Anda di halaman 1dari 12

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74

PRIBUMISASI DALAM PANDANGAN ABDURAHMAN WAHID

A. Soheh Mukarom
Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunang Djati
Bandung Jl.A.H. Nasution 105 Cibiru,Bandung 40614.Indonesia E-Mail:
sohehmukarom@gmail.coms

_________________________

Abstract
Indigenization (pribumisasi) of Islam in Java can not be compared to syncretism because it only involves local
culture in defining Islamic laws without changing its substances to meet local culture. Indigenization as Wahid
means is how Islamic doctrines are interpreted so that local culture is valid in terms of Islamic jurisprudences. On
the other hand, syncretism is mixing two or more religious beliefs and as a result it makes another and new form of
belief as exemplified in ritual practice of a thousand deity temple in India.
Keywords
indigenization (Pribumisasi), local culture, Arabisasi, Nash.
__________________________

Abstrak
Pribumisasi Islam di Jawa tidak dapat dibandingkan dengan sinkretisme karena hanya melibatkan budaya lokal
dalam menentukan hukum Islam tanpa mengubah substansinya untuk memenuhi budaya lokal. Indigenisasi seperti
yang dimaksud Wahid adalah bagaimana doktrin-doktrin Islam ditafsirkan sehingga budaya lokal berlaku dalam hal
yurisprudensi Islam. Di sisi lain, sinkretisme mencampur dua atau lebih keyakinan agama dan akibatnya ia membuat
bentuk keyakinan baru dan baru seperti yang dicontohkan dalam praktik ritual seribu kuil dewa di India.
Kata kunci
indigenization (Pribumisasi), budaya lokal, Arabisasi, Nash.
__________________________

sebuah taeori. Sejarah mencatat bahwa


gagasan menghadirkan Islam dalam bingkai
A. PENDAHULUAN ideologis tidak atau belum bisa direalisasikan.
Ricklefs melihat kedatangan Islam ke Tampaknya dalam membangun kehidupan
Indonesia telah membawa bangsa Indonesia berbangsa dan bernegara Islam baru sesuai
memasuki zaman modern.1 Islam telah untuk dijadikan landasan etik. Namun sebagai
mempengaruhi kehidupan praktis, pola pikir, sebuah sumber anutan yang shâlihûn li kulli
cara pandang serta muatan-muatan ideologis. zamân wa makân, Islam diyakini sebagai
Islam telah menjadi katalisator sekaligus sumber segala sumber. Oleh karenanya
inspirator bagi terjadinya transformasi sosial, kebutuhan mengawinkan Islam dengan buda-
budaya, bahkan intelektual. Kuntowijoyo2 ya lokal itu sedemikian tinggi. Ini dimaksud-
melihat bahwa umat Islam Indonesia telah kan sebagai jawaban atas problematika yang
melalui tiga pergeseran kesadaran; utopia, dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya.
ideologis dan kesadaran ide. Kesadaran utopia Upaya untuk mengintegrasikan antara
yang mistis telah berganti kesadaran yang unsur-unsur keislaman dengan unsur-unsur
berorientasi ideologi atau kekuasaan, dan lokalitas (keindonesiaan) telah banyak
berkembang terus menuju kesadaran untuk dilakukan.3 Integrasi ini disebut Pribumisasi
merumuskan nilai-nilai normatif Islam sebagai

1
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern,
Penterj. Dharmono Hardjowijono, Gadjah Mada 3
Mengenai gagasan integrasi dapat dilihat pada; M.
University Press, Yogakarta, 1992. Safi`i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia:
2
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Sebuah Kajian Politik Tentang Kajian Islam Orde
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994. Baru, Paramadina, Jakarta, 1995
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

Islam,4 namunpun begitu, kebutuhan untuk nya keberatan beberapa elemen umat atas
terus mengembangkannya makin terasa seiring penetapan pancasila sebagai ideologi negara.
dengan perkembangan zaman yang kian pesat. Keberatan tersebut –pada akhirnya-
Dalam hal inilah pemikiran Abdurahman meminggirkan umat Islam dari arena politik.
Wahid sebagai salah seorang pemikir perlu Maka demi kemajuan umat Islam juga,
diangkat. mengkompromikan nilai Islam dengan
Pada Muktamar NU 1984 di Situbondo, ideologi bangsa menjadi suatu keharusan.
ketika baru saja dilantik sebagai Ketua Umum
PBNU, kepada wartawan Abdurrahman Wahid B. HASIL DAN PEMBAHASAN
mencoba menjelaskan tentang pribumisasi 1. Pribumisasi Islam, Problematika
Islam. Dengan gagasannya ini ia ingin Definisi
memantapkan kehadiran Islam di Indonesia. Abdurrahman Wahid memberikan definisi
Melalui langkah pribumisasi Islam menurut- pribumisasi Islam sebagai sebuah kesadaran
nya, Walisongo telah berhasil meng-Islamkan akan perlunya memupuk pengembangan akar-
wilayah Jawa, tanpa harus mengalami kemelut akar budaya lokal. Menurut pandangannya,
terhadap budaya setempat. Meski ia agama Islam dan budaya memiliki indepen-
sebenarnya bukan orang pertama yang mulai densi masing-masing, tapi keduanya memiliki
menggelindingkan gagasan tersebut, namun wilayah tumpang tindih. Hal ini dapat
dia termasuk perintis dan mempopulerkan dibandingkan terhadap independensi antara
istilah pribumisasi Islam. ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang tak dapat
Abdurrahman Wahid melihat Pribumisasi berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tak
Islam sebagai desakan untuk membalik arus dapat dikatakan bahwasanya ilmu
perjalanan umat Islam menjadi kesadaran akan pengetahuan ialah filsafat. Di antara keduanya
perlunya memupuk kembali akar-akar budaya terdapat tumpang tindih termasuk perbedaan-
lokal dari formalisme berbentuk arabisasi total. perbedaan.5
Proses ini berarti mempertemu-kan antara Islam bersumber pada wahyu serta
norma dan syariah, yaitu pengakomodasian memiliki norma-norma sendiri. Sebab bersifat
hukum adat dalam fiqh, pengembangan apli- normatif maka ia condong menjadi permanen.
kasi nash, serta pembaruan konsepsi ideologi Sementara budaya ialah buatan manusia,
politik, yakni penerimaan pancasila sebagai sebabnya ia berkembang berdasarkan dengan
ideologi negara. perubahan zaman dan cenderung akan selalu
Beberapa faktor yang mendorong bangkit- berubah. Tapi perubahan ini tak menutup
nya pribumisasi Islam adalah pertama; peru- peluang manifestasi kehidupan beragama
bahan pemahaman terhadap doktrin teologis dalam sebuah bentuk kebudayaan. Maka
sebagai akibat berkembangnya gagasan plura- muncullah tarian “Seudati” di Aceh, gaya
lism yang merujuk pada kesadaran pentingnya hidup santri, kebiasaan menghormati kyai dan
menerima kemajemukan. Kedua, adalah suatu lain sebagainnya.
kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari Tumpang tindih antara agama serta budaya
berbagai suku, adat dan agama, maka harus ini akan terjadi terus, dan dapat dipandang
dicari suatu formula yang tepat agar kehidupan selaku proses yang memperbendaharakan
menjadi lebih damai, sejahtera dan bermakna. kehidupan beragama. Pengayaan ini menye-
Salah satu tawaran yang dikedepankan adalah babkan terjadinya rekonsiliasi berbagai unsur.
mensintesakan Islam dengan budaya lokal. Akan tetapi kalaupun harus ada rekonsiliasi
Ketiga, faktor ideologi dan politik , yakni ada-
5
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, dalam
Muntaha Azhari dan Abdul Mun‟im Saleh (eds.), Islam
4
Bahtiar Efendi Islam dan Negara,: Transformasi Menatap Masa Depan, Perhimpunan Pengembangan
Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta,1989, hlm.
Jakarta, Paramadina 1998. Hlm. 146. 92.

64 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

bukanlah berarti agama menjadi budaya dan menggunakan istilah “pribumisasi Islam”
kehilangan jati dirinya. Agama tetap agama, sebab sulit untuk menemukan padanan kata
dan sebagai sesuatu yang bermuatan nilai, yang lain. “Domestikasi Islam” terkesan
agama akan mewarnai keragaman budaya di politik, yakni penjinakan sikap dan
sekitarnya. pengebirian pendirian.7
Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, Tampak sekali kalau Abdurrahman Wahid
tertangkap kesan adanya berbagai upaya sangat hati-hati dalam memberikan
penyeragaman, termasuk dalam level budaya. terminologi atas gagasannya itu. Sejauh
mungkin ia menghindari ungkapan-ungkapan
Ada upaya sistematis untuk menyeret yang berbau politis. Kehati-hatian tersebut
pemahaman umat Islam Indonesia bahwa yang bisa dipahami, sebab di samping berbicara
dimaksud dengan Islam adalah identik dengan politik pada masa pemerintahan rezim
Timur Tengah. Akibatnya unsur-unsur budaya Soeharto sangat tabu, juga istilah domestikasi
lokal menjadi tercerabut dan kehilangan biasanya berkonotasi negatif sebagai suatu
vitalitasnya. Kaum lelaki harus memelihara sarana untuk menyumbat aspirasi politik umat
jenggot, mesjid harus mempunyai kubah Islam. Teori domestikasi sering diasosiasikan
model Timur Tengah, kain sarung harus dengan karya-karya dari Harry J. Benda
mengenai Islam politik di Indonesia. Teori ini
diganti dengan jubah, dan banyak lagi dibangun di atas landasan analisis historis
fenomena kehidupan yang diarahkan pada tentang Islam di Jawa pada abad ke 16 hingga
upaya “arabisasi”. Kehidupan umat pun abad 18 terkhusus pada masa perebutan
berubah menjadi sangat formalistik.6 kekuasaan antara kerajaan Mataram Islam
Kenyataan inilah yang digugat oleh yang sinkretis dengan kerajaan Islam yang taat
Abdurrahman Wahid. Ia berpandangan bahwa di pesisir utara Jawa. Dalam memerebutkan
meskipun Islam lahir di Arab tetapi tidak kekuasaan ini, kelompok aristokrasi Jawa
yang mewakili negara Mataram yang sinkretis
identik dengan budaya Arab. Karena itu harus menang besar. Dengan berkembang-nya suatu
ada pembedaan mendasar antara agama aliansi antara kelompok aristokrasi Jawa dan
(Islam) dengan budaya Arab. Islam dalam kekuatan kolonial Belanda, proses domestikasi
konteks ajaran adalah segala materi yang ini berkembang dalam tingkatan yang paling
terdapat dalam al-Qur‟an dan Sunnah luas, ditandai oleh dimandul-kannya
sedangkan manifestasinya di dunia Arab “cengkraman politik” Islam Jawa. Proses
adalah produk budaya. Oleh sebab itu tidak pemandulan Islam ini semakin kuat pada masa
pasca kolonial, dan mencapai puncaknya pada
ada tuntutan untuk menyeragamkan pola masa pemerintahan Soeharto.8
kehidupan umat Islam di negeri ini dengan Pemberian definisi pribumisasi sangat
berbagai pola budaya Timur Tengah tersebut. mungkin didasari oleh pertimbangan agar
Yang ada adalah rekonsiliasi antara Islam lebih memasyarakat dan terkesan netral,
sebagai agama dengan budaya lokal yang akan meskipun harus diakui ada beberapa hal yang
memungkinkan terciptanya modifikasi kreatif harus diklarifikasi. Pertama; terminologi
menuju pada variasi kultural. Inilah esensi dari pibumisasi Islam bisa saja dipahami sebagai
pribumisasi Islam. gagasan untuk mencampurkan Islam dengan
Segala kenyataan di atas menghantarkan budaya lokal (sinkretisme), atau bisa saja
tuntutan guna membalik arus perjalanan Islam dipandang sebagai proses Jawanisasi. Kedua;
di negeri ini, bermula formalisme berbentuk ada dimensi politis yang mengiringi kelahiran
“Arabisasi total" menjadi kesadaran terhadap
perlunya pemupukan kembali kepada akar- 7
Ibid., hlm. 90. Sesungguhnya Bahtiar Effendi dan
akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan William Liddle memakai istilah indigenism sebagai
sendiri dalam mengembangkan kehidupan padanan istilah pribumisasi. Lihat, Bahtiar Effendi,
beragama Islam di negeri ini. Penulis Islam dan Negara;Transformasi Pemikiran Islam dan
Praktek Politik Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta,
1998.
6 8
Abdurrahman Wahid, “Salahkah Bila Uraian mengenai domestifikasi Islam Jawa ini
Dipribumisasi” dalam Muhammad Saleh (ed.), Tuhan disajikan secara lengkap oleh Bahtiar Efendy, dalam
Tidak Perlu Dibela, LKIS, Yogyakarta, 1999, hlm. 92. bukunya Islam dan Negara, hlm. 28-31.

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74 65
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

gagasan ini yakni di tengah kuatnya lain, termasuk di Indonesia. Ilustrasi


cengkraman dan pemandulan politik Islam perjalanan sejarah Islam ini bisa diibaratkan
oleh pemerintah Orde Baru, hingga bisa saja dengan sebuah sungai besar yang terus
gagasan yang akomodatif ini diasumsikan mengalir dan kemudian dimasuki oleh kali
sebagai upaya tendensius yang lebih cabangan sehingga sungai itu semakin
berorientasi politik daripada mencari solusi membesar.
atas problematika umat Islam terutama yang Bergabungnya kali baru berarti masuknya air
berkaitan dengan gagasan pembaruan pemikir- baru yang merubah warna air yang telah ada.
an Islam. Bahkan pada tahap berikutnya aliran sungai
Untuk mencegah terjadinya mispersepsi dan itu mungkin terkena „limbah industri‟ yang
miskomunikasi, lebih jauh Abdurrahman sangat kotor. Tapi toh tetap merupakan sungai
Wahid mengemukakan bahwa yang dipribumi- yang sama dan air yang lama. Maksud dari
kan adalah manifestasi Islam belaka. Bukan perumpamaan itu adalah proses pergulatan
ajaran yang menyangkut inti keimanan dan dengan kenyataan sejarah tidaklah merubah
peribadatan formalnya. Tidak diperlukan al- Islam, melainkan hanya merubah manifestasi
Qur‟an Batak dan Hadist Jawa. Islam tetap dari kehidupan agama Islam.10
Islam, di mana saja berada. Namun tidak
berarti semua harus disamakan „bentuk 2. Beberapa Aspek yang Dipribumikan
luar‟nya. Salahkah kalau Islam dipribumikan a. Fiqh dan Adat
sebagai manifestasi kehidupan? Gagasan pribumisasi Islam dimaksudkan
Pribumisasi tidak bisa disamakan dengan Abdurrahman Wahid sebagai jawaban atas
proses pencampuran, terutama pencampuran problem yang dihadapi umat Islam sepanjang
agama. Perlu kiranya dikemukakan bahwa sejarahnya, yakni mempertemukan budaya
pribumisasi Islam bukanlah “Jawanisasi” atau (‘âdah) dengan norma (syarî’ah) sebagaimana
sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya juga menjadi persoalan dalam Ushûl al’fiqh.
Menurut Abdurrahman Wahid tumpang tindih
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan antara agama dan budaya akan terus terjadi
lokal di dalam merumuskan hukum-hukum sebagai suatu proses yang akan memperkaya
agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga kehidupan dan membuatnya tak gersang.
bukan pula upaya meninggalkan norma demi Agama (Islam) dan budaya mempunyai
budaya, tetapi agar norma-norma itu independensi masing-masing, tetapi keduanya
menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya mempunyai wilayah tumpang tindih,
dengan mempergunakan peluang dari variasi sebagaimana filsafat dan ilmu pengetahuan.11
pemahaman terhadap nash, dengan tetap Proses mempertemukan norma dan budaya
memberikan peranan kepada ushul fiqh dan sebenarnya sangat mungkin untuk dilakukan,
qa‟idah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah sebab sesuai dengan kaidah fiqhiyah, terdapat
upaya memadukan teologia atau sistem ruang tertentu yang memungkinkan diako-
kepercayaan lama tentang sekian banyak hal modir dalam fiqh. Hal ini bisa diketahui dari
yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut pernyataan Abdurrahman Wahid sebagai
dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang berikut:
lalu membuat bentuk pantheisme. Sinkretisme Di dalam Ilmu Ushul Fiqh dikenal kaidah
dalam hal ini bisa dicontohkan dengan kuil Al ‘Âdah Muhakkamah (Adat istiadat bisa
seribu dewa di India, Iran dan Timur Tengah menjadi hukum). Di Indonesia telah lama
zaman dahulu.9 terjadi bahwa pembagian waris antara suami
Apapun realitasnya, sesungguhnya harus istri membawakan masukan berupa dua model
diakui bahwa secara historis pribumisasi atau yang berasal dari adat, yaitu adat
indegenism adalah bagian integral dari sejarah perpantangan di Banjarmasin dan gono-gini di
Islam baik di negeri asalnya maupun di negeri Yogya-Solo. Keduanya adalah respons

10
9
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, hlm Ibid., hlm.83.
11
83. Tim INCReS, Beyond The Symbols., hlm. 43.

66 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

masyarakat adat yang berada di luar lingkup mempertemukan antara adat dan syariah
pengaruh kyai terhadap ketentuan nash dengan sebenarnya cukup terbuka selama tidak
pemahaman lama yang merupakan pegangan mengurangi makna atau ketentuan dari syariah
para kyai itu. Harta rumah tangga dianggap itu sendiri. Yang penting sekarang ini adalah
sebagai perolehan suami istri secara bersama- bagaimana kita bisa memberikan argumentasi
sama yang karenanya mesti dipisahkan dulu yang bisa diterima secara syar`i, dan tentu saja
sebelum diwariskan, ketika salah satu hal ini memerlukan jembatan lain yakni
suami/istri meninggal. Separuh dari harta adanya reinterpretasi atas teks dalam
itulah dibagi kepada para ahli waris dengan kaitannya dengan fenomena kehidupan yang
ketentuan hukum waris Islam, sedangkan dihadapi dalam lingkup kehidupan yang
separuh lainnya adalah milik suami/istri yang bersifat lokal.
masih hidup. Teknik demikian adalah Akan tetapi perlu disadari bahwa penyesuaian
perubahan mendasar terhadap hukum waris, ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya
dan bentuk-bentuk penyesuaian seperti ini diperkenankan sepanjang menyangkut sisi
berjalan sementara para ulama merestuinya, budaya. Dalam soal wali nikah, ayah angkat
walaupun (seraya) tidak menganggapnya tetap bukan wali anak angkatnya. Ketentuan
sebagai cara pemecahan utama. Sebab ini adalah norma agama, bukan kebiasaan. Ini
pemecahan utama justru adalah seperti yang jelas berbeda dengan cara penempatan siswa
ditentukan oleh syara‟ secara apa adanya. di sekolah-sekolah di Timur Tengah. Di sana,
Letak kemajuannya adalah bahwa siswa laki-laki dan perempuan tingkat SD,
penyesuaian-penyesuaian seperti ini bukan SMP, dan SMA ditempatkan di ruangan
hanya tidak diharamkan tetapi bahkan terpisah dan baru boleh disatukan di tingkat
dianggap seabagi adna al-qaulâni (pendapat perguruan tinggi. Keputusan ini didasarkan
dengan mutu nomor dua) dan tidak atas anggapan bahwa para remaja umumnya
dipersoalkan bagi sesuatu yang mengganggu kurang memiliki pertimbangan dan sangat
prinsip.12 dipengaruhi nafsu. Kelemahan-kelemahan ini
Abdurrahman Wahid juga memberikan telah bisa diatasi oleh mereka yang telah
contoh lain dari kasus pengakomodasian mengalami kedewasaan dan kematangan,
hukum adat yang ditolerir bahkan dianggap yaitu pada usia memasuki perguruan tinggi.
sesuai atau setidaknya bisa diterima oleh para Cara ini bukanlah ketentuan agama, tetapi
fuqaha. Dalam kaitannya dengan pernikahan logika agama, yaitu campuran antara hukum
misalnya sebenarnya rukun bagi sahnya suami agama dan logika. Dari sini bisa muncul adat-
istri sangat sedikit, yaitu ‘ijab, qabul, saksi dan istiadat, dan adat pengaturan penempatan
wali. Sedang selebihnya diserahkan kepada siswa seperti itu yang memang lalu mengeras
adat, misalnya tentang pelaksanaan upacara di Timur Tengah. Sebaliknya di Indonesia,
peresmiannya. Hal ini sudah berjalan beberapa ulama melihat dari sudut lain, yaitu bahwa
saat dan memang selalu ada tidak ada tempat yang lebih aman dari
perubahan-perubahan tanpa banyak sekolah, meskipun belum sama sekali
menimbulkan reaksi karena berjalan secara memadai. Sehingga para ulama memperboleh-
sendiri-sendiri. Pola hubungan ini ditampung kan dimasukinya sekolah, meskipun siswa dan
dalam al-‘âdah muhakkamah, sehingga adat siswinya duduk dalam satu kelas (ko-
istiadat bisa disantuni tanpa mengurangi edukasi).14
sahnya perkawin-an.13
Pada kasus-kasus di atas, Abdurrahman b. Pengembangan Aplikasi Nash
Wahid menyatakan bahwa ruang untuk Ada prinsip-prinsip yang keras dalam
hukum Islam yang menyatakan bahwa adat
12 tidak bisa mengubah nash, melainkan hanya
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”,
hlm. 84.
13
Ibid., hlm. 85.
14
Ibid., hlm. 85

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74 67
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

mengubah atau mengembangkan aplikasinya waris laki-laki dan perempuan akibat adanya
saja, dan memang aplikasi itu akan berubah ketentuan “bagian laki-laki adalah dua kali
dengan sendirinya. Misalnya nabi tidak lipat bagian perempuan”, maka digunakanlah
menetapkan beras sebagai benda zakat washiyah wâjibah. Konsep washiyah wâjibah
melainkan gandum. Lalu ulama yang ini menganggap seakan-akan almarhum telah
mendefinisikan gandum sebagai qutul balad; berwasiat. Jumlah maksimal wasiat yang
makanan pokok. Dan karena itulah gandum diperkenankan (sepertiga dari harta
berubah menjadi beras untuk Indonesia.15 peninggalan) diambil terlebih dahulu untuk
Pada kasus di atas ada indikasi untuk dibagikan secara merata kepada ahli waris.
memodifikasi pemahaman atas nash dengan Barulah sisanya dua pertiga dibagi menurut
didasarkan pada kondisi objektif yang ketentuan nash, yang dua berbanding satu
dihadapi umat. Contoh lain lagi ialah bolehnya untuk laki-laki.17
menikah dengan maksimal empat wanita dan Contoh lain pengembangan aplikasi nash yang
kalau tidak bisa menegakkan keadilan wajib disesuaikan dengan kebutuhan lokal adalah
hanya menikah dengan seorang saja (Q.S. al- reinterpretasi atas hadits Nabi yang
Nisâ' [4]:3). Pada mulanya keadilan ini diukur memerintahkan umat beliau untuk memper-
dengan keseimbangan jatah giliran menginap banyak pernikahan dan kelahiran, karena di
dan nafkah, Tetapi sekarang sudah tumbuh hari kiamat beliau akan membanggakan
keberanian mempertanyakan mengapa begitu mereka di hadapan umat Nabi-Nabi lain. Pada
simplistiknya konsep keadilan itu, bagaikan awalnya, kata banyak dipahami sebagai
Islam hanya menghargai wanita dari ukuran- jumlah (kuantitas), tetapi kemudian kata
ukuran biologis, oleh karenanya kini laki-laki banyak bergeser menjadi kualitas, maka
dan wanita sama-sama didudukkan sebagai perubahan pemahaman seperti ini membawa
objek hukum. Dengan demikian pemahaman kepada rumusan pemahaman nash baru yakni
nash itu menjadi ”kawini seorang wanita saja, “kawinlah akan tetapi jangan terlalu banyak
dan perkawinan kedua dan seterusnya hanya anak dan aturlah jumlah keluarga anda”.
bisa dilaksanakan jika ada keperluan yang bisa Konsekuensi lebih jauhnya adalah perubahan
disetujui oleh istri”. Dan inilah yang telah
pemahaman menyangkut usia perkawinan
dirumuskan di dalam Undang-Undang
serta penggunaan alat kontrasepsi sebagai
Perkawinan Indonesia No. 1 Tahun 1974.
sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Tampaklah dalam kasus ini perubahan
pemahaman menjadi sesuatu yang tak Pada kasus semacam ini, perubahan
terelakkan, dengan melihat bahwa para ulama pemahaman sudah tentu harus didukung oleh
menerima penyantuman pemahaman seperti argumentasi yang memadai baik secara logika
itu di dalam Undang-Undang.16 maupun syar‟i. Dengan kata lain harus
Yang menjadi masalah sekarang ini adalah dipertimbangkan penggunaan berbagai kaidah
bagaimana mempercepat pengembangan fiqhiyah seperti kaidah dzar’u al-mafâsid
pema-haman nash itu dan agar berjalan lebih muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih atau al-
sistematik lagi, dengan cakupan yang luas dan dharûrah tubîhu al-mahdhûrah. Gabungan
argumentasi yang lebih matang. Kalau dari dua dalil terakhir akan membentuk
keinginan ini terlaksana maka inilah yang kesimpulan bahwa hâjah (keadaan
dimaksudkan dengan pribumisasi Islam, yaitu membutuhkan) bisa menghalal-kan yang
pemahaman atas nash dikaitkan dengan haram, karena faktor kebutuhan setara dengan
masalah-masalah di negeri kita. Sebagai keadaan darurat. Oleh karenanya bisa diambil
contoh, ada sebuah kasus di Mesir pada tahun keputusan pembolehan sterilisasi yang bisa
1930-an, ketika Dewan Ulama Tertinggi Al- disembuhkan kembali oleh tim yang terdiri
Azhar memutuskan bahwa guna menghilang- dari berbagai ahli dari berbagai bidang seperti
kan selisih yang banyak antara bagian ahli demografi, ekonomi, fiqh, psikologi dan
dokter medis. Rumusan ini jelas merupakan
15
Ibid., hlm. 86
16 17
Ibid., hlm. 86 Ibid., hlm. 87

68 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

perubahan besar dalam konsep-konsep dasar realitas empirik melainkan juga pada dataran
fiqh.18 ide dan pemikiran. Salah satu contoh
Di sini Abdurrahman Wahid melangkah kemajemukan itu adalah perbedaaan
cukup luas dan berani yaitu menggagas pandangan mengenai hubungan antara agama
perlunya melibatkan berbagai macam ahli (Islam) dan Negara.
dalam merumuskan suatu hukum terutama bila Abdurrahman Wahid menolak pandangan
hukum itu berkaitan dengan urusan makro. formalistik yang menyatakan bahwa Islam
Dengan demikian, akhirnya, yurisprudensi harus menjadi ideologi negara dan sekaligus
dalam Islam tidak hanya mutlak milik kaum menjadi sistem politik dalam bentuk institusi
fuqaha belaka. negara, sebab selain gagasan “formalisme
sehubungan dengan gagasannya tentang Islam” itu sangat debatable juga dianggap
pribumisasi Islam, ia menyamakan assalâmu sangat tidak kondusif dengan kehidupan
’alaikum dengan ahlan wa sahlan atau shabâh berbangsa dan bernegara. Sementara pada sisi
al-khair. Itu berarti assalâmu’alaikum bisa
diganti dengan “selamat pagi” atau “apa yang lain ada argumen historis yang
kabar”. Gagasan untuk pribumisasi Islam mengisyaratkan bahwa potret penampilan
seperti ini tentu saja membuat geger di wajah Islam dalam hubungannya dengan
kalangan ulama NU, hingga akhirnya sekitar politik ternyata mengalami berbagai
200 kiai berkumpul di pondok pesantren Darut perubahan. Mula-mula komunitas muslim
Tauhid Arjawinangun Cirebon, pada tanggal dipimpin oleh seorang nabi (Muhammad)
8-9 Maret 1989 untuk mengadili Abdurrahman yang sekaligus berfungsi sebagai pembawa
Wahid.19
risalah Allah. Sampai detik ini konsepsi
Terlepas dari berbagai statementnya yang
pemerintahan nabi di Madinah dipandang
cukup kontroversial tersebut, harus diakui
sebagai dasar konsepsi politik ideal bagi umat
bahwa gagasan pribumisasi Islam dengan
Islam. Ketika Nabi wafat estafet
mengedepankan pengembangan aplikasi nash
kepemimpinan kemudian diteruskan oleh para
seperti yang diagendakan oleh Abdurrahman
penggantinya al-khulafâ al-râsyidûn. Dalam
Wahid merupakan gagasan yang cukup berani
khazanah politik Islam kemudian muncul
dan briliyan di tengah problematika umat yang
terminologi khilafah sebagai institusi politik
makin kompleks. Layak kiranya direnungkan
Islam yang ada pada saat itu. Tetapi sejarah
bahwa gagasan seperti ini akan sangat
mencatat dengan jelas bahwa keberadaan
kondusif bagi pengembangan hukum Islam
institusi ini diikuti dengan berbagai
pada satu sisi dan kontribusi umat Islam di sisi
pergolakan hebat yang akhirnya memunculkan
lain dalam hubungannya dengan integrasi
sistem pemerintahan monarchi.20
umat dalam konteks kehidupan berbangsa dan
Di masa sekarang ini begitu banyak
bernegara.
perubahan terjadi. Konsepsi khilafah pun
sudah lama ditinggalkan orang dan diganti
dengan konsep negara bangsa (nation state).
c. Konsepsi Politik dan Ideologi
Berdirilah berbagai negara yang komunitas
Indonesia adalah bangsa yang sangat mayoritasnya umat Islam, tetapi mereka
majemuk baik dari sisi budaya, agama, menggunakan bentuk negara republik atau
maupun bahasa. Kompleksitas kemajemukan kerajaan. Semuanya mengklaim dirinya
tersebut tercermin bukan hanya pada dataran sebagai “negara Islam”. Ironinya mereka
menggunakan ideologi politik yang bukan saja
saling berbeda melainkan saling bertentangan,
18
Ibid., hlm. 89 dan masing-masing menyatakan diri sebagai
19
Penjelasan lengkap mengenai jawaban ideologi Islam.21
Abdurrahman Wahid terhadap pengadilan para kiai ini
bisa dibaca dalam buku Kiai Menggugat Gus Dur
Menjawab: Sebuah Pergumulan Wacana dan 20
Transformasi, Fatma Press, Jakarta, Cet. II, 1989, hlm. Ibid., hlm. 15-37.
21
15-37. Ibid., hlm. 15-37

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74 69
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

Berbagai perbedaan dituding telah sendiri yang cenderung apatis bahkan


melemahkan (umat) Islam. Di tengah situasi mungkin antipati atas formalisme Islam
semacam ini muncullah romantisme akan seperti itu. Buktinya adalah ketika pemilu,
pemulihan posisi dan kekuatan melalui para pemilih di Indonesia, yang notabene
pencarian pemahaman yang menyatu dalam mayoritas agama Islam lebih banyak yang
Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. memilih partai-partai yang „sekuler‟ daripada
Kebutuhan akan penyatuan pandangan ini memilih partai yang berasaskan Islam.24
kemudian menampilkan diri dalam kecende- Untuk itulah Abdurrahman Wahid
rungan sangat kuat untuk menyeragam-kan menyerukan untuk menjadikan Islam sebagai
pandangan. Tampillah sosok baru yang disebut ideologi alternatif terhadap konstruk negara
“formalisme Islam”.22 bangsa yang ada sekarang ini. Islam harus
Abdurrahman Wahid berkesimpulan bahwa ditampilkan sebagai unsur komplementer
untuk konteks Indonesia, menghadirkan Islam dalam formasi tatanan spasial, kultural dan
dalam bentuk ideologi politik sangat tidak politik negeri ini. Terutama karena corak
relevan. Umat Islam Indonesia harus belajar sosial, kultural dan masyarakat politik
dari perjalanan sejarahnya di mana setiap kepulauan Nusantara yang beragam, maka
upaya menghadirkan Islam dalam kerangka upaya untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi dan politik selalu mengalami ideologi alternatif atau pemberi warna tunggal
kegagalan. Penyelesaian formal berupa hanya akan membawa perpecahan dalam
Pancasila, belum sepenuhnya dapat masyarakat secara keseluruhan.25 Ungkapnya:
menyelesaikan masalah. Perbenturan masih Kini setelah menerima Pancasila sebagai
berlanjut dalam upaya “pengamanan” ideologi nasional kita harus ada langkah lanjut
Pancasila itu sendiri di lingkungan masing- apa yang harus diperbuat NU dengan negara
masing pihak dari kemungkinan ini? Dan bahwa negara (harus) dilengkapi
“penyelewengan” oleh pihak lawan politik dengan visi-visi Islam, ini hak kita,
(political adversaries) yang berbeda dari sebagaimana orang lain juga punya hak yang
musuh politik (political enemies). Segala cara sama untuk mengisi negara dengan visi-visi
terus dilakukan demi mengawal Pancasila dari mereka.26
segala bentuk penyelewengan, walaupun Catatan di atas menunjukkan konsepsi
dalam kenyataannya muncul juga “perlawanan pemikiran Abdurrahman Wahid yang
politis” (political adversity) itu.23 memandang agama (Islam) sebagai nilai etis
banyak bukti yang menunjukan besarnya yang harus mewarnai seluruh aspek dan
hambatan dalam proses pembangunan yang realitas yang telah ada. Penerimaan
diakibatkan oleh kesalahpahaman yang sangat Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila
besar antara pihak penanggungjawab ideologi sebagai ideologi negara dirangkai dengan
negara dan pimpinan gerakan-gerakan konsekuensi logisnya yakni penerimaan akan
keagamaan di kalangan negara-negara yang konsep negara bangsa berikut seluruh sistem
sedang berkembang. Dengan pertimbangan pemerintahannya yang sekarang berlaku,
seperti ini, menghadapkan Islam secara vis-à- sebagai bentuk final negara Indonesia.
vis dengan Pancasila sebagai ideologi negara
menjadi sangat tidak menguntungkan bagi 24
kalangan Islam sendiri. Alasan lain secara Abdurrahman Wahid, “Antara Asas Islam dan
Asas Pancasila”, dalam Zaini Shafari Al Raef dan
faktual ternyata banyak komunitas Islam Andri Taufik h. Membangun Demokrasi, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 38-39.
25
Abdurrahman Wahid, “Masa Islam dalam
22 Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, dalam Muh.
Abdurrahman Wahid, “Salahkah Jika Dipribumi-
sasikan”, hlm. 90. Shaleh Isre, Prisma, hlm. 203-205.
23 26
Abdurrahman Wahid, “Agama Ideologi dan Abdurrahman Wahid, “Merumuskan Hubungan
Pembangunan” dalam Muhammad Shaleh Isre (ed.), Ideologi Nasional dan Agama”, dalam Majalah Aula,
Prisma, Pemikiran Abdurrahman Wahid, LkiS, Tanpa tempat terbit, 1985.
Yogyakarta, 2000, hlm. 8.

70 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

Menurut pendapatnya sia-sia saja usaha dari ajaran Islam. Sedangkan kelompok
kelompok-kelompok muslim tertentu yang “optimalis” menginginkan ajaran Islam
mengklaim bahwa Islam mempunyai konsep dilaksanakan sepenuhnya dan kalau dapat
negara yang telah baku.27 secara harfiah. Sebuah negara masih harus
Timbul reaksi keras terhadap pemikirannya “di-Islamkan” kalau belum benar-benar Islam
tersebut. Untuk mengkounter reaksi tersebut, secara tuntas.30
Abdurrahman Wahid menyajikan argumentasi Permasalahan ini menjadi semakin
teoritis dengan bersandar pada pandangan Ali kompleks manakala kita menengok status dan
Abdul Raziq, yang menyangkal adanya peran agama di Indonesia. Landasan formal
kerangka kenegaraan dalam Islam. Katanya al- kehidupan bernegara memang tidak
Qur‟an tidak pernah menyebut-nyebut tentang menetapkan agama sebagai salah satu unsur
“negara Islam” (daulah al-Islâmiyah atau an ramuan dalam kegiatan pemerintahan. Namun
Islamic State), al-Qur‟an hanya menyebutkan ia harus dilakukan dalam peranan konkret
apa yang disebut sebagai negara yang baik dan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan
penuh pengampunan Tuhan (Baldatun kata lain, secara eksplisit Pancasila dan UUD
thayyibatun wa rabbun ghafûr).28 1945 tidak menyebutkan landasan keagamaan
Pandangan Ali Abdul Raziq ini menurut dalam kehidupan beragama, tetapi secara
Wahid dilandasi argumentasi yang sangat implisit ia mendukung pemerintahan yang
logis. Islam tidak punya konsep kenegaraan menunjang kehidupan beragama.31
karena: pertama, dalam al-al-Qur‟an tidak ada Abdurrahman Wahid berusaha memberi-
doktrin yang dengan jelas menyatakan tentang kan pencerahan pemahaman dengan mengajak
konsepsi dan struktur kenegaraan; kedua, umat Islam untuk berpikir realistis dan tidak
perilaku Nabi sendiri tidak pernah terjebak dalam pemahaman yang dikotomis.
memperlihatkan watak politis, melainkan Baginya selama nilai-nilai Islam masih
moral; ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan menjadi inspirasi dan terus bisa mewarnai
secara definitif mekanisme penggantian kehidupan masyarakat maka negara sudah
pejabatnya termasuk mengenai suksesi memiliki “watak Islam” tanpa mempersoalkan
kepemimpinan setelah ia wafat.29 sistem yang berlaku apalagi memposisikan
Fenomena ini juga sekaligus menjadi agama dalam posisi dikotomis seperti
landasan bagi umat Islam Indonesia untuk pandangan kaum sekularis atau kaum
menerima sistem politik yang berlaku konservatif.
sekarang ini sebagai bentuk final negara. Meskipun menerima konsepsi negara ini
Masalahnya sekarang ini adalah ada sebagai bentuk final, tidak berarti ia tidak
pandangan yang berbeda antara apa yang kritis terhadap berbagai kesulitan yang
disebut oleh Abdurrahman Wahid sebagi dihadapi oleh bangsa sekarang ini. Menurut
pandangan “minimalis” dan pandangan pandangannya mispersepsi dalam menafsirkan
“optimalis”. Pandangan minimalis realitas kehidupan umat terutama dalam hal
menganggap sebuah negara telah memiliki hubungan antara agama dan negara terjadi
“watak Islam” kalau inti ajaran Islam telah karena rapuhnya kehidupan konstitusional.
diakui seperti keesaan Tuhan. Islam berfungsi Pengertian yang terkandung dalam ideologi
inspirasional; menjdi sumber yang mendorong negara dan Undang-Undang Dasar belum
munculnya legislasi dan pengakuan negara diperjelas. Dan belum sama pendapat orang
yang manusiawi namun tidak menentang tentang batas-batas antara kegiatan pemerintah
di bidang agama. Tetapi terlepas dari adanya
asumsi pro dan kontra, Abdurrahman Wahid
27
Abdurrahman Wahid, “Islam Punyakah Konsep
Kenegaraan”, dalam Muhammad Shaleh Isre (ed),
30
Tuhan Tidak Perlu Dibela, LKiS, Yogyakarta, 2000, Ibid., hlm. 16.
hlm. 18. Abdurrahman Wahid, “Sekuler tidak Sekuler”,
31
28
Ibid., hlm. 16. dalam Muh. Shaleh Isre (ed). Tuhan Tidak Perlu
29
Ibid., hlm. 16. Dibela., hlm. 94

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74 71
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

meyakini bahwa problematika ini lambat laun atau surau. Demikian juga ulang tahun,
juga akan terjembatani.32 Inilah yang mengapa harus diganti dengan milad?.
dimaksud sebagai proses menuju pribumisasi Bukankah ini pertanda bahwa Islam Indonesia
Islam dalam lapangan ideologi dan politik. menjadi tercerabut dari akar budaya
d. Pribumisasi Versus Arabisasi lokalnya?33
Berbeda dengan pembahasan terdahulu yang Semua yang dipertanyakan oleh Abdurrahman
lebih substantif dan esensial, bagian ini justru Wahid ini memang pada dataran artifisial,
lebih bersifat artifisial dalam arti proses tetapi hal ini akan menjadi penting manakala
pribumisasi Islam pada lapangan artikulasi secara antropologis budaya itu bisa
budaya. Menurut pandangan Abdurrahman berkembang jika adaftif dengan kultur lokal.
Wahid ada kecenderungan dewasa ini untuk Di samping pentingnya ummat Islam
memahami Islam secara monolitik dengan Indonesia mampu membedakan secara jelas
mengidentifikasi diri dengan budaya Timur unsur substansi dari ajaran Islam dan tidak
Tengah atau lebih spesifik budaya Arab. mencampur-adukkan dengan unsur budaya.
Akibatnya dalam artikulasi budaya muncul Pada kaitan ini cukup jelas kiranya apa yang
pola penyeragaman yang pada akhirnya akan diinginkannya yakni membiarkan proses
mengancam eksistensi budaya lokal. Padahal budaya itu berkembang apa adanya selama
harus diakui bahwa sepanjang perjalanan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan
sejarahnya Islam telah mengalami akulturasi norma yang secara esensial telah digariskan
dengan berbagai budaya di mana ia oleh agama Islam.
berkembang. Ketika di Persia, Islam ikut 3. Agenda Prioritas dalam Pribumisasi
mewarnai dan diwarnai oleh budaya Persi, Islam
demikian juga ketika datang di India, Islam Untuk merealisasikan gagasan pribu-
memperkaya dan diperkaya oleh budaya India. misasi Islam harus ada agenda prioritas
Dalam kerangka pribumisasi Islam, harus yang mesti dikedepankan. Menurut
dibedakan dengan jelas mana yang disebut Abdurrahman Wahid, hal yang pertama
Islam dan mana yang disebut budaya. Hal ini kali harus dikerjakan adalah menciptakan
tidak hanya berlaku dalam bidang-bidang kesadaran masyarakat tentang apa yang
seperti telah dikemukakan pada bagian harus dilakukan oleh Islam. Dari sinilah
terdahulu saja, tetapi juga dalam realitas akan muncul lahan bagi masuknya
budaya sehari-hari termasuk di dalamnya seni pendekatan sosio-kultural yang sifatnya
dan arsitektur. Menurut pandangan mampu menampung kebutuhan-kebutuhan
Abdurrahman Wahid sungguh kurang pengem-bangan dan perubahan.34 Dengan
bijaksana apabila Mesjid-mesjid yang beratap kata lain ada agenda yang cukup mendesak
genteng yang sarat dengan simbolisasi yang harus dipenuhi oleh umat Islam yakni
lokalnya harus dikubahkan. Demikian juga pentingnya memahami dan
dengan unsur seni seperti gamelan yang mengaplikasikan ilmu-ilmu sosial dalam
dipakai dalam wayang yang di masa lalu menghadapi situasi dan tuntutan jaman
digunakan sebagai sarana dalam penyebaran yang senantiasa berubah.
Islam harus diubah dan diseragamkan dengan Hal lainnya adalah merangsang umat Islam
musik gambus yang merupakan simbolisasi untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi
dari musik padang pasir. simbolik dari Islam dalam kehidupan, akan
Abdurrahman Wahid juga mempertanya- tetapi lebih mementingkan esensinya. Hal ini
kan mengapa harus menggunakan kata berarti penciptaan weltanschaung Islam
“shalat” kalau kata “sembahyang” juga tidak
kalah benarnya. Mengapa harus “dimushala-
kan” padahal dulunya cukup disebut langgar 33
Abdurrahman Wahid, “Salahkan Jika
Dipribumisasikan”, hlm. 91.
34
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”,
32
Ibid., hlm. 95. hlm. 94

72 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

dengan pembinaan atau pembentukan tiga nilai yang harus ditempuh melalui dialog dengan
dasar yakni keadilan, persamaan dan semua pihak. Apa yang ada tetap
demokrasi yang dalam kerangka dipertahankan tetapi mesti ditambah dan
operasionalnya mewujud dalam kaidah fiqh diperjelas dengan wawasan-wawasan baru.
tasharruf al-imâm ‘ala ra’iyatihi manûthun bi Dengan kata lain semua kelompok masyarakat
al-mashlahah (tindakan pemegang kekuasaan bertanggung jawab terhadap proses
rakyat ditentukan oleh kemaslahat-an dan pribumisasi Islam dalam arti mengokohkan
kesejahteraan mereka). Inti persoalannya kembali akar-akar budaya kita, dengan tetap
adalah membangun etika masyarakat baru. berusaha menciptakan masyarakat yang taat
Hubungan yang lebih egaliter, kebebasan beragama.36 Inilah tujuan akhir dari
berpendapat, dan ketundukan kepada hukum pribumisasi Islam.
adalah inti keadilan yang akan membentuk
perilaku masyarakat secara berangsur-angsur C. SIMPULAN
menuju budaya baru. Prioritas ini dibarengi Pribumisasi Islam selalu diperlukan sebagai
dengan prioritas transformasi budaya-budaya bukti bahwa Islam itu dinamis, universal dan
yang ada, seperti penertiban kehidupan cocok bagi siapapun dan di manapun. Oleh
koperasi dan budaya politik. Ini penting sekali karenanya apapun yang terjadi dengan
sebab dalam konteks Indonesia, Pancasila kehidupan ini, Islam tetap menuntut umatnya
sendiri sebagai ideologi negara masih dalam untuk dapat berperan aktif dalam
taraf mencari bentuk atau masukan, untuk mensiasatinya. Beberapa hal yang perlu
mengoperasional-isasikan nilai-nilai dasar mendapat perhatian ketika membincangkan
bangsa. Di sini Islam bisa masuk tanpa perlu pribumusasi Islam antara lain; definisi,
formalisasi, tetapi lebih dengan membawa pengertian serta tujuan pribumisasi dan apa-
weltanschaung yang khas dari dirinya.35 apa saja yang dapat dipribumikan itu. Ini
Di samping prioritas tersebut, ada satu penting sebab pribumisasi bukanlah merubah
persoalan yang sangat perlu pemecahan dalam Islam dengan budaya, bukan pula Jawanisasi,
rangka pribumisasi Islam yaitu menjembatani apalagi sinkretisme.
keterpisahan antara dua komponen dalam
keyakinan Islam yaitu keyakinan akan DAFTAR PUSTAKA
keimanan yang sangat pribadi sebagaimana Bahtiar Efendy, Islam dan Negara:
tercantum dalam Rukun Iman dan dimensi Transformasi dan Praktek Politik Islam di
sosialnya sebagaimana tercantum dalam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998.
Rukun Islam. Persoalannya sekarang ini M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern,
adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa terj Dharmono Hardjowijono, Gadjah Mada
diterjemahkan secara sosial. Karena dalam University Press, Yogakarta, 1992
Islam ternyata mungkin untuk menjadi
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam
mukmin yang baik dan sekaligus a-sosial, dan
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
sebaliknya bisa pula terbentuk sikap hidup
1994.
yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan.
Tim INCReS, Beyond The Symbols. Jejak
Usaha untuk menjembatani kedua bentuk
Antro[pologis Pemikiran dan Gerakan
keberagamaan yang ekstrim ini adalah sebuah Gusdur, Remaja Rosdakarya, Bandung,
keharusan, sebagaimana al-Qur‟an telah 2000.
memberikan petunjuknya (Q.S. al-Baqarah
Wahid, Abdurrahman, “Pribumisasi Islam”,
[2]:177). Dengan demikian yang masih
dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun‟im
diperlukan adalah mempunyai komponen
Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap
Rukun Iman dan sekaligus Rukum Islam
Masa Depan, Perhimpunan Pengembangan
dalam bentuk yang terjembatani. Usaha untuk
menjembatani ini merupakan pekerjaan besar

35 36
Ibid., hlm. 94 Ibid., hlm. 96

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74 73
A. Soheh Mukarom Pribumisasi Dalam Pandangan Abdurahman Wahid

Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta,


1989.
-------, “Salahkah Bila Dipribumikan” dalam
Muhammad Saleh Isre (ed.), Tuhan Tidak
Perlu Dibela, LKIS, Yogyakarta, 2000.
------- ,. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab:
Sebuah Pergumulan Wacana dan
Transformasi, Fatma Press, Jakarta, 1989.
-------, “Merelevansikan Bukannya
Menghilang-kan” dalam Amanah, Agustus
1987.

--------, “Agama Ideologi dan Pembangunan”


dalam Muhammad Shaleh Isre (ed), Prisma,
Pemikiran Abdurrahman Wahid, LKiS,
Yogyakarta, 2000.
-------- , “Antara Asas Islam dan Asas
Pancasila”, dalam Zaini Shafari Al Raef dan
Andri Taufik H. Membangun Demokrasi,
Remaja Rosdakarya, Bandung: 2000.

--------, “Masa Islam dalam Kehidupan


Bernegara dan Berbangsa”, dalam Prisma No.
Ekstra. 1984.
--------, “Merumuskan Hubungan Ideologi
Nasional dan Agama”, dalam Majalah Aula
Tanpa tempat terbit, Mei 1985.
--------, “Islam Punyakah Konsep Kenegaraan”,
dalam Muhammad Shaleh Isre (ed), Tuhan
Tidak Perlu Dibela, LKiS, Yogyakarta, 2000.
--------, “Sekuler tidak Sekuler”, dalam
Muhamad Shaleh Isre (ed). Tuhan Tidak Perlu
Dibela., LKiS, Yogyakarta, 2000.

74 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 63-74

Anda mungkin juga menyukai