Anda di halaman 1dari 9

DISTRIBUSI TEMPORAL DAN PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

DI PROVINSI SUMATERA UTARA, INDONESIA


(Temporal distribution and causes of forest and land fire in North Sumatera Province,
Indonesia)

Achmad Siddik Thoha *1, Onrizal 1 and Pindi Patana 1


1
Faculty of Forestry, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan Indonesia
*
Corresponding Author’s E-mail: siddikthoha@gmail.com

Abstrak
Penentuan karakteristik kebakaran dan areal rentan kebakaran akan membantu dalam perencanaan
pembangunan daerah berbasis lahan yang rendah emisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola
temporal dan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Utara. Pola emporal ditentukan melalui analisa
spasial dan deskriptif curah hujan dan titik panas kebakaran pada rentang waktu 2001-2017. Penyebab
kebakaran ditentukan melalui observasi dan wawancara di lokasi terindikasi kebakaran hasil analisis kerapatan
hotspot. Secara temporal titik panas kebakaran meningkat setiap lima tahun. Puncak aktivitas kebakaran hutan
dan lahan terjadi pada dua periode setiap tahun yaitu bulan Februari-Maret dan Juni-Agustus. Penyebab
kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Utara tidak sama antar wilayah. Penyebab paling umum adalah
kebakaran karena aktivitas pembersihan lahan untuk areal perkebunan, baik kebun kopi, kebun karet maupun
kebun sawit. Penyebab lainnya yang adalah untuk penggembalaan, kelalaian masyakarat, konflik dengan
perusahaan dan untuk alasan adat istiadat.

Kata kunci : hotspot kebakaran, periode kebakaran, penyebab kebakaran, karakteristik temporal

Pendahuluan
Kejadian kebakaraan hutan dan lahan yang berulang dan semakin parahnya dampak
yang ditimbulkan perlu mendapat perhatian semua pihak. Di Indonesia, kebakaran hutan dan
lahan terjadi secara berulang hampir setiap tahun pada musim kemarau dengan frekuensi dan
tingkat risiko yang berbeda-beda. Dampak kebakaran hutan dan lahan akan semakin buruk
bila terjadi pada lahan gambut. Kebakaran lahan gambut pada tahun 1997/1998 yang terjadi
El Nino di wilayah Indonesia, menyumbangkan emisi sebesar 13-40% dari emisi global.
(Page 2002, Harrison, et al. 2009 dan Langmann et al. 2009). Menurut data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 ditaksir
mengakibatkan kerugian sebesar 221 Triliun rupiah (Kompas.com, 2016). Dalam jangka
panjang, dampak kebakaran berakibat pada pemanasan global, hilangnya keanekaragaman
hayati dan penggurunan (Goldammer et al. 2006).
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah rawan kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia. Di Sumatera Utara terdapat ribuan hektar lahan gambut dan padang alang-
alang alami dan lahan kritis yang rentan terjadi kebakaran pada saat musim kemarau. Pada
tahun 2013, luas lahan kritis di Sumatera Utara mencapai 1.069.467 hektar (KLHK, 2017).
Lahan kritis yang luas terdapat di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba yang mencapai
248.000 hektar atau 45% dari total kawasan DTA (beritasatu.com, 2016). Lahan kritis yang
berupa semak belukar dan alang-alang umumnya tidak terkelola umumnya menjadi sumber
kebakaran (Thoha et al. 2014, Prasetyo et al. 2016)
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan berbasis
masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencari solusi dari sistem sekarang yang terpusat dan
mahal serta mendorong masyarakat untuk memainkan peran lebih aktif dalam perlindungan
mereka sendiri. Menurut UNISDR (2009) sistem peringatan dini berbasis pada masyarakat
adalah sistem yang berpusat pada masyarakat yang terdiri dari empat elemen kunci; (i)
pengetahuan tentang risiko, (ii) pemantauan, analisis dan peramalan ancaman bahaya, (iii)
komunikasi atau penyebaran pesan siaga dan peringatan, dan (iv) kemampuan setempat untuk
merespons pada peringatan yang diterima. Menurut de Leon (2009) Sistem peringatan dini
berbasis masyarakat (Community Early Warning System) adalah struktur operasional yang
memungkinkan penduduk untuk mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak
bencana alam. Penentuan karakteristik kebakaran berupa pola temporal dan penyebab
kebakaran merupakan tahapan penting dalam rangka membangun sistem peringatan dini.
Penentuan karakteristik kebakaran akan membantu dalam perencanaan pembangunan daerah
berbasis lahan yang rendah emisi Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi distribusi
temporal dan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Utara.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah peta titik panas (hotspot)
tahun tahun 2001-2017 dari satelit MODIS (Moderate-resolution Imaging
Spectroradiometer), peta batas adimistrasi kabupaten dan curah hujan bulanan. Alat yang
akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat pengambilan data dan alat analisis data.
Alat pengambilan data lapangan antara lain GPS, kamera dan perekam suara. Alat analisis
data yang akan digunakan adalah Spreadsheet software dan GIS Sofware.

Metode
Pengumpulan data
Data titik panas dari Satelit Terra/Aqua dengan sensor MODIS (Moderate-resolution
Imaging Spectroradiometer) tahun 2001-2017 diperoleh dari Fire Information for Resource
Management System (FIRMS) yang bisa diakses secara gratis pada tautan
https://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms/active-fire-data. Data curah hujan
lapangan didapatkan dari Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah I Medan.
Untuk menentukan lokasi survei untuk pengamatan dan groundcheck diperoleh berdasarkan
masukan dari Manggala Agni Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara dan
hasil analisis spasial berdasarkan desa dengan titik panas kepadatannya tinggi. Untuk
pengumpulan data karakteristik kebakaran diperoleh dari pengamatan dan mencatat aktivitas
masyarakat di lokasi bekas kebakaran melalui wawancara dengan masyarakat tentang sejarah
kebakaran, penyebab kebakaran dan praktek masyarakat menyiapkan lahan dengan
membakar. Pengetahuan masyarakat tentang penyebab kebakaran diperoleh melalui indepth-
interview (wawancara mendalam). Narasumber wawancara dipilih melalui metode
snowballing dengan narasumber pertama menjadi key person dalam penentuan response
berikutnya. (Bungin, 2010).

Analisis temporal kebakaran hutan dan lahan


Identifikasi karakteristik kebakaran hutan dan lahan ditentukan melalui penentuan pola
temporal kebakaran dilakukan dengan analisa data curah hujan lapangan dan jumlah hotspot
tahunan dan hotspot bulanan. Hotspot dengan tingkat kepercayaan diatas 50% digunakan
untuk menganalisis analisis kebakaran karena dikategorikan sebagai titik panas yang masuk
dalam kategori nominal dan tinggi (Giglio et al. 2015) dan diperlukan tindakan waspada dan
segera penanggulangan kebakaran di lapangan (LAPAN, 2016). Penelitian Thoha et al.
(2014) menemukan bahwa hotspot satelit Terra Aqua (MODIS) dengan tingkat kepercayaan
diatas 50% menggambarkan hubungan yang kuat dengan aktivitas kebakaran di lapangan.

Analisis Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan serta Pengetahuan Lokal Masyarakat
Analisis deskriptif dan tabulasi digunakan untuk menemukan penyebab kebakaran
hutan dan lahan hubungannya dengan aktivitas masyarakat. Data aktivitas masyarakat yang
dianalisis diperoleh dari dengan mengamati dan mencatat aktivitas masyarakat di lokasi bekas
kebakaran melalui wawancara tentang sejarah kebakaran, penyebab kebakaran dan praktek
masyarakat menyiapkan lahan dengan membakar. Lokasi wawacara ditentukan dari desa yang
memiliki titik panas yang padat dan rekomendasi dari pemerintah setempat tentang desa yang
rawan kebakaran hutan dan lahan. Hasil analisis spasial dan rekomendasi dari lembaga yang
berperan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan diperoleh 25 desa di enam
Kabupaten untuk dilakukan observasi lapangan dan wawancara.

Hasil dan Pembahasan

Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang wilayahnya terjadi
kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau. Berdasarkan sejarah kebakaran yang
ditelusuri dari data titik panas dengan confidence level lebih dari 50% (C > 50). Sebaran titik
panas tahunan dan bulanan di provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
Titik panas yang terpantau dari satelit di Provinsi Sumatera Utara selama 17 tahun
(Gambar 1) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titik panas yang berulang setiap lima
tahun. Pada periode lima tahun pertama (2001-2005) titik panas meningkat pada tahun 2004
dan 2005. Selanjutnya peningkatan titik panas mencapai jumlah tertinggi pada tahun 2009
dan 2014. Pola ini tidak sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia secara umum dimana pada
tahun-tahun terjadi anomali iklim dengan curah hujan dibawah rata-rata atau El Nino (2002
dan 2015) jumlah hotspot tidak terlalu tinggi jumlahnya. Hotspot tertinggi di Sumatera Utara
terjadi pada tahun 2005 dimana secara umum kondisi iklim di Indonesia tidak dalam kondisi
El Nino pada level tinggi.
3500
3074
3000
2476
2500 2337
1978
Hotspot number

2000 1792
1569
1500 1253 1261 1227
1024 10351048 1114
1000 918
776
549
500 337

0
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Year

Gambar 1. Distribusi hotspot per tahun di Provinsi Sumatera Utara (Sumber: Pengolahan data
2018)

Analisis titik panas secara bulanan menunjukkan bahwa hampir sepanjang 17 tahun,
persentase hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 24.92%. Ini berarti bahwa
aktivitas kebakaran dalam setahun berpotensi sangat banyak terjadi pada bulan Juli. Titik
panas di Provinsi Sumatera Utara memiliki dua periode peningkatan baik jumlah maupun
persentase. Periode pertama hotspot meningkat mulai bulan Januari – April sedangkan
periode kedua Juni- Agustus. Studi Thoha et al. (2014) di Kalimantan Tengah dan Tata et al
(2018) di Riau menemukan pola yang serupa bahwa hotspot meningkat pada bulan Juni-
Agustus setiap tahun.
30.00

24.92
25.00

20.00
Percentage of Hotspot (%)

17.45
15.59
15.00

9.65
10.00 8.06 8.67

5.00 3.42 3.74 4.18


2.51
0.92 0.88
0.00
ry ry ch ril ay ne Ju
ly st be
r er be
r
be
r
nua rua ar Ap M Ju ugu m tob m m
a b M A e Oc ve ce
J Fe pt
Se No De

Month

Gambar 2. Persentase hotspot per bulan di Provinsi Sumatera Utara (Sumber: Pengolahan
Data 2018)

Dari hasil analisis sebaran titik panas dan wawancara dengan pemangku kepentingan
pengendalian kebakaran terdapat tiga kelompok wilayah rawan kebakaran di Sumatera Utara.
Pertama yaitu daerah dataran tinggi dan berbukit yaitu di Kabupaten Karo, Toba Samosir dan
Simalungun. Kedua, kelompok wilayah lahan gambut dan dataran rendah, dimana daerah
yang rawan kebakaran terdapat tesebar di Kabupaten Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu,
Labuhan Batu Selatan dan Asahan. Ketiga, kelompok wilayah dataran rendah berbukit dan
tanah mineral, dimana daerah rawan kebakarannya terdapat di Kabupaten Padang Lawas,
Padang Lawas Utara dan Mandailing Natal.

Berdasarkan analisis temporal curah hujan dan titik panas, diperoleh bahwa terdapat
perbedaaan pola distribusi antar tiga kelompok wilayah kebakaran tersebut. Gambar 3
menunjukkan pola distribusi temporal kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah
pegunungan.
700 Bulan - Tahun 100
Jumlah Hotspot Curah Hujan (mm)
90
600
80
500 70

60

Curah Hujan (mm)


Jumlah Titik Panas

400
50
300
40

200 30

20
100
10

0 0
06 06 06 07 07 08 08 08 09 09 10 10 11 11 11 12 12 13 13 13 14 14 15 15
n- n- v- r- p- b- l- c- y- t- r- g- n- n- v- r- p- b- l- c- y- t- r- g-
Ja Ju No Ap Se Fe Ju De Ma Oc Ma Au Ja Ju No Ap Se Fe Ju De Ma Oc Ma Au

Gambar 3. Distribusi temporal curah hujan dan titik panas dan titik panas di wilayah
pegunungan Sumatera Utara.

Pola temporal kebakaran hutan dan lahan di daerah dataran tinggi di Sumatera Utara
menunjukkan bahwa titik panas jumlahnya meningkat pada saat curah hujan menurun tajam
(sangat rendah). Umumnya titik panas yang menggambarkan aktivitas kebakaran mulai
meningkat pada bulan Juni-Agustus pada tahun 2006 – 2013 dan bulan Februari – Maret pada
tahun 2014-2015. Hal ini menunjukkan ada dua periode kebakaran hutan dan lahan di dataran
tinggi Sumatera Utara.
Gambar 4 menunjukkan pola temporal titik panas dan curah hujan wilayah dataran
rendah dan lahan gambut di Sumatera Utara. Pola temporal di wilayah kedua ini
menunjukkan bahwa terdapat dua periode kebakaran setiap tahunnya yaitu Februari – April
dan Juni – Agustus selama 10 tahun terakhir. Pada kondisi curah hujan sangat rendah, titik
panas akan meningkat tajam.

700 Month-Year 1200


Jumlah Hotspot Curah Hujan (mm)
600 1000

500
800
Jumlah Titik Panas

400
Rainfall (mm)

600
300
400
200

100 200

0 0
06 06 06 07 07 08 08 08 09 09 10 10 11 11 11 12 12 13 13 13 14 14 15 15
a n- un- ov- pr- ep- eb- Jul- ec- ay- ct- ar- ug- an- un- ov- pr- ep- eb- Jul- ec- ay- ct- ar- ug-
J J N A S F D M O M A J J N A S F D M O M A
Gambar 4. Distribusi temporal curah hujan dan titik panas di wilayah dataran rendah dan
gambut di Provinsi Sumatera Utara.

Pola temporal hubungan curah hujan dan titik panas di wilayah dataran rendah berbukit
non gambut disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5, pada saat curah hujan
menurun tajam, terjadi peningkatan hotspot yang sangat tinggi. Di wilayah ini, pola temporal
curah hujan dan titik panas menunjukkan bahwa terdapat dua periode aktivitas kebakaran
(meningkatnya titik panas) yaitu pada bulan Februari – Maret dan Juni – Agustus.
700 Bulan -Tahun 160
Jumlah Hotspot Curah Hujan (mm)

600 140

120
500
100

Curah Hujan (mm)


Jumlah Titik Panas

400
80
300
60
200
40

100 20

0 0
06 06 06 07 07 08 08 08 09 09 10 10 11 11 11 12 12 13 13 13 14 14 15 15
a n- un- ov- pr- ep- eb- Jul- ec- ay- ct- ar- ug- an- un- ov- pr- ep- eb- Jul- ec- ay- ct- ar- ug-
J J N A S F D M O M A J J N A S F D M O M A

Gambar 5. Distribusi temporal curah hujan dan titik panas curah hujan dan titik panas di
wilayah dataran rendah berbukit non gambut di Provinsi Sumatera Utara.

Curah hujan sangat berpengaruh pada kadar air bahan bakar khususnya pada lahan
gambut. Ketika curah hujan meningkat, lahan gambut akan menyimpan air dalam jumlah
yang besar sehingga kadar air bahan bakar meningkat dan sulit untuk terbakar. Ketika curah
hujan berkurang maka kadar air gambut semakin berkurang. Gambut dengan kadar air yang
rendah sangat rentan terbakar. Taufik et al (2011) menjelaskan bahwa curah hujan sangat
berpengaruh terhadap dinamika kadar air tanah dan muka air tanah. Fluktuasi keduanya
sangat dipengaruhi oleh dinamika curah hujan yang turun dan membasahi tanah. Pada musim
dengan curah hujan rendah, tinggi muka air turun pada ambang batas kritis yang
menyebabkan lahan gambut sangat mudah terbakar (Wosten et al 2008).
Peningkatan jumlah hotspot pada buan Juni – Agustus berhubungan dengan aktivitas
masyarakat yang menyesuaikan akhir musim kemarau dan awal musim hujan. Pada bulan
Juni umumnya masyarakat yang bermatapencaharian petani sudah membuka dan
membersihkan lahan untuk persiapanan bercocok tanam. Bahan bakar yang telah ditebas dan
dibersihkan dibiarkan kering selama satu sampai dua bulan. Pada bulan selanjutnya yaitu
Agustus di akhir musim kemarau menurut kebiasaan mereka membakar biomas atau limbah
dari pembersihan lahannya. Aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan pembersihan
lahan pada musim kering juga ditegaskan dalam studi Someshwar et al (2010) yang
menyebutkan bahwa kebakaran di Kalimantan Tengah terjadi selama musim kering dari Mei
– September. Petani dan pekebun membersihkan lahan selama waktu tersebut, ketika biomas
lebih kering. Studi oleh Thoha et al. (2014) di Kalimantan Tenagh juga menemukan bahwa
saat curah hujan menurun, titik panas meningkat tajam, khususnya pada bulan Agustus –
Oktober. Analisis temporal titik panas dan hujan ini juga sesuai dengan prediksi dari
pengetahuan masyarakat lokal di Kalimantan Tengah dimana pada bulan Juni – Agustus
umumnya kebakaran dan hutan terjadi (Thoha et al. 2018)
Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatera utara erat kaitannya dengan aktivitas
masyarakat yang menyesuaikan dengan periode atau musim kebakaran. Hasil wawancara
dengan masyarakat di berbagai lokasi bekas kebakaran atau lokasi yang rawan kebakaran
ditemukan beberapa penyebab kebakaran seperti disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel
1. Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Utara tidak sama antar wilayah.
Penyebab paling umum adalah kebakaran karena aktivitas kebakaran semak belukar dan
aktivitas pembersihan lahan untuk areal pertanian lahan kering, kebun kopi dan kebun karet.
Penyebab lainnya yang adalah untuk penggembalaan (Padang Lawas Utara), kelalaian
masyakarat, konflik dengan perusahaan dan untuk alasan adat istiadat (memanggil hujan).

Tabel 1. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera Utara


District
No. Causes/sources of fire
Sim Tos Huh Asa Lau Kar Plu Tau Dai Total
1. Land clearing for dry
1 0 0 0 1 1 0 1 1 5
agricultural land
2. Land clearing for paddy fields 1 0 0 0 0 0 0 0 1 2
3. Wildfire from shrub and
1 1 1 1 1 1 1 0 1 8
grassland
4. Burning peatland 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2
5. Land tenure claim 1 1 0 0 0 0 1 0 1 4
6. Burning caused by culture
0 0 0 0 0 1 1 0 0 1
reason
7. Converting Pine Forest to
1 1 0 0 0 1 0 1 0 4
coffee farming
8. Burning for grazzing 0 0 0 0 0 1 1 0 1 3
9. Burning for kesengajaan 0 0 1 0 0 0 1 1 1 4
10. Converting to rubber plantation 0 0 0 1 1 0 1 0 0 3
11. Conflict between community
1 0 0 0 1 0 0 0 0 2
and forest concession
13. Conversion from secondary
0 0 0 1 1 0 0 0 0 2
forest to oil palm plantation
Remark : 1 (present), 0 (absent), Sim (Simalungun), Tos (Toba Samosir, Huh (Humbang Hasundutan), Asa ((Asahan), La
(Labuhan Batu Utara), Kar (Karo), Plu (Padang Lawas Utara), Tau (Tapanuli Utara), Dai (Dairi),
Source: interview with villagers and BKSDA, 2016-2018

Penelitian yang dilakukan oleh Akbar et al. (2011) di areal lahan gambut Kabupaten
Kapuas menemukan bahwa sumber-sumber kebakaran lahan juga berasal dari petani ladang
dan penangkap ikan. Ini sesuai dengan uraian pada Tabel 1 bahwa sebagian besar kebakaran
beradal dari aktivtas masyarakat berladang atau berkebun sementara sepeeri banyak
ditemukan di Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara
dan Karo. Studi Thoha et al. (2014) di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah menemukan
penyebab kebakaran hutan dan lahan dari aktivitas manusia umumnya berasal dari lahan-
lahan semak belukar dan alang-alang yang merupakan lahan terlantar. Hal ini sesuai dengan
berbagai hasil penelitian bahwa lahan alang-alang-alang dan semak belukar sering menjadi
sumber api yang kemudian menjalar ke perkebunan dan hutan seperti ditemukan di
Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara.

Kesimpulan

Secara temporal titik panas kebakaran di Sumatera Utara mengalami peningkatan yang cukup
tinggi setiap lima tahun. Terdapat dua periode dalam setahun dimana titik panas mengalami
peningkatan yaitu bulan Februari-Maret dan Bulan Juni-Agustus. Adapun prosentase titik
panas rata-rata tertinggi terjadi pada Bulan Juli. Penyebab kebakaran hutan dan lahan di
Sumatera Utara tidak sama antar wilayah. Penyebab paling umum adalah kebakaran karena
aktivitas pembersihan lahan untuk areal perkebunan, baik kebun kopi, kebun karet maupun
kebun sawit. Penyebab lainnya yang adalah untuk penggembalaan, kelalaian masyakarat,
konflik dengan perusahaan dan untuk alasan adat istiadat.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didanai oleh Penelitian DRPM Kemenristekdikti Skema Penelitian Terapan
Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) Tahun Anggaran 2018 Nomor
228/UN5.2.3.1/PPM/KP-DRPM2018. Terima kasih juga disampaikan kepada Manggala
Agni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di seluruh wilayah Sumatera Utara dan
tim lapangan yang memberikan dukungan selama pengumpulan data. Penghargaan yang
tinggi juga disampaikan kepada tim review untuk komentar dan koreksinya.

Daftar Pustaka
Akbar A, Sumardi, Hadi R, Purwanto, Sabarudin MS. 2011. Studi Sumber Penyebab
Terjadinya Kebakaran Dan Respon Masyarakat Dalam Rangka Pengendalian
Kebakaran Hutan Gambut Di Arealmawas Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman 8 (5): 287 – 300
Bungin B. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
De Leon JCV. 2009. Community early warning systems: A strategy for the local
management of disaster reduction in Central America. Tersedia online di
info.worldbank.org/etools/docs/library/230352/...2/CaseStudy2.doc [diakses 30
Nopember 2009]
Giglio, L. (2015). MODIS Collection 6 Active Fire Product User's Guide Revision A.
Department of Geographical Sciences. University of Maryland.
Goldammer JG, Brady M, Csiszar IA, de Groot WJ, Justice CO, Keenan T, Lorentz E,
O’Loughlin K, Lynham TJ, Oertel D, Stock BJ. 2006. Development of a Global
Wildland Fire Early Warning System within the envisaged Multi-Hazard Global Early
Warning System. Presentatio Paper, Third International Early Warning Conference
Scientific and Technical Symposium. Bonn, Germany, 28 March 2006.
Harrison ME, Page SE, Limin SH. 2009. The global impact of Indonesian forest fires.
Biologist. 56 (3): 156 – 163
Kompas.com. 2015. BNPB: Scale Disaster 2015 Smaller than 2014. Tersedia online di
nasional.kompas.com/read/2015/12/18/17001251/BNPB.Skala.Bencana.2015.%20Leb
ih.Kecil.Dibanding.2014 [Diakses, 20 April 2016)
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Statistik Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Tahun 2016. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Langmann, B, Duncan B, Textor C, Trenmann J, van der Werf GR. 2009. Vegetation fire
emissions and their impact on air pollution and climate. Atmospheric Environment 43 :
107-116
Page SE, Siegert F, Rieley JO, Boehm HV, Jayak A. and Limin SH. 2002. The amount of
carbon released from peat and forest fies in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65
Prasetyo LB, Dharmawan AH, Nasdian FT, Ramdhoni S. 2016. Historical forest fire
occurrence analysis in Jambi Province during period of 2000 – 2015 : its distribution
and land trajectories. Procedia Environmental Sciences 33 : 450 – 459
Someshwar S, Boer R, Conrad E. 2010. World Resources Report Case Study. Managing
peatland fire Risk in Central Kalimantan, Indonesia. World Resources Report,
Washington DC. Tersedia Online di
http://www.wri.org/sites/default/files/uploads/wrr_case_study_managing_peatland_fir
e_risk_indonesia.pdf [diakses 21 Oktober 2013]
[UNISDR] United Nation International Strategy for Disaster Reduction. 2009. ISDR
Terminologi Pengurangan Risiko Bencana. UNISDR Asia and the Pacific Office,
Bangkok.
Taufik M, Setiawan BI, Prasetyo LB, Pandjaitan NH, Soewarso. 2011. Pengembangan indeks
bahaya kebakaran di HTI SBAWI Sumatra Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
8 (4) : 215 - 223
Tata HL, Naendra BH and Mawazin. 2018. Forest and land fires in Pelalawan District, Riau,
Indonesia: Drivers, pressures, impacts and responses. Biodiversitas 19 (2) : 494-501
Thoha AS, Syaufina L, June T. 2007. Penggunaan Penginderaan Jauh untuk Prediksi
Kebakaran Gambut di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Hutan Tropika, 2
(1): 35-38
Thoha AS, Saharjo BH, Boer R, Ardiansyah M. 2014. Spatiotemporal distribution of peatland
fires in Kapuas District, Central Kalimantan Province, Indonesia. Agriculture, Forestry
and Fisheries. 3(3): 163-170.
Thoha AS, Saharjo BH, Boer R, Ardiansyah M. 2018. Stengthening community participation
in reducing GHG emission from forest and peatland. IOP Conference Series: Earth and
Envioronmental Science, Volume 122 (2018) 012076 doi :10.1088/1755-
1315/122/1/012076
Wosten, JHM., Clymans E, Page SE, Riley JO, Limin SH. 2008. Peat–water
interrelationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena 73: 212–
224

Anda mungkin juga menyukai