Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

MYASTHENIA GRAVIS

Disusun Oleh:

Bayu Abhista Wicaksono 1102017047

Khadijah Asysyifaa Delavega 1102017123

Monika Wulandari 1102015141

Ayudia Prameisty 1102017043

Lulu Ah Janah 1102017129

Pembimbing:
dr. Edi Prasetyo, Sp.S, M.H

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 31 MEI - 12 JUNI 2021
MYASTHENIA GRAVIS

1.1 Definisi
Myasthenia gravis merupakan gangguan autoimun pada muskuloskeletal dengan periode
intermiten yang menunjukkan kelemahan dan kelelahan otot. 24 Sistem saraf menghasilkan
suatu enzim asetilkolin berfungsi untuk pergerakkan otot, terjadinya Myasthenia gravis
dengan antibodi tubuh yang menyerang reseptor asetilkolin sehingga otot tidak mampu
menerima sinyal dari saraf dan mengakibatkan kelemahan

1.2 Epidemiologi
Myasthenia Gravis merupakan penyakit yang jarang terjadi. Tetapi merupakan gangguan
pada neuromuscular junction yang terbanyak yang ada di Amerika serikat diperkirakan
inisiden Myasthenia Gravis adalah 2 dari 1000.000 prevalensi yang ada. Demografi
terjadinya Myasthenia Gravis berhubungan dengan umur, jenis kelamin dan ras. Penyakit ini
dapat terjadi pada berbagai usia. Tetapi penyakit ini lebih tampak pada usia 20-50 tahun.
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan laki-laki. Rasio perbandingan
wanita dan laki-laki yang menderita penyakit ini adalah 6:4 . pada wanita, penyakit ini
tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada laki-laki, penyakit
ini sering terjadi pada usia 42 tahun. Berdasarkan data epidemiologi kejadian Myasthenia
gravis ada dua puncak yaitu pada wanita umur 10 -40 tahun dan laki-laki antara umur 50-75
tahun. 26,27 Ras yang sering menderita penyakit ini adalah orang asia.

1.3 Etiologi
Myasthenia Gravis diketahui idiopatik pada hampir seluruh pasien. Wlalupun penyebab
utamaya masih diragukan, tetapi diyakini gangguan regulasi sietem imunitas tubuh
merupakan penyebab dari penyakit ini dikarenakan terdapat antibodi spesifik yang terdapat
pada penyait ini pada 90% kasus umum, terdapat IgG pada AchR.
Kelainan primer pada Myasthenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi
dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion
pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga
dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Beberapa penyebab lain dari penyakit ini adalah human leukocyte antigen (HLA) yang
dimiliki oleh wanita dan beberapa orang, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit
autoimun pada tubuh. Hal ini dapat menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dan
insiden pada Myasthenia gravis. Beberapa obat dapat memicu timbulnya gejala eksaserbasi
akut dari Myasthenia gravis, seperti antibiotik aminoglikosida, polimiksin, siprofloksasin,
eritrmisin, and ampisilin. Penisilamin menginduksi miastenia secara nyata dengan
meningkatkan titer antibodi anti AChR pada 90% kasus. Obat lain pemicu mistenia adalah
beta adrenergic receptor blocking agents contohnya propanolol dan oxprenolol, lithium,
magnesium, procainamide, verapamil, quinidine chloroquine prednisone, timolol
antikolinergik, dan neuromuskular blocking agents seperti curare dan vecuronium

1.4 Patofisiologi
ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUT SARAF OTOT

Akson sel neuron akan berakhir sebagai akson terminal pada otot dan membentuk motor end
plate yang terdiri dari terminal saraf atau membran presinaps, celah sinaps, dan membran
pascasinaps. Pada membran pascasinaps terdapat beberapa macam pro- tein, yaitu: reseptor
asetilkolin, RATL, MusK, Agrin, MA3C, dan Rapsyn yang bekerja satu sama lain
melancarkaiLtransmisi sinyal ke reseptor asetilkolin (Gambar 1).
Saat potensial aksi yang dihantar oleh saraf motorik mencapai terminal saraf akan timbul
depolarisasi yang membuka kana! kalsium di membran presinaps. Terbukanya kana! kalsi-
um akan mencetuskan pelepasan asetilkolin (acetylcholinj ACh) ke celah sinaps dan selan-
jutnya berikatan dengan reseptor asetilkolin (acetylcholin receptorjAChR). di membran
pascasinaps. lkatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang

Natrium pada sel otot, terjadi influks Na+. In- fluks Na• ini akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi pada membran pascasinaps. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu
(firing level), maka akan terjadi po- tensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan
dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel dan
akhirnya akan mengakibat- kan kontraksi.

ACh yang masih tertempel pada AChR ke- mudian dihidrolisis oleh enzim asetilko-
linesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada membran
pascasinaps. ACh akan dipecah menjadi ko- lin dan_asam laktat. Kolin kemudian masuk ke
dalam membran presinaps untuk mem- bentuk A.Ch kembali. Proses hidrolisis ini dilakukan
untuk dapat mencegah terjadi- nya potensiaJ aksi tents menerus yang akan mengakibatkan
kontraksi terusmenems.
Keberhasilan transmisi impuls pada taut saraf otot tergantung dari:

• Kepadatan reseptor asetilkolin pada permukaan membran pascasinaps

• Aktivitas asetilkolinesterase
• Struktur dan jumlah lekukan pada membran pascasinaps

Kelemahan otot yang terjadi pada MG dise- babkan oleh proses autoimun pada taut saraf
otot. Faktor utama dan paling penting dalam patofisiologi MG adalah terbentuknya
autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat tiga
proses yang menyebabkan gagalnya kon- traksi otot akibat proses autoantibodi ini (Gambar
2).

AntibodLyang melekat pada AChR akan meng- aktifkan kaskade ompJemen yang memben-
tuk membrane attack compleks (MAC) yang ke- mudian menghancurkan AChR serta
merusak struktur. lipatan-lipatan membran pascasinaps, sehingga mengurangi luas
permukaannya. Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membran
pascasinaps men- jadi jauh lebih sedikit (Gambar 2).

Antibodi yang berikatan pada dua AChR akan mengaktifkan proses endositosis AChR,

Sehingga terjadi degradasi AChR pada membran pasca sinaps. Degradasi ini lebih cepat
daripada pembentukan AChR baru, sehingga semakin menurunkan jumlah ACh yang
berikatan dengan AChR.

Antibodi yang melekat pacta AChR akan memblok ACh, sehingga tidak dapat berikatan
dengan AChR. Kompetisi antara autoanti-bodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan AChR
akan semakin menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR.

Pada 85% pasien MG dapat ditemukao antibodi terhadap reseptor asetilkolin (antiAChRJ
dalam darah. Namun ternyata tidak hanya reseptor asetilkolin yang dapat menjadi antigen
target proses autoantibodi pada MG. Terdapat struktur protein lain pada permukaan membran
pascasinaps yang dapat menjadi target antigen, seperti pada Gambar 1. Perkembangan terbaru
menunjukkan sebagian pasien MG yang tidak mempunyai antibodi terhadap reseptor
asetilkolin ternyata memiliki antibodi terhadap MuSK atau antibodi LRP4 yang merupakan
bagian dari struktur protein agrin.
1.5 Klasifikasi
Klasifikasi Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the
Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi miastenia gravis menjadi 5 kelas
utama dan beberapa subclass, sebagai berikut :
Kelas I : adanya keluhan otot-otot ocular, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan
otot-otot lain normal
Kelas II : terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot ocular.
Kelas II a : mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas II b : mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas II a
Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular, sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
Kelas III a : mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan
Kelas III b : mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapatnya kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial. Otot
orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Kelas IV : otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi.
Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

1.6 Manifestasi Klinis

Pada MG, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi, tergantung pada aktivitas pasien,
sehingga dapat berbeda-beda setiap waktu. Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang
berat, kenaikan suhu tubuh, dan lingkungan sekitar, serta akan berkurang bahkan menghilang
setelah istirahat. Pada sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang dialami adalah keluhan
pada mata yang asimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular, berupa turunnya kelopak
atas (ptosis) dan penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh tipe okular, sekitar 50%
berkembang menjadi tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada otot-otot bulbar dan otot-
otot proksimal, sedangkan sekitar 15% tetap sebagai tipe okula1~ Gejala klinis yang berat
sering ditemukan pada tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang sekali ditemui perbaikan
klinis yang sempurna dan permanen.

Gejala klinis MG dapat berupa:

1. Gejala Okular
Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering
ditemukan. Gejala okular akan menetap pada 10-16% pasien MG dalam masa 3 tahun
pertama dan menjadi sekitar 3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular menetap
sampai lebih dari 3 tahun, maka sekitar 84% tidak mengalami perubahan menjadi tipe
general ataupun bulbar.
2. Gejala Bulbar
a. Disfoni dan disartria yang muncul setelah berbicara beberapa lama, sering terjadi
pada onset pertama kali.
b. Disfagia (gangguan menelan) muncul setelah penderita memakan makanan padat.
Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat mengunyah
makanan, sehingga harus dibantu oleh tangan (tripod position).

c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketa- hui
setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya tampak
datar (myasthenic snarl).

3. Leber dan Ekstremitas

a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit untuk menegakkan kepala (dropped head) akibat
kelemahan pada otot- otot ekstensor leher.

b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih sering terjadi pada ektremitas atas dan mengenai
otot-otot proksimal (deltoid dan triseps). Pada keadaan yang berat, kelemahan dapat
terjadi juga pada otot-otot distal.

4. Gangguan Pernapasan, sering terjadi pada MG tipe general. Penderita merasakan


kesulitan menarik napas akibat kelemahan otot-otot bulbar an pernapasan.

1.7 Diagnosis dan diagnosis banding


 Anamnesis
Pasien akan mengeluhkan adanya kelemahan otot wajah bilateral menyebabkan
timbulnya a mask like face dengan adanya ptosis dan senyum horizontal. Terdaoat
juga kelemahan otot bulbar.
 Pemeriksaan fisik
Kelemahan otot-otot palatum yang menyebabkan suara pasien bernafas dihidung
(nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair
kehidung pasien. Pasien juga mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan. Sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan pasien tersedak
batuk saat minum. Terdapat juga kelemahan otot-otot rahang menyebabkan pasien
sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu pasien harus terus ditopang dengan
tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada
saat fleksi ekstensi leher.
Otot-otot anggoa tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-
otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan
tangan serta jari-jari tangan seringkali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering
terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremnitas bawah, seringkali terjadi
kelemahan serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki.
 Pemeriksaan laboratorium
 Anti asetilkolin reseptor antibody (+)
 Antistriated muscle (+)
 anti muscle specific kinase (MusK) antibodies (+)
 foto thorak AP, Lateral
 CT Scan dan MRI untuk mengetahui timoma
 Pemeriksaan neurodiagnostik
Pemeriksaan single fiber Electromyography (SFEMG) untuk mendeteksi suatu jitter
(variabilitas pada interval interopotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi
pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal
Penegakan diagnosis tes myasthenia gravis dilakukan tes klinik sederhana seperti tes pita
suara, tes Wartenberg, dan beberapa tes farmakologis yaitu uji tensilon dan uji prostigmin.
Pada tes pita suara pasien ditugaskan menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaraya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Pasien menjadi
anartris dan afonis. Tes Wartenberg dilakukan dengan cara pasien diminta memandang obyek
diatas bidang antara kedua bola mata, lama kelamaan akan terjadi ptosis. Tes yang lain adalah
pasien diminta mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul
ptosis. Setelah suara pasien menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka pasien disuruh
berisitirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak
tampak lagi (fluktuatif). Uji tensilon (edrhophonium chloride) dengan cara menyuntikan 2mg
tensilon. ecara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikan lagi sebanyak 8mg
tensilon secara intravena. Setelah penyuntikan tensilon diperhaikan kelopak mata utnuk
mengetahui terjadinya ptosis. Jika ptosis disebabkan oleh myasthenia gravis maka ptosis akan
membaik. Selanjutnya adalah uji prostigmin (neostigmin) disuntikan 3cc atau 1,5 mg
prostigmin metilsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg).
Bila kelemahan benar disebabkan oleh Myasthenia gravis maka gejala-gejala seperti ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan membaik

Diagnosis Banding
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa
penyakit selain myasthenia gravis, antara lain meningitis bakterialis (tuberkulosa atau
luetika), infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, aneurisma di sirkulus arterius wilisii,
paralisis paska difteri, dan pseudoptosis pada trachoma. Jika terdapat diplopia transien maka
kemungkinan suatu sklerosis multiplek. Diagnosis banding lain adalah sindrom Eaton
Lambert (Lambert Eaton syndrome ), amyotropc lateral sclerosis, basilar artery thrombosis,
brainstem gliomas, cavernosus sinus syndromes, dermatomyositis, sarcoidosis dan
neuropathy, thyroid disease, oculopharyngeal muscular dystrophy, dan brainstem
syndromes.

1.8 Tatalaksana
Tatalaksana pada miastenia gravis melibatkan pemberian 2 golongan obat yaitu,
anticholinesterase dan imunosupresan seperti kortikosteroid, dan pada kondisi tertentu
diberikan imunoglobulin intravena. Timektomi disarankan segera dilakukan pada EOMG.
Pada LOMG timektomi tidak disarankan para pasien dengan usia lebih dari 60 tahun.
Anticholinesterase yang digunakan adalah neostigmin dan piridostigmine, namun
piridostigmin lebih sering digunakan.
Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan kelemahan seluruh tubuh moderat maupun
parah yang memberikan respon tidak adekuat pada pemberian anticholinesterase. Pemberian
kortikosteroid jangka panjang ditemukan efektif mengatasi atau mengontrol miastenia.
Azathioprine dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat mentolerir atau tidak merespon
pemberian kortikosteroid.
Obat yang digunakan di Indonesia:

Obat Dosis
Piridostigmin Dosis tunggal : 10 - 120mg
Dosis harian : 40 – 600 mg/hari
Prednison atau prednisolon Dosis Induksi : 40 – 80 mg/hari
Dosis stabil : 5 – 20 mg/hari
azatioprin 50 – 250 mg/hari

Metotreksat Peningkatan perlahan hingga 20 mg/minggu

Intavenous Immunoglobulin 2g/kg selama 2-5 hari

1.9 Komplikasi
 Krisis MG adlah kelemahan otot hebat yang menyebabkan pasien membutuhkan
bantuan pernafasan. Beberapa hal yang dapat dilakukan jika menemui kasus tersebut :
- menilai dan memastikan patensi airway dan breathing. Jika perlu, diberikan terapi
oksigen hingga intubasi agar saturasi tetap baik
- Tidak memberikan makanan atau minuman peroral untuk mencegah aspirasi
- Cari penyebab krisis MG. jika disebabkan oleh obat, hentikan obat segera. Beberapa
obat yang dapat memicu MG adalah golongan aminoglikosida, golongan florokuinon,
propranolol, veramil, golongan statin dan fenitoin.
- monitor tanda-tanda vital.
- inisiasi steroid dosis tinggi (setara 1mg/kg/hari) atau jika tersedia IVIg
0,4mg/kg/hari selama lima hari
 Krisis kolinergik, adalah gangguan neurologis yang muncul akibat stimulasi
berlebihan reseptor asetikolin nikotinin dan muskarinik.

1.10 Prognosis
Kematian biasanya disebabkan oleh MG generalisata. Kasus tertinggi MG generalisata terjadi
dalam setahun pertama sejak munculnya gejala. Periode bahaya kedua adalah 4-7 tahun
setelah muncul gejala. Otot-otot yang paresis bisa tidak kembali seperti semula terutama pada
m. tibialis anterior, m. triceps, dan otot wajah. Dengan pengobatan kebanyakan pasien dapat
memperbaiki kelemahan pada otot dan dapat kembali menjalani aktivitas normal.
DAFTAR PUSTAKA

Yazdi YF. Response to Plasmapheresis in Myasthenia Gravis Patients : 22 Cases Report.


Rom. J. Intern. Med. 2012:245-247.
Devin M. Ocular Myasthenia Gravis. North American: Division of Neuro-Ophthalmology
Brigham and Women’s Hospital Harvard Medical School. 2011
Keesey JC. Clinical evaluation and management of myasthenia gravis. Muscle Nerve. Apr
2004;29(4):484-505
Kurniawan, S. N. (2015). Kegawatan pada Neuromuskular dalam Continuin Neurological
Education 4, Update Nurological Disease on Clinical Practice. UB Press, Universitas
Brawijaya, Malang. pp.1-42.

Anda mungkin juga menyukai