Anda di halaman 1dari 15

sANALISIS PUTUSAN PENGADILAN DAN KAITANNYA DENGAN DASAR PENGHAPUS PIDANA

Putusan Mahkamah Agung Nomor 183/Pid.B/2020/PN Prg

DISUSUN OLEH :

Kelompok 2:

1. Muhammad Akhdan Zaki (1906291323)


2. Muhammad Farhan (1906291336)
3. Muhammad Furqan Sultan Deyis (1906291355)
4. Muh. Arief Rahmat Jaya Putra (1906291380)
5. Nadhifa Marsaa (1906291411)

PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA REGULER-E

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2020
PENDAHULUAN

Putusan ini berbicara mengenai kaitan antara tindak pidana penganiayaan sesuai dengan Pasal 351 ayat (1)
KUHP dan dasar penghapus. Penganiayaan sesuai dengan pasal 351 ayat (4) KUHP adalah merusak kesehatan.
Dalam Hoge Raad tertanggal 25 Juni 1984, yang dimaksud dengan penganiayaan adalah kesengajaan yang
menimbulkan perasaan sakit atau luka pada orang lain. Penganiayaan dalam kasus ini terjadi karena Terdakwa Har
menyebabkan luka pada lengan Samsunur. Terdakwa dianggap melakukan penganiayaan ini sebab dirinya merasa
sedang dalam keadaan darurat (noodtoestand).
Dasar penghapus adalah hal-hal atau keadaan yang mengakibatkan tidak dijatuhkannya pidana pada
seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan sanksi pidana oleh
Undang-undang. Dasar penghapus terbagi menjadi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Dalam kasus ini,
menurut Majelis Hakim terhadap perbuatan Terdakwa berlaku dasar penghapus, yaitu keadaan darurat
(noodtoestand). Oleh karena itu, perbuatan Terdakwa dibenarkan dengan sifat melawan hukum dan kesalahannya
dihapuskan.

A. Posisi Kasus
Pada hari Jumat 22 Mei 2020, bertempat di Desa Pinotu Kecamatan Toribulu, Kabupaten Parigi Moutong,
Terdakwa Ashar Abd Rahim Alias Har datang ke empang miliknya untuk tidur sambil berjaga karena sering
datang orang untuk menangkap udang di empang milik Terdakwa. Setibanya di empang Terdakwa melihat
Saksi Samsunur dan Saksi Sulaiman sedang mencari udang di empang milik Terdakwa, kemudian Terdakwa
datang menghampiri dan menegur serta menyarankan untuk mencari udang di selokan atau got, lalu Saksi
Samsunur dan Saksi Sulaiman pergi ke selokan dan Terdakwa kembali ke pondok tempat beristirahat miliknya,
namun setelah beberapa saat Terdakwa melihat cahaya senter milik Saksi Samsunur dan Saksi Sulaiman berada
di sekitar empang milik Terdakwa kemudian Terdakwa memberikan peringatan dengan menyalakan senternya
dan mengarahkannya kepada Saksi Samsunur dan Saksi Sulaiman namun tidak dihiraukan, lalu Terdakwa
menghampiri Saksi Samsunur dan Saksi Sulaiman sambil membawa pemetik buah coklat yang ujungnya
terdapat sabit dan ketika jarak antara Terdakwa dan Saksi Samsunur sekitar 3 (Tiga) Meter Terdakwa
memperingati Saksi Samsunur untuk tidak mengambil udang di empang miliknya sehingga terjadilah
pertengkaran adu mulut dan saat itu Saksi Samsunur mendekati Terdakwa untuk mengambil pemetik buah
coklat yang dipegang Terdakwa sehingga Terdakwa mengayunkan pemetik cokelat tersebut kekiri dan ketika
Terdakwa melihat Saksi Samsunur terus mendekat Terdakwa dengan kedua tangannya mendorong pemetik
buah coklat tersebut ke depan sebanyak 1 (satu) kali ke arah Saksi Samsunur sehingga mengenai lengan
sebelah kanan Saksi Samsunur.
Akibat perbuatan Terdakwa, saksi SAMSUNUR mengalami luka sebagaimana hasil Visum Et Repertum
No: 800/118-3/PKM-SJ tanggal 23 Mei 2020 yang ditandatangani oleh dr. Ervin Pratiwi Pasang selaku Dokter
Umum pada Puskesmas Sienjo dengan hasil pemeriksaan didapatkan perlukaan akibat tapukul berupa dua buah
luka terbuka yang terletak pada lengan bawah kanan sisi dalam. Luka tersebut menimbulkan halangan atau
penyakit dalam menjalankan aktivitas pekerjaan sehari-hari untuk sementara waktu.
1
B. Identitas Terdakwa

1. Nama Lengkap : Ashar Abd Rahim Alias Har ;


2. Tempat Lahir : Toribulu;
3. Umur/Tanggal Lahir : 65 Tahun/1 Juli 1958;
4. Jenis Kelamin : Laki-Laki;
5. Kebangsaan : Indonesia;
6. Tempat Tinggal : Desa Pinotu Kec. Toribulu Kab. Parigi Moutong;
7. Agama : Islam;
8. Pekerjaan : Petani/Pekebun;

C. Dakwaan
Penuntut Umum mengajukan Surat Dakwaan Nomor PDM-79/PRG.Epp.2/08/2020 tanggal 24 Agustus
2020 yang menyatakan bahwa Terdakwa ASHAR Als HAR pada hari Jumat tanggal 22 Mei tahun 2020 sekira
pukul 21.30 WITA dengan sengaja telah melakukan penganiayaan mengakibatkan luka terhadap Saksi
SAMSUNUR. Perbuatan Terdakwa ASHAR ABD RAHIM Als HAR tersebut diatas sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHPidana;

D. Tuntutan
Tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan No. Reg. Perk: PDM-79/PRG/Epp.2/08/2020
tertanggal 8 Oktober 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa ASHAR ABD RAHIM Als HAR bersalah melakukan tindak pidana
"Penganiayaan” yang diatur dalam Pasal 351 ayat(1) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ASHAR ABD RAHIM AlS HAN dengan pidana penjara selama 8
(delapan) bulan dipotong selama dalam tahanan;
3. Menyatakan Barang Bukti berupa :
● 1 (satu) buah alat pemetik buah coklat dengan gagang terbuat dari kayu dengan panjang 2,13 meter,
dengan mata penjolok terbuat dari besi dengan Panjang 16 Cm dan lebar 5,4 Cm; Dirampas untuk
dimusnahkan
4. Menetapkan agar Terdakwa ASHAR ABD RAHIM Als HAR dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp2.000,00 (dua ribu rupiah);

E. Putusan
Putusan Yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Parigi terhadap kasus yang menjerat Terdakwa
ASHAR ABD RAHIM ALIAS HAR sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Ashar Abd Rahim Alias Har tersebut di atas,terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana;
2. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum;
2
3. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;
4. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
5. Menetapkan barang bukti berupa :
1 (satu) buah alat penjolok coklat dengan gagang terbuat dari kayu dengan panjang 2,13 (dua koma tiga
belas) meter, dengan mata penjolok terbuat dari besi dengan panjang 16 (enam belas) sentimeter dan lebar
5,4 (lima koma empat) sentimeter;
6. Membebankan biaya kepada negara;

PERMASALAHAN HUKUM

1. Apakah terdapat dasar penghapus pidana dalam putusan tersebut ?


2. Apakah Majelis Hakim telah menimbang dasar penghapus pidana secara tepat terhadap perbuatan Terdakwa?
3. Apakah Terdakwa terbukti bertindak atas alasan keadaan darurat (noodtoestand) atau terdapat unsur putatief di
dalamnya?

ANALISIS KASUS

I. Kajian Teori
Dasar penghapus pidana di dalam teori hukum pidana terbagi menjadi dua, yaitu dasar pembenar pidana
dan dasar pemaaf pidana. Dasar pembenar pidana merupakan suatu perbuatan pelaku yang telah memenuhi
ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang, namun masih dipertanyakan apakah perbuatan
tersebut dapat dibenarkan atau tidak. Sedangkan, dasar pemaaf pidana merupakan suatu perbuatan yang salah,
akan tetapi masih dipertanyakan, apakah pelaku dapatkah dipertanggungjawabkan atau tidak. Sehingga, pada
intinya dapat dikatakan dasar pembenar ini membicarakan mengenai kebenaran suatu perbuatan, sedangkan
dasar pemaaf membicarakan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan kesalahan yang dilakukannya. Jika
kita membicarakan dasar penghapus pidana ini, tidak lupa juga kita membahas teori dalam hukum pidana
lainnya yaitu mengenai pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ini bertujuan untuk
menentukan apakah di dalam diri pelaku terdapat dasar pembenar atau dasar pemaaf pidana. Seperti yang telah
diketahui, alasan pertanggungjawaban pidana ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu alasan yang berada di
dalam diri pelaku dan juga alasan yang berada di luar diri pelaku. Hal ini diatur lebih lanjut di dalam pasal 44
KUHP dan juga pasal 48-51 KUHP. Selain itu, dasar penghapus pidana ini memiliki pembagiannya kembali,
yaitu dasar penghapus pidana umum dan dasar penghapus pidana khusus. Dasar penghapus pidana umum adalah
dasar penghapus pidana yang terdapat baik di dalam KUHP, maupun di luar KUHP. Sedangkan dasar penghapus
pidana khusus yaitu dasar penghapus pidana yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja. Untuk
pembahasan lebih jelas, mengenai dasar penghapus pidana ini, terdapat beberapa teori yang menjelaskan hal
tersebut:1

1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 255.

3
1. Theory of Pointless Punishment
Teori ini menyatakan bahwa hukuman adalah suatu yang tidak perlu. Teori ini didasarkan pada the
utilitarian theory of excuse atau teori kemanfaatan alasan pemaaf dan juga the utilitarian theory of
punishment atau teori manfaat dari hukuman. Menurut teori ini, dapat dikatakan terdapat tiga kemanfaatan
dari pemidanaan yaitu pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaikan
diri pada pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan
kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Menurut teori
ini juga tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak menyadari apa yang diperbuatnya.
Misalnya pada pelaku yang gila atau sakit jiwa dalam tumbuhnya tidak mampu menyadari atau
menginsyafi perbuatannya dan tidak dapat mencegah dari perbuatan yang dilarang, kepada orang tersebut
dianggap tidak akan memberi manfaat sedikitpun, oleh karena itu, dasar penghapus pidana terhadap orang
tersebut dapat dipenuhi dan dilakukan. Teori ini merupakan sebagai dasar penghapus pidana yaitu lebih
tepatnya sebagai dasar pemaaf. Hanya saja dasar pemaaf ini berasal dari dalam diri pelaku. Hal ini
berkaitan erat dengan tidak mampunya seseorang dalam bertanggung jawab.

2. Theory of Lessers Evils


Teori ini merupakan teori dasar pembenar, oleh karena itu teori ini merupakan dasar penghapus pidana yang
berasal dari luar diri pelaku. Menurut teori ini, suatu tindak pidana dapat dibenarkan atas dua alasan,
pertama, meskipun perbuatan tersebut melanggar aturan, namun perbuatan tersebut harus dilakukan untuk
mengamankan kepentingan yang lebih besar. Yang dimaksud disini, yaitu tingkat bahaya yang harus
dihindari lebih besar daripada sekedar penyimpangan suatu aturan. Kedua, perbuatan yang melanggar
aturan tersebut hanya merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah
untuk menghindari bahaya atau ancaman yang akan timbul. Teori ini lebih mempertimbangkan untung dan
ruginya dampak dari perbuatan pidana yang dilakukan, dan juga perbuatan tersebut memiliki kepentingan
yang lebih besar dan baik dari hanya sekedar melakukan perbuatan yang melanggar, maka perbuatan pidana
tersebut dapat dibenarkan. 2

3. Theory of Necessary Defense


Teori ini terdapat suatu perdebatan oleh para ahli hukum, apakah hal tersebut termasuk pada teori dasar
pemaaf atau teori dasar pembenar. Namun, dapat diketahui jika teori ini dapat menghapuskan sifat melawan
hukumnya suatu perbuatan, maka teori ini termasuk pada dasar pembenar, sedangkan bila teori ini dapat
menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku, maka termasuk dalam teori dasar pemaaf. Terdapat empat hal
yang menjadi dasar perdebatan teori ini yaitu pertama, penggunaan kekuatan yang dibolehkan dalam situasi
tertentu, kedua kewajiban untuk menghindari, ketiga, hak pihak ketiga untuk campur tangan, dan keempat,
membolehkan melawan hukum untuk membebaskan diri dari serangan tersebut. 3

2
Ibid. hlm. 256.
3
Ibid. hlm. 257.
4
A. Dasar Penghapus Pidana Umum
1) Menurut Undang-Undang
Mengenai hal ini sebenarnya sudah diatur lebih lanjut di dalam pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP.
Berikut adalah pembahasannya.4
a. Tidak Mampu Bertanggung Jawab
Kemampuan bertanggung jawab terdapat beberapa unsur yang menjelaskannya, yaitu pertama,
mengenai mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya, kedua, mampu untuk
menginsyafi perbuatannya, dan ketiga mampu untuk menentukan kehendak berbuat. Pasal 44 KUHP
menyatakan secara negatif tidak mampunya bertanggung jawab itu, jika memenuhi unsur berikut ini:
1. Disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau karena penyakit, tidak dapat dipidana,
2. Disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan bahwa orang tersebut dapat dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama
satu tahun sebagai waktu percobaan,
3. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan tinggi, dan Pengadilan
Negeri.
Maka, berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan ketentuan pasal 44 KUHP yaitu, pertama,
kemampuan bertanggung jawab dilihat dari sisi pelakunya berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat
dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit. Kedua, penentuan pertanggungjawaban pidana
harus dilakukan oleh seorang psikiater. Ketiga, terdapat hubungan kausal antara keadaan jiwa dan
perbuatan yang dilakukan. Keempat, Penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan otoritas hakim
yang mengadili perkara. Kelima, system yang dipakai dalam KUHP adalah deskriptif normatif.
b. Daya Paksa
Daya paksa diatur lebih lanjut diatur dalam pasal 48 KUHP. Daya paksa adalah terjemahan dari
overmacht yang selalu menjadi perdebatan dalam dasar penghapus pidana. Terdapat beberapa
pernyataan terkait daya paksa. Pertama, keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang
oleh hukum. Kedua, keadaan terpaksa, Tindakan yang diambil dipandang perlu. Ketiga, keadaan
terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat. Keempat, keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum,
perbuatan yang dilarang oleh hukum, namun dilakukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan
tersebut dianggap sah. Jonkers membagi daya paksa menjadi tiga macam. Pertama, daya paksa absolut
yang merupakan seseorang tidak dapat berbuat lain. Kedua, daya paksa relatif. Kekuasaan dan
kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak. Ketiga, adalah keadaan darurat. Seseorang berada
dalam dua pilihan untuk melakukan perbuatan pidana berdasarkan keadaan-keadaan tertentu.
c. Keadaan Darurat
Keadaan darurat ini merupakan bagian dari daya paksa. Keadaan darurat ini merupakan salah satu dari
alasan pembenar. Artinya, perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan darurat menghapuskan
elemen melawan hukumnya perbuatan. Dalam hal ini, terdapat beberapa kemungkinan. Pertama,
mengenai pertentangan antara dua kepentingan. Tegasnya terdapat konflik antara kepentingan yang

4
Ibid. hlm. 258.
5
satu dengan kepentingan yang lain. Kedua, pertentangan antara kepentingan dan kewajiban. Ketiga,
Pertentangan antara dua kewajiban.
d. Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ini diatur lebih lanjut dalam pasal 49 ayat (1) KUHP. Pembelaan terpaksa adalah
sebuah dasar pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan. Esensi dari
pembelaan terpaksa ini adalah pelaku melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih
besar atau menghindari bahaya mengancam. Dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, ada beberapa persyaratan
pembelaan terpaksa. Pertama, ada serangan seketika. Kedua, serangan tersebut bersifat melawan
hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Keempat, cara pembelaan adalah patut. Mengenai
hal ini diatur juga lebih lanjut dalam pasal a quo, dalam pasal a quo diatur mengenai serangan nyata
berlanjut, baik terhadap badan, martabat, atau kesusilaan dan harta benda. Sedangkan, seketika dalam
hal ini diartikan ketika antara saat melihat adanya serangan dan saat mengadakan pembelaan harus
tidak ada selang waktu yang lama. Berikut adalah persyaratan lain dari pembelaan terpaksa yaitu
pembelaan merupakan suatu keharusan. Selanjutnya, pembelaan secara patut dibagi kembali dalam
empat prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, prinsip subsidiaritas artinya tidak ada kemungkinan
yang lebih baik atau jalan lain sehingga pembelaan tersebut harus dilakukan. Kedua, prinsip
proporsionalitas yaitu harus ada keseimbangan kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang
dilanggar. Ketiga, prinsip culpa in causa. Artinya, seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang
oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa.
e. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Hal ini diatur lebih lanjut dalam pasal 49 ayat (2) KUHP. Pembelaan terpaksa melampaui batas ini,
terjadi apabila:
1) Serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan
2) Tidak imbangnya kepentingan yang awalnya diserang dan kepentingan lawan yang diserang
kembali
Oleh karena itu, pembelaan terpaksa melampaui batas hakikatnya tidak diperbolehkan, maka
seseorang yang melakukan hal ini tidak dapat dihukum, walaupun perbuatannya melanggar hukum. 5
f. Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan
Hal ini diatur lebih lanjut dalam pasal 50 KUHP. Perbuatan untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan tidak melanggar hukum. Dengan demikian, perbuatan ini bukan merupakan
suatu tindak pidana. Hal ini mengartikan bahwa pasal yang bersangkutan selain harus termuat dalam
undang-undang, juga meliputi pasal-pasal yang termuat dalam peraturan pemerintah.6
g. Perintah Jabatan
Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat (1) KUHP yang menyatakan tidak dikenakan hukuman pidana
seorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang
atasan yang berwenang untuk memberikan perintah itu.

5
Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), hlm. 87.
6
Ibid. hlm. 93.
6
h. Penuntutan orang yang belum dewasa
Menurut pasal 45 KUHP, seorang yang belum dewasa tidak dapat dihukum sampai seseorang
mencapai usia 16 tahun. Dalam kondisi seperti ini, hakim dapat, melakukan beberapa kebijakan yaitu
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, menyerahkannya kepada pemerintah, ataupun
menjatuhkannya dengan hukuman pidana. 7
i. Perintah Jabatan Tidak Sah
Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat (2) KUHP, yang merupakan dasar pemaaf. Hal ini dapat dikatakan
perintah jabatan tidak sah, jika memenuhi unsur berikut ini yaitu pertama, perintah tersebut dipandang
tidak sah, kedua, perintah tersebut dilaksanakan dengan itikad baik, dan ketiga, pelaksanaan perintah
tersebut berada di ruang lingkup pekerjaannya.

2) Di Luar Undang-Undang
a. Izin
izin dapat merupakan suatu dasar penghapus pidana yaitu dasar pembenar, jika perbuatan tersebut
dilakukan atas persetujuan dari orang yang akan dirugikan dalam perbuatan tersebut.
b. Error Facti (AVAS)
AVAS atau tidak ada kesalahan sama sekali merupakan dasar penghapus pidana, yang dimana pelaku
sudah cukup berusaha untuk tidak melakukan delik. AVAS merupakan dasar pemaaf yang
menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku. 8
c. Error Juris
Error juris merupakan bagian dari AVAS namun yang menjadi perbedaan hal ini adalah kesesatan
hukum yaitu suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang.
d. Hak Jabatan
dalam hal pekerjaan seperti profesi dokter, perawat, ataupun apoteker ataupun penelitian sering sekali
melakukan percobaan terhadap hewan maupun manusia yang dimana dapat menyiksa dan
menyakitkan. Namun, dikarenakan hal tersebut suatu pekerjaan yang merupakan hak jabatan, hal
tersebut termasuk dasar pembenar yang dimana elemen melawan hukum tersebut dapat dihapuskan.
e. Mewakili Urusan Orang Lain
Bila seseorang mewakili secara sukarela urusan orang lain tanpa berhak mendapatkan upah mengurusi
kepentingan orang lain tanpa perintah orang yang diwakilinya. Apabila terjadi tindak pidana pada
pihak yang bersangkutan, maka sifat melawan hukum dapat dihapuskan.

B. Dasar Penghapus Pidana Khusus


Dasar penghapus pidana khusus adalah dasar penghapus yang hanya berlaku pada delik-delik tertentu. Di
dalam KUHP terdapat dua dasar penghapus pidana khusus yang dimaksud yaitu pasal 221 KUHP dan juga
Pasal 310 KUHP.9
7
Ibid. hlm. 102.
8
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm. 283.
9
Ibid. hlm. 288.
7
C. Dasar Penghapus Pidana Putatif
Dasar penghapus pidana putatif adalah seseorang yang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau
dalam keadaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan
yang tidak sah namun kenyataannya tidak demikian. Pelaku yang demikian tidak dapat dijatuhi pidana jika
dapat dibuktikan bahwa dalam keadaan yang demikian pelaku bertindak secara wajar. Disini terdapat
kesesatan yang dialami.10

II. Analisis Kasus


Dalam kasus tersebut, diuraikan runtutan peristiwa bahwa saksi Samsunur bersama saksi Sulaiman sekitar
pukul 21.30 WITA datang ke tambak Terdakwa Ashar Abd Rahim untuk mencari umpan udang. Kemudian
saksi bertanya kepada Terdakwa dimana tempat mencari umpan udang, dan Terdakwa menunjukkan selokan
sebelah tambak Terdakwa. Setelah itu, saksi mencari udang di saluran dekat tambak milik Terdakwa dan
mendapatkan beberapa ekor udang. Ketika saksi Samsunur dan Sulaiman hendak pulang, Terdakwa menemui
dan menegur mereka agar tidak mengambil udang milik Terdakwa sembari membawa penjolok coklat berujung
besi. Setelah Terdakwa menegur, ia mendorongkan penjolok coklat ke arah saksi Samsunur karena kondisi
malam hari yang gelap serta hanya ada mereka bertiga saja. Tindakan Terdakwa tersebut melukai tangan kanan
saksi Samsunur sebagaimana dalam Visum Et Repertum No: 800/118-3/PKM-SJ tanggal 23 Mei 2020.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 183/Pid.B/2020/PN Prg Majelis Hakim menyatakan
bahwa Terdakwa Ashar Abd Rahim Alias Har terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan tetapi bukan
merupakan tindak pidana karena berlaku dasar penghapus, yaitu daya paksa (overmacht). Terdakwa didakwa
dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Pasal 48 KUHP. Pasal 351 ayat (1) KUHP berbunyi “Penganiayaan
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.” Pasal 48 KUHP berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana.”
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Parigi, Terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 351 ayat (1)
KUHP dan Pasal 48 KUHP, yaitu:
1. Barangsiapa. Dalam KUHP, yang dimaksud dengan unsur barangsiapa adalah subjek hukum, yaitu manusia
yang dapat bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Dalam kasus ini, Har selaku Terdakwa
dapat menjawab pertanyaan Hakim dengan baik dan dapat memberikan tanggapan terhadap
pernyataan-pernyataan saksi. Oleh karena itu, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa unsur barangsiapa
telah terpenuhi.
2. Dengan sengaja melakukan penganiayaan. Maksud dari penganiayaan menurut Pasal 351 ayat (4) KUHP
adalah merusak kesehatan. Berdasarkan putusan Hoge Raad, “dengan maksud” mengandung arti terdapat
kesengajaan dalam melakukan perbuatan tersebut (willens en wetens), dan menurut Memorie van
Toelichting (MvT) yang dimaksud sebagai kesengajaan ialah adanya willens en wetens (kehendak dan
pengetahuan) yang dimiliki oleh pelaku, artinya dalam melakukan suatu perbuatan tertentu seseorang pada
awalnya telah mengetahui apa yang akan diperbuat oleh dia dan akibat apa yang akan timbul dari perbuatan

10
Ibid. hlm. 290.
8
tersebut, serta pelaku tetap menghendaki atas timbulnya suatu akibat dari perbuatan penganiayaan yang
dimaksud adalah menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Dalam kasus ini, Terdakwa dengan
sengaja mendorongkan penjolok coklat ke arah saksi Samsunur, dikarenakan khawatir melihat saksi
Samsunur membawa parang di pinggangnya.
3. Majelis Hakim telah mempertimbangkan tentang adanya alasan pembenar dalam diri Terdakwa
sebagaimana dalam pertimbangan Majelis Hakim, Hakim menilai bahwa Terdakwa melakukan perbuatan
tersebut karena terpaksa dan berada dalam tekanan psikis yang berat yang terakumulasi dari kondisi kondisi
yang ada. Alasan pembenar tersebut, sesuai dengan Pasal 48 KUHP dalam arti sempit (noodtoestand) dan
perbuatannya dapat dibenarkan sehingga sifat melawan hukumnya dihapuskan.
Berdasarkan kasus posisi dan putusan Majelis Hakim yang menetapkan bahwa Terdakwa ASHAR ABD
RAHIM Als HAR telah memenuhi unsur tindak pidana "Penganiayaan” yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1)
KUHP. Kelompok kami berpandangan bahwa Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan yang dijatuhkan
kepada Terdakwa sudah tepat. Unsur barangsiapa yaitu Terdakwa dan unsur dengan sengaja melakukan
penganiayaan telah terpenuhi sebagaimana telah diuraikan dalam putusan. Akan tetapi, Majelis Hakim
kemudian menimbang bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi definisi hukum keadaan darurat
(noodtoestand). Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana dikarenakan terdapat alasan pembenar sehingga Terdakwa
harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Kelompok kami berargumen bahwa pertimbangan tersebut
memerlukan pengkajian yang lebih dalam. Menurut Lamintang, noodtoestand terjadi bukan karena perbuatan
manusia, tetapi terjadi akibat keadaan-keadaan.11 Pernyataan itu sejalan dengan pendapat E. Utrecht yang
mengatakan bahwa noodtoestand adalah paksaan dari luar yang tidak dilakukan oleh manusia melainkan oleh
keadaan.12 Apabila Majelis Hakim memang menganggap fakta hukum bahwa Saksi Samsunur tidak gentar dan
malah maju ke arah Terdakwa sebagai paksaan pemicu noodtoestand, maka hal itu tidak tepat karena paksaan
tersebut dilakukan oleh manusia yaitu saksi Samsunur. Sementara itu, noodtoestand (keadaan darurat) muncul
bukan karena suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, tetapi karena suatu keadaan di luar itu.
Selain itu, Majelis Hakim menimbang tiga kemungkinan dalam keadaan darurat (noodtoestand). Pertama,
pertentangan antara dua kepentingan hukum. Kedua, pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban
hukum. Ketiga, pertentangan antara dua kewajiban hukum. Dalam putusannya, Majelis Hakim beranggapan
bahwa tindakan Terdakwa berada dalam keadaan darurat yang dihadapkan dengan dua pertentangan
kepentingan hukum yakni kepentingan hukum untuk menjaga nyawanya dan harta bendanya. Fakta hukum
menyatakan bahwa saksi Samsunur setelah ditegur oleh Terdakwa mengatakan “Cuma gara-gara umpan begini
mau lapor polisi dan Saksi bukan mengambil udang di tambakmu melainkan di saluran irigasi dekat tambak
Terdakwa”. Majelis Hakim menilai bahwa dengan perkataan tersebut secara tidak langsung Saksi Samsunur
mengakui bahwa sebenarnya ia telah mengambil udang di empang milik Terdakwa.
Kelompok kami tidak setuju dengan penilaian Majelis Hakim. Alasannya adalah Majelis Hakim dalam
putusannya tidak memberikan uraian pembuktian secara rinci untuk membuktikan bahwa saksi memang

11
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 441.
12
E. Utrecht, Hukum Pidana I, hlm. 355.
9
mengambil udang dari tambak Terdakwa. Putusan tersebut tidak memberikan dasar pembuktian yang jelas
sehingga saksi Samsunur harus dianggap tidak mengambil udang dari tambak Terdakwa sebelum ada
pembuktian yang menyatakan kesalahannya. Hal tersebut merupakan implementasi dari asas praduga tak
bersalah. Selain itu, fakta hukum di persidangan menjelaskan bahwa Saksi Samsunur yang sedang ditegur malah
maju ke arah Terdakwa. Terdakwa melihat Saksi Samsunur membawa sebilah parang yang sedang disarungkan
di pinggangnya, maka Terdakwa mengalami tekanan psikis yang kuat dan merasa jiwanya terancam bahwa
dirinya akan dilukai menggunakan parang tersebut. Terdakwa juga takut karena kondisi saat itu gelap dan
sedang berada di tengah tambak Terdakwa. Terdakwa khawatir karena tidak ada seorangpun kecuali Terdakwa
yang sedang menghadapi Saksi Samsunur yang ditemani Saksi Sulaiman sehingga Terdakwa langsung
mendorongkan penjolok coklat berujung besi tersebut satu kali kepada Saksi Samsunur dan terkena lengan
kanannya hingga menyebabkan luka. Kelompok kami berpendapat bahwa sejatinya nyawa Terdakwa tidak
berada dalam keadaan yang terancam. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, saksi Samsunur
pada kejadian tersebut terjadi sedang membawa sebuah parang yang disimpan di pinggangnya. Namun, saat
Terdakwa menegur saksi Samsunur dan mendorongkan penjolok coklat berujung besi miliknya, saksi Samsunur
tidak memegang maupun mengeluarkan parang tersebut, sehingga parang yang dibawa oleh saksi Samsunur
masih tetap tersarungkan di pinggangnya. Kami menyimpulkan bahwa kenyataannya adalah saksi Samsunur
sama sekali tidak berkehendak untuk melakukan ancaman kepada Terdakwa. Saksi Samsunur bahkan tidak
mengeluarkan parangnya saat sudah dilukai oleh Terdakwa. Oleh karena itu, anggapan Majelis Hakim bahwa
tindakan Terdakwa dihadapkan dengan dua pertentangan kepentingan hukum yakni kepentingan hukum untuk
menjaga nyawanya dan harta bendanya adalah tidak tepat.
Kelompok kami menyatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) yang dipertimbangkan Majelis Hakim
sebagai alasan penghapus pidana Terdakwa tidak tepat. Untuk menentukan apakah ada alasan penghapus pidana
yang lebih tepat, maka kami perlu menguraikan keterkaitan antara perbuatan Terdakwa dengan beberapa macam
dasar penghapus pidana yang lain. KUHP mengatur beberapa dasar penghapus pidana selain keadaan darurat
(noodtoestand), seperti daya paksa (overmacht) dan pembelaan terpaksa (noodweer).
Daya paksa (overmacht) diatur dalam pasal yang sama dengan keadaan darurat (noodtoestand), yaitu Pasal
48 KUHP. Pasal tersebut mengatur overmacht baik dalam arti sempit maupun luas (noodtoestand). Berdasarkan
fakta hukum yang terungkap di persidangan, tindakan Terdakwa dipengaruhi oleh tekanan psikis, rasa takut, dan
khawatir karena merasa jiwanya terancam. Paksaan dari dalam (innerlijkeorang) seperti dorongan yang
ditimbulkan perasaan batin pribadi (geweten), kepercayaan (geloofovertuiging), serta alasan agama tidak dapat
digolongkan sebagai overmacht.13 Tindakan Terdakwa mendorongkan penjolok coklat ke arah Samsunur
didorong oleh adanya perasaan khawatir karena saksi Samsunur membawa parang di pinggangnya. Kelompok
kami meyakini bahwa rasa khawatir tersebut merupakan suatu paksaan dari dalam karena berasal dari batin
pribadi Terdakwa. Dengan demikian, tindakan Terdakwa tidak dapat digolongkan sebagai suatu overmacht.
Pembelaan terpaksa (noodweer) diatur dalam Pasal 49 KUHP. Suatu perbuatan harus memenuhi dua unsur
agar dapat digolongkan sebagai bela paksa, yaitu unsur adanya serangan dan pembelaan.14 Serangan tersebut

13
Ibid. hlm. 357.
14
E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet.3 (Jakarta: Storia Grafika, 2018). hlm. 285.
10
harus bersifat seketika atau langsung dan ditujukan pada diri sendiri atau orang lain. Menurut kelompok kami,
kasus ini tidak memenuhi unsur adanya serangan maupun ancaman serangan. Fakta hukum bahwa Samsunur
membawa parang bukanlah suatu ancaman yang bersifat langsung dan bahkan bukan ancaman, sebab niat
Samsunur membawa parang hanya untuk menjaga diri karena ia bepergian pada malam hari. Saksi Samsunur
juga tidak mengeluarkan parang itu dari pinggangnya saat kasus ini terjadi. Selain itu, fakta hukum juga
menerangkan bahwa Terdakwa terpaksa langsung mendorongkan penjolok coklatnya ke arah saksi Samsunur
karena saksi Samsunur maju ke arahnya. Menurut kami, mengartikan tindakan maju saksi Samsunur sebagai
serangan/ancaman serangan adalah sesuatu yang berkelebihan (overbodig). Tindakan Samsunur tidak dapat
dipersepsikan sebagai suatu ancaman serangan/serangan karena unsur membahayakannya tidak dapat dibuktikan
secara konkrit. Dengan demikian, unsur adanya serangan dalam kasus tersebut tidak terpenuhi.
Selain unsur adanya serangan, suatu perbuatan harus memenuhi unsur pembelaan. Unsur pembelaan
tersebut harus dilakukan seketika atau langsung dan memenuhi asas subsidiaritas dan proporsionalitas.15
Perbuatan Terdakwa menurut kelompok kami bukan merupakan pembelaan karena pada dasarnya unsur
ancaman tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya unsur adanya serangan mengakibatkan suatu perbuatan secara
impulsif juga tidak memenuhi unsur pembelaan karena keduanya memiliki hubungan sebab-akibat. Seseorang
yang tidak mengalami serangan maka tidak memerlukan pembelaan sebab tidak ada suatu kepentingan yang
perlu dibela. Apabila dikaitkan dengan kasus, tindakan Terdakwa dapat disimpulkan murni sebagai
penganiayaan dan bukan suatu pembelaan. Namun, apabila unsur tersebut dijelaskan secara rinci dengan
anggapan tindakan yang dilakukan oleh Samsunur merupakan suatu serangan, maka tindakan pembelaan yang
dilakukan oleh Terdakwa tetaplah tidak memenuhi asas subsidiaritas. Definisi dari asas subsidiaritas adalah
menggantikan suatu tindakan pembelaan tanpa melakukan suatu tindak pidana dengan sesuatu tindakan yang
cukup memadai untuk menghindari serangan tersebut dengan artian tidak ada jalan lain, tindakan tersebut
adalah satu-satunya jalan.16 Menurut kelompok kami, tindakan Terdakwa bukanlah satu-satunya jalan. Keadaan
Terdakwa saat itu tidak terlalu genting dan memungkinkan untuk memutuskan suatu tindakan lain. Jarak antara
Terdakwa Har dan saksi Samsunur adalah 5 (lima) meter. Kami menilai keadaan tersebut masih memungkinkan
bagi Terdakwa untuk melakukan perbuatan yang lebih wajar dibandingkan melakukan perbuatan melawan
hukum. Asas proporsionalitas yang mengharuskan adanya keseimbangan antara serangan dan pembelaan juga
tidak terpenuhi. Apabila tindakan maju ke arah Terdakwa dianggap sebagai serangan/ancaman serangan, maka
pembelaan berupa penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit, yaitu luka di lengan hingga perlu dijahit, sangat
tidak seimbang dengan ancaman serangan/serangan sebatas gerakan maju oleh saksi Samsunur. Dengan
demikian, pembelaan terpaksa (noodweer) tidak dapat dijadikan alasan penghapus pidana terhadap tindak
pidana penganiayaan oleh Terdakwa.
Penjelasan di atas mengenai tidak terpenuhinya unsur adanya serangan dalam pembelaan terpaksa
(noodweer) menjadikan pertimbangan tentang pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces) tidak
perlu dilakukan. Alasannya, pembelaan melampaui batas harus terjadi karena goncangan jiwa yang timbul dari
adanya serangan. Pembelaan terpaksa melampaui batas mensyaratkan adanya hubungan kausal antara

15
Ibid.
16
Ibid. hlm. 288.
11
pelampauan batas tersebut dengan serangan yang dilakukan, sedangkan serangan dalam kasus ini sudah terbukti
tidak ada dari penjelasan dalam paragraf sebelumnya.
Kelompok kami berpendapat secara tegas bahwa perbuatan yang dilakukan saksi Samsunur bukanlah suatu
serangan. Namun, mungkinkah Terdakwa Har salah mengira dengan menganggap tindakan Samsunur
merupakan serangan atau ancaman serangan? E.Y Kanter dan Sianturi menjelaskan bahwa suatu tindakan dapat
dikatakan salah mengira apabila situasi memungkinkan Terdakwa untuk salah paham. Kemungkinan salah
paham itu dapat terjadi bila serangan atau ancaman serangan sedemikian mendadaknya yang membuat keadaan
mencekam, meresahkan, dan menegangkan bagi setiap orang. Menurut kelompok kami, keadaan dalam kasus
tersebut kurang relevan dengan situasi yang memungkinkan Terdakwa untuk salah paham dan akhirnya mengira
dirinya sedang dalam ancaman serangan/serangan. Kami menilai situasi saat itu belum tentu mencekam dan
menegangkan bagi setiap orang. Kelompok kami merasa bahwa Terdakwa seharusnya mampu bersikap tenang
terlebih dahulu karena kenyataannya saksi Samsunur tidak menyerang Terdakwa sama sekali. Saksi Samsunur
justru diserang oleh Terdakwa dan tetap tidak melakukan serangan balasan. Oleh karena itu, tindakan Terdakwa
dilakukan atas ketakutannya atau sifat berjaga-jaganya sendiri tanpa dasar situasi yang mencekam bagi setiap
orang.
Penjelasan di atas mengenai tidak terpenuhinya unsur adanya serangan dalam pembelaan terpaksa
(noodweer) menjadikan pertimbangan tentang pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces) tidak
perlu dilakukan. Alasannya, pembelaan melampaui batas harus terjadi karena goncangan jiwa yang timbul dari
adanya serangan. Pembelaan terpaksa melampaui batas mensyaratkan adanya hubungan kausal antara
pelampauan batas tersebut dengan serangan yang dilakukan, sedangkan serangan dalam kasus ini sudah terbukti
tidak ada dari penjelasan dalam paragraf sebelumnya.
Perbuatan Terdakwa Ashar Abd Rahim alias Har telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 351
ayat (1) KUHP. Tidak terdapat alasan penghapus pidana baik dasar pembenar maupun pemaaf terhadap
perbuatan Terdakwa Har, sebagaimana tidak terpenuhinya satu pun unsur overmacht, noodtoestand, maupun
noodweer. Oleh karena itu, perbuatan Terdakwa adalah murni tindak pidana penganiayaan sesuai dengan Pasal
351 ayat (1) KUHP. Terdakwa diancam dengan hukuman pidana paling lama pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

12
KESIMPULAN

Kelompok kami menyatakan setuju dengan putusan Majelis Hakim dalam Putusan No.183/Pid.B/2020/PN
Prg yang menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa Ashar Abd Rahim alias Har terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana Penganiayaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351
ayat (1) KUHPidana. Akan tetapi, kelompok kami menentang Majelis Hakim yang menimbang bahwa
perbuatan Terdakwa termasuk ke dalam definisi hukum yakni keadaan darurat (noodtoestand) dan terhadap
keadaan darurat (noodtoestand) merupakan alasan pembenar sebagai dasar penghapus pidana. Berdasarkan
uraian analisis kasus di atas, kami berargumen bahwa perbuatan Terdakwa tidak memenuhi definisi keadaan
darurat dan pertentangan kepentingan hukum yang ada di dalamnya. Perbuatan Terdakwa Ashar Abd Rahim
juga tidak memenuhi dasar penghapus pidana lainnya yang terdapat dalam KUHP, seperti daya paksa
(overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), maupun pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces).
Terdakwa Ashar Abd Rahim alias Har tidak memiliki alasan penghapus pidana apapun terhadap perbuatannya.
Dengan demikian, perbuatan Terdakwa murni merupakan tindak pidana Penganiayaan sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHPidana. Terdakwa diancam dengan hukuman pidana paling lama
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

13
DAFTAR PUSTAKA

E. Utrecht, Hukum Pidana I.

Hiariej, Eddy O.S. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Kanter, E.Y. dan Sianturi, S.R. 2018. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia
Grafika.

Prodjodikoro, Wirjono. 2014. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

14

Anda mungkin juga menyukai