Refarat Tanatology
Refarat Tanatology
TANATOLOGY
DISUSUN OLEH:
Christine W.D. J Halawa 183307020035
Riski Eka Tafonao 183307020056
Yustina Yasnidar Laia 183307020052
PEMBIMBING:
DR. H. MISTAR RITONGA, SP. F
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini, sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Profesi Dokter di Stase Forensik Fakultas Kedokteran Prima
Indonesia.
Refarat ini berjudul “Tanatology”. Dalam penyelesaian penulisan refarat ini, penulis
banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. H. Mistar Ritonga, Sp. F selaku Dosen Pembimbing yang telah menyediakan sarana
dan prasarana bagi penulis serta meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan
saran selama dari awal penulisan hingga selesainya penulisan refarat ini.
2. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman penulis distase forensik
atas doa, dukungan, semangat, serta kesediaan waktu dan tenaganya dalam membantu
menulis refarat ini.
Penulis menyadari bahwa refarat ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun demi
perbaikan dan penyempurnaan refarat ini.Akhir kata penulis mengucapkan Terima Kasih
banyak kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian refarat ini. Semoga refarat
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Dilihat dari asal katanya terdiri dari kata Thanatos & Logos. Thanatos artinya
berhubungan dengan kematian, Logos artinya ilmu pengetahuan. Jadi artinya ilmu
pengetahuan tentang kematian. Meliputi pembahasan mengenai pengertian mati, cara
menetapkan telah terjadi kematian dan perubahan post-mortem.
b. Berhenti respirasi
Pada pemeriksaan stetoskop selama 5 menit dapat memastikan respirai telah berhenti,
tidak terlihat gerakan pernafasan.
Test tambahan untuk henti pernafasan :
Test bulu ayam, dengan meletakkan bulu ayam atau kapas ditaruh di muka lobang
hidung akan bergerak secara ritmis sesuai inspirasi dan ekspirasi
Test cermin, dengan melihat uap pernafasan dicermin yang diletakkan di muka lobang
hidung
Test Winslow, dengan melihat pergerakan air di permukaan mangkok yang penuh
berisi air akibat gerakan pernafasan yang lemah sekalipun.
c. Berhentinya inervasi
Fungsi motorik dan sensorik berhenti. Dapat dilihat dari hilangnya semua refleks,
tidak ada rasa sakit, tidak ada tonus otot dan tidak ada refleks cahaya pada pupil mata
dan pupil mata melebar, kecuali pada keracunan morfin menjadi sangat kecil (pint
point)
Patomekanisme Livor Mortis
Livor Mortis terbentuk saat terjadi kegagalan sirkulasi darah, pada saat arteri
rusak dan aliran balik vena gagal mempertahankan tekanan hidrostatik yang
menggerakan darah mencapai capillary bed yaitu tempat pembuluh-pembuluh darah
kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Darah dan sel-
sel darah terakumulasi memenuhi saluran tersebut dan sukar di alirkan kedaerah tubuh
lainnya.
Sel darah merah (eritrosit) akan bersedimentasi melalui jaringan longgar,
tetapi plasma akan berpindah kejaringan longgar yang menyebabkan terbentuknya
edema setempat, menimbulkan blister pada kulit. Dari luar akan terlihat bintik-bintik
berwarna merah kebiruan atau adanya eritrosit pada daerah terendah terlihat dengan
timbulnya perubahan warna kemerahan pada kulit yang disebut livor mortis.
Gambar 3. Bagan Terjadinya Lebam Mayat
Pada tahap awal pembentukannya, livor mortis memiliki warna kemerahan
yang dihasilkan dari jumlah eritrosit yang membawa hemoglobin yang teroksidasi.
Meningkatnya interval waktu post mortem, akan mengakibatkan perubahan warna
menjadi lebih gelap. Warna normal livor mortis ialah merah keunguan. Warna merah
keunguan ini akan berubah menjadi warna ungu akibat hasil pemisahan oksigendari
hemoglobin eritrosit post mortem dan konsumsi oksigen terus-menerus oleh sel-sel
yang awalnya mempertahankan fungsi system kardiovaskuler (misalnya sel-sel
hati yang mempertahankan fungsi kardiovaskuler selama kira-kira 40 menit dan sel
otot rangka antara 2 sampai 8 jam). Produk Deoxyhemoglobin yang dihasilkanakan
mengubah warna biru keunguan menjadi warna ungu.
Livor mortis mulai tampak 20-30 menit paska kematian, semakin lama
intensitasnya bertambah kemudian menetap setelah 8-12 jam. Menetapnya livor
mortis disebabkan oleh karena terjadinya perembesan darah ke dalam jaringan sekitar akibat
rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah yang banyak,
adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah.
Dengan demikian penekanan pada daerah terbentuknya livor mortis yang dilakukan setelah
8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya livor mortis pada penekanan dengan ibu
jari memberi indikasi bahwa livor mortis belum terfiksasi secara sempurna. Lebam
mayat dikatakan sempurna ketika area lebam tidak menghilang jika ditekan (misalnya
dengan ibu jari) selama 30 detik. Akan tetapi, lebam baru masih dapat terbentuk
setelah 24 jam jika dilakukan perubahan posisi.
d. Adiposere
Adiposere terbentuk bila tubuh terdapat dalam keadaan lembap di air ataupun
ditanah yang basah. Perubahan ini disebabkan oleh hydrogenasi dari lemak bebas
seperti asam oleat yang dirubah menjadi asam lemak jenuh. Pada akhirnya seluruh
lemak dirubah menjadi asam palmitat, strearat, asam hydroksi stearat dan campuran
dari semua bahan-bahan ini menjadi suatu substansi asam lemak yang lunak, putih
kecoklatan, berminyak dan bau yang spesifik yang disebut dengan adiposere.
Adiposere dapat bertahan lama sehingga mayat yang mengalami adiposere
dapat dikenali sesudah kematian yang lama. Jangka waktu yang terkecil untuk
pembentukan adiposere di daerah tropis dimulai sesudah 1-3 minggu. Untuk
perubahan seluruhnya pada orang dewasa diperlukan 3-6 bulan bahkan sampai 12
bulan, tergantung tempat, kelembapan dan suhu sekitar. Didaerah dingin jangka
waktu yang diperlukan biasanya lebih lama.
e. Mummifikasi
Panas yang tinggi dan udara yang kering menghalangi proses pembusukan
oleh mikro-organisme sehingga membuat mayat mengalami mummifikasi. Tubuh
mayat yang mengalami mummifikasi tidak berbau, kulit berwarna coklat melekat
dengan ketat pada tulang-tulang, demikian juga rambut melekat ketat pada tulang
kepala. Organ –organ dalam menjadi sangat kecil sehingga sulit di kenal, bisa menjadi
berkelompok semuanya membentuk suatu massa yang kompak, kering dan berwarna
coklat. Bila perubahan sudah sempurna maka keadaan seperti diatas bertahan lama
kecuali bila di gerogoti binatang.
Mummifikasi biasanya terjadi di daerah gurun pasir. Jangka waktu yang
diperlukan sehingga terjadi mummifikasi biasanya lama, bisa dalam waktu 3 bulan
atau lebih, mayat relatif masih utuh, maka identifikasi lebih mudah dilakukan. Begitu
pula luka-luka pada tubuh korban kadang masih dapat dikenali.
f. Pembusukan (Decomposition)
Pembusukan adalah Perubahan terakhir yang terjadi (late post-mortem
periode) pada tubuh setelah kematian, dimana terjadi pemecahan protein komplek
menjadi protein yang lebih sederhana disertai timbulnya gas-gas pembusukan yang
baud an terjadi perubahan warna. Hal ini disebabkan kerja bakteri komensalis yang
biasanya hidup dalam usus dan bakteri yang berasal dari luar seperti bakteri Cl.
Welchii, B. Colli, Streptokokus, stafilokokus, dip[theroid, proteus dan lain-lain.
Akibat pembusukan ini terjadi gas-gas pembusukan diantaranya gas belerang
hydrogen (H2S) yang menimbulkan bau seperti telur busuk, phosphorated hydrogen,
CO2, CO. dan lain-lain. Fermen tubuh juga menyebabkan autolysis pada jaringan
tubuh, selain itu binatang-binatang seperti larva lalat, semut, anjing, tikus, belalang,
ikan, udang, dan lain-lain dapat turut menghancurkan tubuh mayat.
Pembusukan merubah bentuk wajah seseorang sehingga sulit untuk
mengenalnya. Gas pembusukan juga terjadi di dalam sendi-sendi, sehingga bila
tekanan cukup tinggi dapat membuat persendian menjadi bengkok. Sendi utama
adalah di lutut, siku dan pangkal paha, sehingga terjadi posisi seperti sikap petinju
(pugilistic) atau sikap koitus.
Untuk kepentingan identifikasi, pada mayat yang sudah mengalami proses
pembusukan sidik jari masih dapat diperiksa yaitu dengan menyuntik jari yang
terkelupas dengan cairan.
Faktor yang mempengaruhi pembusukan
a. Temperatur
Temperatur optimum di mana bakteri-bakteri mudah berkembang 260-380C. Di
daerah tropis maka abdomen akan gembung dalam 24-48 jam, bentuk muka akan
berubah dalam 3 hari dan sesudah 15 hari jaringan lunak akan menjadi hancur.
b. Udara lembab akan mempercepat terjadinya pembusukan.
c. Ruangan dan pakaian
Mayat yang terletak di alam terbuka membusuk lebih cepat. Baju yang ketat,
perut di bawah korset, ikat pinggang, kaus atau sepatu yang di pakai,
memperlambat pembusukan di daerah tersebut.
d. Umur
hOrang tua dan anak lebih lambat membusuk sebab lebih sedikit mengandung
H2O. Apalagi pada bayi yang baru lahir, karena kuman di usus dan lain tempat
masih sedikit.
e. Penyakit
Penyakit infeksi seperti septicaemia, peritonise dan lain-lain mempercepat
jalannya pembusukan.
f. Keadaan tubuh
Tubuh yang luka akan cepat mengalami pembusukan karena masuk bakteri-
bakteri melalui luka.
Dalam kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa pembunuhan di mana
tidak ada saksi, diperlukan penentuan saat kematian korbanuntuk mencari siapa yang
mungkin terlibat dalamperistiwa tersebut dan ini berkaitan dengan alibi seseorang. Berbagai
usaha dan penelitian sudah dicari untuk mendapatkan cara penentuan saat kematian yang
lebih tepat. Penelitian berbasis perubahan fisik, kimia, biokimia, histology dan perubahan
enzim telah banyak dilakukan, tetapi belum ada caraatau metode yang handal. Ini disebabkan
factor yang mempengaruhi sangat banyak, baik dari pengaruh luar tubuh (iklim, suhu,
kelembaban, ruang terbuka/ tertutup, atau aliran udara) maupun dari tubuh korban (jenis
kelamin, umur, perawakan, gizi, penyakit, sebab kematian dan lain-lain). Oleh karena itu
walaupun digabung seluruh cara pemeriksaan untuk mendapat post-mortem interval, tidak
akan didapat yang tepat. Yang mungkin dicapai hanyalah menentukan perkiraan lama
kematian. Apalagi bila yang dilakukan dokter hanya menggunakan perubahan fisik
berdasarkan kaku mayat, lebam mayat, penurunan suhu, dan pembusukan.
Penetuan waktu kematian secara kasar dengan menggunakan perubahan
temperatur dan kaku mayat dapat dipedomani pada tabil berikut:
Temperatur Tubuh Kaku Mayat Lama Kematian
Hangat Tidak Kaku Di bawah 3 jam
Hangat Kaku 3-8 jam
Dingin Kaku 8-24 jam
Dingin Tidak kaku Lebih 24 jam
Tabel: Hubungan suhu tubuh dengan kaku mayat
Isi lambung
Dalam 1 jam pertama separuh dari makanan yang masuk ke lambung sudah
dicernakan dan masuk ke pilorus. Setengahnya dari sisa ini akan masuk ke pilorus pada jam
ke 2. Sisa setengahnya lagi akan selesai dicerna dan keluar dari lambung pada jam ke 3, dan
selesai seluruhnya kira-kira 4 jam. Makanan yang mengandung banyak karbohidrat akan
lebih cepat dicerna (cepat keluar dari lambung), yang mengandung protein lebih lama dan
yang paling lama yang mengandung lemak. Tetapi perlu diperhitungkan tonus dan keadaan
lambung, seperti gangguan fungsi pilorus dan keadaan fisik korban sebelum mati. Syok,
koma, geger otak, depresi mental menghambat gerakan pencernaan.
Usus
Makanan yang sudah dicerna sampai di daerah ileo-caecal dalam waktu 6-8 jam, di
colon tranversum dalam waktu 9-10 jam, colon-pelvis 12-14 jam, dikeluarkan dalam waktu
24-48 jam.
Penentuan lama kematian dari isi pencernaan ini dinilai dari saat korban makan dan
tidak ada hubungan langsung dengan waktu pemeriksaan dilakukan.
Kapan korban makan terakhir biasanya diketahui oleh orang terdekat atau disesuaikan
dengan kebiasaan jam makan seseorang. Artinya penilaian akan berguna bila diketahui kapan
terakhir korban makan sebelum didapati mati.
Kandung kemih
Kandung kemih biasanya sebelum tidur, dan dalam waktu tidur isi kandung kemih
akan bertambah. Bila didapati mayat pada pagi hari dengan kandung kemih kosong,
kemungkinan ia meninggal lebih awal. Penentuan lama kematian dari isi kandung kemih
tidak sebaik dari isi pencernaan, sebab ada penyakit dan kebiasaan yang mempengaruhi. Lagi
pula kapan seseorang buang air kecil umumnya jarang diketahui orang lain. Produksi urine
tidak sama pada setiap orang, tergantung dari cuaca, banyaknya cairan masuk, penyakit
korban dan lain-lain. Oleh karena itu penilaian berdasarkan isi kandung kemih jarang dipakai.
Pakaian
Pakaian dapat mnentukan lama kematian karena orang mempunyai kebiasaan
menggunakan pakaian sesuai dengan waktu. Pakaian kotor/sekolah, pakaian tidur, pakaian
renang, olah raga dan lain-lain, kadang-kadang dapat dipakai sebagai petunjuk. Bila korban
terbunuh sedang memakai pakaian tidur tentu perkiraan waktu kematian adalah malam atau
sebelum bangun pagi. Demikian juga isi kantong, misalnya karcis parkir, karcis pertunjukan,
tanda bukti pembayaran melalui kasir dan lain-lain.
Jam tangan
Bila korban memakai jam tangan pada waktu mengalami cedera maka saat kematian
dapat ditunjukan secara tepat dari jarum jam berhenti. Begitu juga dengan peristiwa
kebakaran.
Aplikasi penentuan saat kematian akan lebih bernilai bila dilakukan di tempat
kejadian perkara (TKP). Penilaian saat kematian yang dilakukan di rumah sakit kurang akurat
karena factor lingkungan yang sudah berbeda, perlakuan terhadap mayat dalam perjalanan
(ditutup dengan kain, dihembus angin, dalam kantong mayat, perubahan posisi, kaku mayat
mungkin telah di ganggu dan lain-lain) serta jauhnya korban dibawa dari TKP ke rumah
sakit. Factor ini pasti sangat mempengaruhi penilaian terhadap saat kematian yang akan
ditentukan. Oleh karena itu dokter tidak mencantumkan saat kematian dalam visum karena
dokter tidak melakukan pemeriksaan di TKP. Bila di perlukan dokter dapat memperkirakan
saat kematian sesuai petunjuk tanatologi yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada mayat
dan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta memperhitungkan
penilaian apakah dilakukan di TKP atau setelah mayat dibawa ke rumah sakit. Pengguna
visum dapat pula menarik kesimpulannya sendiri dan membandingkannya dengan penilaian
yang di buat dokter.
BAB III
KESIMPULAN
1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta : Binarupa Aksara,
1997; p. 131 – 168.
2. Hueske E. Firearms and Tool Mark The Forensic Laboratory Handbooks, Practice
and Resource. 2006.
5. Eng, V dan Oktavinda S. 2014. Tanatologi dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi.
Jakarta : Media Aesculapius.
6. Thanos C. A, Djemi T, dan Nola T.S.M. 2016. Livor mortis pada Keracunan
insektisida golongan organofosfat di kelinci. Jurnal e-Clinic (eCI), volume 4, Nomor
1, Januari-Juni 2016.