Anda di halaman 1dari 4

Memahami Salafi, Wahabi, Isbal, Jenggot & Iktilaf

16 September 2016 23:43 Diperbarui: 15 Maret 2017 02:00 7068 3 2

Pada acara bincang-bincang ringan dan santai di kantor selepas shalat Jumat, seorang kawan
menuturkan kejadian yang dialaminya saat shalat Jumat sehingga membuatnya sulit untuk
khusu’. Kakinya dipepet dan diinjak oleh seorang jamaah disebelahnya. Saat ia menarik rapat
kakinya, orang itu justru melebarkan rentang kaki hingga kakinya terpepet lagi. Suatu kondisi
yang tidak nyaman dan mempengaruhi kekhusukan.

Seorang kawan lainnya menanyakan, apakah orang itu berjenggot, celananya cungkrang dan
berbaju gamis? Betul, ia berjenggot, celananya cungkrang tetapi bajunya biasa saja bukan
gamis. Memang kenapa?. Si kawan kemudian menjelaskan, bahwa dia itu orang Salafi, dan
seterusnya. Bincang-bincang ringan yang berawal membahas masalah merapatkan kaki
dengan jamaah lain saat shalat berjamaah itu akhirnya menjadi diskusi, yang berlanjut hingga
beberapa hari kemudian. Topiknya mengupas tentang Salafi, Wahabi, Isbal, Jenggot, baju
gamis dan iktilaf. Rangkuman diskusi sederhana itu seperti berikut ini.

Pertama, SALAFI.

Salafi adalah penyebutan terhadap pengikut aliran Salafiyah. Aliran Salafiah mengklaim
kelompoknya menjalankan syariat Islam secara “murni” sesuai syariat pada jaman nabi
Muhammad dan tiga generasi berikutnya (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Mereka
menolak syariat Islam dengan berbagai inovasi yang disebabkan oleh pengaruh adat, budaya
dan perkembangan jaman sehingga memunculkan praktik-praktik yang dinilai sebagai
perbuatan bid’ah, tahyul, dan khurafat.

Salafiah mempunyai prinsip bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa nabi
Muhammad dan para sahabatnya. Salafi berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci),
bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh. Salafi memegang teguh hadis yang menyatakan
“semua bid’ah itu sesat dan masuk neraka”.

Salafi menjalankan syariat Islam berdasarkan Al quran dan hadis nabi yang dipahami secara
tekstual tanpa adanya penafsiran, dan menolak berbagai praktik ritual lain yang dianggap
sebagai perbuatan bid’ah seperti tahlilan, zikir berjamaah, ziarah kubur, peringatan maulid nabi,
halal bi halal, dsb.

Salafiah merupakan golongan Sunni modern. Apabila Sunni atau Ahlussunah Wal Jama’ah
(Aswaja) mendasarkan syariat Islam pada Al Qur'an dan hadis sesuai pemahaman para
sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in dengan berbagai penafsiran para ulama , maka Salafiah
mengajarkan syariat Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadis “secara murni” tanpa adanya
tambahan dan pengurangan, dengan menjauhi berbagai bentuk amalan yang dinilainya bidah,
khurafat dan syirik.

Salafi mempraktikkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah apa adanya seperti dalam teks hadis,
seperti bagaimana cara makan, berpakaian, berpenampilan, dan sebagainya. Bahkan bagi
kelompok Salafi ekstrim, mereka mengharamkan mencium tangan orang tua, mengharamkan
hormat bendera , zakat fitrah tidak boleh dengan uang, dan khutbah jumat harus berbahasa
arab.

Kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) menyebut kelompok Salafi memahami Al Quran
dan hadis secara tekstual dengan pandangan yang sempit, tanpa pertimbangan rasionalitas
konteks budaya dan kekinian melalui ijtihad ijma’ dan qias.

Ciri fisik penganut Salafi antara lain adalah berpakaian gamis, memelihara jenggot, bercelana
cungkrang dan bagi wanita mengenakan cadar.

Kedua, WAHABI.

Wahabi adalah sebuah gerakan “pemurnian akidah” yang bertujuan untuk memurnikan ajaran
Islam berdasarkan Qur'an dan hadis dengan cara membersihkan praktik-praktik bid'ah, syirik
dan khurafat
Pemahaman Wahabi terhadap syariat Islam pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan Salafi.
Bilamana Salafi merupakan sebuah faham yang “menolak” berbagai amalan yang dianggap
sebagai bid’ah, maka Wahabi merupakan sebuah gerakan yang secara aktif “memberantas”
berbagai praktik ritual Islam yang dianggap sesat yaitu bid’ah, tahyul dan khurafat. Maka bisa
dikatakan bahwa Wahabi adalah Salafi yang ekstrim atau radikal.

Gerakan Wahabi pertama kali dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (abad 18).
Nama Wahabi sesungguhnya bukan berasal dari dalam kelompok ini, tetapi merupakan
sebutan yang diberikan oleh pihak lain yang tidak sepaham.

Penganut aliran Wahabi tidak mau menyebut dirinya Wahabi, mereka lebih senang menyebut
dirinya dengan Salafi atau Salafiyah, atau dengan beberapa nama antara lain: Anshar as
Sunnah, Anshar at Tauhid, Jama’ah at Takfir Wal Hijrah, Jam’iyyah an Nur Wal Iman, Al
Jama’ah al Islamiyyah, dan lain-lain. Mereka memiliki argumen bahwa Muhammad bin Abdul
Wahhab tidak mengajarkan agama (aliran) baru dalam pemikiran atau penggambaran diri, ia
hanya berusaha memurnikan Islam yang telah bercampur dengan adat istiadat lokal.

Wahabi mempunyai ideologi yang dikenal dengan takfir, yaitu klaim bid’ah, syirik, dan kafir
terhadap kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengannya.

Kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) lain menyebut kelompok Wahabi merupakan
kelompok Islam garis keras. DR. Yusuf Qardawi, seorang intelektual Islam dan ahli fiqh terkenal
asal Mesir, menyebut Wahabi adalah gerakan fanatik buta yang menganggap dirinya paling
benar tanpa salah dan menganggap yang lain selalu salah tanpa ada kebenaran sedikitpun.
Gerakan Wahabi di Ghaza lebih suka memerangi dan membunuh sesama muslim dari pada
membunuh Yahudi.

Ketiga, MELEBARKAN KAKI (NGANGKANG) SAAT SHALAT BERJAMAAH

Orang Salafi berpandangan bahwa menempelkan mata kaki dengan mata kaki temannya ketika
shalat berjamaah (kaki ngangkang) adalah keharusan. Acuannya adalah hadis nabi: An-
Nu’man bin Basyir berkata: “Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Luruskanlah
shaf-shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, luruskan shaf kalian, atau Allah akan membuat
perselisihan diantara hati kalian. Lalu An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat seorang laki-
laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul
temannya dan bahu dengan bahu temannya.” (HR. Bukhori & Muslim).

Sebagian ahli (pembaca) hadis pengikut paham Salafi-Wahabi berpendapat bahwa ilzaq
(menempelkan mata kaki, dengkul, bahu dengan orang disampingnya dalam shalat berjamaah)
sebagai sunnah Nabi. Mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang
yang ingkar kepada sifat Allah. Tetapi sebagian ulama Salafi lain berpendapat bahwa “ilzaq”
hanyalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Menempelkan
mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu
sarana agar shaf shalat bisa rapat dan lurus

Sedangkan kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) berpendapat bahwa nabi tidak pernah
memerintahkan menempelkan kaki saat shalat berjamaah. Perhatikan hadisnya, “…Nu’man
mengatakan dia melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki
temannya …” Cuma melihat seorang laki-laki yang tidak dikenal namanya, bukan sahabat
utama nabi. Jadi yang diperintahkan nabi adalah meluruskan shaf, bukan menempelkan mata
kaki ke jamaah lain.

Rapat dan rapi dalam shaf shalat jamaah memang harus, karena merupakan bagian dari
kesempurnaan shalat jamaah, tapi tidak menjadi syarat sah dan rukun shalat. Jikalau sampai
mengganggu konsentrasi atau kekhusyuan, maka utamakan khusyu’, karena longgarnya shaf
tidak menyebabkan batalnya shalat.

Keempat, MELIHARA JENGGOT.

Orang Salafi berpandangan bahwa memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi yang wajib
dilaksanakan. Banyak dalil yang menerangkan masalah ini, salah satunya adalah hadis dari
Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur)
jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim)
Sedangkan kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) berpendapat bahwa memanjangkan
jenggot bukan sunah apalagi wajib. Bahkan Hanabilah dan Hanafiyyah berpendapat ada
baiknya memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan. Pendapat beliau ini dilandasi
dengan atsar dari Ibn ‘Umar: “(Ibnu ‘Umar) ketika ber-‘umrah nelihat beliau menggenggam
jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut beliau potong.” (HR. Al-Bukhari)

Untuk memahami sebuah hadis harus meninjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan
historinya, pada masa nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan. Perintah nabi “Cukurlah
kumis dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi” tersebut
ditujukan kepada Majusi pedesaan khususnya di negeri Ajam yang memang terlihat dikotomi
antara muslim dan non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di
antaranya.

Masyarakat di daerah pedesaan Ajam memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur
jenggot, tetapi di Mekah kebiasaan itu tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu Jahal dan pemuka
kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot yang tidak beda dengan sahabat lain. Dan
ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar langsung hadis itu disabdakan, masih
memotong jenggotnya jika merasa terlalu panjang.

Islam melalui Al Quran dan hadis mengajarkan nilai-nilai kebersihan, kerapihan dan keindahan.
Tidak ada satupun para ulama memperdebatkan nilai-nilai tersebut. Jadi dalam hal jenggot
maka harus disikapi dengan nilai-nilai Islami, yaitu bersih, rapih dan indah. Riwayat
menerangkan bahwa Rasulullah selalu merapihkan jenggotnya, sehingga nampak rapi, bersih
dan indah. Berbeda dengan kebanyakan kaum kafir di Mekah yang jenggotnya panjang
berantakan tidak rapih dan tidak indah, bahkan nampak kusam dan menyebalkan.

Kelima, ISBAL

Isbal artinya menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Bagi orang Salafi, isbal terlarang dalam
Islam, hukumnya haram atau minimal makruh. Sehingga seluruh pengikut Salafi bercelana
cungkrang (ujung kain diatas mata kaki).

Banyak sekali dalil dari hadis Nabi yang mendasari masalah isbal, diantaranya adalah: Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Kain yang
panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari); kemudian, Dari Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari
kiamat.” (HR. Muslim)

Permasalahan isbal ini termasuk dalam masalah khilafiyah, dimana para ulama banyak yang
berselisih pendapat. Pertama, isbal hukumnya haram secara mutlak; kedua, isbal hukumnya
haram jika disertai kesombongan; ketiga, isbal hukumnya makruh jika tidak dilakukan dengan
sombong; dan keempat, isbal hukumnya mubah (boleh) jika tidak tidak didasari kesombongan.

Kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) umumnya berpendapat bahwa pakaian


merupakan urusan keduniawian dan termasuk masalah sosial-budaya yang tergantung
kebiasaan di mana manusia berdomisili. Sunah Nabi yang disampaikan oleh hadis merupakan
anjuran dan contoh yang baik, disamping menghindari sifat sombong, jangan sampai kain
(pakaian, celana, dan sarung) yang kita kenakan sampai menyentuh tanah agar senantiasa
lebih terjaga kebersihan dan kesuciannya.

Dari Al Asy’ats bin Sulaim, pamannya berkata: “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah,
tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’
Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung
beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” Hadis diatas menunjukkan
bahwa menaikkan ujung kain diatas mata kaki sebagai anjuran, bukan sebagai perintah disertai
ancaman.

Islam melalui Al Quran dan hadis mengajarkan bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang,
Allah Maha Pengampun, dan Allah Maha Bijaksana. Bagaimana mungkin Allah akan
memasukkan neraka hanya karena alasan celananya melebihi mata kaki?
Bersambung ….

Anda mungkin juga menyukai