Patofisiologi HIPOGLIKEMIA
Patofisiologi HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah harga normal.1 Hipoglikemia dianggap
telah terjadi bila kadar glukosa darah < 50 mg/ dL.2 Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan (whole blood) karena eritrosit mengandung
kadar glukosa yang relatif lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan kadar glukosa
vena, sedang kadar glukosa darah kapiler diantara kadar arteri dan vena.1
Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 63-65 mg% (3,5-
3,6 mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila
kadar glukosa plasma ≤ 63 mg% (3,5 mmol/L).
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada diabetes melitus, terutama
karena terapi insulin. Pasien diabetes tergantung insulin (IDDM) mungkin suatu saat akan menerima
insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar
glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemia.3
Harus ditekankan bahwa serangn hipoglikemia adalah berbahaya, bila seringa terjadi atau terjadi dalam
waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atauh bahkan kematian.3
KLASIFIKASI
Pada diabetes, hipoglikemia juga sering didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya. Hipoglikemia
akut menunjukkan gejala dan triad whipple. Triad tersebut :
Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinomia) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan
atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan meanmbah kriteria klinis pada pasien diabetes yang
mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang, dan berat (tabel 1).1
Ringan
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata
Sedang
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan ganggaun aktivitas sehari-hari yang nyata
Berat
Sering (tidak selalu) tidak simtomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak mampu mengatasi sendiri
Klasifikasi hipoglikemia juga dibagi menjadi pasca makan (reaktif) atau puasa. Secara patologik,
konsentrasi gukosa plasma rendah terjadi pada hipoglikemia pasca makan hanya sebagai respon
terhadp makanan, sedangkan hipoglikemia puasa terjadi hanya setelah puasa hingga berjam-jam.
Hipoglikemia puasa biasanya berarti bahwa proses penyakit berhubungan dengan penurunan glukosa
plasma, tetapi gejala yang mengarah ke hipoglikemia sesudah makan juga ditemukan tanpa penyakit
yang dapat dikenali.
Penyebab hipoglikemia pasca makan adalah hiperinsulinemia pencernaan (tabel 2). Pasien yang
menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi, piloroplasti atau vagotomi dapat mengalami hipoglikemia
pasca makan, mungkin karena pengosongan lambung yang cepat dengan penyerapan singkat glukosa
serta pelepasan insulin yang berlebihan.4
Tabel 2. Penyebab Hipoglikemia Sesudah Makan (reaktif)
a. Hiperinsulinemia pencernaan
c. Galaktosemia
d. Sesitivitas leusin
e. Idiopatik
Kurangnya produksi glukosa Penyebab tidak memamdainya produksi glukosa selama puasa dapat
dikelompokkan menjadi 5 kategori :4
(5) Obat
Penggunaan glukosa berlebihan Penggunaan glukosa berlebihan terjadi pada dua keadaan : ketika ada
hiperinsulinisme dan ketika konsentrasi insulin plasma rendah.4
A. Defisiensi hormon
1. Hipohipofisissme
2. Insufiensi adrenal
3. Defiseiensi ketokolamin
4. Defisiensi glukagon
B. Defek enzim
1. Glukosa 6- fosfatase
2. Fosforilasi hati
3. Piruvat karboksilase
4. Fosfoenolpiruvat karboksikinase
5. Fruktose-1,6-difosfatase
6. Glikogen sintetase
C. Defisiensi subtrat
3. Kehamilan lanjut
1. Kengesti hati
2. Hepatitis berat
3. Sirosis
5. Hipotermia
E. Obat
1. Alkohol
2. Propanolol
3. Salisilat
1. Insulinoma
2. Insulin eksogen
3. Sulfonilurea
6. Renjatan endotoksik
1. Tumor ekstrapankreas
Pelepasan epinefrin yang cepat menyebabkan berkeringat, termor, takikarfi, kecemasan dan
kelaparan.3,4 Gejala sistem saraf pusat (SSP) meliputi pusing, sakit kepala, kekaburan pengkihatan,
penumpulan ketajaman mental, kehilangan ketrampilam motoris halus, bingung, tingkah laku abnormal,
kejang dan kehilangan kesadaran. Dengan penurunan glukosa plasma yang lebih cepat (seperti pada
reaksi insulin), gejala adrenergik
menonjol. Pada penderita diabetes, gejala adrenergik mungkin tidak tampak jika ada neuropati berat.4
Suatu sindroma yang jarang menyerupai manifestasi SSP karena hipoglikemia sudah diuraikan bahwa
glukosa darah normal tetapi glukosa cairan serebrospinal rendah, mungkin karena defek molekul
pembawa glukosa, GLUT 1. Dapat terjadi kejang.4
Faktor utama mengapa hipoglikemia manjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Gangguan (interruption)
asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (SSP).
Seperti jaringan lain, jaringan saraf dapat menggunakan sumber energi alternatif, yaitu keton dan laktat.
Pada hipoglikemia yang disebabkan insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak
mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energi alternatif.1
Terdapat keragaman keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada
waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu,
sesuai dengan kompnen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda (tabel 4).1
Pada pasien diabetes yang relatif baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan gangguan sistem saraf
otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahuli keluhan
dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh neuroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi dan
koma. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan otonomik cenderung berkurang atau
menghilang. Hal tersebut menunjukkan kegagalan yang prgogresif aktivasi sistem saraf otonom.1
Tabel 4. Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes
Otonomik
Neuroglikopenik
Malaise
Berkeringat
Jantung berdebar
Tremor
Lapar
Bingung
Mengantuk
Sulit bicara
Inkoordinasi
Gangguan visual
Parestesi
Mual
Sakit kepala
Pengenalan Hipoglikemia
Respon utama pada saat kadar glukosa darah turun dibawah normal adalah peningkatan akut sekresi
hormon kontra regulasi (glukagon dan epinefrin); batas kadar glukosa tersebut adalah 65-68 mg% (3,6-
3,8 mmol/L). lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap
turun samapi 3,2 mmol/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi, yang diukur dengan
kecepatan reaksi danberbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu saat kadar glukosa 3
mmol/L. Pada individu yang masih memiliki kesiagaan hipoglikemia, aktivasi sistem simpatoadrenal
terjadi sebelum isfungsi serebral yang bermakna timbul. Pasien-pasien tersebut tetap sadar dan
mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.1
Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresikan saat terjadi hipoglikemia akut.
Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan gikogenolisis dan kemudian
meningkatkan glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di
hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol,
hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku (precursor)
glukoneogenesis hati (gambar 1).1
Kortisol dan growth hormon berperan dalam hipoglikemia yang berlangsung lama, dengan cara
melawan kerja insulin di jaringan perifer (lemak dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis.1
Gambar 1. Rekasi fisiologis dan reaksi melawan hipoglikemia.5
Glukosa Oral
Setelah diagnosa hipoglikemia ditegakkan, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam
bentuk tablet, jelly, atau 150-250 mL minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan
nondiet cola. Bila belum ada jadwal mkan dala 1-2 jam maka ditambahkan 10-20 g karbohidrat
kompleks.1
Glukosa Intramuskular
Bila pasien telah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan
dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan
pemulihan.1
Glukagon intravena
Glukagon intravena harus diberikan berhati-hati. Pemberian glukosa intravena 50 % terlalu toksik untuk
jaringan dan 75-100 ml glukosa 20 % atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi
glkosa 50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.1
Referensi
1. Sudoyo W. Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta; FKUI
3. Prince Sylvia, M. Wilson Lorraine. 2006. Patofisiologi. Ed,6. Vol,2. Jakarta : EGC