Gubernur Bali Wayan Koster telah mengeluarkan instruksi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2331 Tahun 2018 soal Pelaksanaan Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali dan Pergub Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan serta Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali. Pada Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018 diatur mengenai pemakaian busana adat Bali setiap hari Kamis, rahina Purnama, rahina Tilem, hari jadi Provinsi Bali, dan hari jadi Kabupaten/Kota. Etika penggunaan busana adat Bali sesuai dengan nilai kesopanan, kesantunan, kepatutan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat. Busana adat Bali digunakan oleh pegawai di lingkungan lembaga pemerintah, pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pegawai lembaga swasta. Penggunaan busana adat Bali, dikecualikan bagi pegawai lembaga pemerintah, lembaga swasta, dan tenaga professional yang oleh alasan keagamaan (sesuai Pasal 8 poin 3 Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali). Bagi masyarakat adat Nusantara lainnya yang tinggal di wilayah Provinsi Bali, dapat menggunakan busana adat Bali atau busana adat daerah masing-masing (sesuai Pasal 8 poin 4 Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali). Menurut Kepala Sekolah SMA Negeri Bali Mandara, Bapak Nyoman Darta, Pergub baru tentang pelestarian budaya Bali ini sangat efektif dalam mencegah lunturnya budaya leluhur. “Ke depan, perbedaan daerah harus diakomodasi karena perbedaan itu indah. Anak Bali gengsi menggunakan bahasa Bali, sehingga dapat menyebabkan lunturnya budaya Bali. Jika sudah begitu, hal apalagi yang bisa menarik wisatawan asing berkunjung ke Bali? Kita terkenal akan kebudayaan kita, jadi barang tentu kita harus menjaga kelestarian budaya kita sendiri.” tegasnya ketika diwawancarai saat berada di ruangannya, Selasa (11/12). Dengan mempelajari budaya Bali tentu tidak menimbulkan dampak negatif bagi umat beragama Hindu maupun non-Hindu. Hal ini justru membuat mereka lebih bijaksana dan lebih dewasa dalam menghargai perbedaan. Selain itu, wawasan mereka akan semakin luas karena memiliki pengalaman berbahasa Bali. Untuk itu, bagi umat beragama lain tidak ada salahnya untuk turut serta melestarikan budaya Bali. Berdasarkan berita yang dimuat NusaBali.com, responden setuju, netral, dan tidak setuju mengenai Pergub baru ini berturut-turut sebanyak 3 kali menghasilkan sebanyak 88 persen - 91 persen - 63,7 persen dari 1.429 responden setuju. Sementara yang menyatakan netral sebanyak 9 persen - 3 persen - 15,8 persen dan tidak setuju hanya 3 persen - 6 persen - 20,5 persen. “Idenya bagus, tetapi sangat tidak cocok untuk diterapkan di daerah panas seperti di SMA Negeri Bali Mandara. Ditambah lagi dengan bahan pakaian serta waktu penggunaannya yang cukup lama. Hal ini kurang menunjang aktivitas.” ujar Ibu Triss selaku guru SMA Negeri Bali Mandara yang beragama Kristen, Selasa (11/12). Ibu Triss terang-terangan mengaku bahwa merasa tidak nyaman ketika harus memakai busana adat Bali. Pasalnya, mengajar untuk membuat kelas menyenangkan sangat diperlukan action yang lumayan melelahkan, sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan busana adat Bali sepanjang hari. Gubernur Wayan Koster berharap masyarakat Bali dapat mendukung Pergub ini. Melalui NusaBali.com, Gubernur Wayan Koster mengatakan, keluarnya Pergub tersebut didasarkan atas realitas kita melunturnya penggunaan bahasa, aksara, dan sastra Bali di kalangan masyarakat. Terjadi penggerusan budaya Bali karena pengaruh modernisasi, teknologi, dan globalisasi, sehingga kelompok milenial cenderung meninggalkan budaya leluhur orang Bali, khususnya bahasa, aksara, dan sastra Bali. Oleh karena itu, Gubernur Wayan Koster memandang perlu membangkitkan kembali gairah penggunaan busana, bahasa, aksara, dan sastra Bali melalui terbitnya Pergub. Hal ini sesuai dengan visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” tentang membangun Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana yang menjaga kesucian dan keharmonisan Bali beserta isinya, serta mewujudkan kehidupan krama Bali dan gumi Bali yang sejahtera sekala dan niskala, sesuai prinsip Tri Sakti Bung Karno. (ATP)