Anda di halaman 1dari 7

PELUKIS LAUT

Pengarang : Nur Ailita Ruwaida

Nadja melangkah perlahan, menikmati senja di musim panas…menyusuri sisi pantai


dengan kaki telanjangnya, sesekali melewati ombak yang bergelung kecil membasuh kedua
kakinya. Lensa kameranya telah menangkap ratusan frame di tepi pantai ini, fokus pada satu
objek, si pelukis laut. Sudah ratusan foto yang ia abadikan di pantai ini, tapi yang paling
menarik tentunya si pelukis laut. Obsesif ! Terlalu terobsesi !
Lelaki kurus yang memiliki mata teduh sekaligus liar, dengan wajah tirusnya dan
rahang yang kokoh.
“Panggil aku, Lee…” Ucapnya dengan aksen khas Amerika, mengangguk sambil
tersenyum tipis, memperkenalkan diri, seminggu yang lalu. “Sorry, tanganku agak kotor…”
Ujarnya seraya mengibaskan tangannya yang belepotan cat minyak. Jeans belelnya dipenuhi
cat minyak berwarna-warni. Sementara kemeja planel birunya nampak sedikit sobek di
bagian sikunya. Gayanya benar-benar bohemian sejati.
Nadja menggeleng cepat. “It’s okey…and call me Nadja.”
“Jadi…pekerjaanmu fotografer ya ?” Tanyanya penuh minat.
“Freelance…sebenarnya pekerjaanku guru taman kanak-kanak…” Sahut Nadja
sembari mengamati lukisan Lee yang beraliran abstrak-ekspresionis.
“Great job !” Serunya dengan mata berbinar. Nampak jelas bola matanya yang biru
keabu-abuan samar di terpa matahari. “Tidak heran sih, kamu memang sedikit keibuan.”
“Sebenarnya aku juga senang fotografi…yah…pekerjaan samping…ada beberapa
dimuat di majalah. Aku lebih senang memotret tokoh-tokoh terkenal yang angle-nya terlihat
alami. “
Sosialita macam kamu, memang punya kegiatan banyak…tapi hari ini aku melihat sisi
lain dari dirimu, Lee…kamu nampak sederhana, natural dan tak banyak bicara…beda sekali
dengan dirimu di berbagai majalah dan portal-portal internet yang memuat tentang dirimu.
Entahlah, yang mana sebenarnya dirimu…si tukang pesta yang terkenal badboy di dunia
intertainment ataukah seorang Lee si pemurung yang nampak begitu bersahaja…seperti
sekarang…
“Jadi, berapa lama rencanamu tinggal di Bali ?” Tanya Nadja sembari mengabadikan
jemari Lee yang lincah memainkan kuasnya dengan warna-warna pucat.
“Lee…” Panggil Nadja lembut.
“Oh…I’m sorry, ” Desisnya tergagap. “Maaf, aku tadi agak konsentrasi, jadi tidak
begitu mendengar…” Ucapnya tersenyum penuh sesal.
“Berapa lama kamu tinggal di Bali ?” Cetus Nadja sambil mengambil duduk di atas
pasir tepat di sebelah Lee.
“Mungkin seminggu, atau lebih…yah, mungkin sampai lukisan ini selesai…” Ucapnya
santai.
“Entahlah, laut selalu membuatku terinspirasi untuk melukis…selalu mengingatkanku
pada rumahku…” Ceritanya seolah menerawang, matanya nampak berkilat sahdu
memandang horizon yang semakin jingga.
“Sebentar lagi sunset…let’s enjoy this moment…” Seru Nadja sambil memandang laut
yang kemerahan.
Lee menghentikan kegiatannya dan duduk di samping Nadja, terhipnotis akan
kesahduan alam yang membingkai di depannya.
“Ceritakan padaku tentang dongeng laut, Nadja…”
“Tentang bangau kesepian…atau si penguin yang kehilangan ibunya…”
“Juga bagaimana si hantu bajak laut menemukan mutiara yang hilang…”
“Atau si Marina kecil yang terdampar di pulau sunyi…”
“Nyanyikan aku dongeng lautmu, Nadja…sampai aku tertidur…”
Suara Lee nampak memantul diantara lautan yang semakin senyap. Intonasinya jernih
seperti angin yang berbisik di telinga Nadja.
“Suatu hari, kamu akan temukan dongeng lautku dalam lukisanmu, Lee…” Bisiknya
halus, nyaris tanpa suara.
Lee membaringkan tubuhnya di pasir, menikmati moment senja yang sunyi. Riap
rambutnya yang kecoklatan di tiup angin membuat silhuet wajahnya berkilau diterpa
matahari yang semakin tenggelam.
Tidakkah ini sebuah obsesi yang terlampau jauh, memimpikan seorang pelukis laut
menjadi bagian dari dongengnya. Dia bukan Lee…dia seorang sosialita kelas atas yang
hidup bergelimang harta dan haus akan ketenaran dan hura-hura duniawi…dia bukan Lee
yang natural dan sederhana…Pelukis Laut hanyalah imajinasinya belaka !
Nadja terlonjak dari lamunannya, mengemasi kameranya dan bergegas berlari
meninggalkan Lee yang berteriak memanggilnya.
Tapi dia tidak perduli….Nadja hanya ingin berlari dari semua mimpi semunya…berlari
dari Lee…
“Aku takut jatuh cinta, Miranda…” Desisnya lebih pada dirinya sendiri. Angin malam
menerpa wajahnya, mengalunkan nada-nada kesepian.
“Why ? Bukankah cinta itu perasaan yang paling indah yang dimiliki manusia…kamu
cukup mengikutinya…dan rasakan…” Ucap Miranda sembari mengutak-atik ponselnya,
memposting beberapa foto-foto mereka di pantai lewat media social.
“Tapi masalahnya…”
“Dia Lee…” Sahut Miranda cepat.
Nadja tak mampu mengelak tapi juga urung mengangguk.
“Nadja…” Miranda tertawa tergelak. “Kau bisa mendapatkan uang yang banyak dari
foto-foto candid itu…”
“Kau pikir aku paparazzi…” Bantah Nadja cepat.
“Kau kan fotografer….” Celutuk Miranda sambil mengerling menggodanya.
“Aku tidak pernah berpikir untuk mendapatkan keuntungan apapun dari persahabatan
ini…”
“Ohya ?? Tukas Miranda lagi.
“I am serious….aku takut, Mir…” Ucap Nadja dengan nada mengiba.
“Dengar Darling, yang jadi sahabatmu dalam seminggu ini adalah Lee…oke, namanya
Lee…bukan Edmond Cunningham….si tampan dengan julukan badboy Hollywood…”
Nadja terperangah, tapi tak urung hatinya ikut terbawa emosi oleh celotehan Miranda
yang ringan.
“Siapapun bisa menjadi Lee atau Justin, atau Christopher…begitu pula siapapun bisa
memiliki nama Edmond Cunningham…semudah mengganti nama di media social….” Ucap
Miranda lagi.
“Ya…dia Lee…bukan Edmond Cunningham…” Desis Nadja lagi, matanya
menerawang memandang langit di musim panas.
“Nadja…kau bisa menjual foto-fotomu di majalah gosip dengan headline besar,
Edmond Cunningham menikmati liburan bersama seorang gadis Asia di Bali.” Miranda
tergelak .
“Jahat…” Serunya cepat. “Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau aku
melakukan itu…dan…aku juga tidak akan memaafkanmu kalau kamu melakukan itu…”
Tukasnya menyorot Miranda tajam.
“Kau pikir aku akan menjerumuskan sahabatku sendiri ?” Balas Miranda sambil
tertawa sumringah.
“Itu akan menyakitinya…mungkin lebih buruk dari itu…ia akan membenciku
selamanya…”
“Kau kan tahu…hidupnya senantiasa diliputi berbagai masalah dan penderitaan, yah…
meskipun di luar dia tampak seperti sosialita yang selalu bersenang-senang dan bahagia.”
“Ya...hidupnya berat...sangat berat...” Gumam Nadja sambil menerawang.
“Mungkin dengan cara inilah dia bisa melarikan diri dari gemerlap dunia yang justru
menjerumuskannya...”
Miranda merangkul sahabatnya erat. “Ikuti saja kata hatimu...Ok...”

“Hari ini hari spesialku, aku mau mengajakmu minum kopi di kedai kopi dekat sini.”
Ia tersenyum hangat padaku dengan tangan dimasukkan di kantong celananya yang masih
belepotan cat minyak.
“Ulang tahun ?” Tanyaku sembari menangkap binar kegembiraan dalam bola matanya
yang teduh.
“Bukan, tapi tadi malam manajerku memberitahuku kalau bulan depan aku diundang
ikut pameran lukisan kontemporer di Berlin.”
“Oyaa...wow...selamat ya...!” Seruku tak bisa menyembunyikan kekagumanku.
“Tapi...berarti kamu harus balik ke LA, right ?” Tiba-tiba hatiku terasa nelangsa.
“Arrhh...masih lama...” Ujarnya santai. “Aku masih ingin lebih lama di sini...alamnya
indah...natural...matahari...laut...pasir putih...dan kamu....”
Aku terhenyak sesaat. Aku...
“Kenapa aku...” Desisku dengan bergetar. Ada keharuan yang mendesir di dadaku.
“Kamu gadis Indonesia yang menjadi temanku di sini. Dan membuatku berpikir untuk
tinggal lebih lama di Indonesia...” Sahutnya masih dengan nada santai. Ia berjalan pelan
menuju kedai kopi di pinggir pantai. Aku yang masih kebingungan mengikuti langkahnya.
“Sudah sarapan ?” Tanyanya padaku.
Aku mengangguk. “Aku selalu sarapan jam 06.30.”
Lee tertawa sumringah sambil melirik jam yang terpampang di sudut ruangan. Sudah
jam 08.35.
“Aku sangat kelaparan...” Kekehnya sambil memesan roti sandwich, telur dan kopi.
Aku hanya memesan kopi dan roti cane.
Dari balik jendela kafe, terlihat hamparan laut biru yang begitu tenang. Cuaca pagi ini
benar-benar cerah. Secerah wajah Lee.
“Rasanya aku ingin lebih lama tinggal di sini. Aku punya rencana untuk membuat
proyek lukisanku berikutnya di sini. “ Ia berbicara dengan bersemangat.
“Sepertinya kau akan jadi pelukis terkenal, Lee...” Ucap Nadja sambil menyeruput
kopinya.
“Aku tidak ingin jadi terkenal...” Tukas Lee lugas.
“Aku hanya ingin karyaku bisa dinikmati semua orang...” Ucapnya tercenung.
“Kalau begitu aku akan jadi penggemar rahasiamu...” Sahut Nadja tertawa. Wajahnya
terlihat begitu cantik dengan kulit yang mulai kecoklatan karena berjemur beberapa hari ini.
Lee menatap Nadja dalam, ia mencari sesuatu di sorot mata Nadja yang berbinar cerah.
“Nadja...kamu tidak keberatan menjadi sahabatku kan...” Ujarnya dengan nada suara
halus dan hati-hati.
“Maksudku...sahabat...bukan sekedar teman traveling...” Tukas Lee dengan mata
berkilat dan tersenyum polos.
“Tentu saja Lee...kamu sahabat yang menyenangkan...aku berharap kita bisa
bersahabat untuk selamanya....” Ucap Nadja tertawa lepas. Arrhh, sahabat...terdengar manis.
“Aku punya sesuatu yang istimewa untukmu...” Lee tiba-tiba mengeluarkan sesuatu
dari balik saku celananya.
Sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu etnik yang dilukis indah. Laut dan senja.
Warna biru yang dilebur dengan jingga.
“Bagus banget Lee...” Desis Nadja sambil meraih kotak kayu itu dengan perasaan
meluap-luap. Dengan hati-hati ia membukanya, dan...ahaaa...
Sebuah cincin kayu yang juga dilukis indah dengan warna biru muda dan jingga.
“Cincin persahabatan kita...” Ucap Lee dengan mata berbinar.
Nadja memasukkan cincin itu ke jari manisnya. Seketika perasaannya membumbung
ke angkasa. Ia sadar, tidak akan berharap terlalu tinggi akan persahabatan ini...ia tidak ingin
menjadi manusia-manusia pecundang yang cuma sekedar pemimpi di pagi hari.
“Terima kasih Lee...” Gumamnya penuh arti.
Dan sepanjang hari itu, mereka habiskan berdua untuk menikmati laut. Laut yang
menemukan mereka, laut yang melukis sepenggal kisah mereka. Laut juga yang
meninggalkan jejak pertemuan mereka.
Nadja tahu, seperti dongeng laut yang seringkali ia ceritakan pada murid-murid taman
kanak-kanak, Lee bagaikan sebuah legenda bajak laut yang datang di kala laut penuh
gelombang...dan kemudian menghilang tanpa pesan di kegelapan.
Keesokan harinya, Nadja hanya mendapati pesan dari resepsionis hotel tempat Lee
menginap, bahwa Lee sudah berangkat pagi-pagi ke bandara menuju Los Angeles.
“Dear Nadja, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku selama di Bali. Aku
berharap, persahabatan kita bisa terjalin selamanya. Maafkan, aku harus buru-buru
pergi...karena ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Love, Lee.”
Suatu hari di bulan September, Nadja mendapati sebuah vlog tentang pameran lukisan
kontemporer di Berlin. Dari beberapa pelukis yang melakukan pameran di sana, nampak
terpampang wajah Lee yang tersenyum sumringah dengan kacamata hitam dan rambut yang
sedikit gondrong meskipun tersisir rapi. Ada beberapa lukisan karya Lee yang berderet di
sana, salah satunya adalah lukisan laut yang berlatar senja. Lukisan itu bertuliskan “Untuk
Nadja”.
Nadja hanya tersenyum kecil, mungkin dengan menjadi Lee Robertson akan membuat
hidupnya jauh lebih tenang, tanpa harus dikejar-kejar paparazi dan pesta-pesta selebritis. Lee
Robertson yang sekarang jauh lebih natural dan sederhana. Dan ia mengubur dirinya yang
lain dan merubah penampilannya sebagai Edmond Cunningham si selebriti yang terkenal
playboy dan banyak terlibat masalah, sampai harus terlilit hutang dan mengalami depresi.
Dia...si pelukis laut.
Dia, seperti garis yang penuh alur tak bertepi
Dia, jejak yang tak bertapak
Dia, bayangan yang tak berwujud
Dia, ekspresi dari jiwa yang bersayap
Dia, kabut di kanvas putih, abstrak, berdenyut hidup
Menarilah di ombak…menyelami buih
Pelukis laut…Dia
Senja kan membawamu, memanggil…
Saat laut berbisik…kau dan kebebasanmu
Biodata Penulis
Perempuan yang dipanggil Lita ini, lahir dan dibesarkan di kota Banjarmasin.
Menyukai dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku SMP. Aktivitas kesehariannya adalah
sebagai pengajar mata pelajaran ekonomi di SMAN 1 Banjarmasin. Memiliki hobi membaca,
menulis, menonton film, dan traveling ini berharap bisa mengispirasi banyak orang lewat
sebuah karya berupa tulisan.

Anda mungkin juga menyukai