Anda di halaman 1dari 34

Teori Sosial Postmodern

BAB II
PERKEMBANGAN
TEORI SOSIAL POSTMODERN

Teori sosial postmodern merupakan hasil dari serangkaian


proses sosial dan intelektual yang sungguh sangat kompleks.
Dibutuhkan banyak sekali usaha untuk bisa menempatkan
‘sejarah yang kaya’ ini dalam posisi yang layak dalam dunia
ilmu sosial.
Bagian ini boleh dikata hanya merupakan pengantar bagi
pembaca untuk masuk ke dalam diskusi yang lebih detail dan
mendalam seputar teori sosial postmodern. Bagian ini sekaligus
juga merupakan sketsa yang sangat selektif tentang teori sosial
postmodern yang dimaksudkan untuk memperkenalkan
pembaca pada gagasan-gagasan atau pemikir-pemikir yang
mungkin kurang begitu dikenal seperti Sontag, Venturi, Jencks,
Nietzsche, Rorty, Freud, Saussure, Levi-Strauss. Di sini
diandaikan bahwa pembaca sudah cukup mengenal pemikiran
para teoritikus sosial yang memainkan peranan penting --entah
positif atau negatif-- dalam pembentukan teori sosial
postmodern seperti Marx, Durkheim dan Weber.

SENI DAN KRITISISME KESUSASTRAAN


Seperti yang sudah kita lihat dalam bagian terdahulu, akar
pemikiran postmodern terletak dalam kesusastraan, arsitektur,
teater, lukis, tari dan bidang-bidang yang terkait dengannya.
Pemikiran-pemikiran tersebut lalu berinteraksi dengan post-
strukturalisme yang pada proses berikutnya membentuk apa
yang sekarang kita sebut sebagai teori sosial postmodern.
Dalam bagian ini kita akan melakukan tinjauan sekilas atas
sejarah postmodernisme dalam wilayah seni, dengan bersandar
pada karya Hans Bertens [1995], The Idea of the Postmodern.
37
Teori Sosial Postmodern

Istilah postmodern pertama digunakan sekitar tahun 1870-


an. Konsep tersebut digunakan dalam sebuah judul buku
terbitan tahun 1926 yang diperbaharui lagi pada tahun 1930-an
dan 1940-an. Akan tetapi karya awal yang boleh dikata
terisolasi tersebut hanya memiliki sedikit kesamaan dengan
literatur postmodernisme yang muncul di tahun 1960-an.
Sebuah dokumen kunci mengenai postmodernisme tak lain
adalah eseinya Susan Sontag (1964/1967) yang berjudul
“Against Interpretation”. Dalam esai tersebut Sontag
memandang interpretasi sebagai sesuatu yang bersifat opresif
dan melumpuhkan. Untuk menggantikan “makna-makna” yang
diambil dari interpretasi, Sontag mencatat tentang pentingnya
sensasi-sensasi yang serentak. Selain itu esai tersebut juga
menekankan pentingnya tidak memperlebar perbedaan antara
apa yang sering disebut sebagai budaya rendahan dan budaya
adiluhung (low and high culture).
Figur kunci lain dalam peride ini adalah Leslie Fiedler
[1969/1975], yang mengajukan kritik atas modernisme dan
saudara kandungnya: rasionalisme dan humanisme liberal.
Fiedler merasa bahwa kita sedang mengalami proses kematian
modernitas serta kelahiran postmodernitas yang ditandai oleh
merebaknya anti-rasionalitas, romantisisme serta senti-
mentalitas. Fiedler juga menekankan pentingnya “yang lokal
dan tribal” sebagai lawan terhadap kecenderungan modern
yang bercorak esensial dan universal.
Selain dalam karya-karya kritik sastra, Bertens juga melihat
adanya manifestasi awal postmodernisme dalam musiknya
John Cage, susunan benda-benda karya Robert Rauschenberg
serta novel-novel karya Alain Robbe-Grillet, John Barth dan
Thomas Pynchon yang tidak percaya pada etika kaum
modernis. Bertens [1995: 34] menyimpulkan: “dapat dikatakan
bahwa apa yang sekarang dikenal sebagai agenda postmodern
sebenarnya sudah ada sejak akhir tahun 1960-an.”

38
Teori Sosial Postmodern

Buku ini akan meninjau post-strukturalisme dan reaksinya


terhadap teori modern sebagai penyebab utama dan terpenting
bagi kemunculan teori sosial postmodern. Namun Bertens
[1955: 35] berkomentar “bahwa kemunculan teori postmodern
pertama-tama adalah sebagai respon atas pembaruan seni
kontemporer dan bukan karena pembacaan ulang kaum post-
strukturalis atas teks-teks besar modernisme.”
Postmodernisme tumbuh luas dan tampil secara eksplisit
tahun 1970-an. Figur utama dalam periode ini adalah Ihab
Hassan [1971], meski karyanya sekarang lebih dipandang
sebagai sesuatu yang punya arti penting secara historis
ketimbang sebagai suatu karya yang berpengaruh dalam
pemikiran postmodern kontemporer. Sebagai contoh adalah
eseinya yang berjudul POSTmodernISME: A Paracritical
Bibliography yang mengkritik tajam watak postmodernisme
yang anarkis. Setelah memfokuskan diri dalam bidang
kesusastraan, Hassan pun mulai menganalisis sektor
kebudayaan yang lebih luas yang kemudian menjadi perhatian
teori sosial postmodern. Figur sentral lain selama periode ini
adalah William Spanos, dengan jurnalnya Boundary 2: A
Journal of Postmodern Literature and Culture. Akan tetapi
Spanos sangat dipengaruhi oleh eksistensialisme, yang mana
hal itu menghalangi dia untuk menjadi yang utama dalam
jajaran pemikir postmodern –dalam bidang bahasa.
Sebagaimana diketahui, eksistensialisme sangat menaruh
perhatian pada manusia sebagai subyek, sementara linguistik
justru memproklamasikan akhir segala macam subyek (the end
of subject). Orientasi politik paling radikal dari
postmodernisme eksistensial Spanos juga tidak sesuai dengan
nihilisme, suatu sikap yang dianut oleh postmodernisme
dewasa ini. Akhir tahun 1970-an, Spanos beserta corak
postmodernisme eksistensialnya pun tersingkirkan.
Beralih dari kritisisme sastra ke bidang arsitektur, Robert
Venturi memainkan peran penting selama tahun 1960-an dan
39
Teori Sosial Postmodern

1970-an, terutama dalam tulisannya “Complexity and


Contradiction in Architecture” [1966] serta “Learning from
Las Vegas” [1972] yang ditulis bersama Denise Scott Brown
dan Steven Izenour. Venturi, peraih Pritzker Architecture Prize
1991, adalah “sosok yang diketahui secara umum telah
membelokkan mainstream arsitektur dari kungkungan corak
modernisme” [Bertens: 1995:53]. Venturi menekankan
arsitektur yang ‘nampak’ berantakan, kompleks dan
kontradiktoris, sebentuk arsitektur yang banyak mengambil
inspirasi dari kebudayaan dan seni populer. Venturi ingin
menunjukkan bahwa bukan cuma ada satu bahasa dalam dunia
arsitektur. Ada banyak bahasa dalam arsitektur, dan oleh
karenanya arsitektur tidak boleh diisolasi dari “bahasa-bahasa”
yang dianggap lain.
Sementara itu pada pertengahan tahun 1970-an, Charles
Jencks menerbitkan karyanya yang berjudul “The Rise of Post-
Modern Architecture” [Jencks, 1975] serta “The Language of
Post-Modern Architecture” [Jencks, 1977] yang membuatnya
menjadi “guru” Post-Modernisme [Bertens: 1995:57]. Jencks
terkenal dengan idenya tentang “kode ganda”, yang salah sutu
cirinya adalah tetap mengadopsi elitisme arsitektur tetapi
sekaligus melengkapinya dengan kekhasan setempat. Dengan
hal tersebut Jencks tidak bermaksud menggugurkan unsur-
unsur yang modern, tetapi ia ingin memasukkan unsur-unsur
yang dianggap “tidak lazim” dalam bidang arsitektur. Jencks
juga mengemukakan pentingnya penandaan atas
representasionalisme dalam arsitektur –suatu pandangan yang
dengan segera ditolak oleh kaum postmodernis. Jenks
berpandangan bahwa arsitektur mesti menjadi semacam
bahasa (kind of language) yang merepresentasikan situasi
kehidupan sehari-hari. Jencks juga mengantisipasi orientasi
post-strukturalis dengan cara mengadopsi gagasan-gagasan
semiotik: melihat arsitektur sebagai suatu jenis bahasa.
Menurut Bertens [1995: 62], pandangan Jencks mengenai
40
Teori Sosial Postmodern

“kode ganda” ingin menekankan makna-makna plural,


keterlibatan dan partisipasi para pengamat serta paduan
kompleks representasi, ornamen, referensi historis, simbolisme
dan humor.
Pada akhir tahun 1970-an, Bertens berpendapat bahwa
pusat perkembangan postmodern telah beralih dari bidang
kesusastraan dan arsitektur ke berbagai bidang seni lain
termasuk fotograpy, seni pahat dan lain-lain. Perkembangan ini
menunjukkan adanya sejumlah perkembangan teoretis yang
sangat penting yang akan dibahas juga dalam buku ini: misal
soal poststrukturalisme dan karya pemikir-pemikir seperti
Jacques Derrida, Roland Barthes dan Michel Foucault. Ini
dapat juga berarti bahwa fokus perhatian postmodernisme
telah beralih ke persoalan tanda (sign) serta hubungan antara
tanda-tanda tersebut dan bukan pada kenyataan material yang
mereka inginkan untuk direpresentasikan. Termasuk di sini
adalah pemikiran tentang seni atau budaya secara umum
karena ia merepresentasikan realitas; realitas dilihat sebagai
sesuatu yang tidak dapat direpresentasikan dan tanda-tanda
dilihat sebagai ekspresi bebas dari dunia nyata. Di dalam
fotograpi, Douglas Crimp berpendapat bahwa :

“representasi selalu merupakan ilusi karena pengalaman


tak dapat dielakkan selalu disampaikan oleh bahasa;
pengalaman selalu tertandai... segala persepsi visual
ditandai dalam suatu cara tertentu. Tidak ada suatu
representasi di luar sana yang tertandai sejak semula,
dan oleh karenanya seni selalu merupakan ‘salinan’ dari
sebuah ‘salinan’ dan tidak ada subyek dalam pengertian
tradisional tentang reprentasi.
[Bertens, 1995:86-87]

Penolakan atas gagasan representasi realitas juga diajukan


oleh fotografer Sherrie Levine lewat karya-karya fotografi
41
Teori Sosial Postmodern

kanoniknya. Penolakan serupa juga dilakukan Richard Prince


lewat karya-karya advertisingnya seperti yang terlihat dalam
majalah-majalah.
Selain penolakannya atas representasionalisme, karya-karya
tersebut juga menunjukkan sejumlah prinsip dasar
postmodernisme. Karya-karya tersebut meruntuhkan gagasan-
gagasan modern seperti originalitas dan otentisitas; karya-
karya tersebut menempatkan gagasan-gagasan postmodern
sebagai apropriasi dan hibridisasi. Dan yang paling penting,
karya fotografi seperti itu merepresentasikan penolakan
postmodern atas kepengarangan. Di sini bisa diajukan
pertanyaan: siapakah yang layak disebut fotografer dalam
kasus fotografi Sherrie Levine? Jelas sangat sulit untuk
mengidentifikasi siapa pengarang atau fotografer dalam kasus
tersebut.
Serangan terhadap ide kepengarangan, asal-usul dan
representasi ini juga mengakibatkan serangan terhadap
praktek-praktek tradisional dalam sejarah seni, juga mengenai
cara bagaimana museum-museum dijalankan secara
tradisional. Hal ini berkaitan dengan postmodernisme yang
semakin berkembang secara politik di akhir 1960-an dan awal
1970-an. Berkembangnya kesadaran ini menawarkan jalan
keluar dari apa yang selama ini menjadi semacam kebuntuan –
relativisme radikal, skeptisisme– yang diciptakan oleh post-
strukturalisme. Sebagai contoh, kaum feminis melihat bahwa
ide tentang pengarang terkait erat dengan prinsip patriarkhi
--sebagian besar pengarang kanonik adalah laki-laki. Contoh
lain adalah yang tampil dalam diri postmodernis-postmodernis
Marxis yang melakukan serangan terhadap kontrol kapitalistik
lewat seni dan kebudayaan. Sebagai contoh dalam hal ini
adalah karya-karya Hans Hacke yang didesain untuk
menunjukkan hubungan antara seni dan kekuasaan, khususnya
kekuasaan museum-museum kolektor-koletor seni entah
pribadi atau korporat [Jameson, 1991].
42
Teori Sosial Postmodern

Karya di bidang kesusastraan dan seni berlanjut sampai


sekarang. Seperti disimpulkan oleh Bertens [1995:107],
“postmodernitas tidak pernah menetap lama pada satu tempat
tertentu.” Akan tetapi kita perlu, seperti yang dilakukan
Bertens dalam karya-karyanya, mengalihkan diskusi ke
sejumlah bidang bahasan lain seperti perkembangan bidang-
bidang teoritik serta perannya dalam kemunculan teori sosial
postmodern.

FILSAFAT, PSIKOLOGI, DAN PSIKIATRI:


NIETZSCHE, RORTY DAN TEORI FREUDIAN

Memperbincangkan kelahiran teori sosial postmodern tidak


bisa dilepaskan dari bidang-bidang seperti filsafat, psikologi
dan psikiatri. Akan tetapi membahas seluruh keanekaragaman
dari bidang-bidang tersebut dalam buku ini jelas tidak
mungkin. Maka di sini perbincangan akan difokuskan pada
sejumlah pemikir tertentu seperti Nietzsche, Rorty dan Freud.

Friedrich Nietzscche
Nietzsche adalah seorang filsuf yang tidak begitu mendapat
perhatian dalam disiplin teori sosiologi maupun teori sosial.
Namun hal tersebut segera berubah begitu pemikiran-
pemikiran Nietzsche menempati posisi sentral dalam post-
strukturalisme serta postmodernisme. Tentu merupakan suatu
kesulitan untuk menampilkan secara ringkas sumbangan
pemikiran Nietzsche dalam hal tersebut karena watak teks-teks
Nietzsche yang fragmented, kontradiktoris, dan “terbuka”. Hal
tersebut tak dapat dipungkiri mendatangkan pelbagai
penafsiran yang berbeda [Antonio, 1995:5]. Baru-baru ini
Robert J. Antonio [1995] telah membuat ringkasan atas
gagasan-gagasan Nietzsche yang relevan secara sosial serta
gagasan-gagasannya yang punya dampak terhadap post-
strukturalisme dan postmodernisme.
43
Teori Sosial Postmodern

Perhatian utama Antonio adalah bahwa Nietzsche,


berlawanan dengan sebagian besar teori sosiologi klasik,
menawarkan suatu bentuk “anti-sosiologi”. Nietzsche menilai
apa yang oleh para teoritikus sosiologi klasik dianggap sebagai
kemajuan –yakni pencerahan dan kebebasan sebagai sebentuk
dekadensi, keletihan dan cara hidup yang terlalu teratur. Anti-
sosiologi Nietzsche juga tampil dalam bentuk chaotic dan
aporistik, berbeda dengan model narasi besar yang sistematik
yang diproduksi oleh para pemikir modernis.
Nietzsche mengambil dua asumsi dasar dari teori sosial
modern dalam penolakannya terhadap gagasan akan “subyek
rasional”. Hal tersebut menandakan: pertama, Nietzsche
menolak memberikan perhatian serta evaluasi positif atas akal
budi, rasionalitas serta proses rasionalisasi. Sebaliknya,
Nietzsche memuji kekuatan-kekuatan non-rasional dan
irasionalitas serta menyalahkan proses rasionalisai yang
dianggapnya melemahkan semangat. Kedua, Nietzsche
menolak memfokuskan diri pada pembahasan soal-soal
subyektifitas, jiwa dan pikran yang selama ini menjadi fokus
utama teori-teori modern. Sebaliknya, Nietzsche memfokuskan
perhatiannya pada soal tubuh, fisologi dan semacamnya.
Impuls-impuls non-rasional yang dikontrol dan ditekan oleh
masyarakat rasional berasal dari tubuh. Maka kekuatan-
kekuatan tersebut mesti diekspresikan, meskipun dalam
sebuah cara yang bersifat rohaniah.
Konsep kunci dalam karya Nietzsche, yakni ressentiment,
oleh Antonio [1995: 7] didefinisikan sebagai suatu “keinginan
kaum lemah untuk membuat penderitaannya menjadi lebih
bermakna lewat cara menyalahkan pihak lain serta menempuh
‘balas-dendam imajiner’.” Obyek utama yang dipersalahkan
oleh kaum lemah ini –yang juga menjadi obyek kontrol
sebagian besar masyarakat tak lain adalah mereka yang kuat,
mereka yang emosinya tidak pernah bisa dihalangi dan
didomestifikasi. Karena orang-orang kuat disub-ordinasi, maka
44
Teori Sosial Postmodern

sebagai akibatnya dunia dikuasai oleh para budak dan


moralitas kerdil mereka. Dalam pandangan Nietzsche,
Socrates, Katolikisme, Protestantisme serta Pencerahan
bertanggung-jawab atas moralitas budak ini dan
penyebarannya ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Mereka
yang dikarunia mentalitas budak cenderung terombang-ambing
dan oleh karenanya sering berperilaku menyedihkan dan
mengidap prasangka-prasangka.
Kekuatan ini tidak hanya memperlemah orang kuat tetapi
juga kebudayaan secara luas. Negara menguasai kebudayaan
dan mejadi locus ressentimen. Nietzsche tidak melihat revolusi
sosialis sebagai solusi atas masalah ini. Dia merasa bahwa hal
itu justru semakin memperkuatnya. Selain menentang
sosialisme, Nietzsche juga tidak mendukung kapitalisme,
karena baginya kapitalisme dianggap sebagai sebentuk
perlawanan terhadap kemajuan kebudayaan serta individu-
individu yang tangguh. Mereka yang ambil bagian dalam
perekonomian kapitalis direduksi menjadi “semut-semut
industri” sementara negara kapitalis dilengkapi dengan
“meluasnya pangsa pasar” [Antonio, 1995:5]. Kemudian,
“egalitasianisme” yang menyertai kapitalisme mereduksi segala
sesuatu ke common denominator yang paling rendah, yang
mana hal itu mempengaruhi terjadinya keletihan budaya.
Akhirnya, semua kekhasan individual dan juga kekhasan
kebudayaan tersingkir.
Jelaslah bahwa Nietzsche memuji mereka yang mampu
menghindar dari kekuatan-kekuatan opresif tersebut --yang
disebutnya sebagai “individu-individu yang berdaulat”.
Menurut Nietzsche, orang-orang macam ini adalah individu-
individu yang unik, yang mengandalkan inteligensi tubuh dan
insting-insting vital mereka ketimbang larut dalam aturan-
aturan dan harapan. Melalui penipuan dan penguasaan diri,
mereka dapat terhindar dari kekuatan-kekuatan penyeragam
(homogenizing forces) yang ada di masyarakat.
45
Teori Sosial Postmodern

Nietzsche sangat menghargai kebudayaan dengan segala


“kehendak untuk menipu” (will to deception) yang ada di
dalamnya ketimbang pengetahuan dan “kehendak akan
kebenaran”-nya (will to truth). Pengetahuan dikaitkan dengan
rasionalitas dan askesitisme, sedangkan kebudayaan dikaitkan
dengan irasionalitas dan permainan yang tidak menghambat.
Kebudayaan dan estetika berkaitan dengan kebebasan yang
lebih besar, lebih dari sekedar individualitas, kegembiraan yang
lebih besar dan kelucuan kanak-kanak. Nietzsche
mendambakan dunia dimana kebudayaan menjadi sesuatu
yang dominan dan pemimpin dari kebudayaan itu adalah
individu-individu berdaulat yang memiliki “kekuatan yang
diperlukan, kreativitas dan tiada hambatan…. dapat
menghadapi segala macam provokasi dan hasutan,
chauvinisme, penjilatan dan kekerasan” [Antonio, 1995:20].
Namun, para pemimpin harus hati-hati untuk menghindari
moralisme berlebihan dan mengembangkan sebuah obsesi
dengan kontrol.
Antonio menunjukan bahwa kompleks Nietzsche dan
gagasan-gagasannya yang sering kontradiktoris memiliki
signifikansi terhadap perkembangan teori sosial postmodern
--khususnya Weber, terhadap para pemikir sayap kiri,
teoritikus sayap kanan dan terhadap kaum postmodernis
--yang menjadi perhatian utama buku ini. Secara singkat
Antonio menjelaskan pengaruh Nietzsche terhadap pemikiran
beberapa pemikir yang akan di dalami dalam buku ini seperti
Foucault, Derrida dan Baudrillard. Secara lebih umum,

“tema-tema Nietzschean punya kekuatan menembus;


kaum postmodernis biasanya mencintai gaya ekspresi
yang estetis, saling bertentangan, terpecah-pecah dan
selalu berubah ketimbang representasi konvensional.
Mereka juga mencintai pengetahuan yang penuh
perspektif ketimbang pengetahuan yang obyektif,
46
Teori Sosial Postmodern

mencintai visi kebudayaan yang non-rasional ketimbang


visi kebudayaan yang rasional. Motif-motif kaum
Nietzschean sanagt jelas tampak dalam sejumlah
argumentasi mereka mengenai peran bahasa dalam
dominasi kebudayaan, dalam kritik mereka atas negara
yang selalu mengawasi, dalam afirmasi mereka atas
perbedaan multi-kultural serta dalam klaim mengenai
perkiraan probematis, bidang-bidang yang tidak
terekplorasi dan suara-suara yang di marginalisir dalam
teori sosial. Juga, serangan mereka yang cantik terhadap
ideologi-ideologi moralistik, positivisme, bias-bias
kebudayaan yang sempit dan dalil-dalil intelektual
sanagt jelas menunjukkan dorongan-dorongan
Nietzschean.”
[Antoni, 1995:28]

Namun hal tersebut sama sekali tidak berarti bahwa tidak


ada perbedaan penting antara Nietzsche dengan teori sosial
post-modern. Di satu pihak, banyak kaum postmodernis yang
mendukung pandangan yang condong ke kiri, egalitarian, dan
pluralistik. Kedua, relativisme ekstrem kaum postmodern
terkadang mencerminkan modernisme liberal yang justru
selama ini dikritik oleh Nietzsche. Ketiga, kaum postmodernis
cenderung mengabaikan argumennya atas bentuk-bentuk baru
otoritas dan dominasi kebudayaan. Akhirnya, sebutan
Nietzsche untuk individu-individu yang “berdaulat” sering
hilang sebagaimana lenyapnya subyek dalam dunia tanda-
tanda postmodern.
Meskipun Nietzsche mensubordinasikan pengetahuan
dalam kebudayaan, ia menyetujui pentingnya “kehendak akan
kebenaran”, terutama kesediaan untuk melihat kenyataan
sebagaimana adanya, “dalam segenap multisiplitas, ketidak-
pastian khaotik dan kekerasannya, apapun biayanya [Antonio,
1995:19]. Maka bagi para individu yang berdaulat, “visi yang
47
Teori Sosial Postmodern

mengundang gairah serta kebenaran ilmiah merupakan dua hal


yang dibutuhkan untuk menghadapi ‘lautan bebas dan tugas-
tugas besar” [Antonio, 1995: 19].

Richard Rorty
Rorty memulai Philosophy and the Mirror of Nature
dengan tinjauan singkat mengenai filsafat Barat dari abad 17
hingga abad 19. Ada sejumlah pemikiran dominan yang muncul
selama periode ini seperti pemikiran yang memfokuskan diri
pada persoalan manusia sebagai “yang mengetahui” (the
knower) yang terlibat dalam proses merepresentasikan dunia;
suatu pandangan yang melihat filsafat “sebagai pengadilan atas
rasio murni, yang mendukung dan menyangkal klaim-klaim
kebudayaan”, dan “sebagai sebuah disiplin dasar yang diklaim
oleh pengetahuan” [Rorty, 1979:4]. Selama beberapan tahun
filsafat tumbuh semakin ketat dan ilmiah. Dalam proses ini,
filsafat semakin tidak dapat berbuat banyak berhadapan
dengan segenap gejala kebudayaan lain.
Pada abad 20, sejumlah filsuf terutama Ludwig
Wittgenstein, Martin Heidegger 1 dan John Dewey
mempertanyakan orientasi filsafat dan mencari cara baru
dalam membuat filsafat menjadi fondasional. Bagi Rorty
[1979:6] yang terpenting adalah fakta bahwa para pemikir
tersebut “menyetujui gagasan pengetahuan sebagai
representasi akurat yang hanya dimungkinkan oleh proses-
proses mental dan dimengerti lewat sebuah teori umum
tentang representasi yang sudah saatnya ditinggalkan.” Rorty
menganut pandangan bahwa apa yang diperlukan adalah
dekonstruksi atas teori representasi, atau dalam istilah yang ia
pakai, “dekonstruksi gambaran Cermin Alam Semesta (The
Mirror of Nature). Rorty mengajukan kritik dan

1
Wittgenstein dan Heidegger juga sangat penting bagi Teori Sosial
Postmodern.
48
Teori Sosial Postmodern

mengembangkan sebuah alternatif, dengan orientasi filosofis


sebagai berikut:

gambaran yang mendukung pesona filsafat tradisional


adalah apa yang dalam pikiran disebut sebagai cermin
besar yang memantulkan gambaran bermacam-macam –
yang beberapa ada yang tepat dan beberapa lagi ada yang
tidak, dan dapat dipelajari lewat metode-metode murni
dan non-empiris. Tanpa memahami pikiran sebagai
cermin, ide pengetahuan sebagai representasi akurat
tidak akan punya manfaat bagi dirinya sendiri… Cerita
tentang dominasi pemikiran Barat melalui metafor
perbandingan-perbandingan.
[Rorty, 1979: 12-13]

Rorty bukan hanya menentang filsafat yang memberi


tempat istimewa terhadap representasi, tetapi dia juga
menyerang gagasan yang berusaha menjadikan filsafat sebagai
suatu pengadilan tertinggi dan disiplin fondasional.
Rorty mengaitkan pemikiran-pemikiran yang dia tolak
dengan apa yang ia sebut sebagai filsafat-filsafat sistematik.
Filsafat sistematik melibatkan kepercayaan akan manusia
sebagai subyek yang mengetahui dan mengenal esensi-esensi
serta melibatkan pencarian atas dasar-dasar sistematik yang
membangun sebuah pemikiran. Berbeda dengan filsafat
sistematik, Rorty memperkenalkan filsafat kemajuan (edifying
philosophy) yang mencurigai semua pretensi filsafat sistematik.
Rorty menawarkan serangkaian pertentangan antara kedua
filsafat itu yang memberi kita gambaran atas apa yang ia
maksud sebagai “filsafat kemajuan”:

filsafat kemajuan bersifat reaktif dan menawarkan yang


satire, parodi dan aphorisme. Filsafat ini tahu bahwa
pekerjaannya kehilangan arah manakala masa bagi
49
Teori Sosial Postmodern

sesuatu yang ia tanggapi sudah lewat. Filsafat ini secara


intensional bersifat pinggiran. Filsafat-filsafat sistematik,
seperti halnya para ilmuan besar, membangun
proyeknya demi keabadian. Filsafat kemajuan
menghancurkan pemikiran-pemikiran demi kepentingan
generasinya sendiri. Para filosof sistematik ingin
menempatkan tujuan mereka pada jalan pengetahuan
yang aman. Para filsuf kemajuan ingin tetap membuka
ruang bagi semacam keajaiban dimana puisi bisa
mendapat tempat... sesuatu yang tidak dapat dijelaskan
dan hanya dapat dideskripsikan seadanya.
[Rorty, 1979: 369-370]

Jelaslah bahwa filsafat kemajuan jauh lebih rendah hati dari


filsafat sistematik. Filsafat ini tidak hanya mengutuk gagasan
tentang kepemilikan pemikiran tetapi juga menghindari posisi
dalam memberikan pandangan-pandangan. Ia adalah “sejenis
filsafat non-epistemologis” [Rorty, 1979:381]. Filsafat ini
tidakmenempuh jalan yang diambil oleh ilmu pengetahuan dan
program-program penelitiannya karena dalam pandangannya
tidak ada satu jalan yang tepat untuk menggambarkan
kenyataan. Sains diserang oleh Rorty [1979: 384–385], ”segera
setelah program menempatkan filsafat pada jalan pengetahuan
yang aman berhasil, dia akan mengalihkan filsafat ke dalam
sebuah kekhususan akademik yang membosankan. Tujuannya
tidak untuk menemukan kebenaran sebagaimana dalam filsafat
sistematik dan sains, tetapi hanya untuk melanjutkan
percakapan. Sebaliknya, sains menutup berlangsungnya
percakapan dengan tindakannya menemukan jawaban.
Mengurangi jawaban final atau kebenaran, filsafat kemajuan
terus memberikan deskripsi-deskripsi baru dan selalu berjuang
melawan kebenaran kebenaran, sebuah kebenaran yang elusif
dan tidak pernah dicapai. Seperti ditegaskan Rorty [1979: 373],
“filsafat kemajuan lebih bertujuan meneruskan percakapan
50
Teori Sosial Postmodern

daripada menemukan kebenaran.” Berlangsungnya percakapan


dimaksudkan untuk menghadirkan diskursus yang tidak
memaksa untuk kemudian mengambil langkah yang tidak
terburu-buru. Jadi tujuan filsafat kemajuan adalah sebentuk
diskursus yang bertujuan membangkitkan diskursus-diskursus
abnormal, yaitu gagasan-gagasan baru. Tujuan filsafat
kemajuna bukan untuk menemukan kenyataan atau kebenaran,
tetapi untuk mempertahankan percakapan, karena lewat
percakapan berkesinambungan seperti ini perspektif-perpektif
dan wawasan baru akan ditemukan. Jadi, filsafat kemajuan
berjarak dengan ilmu pengetahuan yang menutup percakapan-
percakapan. Filsafat kemajuan lebih dekat dengan puisi, novel
dan lebih penting, untuk tujuan kita, teori sosial postmodern.
Kemajuan, bagi Rorty merupakan sebuah “proyek menemukan
sebuah cara berbicara yang baru, yang lebih baik, lebih menarik
dan lebih bermanfaat” [1979:360].

Sigmund Freud

Banyak kaum post-strukturalis dan postmodernis berupaya


melampaui pemikiran sang pencipta psikoanalisis, Sigmund
Freud. Oleh karena itu ada baiknya diberikan pengantar singkat
atas beberapa pemikiran Freud sehingga kita melihat
relevansinya –baik dalam pengertian positif atau negatif
terhadap perkembangan posts-trukturalisme dan
postmodernisme.
Dalam pengertian tertentu, Freud adalah seorang
strukturalis yang melacak problem-problem psikologis yang
nampak di permukaan dengan membongkar proses-proses
bawah sadar. Sebagai contoh adalah Konflik Oedipus, sebuah
konflik primodial yang harus diatasi oleh seorang atau yang
lain demi menghindari lahirnya problem-problem psikologis di

51
Teori Sosial Postmodern

kemudian hari.* Berbeda dengan perempuan yang memiliki


dinamika yang saling berbeda, Freud percaya bahwa anak lelaki
yang berumur 4-5 tahun menginginkan ibunya, dan karena itu
ia cemburu dan cenderung agresif terhadap ayahnya yang
memiliki ibu tersebut. Namun sang anak takut pada ayahnya,
terutama ketakutan akan dikebiri. Penyelesaian atas konflik ini
terletak pada kemampuan sang anak dalam menginternalisasi
figur sang ayah sehingga bisa mengurangi kecemasannya.
Namun kalau konflik itu tidak di selesaikan secara memadai
akan melahirkan problem yang mendalam yang melahirkan
problem psikologis di masa dewasa.
Sebagai contoh, strukturalisme Freud juga terefleksikan
dalam pandangannya mengenai hal-hal seperti silap lidah
(slips of the tongue) dan mimpi. Makna dari fenomena-
fenomena seperti ini tidak terletak dalam apa yang nampak
(manifest) tetapi lebih dalam fakta sesuatu yang ditekan dan
direpresi oleh masyarakat. Maka seorang psikoanalis harus
mampu melihat apa yang ada di bawah “permukaan” dan
realitas-realitas yang ada di dalamnya. Logika seorang
psikoanalis adalah bahwa orang yang sedang berbicara
mengambil kesenangan dari silap lidah. Hal ini pada gilirannya
akan mengacaukan makna verbal dari apa yang dikatakan.
Jadi, kata-kata yang terucap dari silap lidah harus ditafsirkan
sebagai simtom realitas bawah sadar yang tidak disadari.
Beberapa kaum post-strukturalis dan kaum postmodernis
mengambil jarak dari jenis pemikiran semacam ini. Salah satu
yang dihindari oleh kaum postmodernis dan kaum post-
strukturalis adalah pembedaan Freud atas kebutuhan manusia
yang murni (pure human needs) dengan keinginan-keinginan
nyata (actual desires). Baudrillard mempertanyakan perbedaan
ini dengan menganggapnya sebagai ide yang keliru yang
memisahkan kebutuhan murni dari keinginan. Lebih umum,
*
interpretasi postmodern mengenai gagasan ini bisa dilihat dalam pembahasan
atas karya Deleuze dan Guttari dalam jilid II buku ini.
52
Teori Sosial Postmodern

Foucault melihat psikoanalis dan banyak ilmu-ilmu


kemanusiaan yang lain sebagai sebuah upaya untuk terlibat
dalam proses memperluas pengetahuan masyarakat untuk
mengukuhkan kekuasaan mereka atas yang lainnya.
Freud menciptakan sebuah teori yang dalam banyak hal
bercorak sangat modern. Dia percaya bahwa ada karakteristik
manusia yang esensial. Dia mengacu pada sebuah pandangan
deterministik, ilmiah dan positivistik, dan dalam banyak cara
dia mengadopsi pandangan totalistik tentang perkembangan
masa kanak-kanak, tentang represi sosial atas kebutuhan dan
keinginan manusia (needs and desires), serta tentang
kebutuhan pasien untuk memecahkan masalah mereka dengan
cara membicarakan masalah-masalahnya kepada psikiater dan
membiarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang terpendam
dinyatakan, juga keinginan dan pengalaman mereka. Kaum
postmodernis sangat menentang totalisasi seperti itu sebagai
sesuatu yang represif dan berwatak teror.
Namun demikian teori-teori Freud memainkan peran cukup
penting dalam perkembangan post-strukturalisme dan
postmodernisme. Diantara gagasan freud yang cukup relevan
bagi kaum postmodernis adalah pandangannya bahwa
masyarakat modern gagal memenuhi janji-janjinya, gagal
dalam menawarkan representasi kenyataan yang tidak distorsif.
Sesuatu yang marginal seperti mimpi dan silap lidah adalah
fenomena yang amat penting dan bahwa proses untuk sampai
pada sebuah interpretasi “yang benar” hanya membawa pada
penafsiran-penafsiran lain.

STRUKTURALISME DAN POSTSTRUKTUALISME

Mengikuti Scott Lash [1991: IX], kita angkat “strukturalisme


yang membentang dalam pemikiran sosial Prancis pada tahun
1960-an” sebagai titik awal yang tepat untuk munculnya post-
srukturalisme dan postmodernisme. Strukturalisme itu sendiri
53
Teori Sosial Postmodern

merupakan reaksi terhadap humanisme --terutama


eksistensialisme filsof dan novelis Jean-Paul Sartre serta
fenomenologi.

Eksistensialisme Sartre

Dalam karya-karya awalnya, Sartre memfokuskan perhatian


pada level individu, terutama kebebasan individual. Dia
mengikuti pandangan bahwa masyarakat bukanlah subyek
untuk atau ditentukan oleh, hukum-hukum sosial. Dengan
kata lain, manusia “tidak dapat membenarkan tindakannya
dengan refrensi di luar dirinya sendiri” [Craib, 1976 :4).2
Dalam Being and Nothingness, Sartre [1943] menekankan
kebebasan individual dan menganut pandangan bahwa
“eksistensi ditentukan oleh dan melalui tindakan seseorang…
Manusia adalah apa yang ia lakukan [Hayim, 1980:3]. Pada
saat yang bersamaan, Sartre menyerang pandangan sosiologis
tentang “struktur obyektif sebagai penentu keseluruhan
tindakan.” Bagi Sartre, manusia adalah makhluk bebas; mereka
bertanggung-jawab terhadap apa yang dilakukan, mereka tidak
perlu mencari-cari alasan jika melakukan kesalahan. Dalam
beberapa pengertian, “tanggung-jawab kebebasan yang
membingungkan” merupakan sumber penderitaan yang hebat
buat manusia [Hayim, 1980:17]. Dalam pengertian lain, ini
dapat menjadi sumber optimisme. Manusia memegang nasib
nya di tangan mereka sendiri. Dalam karya-karyanya yang
belakangan, misal Critique of Dialectical Reason, Sartre [1963]
mencurahkan perhatiannya pada pembahasan atas struktur
sosial, namun terkadang dia masih menekankan “hak
prerogatif manusia atas transendensi--jauh melebihi yang
2
Kemudian dalam karirnya, Sartre lebih tertarik ke teori Marx, tetapi dia
menggabungkan eksistensialisme awalnya dengan pendekatan Marx yakni :
berfokus pada individu yang “bebas” yang ditempatkan dalam “struktur yang
masif dan opresif”, yang membatasi dan mengasingkan kegiatannya (Craib,
1976-9)
54
Teori Sosial Postmodern

diberikan” [Hayim, 1980:16]. Dalam hal ini Sartre memang


kritis terhadap kaum marxis yang terlalu menekankan peran
dan kekuatan struktur sosial. “Dalam pandangan Sartre, kaum
marxis yang dogmatik telah menyingkirkan unsur humanistik
dalam pemikiran asli Marx” [Hayim, 1980:72]. Sartre adalah
seorang eksistensialis tulen dan karena itu dia selalu
memelihara humanisme yang dia rasa telah hilang dalam diri
sebagian kaum marxis.
Penentangan terhadap humanisme model Sartre dilakukan
kaum post-strukturalis dan postmodernis 3. Kaum postmodernis
dan post-strukturalis berusaha mengembangkan pemikiran
sosial yang tidak memusat (decenter), untuk mengalihkan
perhatian dari “manusia” ke gejala lain, terutama bahasa.

Fenomenelogi
Bapak fenomologi, Edmud Husserl,4 tertarik pada studi
ilmiah mengenai struktur dasar kesadaran manusia. Dia
berupaya menembus dasar-dasar yang dibangun oleh para
pelaku (aktor) di dunia nyata untuk mendapat struktur paling
dasar kesadaran. Namun ini tidak gampang dilaksanakan
karena begitu para pelaku terlibat dalam proses yang aktif dan
kompleks untuk menata dunia, mereka sering tidak menyadari
bahwa mereka sedang menata dunia. Oleh karenanya mereka
tidak pernah mempertanyakan dunia. Bagi Husserl, ini adalah
tesis umum dari “titik acuan alamiah”. Bagi para pelaku, dunia
sosial diatur secara alamiah dan bukan di tata oleh mereka.
Sikap alamiah ini merupakan hambatan terhadap penemuan
proses-proses intensional.
Ketika sikap-sikap alamiah ini terputus atau terpenjara,
kaum fenomologis dapat memulai untuk menguji “kekayaan”
kesadaran [Schutz, 1973:103). Kaum fenomenologis juga mesti

3
Mc Bride (1991) berpendapat bahwa Sartre mengantisipasi banyak pemikiran
postmodern.
4
Husserl mempunyai pengaruh besar bagi Derrida, disamping yang lain.
55
Teori Sosial Postmodern

mengesampingkan dulu pengalaman-pengalaman kehidupan


insidental yang cenderung mendominasi kesadaran. Tujuan
utama Husserl adalah untuk melihat seluruh kandungan “ego
transendental” dalam keasliannya. Husserl juga tertarik dengan
bentuk murni kesadaran yang menyangkut seluruh isi biografis
dan kultural.
Pemikiran mengenai “ego transendental” menunjukkan
kepentingan Husserl dalam kaitannya dengan “kandunga
paling dasar dari kesadaran manusia. Walaupun terkadang
salah tafsir atah hal ini, Husserl tidak memiliki konsepsi
kesadaran yang mentalistik dan metafisis. Bagi husserl ini
bukan soal sesuatu hal atau tempat, melainkan soal proses.
Kesadaran tidak ditemukan di dalam “kepala” pelaku tetapi
dalam hubungan antara pelaku dan obyek dalam dunia.
Husserl menyebut halsemacam ini sebagai “intensionalitas”.
Baginya, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu,
kesadaran akan obyek. Kesadaran ditemukan dalam relasi ini:
kesadaran tidak berada di dalam pelaku, kesadaran selalu
bersifat relasional. Makna tidak ada dalam kesadaran atau
obyek, tetapi dalam hubungan pelaku dengan obyek. Konsepsi
kesadaran sebagai proses yang memberikan makna terhadap
obyek inilah yang menjadi inti fenomenologi.
Banyak karakteristik fenomologi Husserlian –yakni
humanisme, subyek sebagai fokus bahasan, esensialisme dan
ego transendental—kelak mendapat serangan gencar dari kaum
strukturalis maupun post-strukturalis.

Strukturalisme
Dalam tingkat yang paling umum, strukturalisme dapat
didefinisikan sebagai upaya membongkar struktur-struktur
publik yang membawahi kegiatan manusia. Dari pandangan ini,
sebuah struktur didefinisikan sebagai:

56
Teori Sosial Postmodern

“Sebuah unit yang terdiri dari beberapa bagian yang


dijumpai dalam relasi yang sama dalam “kegiatan” yang
dijalankan. Unit ini tidak dapat dileburkan dalam satu
unsur tunggal, karena kesatuan struktur dibatasi tidak
begitu banyak oleh hakikat utama unsur-unsur itu
sebagaimana dalam relasi mereka.
[Spivak, 1974:iv]

Di samping sistem dan relasi, strukturalisme juga ditandai


oleh penelitiannya mengenai hukum-hukum umum yang
membatasi struktur-struktur tersebut.
Struktur perhatian strukturalisme bukan dalam struktur
dasar yang sama seperti yang telah menjadi keprihatinan
tradisional kaum sosiolog. Kaum sosiolog lebih menaruh
perhatian terhadap struktur-struktur sosial seperti kelas sosial
dan birokrasi, sementara kaum strukturalis lebih menaruh
perhatian pada struktur linguistik. Pergeseran dari struktur
sosial ke lingustik inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
”putaran linguistik” yang secara dramatis membahas hakikat
ilmu-ilmu sosial [Lash, 1991:ix]. Banyak pemikir sosial beralih
dari struktur sosial ke struktur bahasa, 5 atau lebih umum,
beralih ke tanda-tanda yang makin beragam [Gottdiener, 1995].
Stukturalisme muncul dari perkembangan yang berbeda di
dalam bidang yang berbeda, namun sumber strukturalisme
modern dan basisnya yang paling kuat dewasa ini adalah :
“bahasa”. Karya Ferdinand de Saussure (1857-1913) mewakili
perkembangan bahasa struktural dan juga dalam bidang lain
(Saussure, 1966, Culler, 1976). Hal khusus yang menarik adalah
pembedaan Saussure antara “langue” dan”parole”, sebuah
distingsi yang amat berarti bagi perkembangan, tidak hanya
strukturalisme, tetapi juga poststrukturalisme dan
postmodernisme. “Langue” merupakan sistem tata bahasa
5
Lihat, misalnya, karya Habermas mengenai komunikasi atau analisa
percakapan dari beberapa kaum ethnometodologis.
57
Teori Sosial Postmodern

formal. Ini merupakan sistem unsur “fonem” yang kaitannya


diatur oleh hukum yang khusus menentukan hal itu. Saussure
dan pengikutnya percaya itu. Banyak ahli bahasa sejak zaman
Saussure telah membaktikan diri untuk menemukan hukum-
hukum tersebut. Adanya “Langue” membuat “Parole” mungkin.
“Parole” dalam percakapan setiap hari, cara yang oleh para
pembicara menggunakan bahasa harian untuk
mengekspresikan diri mereka. Biarpun Saussure mengenal
makna penggunaan bahasa dalam cara subyektif dan sering
“idiosinkretik”, namun dia percaya bahwa pemakaian (bahasa)
harian seperti ini tidak dapat menjadi keprihatinan para ahli
bahasa. Seorang linguis seperti ini, harus berfokus pada
“langue”, sistem bahasa formal, bukan pada cara subyektif
seperti yang digunakan para pelaku (“aktor”).
“Langue” dapat dipandang sebagai sebuah sistem tanda.
Sebuah tanda dapat dilihat sebagai keseluruhan, sebuah
struktur yang terdiri dari “penanda” gambaran bunyi yang
didengar ketika sebuah kata diucapkan, dan “yang ditandakan”
gambaran bunyi yang dipakai untuk menunjukan : makna kata
yang ditangkap oleh pemikiran penerima. Saussure tidak hanya
tertarik pada “Signifier” (penanda) dan “Signified” (yang
ditandakan) tetapi juga di dalam hubungan mereka satu sama
lain. Dari sudut pandang sosiologis, Saussure tidak terlalu
tertarik dengan “rujukan” (referent), hal yang direfleksikan,
karena ini merupakan bahasa (linguistik) ekstra (Genosko,
1994)6.
Menurut Saussure, bahasa merupakan “sebuah sistem yang
padat dimana semua bagian saling berhubungan” (Marks dan
de Courtivron, 1981 : 3). Terutama yang penting adalah relasi
perbedaan, termasuk “pertentangan” (lawan/coposisi) kembar.
Misalnnya, makna kata : “panas” tidak dari kekayaan intrinsik
dunia “nyata” tetapi dari hubungan kata depannya. Dia
6
Namun, istilah : “discourse” sering muncul dan digunakan untuk “relasi
antara bahasa dan obyek yang dituju”. (Marks dan Courtivron, 1981 : 3)
58
Teori Sosial Postmodern

mempunyai oposisi kembar yakni : kata “dingin”. Struktur


bahasa membentuk makna, pikiran dan terakhir, dunia sosial.
Bukan dunia eksistensial orang yang membentuk lingkungan
mereka, namun kuta memiliki di sini sebuah dunia dimana
orang-orang, juga aspek-aspek lain dari dunia sosial, dibentuk
oleh struktur bahasa dan kodenyya, atau aturan
menggabungkan kata-kata.
Bahasa berperan sebagai sebuah bentuk dalam keseluruhan
aspek hidup manusia. Perhatian pada struktur, pertama-tama
diperkenalkan oleh Saussure dan lebih penting oleh pemikir-
pemikir lain, yang mempelajari semua sistem tanda. Perhatian
pada struktur sistem tanda telah diberi label : “semiotik” dan
menarik banyak pengikut (Eco, 1976; Hawkes, 1977;
Gottdiener, 1995). Semiotik lebih luas dari bahasa struktural
karena dia menekankan tidak hanya bahasa tetapi juga tanda
lain dan sistem simbol, seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh,
semua bentuk komunikasi, dan tentu semua unsur kebudayaan.

Roland Barthes (1964/1967; 1970/1982) sering dilihat


sebagai pendiri semiotik. Peranan terpenting dari Barthes, dari
sudut pandang pembahasan ini yakni : memperluas pemikiran
Saussure ke seluruh bidang kehidupan sosial. Barthes
menegaskan :

“Semiologi….bertujuan mengambil sistem petanda,


apapun substansi dan keterbatasannya, gambaran,
isyarat, bunyi musik, obyek dan gabungan dari
kesemuanya ini, yang membentuk ritual, konvensi atau
hiburan publik/umum; ini merupakan, jika bukan
bahasa, sekurang-kurangnya sistem signifikasi.
(Barthes, 1964/1967 : 9).

Atau dalam istilah yang lebih bebas : “tidak hanya bahasa,


tetapi bersiul juga menandakan praktis seperti pertunjukan
59
Teori Sosial Postmodern

TV,mode, memasak dan semua hal menyangkut kehidupan


setiap hari.
Figur utama lain dalam strukturalisme Prancis, tentu
Kurzweil (1980 : 13) menyebutnya “Bapak Strukturalisme”,
adalah antropolog Prancis Claude Levi Strauss. Strauss
mengembangkan karya Saussure mengenai bahasa dalam
konteks masalah antropologis – misalnya, mitos dalam
masyarakat primitif. Ini membantu membuka pintu untuk
aplikasi strukturalisme secara lebih luas ke semua bentuk
komunikasi. Terobosan besarnya yakni : merekonseptualisasi
sebuah aturan gejala sosial yang lebih luas (misalnya, sistem
kekeluargaan sebagai sisteem komunikasi dan karena itu
membuatnya dapat diterima pada analisa struktural (Burris,
1979, Levin, 1981 : 25). Pertukaran pasangan, misalnya dapat
dianalisis sebagai pertukaran kata. Keduanya merupakan
pertukaran sosial yang dapat dipelajari melalui penggunaan
antropologi struktural.
Kita dapat menggambarkan pemikiran Strauss (1967)
dengan contoh kemiripan antara sistem bahhasa dan sistem
kekeluargaan. Pertama, antropolog struktural menyukai fonem
dalam bahasa, sebagai unit utama untuk analisa. Kedua, baik
istilah kekeluargaan maupun fonem, memiliki arti di dalam
dirinya sendiri. Tidak seperti “Langue”-nya Saussure, keduanya
hanya bermakna kalau digabung dan menyatu dengan bagian
yang lebih besar. Strauss bahkan memakai oposisi kembar di
dalam antropologinya. Ketiga, Strauss mengenal bahwa ada
variasi empiris dari “setting” ke “setting” baik dalam sistem
fonemik maupun sistem kekeluargaan. Namun dia pun
menegaskan bahwa wariasi ini dapat ditelusuri ke tindakan
uumum yakni adanya aturan/hukum yang mengaturnya.
Strauss keluar dari sebagian petunjuk diatas. Dia
menegaskan bahwa : baik sistem fonemik maupun sistem
kekeluargaan adalah hasil dari struktur pikiran. Mereka bukan
hasil proses kesadaran, melainkan hasil prosesketidaksadaran,
60
Teori Sosial Postmodern

hasil struktur pikiran logis. Sistem ini berlaku juga pada hukum
umum. Mereka yang berpendapat lain, tidak membiarkan
strauss menekankan struktur pemikiran sebagai struktur yang
paling mendasar.
Varian strukturalisme lain yang sukses di Prancis adalah :
Marxisme Struktural, terutama karya Louis Althusser, Nicos
Poulantzas, dan Maurice Godelie. Telah ditegaskan bahwa
strukturalisme modern dimulai dengan karya Saussure dalam
tata bahasa, namun demikian, ada yang berpendapat bahwa itu
dimulai dengan karya : Karl Marx “ketika Marx beranggapan
bahwa struktur tidak boleh dicampuradukan dengan relasi-
relasi yang’visible’ dan menjelaskan logika tersembunyi, dia
tidak memberi harapan pada tradisi strukturalis modern”
(Godelier, 1972 b : 336). Walaupun Marxisme struktural dan
strukturalisme secara umum tertarik dengan “struktur”, namun
konsep mereka tentang struktur berbeda.
Banyak kaum Marxis yang hanya mempelajari struktur
sebagai awal studi mereka tentang sejarah. Maurice Godelier
mengatakan : “studi mengenai fungsi internal sebuah struktur,
harus mengawali dan menerangi studi tentang kejadian dan
evolusinya” (1972 b : 343). Dengan kata lain, Godelier
mengatakan : “Logika sistem ini adalah bahwa sistem ini harus
dianalisa sebelum keasliannya7 dianalisa”. Pandangan lain dari
kaum strukturalis dan Marxis struktural yakni : strukturalisme
harus berkaitan dengan struktur atau sistem, yang terbentuk
akibat relasi sosial. Struktur dilihat sebagai sesuatu yang “real”
meskipun hakikat strukturnya dilihat secara berbeda. Bagi
Strauss, struktur real adalah bentuk, mungkin pikiran,
sedangkan bagi kaum Marxis struktural, stuktural real menjadi
dasar struktur masyarakat.

7
Perhatian pada yang asli (origin) ditolak oleh kaum postmodernis.
61
Teori Sosial Postmodern

Mungkin lebih penting, baik strukturalisme maupun


Marxisme struktural menolak empirisme dan menerima
struktur-struktur yang tidak dapat dilihat. Godelier
berpendapat: “apa yang ditolak kaum strukturalis dan
Marxis adalah definisi empiris mengenai apa yang
membentuk struktur sosial”. Godelier juga membuat
pernyataan ini : “Bagi Marx, seperti Levi Strauss, sebuah
struktur bukanlah kenyataan, yang langsung dilihat dan
karena itu, dapat diselidiki, tetapi sebuah tingkat realitas
yang berada diluar relasi yang dapat dilihat diantara
manusia, dan fungsi yang membawahi logika sistem
tersebut, yakni : tatanan dimana tatanan-tatanan yang
kelihatan dapat dijelaskan”
(Godelier, 1972 a : XIX).

Godelier melanjutkan definisi segenap pengetahuan seperti


ini : “apa yang dapat dilihat adalah kenyataan yang berkaitan
dengan yang lain, kenyataan yang lebih dalam, yang
tersembunyi dan penemuan apa yang menjadi tujuan
pengetahuan ilmiah”.
Disamping kesamaan, Marxisme struktural tidak
mengambil bagian dalam bahasa, melainkan dalam
pengetahuan sosial. Misalnya, perhatian khusus pada struktur-
struktur sosial dan ekonomi. Lebih dari itu, Marxisme
struktural tetap berkaitan dengan teori Marx, dan banyak
pemikir sosial Prancis menjadi tidak sabar dengan teori Mark
karena mereka lebih banyak terlibat dalam eksistensialisme.

Poststrukturalisme
Strukturalisme mempengaruhi pemikiran sosial, terutama
di Prancis. Namun, segera muncul reaksi luas menentang
strukturalisme yang berlabel : poststrukturalisme.
Poststrukturalisme dapat dijelaskan sebagai sekolah pemikiran
yang bersandar pada strukturalisme (Kroker dan Levin, 1991),
62
Teori Sosial Postmodern

namun mengambil jarak dengan para pemikir seperti


Ferdinand Saussure, Roland Barthes, Claude Levi Strauss,
Louis Althusser, dll. Tentu saja kaum poststrukturalis juga
dibentuk dalam pengertian yang positif, tetapi terutama negatif
oleh banyak teori yang dibahas diatas terutama eksistensilisme,
fenomenologi, dan teori Freudian (juga Marxisme).
Poststrukturalisme adalah sekolah pemikiran yang tegas
dan tak berbentuk. Misalnya, dia menekankan karya seorang
teorikus sosiologi8, Pierre Bordeau (1977, 1984) juga pemikir
Michel Foucault yang tidak berada didalam struktur itu. Karya
Bourdieu digolongkan dalam : Teori sosiologi Modern
(Ritzer,1966 c). karya Foucault akan dibahas dalam buku ini
mengenai Teori Sosial Postmodern. Pertannyaan : apa
perbedaan antara poststrukturalisme dengan postmodernisme?
Secara umum, poststrukturalisme dianggap sebagai sebuah
perintis intelektual bagi postmodernisme (Bertens, 1995). Ini
merupakan sebuah sumbangan pemikiran bagi Teori Sosial
Postmodern. Nyatanya, itu merupakan sumber informasi yang
paling penting bagi Teori Sosial Postmodern. Kaum
poststrukturalis yang dibahas di buku ini, Foucault memainkan
peran penting. Namun,Foicault juga diamggap sebagai seorang
postmodernis (Best, 1994), yang akan dibahas pada Bab 3 dan
4. Jadi, ada garis fleksibel, yang memisahkan antara
poststrukturalisme dan postmodernisme. Di dalam semangat
postmodernisme, kita akan menolak garis, terutama dalam
karya yang kaya dan khas dari seorang seperti Foucault.
Satu perbedaan umum (dengan banyak kecualian) adalah
bahwa : poststrukturalisme cenderung menjadi lebih abstrak,
lebih filosofis, dan kurang politis seperti postmodernisme.
Karya Jacques Derrida (1930) akan dibahas lebih mendalam
pada Bab 7. Karya Derrida ini merupakan contoh bagus
mengenai pemikiran poststruktural, bahkan terkadang dia pun
8
Untuk pandangan Bourdieu yang lebih sebagai seorang postmodernis, lihat
Harrison (1993).
63
Teori Sosial Postmodern

berpikir sebagai seorang postmodernis. Di dalam renungan


teoretisnya Derrida melihat sebuah transisi yang sedang
berjalan dari cara berpikir modern kepada sebuah bentuk
pemikiran yang melampaui modern (Derrida, 1967/1974 : 87).
Namun, disini kita dapat memakai Derrida untuk
menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan
poststrukturalisme. Sebuah titik awal yang baik yakni : Spivak
yang membahas kritisisme Derrida mengenai strukturalisme.
Kaum poststrukturalis biasanya menyatu dengan
strukturalisme pada saat bersamaan sehingga mereka coba
mengambil jarak darinya. Mengambil contoh khusus, Derrida
mendasarkan pikirannya pada karya Saussure sehingga pada
saat bersamaan, dia mengkritik Saussure karena
mensubordinasikan dan mengeluarkan apa yang oleh Derrida
menjadi tulisan utama9. Ini yang mengantar Derrida ke
penciptaan bidang “gramatologi” atau pengetahuan teoretis
tentang tulisan. Derrida mengkritik dan bergerak melampaui
Saussure, karena dia tahu kenyataan bahwa Saussure yang
membuat bidang “gramatologi” menjadi mungkin. Ini
merupakan “kekentalan” dalam strukturalisme dan juga kritik
simultan dan gerakan yang melampauinya, yakni :
poststrukturalisme.
Kerangka karya poststruktural penting lainnya termasuk
psikoanalis Prancis, Jacques Lacan (1901), juga sumbangan
pengikutnyadan muridnya, dan terkadang kritik kemudian
muncul, terutama : Julia Kristeva, Luce Irigaray, dan Helena
Cixous. Lacan tentu saja membangun diatas teori Freud dan
menggabungkannya dengan pikiran-pikiran lain, terutama :
segi bahasa Saussure. Lacan terkenal denga pernyataan
seperti : “apa yang tidak sadar disusun seperti bahasa” (dalam
Kurzweil 1995 : 98). Ketika psikoanalis beruntung dengan
adanya biologi, Lacan berpendapat bahwa bahasa dan
9
Kita akan menjelaskan apa yang dimaksud Derrida dengan “menulis” pada
Bab 8.
64
Teori Sosial Postmodern

kebudayaan merupakan bagian sentral dari apa yang tidak


sadar/disadari, (ketidaksadaran). Lebih umum, setiap individu
dilihat sebagai orang yang terformat di dalam bahasa. Bahasa
menjadi hal yang utama dalam bidang psikoanalisis.
Menurut Lacan, bahasa selalu berjalan pada 2 bidang. Tugas
psikoanalisa adalah mencari penyebab komunikasi detektif.
Adalah bahasa yang menjadi penyebab tidak beresnya
komunikasi antarpribadi. Ada aturan struktural bagi gangguan
ini sehingga membuat aturan itu dapat dipelajari baik terapi
maupun bidang yang terkait dengannya. Ini merupakan sejenis
aturan struktural yang mempengaruhi Lacan mematematisir
psikoanalisa.
Pemiikiran Lacan berpengaruh dalam sejumlah bidang,
terutama Kristeva, Irigaray dan Cixous mempunyai pengaruh
besar di zamannya. Pada Bab 9, kita akan melihat kaitan
pemikiran mereka dengan teori postmodern Feminis Amerika.
Mereka pun punya sumbangan terhadap analisis struktural.
Misalnya, menciptakan : “Semanalisis” yang tidak hanya
berkaitan dengan faktor komunikatif dalam bahasa melainkan
juga dengan faktor-faktor material seperti : bunyinya, iramanya
dan kemampuan grafik. Dia juga menekankan pentingnya
bahasa puitis yang menentang formalisasi. Di dalam
mengaitkan bahasa dengan psikoanasisa, Kristeva melihat
sebagai paradigmatik, terutama menerima relasi cinta antara
analis dan pasien. Menurutnya, Irigaray berpendapat : penyakit
jiwa (suka mengasingkan diri) memiliki bahasanya sendiri dan
“mengigau” juga mempunyai aturan bahasa sendiri, bahkan
kenyataannya sering tidak digubris (dianggap sepele).
Poststrukturalisme menyediakan latar belakang dan cara
yang tidak dapat dipisahkan dari : teori sosial postmodern.
Sebagian besar pemikir yang dibahas di dalam buku ini,
dipengaruhi oleh strukturalisme, tetapi mengambil jarak
darinya. Poststrukturalisme sendiri pun mempunyai pengaruh
pada karya sebagian besar teorikus yang diangkat disini.
65
Teori Sosial Postmodern

Dengan latarbelakang strukturalisme dan portstrukturalisme


ini, kita sekarang siap memasuki teori sosial postmodern.
Namun, sebelumnya, kita lihat dulu satu masalah terakhir
dibawah ini.

KONTEKS SOSIAL
Sampai sejauh ini, kita fokuskan diri pada pikiran-pikiran
struktural, poststruktural dan postmodern. Namun, pemikiran
ini tidak muncul di dalam kekosongan sosial dan intelektual.
Kita akan menyelidiki beberapa faktor kontekstual yang ada
dalam perkembangan teoritis yang menjadi keprihatinan kita.
Agar pembahasan ini terarah, kita lebih fokus pada Prancis,
karena di sanalah pusat/inti perkembangan teoritis dari
keprihatinan/perhatian kita dalam buku ini.
Selama dan setelah Perang Dunia II, kehidupan intelektual
di Prancis di dominasi oleh teori Marx.namun banyak kaum
intelektual yang menganggap utopis komunisme gaya Rusia
tersebut. Mereka lebih tertarik pada eksistensialisme Sartre,
terutama janji untuk memenuhi kebutuhan individu di dunia
modern. Nmun, pikiran Sartre mulai tidak dicintai lagi karena
dia terus mendukung komunis. Didalam penelitian mereka
untuk sebuah perspektif teoretis-alternatif, beberapa ahli
terpesona dengan strukturalisme, yang mengizinkan mereka
tetap menjadi sosialis sambil menyerahkan karyanya yang tidak
berlandaskan teori Marx. Strukturalisme juga mendorong
mereka yang ingin mengembangkan pengetahuan yang
memberi aksentuasi pada manusia sebagai subyek.

Revolusi Mahasiswa radikal tahun 1968 merupakan


percikan dalam perkembangan intelektual di Prancis. Gagalnya
revolusi itu dan malasnya kelompok-kelompok mahasiswa
semakin memberi kesan bahwa Marxisme itu ilusif dan secara
umum, harapan akan adanya solusi revolusi bagi masalah-
masalah kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Perasaan itu
66
Teori Sosial Postmodern

muncul dalam beberapa dekade terakhir karena komunisme di


Soviet runtuh dan di tempat-tempat lain. Di Prancis, pemilihan
presiden sosialis, Francois Mitterand gagal membawa
perubahan yang dijanjikan.
Demokrasi sosial di seluruh Eropa yang telah menciptakan
program kesejahteraan mulai yakin bahwa mereka tidak perlu
lagi mendukung program seperti itu. Kegagalan ini meyakinkan
mereka bahwa harapan lama akan adanya solusi agung adalah
ilusi semata-mata.
Perubahan sosial dalam skala besar membuat jelas bahwa
sarana-sarana teoretis lama tidak cukup, pikiran-pikiran
teoretis dan prospektif baru diperlukan. Peta dunia dengan
kolonialisme dibongkar, dan dekolonisasi dimulai. Banyak
negara baru dan merdeka mulai menemukan eksistensinya.
Dipimpin oleh kaum Feminis, berbagai gerakan sosial muncul,
suara-suara baru muali didengar di Prancis dan di seluruh
dunia. Kelompok-kelompok ini menyerukan “kekuasaan” yang
lebih besar atas hidup mereka, juga didalam masyarakat yang
mereka tinggal.
Ekonomi negara-negara maju, termasuk Prancis,
berkembang namun kemiskinan dan penyakir sosial lain tetap
ada. Ekonomi terus berubah dengan banyak industri baik lewat
penghematan maupun restrukturisasi. Akibatnya, banyak orang
menganggur dan lebih banyak lagi yang karirnya putus atau
tidak menentu. Ekonomi beralih dari dominasi pekerjaan-
pekerjaan produksi Fordist ke pekerjaan model pelayanan
(service type) post-Fordist. Penekanannya lebih pada konsumsi
dan bukan produksi “kita akan dan sedang menyaksikan
munculnya masyarakat konsumsristis”.
Kunci utama menuju masyarakat konsumeristis yakni
perkembangan mass media terutama televisi. Televisi tidak
hanya memberi pelayanan iklan kepada masyarakat
konsumeristis, tetapi juga membombardir masyarakat dengan
berbagai ‘image’ yang secara dramatis mempengaruhi dan
67
Teori Sosial Postmodern

merubah hidup mereka. Televisi membawa ledakan informasi.


Teknologi informasi berkembang dan meledak dalam skala
besar dengan muunculnya komputer dirumah-rumah. “Image”
yang ditawarkan televisi, komputer rumah membawa pengaruh
besar kepada manusia, juga kekuasaannya.
Kita tidak dapat mendekati semua jangkauan perubahan
sosial yang mempengaruhi kita dan meminta keprihatinan kita.
Cukuplah untuk mengatakan bahwaada banyak faktor yang
mempengaruhi muncul dan berkembangnya pemikiran
poststruktural dan terutama pemikiran postmodern.

RANGKUMAN
Akar dari teori sosial postmodern terletak dalam kritisisme
deni dan kesusastraan. Ketika postmodernisme berkembang
dalam banyak bidang yang berbeda, sebagian karya penting,
dari sudut pandang perkembangan teori sosial postmodern,
terjadi pada arsitektur, terutama pada pemikiran Venturi dan
Jencks. Postmodernisme tetap menjadi sebuah kekuatan yang
berdaya-guna, di dalam seni dan kritik kesusastraan dewasa ini,
namun masukan utama pada teori sosial postmodern
ditemukan di tempat lain.
Tiga pemikiran penting dalam perkembangan teori sosial
postmodern yakni : filosof Nietzsche, Richard Rorty dan
Psikoanalis, S. Freud. Nietzsche muncul sebagai sumber
filosofis yang dominan mengenai Teori Sosial Postmodern.
Teorikus postmodern mendekati karya-karya orang dari banyak
aspek. Mereka menolak nalar dan rasionalitas, perhatiannya
pada hubungan antara kekuasaan dan kebenaran, dsb. Ada 3
perbedaan penting antara Nietzsche dengan teorikus sosial
postmodern, namun teorikus sosial postmodern tidak hanya
memperhatikan inti pemikiran dalam sebuah karya, tetapi juga
apa yang menjadi lambang pemikiran mereka. Pengaruh Rorty
dapa ditelusuri pada penolakannya terhadap filsafat sistematis
dan menerima filsafat “perbaikan/kemajuan”, yang mana
68
Teori Sosial Postmodern

tujuannya tidak menemukan jawaban melainkan tetap menjaga


keberlangsungan percakapan ilmiah. Freud juga memiliki
pengaruh luas pada teori sosial postmodern, namun lebih
karena teori itu mencari dan mengambil jarak baik dari cerita
agung modern Freud maupun pelbagai aspek pemikiran yang
khusus.
Humanisme dari eksistensialisme Sartre dan Fenomenologi
Husserl mendukung perkembangan strukturalisme, terutama
dalam karya Linguis, Ferdinand de Saussure. Pembedaannya
antara “Langue” dan “Parole” dan “penanda” dan “yang
ditandakan” (signifier dan signified), juga pemikirannya
menganai oposisi kembar mempunyai pengaruh signifikan
pada poststrukturalisme dan postmodernisme. Roland Barthes
penting dalam menyebarkan pemikiran Saussure, mengenai
bahasa ke studi-studi khusus mengenai tanda secara umum
(semiotik). Levi-Strauss menerapkan ide ini dalam karya
antropologisnya, menunjukan bahwa tingkah laku sosia dapat
dianalisa dalam banyak cara yang sama seperti bahasa Varian
lain dari strukturalisme lebih di bangun atas pemikiran
struktural Karl Marx.
Poststrukturalisme dapat dipandang sebagai sekolah
pemikiran yang bersandar pada strukturalisme, namun
melampaui strukturalisme itu. Sebuah contoh bagus yakni
usaha Derrida untu melewati ucapan untuk fokus pada
“tulisan”. Lacan membangun pemikiran strukturalis namun
menggabungkannya dengan pandangan psikoanalitis Freud
dan yang lainnya. Poststrukturalisme menjadi latar belakang
bagi teori sosial postmodern, namun didalam banyak hal, tidak
dapat dipisahkan darinya. Banyak pemikir yang dibahas dalam
buku ini sebagai teorikus sosial postmodern, sering juga dibagi
label : “kaum poststrukturalis”.
Bab ini ditutup dengan beberapa pemikiran mengenai
perubahan sosial yang penting dalam perkembangan
poststrukturalisme dan postmodernisme.[]
69
Teori Sosial Postmodern

70

Anda mungkin juga menyukai