentifikasi sumber ajaran agama Islam dan pokok ajaran
Islam
Pokok Bahasan: SYARI’AH
Materi Bahasan:
a. Konsep Syariah/hukum: pengertian, kedudukan, sumber
b. Dasar-dasar hukum Islam (hakim, mahkum alaih, mahkum
bih)
c. Dimensi hukum Islam: HMAH, HMMS
d. Implementasi syariah/hukum dalam kehidupan

2. Petunjuk
Silahkan anda memahami materi berikut ini dengan seksama, memahami
dan syariah sebagai salah satu pokok ajaran Islam. Selanjutnya, anda dapat
menjawab pertanyaan yang termuat pada tes di berikutnya. Selamat belajar,
semoga Allah memberikan rahmat dan hidayah ilmu. Aamiin.

3. Materi
a. Konsep Syariah/hukum: pengertian, kedudukan, sumber
1) Pengertian
Syari`ah Secara bahasa kata syari`ah merupakan kata yang berasal dari
bahasa Arab yang asal katanya adalah syara`a ( ) yang berarti metode
atau jalan.
Secara istilah adalah segala sesuatu yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw berupa hukum yang dapat memperbaiki kehidupan
manusia di dunia dan akhirat. Hukum-hukum tersebut mencakup aspek
keyakinan, perbuatan dan tingkah laku.
Namun dalam pembahasan ini, syari`ah maknanya lebih mengerucut kepada
hukum yang mengatur tentang perbuatan manusia. Perbuatan manusia yang
ditujukan kepada Allah Swt sebagai Sang Pencipta yang dinamakan dengan
hablumminallah dan kepada sesama manusia yang dinamakan dengan
hablumminannas.
2) Kedudukan
Syariah memiliki kedudukan yang penting dalam Islam
3) Sumber

b. Dasar-dasar hukum Islam (hakim, mahkum alaih, mahkum bih)


1) Hakim
Al-Hakim maksudnya adalah penetap hukum, maka yang dimaksud dengan
al-Hakim adalah Allah Swt. Sebab Allah Swt yang telah menciptakan
segala-galanya, termasuk menciptakan hukum bagi manusia. Wewenang
Allah Swt sebagai al-Hakim adalah sebagai penetap atau penafi sebuah
hukum. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt: Al-Ra`du: 41 Yusuf: 40.
Meyakini Allah Swt sebagai al-Hakim merupakan bagian dari keimanan
seorang muslim. Jika seseorang berkeyakinan bahwa Allah Swt bukanlah
penetap hukum dan bahkan menentang setiap hukum disyariatkan, maka
orang tersebut dinyatakan kafir.
2) Hukum
Kata hukum berasal dari kata al-Hukmu yang secara bahasa berarti al-
Man`u yaitu menahan atau melarang. Secara istilah, ulama Fikih dengan
ulama Ushul Fikih berbeda pendapat. Ulama fikih mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan hukum adalah pengaruh yang muncul dari khitab al-Syari
yang berkaitan dengan perbuatan seperti, wajib, haram, mubah, makruh dan
mubah. Sedangkan ulama Ushul Fikih berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan hukum adalah khitab Allah Swt yang bersinggungan dengan
perbuatan mukallaf bebentuk tuntutan, pilihan atau ketentuan.
Maka dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukum menurut ulama
Ushul Fikih dapat dibagi kepada dua bentuk, yaitu: Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh`i.
Hukum Taklifi adalah tuntutan bagi mukallaf melakukan sebuah perbuatan
atau tuntutan untuk meninggalakan sebuah perbuatan atau tuntutan untuk
memilih antara melakukan atau meninggalkan.
Hukum Wadh`i adalah sebuah ketentuan yang menjadi sebab atau syarat
yang melahirkan hukum, atau penghalang yang menghambat sehingga tidak
berlakunya sebuah hukum.
Hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk, yaitu:
Wajib yaitu Tuntutan dari al-syari (Allah Swt) bagi mukallaf untuk
melakukan perbuatan tersebut secara tegas. Bisa jadi tentutan tersebut
berbentuk shigat yang jelas atau melalui karenah yang menyatakan bahwa
perbuatan tersebut wajib untuk dilakukan. Karenah tersebut bisa berbentuk
dosa atau ancaman bagi setiap orang yang meninggalkan perbuatan tersebut.
Seperti ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat, ancaman bagi orang
yang tidak berzakat atau ancaman bagi orang yang enggan melaksakan
ibadah haji padahal ia telah memiliki kemampuan.
Sunnah yaitu Sesuatu yang dituntut oleh al-Syari bagi mukallaf untuk
melakukannya dengan tuntutan yang tidak tegas.
Haram yaitu Haram adalah sebuh tuntutan dari al-Syari` kepada mukallaf
untuk meninggalkan sebuah perbuatan secara tegas. Atau dalam bahasa
lainnya, sesuatu yang apabila dilakukan oleh mukallaf secara sengaja maka
ia berdosa tapi kalau ia tinggalkan maka ia berpahala.
Makruh yaitu sesuatu yang dituntut oleh al-Syari` untuk meninggalkannya
tapi tidak dengan cara tegas. Perbuatan makruh sebaiknya ditinggalkan atau
tidak dilakukan, dan jika seseorang meninggalkan sesuatu yang makruh
maka ia mendapatkan pujian, tapi jika dilaksanakan maka ia tidak
mendapatkan hukuman atau celaan.
Mubah yaitu sesuatu yang diberikan kesempatan oleh al-Syari` kepada
mukallaf untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
Sedangkan hukum wadh`i terbagi kepada beberapa bentuk, yaitu:
Sabab secara bahasa berarti tali yang menyambungkan antara satu dengan
lainnya. Menurut ulama Ushul, sabab adalah sebuah sifat yang jelas dan
terukur yang dijelaskan oleh dalil sam`i bahwa yang demikian merupakan
tanda bagi hukum syar`i.
Syarat yaitu sesuatu yang menjadi penentu sebuah hukum dan adanya syarat
tidak mesti mewajibkan sebuah hukum.
Mani` yaitu sesuatu yang jika dia ada maka hukum tidak ada dan sebab
menjadi batal.
Shahih yaitu terpenuhinya rukun dan syarat yang ditetapkan secara syara`
sehingga menimbulkan pengaruh yang sah secara syara`.
Buthlan yaitu terdapatnya cacat atau kekurangan pada akad yang bisa saja
kecacatan tersebut kembali kepada shighat, dua orang yang berakad atau
barang yang diakadkan.
Azimah yaitu pensyariatan sesuatu seseuai dengan ketentuan asalnya. Dan
rukhsah yaitu sebuah ketentuan yang disyariatkan oleh al-Syari karena
ketentuan tertentu, yaitu dalam rangka menjaga kemashlahatan bagi
manusia di saat manusia mengalami kesulitan dalam menjalakan perintah
sesuai dengan ketentuan awalnya.
3) Mahkum Fihi
Mahkum fihi adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan khitab al-
Syari` yang bersifat tuntutan, pilihan atau wada`. Seperti firman Allah Swt:
al-Baqrah 43 terdapat tuntutan melaksanakan yang bersifat tegas dalam
shalat sehingga shalat menjadi wajib untuk dilaksanakan bagi mukallaf.
Begitu juga dalam firman Allah Swt, al-An`am 151 ada tuntutan untuk
meninggalkan pembunuhan secara tegas maka membunuh menjadi terlarang
atau haram.
Dalam hukum taklifi, mahkum fihi mesti perbuatan yang mampu dilakukan
oleh mukallaf. Maka perbuatan tersebut bisa berbentuk wajib, mandub,
haram, makruh atau mubah. Oleh sebab itu lahirlah ketetapan bahwa tidak
ada taklif kecuali pada perbuatan. Artinya adalah hukum syara’ yang
berbentuk taklif hanya pada perbuatan mukallaf. Sedangkan pada hukum
wadh`i, mahkum fihi bisa saja bersumber dari perbuatan mukallaf atau
diluar kemampuan mukallaf. Pada perbuaan yang bersumber dari mukallaf
seperti mmbunuh secara sengaja merupakan sabab diberlakukannya
qishahs.
4) Mahkum Alaih
Mahkum alaih adalah manusia yang memiliki perbuatan yang
bersinggungan dengan khitab al-Syari` atau hukum al-Syari`. Selain
mahkum alaih, istilah ini juga dikenal dengan mukallaf atau yang dibebani
hukum.
Syarat Mahkum Alaih
a) Mampu memahami dalil
Taklif berdasarkan kepada khitab, atau wahyu yang diturunkan oleh
Allah Swt kepada manusia. Sebab dalam taklif akal tidak memiliki
peran kecuali hanya untuk memahami khitab. Jika khitab dipahami,
maka akal menuntun mukallaf untuk melakukan perbuatan sesuai
dengan apa yang dijelaskan dalam khitab. Oleh sebab itu, seorang
mukallaf mesti balig dan berakal. Balig artnya sampai pada usia
kematangan dalam berfikir dan berakal berarti memili kemampuan yang
normal dalam berfikir. Maksudnya tidak boleh mentaklif anak-anak
yang bearadai di bawah usia balig atau mentaiklif orang gila yang
pemikirannya tidak normal.
b) Mampu bertindak dengan baik
Mampu bertindak atau berbuat dengan baik dikenal dengan istilah
ahliyah. Secara bahasa ahliyah diartikan dengan kecapan. Secara istilah,
ulama ushul menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ahliyah adalah
kecekapan seseorang dalam menerima hak dan kecakapan seseorang
dalam menunaikan perintah. Oleh sebab itu, ahliyah dibagi kepada dua
bentuk, yaitu:
Pembagian Ahliyah
1) Ahliyatu al-Wujub
 Pengertian
Ahliyatu wujub adalah kecakapan seseorang untuk ditetapkan
hak-haknya dan penetapan atasnya beberapa kewajiban.
Seseorang dianggap memiliki kecakapan dalam ahliyatu al-
wujub adalah selama ada kehidupan pada dirinya. Jika
seseorang telah meninggal maka dia tidak lagi memiliki
ahliyatu al-wujub. Ulama fikih mengenalnya dengan istilah
dzimmah yaitu sebuah sifat yang berbentuk syar`i yang dimiliki
ole manusia seihingga ia menjadi cakap dalam menerima
haknya atau menunaikan kwajibannya.
Ahliyatu al-wujub telah ada pada diri seseorang sejak pertama
kali penciptaannya dan itu terus berlangsung sampai ia
meninggal. Sebab ahiliyatu al-wujub merupakan seseuatu yang
lahir dari fitrah manusia yang tidak mungkin dipisahkan dari
manusia tersebut.
 Pembagian
Ulama menjelaskan bahwa ahliyatu al-wujub terbagi kepad dua
bentuk, yaitu ahliyatu wujub yang naqishah dan ahliyatu
alwujub al-kamilah. Penjelasannya sebagai berikut:
Ahliyatu al-wujub Naqishah yaitu kondisi seseorang yang
belum memiliki kehidupan secara sempurna sehigga harus
ditunggu sampai menjadi sempurna. Maka janin dalam rahim
telah memiliki ahliyatu al wujub akan tetapi belum sepurna atau
dalam bahasa lainnya masih kurang. Maka sebahagian hak telah
menjadi ketentuannya seperti warisan washiat dan lain
sebagainya.
Disebut kondisi ini dengan ahliyatu al-wujub naqshah karena
dua hal, yaitu pertama kondisinya yang belum terpisah dari
ibunya dalam artian masih menyatu dan bergantung kepada
ibunya. Kedua, karena satu sisi ia telah bisa dikatakan sebagai
seseoang yang manusia karena penciptaannya telah sempurna
hanya menunggu waktu untuk lahir ke dunia.
Ahliyatu al-wujub kamilah yaitu ketika seseorang telah
dialahirkan ke dunia dalam keadaan hidup sampai dia
meninggal. Maka sejak dinyatakan demikian maka ia berhak
menerima apa yang menjadi haknya dalam hidup. Maka setiap
harta yang ia peroleh maka diampu oleh walinya dan jika pada
hart tersebut ada kewajiban yang harus ditunaikan seperti zakat
fitrah, sedekah dan lain sebagainya maka walinyalah yang
bertanggungjawab untuk menunaikan dengan harta yang
dimiliki oleh anak tersebut.
2) Ahliyatu al-Ada`
 Pengertian
Ahliyatu al ada` adalah kecakapan seorang mukallaf dalam
bertindak hukum. Melakukan sebuah perintah atau
meninggalkan sebuah larangan sesuai dengan ketentuan yang
telah dijelaskan oleh al-Syari` dalam khitab-Nya. Oleh sebab itu,
seseorang dikatakan memiliki ahliyatu al-ada` setelah ia
menginjak usia balig dan memiliki pemikiran yang sehat.
 Pembagian
Ahliyatu al-Ada memililki dua bentuk yaitu, ahliyatu ada` al-
naqishah dan ahliyatu al-ada al-kamilah
Ahliyatu al-Ada` Naqishsah yaitu kondisi seseorang yang belum
memiliki kematantang dari segi usia dalam bertindak hukum.
Berkisar dari seseorang mulai menginjak usia mumayyiz sampai
baligh. Sebab pada usia mumayyiz seseorang telah mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
membedakan antara yang mendatangkan kebaikan atau
mendatangkan kerusakan. Namun pada usia ini, seseorang belum
dianggap matang dari segi usia oleh sebab itu ia dikatakan
naqishah sampai ia menginjak usia baligh.
Maka bagi seorang yang telah menginjak usia mumayyiz maka
keimanannya diterima, amalannya berupa shalat, puasa dan haji
juga merupakan ibadah yang shah. Tapi yang demikian bukanlah
sebuah kewajiban bagi mereka. Sebab hal yang demikian
menjadi kewajiban ketika seseorang menginjak usia balig.
Ahliyatu al-Ada Kamilah yaitu ketika seseorang telah menginjak
usia balig yang ditandai dengan mimpi basah bagi laki-laki dan
haidh pada perempuan. Jika dua hal ini tidak ada maka ulama
menyatakan umur lima belas tahun ke atas sudah dinyatakan
balig. Usia balig merupakan tanda kematangan seseorang dalam
berfikir dan menentukan sikap dalam kehidupan. Oleh sebab itu,
seorang yang balig harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya, baik dimata manusia dan terutama di hadapan
Allah Swt.
3) `Awaridh Ahliyah
Awaridh secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata aridhah
yang berarti penghalang. Maksud awaridh disini adalah sesuatu
yang menghalangi mukallaf untuk melakukan sebuah tindakan atau
perbuatan. Bisa saja halangan tersebut menutup kemungkinan bagi
mukallaf untuk melakukan perbuatan atau hanya menguranginya
saja atau mungkin merubah hukum yang ada ke hukum yang lain.
Ulama membagi bahwa awaridh terbagi kepada dua bentuk, yaitu:
Awaridh Samawiyah yaitu awaridh yang tidak ada daya dan upaya
manusia di dalamnya sebab munculnya awaridh tersebut atas kuasa
Allah Swt terhadap manusia. Awaridh samawiyah ada sebelas
bentuk, yaitu: gila, kanak-kanak, dungu, lupa, tidur, pingsan,
perbudakan, sakit, haidh, nifas dan kematian.
Awaridh muktasabah adalah awaridh yang dibawah kuasa manusia,
ada peluang bagi manusia memunculkannya atau
menghilangkannya. Adapun bentuk dari awaridh muktasabah adalah
bodoh, mabuk, lalai, salah dan terpaksa.
Oleh karena itu, ulama Ushul membagi awaridh dalam bertindak
hukum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk;
Pertama, Halangan bisa menyebabkan kecakapan seseorang
bertindak hukum secara sempurna hilang sama sekali, seperti gila,
tidur, lupa dan pingsan .Hal itu didasarkan pada sabda Nabi
Muhammad SAW :
“diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah,
terlupa, dan terpaksa”.
HR.Ibnu Majah dan Tabrani)
Bagi orang yang gila, tidur, pingsan tidak memiliki ahliyatu al-ada`
maka apapun tindakan mereka tidak dikenai hukum selama awaridh
itu melekat pada dirinya. Namun bagi orang yang lupa dan tidur
maka mesti melakukan kewajiban setelah mereka kembali sadar dan
ingat. Adapun kewajiban harta, bagi orang yang gila ditunaikan oleh
pengampu atau walinya.
Kedua, Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti
orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang
sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam
bertindak hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat
untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya
dianggap batal.
Ketiga, Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum
seseorang, seperti orang yang berhutang, pailit, dibawah
pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat tersebut,
sebenarnya tidak mengubah ahliyah al-ada’ seseorang, tetapi
beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta
dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hak-
hak orang yang membayar hutang.

c. Dimensi hukum Islam: HMAH, HMMS


1) Ibadah Mahdhah
Penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba
dengan Allah Swt secara langsung. Dalam pelaksanaannya harus
berdasarkan kepada perintah al-Quran dan mencontoh pada pelaksanaan
Rasulullah Saw. Tidak boleh dibuat-buat dan jika dibuat-buat atau diada-
adakan. Jika seseorang melakukan yang demikian maka apa yang ia lakukan
tidak ada artinya. Ibadah mahdhah memeliki beberapa karakteristik, yaitu:
a) Berdasarkan kepada dalil;
b) Mengikuti ketentuan Rasulullah Saw;
c) Bersifat suprarasional (ghairu al-mu`alalah) dan
d) Ketaatan kepada Allah Swt.
2) Ibadah Gairu Mahdhah
Penghambaan yang tidak saja mengatur hubungan hamba dengan Allah
Swt tapi juga mengatur hubungan atau interaksi antara hamba dengan
makhluk lainnya. Contoh: bersedekah, tolong-menolong, jual-beli, dll. Pada
ibadah gairu mahdhah tidak ada ketentuan pasti tentang pelaksanaannya.
Yang terpenting adalah, segala amalan yang dilakukan dengan iman dan
ikhlas maka bernilai ibadah disisi Allah Swt.
Karakteristik ibadah ghairu mahdhah:
a) Dijelaskan oleh dalil global dan tidak ada dalil yang melarang;
b) Tidak mesti meniru Rasulullah Saw;
c) Bersifat rasional (mu`allalah) dan
d) Azasnya “mashalahah atau manfa`ah”
d. Implementasi syariah/hukum dalam kehidupan
Syari`ah ataupun seperangkat hukum yang diturunkan Allah Swt kepada
manusia yang mengatur tentang perbuatan mereka memiliki fungsi dan tujuan.
Fungsinya itu adalah untuk mengatur segala tindak tanduk manusia agar sesuai
dengan ketentuan yang telah digariskan Allah Swt. Jika manusia tidak diatur
oleh Allah Swt maka manusia akan menjadi makhluk yang lebih rendah
derajatnya dari makhluk yang lain.
Tujuan yang ingin diwujudkan dibalik penetapan hukum tersebut adalah agar
terciptanya kemashlatan bagi manusia itu sendiri pada kehidupan dunia dan
akhirat nanti. Oleh sebab itu Imam al-Syathiby menyebutkan dalam kitab al-
Muwafaqat bahwa,
‫ى‬ ‫إنما وضع ر‬
‫الشائع لمصالح الناس ف العاجيل و األجيل معا‬
“Sesungguhnya ditetapkannya syariat bagi manusia agar terciptanya
kemashalahatan bagi mereka pada kehidupan dunia dan akhirat secara
bersamaan.”
Dari penyataan di atas dapat dipahami pada dua kehidupan manusia, yaitu dunia
dan akhirat memiliki kemashalatan yang berbeda. Oleh sebab itu, apa saja yang
menjadi kemashalatan dunia dan kemashlahatan akhirat, berikut akan
dijelaskan:
1) Kemashlahatan Dunia
Ulama sepakat bahwa kemashalahatan dalam kehidupan dunia dapat dibagi
kepada tiga tingkatan, yaitu: dharuriyah (primer), hajiyah (sekunder) dan
tahsiniyah (tersier). Pada masing-masing tingkatan memiliki karakteristik
dan standar yang berbeda. Berikut penjelasan masing-masing tingkatan
tersebut lebih rinci.
1) Daruriyyah (Primer)
Dharuriyah (pimer) merupakan tingkatan yang paling mendasar. Segala
yang dibutuhkan pada tingkatan ini mesti terwujud. Jika tidak maka
kehidupan di dunia ini tidak akan berjalan dengan semestinya. Manusia
akan menghadapi permasalahan ataupun kesengsaraan yang
menghantarkan umat manusia pada kesengsaraan dan berujung pada
kebinasaan. Untuk terpenuhinya kemashlahatan manusia pada tingkatan
ini, ada lima hal yang mesti ada dalam kehidupan, yaitu: agama, jiwa,
akal, harta dan keturunan.
Syariat Islam sagat menjaga lima hal ini sehigga disyariatkanlah atau
ditetapkanlah seperangkat hukum untuk menjaganya. Menjaga agar
tetap eksis dan menjaga agar tidak hilang atau binasa. Maka untuk lebih
jelasnya akan diuraikan dalam pemaparan berikut.
a) Menjaga Agama
Pemeliharan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebab
agama merupakan pedoman utama dalam kehidupan bagi manusia.
Pada agama dijelaskan hubungan antara manusia dengan tuhannya
dan hubungan manusia dengan sesamanya. Tanpa agama manusia
tidak akan mengenal tuhannya sehingga manusia akan bertingkah
sombong dan merusak dipermukaan bumi. Tanpa agama manusia
tidak akan mampu berbuat baik dengan sesama. Kecendrungan
mereka adalah untuk mengintimidasi kaum yang lemah atau
memperbudaknya.
b) Menjaga Jiwa
Menjaga jiwa artinya adalah menjaga tubuh agar tetap sehat dan
kuat sehingga terjaminnya keberlansungan hidup. Sebab tubuh
merupakan tempat bersemayamnya ruh pada diri seseorang. Jika
seandainya tubuh seseorang tidak mungkin lagi ditempati oleh ruh,
maka terjadilah yang namanya kematian. Dimana ruh pergi
meninggalkan tubuh seehingga tubuh tidak mampu lagi melakukan
apa-apa pada kehidupan ini. Seperti seseorang yang kehabisan
darah, atau seseorang yang lerhernya dipenggal, atau seseorang yang
dijangkiti pengyakit kronis yang berbahaya. Hal-hal yang demikian
merupakan ketidak mungkinan ruh untuk tetap bersemayam pada
tubuh seseorang.
c) Menjaga Akal
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh
Allah Swt dari mahkluk-makhluk yang lain. Bentuk kesempurnaan
tersebut terdapat pada dua hal, yaitu: Pertama, Allah Swt telah
menjadikan manusia dalam rupa yang paling baik. Postur yang
seusuai dengan tugasnya sebagai pemimpin dan susunan anggota
tubuh yang menjadikan manusia mampu melakukan apa saja.
Manusia yang yang telah disempurnakan penciptaannya bisa saja
menempati tempat yang paling hina yaitu neraka. Hal ini terjadi
lantaran mereka tidak menggunakan akal fikiran yang mereka miliki
sebagai anugrah dari Allah Swt untuk beriman kepada-Nya dan
mengerjakan amalan-amalan shaleh dalam kehidupan.
d) Menjaga Harta
Islam mengajarkan bahwa semua harta di dunia ini adalah milik
Allah Swt. Manusia hanya diberi kuasa oleh Allah Swt hanya untuk
memanfaatkannya saja sedangkan kepemilikan mutlak milik Allah
Swt.
e) Menjaga Keturunan
Perlindungan Islam terhadap keturunan adalah dengan
mensyariatkannya pernikahan. Islam menuntun seseorang yang
hendak membangun mahlihgai rumah tangga yang dimulai dari
memilih calon pasangan hidup dengan mengenali perempuan-
perempuan yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi.
Dilanjutkan dengan tatacara perkawinan, baik rukun dan syarat-
syarat apa yang harus dipenuhi.
2) Hajiyyah - Sekunder
Kemaslhahatan hajiyyah (sekunder) adalah kemashlahatan yang
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang bila mana tidak terwujud
maka tidak sampai mengancam kehidupan manusia, akan tetapi hanya
menyebabkan manusia dalam kesusahan atau kesulitan. Agar manusia
terhindar dari kesusahan-kesusahan tersbut, maka Islam mensyariatkan
rukhsah. Rukhshah adalah keringanan hukum yang diberikan oleh Allah
Swt kepada manusia jika mereka menghadapai kondisi yang susah
untuk melakukan perintah sesuai dengan ketentuannya.
Seperti Islam mensyriatkan rukhsah dengan kebolehan men-jama`
(menggabungkan) shalat pada perjalanan. Begitu juga dengan men-
qashar (meringkas) rakaat shalat jika seandanya perjalanan yang
ditempuh cukup jauh sesuai dengan batasan yang telah ditentukan oleh
syara’. Ataupun kebolehan jual beli salam yang barang dagannyannya
belum ada tapi sudah dilakukan transaksi. Dibolehkan jual beli dalam
bentuk ini untuk memudahkan bagi para pihak dalam melakukan
aktivitas dagang mereka. Sebab pada hakikatnya, jual beli harus
dihadirkan barang dagangan yang merupakan rukun jual beli. Tapi
karena lain sistuasi, jual beli salam dibolehkan dengan tujuan
memberikan kemdahan bagi manusia.
3) Tahsiniyyah - Tersier
Mashlahat tahsiniyah adalah kemashalatan dalam tingkatan
kemewahan. Keberadaannya merupakan pelengkap bagi kemashalatan
lain, jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengancam kehidupan
manusia dan juga tidak akan menyebabkan mereka kesusahan dalam
kehidupan. Hal ini biasanya adalah kepatutan menurut adat istiadat,
menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias
dengan keindahan yang sesuai dengan tuntuan norma dan akhlak yang
berlaku.
Mashlahat tahsiniyah terdapat dalam berbagai bidang kehidupan, seperti
ibadah, muamalah dan lain sebagainya. Allah Swt. telah menyariatkan
hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyyah. Dalam
perkara ibadah, Islam menyariatkan bersuci baik dari najis atau dari
hadas, baik dari badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam
menganjurkan berhias ketika hendak ke mesjid, menganjurkan
memperbanyak ibadah sunat. Masalah muamalah, Islam melarang
boros, kikir, menaikkan harga, monopoli dan lain-lain.
2) Mashlahat Akhirat
Sedangkan yang menjadi kemashalahatan pada kehidupan akhirat adalah
dimasukkan ke dalam surga sehinggga seseorang mendapatkan berbagai
kenikmatan didalamnya. Kemudian dijauhkan dari api neraka yang
menyala-nyala sehingga terhindar dari siksanya.

4. Kesimpulan
Syariah memiliki kedudukan yang kuat dalam ajaran islam. Ia seperti tiang
yang membuat kokoh sebuah bangunan. Tanpa tiang maka bangunan tidak akan
berdiri. Maka begitu juga dengan syariah yang menadi tiang dari agama islam.

5. Asesment (berbasis CO dan Merangsang High Order Thinking/C3-C4/Level 6


KKNI)*
Instrumen : Test tertulis, butir pertanyaan
a. Bagaimana kedudukan syariah dalam agama Islam? Menjelaskan
b. Bagaimana konsep ibadah dalam Islam ? menjelaskan
c. Jelaskan fungsi syariah daalam kehidupan? Analisis
d. Jelaskan tingakatan mashlahat yang dapat diwujudkan oleh syari`ah? Analisis

6. Daftar Bacaan
Depag RI. 1998. Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Toha Putra Semarang
Quraisy Syihab. 2002. Membumikan al-Quran. Jakarta: Rajawali Press. Hal.50
Tim Dosen PAI UNP. 2017. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi
Umum. Padang: UNP Press

Anda mungkin juga menyukai