Anda di halaman 1dari 13

Lunturnya Budaya Literasi pada Siswa SD karena

Pengaruh Gadget serta Media Sosial

The Fading of Literacy Culture in Elementary School


Students due to the Influence of Gadgets and Social Media

Oleh:

Gesti Kinasih Hardhini & Parrisca Indra Perdana

gestikinasih29@gmail.com

Abstrack : In this increasingly modern era, the role of the


library seems to have begun to be shifted by the existence of
technology such as the internet, gadgets, tablets, etc. For
children or students, the culture of reading may have been
almost ignored because social media has penetrated all walks of
life. Even for reading, completing a book title is considered very
heavy and takes a very long time. But when reading a few pages
of reading available on HP, it will not be boring and will definitely
be completed as soon as possible without delaying any more
time.

Keywords: Literacy, Reading, Social Media

Abstrak :Perkembangan zaman yang semakin modern ini,


peran perpustakaan seolah-olah mulai tergeser dengan adanya
teknologi seperti internet,gaged,tablet dll. Bagi anak-anak atau
siswa budaya membaca mungkin sudah hampir diabaikan karena
media sosial sudah merambah semua kalangan masyarakat.
Bahkan untuk membaca, menyelesaikan satu buah judul buku
pun dirasa sangat berat dan memerlukan waktu yang sangat
lama. Tetapi ketika membaca beberapa halaman bacaan yang
tersedia di HP, tidak akan membuat bosan dan pasti akan se
segera mungkin diselesaikan tanpa menunda waktu lagi.

Kata Kunci :Literasi, Membaca, Media Sosial

A. Pendahuluan

Kata “literasi” memiliki makna yang luas dan kompleks. Menurut


UNESCO, pemahaman orang tentang literasi sangat dipengaruhi
oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai
budaya dan pengalaman. Education Development Center (EDC)
menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan
membaca dan menulis, namun lebih dari itu, literasi adalah
kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan
kemampuan yang dimiliki dalam hidupnya.

Jadi dapat dipahami secara sederhana bahwa literasi mencakup


kemampuan membaca kata dan membaca dunia. Literasi adalah
suatu kegiatan atau aktivitas untuk lebih membudidayakan
gerakan membaca serta juga menulis. Literasi sangat banyak
sekali manfaatnya, salah satu keuntungan dari literasi ini
diantaranya adalah dapat melatih diri untuk dapat lebih terbiasa
dalam membaca serta juga dapat membiasakan seseorang
untuk dapat menyerap informasi yang dibaca dan dirangkum
dengan menggunakan bahasa yang dipahaminya.

Berdasarkan studi Most Littered Nation In the Word yang


dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret
2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke 60 dari 61
negara soal minat membaca. Indonesia tepat berada di bawah
Thailand yang berada di peringkat ke-59 dan di atas Bostwana
yang berada di peringkat ke-61. Padahal, dari segi penilaian
infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia
berada di atas negara-negara Eropa. Penilaian berdasarkan
komponen infrastruktur indonesia ada di urutan ke-34 di atas
Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan. Hal tersebut
disampaikan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Anies Baswedan, Sabtu (27/8/2016), di acara final Gramedia
Reading Community Competition 2016 di Perpustakaan Nasional,
Salemba, Jakarta (KOMPAS.COM, Senin, 29 Agustus 2016).

Pada dasarnya, mungkin banyak orang berpikir bahwa membaca


hanya akan menghabis waktu dengan percuma dan tidak
bermanfaat, sehingga mereka berpikir lebih baik melakukan
aktivitas yang lain dari pada membaca, padahal dengan
membaca kita dapat menambah wawasan serta ilmu
pengetahuan untuk memperkaya intelektual, terutama di era
digital ini. Saat ini, hampir semua orang selalu menyalahkan
teknologi sebagai penyebab anak tidak mau membaca dan
apalagi menulis, sehingga budaya literasi semakin luntur di era
digital yang marak dengan gawai atau gadget. Lalu, apakah
memang seperti itu kondisinya? gawai tidak sepenuhnya menjadi
penyebab rendahnya literasi di Indonesia, namun ada beberapa
penyebab lainnya yaitu belum terbiasa, belum termotivasi dan
sarana yang minim. Akan tetapi, hal tersebut semestinya tidak
menjadi persoalan jika diimbangi dengan usaha untuk
membangun budaya literasi.

Anak-anak jaman terutama anak SD udah jarang yang mau


membaca buku, jadi semakin bertambahnya tahun budaya
iterasi sudah mulai luntur, mereka lebih suka bermain gadget,
bermain game online, dan lain-lain. Bahkan kesadarannya untuk
belajar itupun sudah mulai pudar, mereka harus disuruh dahulu
baru mau mulai belajar.

Perubahan zaman yang sedemikian dinamis dan sangat cepat


hanya bisa diikuti perkembangannya dengan penguasaan literasi
informasi yang didukung oleh teknologi literasi informasi.
Dengan demikian urgensi pembekalan kemampuan literasi
informasi dilingkungan pendidikan utamanya perguruan tinggi
menjadi tidak bisa ditunda lagi sebagai bekal kecakapan hidup
bagi mahasiswa.

Dewasa ini berbagai lembaga pendidikan mulai dari jenjang


pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi ada yang
mulai, sedang, dan telah membangun program literasi informasi.
Penguasaan literasi informasi dipandang sangat penting dalam
proses pembelajaran sehingga menjadi bagian dari program
pendidikan. Dalam lingkup yang lebih luas, bahwa program
literasi informasi sebenarnya adalah program pemberdayaan
masyarakat khususnya dalam bidang informasi.

Pendidikan literasi dapat dimulai dengan kebiasaan membacakan


buku cerita atau dongeng pada anak secara rutin. Meski ini
merupakan kegiatan sederhana, tetapi membacakan buku pada
anak adalah tahap awal mengenalkan mereka pada dunia
literasi.

B. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di SDN Rejsopinggir Kecamatan Tembelang.


Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara siswa.
Penelitian dilakukan dalam waktu sekitar 1 minggu pada bulan
Mei 2021. Metode penelitian dilakukan dengan memakai metode
kualitatif karena menurut peneliti metode ini sangat efektif dan
mudah digunakan dalam mencari informasi tentang anak
tersebut, dengan metode ini saya bisa mengumpulkan informasi
melalui pengumpulan data serta wawancara secara langsung
terhadap anak tersebut. Adapun pendekatan saya menggunakan
pendekatan observasi yaitu dengan mewawancarai anak
tersebut. Dengan pendekatan ini saya bisa mendapatkan
informasi yang dibutuhkan dengan mudah. Menggunakan
metode tersebut karena peneliti ingin mengetahui minat baca
siswa.

Peneliti juga melakukan wawancara kepada siswa , beberapa


pertanyaan meliputi:
(1) Apakah masih suka membaca buku?
(2) Lebih suka antara membaca buku atau bermain gadget ?
(3) Apakah ketika dipinjami buku benar-benar akan dibaca ?
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang terlontar kepada siswa
ketika bertatap muka langsung dengan peneliti. Dari hasil
wawancara tersebut kemudian peneliti mampu menilai hasil dan
juga mampu memikirkan cara bagaimana agar semuanya bisa
berjalan lancar bahkan lebih bagus lagi dalam semua aspek
kegiatan.

C. Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti, demikian jawaban


dari responden:
1. Apakah masih suka membaca buku?
Dari wawancara yang peneiti lakukan dia menjawab bahwa
dia sudah jarang sekali membaca buku, akan tetapi kadang-
kadang masih membaca bbuku cerita yang bergambar. Dia
menyatakan tidak suka membaca buku karena malas
melihat tulisan yang ada di buku. Terkadang dia meminjam
buku di perpustakaan sekolah karena hanya ingin mengikuti
teman lain yang meminjam buku di perpustakaan. Dan
ketika sampai rumah buku itu tidak dibaca sama sekali
bahkan ada yang tidak dibuka.
Ketika ditanya mengapa buku tersebut tidak dibaca? Banyak
sekali alasan yang dia lontarkan, seperti mengaku malas,
tidak sempat, mainan HP, main bersama teman, capek dan
lain-lain.
2. Lebih suka antara buku atau bermain gadget ?
Dengan pertanyaan tersebut, dia menyatakan bahwa lebih
senang bermain gadget seperti game-game di HP,
komputer, tablet karena dia lebih tertarik pada fitur-fitur
yang tersedia pada alat tersebut. Sedangkan untuk
membaca buku mereka sudah tidak terlalu tertarik lagi.
3. Apakah ketika dipinjami buku benar-benar akan dibaca ?
Dengan pertanyaan tersebut dia menjawab dia akan mau
membaca buku kalo buku yang dia baca itu menarik seperti
ada gambar yang bisa dilihat jadi tidak susah-susah untuk
menggambarkan buku itu mengarah ke hal apa.

Dari pemaparan beberapa jawaban siswa tersebut dapat diambil


hasil:
1. Membaca buku semakin tidak disenangi oleh siswa karena
keberadaan media elektronik sudah merambah disemua
kalangan masyarakat, dan siswa lebih menyukai media
elektronik karena menyuguhkan fitur yang lebih menarik dari
pada buku.
2. Kesadaran untuk membaca buku dan menyelesaikan satu
buah buku sangat kurang bahkan hampir di lupakan karena
budaya membaca seolah-olah sirna mulai tergeser dengan
adanya perkembangan teknologi.

Pembahasan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi diartikan sebagai


sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks
kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang
sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik,
berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Secara
sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai
kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu
Negara (Anonimus, 2016). Literasi tidak terpisahkan dari dunia
pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik dalam
mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang
didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan
kehidupan peserta didik, baik di rumah maupun di lingkungan
sekitarnya. Selain itu literasi juga mencakup bagaimana
seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga
bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan
pengetahuan, bahasa, dan budaya (Wiedarti, dkk., 2016).
Dalam Deklarasi Unesco juga ditegaskan tentang literasi
informasi, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi,
menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara
efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan
informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-
kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk
berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari
hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Di era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi
Alexandria pada tahun 2005 menjelaskan, literasi nformasi
adalah kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan
dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi
merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi
dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan menemukan
lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara
kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke
dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta
mengko-munikasikannya secara efektif, legal, dan etis.
Ferguson, B (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menyatakan
bahwa komponen literasi informasi terdiri atas:

a) Literasi dasar (basic literacy) yaitu terkait dengan


kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca,
menulis, dan menghitung (counting), kemampuan analisis
untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan
informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta
menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan
pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
b) Literasi perpustakaan (library literacy), berkenaan dengan
bagaimana memberikan pemahaman cara membedakan
bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi
dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai
klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam
menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan
katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan
dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan
sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi
masalah.
c) Literasi media (media literacy), bersinggungan dengan
kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media
yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (radio
dan televisi), media digital (media internet), dan
memahami tujuan penggunaannya.
d) Literasi teknologi (technology literacy), kemampuan
memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti
peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta
etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.
Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk
mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet.
Sejalan dengan membanjirnya informasi karena
perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman
yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan
masyarakat.
e) Literasi visual (visual literacy), pemahaman tingkat lanjut
antara literasi media dan literasi teknologi, yang
mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar
dengan memanfaatkan materi visual dan audiovisual
secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi
visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak,
auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks
multimodal), perlu dikelola dengan baik.

Rendahnya minat literasi masyarakat akan berpengaruh pada


kualitas sumber daya manusia kelak. Hal ini disebabkan
perkembangan dunia yang semakin maju tentu akan menuntut
manusia harus memiliki kualitas diri yang lebih baik lagi. Setiap
bangsa harus dapat memberikan ilmu, pemikiran dan
penemuan-penemuan yang bermanfaat agar dapat bersaing
dengan bangsa lain. Oleh sebab itu, manusia dituntut untuk
lebih aktif membaca, menulis dan berfikir.

Namun rendahnya minat literasi masyarakat menjadi salah satu


permasalahan yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan
Indonesia sekarang ini. Hal ini bukan hanya terjadi pada orang
dewasa, tetapi juga terjadi pada anak sekolah hingga anak usia
dini. Ada beberapa faktor yang menyebabkan minat baca
masyarakat masih rendah. Pertama yakni kebiasaan membanca
belum ditanamkan sejak dini. Orang tua yang seharusnya
dijadikan role model di keluarga juga tidak memberikan contoh
atau mengajarkan anak untuk membaca. Oleh karena itu, peran
orang tua dalam mengajarkan kebiasaan membaca menjadi
penting untuk meningkatkan minat literasi anak.

Selain itu, banyak orang tua hingga generasi muda sekarang


yang lebih tertarik menggunakan gadget untuk memperoleh
informasi, sehingga buku tidak lagi menjadi media untuk
mendapatkan informasi yang diharapkan. Apalagi dengan
adanya teknologi informasi (seperti mesin pencari google,
yahoo, dll) dewasa ini semakin membuat manusia melupakan
keberadaan buku. Kondisi yang serba instan dan gampang inilah
yang akhirnya membangun pola pikir generasi muda yang
mengandalkan mesin pencari informasi sehingga membuat
minat literasi menjadi menurun. Hal ini juga terjadi pada anak
usia dini, yang sedari kecil sudah diperkenalkan pada gadget,
sehingga anak-anak lebih tertarik untuk bermain gadget dan
menonton video-video di internet daripada melakukan hal-hal
yang lebih bermanfaat seperti membaca buku, menulis dan
menggambar. Padahal semua kegiatan sederhana ini dapat
membantu mengembangkan kemampuan literasi anak.

Hal lainnya, rendahnya minat literasi anak usia dini juga


disebabkan oleh kurangnya dorongan dan motivasi yang
diberikan orang tua pada anak untuk membaca. Orang tua lebih
memilih memperkenalkan gadget sedari dini pada anak
daripada memperkenalkan buku. Walaupun mereka tahu bahwa
gadget memiliki banyak dampak negatif, tapi fitur gadget
dianggap lebih praktis dan menarik dibandingkan tampilan
buku.

D. PENUTUP
Kesimpulan

Permasalahan rendahnya minat literasi masyarakat Indonesia


menjadi permasalahan bangsa saat ini. Dampak negatif yang
sering muncul adalah masyarakat menjadi semakin mudah
dalam menyerap dan menerima informasi-informasi hoaks yang
berkembang dengan sangat cepat. Hal ini disebabkan
kurangnya minat baca masyarakat sehingga menjadi salah satu
penyebab lemahnya kemampuan literasi yang berdampak pada
kurangnya usaha masyarakat dalam mencari informasi yang
akurat. Permasalahan krusial ini harus segera diatasi agar
masyarakat dapat lebih cerdas dalam berfikir dan berkembang
menjadi bangsa yang maju serta dapat bersaing dengan bangsa
lain. Hal ini dapat diperbaiki apabila generasi muda mulai
memunculkan kesadaran akan besarnya manfaat dari
kemampuan literasi dan kesadaran ini harus ditanamkan mulai
dari anak usia dini. Anak usia dini adalah usia yang paling tepat
untuk ditanamkan minat literasi sehingga kegiatan literasi akan
menjadi kebiasaan bagi mereka kelak di masa yang akan
datang. Tidak pernah ada kata terlambat untuk mulai
melibatkan anak usia dini dengan kegiatan literasi agar minat
literasi anak dapat terbentuk sedari dini.
Dalam hal ini, orang tua memiliki peranan penting dalam
membantu anak untuk meningkatkan minat literasi dan
menanamkan pendidikan literasi pada anak-anak mereka mulai
dari usia sekolah maupun prasekolah. Tujuan utamanya bukan
hanya menekankan pada kemampuan anak untuk membaca
atau menulis. Kedua jenis kemampuan tersebut sebenarnya
hanya menjadi landasan bagi tujuan yang lebih luas, yakni
membentuk generasi yang mampu berpikir kritis dalam
menyikapi informasi.
Saran

Ada beberapa kegiatan yang dapat digunakan untuk


meningkatkan minat literasi anak, salah satunya adalah dengan
mengajak anak untuk membaca buku. Orang tua dapat
menggunakan media pembelajaran yang menarik bagi anak,
misalnya buku cerita bergambar. Hal ini dikarenakan anak-anak
pada umumnya lebih menyukai gambar daripada tulisan.
Diharapkan dengan adanya ilustrasi serta penggunaan warna
yang menarik akan merangsang anak tertarik untuk membaca.
Selain itu minat literasi anak-anak dapat ditanamkan melalui
kegiatan-kegiatan sederhana lainnya, seperti meminta anak
untuk membuat catatan belanjaan, mengajak anak berhitung,
membaca dongeng untuk anak sebelum tidur, menggambar dan
kegiatan- kegiatan sehari-hari lainnya yang biasa orang tua
lakukan bersama dengan anak.

DAFTAR RUJUKAN
Purwanto, Ngalim. (2014). Psikologi Pendidikan.Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Dewi, Kurnia. (2017). Pentingnya Media Pembelajaran Untuk


Anak Usia Dini. Raudhatul Athfal: Jurnal Pendidikan Islam Anak
Usia Dini. Vol 1 No 1.

Rahim Farida. 2011. Pengajaran membaca di sekolah


Dasar.Jakarta: Bumi aksara.
Yunus Abidin, dkk . 2017. Pembelajaran literasi. Jakarta: Bumi
aksara.

Anda mungkin juga menyukai