Anda di halaman 1dari 279

partai politik,

ideologi,
dan kekuasaan
partai politik,
ideologi,
dan kekuasaan

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.


partai politik,
ideologi,
dan kekuasaan
Cetakan I Juli 2017

x+269 hlm.; 14,5 cm x 20,5 cm


ISBN: 978-602-1083-73-4

Penulis:
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

Desain Cover:
Husni. M

Layout:
Eko Taufiq

Penerbit:
CV. ABSOLUTE MEDIA
Krapyak Kulon RT 03 No. 100,
Panggungharjo Sewon Bantul Yogyakarta
Email: absolutemedia09@yahoo.com
Telp: 087839515741 / 082227208293
Website: www.penerbitabsolutemedia.com
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


atas segala limpahan taufik, rahmad, dan inayahNya sehingga buku
yang hadir di hadapan pembaca ini dapat diselesaikan.
Buku ini hendak mengupas tentang Partai Politik secara
mendalam, mulai dari ikhwal sistem kepartaian hingga kajian yang
bersifat kasuistis berbagai macam negara di dunia ini. Dengan
membaca buku ini pembaca sekalian dapat mengetahui bagaimana
sebuah hubungan partai politik dengan sistem pemerintahan,
hegemoni partai politik, pemilu kompetitif, pengaruh dan ideologi
partai politik, serta hubungan partai politik dan demokrasi
konstitusional.
Mengingat materi dan uraian yang mengkaji tentang Partai
Politik, maka buku ini sangat disarankan untuk dibaca dan
dipahami oleh para mahasiswa, akademisi, praktisi, maupun
politisi untuk pembangunan Partai Politik yang lebih baik yang
bersendikan pada platform ideologis masing-masing Partai Politik
dengan perbandingan berbagai macam negara.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada sejumlah pihak yang telah memberikan bantuan
hingga terbitnya buku ini. Tiada hal yang sempurna di dunia ini,
Penulis senantiasa menunggu masukan dan saran dari pembaca
sekalian demi sempurnanya buku ini pada edisi berikutnya.
Selamat membaca !
Penulis,

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................ v
DAFTAR ISI......................................................................... vii

BAB I: PARTAI POLITIK, DEMOKRASI, DAN SISTEM


PEMERINTAHAN............................................................... 1
A.. PENGANTAR............................................................ 1
B.. Ikhwal Sistem Kepartaian............................................. 17
1.. Penyesuaian Lingkungan: Kasus Partai
. Sosialis Italia........................................................ 31
2.. Penyesuaian Lingkungan: Kasus Partai Sosialis
Prancis................................................................ 39
3.. Penyesuaian Lingkungan: Kasus Amerika Latin . 47
4.. Partai dan Resolusi Pasca Konflik........................ 52
C.. Partai Politik dan Sistem Pemerintahan........................ 58
1.. Sistem Presidensial.............................................. 58
2.. Sistem Parlementer.............................................. 67
D.. Sistem Kepartaian dan Pemilu...................................... 88
E.. Partai Politik dan Pengaruh Sosial Ekonomi................. 97

BAB II: SISTEM KEPARTAIAN HEGEMONIK DAN


PERUBAHAN SISTEM KEPARTAIAN............................... 99
A.. PENGANTAR............................................................ 99
B.. Hagemoni Partai Politik............................................... 104
C.. Durasi Kekuasaan......................................................... 117

vii
BAB III: MEKSIKO DAN PERUBAHAN HEGEMONI
PARTAI POLITIK................................................................ 121
A.. PENGANTAR............................................................ 121
B.. Pemilu yang Kompetitif............................................... 123
C.. Pengaruh Ideologi dan Strategi..................................... 128
1..PAN.................................................................... 129
2..PRD................................................................... 134

BAB IV: PARTAI POLITIK DOMINAN DAN


KONSTITUSIONALISME: PELAJARAN DARI AFRIKA.. 139
A..Pengantar..................................................................... 139
B.. Konsolidasi Demokrasi di Afrika.................................. 143
C.. Mempertanyakan Konstitusi........................................ 146
D.. Partai Politik dan Sistem Kepartaian............................ 158
1.. Kenya, Zambia, dan Republik Kongo................. 160
2.. Faktor Etnik........................................................ 162
E.. Partai Politik dan Demokrasi Konstitusional................ 172
F.. Kasus Uganda: Multipartai di Tengah Otoritarian........ 180

BAB V: PARTAI RADIKAL KANAN POPULIS DI EROPA 187


A.. PENGANTAR............................................................ 187
B.. Partai Radikal Kanan.................................................... 191
C.. Partai Radikal Kiri........................................................ 195
1..Yunani................................................................ 198
2..Denmark............................................................. 201
3..Finlandia............................................................. 205
4..Islandia............................................................... 212

viii
5..Norwegia............................................................ 229
6..Swedia................................................................. 241

DAFTAR PUSTAKA............................................................. 249


BIOGRAFI PENULIS.......................................................... 269

ix
BAB I
PARTAI POLITIK, DEMOKRASI,
DAN SISTEM PEMERINTAHAN

A. PENGANTAR
Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik atau parpol
merupakan wadah perjuangan bagi masyarakat untuk mewujudkan
kehidupan politik yang lebih baik. Masyarakat semestinya dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingannya melalui parpol. Namun
kenyataannya, keberadaan parpol tidak berbanding lurus dengan
fungsi yang diembannya. Parpol yang hadir masih dianggap sebagai
masalah ketimbang solusi bagi demokratisasi.
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu
sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari
sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. Dalam suatu
sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya
satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi
yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran
tentang struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam
upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian
yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan
efektivitas pemerintahan.1

1
Sabastian Salang, Potret Partai Politik di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan,
Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung,
Oktober 2007), hlm. 3.

1
Jika demokrasi diandaikan sebagai proses dan alat kontrol
masyarakat yang mengikat melalui keputusan kolektif dalam
segenap persoalan publik, maka keterwakilan harus menjadi salah
satu prasyaratnya. Sejauh mana institusi publik yang ada mampu
mengakomodasi harapan dan kepentingan warga secara nyata ?
Pemilu merupakan salah satu contoh mekanisme demokrasi yang
diyakini dan diharapkan banyak pihak akan menjadi alat untuk
mengagregasikan kepentingan warganegara secara damai. Partai
politik (Parpol) sebagai institusi demokrasi karenanya menjadi
penting sebagai lembaga representatif yang mewakili kepentingan
konstituennya.
Secara konstitusional keberadaan parpol mengungkapkan
kesetiakawanan diri dan keterlibatan aktif dalam peningkatan
keadilan dan kesejahteraan di kalangan rakyat jelata. Dalam ajang
perpolitikan, parpol berperan sebagai radar yang menangkap,
menyergap, serta mengerti aspirasi dan tuntutan rakyat. Seharusnya
setiap parpol memiliki kuping yang panjang, tajam, dan bijaksana
menelaah suara rakyat berlalu tanpa bekas.
Adanya konstitusi yang mengartikulasikan nilai dan prinsip
demokrasi tidak mencukupi untuk pembentukan sistem politik yang
demokratis dalam praktik. Namun, sama benarnya bahwa sebuah
konstitusi demokratis adalah sebuah kondisi yang mendahului
pembangunan konstitusionalisme yang demokratis. Oleh karena
itu, konstitusi perlu terus menerus dikaji ulang untuk memperkuat
berbagai aspek demokrasi seperti partisipasi rakyat dalam proses
politik, pertanggungjawaban negara terhadap masyarakat yang
diaturnya, pemerintahan terbuka, dan the rule of law.2

2
A.H.Y. Chen, “A Tale Of Two Islands: Comparative Reflections On
Constitutionalism In Hong Kong And Taiwan”, Hong Kong Law Journal, Vol. 37, 2007,
hlm. 647.

2 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Gelombang demokratisasi yang telah melanda negara-negara
Afrika sejak tahun 1980-an misalnya, ditandai oleh pembentukan
kembali politik multi partai. Hal ini sebagian besar terjadi di negara
dengan sistem politik yang dalam jangka panjang secara de facto dan
de jure membatasi kemampuan partai politik untuk berfungsi secara
efektif. Sementara beberapa negara saat ini (contohnya termasuk
Eritrea dan Swaziland) terus menyangkal prinsip dan legitimasi
kemajemukan dan partai politik, sementara banyak partai politik
di “negara-negara demokrasi baru” lainnya masih menghadapi
hambatan dan ketentuan hukum serta administratif yang sangat
membatasi kebebasan mereka.
Menarik dicermati, kekuatan demokratis baru di negara-
negara Eropa Tengah, yang diyakinkan akan kebutuhan untuk
menciptakan sistem partai nyata, sampai batas tertentu, alergi
terhadap istilah (pengertian) “partai”. Mereka mencoba menghindari
deskripsi “partai”, karena memiliki konotasi negatif dari masa lalu.
Nama yang berbeda digunakan dan yang paling populer adalah
istilah “gerakan” (movement) atau “komite warga negara” (citizen
committee). Pada awalnya, organisasi ini dianggap kurang formal,
namun dalam proses transformasi mereka berevolusi menjadi
partai politik (misalnya, di Polandia dalam pemilihan parlemen
tahun 1989, Solidaritas diselenggarakan atas dasar komite warga).
Di Tunisia, istilah “partai politik” merujuk pihak manapun selain
partai yang berkuasa. Lama di bawah kepemimpinan Bourguiba
dan Ben Ali, orang Tunisia tidak perlu merujuk partai berkuasa
dengan sebutan lengkap. Hal ini karena Tunisia dalam jangka
waktu yang lama mengalami negara dengan sistem partai tunggal.
Negara memaksa pengakuan partai tunggal sehingga partai lain
harus beroperasi secara illegal (seperti Partai Komunis). Pada tahun

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 3


1980an, tuntutan demokrasi menguat dan memaksa Presiden
Bourguiba membuka ruang untuk kalangan oposisi.
Dalam beberapa tahun terakhir para ahli dan praktisi telah
menganalisis banyak aspek dari fenomena ini, termasuk terutama
peran selama pemilihan dan kampanye serta aspek organisasi dan
keuangan partai. Yang mengejutkan, masalah yang lebih mendasar
pelarangan partai politik telah terbengkalai dalam penelitian
sebelumnya meskipun sebuah tinjauan awal sederhana tentang
negara-negara Afrika menunjukkan meluasnya praktik ini. Partai
berbasis etnis, agama, dan regional pernah dinyatakan ilegal di
sejumlah besar negara Afrika. Sementara demokratisasi biasanya
disamakan dengan politik multi partai, di Afrika sering terjadi
pengecualian yang secara eksplisit ditujukan terhadap partai-partai
berdasarkan klan, masyarakat, etnisitas, kepercayaan, jenis kelamin,
bahasa, wilayah, ras, sekte dan suku. Mengingat prevalensi larangan
partai yang begitu massif di kawasan Afrika, sangat mengejutkan
betapa sedikit perhatian yang diberikan terhadap fenomena ini di
kalangan masyarakat umum, organisasi internasional, penyedia
donor bantuan, serta para ilmuwan. Tidak ada penelitian tentang
larangan, asal usul, praktik atau dampak partai politik. Tidak ada
upaya untuk menjelaskan adopsi larangan partai oleh begitu banyak
negara demokrasi baru. Juga tidak ada pertanyaan diajukan apakah
larangan partai kompatibel dengan demokrasi dan apakah larangan
organisasi politik secara apriori, sepanjang perbedaan sosial budaya
yang signifikan, tidak mengurangi legitimasi demokratis dari sistem
multi-partai baru tersebut.
Pelarangan partai politik menghadirkan dilema bagi
demokrasi. Di satu sisi, melarang sebuah partai memiliki
konsekuensi mendalam atas kebebasan, perwakilan, dan kompetisi
politik. Pelarangan ini sering menjadi tanda otoritarianisme. Di sisi

4 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


lain, pelarangan partai politik ternyata berasalan mempromosikan
bentuk otoriter dan perubahan rezim, melayani kepentingan
kekuatan asing, merongrong integritas teritorial negara atau
bersifat rasis. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan membantu
melindungi negara-negara demokrasi dari musuh-musuh mereka
dan mempromosikan hak-hak warga negara yang rentan. Di
sejumlah negara Eropa, United Macedonian Organisation Ilinden-
Pirin (UMO Ilinden-Pirin) dan the National Bolshevik Party,
partisipasi dalam pemilihan menjadi sangat sulit karena adanya
rintangan dalam registrasi. Pembubaran sering melibatkan
larangan pada bentuk kegiatan politik lainnya (seperti demonstrasi
politik) dan penyitaan aset partai. Contoh kasus yang menimpa
National Democratic Party (Austria), Workers Party dan Batasuna.
Non-registrasi adalah bentuk ex-ante exclusion dari proses politik.
Ini melibatkan keputusan formal oleh pemerintah untuk tidak
mengakui partai politik dan dengan demikian menolak izin partai
untuk berpartisipasi dalam pemilihan dan hak-hak politik tertentu
lainnya. Sebagai contoh yang menimpa Republican Party of Russia,
Christian Democratic Party of Russia dan UMO Ilinden-Pirin. Pada
kasus lain, walaupun sudah dilarang oleh pengadilan, akan tetapi
eksistensi partai politik bertahan dengan mengubah penampilan
organisasi mereka, seperti kasus Partai Komunis di Yunani, yang
mengubah diri United Democratic Left.3
Di Eropa, urusan ideologi juga acapkali menjadi dasar
pelarangan partai politik, seperti kasus the Socialist Reich Party,
National Democratic Party (Austria), Workers Party, dan the
Center Party, dengan alasan “terlalu kanan.” Atau bisa jadi karena

D. Kitsikis, “Popularism, Eurocommunism and the KKE”, dalam M. Waller and


3

M. Fennema, eds., 1998, Communist Parties in Western Europe: Decline or Adaptation,


Oxford: Basil Blackwell, hlm. 98.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 5


dituding sebagai partai komunis seperti di Jerman, Yunani, Russia,
Latvia, dan Lithuania. Bahkan, karena alasan terlalu “demokratis”
seperti kasus Republican Party of Russia, atau the Russian Christian
Democratic Party.4
Keterlibatan dalam usaha kudeta atau peralihan rezim
sering diikuti dengan pelarangan partai politik. Communist Party
of the Soviet Union (CPSU) dilarang di negara bagian Rusia,
menyusul usaha kudeta gagal terhadap kepemimpinan Presiden
Mikhail Gorbachev pada Agustus 1991.5 Larangan itu ditetapkan
melalui keputusan Presiden Boris Yeltsin. Mahkamah Konstitusi
mempertanyakan keputusan tersebut walaupun mengakui
wewenang Presiden dalam melarang sebuah partai politik.6 Contoh
yang lain, The Communist Party of Latvia (CPL), dilarang pada
September 1991 oleh Mahkamah Agung, seiring demokratisasi yang
melarang keberadaan partai komunis. Pemilu telah memenangkan
Popular Front. Dalam pemilu itu sendiri, partai komunis masih
berpartisipasi dan sudah memperoleh 27% suara.
Partai politik diharapkan bisa melakukan banyak peran.
Peran partai politik yang sering disebutkan di atas termasuk
perawatan politisi untuk kontes pemilihan dan pembentukan
pemerintah, memberikan pendidikan kewarganegaraan kepada
publik, mengartikulasikan dan mewakili kepentingan masyarakat,
menggabungkan preferensi dan tuntutan kebijakan rakyat dari
semua lapisan masyarakat, dan mengembangkan platform
kebijakan. Untuk memenangkan pemilih. Menurut Gino Concetti

4
C. Danks, 2009, Politics Russia, Harlow, Pearson, hlm. 319.
5
Y. Feofanov, “The Establishment of the Constitutional Court in Russia and the
Communist Party Case”, Review of Central and East European Law, Vol. 6, 1993, hlm. 633.
6
G. Brunner, “The Treatment of Anti-constitutional Parties in Eastern Europe”,
dalam F. Feldbrugge dan W. Simons, eds., 2002, Human Rights in Russia and Eastern
Europe, The Netherlands, Kluwer International Law, hlm. 28-30.

6 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dalam I partiti politici e l’ordine morale (1981), setiap parpol
perlu mengingat 6 (enam) peran utama dalam hidup berpolitik.
Pertama, setiap parpol seharusnya menjadi ekspresi dan artikulasi
kepentingan rakyat melalui sistem kepartaian. Dalam konteks ini
parpol tampil sebagai pengantara. Kedua, parpol mentransformasi
bahan baku politik menjadi kebijakan dan keputusan dalam
memajukan kepentingan umum. Ketiga, melalui proses partisipasi,
parpol seharusnya mengintegrasikan individu ke dalam suatu
sistem politik. Keempat, parpol berusaha mengajukan usul-usul
kebijakan supaya mendapat dukungan seluas mungkin. Parpol
berani menjatuhkan sanksi bagi anggota yang tidak loyal dengan
visi-misi parpol. Kelima, setiap parpol memiliki sistem kontrol
internal dan terhadap pemerintah dalam kegiatan harian. Keenam,
parpol tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga
harus menciptakan kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidup dan
kesejahteraan rakyat.7
Meskipun sulit membayangkan demokrasi berfungsi tanpa
partai politik, namun ia tidak selalu diterima di negara-negara
demokrasi muda. Sikap dan praktik anti-partisan sering terjadi
di Eropa dan Amerika Serikat di masa lalu. Hasil politis dari
praktik anti-partisan semacam itu adalah dominasi kepentingan
khusus atau kepribadian dalam proses pengambilan keputusan
dan inkonsistensi historis atau lateral dalam kebijakan publik.
Seiring perkembangan demokrasi, sistem persaingan partai
politik cenderung diakui sebagai bagian sistem demokrasi, yang
memberikan beberapa perintah pada proses permainan demokratis
yang tidak stabil dan tidak pasti. Secara umum, parpol hanya bekerja
ketika menjelang pemilu saja sehingga hubungan antara masyarakat

7
Wiliam Chang, “Disorientasi Partai Politik”, Kompas, 28 Maret 2014, hlm. 6.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 7


sebagai pemilih dengan parpol menjadi lemah.8 Selain itu, parpol
juga cenderung untuk lebih mementingkan partai, kelompok,
dan pribadi.9 Ketidakpercayaan tersebut timbul karena orientasi
partai politik terhadap kepentingan rakyat cenderung dikalahkan
oleh kepentingan pribadi dan golongan. Bahkan, parpol seringkali
lupa memenuhi janji-janji kampanyenya kepada konstituen setelah
memperoleh kekuasaan. Ketidakpercayaan masyarakat ini bukan
hanya ditujukan kepada parpol lama, melainkan juga terhadap
partai baru.10
Sebagai pilar demokrasi dalam membangun bangsa dan
negara yaitu salah satunya menempatkan partai politik sebagai
institusi untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat didalam
proses politik untuk dijadikan sebagai kebijakan publik. Di
Amerika Latin, ada lebih banyak pengakuan akan pentingnya partai
politik untuk berfungsinya sistem politik. Meskipun demikian,
terlepas dari transformasi sosial dan teknologi yang sangat besar
yang telah terjadi di benua Amerika Latin dalam beberapa
dekade terakhir, partai-partai politik belum cukup mereformasi
diri mereka sendiri. Meskipun mayoritas orang Amerika Latin
mendukung pemerintahan yang demokratis, kesenjangan antara
orang kaya dan miskin serta meningkatnya kekerasan di sejumlah
negara telah menyebabkan tampilnya pemimpin politik populis.
Kekecewaan yang semakin meningkat terhadap demokrasi terkait

8
Lili Romli (Ed.), Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru Studi Kasus Partai
Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS, Jakarta: P2P-LIPI, 2008, hlm. 2.
9
Lili Romli, “Pandangan Urang Awak terhadap Partai Politik: Kasus Sumatra
Barat”, dalam Syamsuddin Haris (ed), Persepsi Masyarakat terhadap Partai Politik Peserta
Pemilu 2004, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Balitbang Depdagri, 2003, hlm. 80.
10
Luky Sandra Amalia, ”DPRD Banten: Relasi Formalistik dengan Konstituen”,
dalam Lili Romli dan Luky Sandra Amalia (ed.), Kecenderungan Hubungan Anggota
Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009, (Jakarta:P2P-
LIPI, 2010), hlm. 91.

8 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


langsung dengan hasil buruk yang dicapai oleh politik dalam
meningkatkan kehidupan masyarakat. Memperdalam demokrasi
dan mereformasi partai politik menjadi agenda utama di Amerika
Latin dan merupakan prasyarat penting bagi pertumbuhan
ekonomi bagi setiap orang. Sementara itu, rintisan menuju
pemerintahan demokratis di dunia Arab menuntut dukungan
yang konsisten dari masyarakat internasional. Rejim otoriter
yang telah mendominasi kawasan ini dalam dekade terakhir telah
menghasilkan Islamisme politik di mana keadilan sosial merupakan
andalan penting dalam memenangkan dukungan pemilu. Dengan
dukungan yang dinikmati oleh gerakan Islam, proses demokratisasi
yang tertunda di dunia Arab ini merupakan tantangan besar untuk
mencegah reformasi agar tidak menjadi rezim antidemokrasi
yang baru. Di Asia, kepentingan ekonomi dan geopolitik China
dan India akan terus berkembang di tahun-tahun depan. Meski
begitu, ada perbedaan penting diantara kedua negara ini. India
adalah negara demokrasi terbesar di dunia. Di China, terlepas dari
reformasi ekonominya, demokrasi tetap menjadi kutukan. Hal
ini juga berlaku untuk sebagian besar negara lain di kawasan ini
(misalnya, Laos, Kamboja, Myanmar dan beberapa negara di Asia
Tengah seperti Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Tajikistan,
dan Turkmenistan).
Meskipun aliansi politik yang stabil telah dibentuk, 6 (enam)
negara di kepulauan Pasifik yaitu Nauru, Tuvalu, Palau, Kepulauan
Marshall, Kiribati dan Negara Federasi Mikronesia tidak pernah
mengalami pembentukan partai politik yang diformalkan, stabil,
dan bertahan lama. Nauru adalah negara yang paling kecil, karena
hanya terdiri dari satu pulau. Studi kasus mengenai politik Nauru
menunjukkan bahwa, di masa lalu, beberapa upaya telah dilakukan
untuk membentuk partai politik, namun selalu gagal. Dalam kasus

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 9


Tuvalu, konflik antara model kepemimpinan Barat dan demokrasi
lokal terus menerus terjadi.11 Demikian pula di Kepulauan Marshall
yang mengalami stabilitas relatif di bawah dominasi kepala negara
tertinggi (Iroijlaplap) Amata Kabua selama 17 tahun. Akan tetapi,
kematiannya pada tahun 1996 suatu periode ketidakstabilan
politik dimulai.12 Di Negara Federasi Mikronesia, yang merupakan
federasi dari 4 (empat negara bagian federal, persaingan antarnegara
tampaknya mendominasi politik.13 Singkatnya, keenam negara-
negara kecil di kawasan tersebut Pasifik tampaknya tidak hanya
mengalami kurangnya partai, tetapi juga oleh politik yang sangat
personalistik dan kompetitif, dan dengan terus melakukan gesekan
antara institusi demokratis dan kepemimpinan tradisional dan
budaya.
Melihat contoh-contoh di muka, walaupun sama-sama
mengenal dan mengadopsi sistem kepartaian, akan tetapi narasi
dan praksis partai politik di setiap negara tidak sama karena
pengaruh operasi, nilai internal serta struktur masing-masing
partai. Sebagai ilustrasi, studi tentang sistem kepartaian di Bolivia
dan Peru mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi
kemampuan dan kemauan partai politik untuk mengembangkan
kebijakan yang berpihak pada kaum miskin. Di Peru, kajian
tersebutr menemukan bahwa (i) warga negara lebih tertarik pada
label ideologis daripada pilihan kebijakan teknis; (ii) Partai politik
tidak memiliki akses data yang mendasari diskusi kebijakan; serta
11
P. Panapa dan J. Fraenkel, 2008, State, Society, and Governance in Melanesia,
Canberra, Australian National University, hlm. 9; T. Taafaki, “Tuvalu”, S. Levine (ed.),
2009, Pacific Ways. Government and Politics in the Pacific Islands. Wellington: Victoria
University Press, hlm. 241.
12
J. Fraenkel, “Strategic Registration From Metropolis To Periphery In The
Republic Of The Marshall Islands”, Journal of Pacific History, Vol. 37, No. 3, 2002, hlm.
301; K.E. Stege, “Marshall Islands”, dalam Levine S (ed.) , op.cit., hlm. 113.
13
G. Petersen, “Federated states of Micronesia”, dalam Ibid., hlm. 51.

10 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


(iii) fokus pada kuantitas legislatif, daripada kualitas legislatif,
dan perilaku parlementer lainnya sehingga menghalang-halangi
reformasi. Di Bolivia, studi serupa menemukan kenyataan bahwa
partai politik cenderung: (i) melakukan komunikasi top-down
dalam partai politik; (ii) tidak memiliki lembaga pemikir strategis;
(iii) membawa Keyakinan politisi bahwa perumusan kebijakan
tidak akan mempengaruhi suara dalam pemilu; serta (iv) karena
kombinasi kondisi pemilihan dan geografis mendorong tiap-tiap
partai untuk fokus pembangunan perkotaan daripada pedesaan.14
Hubungan antara Partai Buruh Inggris dan serikat pekerja
Inggris berjalan dalam kurun waktu yang lama. Partai ini didirikan
pada tahun 1900 oleh serikat pekerja dan masyarakat sosialis.
Pada awal sejarah partai, seseorang harus menjadi anggota serikat
pekerja supaya dapat menjadi anggota partai dan serikat pekerja
mensponsori legislator secara individual. Selain itu, peraturan
dan organisasi partai memastikan bahwa serikat pekerja memiliki
pengaruh kuat terhadap pembentukan kebijakan partai selama
beberapa dekade. Serikat pekerja tidak hanya memegang 80-90%
kursi pada konferensi tahunan, di mana kebijakan partai diadopsi,
namun juga memiliki hak veto yang memungkinkan setiap anggota
serikat pekerja mengendalikan pilihan kebijakan partai.15 Namun,
kekuatan serikat pekerja dalam masalah kebijakan sebenarnya tidak
mutlak dan pertanyaan siapa yang memiliki otoritas tertinggi atas
kebijakan baik itu menyangkut pengambilan keputusan dalam
konferensi partai atau kendali kepemimpinan partai di Parlemen,

14
National Democratic Institute, 2013, Political Parties And Democracy
In Theoretical And Practical Perspectives, Massachusetts, Center of Excellence on
Democracy, Human Rights and Governance, hlm. 17.
15
Thomas Quinn, “Block Voting In The Labour Party: A Political Exchange
Model”, Party Politics, Vol. 8, No. 2, 2002, hlm. 215.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 11


telah menjadi subyek perdebatan yang sedang berlangsung.16 Pada
tahun 1960an-1970an, stagflasi ekonomi berkepanjangan di Inggris
menyebabkan konflik antara serikat pekerja dan kepemimpinan
Partai Buruh atas upah, yang berpuncak pada musim dingin
1979. Pada musim gugur 1978, para pemimpin partai mendorong
kenaikan gaji untuk memerangi inflasi. Konferensi Partai yang
dikendalikan oleh serikat pekerja mengeluarkan resolusi yang
menolak keputusan tersebut, namun pimpinan partai tersebut
mengabaikan resolusi ini, menjatuhkan sanksi kepada kontraktor
pemerintah yang menaikkan upah di atas target pertumbuhan
upah 5 persen pimpinan. Langkah ini menghasut aksi serikat
pekerja sektor publik utama di mana 1,5 juta pekerja melakukan
pemogokan, sehingga mengakibatkan kerusuhan. Dampak
pemogokan di negara tersebut, menyumbang kemenangan Partai
Konservati dan menghantarkan Margareth Thatcher sebagai
Perdana Menteri (1979-1991).17 Dalam beberapa dasawarsa setelah
itu, pimpinan Partai Buruh bergerak untuk mencairkan pengaruh
serikat pekerja di dalam partai agar tampil lebih elok. Di bawah
kepemimpinan John Smith, partai tersebut menghapus veto serikat
pekerja untuk memilih anggota parlemen pada tahun 1993. Di
bawah Tony Blair (yang kemudian menjadi Perdana Menteri,
1997-2007), partai kemudian mengurangi porsi suara serikat
pekerja di konferensi partai menjadi 50 persen. Perubahan lebih
lanjut terhadap proses kebijakan partai adalah ketika pada tahun
1997 dibentuk sebuah forum untuk mengawasi pengembangan
kebijakan partai. Serikat pekerja termasuk dalam badan ini bersama
dengan perwakilan dari struktur partai lainnya.

Ibid., hlm. 220.


16

Collin Hay, “Chronicles Of A Death Foretold: The Winter Of Discontent And


17

Construction Of The Crisis Of British Keynesianism”, Parliamentary Affairs, Vol. 63,


No. 3, 2010, hlm. 446-470.

12 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Menurut Michael G. Roskin mengatakan partai politik
berfungsi sebagai alat dalam hubungan rakyat-pemerintah, yaitu
sebagai mediator antara kebutuhan dan keinginan warga negara
dan responsivitas pemerintah dalam mendengar tuntutan rakyat.
Artinya elit dan kader partai harus menjadi pejuang aspirasi rakyat.
Kemampuan partai politik memperjuangkan aspirasi rakyat akan
menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan partai
politik didalam institusi pemerintahan.
Partai dapat dipercaya rakyat adalah partai yang mampu
berinteraksi dengan rakyat secara intensif. Dengan interaksi
tersebut, partai politik dapat memahami dan memecahkan
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Melalui proses interaksi,
pesan dan aspirasi masyarakat secara keselurahan akan dapat
ditangkap oleh partai politik. Realitas sosial hanya dapat dimengerti
dan dipahami melalui proses interaksi. Pemahaman realitas sosial
tidak dapat dilakukan dalam ruang-ruang diskusi ditingkat elit dan
dinternal partai politik. Kemampuan partai politik memecahkan
persmasalahan rakyat secara langsung meningkatkan kepercayaan
rakyat terhadap keberadaan elit dan kader partai politik. Karena
itu, para elit dan kader partai harus berupaya berinteraksi dengan
rakyat tanpa dibatasi waktu dan ruang elitis.
Selain perbaikan seperti di atas, hemat saya untuk mewujudkan
partai politik pejuang aspirasi rakyat dibutuhkan perbaikan
manajemen (pengelolaan) partai yang mengedepankan asas-asas
demokrasi pada konteks kaderisasi dan penataan sumber keuangan
partai politik. Kedua hal ini sangat penting untuk diperbaiki guna
mewujudkan eksistensi partai politik sebagai pejuang aspirasi
rakyat. Kaderisasi yang baik akan mewujudkan kader-kader partai
yang berintegritas dan moralitas tinggi didalam berpolitik dan
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai politisi. Penataan sumber

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 13


keuangan yang baik memperkuat idealisme partai politik didalam
mengusung dan mendukung kader-kader terbaik dalam berpolitik
untuk bangsa dan negara.
Partai politik yang mengabaikan peran dan fungsinya
sebagai pejuang aspirasi rakyat, mengabaikan demokrasi, dan
membudayakan politik dinasti secara langsung menjadikan
bangsa dan negara semakin terpuruk. Karena itu, diharapkan
ditahun pemilu ini partai politik dapat mengoptimalkan fungsi
kerakyatannya, mampu berinteraksi dengan masyarakat tanpa
dibatasi waktu dan ruang elitis, dan berupaya memperbaiki
kaderisasi dan penataan sumber keuangan. Dengan melakukan
hal-hal tersebut, partai politik akan semakin mantap sebagai pilar
demokrasi untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa
dan negara.
Sistem multipartai yang ada ‘gagal’ menghasilkan mayoritas
di DPR. Banyaknya parpol yang masuk ke DPR dengan
perolehan kursi yang relatif menyebar cenderung memperpanjang
proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif. Proses
pengambilan keputusan kerap diwarnai oleh negosiasi-negosiasi
politik berorientasi jangka pendek yang cenderung mengabaikan
kepentingan publik. Hal ini dapat dilihat dari usul penggunaan
hak interpelasi dan hak angket, serta penarikan kembali atas
usulan tersebut memperlihatkan adanya negosiasi-negosiasi politik
berorientasi jangka pendek tersebut. Hal ini akhirnya berdampak
pada munculnya kecenderungan perilaku parlementarianisme di
kalangan anggota parlemen di satu pihak dan tidak efektifnya
sistem presidensial di pihak yang lain.
Berdasar hasil survei Cirus Surveyor Group awal tahun 2013
lalu, kepercayaan masyarakat terhadap DPR ternyata rendah.
Masalah itu terjadi karena DPR tidak menjalankan fungsinya

14 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dengan baik. Survei tersebut menyebutkan bahwa 53,6 persen
responden menilai anggota DPR periode 2009–2014 tidak
memperjuangkan kepentingan rakyat. Kemudian, sebanyak
51,9 persen responden menilai anggota DPR belum melakukan
pengawasan terhadap pemerintah dengan baik. Terakhir, sebanyak
47,9 persen responden menilai anggota DPR tidak membuat UU
yang bermanfaat untuk kepentingan rakyat. Hasil lainnya, sebanyak
60,1 persen responden merasa anggota DPR tidak memperjuangkan
aspirasi rakyat. Kemudian, sebanyak 50,1 persen responden merasa
anggota DPRD kabupaten/kota tidak memperjuangkan aspirasi
mereka. Lalu, sebanyak 58,4 persen responden merasa anggota
DPRD provinsi juga tidak memperjuangkan aspirasi rakyat.
Pemilihan umum dengan sistem multipartai ekstrim yang
ditandai oleh jumlah partai politik peserta yang terlalu banyak
memang cenderung melahirkan sejumlah problematika dan
dampak politik yang tidak sehat dalam kehidupan kepolitikan
bangsa. Sebagaimana tampak gejalanya dalam perhelatan pemilihan
umum pasca reformasi di Indonesia, problematika itu tampak pada
aspek-aspek teknis perencanaan; penganggaran; manajemen logistik
(pengadaan dan distribusi); pengaturan kampanye; tatakelola
administrasi pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara;
bahkan juga pada penyelesaian sengketa dan perselisihan hasil
Pemilihan umum di kemudian hari.
Di samping menyangkut aspek teknis penyelenggaraan,
pemilihan umum dengan sistem multipartai ekstrim juga
berpotensi melahirkan konfigurasi kekuatan politik yang seimbang
di parlemen karena sulitnya melahirkan partai pemenang
pemilihan umum dengan perolehan suara yang signifikan untuk
membentuk pemerintahan. Akibatnya, koalisi harus dibentuk
untuk membangun blok-blok kekuatan dalam kerangka

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 15


penyelenggaraan pemerintahan; dan koalisi yang terbentuk dalam
situasi seperti ini cenderung hanya didasarkan pada praktik-praktik
transaksional antar partai/ fraksi di parlemen.
Beberapa waktu lalu Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melansir hasil temuan
penelitian survei mengenai persepsi masyarakat Indonesia atas
demokrasi. Proses survei itu dilakukan sekitar dua pekan dengan
melibatkan 1.700 responden dari seluruh Indonesia. Salah satu
temuan penting dari survei LIPI ini adalah sikap positif masyarakat
Indonesia terhadap demokrasi. Dari responden yang diwawancarai
hanya dua persen saja di antara mereka yang beranggapan bahwa
sistem demokrasi dengan ide “kedaulatan rakyat” adalah sistem
yang buruk. Sekitar 79 persen responden melihat bahwa sistem
pemerintahan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lebih
baik dibanding sistem pemerintahan lainnya. Bahkan 7 persen di
antaranya meyakini bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik.
Sejalan dengan pandangan itu, 55 persen responden menyatakan
bahwa demokrasi cocok bagi bangsa Indonesia dan hanya 7
persen saja yang memandangnya tidak sesuai bagi bangsa. Dari
sepenggalan temuan hasil survei tersebut dapat dikatakan bahwa
daya dukung masyarakat Indonesia terhadap demokrasi cukup
memadai.
Temuan di atas nampaknya mengkonfirmasikan bahwa partai
politik menghadapi sejumlah tantangan dalam peran perumusan
kebijakan. Khususnya di negara-negara demokrasi yang masih
muda, partai politik mungkin mengalami kondisi-kondisi seperti
(i) tidak memiliki ideologi yang jelas; (ii) gagal mengartikulasikan
proposal kebijakan yang koheren; (iii) memiliki struktur yang
terbengkalai di luar periode kampanye pemilihan; (iv) memiliki
basis pendukung yang sempit dan/atau sebatas oleh ikatan pribadi,

16 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


regional atau etnis; serta (iv) kekuatan untuk aksi bersama di
Parlemen. Di negara-negara demokrasi tradisional, keanggotaan
partai menurun, sementara siklus media 24 jam memacu evolusi
bagaimana partai-partai politik berkomunikasi, menarik, dan
memobilisasi para pendukungnya. Inovasi teknologi sangat
mempengaruhi proses sosial, ekonomi dan politik secara global.
Selain itu, entitas transnasional semakin mempengaruhi pilihan
fiskal dan kebijakan lainnya.
Oleh sebab itu, semakin mengemuka tuntutan supaya partai
politik bertindak dalam organisasi yang khas, , dengan pemimpin
yang populer, agar mempertahankan dukungan suara dalam
pemilu. Dalam prakteknya, halauan partai seringkali bersifat cair
dan kompleks. Namun, mengkonseptualisasikan pengembangan
program-program sebagai siklus yang meliputi penyusunan, adopsi,
implementasi, dan evaluasi merupakan kerangka kerja penting
untuk mengidentifikasi peran berbagai pemangku kepentingan
dalam aspek pengembangan partai. Hal ini disebabkan karena
partai politik menavigasi proses pengembangan platform partai,
manifesto pemilihan, dan program-program temporer, prinsip
politik yang jelas dapat membantu memberikan narasi yang koheren
dan konsisten. Sebagai tambahan, partai politik memerlukan
struktur dan peraturan dalam mengatur program-program mereka.

B. Ikhwal Sistem Kepartaian


Sistem kepartaian adalah suatu mekanisme interaksi
antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan.
Maksudnya, karena tujuan utama dari partai politik ialah mencari
dan mermpertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-
program yang disusun berdasar ideologi tertentu, maka untuk
merealisasikan program-program tersebut partai-partai politik

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 17


yang ada berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem
kepartaian secara klasik.18 Sistem kepartaian merupakan pola
kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak
di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung
pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain
itu, sistem kepartaian juga bergantung pada kemajemukan suku,
agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat
perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar
pula jumlah partai politik.
Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan.
Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum
disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling
mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut
jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik.
Partai politik dalam pengertian klasik adalah produk dari
revolusi industri yang ditandai dengan perkembangan sosio-
ekonomi yang cepat dan konflik sosial dan kelas antara kelas
penguasa dan pekerja. Ketegangan ini mendorong pengembangan
gerakan sosial dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda-beda.
Pada era pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin, peran ideologi
berkurang, kemakmuran semakin luas, kesenjangan sosial ekonomi
berkurang dan keyakinan agama dan perpecahan memberi jalan
pada peningkatan sekularisme di Eropa Barat.
Sistem Kepartaian (party system) untuk pertama kalinya
diperkenalkan pada tahun 1950-an oleh Maurice Duverger yang
melakukan klasifikasi sistem kepartaian menjadi 3 (tiga) kategori,
yaitu (i) sistem partai-tunggal, (ii) sistem dwi-partai, dan (iii) sistem

18
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik,
Yogyakarta: Graha Ilmu,t.t., hlm. 112-114.

18 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


multi-partai.19 Para ilmuwan politik menganggap, bahwa istilah
“sistem” dalam kosakata “sistem kepartaian” untuk kategori yang
pertama (sistem partai-tunggal) adalah contradictio in terminis
(menyangkal diri sendiri), sebab suatu sistem lazimnya selalu
mengandung lebih dari satu bagian elemen. Dalam bukunya
Political Parties, Duverger juga tidak memberikan rumusan
pengertian tentang sistem kepartaian, kecuali secara implisit
menggambarkannya melalui klasifikasi tadi. Selain itu, Duverger
tidak pula menjelaskan bagaimana internal partai mempengaruhi
kompetisi dan kerjasama, ideologi partai dan kekuatannya.20
Rumusan yang lebih operasional dan menggambarkan
“suasana sistem” dari terma “sistem kepartaian” dikemukakan oleh
William N. Chamber, yang merumuskan sistem kepartaian sebagai
pola interaksi antara dua atau lebih partai politik yang bersaing
untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan dan untuk
mendapatkan dukungan dari para pemilih, sehingga perilakunya
perlu diperhitungkan dalam pemerintahan dan pemilihan umum.21
Pengertian yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh
Daniele Caramani22 yang merumuskan sistem kepartaian
sebagai “….are sets of parties that compete and cooperate with the
aim of increasing their power in controlling government” (sekumpulan
partai yang bersaing dan bekerjasama dengan tujuan meningkatkan
kekuasaan mereka dalam mengontrol pemerintahan. Selanjutnya

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm.


19

415.
20
Luis F. Clemente, Party Systems Stability in Latin America : A Comparative
Study (New York: State of University of New York, 2009), hlm. 20.
21
William N. Chamber dalam Louis Sandy Maisel dan Mark D. Brewer, Parties
and Election in America : The Electoral Process (Maryland: Rowman and Littlefield
Publishing Group, 2012), hlm. 15.
22
Daniele Caramani, Comparative Politic (New York: Oxford University Press,
2008), hlm. 319.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 19


Caramani menjelaskan terdapat 3 (tiga) elemen penting yang
membentuk sistem kepartaian, yaitu : (i) partai apa yang termasuk;
(ii) berapa banyak partai dan berapa besarnya; dan (iii) bagaimana
perilaku masing-masing partai tersebut.
Salah satu catatan kritis Sartori atas klasifikasi Duverger
adalah pandangannya, bahwa penggolongan sistem kepartaian
bukan sekedar masalah jumlah partai, melainkan jarak ideologi
di antara partai-partai yang ada.23 Kongkritnya, penggolongan
sistem kepartaian didasarkan atas jumlah kutub (polar), jarak di
antara kutub-kutub itu (polarisasi) dan arah perilaku politiknya.
Berdasarkan 2 (dua) aspek penting yaitu jumlah partai dan jarak
ideologinya, Sartori kemudian membuat klasifikasi sistem
kepartaian menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu (i) Two-Party Systems
(sistem dua partai), (ii) Moderate Pluralism (sistem multipartai
dengan derajat polarisasi ideologi yang rendah), (iii) Polarized
Pluralism (sistem multipartai dengan derajat polarisasi yang tinggi),
dan (iv) Predominant-Party Systems (sistem di mana secara konsisten
partai yang sama memenangi mayoritas kursi).
Tipologi yang kedua, Moderate Pluralism menurut Sartori
itulah yang kemudian oleh para ilmuwan politik disebut sebagai
Moderate Multiparty Systems (Sistem Multipartai Sederhana).
Suatu sistem kepartaian yang dicirikan oleh gejala bipolar secara
ideologis dengan arah kompetisi yang bersifat sentripetal. Surbakti
menjelaskan, yang dimaksud dengan Bipolar ialah kegiatan aktual
suatu sistem partai yang bertumpu pada dua kutub, meskipun
jumlah partai lebih dari dua karena sistem kepartaian ini tidak
memiliki perbedaan ideologi yang tajam.24

23
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 127.
24
Ibid., hlm. 127-128.

20 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Dari sisi jumlah (numbers of parties) untuk Sistem Multipartai
Sederhana (moderate multiparty sisytem), para ahli pada umumnya
menyebut kisaran angka 3 (tiga) sampai 5 (lima) partai yang efektif
di parlemen. Dengan jumlah ini, secara hipotetis konfigurasi
kekuatan politik di parlemen akan menjadi sederhana antara partai
pemenang pemilihan umum yang memerintah dan partai yang
kalah yang akan menjadi oposisi (penyeimbang).25
Sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi, menurut
Daniel Dhakidae (1999), dapat dibedakan berdasarkan 5 (lima)
hal. Pertama, perbedaan atas orientasi dasar. Kedua, perbedaan
pada tujuan konkret yang hendak dicapai. Ketiga, perbedaan
tentang cara mencapai tujuan. Keempat, perbedaan dalam menilai
kepribadian politik. Kelima, perbedaan pada komposisi partai atau
fraksi, terutama basis massa dan pengumpulan kekuatan politik.
Dengan demikian, semakin besar perbedaan tersebut, semakin jauh
jarak ideologi antarparpol.26
Giovani Sartori (1976), secara umum membagi sistem
kepartaian ke dalam tiga kelompok berdasarkan jarak ideologi.27
Pertama, sistem kepartaian pluralisme sederhana. Pada sistem ini
tidak terdapat perbedaan ideologi di antara partai-partai politik
yang ada meskipun jumlah partai lebih dari dua. Contoh negara
yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat. Kedua, sistem
pluralisme moderat. Dalam sistem ini terdapat perbedaan ideologi
di antara partai-partai politik yang ada, tetapi perbedaannya tidak
terlalu jauh sehingga masih memungkinkan untuk mencapai

25
Agus Sutisna, “Politik Penyederhanaan Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca
Reformasi 1998”, Sosio Didaktika, Vol. 2, No. 2, 2015, hlm. 167-175.
26
Lihat Muhammad Qodari, “Kembalinya Tradisi Golkar”, Kompas, 21 Desember
2004, hlm. 6.
27
Baca Daniel Dhakidae (Ed.), Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi,
dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999), hlm. 196

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 21


kesepakatan. Persamaan kedua sistem kepartaian di atas adalah
perilaku partai-partai politiknya masih mengarah ke integrasi
nasional, bukan perpecahan. Contoh negara yang menerapkan
sistem ini adalah Belanda. Ketiga, sistem pluralisme ekstrim.
Dalam sistem ini terdapat perbedaan ideologi yang tajam di antara
partai-partai politik yang ada. Dalam sistem ini biasanya konsensus
sulit dicapai dan perilaku partai-partai politiknya mengarah ke
perpecahan. Contohnya, Italia.
Namun demikian, masih menurut Sartori sebagaimana
dikutip Sigit Pamungkas, sistem kepartaian berdasarkan jarak
ideologi juga dapat dikategorikan berdasarkan kemampuan parpol
dalam berkompetisi, yakni sistem kepartaian non-kompetitif dan
sistem kepartaian kompetitif. Sistem kepartaian non-kompetitif
sering disebut juga dengan sistem partai negara (party-state system)
sebab keberadaan parpol identik dengan kepentingan negara
sehingga sulit membedakan antara parpol dengan negara.
Kondisi ini biasanya dilakukan melalui pembatasan ruang gerak
terhadap parpol. Contohnya, sistem partai tunggal dan sistem
partai hegemonik. Sedangkan, sistem kompetitif memungkinkan
adanya persaingan antarparpol dan hak-hak politik parpol untuk
menjalankan fungsinya dilindungi oleh negara melalui konstitusi.
Contohnya, sistem kepartaian predominan, dwipartai, pluralisme
terbatas/ moderat, pluralisme ekstrim/terpolarisasi, dan atomik.
“The End of Ideology”, demikianlah simpulan Fukuyama
(1992) lebih dari dua dekade lalu atas perkembangan masyarakat
dunia dewasa ini. Apa yang dimaksud oleh Fukuyama jelas bukanlah
eksistensi ideologi telah berakhir, melainkan berakhirnya tantangan
ideologis bagi demokrasi liberal dan kapitalisme pascaruntuhnya
benteng diktatorial dan komunisme di Uni Soviet. Bagi Fukuyama,
kejatuhan komunisme telah memantapkan posisi demokrasi liberal

22 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


sebagai ideologi dominan yang menjadi semacam episentrum ideo-
logis tanpa lawan yang berarti, sebagai ujung dari perjalanan sejarah
manusia (the end of history). Masyarakat tidak lagi menempatkan
ideologi sebagai acuan manakala melakukan ritual politik saat
masuk dalam bilik-bilik suara, juga saat melakukan kampanye
untuk mendapatkan suara. Mereka cenderung terlihat menjadi lebih
pragmatis dalam berpolitik. Kehadiran sikap pragmatis tersebut
pada akhirnya cukup mengesampingkan perhitungan-perhitungan
yang lebih normatif, termasuk di dalamnya perhitungan atas dasar
norma kebudayaan, kepercayaan atau aliran politik yang kemudian
kerap juga disebut sebagai ideologi politik. Dengan demikian,
ideologi politik tampak tidak lagi menjadi elemen yang cukup kuat
untuk menjadi rujukan perilaku politik baik partai politik maupun
masyarakat kebanyakan.
Deskripsi di atas mengukuhkan pandangan yang melihat
bahwa politik aliran atau ideologi politik memainkan peran terbatas
dalam menentukan perilaku politik. Masyarakat saat ini semakin
melihat hal-hal di luar itu, termasuk lebih melihat pilihan-pilihan
kebijakan dan performa pemerintah dalam menjatuhkan pilihan
politiknya. Sehubungan dengan hal itu, tulisan ini berupaya
menganalisis penurunan peran ideologi politik dalam kehidupan
politik saat ini. Penulis tidak bermaksud menyatakan bahwa peran
ideologi politik itu sudah tidak ada sama sekali, namun secara
umum perannya sudah semakin rendah dan digantikan oleh hal
lain yang bersifat pragmatis.
Hasil kajian Ambardi (2009) tentang perilaku partai sejak
awal reformasi hingga kini berujung pada sebuah kesimpulan
yang mematahkan asumsi kuatnya peran ideologi politik. Alih-
alih digerakkan oleh kepentingan ideologi, dalam menjalankan
aksinya, partai-partai sesungguhnya lebih digerakkan oleh upaya

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 23


untuk bertahan hidup dan kepentingan untuk terus berada dalam
arus kekuasaan, dengan menggunakan cara-cara yang pragmatis,
yang untuk itu bahkan rela melakukan “migrasi ideologi” atau
perpindahan sikap ideologis sekalipun. Ambardi kemudian
menyimpulkan fenomena itu sebagai kartel politik.28
Sudut padang Katz dan Mair29 serta Ambardi30 menunjukkan
5 (lima) karakter sistem kepartaian yang terkartelisasi, yaitu (i)
Ideologi sebagai sesuatu yang tidak penting dalam menentukan
perilaku partai; (ii) Partai-partai bersikap permisif atau serba boleh
(promiscuous) dalam membentuk koalisi; (iii) Oposisi cenderung
menjadi tidak ada atau tidak dapat diidentifikasikan karena
bercampur-baur dengan pemerintah; (iv) Hasil-hasil pemilu
memberikan dampak minimal atau bahkan tidak memberikan
dampak sama sekali terhadap perilaku partai-partai; serta (v) Partai-
partai, baik yang ada dalam pemerintahan atau tidak, cenderung
berafiliasi menjadi satu kelompok besar dalam menangani isu-isu
kebijakan yang berkembang.
Ambardi beranggapan bahwa peran ideologi dalam kehidupan
politik cenderung terhenti pada proses elektoral saja. Beberapa
partai pada masa-masa menjelang pemilihan menunjukkan
kecenderungan dan geliat pergerakan yang menjadikan ideologi
sebagai patokan kebijakan dan manuver politiknya. Simbolisasi
sebagai penerus partai dari masa lalu demikian ditonjolkan, namun
nuansa ideologis terhenti seketika menjelang pembentukan kabinet.
Inilah yang kemudian disebut sebagai koalisi turah (grand
coalition), yang bersifat lintas ideologi, dan menjadi ciri politik
28
Kuskridho Ambardi, 2009, Mengungkap Politik Kartel. Studi tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-LSI.
29
Richard Katz dan Peter Mair, 1994. How Party Organize: Change and Adaptation
in Party Or- ganizations in Western Democracies. London: Sage Publication.
30
Ambardi, op.cit., hlm. 28.

24 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


kartel. Kemudian terlihat bahwa agenda dan program partai-partai
menjadi tersingkirkan, digantikan oleh “kepentingan dadakan
yang kolektif ” yang dikelola kemudian secara kolektif pula sebagai
satu “kelompok besar”. Situasi ini jelas tidak dapat terjawab oleh
pendekatan ideologis yang dikembangkan oleh para pakar politik
sebelumnya.
Ambardi berpendapat bahwa penyebab ini semua terkait
dengan upaya partai-partai untuk melanjutkan keberlangsungan
hidup mereka, melalui rente dari segenap jabatan negara yang ada.
Upaya pemenuhan kepentingan pragmatis itu kerap bersifat trade
off dengan upaya pencapaian kepentingan ideologis. Artinya, karena
partai secara inheren tidak mampu membiayai dirinya, maka upaya
perburuan rente menjadi pilihan yang tidak terelakkan dan pada
akhirnya lebih diutamakan daripada perjuangan ideologis.
Pada tingkat elite atau parpol, pragmatisme pada umumnya
digerakkan oleh keinginan untuk tetap berada dalam domain atau
pusaran kekuasaan. Adapun pada tingkat masyarakat, paling tidak
ada 2 (dua) faktor yang turut menentukan perilaku politik mereka.
Pertama, pilihan rasional (rational choice) masyarakat yang
telah menimbulkan semacam skeptisisme politik dan objektivitas
masyarakat dalam mengevaluasi kehidupan politik. Saat ini
masyarakat dapat melakukan sebuah evaluasi personal atau pilihan-
pilihan rasional terhadap kondisi politik yang dihadapinya
daripada “mengembalikan” hal itu pada aliran politik yang ada di
lingkungannya. Situasi ini tidak dapat dihindari lagi mengingat
semakin membaiknya tingkat pendidikan dan semakin terbukanya
jaringan informasi yang mengetengahkan beragam informasi
mengenai politik.
Kedua, masalah kesejahteraan masyarakat dalam konteks
politik. Problem klasik yang muncul dalam dunia politik yang

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 25


berhubungan dengan masalah ekonomi, terkait dengan persoalan
kemandirian masyarakat dalam berpolitik. Bagi sementara
kalangan, asumsi semacam ini, yang terutama menggunakan
pendekatan modernisasi di tahun 1960-an, sudah usang dan tidak
lagi rele- van. Namun, untuk menghilangkan sama sekali variabel
kemandirian ekonomi ini dari kehidupan politik, jelas merupakan
hal yang tidak bijak. Kenyataannya, pada kebanyakan masyarakat,
kecenderungan pilihan rasional berpotensi tergerus oleh persoalan
keterbatasan atau ketidakmandirian ekonomi. Tentu saja ada faktor
lain yang patut pula diperhitungkan manakala mencari penyebab
munculnya gradasi peran ideologi politik dalam kehidupan politik
kontemporer. Namun, tulisan ini tidak dalam kapasitas untuk
mengkajinya.
Satu hal yang menurut saya harus menjadi pokok bahasan
ketika kita berbicara soal partai politik adalah, bagaimana soal
pendanaannya. Dana, atau bahasa terangnya duit, adalah urat nadi
yang menentukan hidup-matinya parpol. Untuk menjawab topik
tersebut, argumentasi saya sederhana. Parpol yang demokratis, di
samping soal kaderisasi, penyelesaian konflik internal, dan lan-
lain adalah parpol yang sistem keuangannya, termasuk sumber
dana dan pembelanjaannya, dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip
antikorupsi.
Terkait pengaruh uang terhadap politik, John Nichols dan Robert
W McChesney menyebut Pemilu Amerika Serikat sebagai ‘Dollarocracy’.
Dengan logika yang sama, saya ingin mengatakan, parpol yang sistem
keuangannya bersih akan menjadi pendorong demokrasi, yaitu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan
parpol yang keuangannya koruptif akan menjadi penyumbang tumbuh
suburnya ‘Duitokrasi’, yaitu penyelenggaraan negara yang koruptif,
pemerintahan dari duit, oleh duit, dan untuk duit.

26 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Tentang duit dan demokrasi, Nurcholis Hidayat, pernah
menulis makalah menarik berjudul, “Counter-Oligarchy: Reducing
The Influence And Domination Of Oligarchs From Indonesia’s Political
Parties Through Reform Of Indonesia’s Party And Campaign Finance
Systems”. Makalah ini menguatkan, salah satu persoalan mendasar
di sistem kepartaian yaitu pengaruh buruk kekuatan oligarki
kepada parpol, termasuk ketergantungan pendanaan parpol kepada
segelintir pebisnis tersebut.
Dunia bisnis tentu penting. Tanpa bisnis, perekonomian
negara tidak akan berjalan. Kesejahteraan rakyat tidak akan
tercapai. Tetapi sebagaimana semua konsep, bisnis pun bisa
menjadi pisau bermata dua. Untuk membawa manfaat, bisnis
harus dihidupkan dalam iklim kompetitif yang fair. Di mana ruang
kompetisi didasarkan pada kemampuan berusaha dan kerja keras,
bukan hanya mendasarkan pada kedekatan penguasa, apalagi yang
sifatnya kolutif.
Sistem kepartaian berdasarkan formasi pemerintahan,
menurut Dahl (1966) dan Rokkan (1970) sebagaimana dikutip
Sigit Pamungkas, dapat dibedakan berdasarkan pola oposisi
partai.31 Menurut Dahl, sistem kepartaian berdasarkan pola
oposisi partai dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kelompok.
Pertama, persaingan ketat (strictly competitive). Contohnya
Inggris Raya. Kedua, bekerjasama dan bersaing (cooperative and
competitive). Contohnya Amerika Serikat, Prancis, dan Australia.
Ketiga, bergabung dan bersaing (coalescent and competitive).
Contohnya Austria. Keempat, penggabungan ketat (strictly
coalescent). Contohnya Kolombia.
Sementara itu, Rokkan (1970) dan kemudian dilanjutkan
oleh Peter Mair (2006) membagi sistem kepartaian berdasarkan
31
Sigit Pamungkas, op.cit, hlm. 47.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 27


pola oposisi ke dalam tiga kategori. Pertama, pola 1 vs 1+1 artinya
sistem kepartaian didominasi oleh kompetisi antara dua partai
utama dengan partai ketiga. Contohnya Austria dan Irlandia.
Kedua, pola 1 vs 3-4 artinya satu partai besar berkonfrontasi dengan
aliansi relatif formal antara tiga atau empat partai kecil secara
reguler. Contohnya, Norwegia, Swedia, dan Denmark. Terakhir,
pola 1 vs 1 vs 1+2-3 (pola multipartai) yaitu kompetisi didominasi
oleh tiga atau lebih partai dengan besaran relatif setara. Sistem ini
nampaknya yang terjadi di Indonesia.
Sementara itu, menurut Riswanda Imawan (1996),
setidaknya ada dua faktor yang menentukan kinerja sebuah
sistem kepartaian. Pertama, jumlah partai yang ada. Kedua,
independensi partai-partai yang ada. Jumlah partai menentukan
kompleksitas interaksi atau kompleksitas konflik yang ada dalam
masyarakat. Bila jumlah partai terlalu banyak, bisa jadi isu-isu yang
kurang penting atau kurang relevan dibicarakan pada tingkat negara
masuk dalam mekanisme politik yang berlangsung. Sebaliknya,
jika jumlah partai terlalu sedikit sementara masyarakatnya plural,
maka bisa jadi akan terjadi simplifikasi terhadap aspirasi masyarakat
berkembang.32
Pada sisi lain, banyak partai politik mengalami persoalan
sehubungan dengan ancaman menurunnya kader politik atau
macetnya kaderisasi. Partai politik Australia tidak terkecuali dengan
kecenderungan ini. Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah
anggota telah menurun karena banyak kader mengalami penuaan
dan kurang aktif dibandingkan pada periode sebelumnya. Namun,
peran formal partai-partai demokrasi perwakilan Australia tetap
sama, dan seperti partai-partai politik di negara lain, hanya ada

32
Lihat Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta:
Institute for Democracy and Welfarism, 2011), hlm. 59-60.

28 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


sedikit tanda-tanda kemunduran dalam fungsi prosedural mereka,
seperti memilih kandidat dan bersaing dalam kampanye pemilihan.33
Nilai keanggotaan partai biasanya dikonseptualisasikan dalam
literatur ilmiah sebagai fungsi inti partai politik. Anggota dipandang
sebagai kelompok aktivis yang berkomitmen menyebarkan ideologi,
sumber penjangkauan dan inovasi kebijakan, penyedia finansial
atau sumber daya kampanye, serta sebagai sumber legitimasi dan
hubungan sosial.34 Terlepas keuntungan atas keanggotaan partai,
argumen standarnya adalah bahwa partai telah berevolusi dari
model massa, di mana anggota akar rumput menjadi fondasi
partai, kemudian berkembang menjadi model organisasional,
model pemilihan, hingga kartel di mana keanggotaan semakin
terpinggirkan. Di antara faktor penyebab adalah (i) sentralisasi
pengambilan keputusan partai di kalangan elit, (ii) ketergantungan
teknik massa dan komunikasi dengan cara-cara modern (termasuk
kampanye online), (iii) para profesional yang mermuskan strategi
pemilihan, dan (iv) ketergantungan kepada anggaran publik yang
meningkat.35 Secara normatif, semua transformasi ini menyebabkan
perubahan antara partai dengan kader-kader di lapangan.36 Salah
satu hasil dari perkembangan ini mungkin adalah partai “tanpa
anggota” (memberless). Partai politik semacam ini bersandar kepada
33
I. van Biezen, “The End Of Party Democracy As We Know It? A Tribute To
Peter Mair”, Irish Political Studies, Vol. 29, No. 2, 2014, hlm. 177–193.
34
S. Scarrow, 1996, Parties And Their Members: Organizing For Victory In Britain
And Germany, Oxford, Oxford University Press, hlm. 42–46. Baca juga A. Ware, 1996,
Political Parties And Party Systems, Oxford, Oxford University Press, hlm. 63–64.
35
D. Farrell, “Political Parties In A Changing Campaign Environment”,dalam
R. Katz and W. Crotty, Editors, 1996, Handbook Of Party Politics. London: Sage. Baca
juga R. Katz dan P. Mair, 1995, “Changing Models Of Party Organization And Party
Democracy: The Emergence Of The Cartel Party”, Party Politics, Vol. 1, 1995, hlm. 5–28.
Baca juga: A. Panebianco, 1988, Political Parties: Organization And Power, Cambridge,
Cambridge University Press.
36
S. Scarrow, op.cit.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 29


pemimpin karismatik yang kuat dan termasuk Party for Freedom
Belanda yang dipimpin oleh Geert Wilders, Partai Forza Italia
pimpinan Silvio Berlusconi dan, di Australia, One Nation One
pimpinan Pauline Hanson Partai-partai lain membuat keanggotaan
menjadi lebih mudah diakses dan menurunkan hambatan untuk
berpartisipasi.
Untuk mempertahankan pemilih dan mempertajam basis
keanggotaan, partai-partai perlu untuk melakukan penyesuaian
diri, termasuk menyesuaikan antara tujuan dasar partai dengan
perubahan lingkungan. Penelitian komparatif oleh Katz dan Mair
(1992) mengasumsikan bahwa partai-partai dari tahun 1960
sampai 1990 berubah dan beradaptasi. 37 Beberapa ilmuwan,
misalnya Panebianco,38 telah menggambarkan beberapa contoh
perubahan mendadak ideologi partai untuk keuntungan pemilihan,
dengan pergeseran ideologis SPD Jerman pada tahun 1959 sebagai
contoh yang paling kentara. Pandangan alternatif ini berfokus
pada tindakan spesifik yang diambil oleh partai dan terutama
oleh para pemimpin partai dalam bereaksi terhadap perubahan
lingkungan.39 Dalam hal partai-partai dengan posisi dominan
atau berhimpun dalam sebuah koalisi menganggap kemurnian
kebijakan menjadi lebih penting daripada memenangkan suara
atau memperoleh akses jabatan, kegagalan pemilihan dan bahkan
hilangnya partisipasi tak dirsakan sebagai goncangan berat jika
dibandingkan dengan posisi kebijakan partai (atau ideologi, jika

37
Richard S. Katz dan Peter Mair, Editors, 1992, Party Organizations: A Data
Handbook on Party Organizations in Western Democracies, 1960-1990, London, Sage
Publications, hlm. 9.
38
A. Panebianco, op.cit., hlm. 253-257.
39
Frank L. Wilson, “Sources of Party Transformation: The Case of France”,
dalam Peter H. Merkl (ed.), 1980, Western European Party Systems: Trends and Prospects,
New York, Free Press, hlm. 542-544.

30 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


ada). Kejutan semacam itu bahkan menyebabkan kaum puritan
dalam sebuah partai mempertimbangkan untuk mengubah
identitas partai, bukan terutama karena pertimbangan pemilihan,
melainkan karena kehilangan kepercayaan pada kebenaran atau
pentingnya posisi kunci. Contohnya, dampak keruntuhan Tembok
Berlin dan kegagalan komunisme Soviet terhadap partai komunis
lainnya, seperti di Italia. Hal lain adalah pengurangan negosiasi
yang berhasil dalam senjata nuklir sebagai basis perjuangan dalam
Partai Hijau di Eropa, menyebabkan setidaknya kebutuhan untuk
memprioritaskan posisi partai. Bahkan bagi kaum fundamentalis di
dalam Partai Hijau, hilangnya sebuah isu sentral pasti merupakan
penyebab yang cukup untuk memikirkan kembali prioritas
kebijakan dan, sampai batas tertentu, identitas partai. Bagi partai
politik yang tujuan utamanya adalah representasi aktif keanggotaan,
perubahan lingkungan menjadi sebab utama mengubah artikulasi
internal tujuan-tujuan politik. Penyebab eksternal mungkin berada
di balik perubahan internal, seperti perubahan sistem masyarakat
atau partai yang secara mendasar mengubah susunan keanggotaan
partai. Contohnya adalah banyak partai agraris yang, seiring
dengan menurunnya jumlah petani di negara mereka, menemukan
komposisi keanggotaan mereka dari sektor nonpetani.

1. Penyesuaian Lingkungan: Kasus Partai Sosialis Italia


Dewasa ini kaum sosialis Prancis menderita krisis yang
dalam. Untuk pertama kalinya sejak tahun 1981, Partai Sosialis
telah dikalahkan dalam dua pemilihan parlemen berturut-turut
meskipun ada harapan yang diajukan oleh pemerintah Jospin antara
tahun 1997 dan 2002. Keruntuhan partai dalam pemilihan Eropa
terakhir semakin menonjolkan divisi internalnya. Dalam konteks
dramatis ini, bagian penting dari parati menyerukan sebuah aliansi

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 31


dengan MoDem yang dipimpin oleh André Bayrou dan, sejak
pemilu Eropa, dengan partai ekologi yang agak moderat yang
dipimpin oleh Daniel Cohn-Bendit. Selain itu, Prancis mungkin
akan menjadi negara kedua di Eropa (setelah Italia) di mana
pemilihan perdana terbuka (open primary election) diadakan, karena
kemungkinan terpilihnya kandidat kiri tengah berikutnya untuk
pemilihan presiden. Untuk itu, salah satu pemuka partai, Martine
Aubry, menyerukan reformasi organisasi partai sosialis tersebut
untuk mempromosikan bentuk partisipasi politik baru. Pencalonan
Ségolène Royal dalam pemilihan presiden 2007 benar-benar
merupakan usaha pertama untuk membangun hubungan langsung
antara pemimpin dan pemilih yang akan melampaui mediasi
pengurus partai. Peristiwa Prancis menunjukkan bahwa, dalam
waktu dekat, pengalaman Italia dapat diulang di negara-negara
Eropa lainnya di mana kaum kiri semakin lemah dan tidak dapat
membangun mayoritas yang solid. Dari perspektif komparatif,
analisis kasus Italia yang lebih dalam dapat membantu kita untuk
lebih memahami transformasi (dan krisis) dari sisa sosial-demokrasi
di wilayah Eropa lainnya.
Dengan lahirnya Partai Demokrat (Partito Democratico, PD),
demokrasi sosial secara resmi sudah tidak ada lagi di Italia. Ini
mungkin dianggap sebagai anomali, karena di semua negara Eropa
Barat lain masih ada kekuatan politik penting yang tergabung dalam
tradisi sosialis. Namun anomali ini lebih nyata. Seiring dengan
tradisi sosialis Italia secara historis memang lemah, Italia telah
mengalami terlebih dahulu apa yang mungkin dialami oleh negara-
negara demokrasi mapan lainnya dalam waktu dekat. Demokrasi
sosial Eropa telah lama menjadi kekuatan politik terbesar di sebelah
kiri. Dengan sedikit pengecualian, ia selalu mewakili alternatif
terkuat untuk pusat konservatif dan Kristen-demokratis. Dewasa

32 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


ini, meski telah ditinggalkan sebagian besar nilai tradisinya di
banyak negara Eropa, demokrasi sosial tetap menjadi label politik
yang melambangkan sebuah tradisi bergengsi yang masih menarik
jutaan suara. Yang pasti, hasil paling akhir pemilu Eropa telah
mengkonfirmasi bahwa, secara umum demokrasi sosial mengalami
krisis identitas yang dalam yang dapat menyebabkan keruntuhan.
Namun di seluruh Eropa, penghujung sosialisme akan berjalan
lebih tertatih-tatih daripada di Italia. Memang, Partai Sosialis
Italia (Partito Socialista Italiano, PSI) tidak pernah menjadi partai
reformis besar, dan secara harfiah runtuh pada awal tahun 1990an.
Bahkan upaya selanjutnya untuk membangun kembali kekuatan
sosialis di atas abu Partai Komunis Italia (Partito Comunista
Italiano, PCI) akan terbukti gagal. Di Italia proses ini telah
menghasilkan penciptaan PD yang secara terbuka bertentangan
dengan tradisi sosialis. Namun, transformasi ini tidak mengarah
pada pengembangan identitas baru. Pengalaman kegagalan PD
mungkin menunjukkan bahwa sebagian besar daya tarik politik
kiri moderat masih didasarkan pada identitas tradisional dan
hubungannya dengan gerakan buruh. Ini sebagian menjelaskan
mengapa para pemimpin reformis di Eropa umumnya enggan
secara resmi untuk berhenti mendefinisikan diri mereka sebagai
anggota keluarga sosial-demokratik. Kehadiran PD, sebagaimana
dipahami oleh para pendirinya, seharusnya membuka jalan untuk
pemilu dalam suasana pasca ideologis, pasca sosial-demokratis dan
situasi Amerikanisasi di Eropa sekarang dianggap sebagai rintisan
yang menyedihkan tentang apa yang pada akhirnya bisa terjadi di
negara-negara Eropa lainnya.
Meskipun partai-partai sosialis di Eropa selatan dan utara
berbeda secara signifikan satu sama lain, pada 1980-an mereka

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 33


mulai menyatu dengan model “catch-all party.”40 Memang, di
semua negara demokrasi barat, sosialisme menguasai sebagian
besar pemungutan suara (berkisar antara 30 sampai 50 persen) dan
sejauh ini merupakan kekuatan politik kiri yang terbesar. Dalam
konteks ini, Italia mewakili pengecualian yang cukup signifikan.
Dari tahun 1948 sampai runtuhnya di awal 1990-an, PSI tidak
dapat memaksakan hegemoni atas kelompok kiri dan harus
hidup berdampingan dengan partai komunis terkuat di Barat.
Pada pemilihan 1976, PSI hanya memperoleh 9,7 persen suara
sedangkan PCI mencetak lebih dari 34 persen. Situasi ini sedikit
berubah pada tahun 1980an ketika kepemimpinan agresif Bettino
Craxi mengubah PSI menjadi aktor sentral dalam politik Italia.
Craxi ingin menumbuhkan kesan di kalangan elit kelas menengah
bahwa dia bisa membuat Italia modern melalui kontrol eksekutif
yang kuat.41 Namun dukungan pemilihan untuk PSI tidak pernah
melampaui 14 persen pemungutan suara. Ketika Craxi menjadi
Perdana Menteri, dia berada dalam posisi yang sangat berbeda
dari rekan sosialisnya Felipe Gonzalez (Spanyol) dan Andreas
Papandreou (Yunani), karena koalisinya terdiri dari 5 partai di
mana Demokrat Kristen (Democrazia Cristiana, DC), dan bukan
PSI, sebagai mitra yang paling berpengaruh.
Oleh karena itu tradisi sosialis di Italia muncul lebih lemah
dari pada semua negara Eropa lainnya. Hal ini sebagian disebabkan
oleh “Pluralisme terpolarisasi” (polarised pluralism) 42 yang

40
H.J. Puhle, “Socialist Parties in the New Southern Europe”, dalam P. N.
Diamandouros dan R. Gunther (eds.), 2001, Parties, Politics, and Democracy in the New
Southern Europe, Baltimore dan London: The John Hopkins University Press.
41
D. Maguire, “The Recent Birth of Modern Italy”, dalam J. Kurth dan J. Petras
(eds.), 1993, Mediterranean Paradoxes: The Politics and Social Structure of Southern Europe,
Providence dan Oxford: Berg, hlm. 87.
42
G. Sartori, 2005, Parties And Party Systems, Colchester: ECPR Press.

34 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


menandai sistem politik partai Italia selama lebih dari 40 tahun.
Dalam konteks ini, satu partai atau koalisi partai-partai terus-
menerus menduduki kekuasaan untuk mencegah partai-partai
lainnya yang kuat memperoleh sebagian besar kursi di Parlemen.
Partai Sosialis, setelah memutuskan persekutuannya dengan
Komunis di tahun 1950an, menjadi bagian dari persekutuan politik
yang dibangun untuk membatasi PCI menjadi sebuah peran oposisi
permanen. Di Italia tidak ada pergantian yang nyata antara partai
sayap kiri dan sayap kanan dan situasi ini menghasilkan apa yang
disebut “demokrasi yang tersumbat” (blocked democracy). DC
dan PCI adalah dua partai terbesar, yang menguasai hampir 70
persen suara, namun yang terakhir dianggap sebagai partai oposisi.
Ini mengikuti bahwa polarisasi dan sentrifugal yang kuat, bukan
sentripetal.43 Selain itu, alternatif politik yang dihadapi pemilih,
lebih banyak daripada di negara-negara Eropa barat lainnya, yang
secara signifikan dibatasi oleh realitas politik Perang Dingin.44
Yang pasti, Italia jauh lebih maju dari Spanyol, Portugal
dan Yunani. Di Italia utara ada kelas pekerja yang kuat, namun,
tidak memilih secara besar-besaran untuk posisi kiri. Faktanya,
Italia adalah salah satu dari sedikit negara industri Eropa di
mana bagian kiri secara keseluruhan merupakan minoritas di
kalangan pekerja industri. Baru pada tahun 1970an, hal itu secara
signifikan meningkatkan suaranya di konstituen kelas pekerja,
dan pada pemilihan umum tahun 1972, PCI dan PSI bersama-
sama memperoleh, untuk pertama kalinya, lebih dari 50 persen
suara di antara pekerja kerah biru. Faktor bahwa PCI bukanlah

43
Ibid., hlm. 117-120.
44
G. Sani dan P. Segatti, “Antiparty Politics and the Restructuring of the Italian
Party System”, dalam P.N. Diamandouros dan R. Gunther (eds.), 2001, Parties,
Politics, and Democracy in the New Southern Europe, Baltimore and London: The
John Hopkins University Press.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 35


partai yang memiliki legitimasi pemerintah, sangat mempengaruhi
perilaku pemilihan kelas pekerja. Meskipun pada tahun 1980an
PCI menjalani proses “demokratisasi sosial” dan mempertahankan
bagian penting dari pemilih, yang sebanding dengan partai sosial
demokrat lainnya, namun kenyataannya masih tak mampu
membangun karakteristik mereka. Tentu saja, ini memiliki
hubungan yang kuat dengan CGIL, konfederasi serikat pekerja
terbesar, tapi, seperti yang disarankan sebelumnya, hal itu tidak
mewakili mayoritas kelas pekerja. Berpengalaman di pemerintahan
daerah dan berusaha melakukan reformasi, meningkatkan citranya
sebagai partai dengan cap sebagai partai pemerintah. Seperti yang
Sheri Berman tunjukkan, untuk memahami mengapa partai-
partai tertentu dapat merespons dengan lebih baik atas perubahan
ekonomi dan sosial lainnya, “one has to look carefully inside the
parties themselves, to their institutional structures, ideological
traditions and leadership.”45 Baru setelah bubarnya Uni Soviet, PCI
merasa berkewajiban mengubah nama dan logo dan meluncurkan
transformasi radikal, meskipun ambigu, politis, dan programatik.46
“However flexible in other respects, the PCI remained Stalinist in
both its internal structures and its external ties to the Soviet state.”47
Selain itu, pada tahun 1980an PCI tidak lagi mampu mendeteksi
perubahan yang menentukan yang terjadi di tempat kerja.
Interpretasi idealis resmi filsafat Gramsci “disabled it from grasping
the material drives of the market and media that transformed leisure in
Italy.” “The result was a gap so large between educated and popular
sensibilities that the country was left more or less defenceless against

45
S. Barman, “The Life of the Party”, Comparative Politics, Vol. 30, No. 1, 1997,
hlm. 102-103.
46
G. Pasquino, “The Democratic Party And The Restructuring Of The Italian
Party System”, Journal of Modern Italian Studies, Vol. 14, No. 1, 2009, hlm. 203.
47
P. Anderson, “An Invertebrate Left”, London Review of Books, 2009.

36 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


the cultural counter-revolution of Berlsuconi’s television empire.”48
Selanjutnya, ketidakpastian dan ketidakjelasan dalam transisi PCI
disertai oleh keruntuhan dramatis PSI, yang telah menjadi partai
pribadi bagi Craxi dan meninggal saat masa kepemimpinannya,
jatuh ke dalam aib. Semua peristiwa ini mencegah munculnya
partai sosial-demokratik yang kuat di Italia. PDS, yang lahir dari
abu PCI, awalnya mencoba membangun sebuah gerakan yang
mirip dengan partai sosialis Eropa lainnya, tapi sudah terlambat.
Demokrasi sosial di Italia tidak memiliki legitimasi politik dan daya
tarik yang dinikmati di negara-negara Eropa lainnya.
Pada awal tahun 1990an, situasi untuk menciptakan partai
sosial-demokratik Italia yang besar tampak lebih menguntungkan.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, PCI kehilangan bantalan ideologisnya
dan mulai mencari titik acuan dalam demokrasi sosial Eropa. Pada
tahun 1989 seorang anggota penting Demokrat Sosial Jerman,
Peter Glotz, menyatakan bahwa “the PCI can be considered as a truly
social-democratic party. It only needs to openly and officially define
itself as social-democratic.”49 Di sisi lain, pemimpin PCI, Achille
Occhetto, memiliki strategi yang kurang koheren karena ia berusaha
untuk mendamaikan perdebatan internal partai. Ketidakjelasan
dalam proses transformasi PCI-PDS sebagian menyumbang
kegagalan meraih suara besar dalam pemilihan tahun 1992 (dari
26 menjadi 16 persen). Pada kesempatan ini, keunggulannya
di pendukung aliran kiri terancam oleh PSI (14 persen). Tentu
saja, kepemimpinan agresif Craxi merupakan hambatan bagi
pembangunan aliansi antara PSI dan PCI-PDS. Ambisinya adalah
untuk menyalip PCI secara elektoral seperti Partai Sosialis di Prancis
di bawah François Mitterrand yang berhasil mengalahkan Partai

48
Ibid.
49
Barbieri, 1989, hlm. 4.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 37


Komunis Prancis (Parti Communiste Français, PCF). Namun,
sementara Mitterrand mampu melemahkan PCF dengan bersekutu
dengannya, Craxi berpikir bahwa marginalisasi PCI “was to be
achieved by the PSI’s continuous presence in government alongside
the DC and no other alliance was contemplated until the PCI
had become the junior partner.”50 Selama periode 1994-1996, dua
arus sayap kiri mulai terbentuk dari abu PCI lama: yang reformis,
diwujudkan oleh PDS, dan yang radikal, yang ditunjukkan oleh
RC. Hasil pemilihan tahun 1994 benar-benar menghancurkan
PDS namun menegaskan bahwa partai ini, yang mendapatkan
20 persen suara, lebih penting karena mewakili sekitar 80 persen
konstituen di ibukota ( Newell dan Bull, 1997: 100). Namun,
PDS tidak cukup besar untuk bertindak sebagai alternatif dan
segera menghadapi dilema baik terus menjadi bagian dari aliansi
sayap kiri maupun mencoba membangun aliansi baru dengan
apa yang tersisa dari kelompok Kristen. Setelah kekalahan dalam
pemilu 1994, Occhetto mengundurkan diri dan Massimo D’Alema
menjadi pemimpin baru. Dia segera menyadari bahwa penyebab
utama kekalahan PDS adalah kegagalan untuk memperpanjang
aliansi dengan kekuatan tengah. Oleh karena itu PDS memulai
dialog dengan PPI yang menghasilkan aliansi pemilihan pertama
pada pemilihan lokal tahun 1994. Dia mengajukan gagasan aliansi
dengan kekuatan kiri dan moderat, tapi selalu menolak gagasan
tentang Partai Demokrat menjadi serupa dengan di Amerika. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bahwa di dalam internal PDS,
lawannya yang paling sengit adalah Walter Veltroni, pemimpin
masa depan Partai Demokrat yang baru.

Abse, 2001, hlm. 64


50

38 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


2. Penyesuaian Lingkungan: Kasus Partai Sosialis Prancis
Tak ada yang menyangkal bahwa tradisi kiri berakar kuat di
Prancis. Pertama kali nampak pada zaman Revolusi Prancis tahun
1789, yang menggulingkan monarki absolut. Kemudian, kekuatan
kiri mengkristal seputar prinsip universalisme tentang persamaan
dan kebebasan, dan selama akhir abad ke-19, kan selalu dipengaruhi
oleh ideologi Marxis. Setelah Revolusi Bolshevik tahun 1917 di
Rusia, dan kekuatan kalangan kiri terlembaga dalam 2 partai politik,
yaitu Parti Socialiste (PS) dan Parti Communiste Français (PCF).
Dalam waktu-waktu kemudian, Partai Komunis mendominasi
politik beraliran kiri di Perancis, dan keduanya akan muncul sebagai
kekuatan politik utama pada lanskap politik setelah Perang Dunia
II. Sementara PS saat ini masih eksis dalam sistem kepartaian di
Prancis, dan bahkan secara reguler telah menghasilkan dua presiden
terpilih (François Mitterrand, 1981-1995, dan François Hollande,
2012-2017), eksistensi PCF telah lama tumbang. Memang, partai
tersebut mengalami kemunduran yang mantap sejak akhir 1970-an,
namun ternyata masih meninggalkan jejak. Salah satu pertanyaan
utama yang timbul adalah kapakah PCF kontemporer akan terus
memberikan pengaruh dalam sistem politik yang lebih memberikan
ruang nyaman untuk partai beraliran moderat, yang memiliki
basis lebih luas luas. Kita juga bisa bertanya apakah PCF sekarang
lebih sebagai tradisi ideologis yang ketinggalan jaman atau akan
mampu berperan sebagai entitas politik yang membawa perubahan
substantif dalam masyarakat di mana kapitalisme dipeluk dan
tertanam kuat.
Landasan PCF adalah produk dari perpecahan sosialis yang
disebabkan oleh keberhasilan Revolusi Rusia pada tahun 1917.
PCF mengalami represi pemerintah yang luas dan perselisihan
internal pada masa pra-perang (Adereth, 1984; Murphy, 1989;

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 39


Braunthal, 1963; Daniel, 1968). Di sisi lain, partai tersebut secara
bertahap memperkuat fondasi partai untuk mempengaruhi politik
nasional. Dimulai kesepakatan dengan SFIO (the Section Française
De L`International Ouvrière) pada tahun 1934, PCF bekerja
sama dengan kalangan kiri lainnya. Perkembangan signifikan
PCF dimulai pada pemilu Oktober 1945 yang membuat partai
memperoleh 26 persen suara. Akibatnya, kalangan komunis
berpartisipasi dalam pemerintahan lewat koalisi dengan SFIO
dan The Mouvement Républicain Populaire (MRP). Partai ini
memperoleh 5 posisi kementerian, termasuk Maurice Thorez,
Sekretaris Jenderal PFC, sebagai Wakil Perdana Menteri. Dengan
demikian, PFC untuk pertama kali terlibat dalam pengambilan
keputusan nasional. Pada sisi lain, Charles de Gaulle terpilih
sebagai Presiden. Dalam koalisi tadi, pada awalnya, PFC meminta
jatah kursi sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Luar Negeri, akan tetapi de Gaulle menolak. Kecuali
satu posisi wakil perdana menteri, posisi-posisi lain dalam kabinet
tak terlampau strategis.
Meskipun demikian, partisipasi dalam pemerintahan
bukanlah menjadi tujuan final. Langkah selanjutnya, dipandu oleh
Partai Komunis Soviet, adalah untuk mewujudkan sosialisme di
Prancis. Pada sidang Majelis Konstitusi pertama tahun 1945, para
anggota kalangan komunis mengusulkan, pembentukan majelis
unikameral berdasarkan perwakilan proporsional dalam skala
nasional. Proposal tersebut adalah prototipe pemerintah bergaya
demokrasi rakyat yang dibentuk di Eropa Timur dan Tengah yang
diterapkan bertahap di bawah inisiatif Soviet yang kuat pada akhir
1940an.
Sayangnya, keberadaan PFC di pemerintahan tidak kekal.
Karena memprotes kebijakan Perdana Menteri Paul Ramadier

40 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


(1947) soal kolonialisasi dan merasa memperoleh angina dengan
dukungan kalangan buruh yang lebih luas, PFC menarik menteri-
menteri dari kabinet. Selanjutnya, Thorez konsentrasi mengurus
keutuhan partai. Sebagai penganut setia ajaran Stalin, Thores tak
hanya mengharamkan pertentangan di dalam partai, tetapi juga
tega menyingkirkan figur-figur populer yang dianggap sebagai
pesaing. Setelah sebuah konferensi pada 1950, sejumlah politisi
populer disingkirkan dari keanggotaan di Komite Sentral dan Polit
Biro. Lalu, pada 1952, figur populer Andre Marty dan Charles
Tillon, dicopot dari posisi masing-masing di secretariat dan polit
biro. Pernyataan pemimpin Soviet, Khrushchev, yang cenderung
anti Stalin pada 1956, tak dihiraukan oleh Thores. Pembersihan
berlanjut hingga ia lengser dari posisi sebagai Sekretaris Jenderal
pada sebuah konferensi di tahun 1965. Pada forum yang sama,
PFC mengeluarkan resolusi yang berisi 3 (tiga) hal penting dan
segera mendorong partai menjadi lebih moderat. Melewati resolusi
penting yang membuat partai tersebut berubah menjadi tubuh
moderat. Pertama, partai menolak revolusi dengan cara kekerasan
dan menekankan transisi damai menuju sosialisme dengan sistem
multipartai. Kedua, dedikasi komunis terhadap kediktatoran
proletariat dihapus dari anggaran dasar partai. Ketiga, melakukan
penataan internal partai dengan cara yang lebih demokratis.
Resolusi dilancarkan untuk menarik minat kalangan kiri lainnya.
Resolusi itu juga memberikan pencitraan lebih positif terhadap
keberadaan partai dan menghapus ambisi mereka untuk menguasai
perpolitikan Prancis dengan format partai tunggal.
Pada tahun 1966, selain SIFO, kekuatan kiri yang lain,
The Fédération De La Gauche Démocrate Et Socialiste (FGDS),
bersedia bekerja sama dengan PFC menghadapi pemilu. Pada
Februari 1968, 3 bulan sebelum aksi Mei, aliansi itu mengeluarkan

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 41


pernyataan bersama yang mengindikasikan sebagai pokok-pokok
program yang disepakati. Pada titik ini, PCF mengadopsi 2
posisi yang berbeda. Salah satunya adalah platform radikal yang
didasarkan pada warisan dan tradisi komunis. PCF adalah partai
komunis dan pendukung internasionalisme, yang dirancang
sentralistis dan dipimpin oleh Partai Komunis Soviet. Penciptaan
sosialisme di Prancis di bawah pedoman Marxisme-Leninisme
tidak pernah ditinggalkan. Yang lainnya adalah pendekatan baru
dan moderat untuk melakukan koalisi dengan partai-partai lain
berdasarkan konsep de-Stalinisasi. Bagi kaum komunis, cara untuk
mencapai tujuan dilakukan dengan cara-cara fleksibel. Yang pasti,
PCF tidak lagi menjadi partai terisolasi, dan siap muncul kembali
sebagai partai yang kuat dalam politik Prancis.
Pada tahun 1970-an, persatuan orang-orang Prancis kiri
(kaum Sosialis dan Komunis) menjadi perkembangan utama
gerakan oposisi terhadap pemerintahan konservatif dan pada tahun
1980an, kalangan sosialis mendominasi arus utama politik nasional.
Pada akhir 1970-an, koalisi kiri ini mulai pecah dan benar-benar
berakhir pada 1980-an, saat di mana Partai Sosialis dipojokkan
dan ditempatkan sebagai pecundang. Presiden Francois Mitterand
(1981-1995) berhasil memulihkan kredibilitas partai, akan tetapi
kekalahan dalam pemilu 1992 mengkonfirmasi pudarnya kekuatan
sosialis ini.
Kalangan sosialis Prancis, dan kaum kiri yang tersisa pada
umumnya, masih belum pulih dari keterkejutan pemilihan presiden
tahun 2002 yang melihat kandidat mereka dieliminasi pada putaran
pertama dan putaran kedua menyajikan pertarungan Presiden
Jacques Chirac yang konservatif dan National Front’s Jean-Marie
Le Pena, yang menganut ultranasionalis. Presiden Chirac menang
telak 82% suara pada pemilu Juni tersebut. Kalangan sosialis

42 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


menuding kekalahan mereka terletak pada kandidat Lionel Jospin
dibandingkan mengevaluasi partai sosialis atau kehendak politik
orang-orang kiri. Sejak awal Partai Sosialis mendominasi pusat-
pusat kekuasaan (Presiden, DPR, Senat, dan Dewan Konstitusi).
Meskipun masalah kepaduan kalangan konservatif bersatu bukan
merupakan fragmentasi baru politisi kiri, penyebarannya di partai
kecil dengan tujuan yang berbeda dan tantangan sayap kiri dan
sayap kiri yang sama adalah hal yang benar-benar berbeda. Di
bagian kiri ekstrem muncul Trotskyite dan tidak tertarik mengikuti
arus utama politik. Ada juga tantangan dari ekstrem kanan dalam
bentuk Front Nasional, dikomandani oleh Jean-Marie Le Pen.
Menyusul kemenangan pertama bagi partai kiri dalam
pertarungan politik Prancis sejak tahun 1988, Francis Hollande
terpilih sebagai Presiden pada tanggal 6 Mei 2012 dengan suara
51,64-4,36%. Hollande menjadi Presiden kedua dari Partai
Sosialis sejak Republik Kelima didirikan pada tahun 1958. Jajak
pendapat telah lama meramalkan kemenangan Hollande. Memang,
dukungan terhadap petahana Sarkozy buruk dan ketidakpopuleran
yang luar biasa bagi sebagian besar konstituen menunjukkan bahwa
penolakan terhadap arus utama bisa jadi jauh lebih menentukan.
Seperti yang cenderung terjadi dalam kampanye kepresidenan
Prancis, jurang pemungutan suara antara dua pesaing utama
menyempit saat jadwal pemberian suara mendekat. Sebuah
undang-undang anti-ketenagakerjaan yang mencengkeram sejak
1981 dan seterusnya, dengan pemilih berulang kali menghukum
para politisi menyusul melonjaknya angka pengangguran, telah
membelah spectrum politik Prancis dalam dua kategori: kiri dan
kanan. Setelah absen di tahun 2007, spektrum berayun kembali
di tahun 2012. Program dan kampanye Hollande mereproduksi
gagasan-gagasan Sosialis Prancis. Tenggelam menjadi masa oposisi

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 43


sejak 2002, Hollande melakukan inovasi ideologis dalam Sosialisme
Prancis. Posisi ideologis dan program Hollande di dalam partai
selalu berada di tengah kiri tengah. Programnya mencerminkan
garis keturunan ideologis koalisi internal Michel Rocard / Lionel
Jospin (ligne majoritaire) yang berlaku di era pasca kepresidenan
Mitterrand (1981-1995) dan telah dirumuskan oleh Hollande
di akhir 1990an dan awal 2000an. Pada tahun 1980an dan
1990an, partai sosialis enggan meneruskan janji-janji yang tidak
realistis untuk mengubah atau menghancurkan kapitalisme, yang
menggema sejak tahun 1970an dan awal 1980an, saat penyatuan
strategi kiri dengan jargon keterputusannya dengan kapitalisme.
Jospin melanhgkah jauh, ketika dalam konferensi tahun 1987
menganjurkan “sekularisasi”, menjauhkan ideologi Marxis dalam
kebijakan partai. Saat menjadi Perrdana Menteri (1995-2002),
memberikan kesempatan kepada partai untuk mewujudkan
kompromi baru tersebut: mempertemukan komitmen ideologi
dengan praktik pemerintahan. Ideologi sosialis bergeser terutama
pada 3 bidang penting: keuangan, perbankan, dan industri. Ketiga
hal itu pula yang mencuatkan isu dalam pemilu 2012.
Krisis zona euro menjadi profil utama dalam pemilihan
2012. Tema kebijakan yang paling penting, substantif dan paling
mendasar yang cukup kontras antara Hollande dan Sarkozy adalah
persoalan zona euro, ekonomi dalam negeri, dan respons terhadap
krisis tersebut. Sarkozy berusaha untuk meyakinkan bahwa krisis
zona euro sebagian besar telah diselesaikan dan memberikan dirinya
cukup banyak prestasi seperti gagasan Compact Fiskal. Hollande,
di sisi lain, melihat Prancis dan Eropa masih dalam kondisi krisis.
Pada tingkat kebijakan ekonomi domestik, perbedaan tajam antara
Hollande dan Sarkozy nampak dalam usaha memulihkan keuangan
publik dan menjamin kredibilitas keuangan. Sarkozy mencoba

44 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


menabur benih keraguan tentang eksploitasi ekonomi Hollande.
Dengan membangkitkan prospek pergerakan modal dan reaksi
pasar yang berlawanan serupa dengan tahun 1981, pidato Sarkozy
selama bulan April 2012 memobilisasi mitos Yunani. Sarkozy
menyamakan masa depan Prancis di bawah kepresidenan Hollande
akan terjebak seperti kesengsaraan Spanyol dalam krisis utang zona
euro. Perdana Menteri Francois Fillon memperkuat kampanye ini
dengan menuding komitmen Hollande untuk menegosiasikan
kembali Perjanjian Uni Eropa pada Desember 2011 akan
menyebabkan krisis keuangan. Program Hollande menunjukkan
visi ekonomi politik yang relatif koheren, berorientasi pada
pertumbuhan, dan intervensionis, sebuah visi yang menawarkan
inovasi (jika tidak dikatakan “standar ganda”) ideologi sosialisme.
Prancis dalam pemilu 2017 menyajikan 11 calon presiden
yang bertarung. Pemilu putaran pertama membawa kemenangan
pada Macron dengan 23,75 persen dan Le Pen 21,53 persen. Hasil
ini membawa Marcon yang merupakan the rising star dari sayap
tengah (liberalis) dengan Le Pen yang datang dari sayap kanan
(nasionalis) ke putaran ke dua pada bulan Mei 2017. Pemilu
presiden kali ini jelas menunjukkan bahwa rakyat Perancis ingin
perubahan di negara mereka. Dua partai besar yang biasanya
bergiliran berkuasa, yakni Partai Sosialis dan Partai Konservatif,
tidak berhasil meraih suara signifikan untuk bisa lolos ke putaran
kedua. Kandidat dari Partai Sosialis Benoit Hamon dan Partai
Konservatif Francois Fillon langsung menyatakan dukungan mereka
bagi Macron. Marcon, yang maju melalui gerakan En Marche!
(Maju!) atau lewat jalur independen dapat dinilai dari gerakan
pembaharuannya yang ingin mendamaikan antara sayap kanan
“kaum nasionalis” dan sayap kiri “sosialis.” Macron menegaskan
partainya bertujuan memperbaiki sistem politik yang tidak mampu

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 45


menyelesaikan masalah yang dihadapi Perancis dalam 30 tahun
terakhir. Ia berjanji akan membawa wajah baru dan ide-ide segar
bagi politik Perancis. Terhadap saingan utamanya dari kubu eksrem
kanan Macron menyatakan tegas, ia berniat jadi presiden bagi
patriot-patriot negara yang memerangi ancaman nasionalisme.
Berbeda dengan saingannya, Le Pen yang menawarkan kebijakan
sangat populis, ia akan mempertegas mengenai peraturan imigran
masuk ke Prancis, juga sangat mencurigai islam sebagai aktor
utama teroris. Le Pen mengkampanyekan Frexit mengikuti Inggris
yaitu mengharapkan Prancis untuk keluar dari Uni Eropa. Padahal
Marcon ingin sekali memperkuat peran Prancis di UE. Le Pen juga
sangat benci terhadap ancaman globalisasi yang dapat merugikan
Prancis, Calon yang didukung oleh Donald Trump ini sangat
berfokus pada keamanan nasional.
Macron menyadari bahwa hampir separuh rakyat Perancis di
putaran pertama memilih para kandidat yang memiliki visi sangat
kritis terhadap Uni Eropa. Alasannya, banyak warga Perancis
yang merasa terpinggirkan oleh globalisasi, stagnasi ekonomi,
pengangguran, banjir imigran, dan merasa terancam oleh terorisme.
Terkait hal itu, Macron merencanakan untuk ”mereformasi” rantai
birokrasi Brussels, ”markas” Uni Eropa. Macron, antara lain,
menghendaki negara-negara Uni Eropa yang tergabung dalam zona
mata uang euro untuk memiliki pengaruh yang lebih besar dalam
proses pengambilan keputusan. Namun, untuk bisa meyakinkan
negara-negara anggota Uni Eropa, Macron dinilai harus
membereskan masalah di dalam negeri dulu. Macron, misalnya,
harus memenuhi janjinya untuk mengikis tingkat pengangguran
di Perancis yang sudah bertahun-tahun berada di angka 10
persen. Hal ini merupakan tuntutan Uni Eropa yang tidak dapat
dipenuhi pemerintahan Francois Hollande. Untuk menekan angka

46 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


pengangguran ini, Macron berjanji akan melakukan pengetatan
anggaran belanja pada pekan-pekan awal pemerintahannya.
Namun, hal itu akan membuat berang banyak kalangan, khususnya
pekerja. Barisan serikat pekerja sudah bersiap turun ke jalan pada
hari pertama pemerintahannya. Presiden Perancis termuda ini juga
akan menghadapi pemilu legislatif, Juni. Agar pemerintahannya
efektif, Macron yang mendirikan partai La Republique En Marche
harus memiliki dukungan mayoritas di parlemen.
Faktanya, alon Presiden Prancis Pro Uni Eropa, Emmanuel
Marcon unggul di putaran II Pemilihan Presiden Prancis. Seperti
dikutip dari Reuters, Senin (8/5), hasil exit poll mengungkapkan
Marcon meraup 65,9 persen suara, sementara pesaingnya Marine
Le Pen meraih 34,1 suara. Raihan ini memastikan, mantan bankir
berusia 39 tahun itu akan menjadi Presiden Prancis, sekaligus
menyabet predikat presiden termuda Prancis. Sebelumnya pada
Pilpres putaran I yang dihelat pada 23 April, Marcon mendulang
24,01 persen, sedangkan Le Pen 21,30 persen.

3. Penyesuaian Lingkungan: Kasus Amerika Latin


Dalam beberapa dekade terakhir, dominasi Amerika Serikat
di wilayah Amerika Selatan mendapat tantangan. Politik “diplomasi
dollar”, yang memberikan dana bantuan melalui lembaga-lembaga
keuangan AS tak lagi berpengaruh seiring dengan menguatnya
paham sosialis dan sistem politik kiri di berbagai negara di Amerika
Selatan, seperti Venezuela, Bolivia dan Kuba.
Venezuela, sejak dipimpin oleh mantan presiden kontroversial
Hugo Chavez tahun 1999, Venezula menjadi salah satu negara
penting di Amerika Selatan. Dalam sebuah konferensi internasional
pada tahun 2005, Presiden Hugo Chavez mengumumkan bahwa
ia mengedepankan sistem sosialis dalam memimpin Venezuela.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 47


Menurut Data dari Pusat Riset Ekonomi dan Kebijakan yang
berbasis di Washington, dalam lima tahun awal kepemimpinan
Chavez, pertumbuhan ekonomi Venezuela melejit naik hingga
94,7 persen dibanding pemerintahan sebelumnya, akibat sektor
migas yang dieksplorasi secara besar-besaran untuk kepentingan
ekspor. Kondisi ekonomi yang kian bergeliat secara otomatis
menurunkan tingkat kemiskinan secara drastis hingga 72 persen,
dan tingkat pengangguran lebih dari 50 persen. Tingkat kesehatan
dan pendidikan pun ikut meningkat. Namun, gaya kepemimpinan
Chavez yang keras membuat ia disebut sebagai dictator. Chavez juga
dituduh menyuburkan perilaku korupsi di tingkat pemerintahan
dan melakukan pelanggaran HAM. Pengamat dari negara-negara
barat bahkan menyebut Venezuela sebagai negara yang “setengah
merdeka”. Chavez menyusun konstitusi ”anti kapitalis” setelah
revolusi sosialis pada 1999. Bagi rakyat, konstitusi ”buku biru kecil”
(little blue book) itu merupakan peninggalan Chavez yang dianggap
simbol visual revolusi Chavez. Buku biru kecil itu selalu dibawa ke
mana pun dan dianggap buku terpenting kedua setelah kitab suci.
Sistem negara sosialis telah diterapkan di Bolivia sejak
tahun 1952 oleh mantan presiden Paz Estenssoro, yang meliputi
pengaturan kepemilikan publik dari seluruh pertambangan di
Bolivia, besaran subsidi pemerintah dan kenaikan upah buruh yang
signifikan, serta penegakan reformasi agraria. Namun, sistem politik
Bolivia berubah haluan ke arah kanan semenjak mantan presiden
Victor Paz Estenssoro memimpin negara ini pada periode 1985
hingga 1989. Sistem politik sayap kanan terus diterapkan di negara
ini hingga Evo Morales memenangi pemilihan presiden pada 2005.
Morales kemudian membawa Bolivia menerapkan kembali sistem
politik sayap kiri, yang membuat perubahan signifikan terhadap
situasi ekonomi Bolivia. Di bawah kepemimpinan Morales,

48 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


pertumbuhan ekonomi Venezuela meningkat hingga rata-rata 5
persen per tahun, upah buruh meningkat hingga 13,63 persen,
pendapatan dari sektor pertambangan dan kostruksi meningkat
hingga 10 persen. Meskipun demikian, geliat ekonomi yang
dialami Bolivia tak terlepas dari bantuan rekan sesama aliran
sosialis, Hugo Chavez dan Fidel Castro. Gerakan sosialis Bolivia
datang dari kehidupan warga pribumi yang memprihantinkan,
yang menurut Morales diakibatkan sistem neoliberalisme yang
telah mengungkung Bolivia. Terpilihnya Morales, yang merupakan
warga pribumi dan mantan petani koka pada pemilihan umum
tahun 2005, merupakan titik balik kekuasaan rakyat pribumi yang
berjumlah lebih dari 60 persen total penduduk Bolivia.
Gerakan revolusi sosialis kuba dimulai oleh Fidel Castro
bahkan sebelum abad ke-21. Rezim pemerintahan mantan
presiden Carlos Prio Socarras pada periode 1948-1952 yang
menjunjung demokrasi namun dinilai mengecewakan dan penuh
tindakan korupsi membuat masyarakat lebih memilih partai politik
beraliran sosialis. Partai Rakyat Kuba ortodoks (PPC-O) yang
mengedepankan nasionalisme, anti-imperialisme dan sosialisme
mendapat simpati besar dari rakyat. Namun pemilihan umum
tahun 1952 digulingkan oleh Fulgencio Batista yang melakukan
kudeta dan mengklaim dirinya sebagai perdana menteri. Rezim
Batista kemudian digulingkan oleh Fidel Castro melalui aksi
politiknya yang dikenal dengan nama Gerakan 26 Juli 1953. Di
bawah kepemimpinan Castro, Kuba menerapkan sistem politik kiri,
bersekutu dengan Uni Soviet ketika Perang Dingin berlangsung, dan
menempatkan diri sebagai oposisi Amerika Serikat. Pemerintahan
Castro membawa beberapa perubahan sosial penting bagi Kuba,
salah satunya adalah peningkatan pendidikan yang memajukan
sektor kesehatan dan menyuburkan tenaga profesional di negara itu.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 49


Namun, tak semua program sosial berjalan baik pada pemerintahan
Castro. Pelanggaran HAM melalui penculikan dan penahanan
cenderung tinggi, khususnya kepada tokoh politik yang kritis
maupun kepada kaum homoseksual.
Pendulum politik dan kebijakan ekonomi di Amerika Latin
sudah mulai bergeser lagi. Ada yang berpendapat bahwa berbagai
kejadian akhir-akhir ini di sejumlah negara Amerika Latin,
terutama Venezuela, sebagai pertanda ”matinya gelombang merah
muda (pink tide) sosialisme”. Meski demikian, tidak ditangkap
adanya perubahan arah seismik ke kembalinya dominasi sayap
kanan. Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi di Amerika Latin saat
ini? Pergerakan pendulum politik dan kebijakan Amerika Latin
bisa dilacak kembali ke periode 1970-an dan berlanjut hingga
1990-an, periode reformasi negara neoliberal dan rezim otoritarian
militer. Neoliberalisme meningkatkan kondisi kehidupan sulit,
marjinalisasi, dan ketimpangan sosial-ekonomi; sementara
otoritarianisme mengeliminasi atau mengurangi secara substansial
kebebasan politik dan warga negara. Itulah yang mencirikan
Amerika Latin pada masa lalu. Dan, kondisi seperti itu memicu
munculnya pusaran besar-besaran mobilisasi gerakan melawan
neoliberalisme, yang dalam banyak kasus telah menjatuhkan
pemerintah. Argentina, misalnya, pernah memiliki lima presiden
dalam dua minggu: 1) Fernando de la Rua, mundur 20 Desember
2001; 2) Ketua Senat Ramon Puerta menjadi penggantinya; 3)
Kongres mengangkat Adolfo Rodriguez Saa sebagai presiden
sementara; 4) Adolfo Rodriguez Saa pada 31 Desember mundur
dan Eduardo Camano ditunjuk sebagai presiden sementara; 5)
Kongres menunjuk Eduardo Duhalde, 2 Januari 2002. Semua
terjadi karena krisis ekonomi dan politik. Keruntuhan sistem partai
dan rezim politik terjadi pula di Ekuador dan Venezuela, Uruguay

50 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dan Brasil selamat. Namun, yang perlu dicatat adalah semua itu
sebagai konsekuensi dan reformasi neoliberal yang mengakibatkan
disinkorporasi arena sosial-politik massa rakyat miskin dan kelas
menengah. Pendek kata, yang menjadi jalan berkuasanya kekuatan
kiri di negara-negara itu adalah karena kegagalan neoliberalisme
sebagai jalan pembangunan yang berkelanjutan. Pada masa itulah
lalu muncul istilah ”berbelok ke kiri” dan pink tide (gelombang
merah muda). Kedua frasa tersebut dipakai untuk menggambarkan
naik panggungnya sosialisme di Amerika Latin. Namun, gelombang
merah muda juga sering dipakai untuk menunjuk pada pemerintah
kiri atau kiri tengah Venezuela sejak Hugo Chavez berkuasa pada
tahun 1999. Hugo Chavez inilah yang sering disebut sebagai
penganjur dan yang pertama mempraktikkan ”sosialisme abad ke-
21”. Sosialisme abad ke-21 tersebut muncul sebagai dampak dari
kegagalan sosialisme model Uni Soviet. Yang mereka sebut sebagai
sosialisme abad ke-21 adalah sistem ekonomi yang secara radikal
memutuskan hubungan dengan rezim neoliberal pasar bebas dan
versi sosialisme ”statis” yang ditumbuhkembangkan (dulu) Uni
Soviet, China, dan Kuba (James Petras). Pemerintahan ”merah
muda” itu pada dasarnya, menurut Gregory Weeks, menolak
dogmatisme pasar dan waspada pada AS. Mereka mengupayakan
untuk mempercepat partisipasi rakyat dan mempersempit jurang
perbedaan kaya dan miskin. Dalam praktiknya, pemerintah yang
menganut rezim merah muda itu mengombinasikan perhatian yang
lebih besar terhadap kesejahteraan sosial dengan kekuatan pasar serta
investasi asing. Sebagai contoh, Dilma Rousseff (mantan Presiden
Brasil). Ia dikenal sebagai orang kiri, tetapi ketika memerintah,
ia mengajak serta bankir konservatif dan secara terang-terangan
mengaku membutuhkan kebijakan pengetatan ikat pinggang.
Para pekerja tambang di Peru selalu berpendapat bahwa Ollanta
Moises Humala Tasso (Presiden Peru 2011-2016) bukanlah orang

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 51


yang berhaluan kiri atau kanan, melainkan bawah. Dua contoh
tersebut menggambarkan bahwa para pemimpin Amerika Latin
yang sering disebut sebagai pemimpin kiri kadang-kadang berbicara
dalam istilah-istilah sosialis, tetapi memerintah secara kapitalis.
Veronica Michelle Bachelet Jeria (Presiden Cile sejak 11 Maret
2014, pernah menjadi presiden pada 2006-2010) adalah seorang
anggota Partai Sosialis. Meskipun demikian, Bachelet secara hati-
hati melindungi ekonomi yang sangat kapitalis. Menteri Ekonomi
dan Keuangan Bolivia Luis Alberto Arce Catacora, meski tetap
memasang foto Che Guevara di kantornya, tetap menarik investor
asing. Presiden Ekuador Rafael Vicente Correa Delgado, meski
sangat tajam mengkritik kapitalisme global, tetap mengundang
investor asing di sektor pertambangan. Seperti apa sesungguhnya
wajah Amerika Latin? Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh
Latinobarometro 2013, sebanyak 55 persen orang Amerika Latin
bahkan tidak menganggap diri mereka kiri atau kanan sama sekali.
Mayoritas menganggap diri mereka tengah, dengan menginginkan
penyelesaian masalah-masalah sosial-ekonomi-politik secara
moderat. Kalau sekarang sosialisme ambruk, itu karena beban berat
mereka sendiri yang harus diusung.

4. Partai dan Resolusi Pasca Konflik


Walaupun jarang dibahas, akan tetapi sistem kepartaian juga
menjadi sarana untuk melakukan rekayasa menuju perdamaian
pasca konflik. Pemerintahan di seluruh dunia menggunakan
berbagai cara untuk mengakhiri perang sipil dan mempromosikan
perdamaian yang abadi setelah perang. Beberapa menggunakan
tindakan kejam seperti pembersihan etnis untuk mengakhiri
konflik domestik secara permanen. Contoh-contoh yang
menonjol termasuk upaya Saddam Hussein yang secara brutal

52 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


menghancurkan pemberontakan Kurdi pada tahun 1988 dan taktik
genosida etnik Slobodan Miloslovic melawan Muslim Bosnia pada
tahun 1991-1992. Pemerintah, tak hanya menggunakan tindakan
kejam ini untuk mencegah terulangnya perang saudara. Pemerintah
juga menggunakan alat lain seperti menegosiasikan kesepakatan
pembagian kekuasaan politik atau gencatan senjata dengan para
pemimpin kelompok pemberontak untuk mendorong perdamaian
abadi setelah perang sipil.51 Secara khusus, untuk menjamin
perdamaian berkelanjutan, pemerintah sering mengusulkan
kesepakatan pembagian kekuasaan di mana mereka (i) menawarkan
konsesi pembagian kekuasaan seperti posisi kabinet, portofolio
menteri, kursi legislatif, dan posisi birokrasi kepada pemimpin
pemberontak dan/atau (ii) memungkinkan kelompok pemberontak
membentuk partai politik untuk berpartisipasi dalam pemilihan
multipartai. 52 Contohnya tawaran kesepakatan pembagian
kekuasaan oleh Perdana Menteri India Rajiv Gandhi kepada
gerilyawan Mizo pada tahun 1986 dan tawaran Presiden George
Cristiani tentang kesepakatan pembagian kekuasaan kepada
pemberontak FMLN di El Salvador pada tanggal 15 Januari 1992.
Analis seperti Hampson (1996) dan Sisk (1996) mengemukakan
bahwa pemerintah sering menawarkan kesepakatan pembagian
kekuasaan secara politik. Ini berbeda dengan menawarkan gencatan
senjata darurat. Dengan itikad baik berharap bahwa kesepakatan
tersebut akan membantu mempertahankan perdamaian. Namun
51
Michael W. Doyle dan N. Sambanis, “International Peacebuilding: A
Theoretical and Empirical Analysis”, American Political Science Review, Vol. 9, No. 4,
2000, hlm. 779–802. Baca juga: Barbara F. Walter, “Does Conflict Beget Conflict?
Explaining Recurring Civil War”, Journal of Peace Research, Vo. 41, No. 3, 2004, hlm.
371–388.
52
Thimothy D. Sisk, 1996, Power Sharing and International Mediation in Ethnic
Conflicts. Carnegie Com- mission on Preventing Deadly Conflict, US Institute of Peace,
Washington Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 53


demikian, apakah kesepakatan pembagian kekuasaan secara politis
berhasil mempromosikan perdamaian? Penelitian yang dilakukan
oleh Bumba Mukherjee53, dengan mengamati 111 perang saudara
yang terjadi antara tahun 1944-1999, menunjukkan adanya
61 kesepakatan yang ditawarkan (54,9%). Merujuk kepada
konseptualisasi ilmiah54, perdamaian dianggap gagal jika perang
saudara terjadi kembali dalam waktu 24 bulan setelah kesepakatan
pembagian kekuasaan politik dinegosiasikan. Dengan mengingat
hal tersebut, Mukherjee mengatakan sebanyak 34 dari 61 kasus
(55,7%), kesepakatan pembagian kekuasaan secara politis berhasil
mendorong perdamaian. Namun, sebanyak 27 kesepakatan dari
61 kasus (44,3%), kesepakatan pembagian kekuasaan secara politik
gagal untuk mempromosikan perdamaian dan menyebabkan
terulangnya perang. Dalam data yang lain, Mukherjee mengatakan
bahwa dampak kesepakatan pembagian kekuasaan politik memiliki
efek panjang untuk menciptakan perdamaian. Durasi damai setelah
penghentian perang sipil tersebut sampai dengan 31 Desember
1999 juga bervariasi secara dramatis. Dari 61 kasus di mana
kesepakatan pembagian kekuasaan politik ditawarkan, perdamaian
bertahan selama 95-183 bulan untuk 18 kasus, 67-94 bulan dalam
24 kasus, dan hanya 6-19 bulan di 19 kasus lainnya. Berikut ini
disajikan daftar perang sipil, kesepakatan pembagian kekuasaan,
dan dampak terhadap perdamaian sebagaimana dirumuskan oleh
Mukherjee.55

53
Bumba Mukherjee, “Why Political Power-Sharing Agreements Lead to
Enduring Peaceful Resolution of Some Civil Wars, But Not Others?”, International
Studies Quarterly, Vol. 50, 2006, hlm. 479–504.
54
lihat Doyle dan Sambanis, loc.cit.
55
Bumba Mukherjee, op.cit., hlm. 481-482.

54 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Political Power- Government Insurgent Military Peace Failure
Country Sharing Agreement Victory Victory Stalemate or Success

Afghanistan (1978–1992) 0 0 1 0 Failure


Afghanistan (1993–) 0 0 0 1 Failure
Algeria (1992–1997) 0 1 0 0 Failure
Angola (1992–1994) 0 0 0 1 Failure
Angola (1975–1989) 0 0 0 1 Failure
Angola (1989–1991) 1 0 0 1 Failure
Azerbaijan (1988–1996) 0 0 0 1 Success
Bangladesh (1973–1997) 1 0 1 0 Success
Bolivia (1952) 0 0 1 0 Success
Burma (1948) 0 1 0 0 Failure
Burma (1968–1982) 0 0 0 1 Failure
Burma (1983–1995) 0 0 0 1 Failure
Burundi (1972–1973) 0 0 0 1 Failure
Burundi (1988) 1 1 0 0 Failure
Burundi (1993–1994) 1 0 0 1 Failure
Cambodia (1970–1975) 0 0 1 0 Failure
Cambodia (1979–1991) 1 0 0 1 Success
Chad (1965–1979) 1 0 0 1 Failure
Chad (1980–1994) 1 0 1 0 Success
China-Tibet (1950–1951) 0 1 0 0 Success
Colombia (1948–1957) 1 0 0 1 Success
Colombia (1966–1998)-ERC 1 0 0 1 Success
Colombia (1968–1984)-FARC 1 0 0 1 Failure
Congo-Zaire (1964–1997) 0 0 0 1 Success
Congo-Kisanguni (1967) 1 1 0 0 Success
Congo-Brazaville (1998–) 0 0 0 1 Failure
Costa Rica (1948) 0 0 1 0 Failure
Cyprus (1963–1964) 0 0 0 1 Failure
Cyprus (1974) 0 0 0 1 Failure
Djibouti (1991–1995) 1 0 0 1 Failure
Dominican Rep (1965) 0 0 0 1 Success
El Salvador (1979–1992) 1 1 0 0 Success
Eritrea (1974–1991) 0 0 1 0 Failure
Ethiopia-Ogad. (1975–1985) 0 1 0 0 Success
Ethiopia (1977–1978) 0 1 0 0 Success
Ethiopia-Tigray (1976–1989) 0 0 1 0 Success
Greece (1944–1949) 0 1 0 0 Success
Georgia-abkhazia (1991–1993) 0 0 0 1 Success
Georgia-ossetia (1992–1994) 1 0 0 1 Success
Guatemala (1954) 0 0 1 0 Failure
Guatemala (1966–1972) 0 0 0 1 Failure
Guinea-Bissau (1998) 1 0 0 1 Success
Haiti (1991–1994) 1 0 1 0 Failure
India-Partition (1946–1947) 0 0 0 1 Success
India-Mizo (1966–1986) 1 1 0 0 Success
India-Sikh (1984–1994) 1 1 0 0 Success
India-Kashmir (1984–1999) 1 0 0 1 Failure
India-Naga (1955–1973) 1 1 0 0 Success
India-Boro (1988–1992) 1 1 0 0 Success
India-Gorkha (1983–1988) 1 1 0 0 Success
Indonesia-Dar. (1953–1957) 0 1 0 0 Failure
Indonesia (1956–1960) 1 1 0 0 Failure
Indonesia-Timor (1975–1982) 0 1 0 0 Failure
Indonesia (1959–1969) 1 1 0 0 Failure
Iran-Revn. (1978–1979) 0 0 1 0 Success
Iraq-Shammar (1959) 0 1 0 0 Success
Iraq-Kurds (1988–1994) 0 1 0 0 Failure
Iraq-Kurds (1974–1975) 0 1 0 0 Failure

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 55


TABLE 1. (Contd.)

Political Power- Government Insurgent Military Peace Failure


Country Sharing Agreement Victory Victory Stalemate or Success

Iraq-Shiites (1991–1994) 0 1 0 0 Failure


Jordan (1971) 0 1 0 0 Failure
Korea (1950–1953) 0 0 0 1 Success
Laos (1960–1975) 1 0 1 0 Failure
Liberia (1989–1993) 1 0 0 1 Failure
Liberia (1994–1997) 1 0 0 1 Failure
Lebanon (1958) 1 1 0 0 Success
Lebanon (1975–1978) 1 0 0 1 Failure
Lebanon (1982–1992) 1 0 0 1 Success
Malaysia (1948–1959) 1 1 0 0 Success
Mexico (1992–1994) 1 1 0 0 Failure
Moldova (1990–1994) 1 0 1 0 Success
Mali (1990–1995) 1 0 0 1 Success
Morocco (1975–1989) 1 0 0 1 Failure
Mozambique (1979–1992) 1 0 1 0 Success
Nicaragua (1968–1979) 1 0 1 0 Failure
Nicaragua (1981–1989) 1 1 0 0 Success
Nigeria-Biafra (1967–1970) 1 1 0 0 Success
Nigeria-Muslim (1980–1984) 0 1 0 0 Success
Pakistan-Bangla (1971) 0 0 1 0 Success
Pakistan-Blch (1973–1977) 0 1 0 0 Success
Paraguay (1949) 0 0 1 0 Success
Peru (1980–1996) 0 0 0 1 Failure
Philippines-NPA (1972–1994) 1 1 0 0 Success
Philippines-MNLF (1972–1989) 1 0 0 1 Success
Philippines-MILF (1989–1996) 1 0 0 1 Failure
Russia-Chechen (1994–1996) 1 0 0 1 Failure
Rwanda (1963–1964) 0 0 0 1 Failure
Rwanda (1990–1991) 1 0 0 1 Failure
Rwanda (1994) 1 0 1 0 Failure
S. Africa (1976–1994) 1 0 0 1 Success
Sierra Leone (1991–1996) 1 0 0 1 Failure
Somalia (1988–1991) 1 0 0 1 Failure
Somalia (1991–1993) 1 0 0 1 Failure
Sri Lanka-JVP II (1987–1989) 0 1 0 0 Success
Sri Lanka-Tamil (1983–1987) 1 0 0 1 Failure
Sri Lanka-Tamil (1987–1995) 1 0 0 1 Failure
Sri Lanka-Tamil (1996–) 0 0 0 0 Failure
Sudan (1963–1972) 1 0 0 1 Success
Sudan (1983) 0 0 0 1 Failure
Tajikistan (1992–1994) 1 0 0 1 Success
Thailand (1967–1985) 1 1 0 0 Success
Turkey-Kurds (1984–) 0 1 0 0 Failure
Uganda (1980–1988) 1 0 1 0 Failure
Uganda (1985–1987) 0 1 0 0 Success
Vietnam (1960–1975) 0 0 1 0 Success
Yemen-N/AR (1962–1970) 1 0 1 0 Success
Yemen-South (1986–1987) 0 0 0 1 Failure
Yemen (1994) 1 0 0 1 Success
Yugoslavia-Bosnia (1992–1995) 1 0 0 1 Success
Yugoslavia-Croatia (1991) 1 0 0 1 Failure
Yugoslavia-Croatia (1995) 1 0 0 1 Success
Zimbabwe (1972–1980) 1 0 0 1 Success

56 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Meskipun dampak kesepakatan pembagian kekuasaan secara
politik terhadap perdamaian sangat bervariasi, literatur teoritis
memberikan prediksi yang baik mengenai persyaratan-persyaratan
supaya kesepakatan pembagian kekuasaan secara politis berhasil
atau malah menjadi gagal untuk mempromosikan perdamaian.
Masyarakat yang telah mengalami satu perang sipil secara signifikan
lebih mungkin mengalami perang kedua atau ketiga daripada
masyarakat tanpa sejarah kekerasan sebelumnya. Indonesia, Irak,
Burundi, Rwanda, Sri Lanka, dan Iran, misalnya, telah mengalami
perang sipil berulang-ulang dimana kekerasan tidak terjadi satu
kali pun, namun berulang kali seiring berjalannya waktu. Dalam
banyak kasus, tidak ada pola yang konsisten untuk memprediksi
munculnya perang. Negara-negara yang mengalami perang saudara
yang berulang segera setelah dua tahun setelah satu perang berakhir,
seperti yang terjadi di Iran, dan selama 33 tahun kemudian, seperti
yang terjadi di Irak. Durasi rata-rata jeda perdamaian dalam
antarkonflik yang terjadi tahun 1945-1996 adalah 14 tahun.
Dengan demikian, bahkan satu dekade perdamaian pun tidak
menjamin bahwa sebuah negara tidak akan mengalami perang sipil
lagi. Secara empiris, sebagian besar perang saudara tidak ditakdirkan
untuk berulang terus menerus. Dalam jangka waktu 1945 hingga
1996, hanya 36% perang sipil yang diikuti oleh perang-perang
selanjutnya. Perang sipil tunggal, seperti yang terjadi di Argentina,
Yunani, dan Kosta Rika, tak sekudar konflik yang berulang.56 Dari
58 kasus perang saudara yang berakhir antara tahun 1945 hingga
1996, 22 berulang kembali.

56
Barbara F. Walter, op.cit., hlm. 371.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 57


C. Partai Politik dan Sistem Pemerintahan
Sistem kepartaian tidak dapat dilepaskan dari sistem
pemerintahan. Pendekatan ini melihat seberapa kompatibel sistem
kepartaian yang dipilih dengan sistem pemerintahan yang ada di
suatu negara.

1. Sistem Presidensial
Pertama, Sistem dua partai sering dianggap sebagai sistem
kepartaian yang paling ideal sebab kompatibel untuk sistem
presidensial dan sistem parlementarian, sedangkan sistem
multipartai dianggap hanya sesuai dengan sistem parlementer.57
Kedua, kekakuan sistemik mengenai masa jabatan presiden
yang bersifat tetap mengakibatkan tidak ada peluang untuk
mengganti presiden di tengah jalan meskipun kinerjanya tidak
memuaskan publik.
Ketiga, prinsip pemenang mengambil semua memberi peluang
bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya
atas nama rakyat. Keempat, menurut Juan Linz, seperti dikutip
Syamsuddin Haris, pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif
dan legislatif di dalam sistem presidensial cenderung menimbulkan
polarisasi dan instabilitas politik, sehingga dianggap tidak cocok
diterapkan di negara demokrasi baru.58
Kesulitan lain yang muncul akibat perpaduan sistem ini
antara lain, pertama, sulitnya melembagakan format koalisi
permanen di antara partai-partai tanpa mayoritas di parlemen.
Kedua, lemahnya disiplin partai-partai dalam mempertahankan
57
Ibid., hlm. 55.
58
Syamsuddin Haris, “Dilema Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde Baru
dan Urgensi Penataan Kembali Relasi Presiden-DPR”, dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar
Nusa Bhakti (Ed.), Ibid, hlm. 98.

58 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


sikap dan prinsip politik dari lobi, negosiasi, dan kompromi politik.
Oleh karena itu, ke depan, perlu ada semacam “kontrak politik”
di antara partai- partai politik yang membentuk koalisi. Kondisi
ini juga membawa keuntungan bagi masyarakat sebab masyarakat
menjadi lebih mudah menagih janji-janji kampanye partai.
Lebih jauh lagi, situasi ini dapat memperkuat sistem demokrasi
presidensial.
Sementara itu, kombinasi sistem presidensialisme dan
multipartai bukan hanya merupakan “kombinasi yang sulit”,
melainkan juga membuka peluang terjadinya kebuntuan politik
(deadlock) dalam hubungan eksekutif-legislatif yang kemudian
berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial. Kemandekan
diakibatkan oleh banyaknya jumlah partai di parlemen ditambah
dengan pemilu yang berbeda untuk memilih anggota parlemen dan
presiden menyebabkan terjadinya perbedaan partai yang menguasai
parlemen dengan partai yang memerintah. Peluang sebuah parpol
untuk menjadi mayoritas di parlemen relatif kecil.59
Selama bertahun-tahun, sistem presidensial menunjukkan
kurangnya insentif untuk koalisi dan menyebut kejadian tersebut
sebagai peristiwa langka.60 Namun demikian, pandangan ini
mulai berubah. Sejak tahun 1980an, sebagian besar sistem
pemerintahan presidensial di kawasan Amerika Latin pada
titik tertentu memiliki koalisi multipartai. Di Brasil, Cile, dan
Uruguay, koalisi multipartai di pemerintahan nampaknya menjadi
59
Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”, dalam Moch. Nurhasim dan
Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Jakarta: Pustaka
Pelajar dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia-AIPI, 2009, hlm. 35.
60
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The
Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Vol. 26,No. 2, 1993, hlm. 198-
228. Baca juga Juan J. Linz dan Alfred Stepan, 1994, Problems of Democratic Transition
and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-communist Europe, Baltimore,
Md.: Johns Hopkins.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 59


kecenderungan umum. Dengan tidak adanya mayoritas partai di
legislatif, format koalisi tersebut menjadi kewajaran.61 Jika kita
melihat pada beberapa dekade terakhir, maka proporsinya bahkan
lebih tinggi lagi. Meskipun meningkatnya pemerintahan koalisi
dalam sistem kepresidenan telah mendorong minat terhadap proses
pembentukan kabinet dan kinerja legislatif pemerintah koalisi,
analisis dengan cakupan lintas negara tetap sedikit jumlahnya.
Sejauh ini, telah ada sedikit diskusi teoritis mengenai aspek-aspek
yang relevan dari pembentukan pemerintah dan stabilitas koalisi
di bawah sistem presidensial. Kurangnya studi perbandingan
mengenai pemerintahan koalisi dalam sistem kepresidenan berbeda
dengan penelitian mutakhir pemerintah koalisi dalam sistem
parlementer.
Tudingan bahwa sistem presidensial memberikan sedikit
insentif untuk pembentukan koalisi, sebagian sebagai hasil
perdebatan mengenai analisis perbedaan antara sistem presidensial
dengan sistem parlementer sepanjang hampir 20 tahun yang lalu.
Koalisi dalam sistem presidensial dituduh lebih sulit dibandingkan
dalam sistem parlementer.62 Argumen ini didasarkan pada alasan
institusional. Presiden tidak perlu membentuk mayoritas legislatif
untuk mengambil alih jabatan, juga tidak memerlukan mayoritas
legislatif untuk menangkis tantangan potensial (yaitu, mosi tidak
percaya). Sistem presidensial, tidak seperti parlementer, tidak
melembagakan aliansi multipartai dalam pembentukan atau
pembubaran pemerintah. Presiden adalah formatur yang dipilih
secara eksogen (populer), kemudian dapat saja memiliki pilihan
untuk membentuk kabinet multipartai, bahkan dengan sedikit

61
Cheibub dkk, loc.cit.
62
Scott Mainwaring, “Presidentialism in Latin America”, Latin America Research
Review, Vol. 25, No. 1, 1990, hlm. 169.

60 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dukungan legislatif sekalipun. Selain itu, partai non-presiden yang
bergabung dengan pemerintah relatif kurang berkomitmen untuk
mendukung program-program pemerintah. Lagi pula, pembelotan
afiliasi di lembaga legislatif tidak membuat eksekutif bubar atau
berhenti bekerja. Format koalisi bukanlah kejadian langka dalam
sistem presidensial. Lebih dari satu dekade yang lalu, Dehesa
(1997) meneliti 123 pemerintahan yang terbelah dan menemukan
bahwa sebanyak 56% kasus membentuk koalisi multipartai. Hasil
ini sesuai dengan analisis deskriptif lebih dari 6 (enam) negara
penganut sistem presidensial yang dipresentasikan oleh Lanzaro
(2001). Dan temuan Cheibub dkk. (2004)63 memberikan bukti
tentang keduanya, sering terjadinya koalisi presiden. Literatur
sebelumnya, nampaknya meremehkan kekuatan insentif-insentif
terbentuknya keberhasilan koalisi dalam sistem pemerintahan.
Dalam sistem parlementer, partai pemerintah adalah pemain
utama agenda kebijakan di parlemen sehingga mereka harus setuju
agar terjadi perubahan kebijakan yang signifikan. Jika abai, tidak
akan terjadi perubahan atau perubahan ini akan dilakukan oleh
pemerintah yang berbeda. Dalam sistem presidensial, partai-partai
di pemerintahan tidak merupakan penyusun utama kebijakan.
Artinya, mereka bisa saja di parlemen mereka menolak rancangan
undang-undang dan representasi mereka bertahan di pemerintahan.
Kita dapat melihat kasus Cile dan Meksiko. Presiden Cile
memiliki otoritas formal yang jauh lebih besar daripada Presiden
Meksiko. Namun, Parlemen Cile memiliki keanggotaan yang
sangat profesional dalam sistem komite yang kuat, sementara di
Meksiko memiliki sistem komite yang lebih lemah yang terdiri

63
José Antonio Cheibub, Adam Przeworski, dan Sebastián M. Saiegh, “Government
Coalitions and Legislative Success under Presidentialism and Parliamentarism”, British
Journal of Political Science, Vol. 34, 2004, hlm. 565-587.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 61


dari anggota yang tidak dapat dipilih kembali dengan masa
jabatan yang juga lebih pendek. Oleh karena itu dapat dikatakan
walaupun memiliki format kelembagaan serupa, Presiden Cile
memiliki posisi negosiasi yang lebih kuat daripada Presiden
Meksiko, dan akibatnya partai-partai dalam kongres Chili lebih
mungkin bergabung dengan koalisi pemerintah. Akibatnya, jika
kapasitas adalah ukuran relevansi institusional yang lebih sesuai,
maka Presiden cenderung membentuk koalisi pemerintah dengan
kekuatan-kekuatan dalam parlemen dengan keanggotaan yang
lebih profesional. Permintaan masa jabatan dan keterpilihan
kembali adalah tindakan yang digunakan secara tradisional dalam
literatur legislatif untuk menangkap kapasitas kelembagaan dan
profesionalisasi keanggotaan parlemen.
Problematika yang tidak kalah penting adalah menyangkut
relasi parlemen-pemerintah (DPR-Presiden). Pemilihan umum
dengan jumlah partai yang terlalu banyak yang berdampak pada
tidak adanya partai pemenang pemilihan umum dengan perolehan
suara mayoritas yang signifikan, terlebih lagi jika parlemen justru
dikuasai oleh partai atau koalisi partai yang berbeda dengan
partai atau koalisi partai yang menjadi pendukung presiden
terpilih, cenderung mengakibatkan tidak efektifnya pemerintahan
presidensial.
Problem efektivitas pemerintah yang dialami oleh Indonesia
juga banyak dialami negara-negara lain yang menganut sistem
pemerintahan presidensial. Mainwaring berpendapat bahwa hanya
4 (empat) negara penganut sistem presidensial yang berhasil dalam
menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara
tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan
Venezuela. Sebaliknya, mayoritas negara-negara yang menganut
sistem parlementer dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan

62 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain;
Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia,
Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia, dan sebagainya.64
Persoalan yang perlu menadapat jawaban adalah mengapa
kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multi partai
yang dipraktekkan di Indonesia tidak mendorong terjadinya
pemerintahan yang efektif dan stabil? Penulis tidak ingin
menyatakan bahwa sistem pemerintahan memiliki korelasi langsung
terhadap efektivitas pemerintahan, karena terdapat bukti kalau
kedua sistem pemerintahan mampu menciptakan pemerintahan
yang efektif. Meskipun tidak ada hubungan yang langsung
antara sistem pemerintahan dengan efektifitas pemerintah, akan
tetapi ada beberapa hal di dalam sistem presidensialime yang
mempengaruhi efektivitas pemerintah.
Terdapat beberapa alasan mengapa sistem presidensial
dan sistem multi partai kurang berhasil di dalam menciptakan
pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan sistem
parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai.
Menurut pengamatan penulis sekama ini, ada beberapa alasan/
kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem
multi partai.
Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen
diselenggarakan secara terpisah maka kemungkinan presiden
yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan
mayoritas di parlemen. Semakin besar dukungan parlemen kepada
presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah
akan semakin efektif. Sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen

64
Partono, “Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektifitas Pemerintah”,
makalah, 2010, hlm. 3.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 63


maka efektifitas pemerintah di dalam mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang.
Kedua, personal presiden, termasuk kepribadian dan kapasitas
merupakan salah satu faktor yang penting. Di dalam sebuah
situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi saat ini presiden
dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit. Oleh
karena itu presiden juga dituntut memiliki kapasitas yang baik
untuk menangani berbagai permasalahan yang sedang dihadapi.
Selain dituntut untuk memiliki kapasitas dalam menangani
permasalahan bangsa, karena presiden membutuhkan support/
dukungan dari parlemen maka presiden juga dituntut untuk
memiliki kemampuan berkomunikasi dan lobby yang baik dengan
parlemen. salah satu faktor kurang efektifnya pemerintahan saat
ini oleh beberapa kalangan dinilai disebabkan kelemahan di dalam
mengelola dukungan dari koalisi partai politik yang mendukung
pemerintah dan lemahnya/ketidakmampuan presiden melakukan
komunikasi dan lobby politik dengan parlemen.
Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multi
partai membangun koalisi partai politik untuk memenangkan
pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi
partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan
mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit.
Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem
presidensial, khususnya di Indonesia, tidak bersifat mengikat dan
permanen. Partai politik yang tergabung di dalam sebuah
koalisi mendukung pemerintah bisa saja menarik dukungannya.
Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung
pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden.
Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung
mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau

64 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik
cenderung melakukan oposisi.
Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk
mendukung calon presiden tidak mencerminkan dan menjamin
dukungan semua anggota parlemen dari masing-masing partai
politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden. Partai politik
tidak mampu melakukan kontrol terhadap para anggota-anggotanya
di parlemen untuk selalu mendukung pemerintah.
Skema sistem presidensial, seperti diketahui, menempatkan
presiden sebagai locus kekuasaan, dalam arti untuk memerintah
(govern) dan mengeksekusi kebijakan. Karena itu, seorang presiden
semestinya memperoleh derajat governability yang tinggi agar
pemerintahan yang dihasilkan pemilu bisa bekerja efektif. Jumlah
partai yang banyak di parlemen, memang boleh jadi mencerminkan
representativeness yang tinggi. Namun, jumlah partai yang terlalu
banyak secara natural juga mengurangi derajat governability
presiden dalam sistem presidensial. Sebabnya sangat sederhana:
too many players.
Dengan terciptanya sistem kepartaian yang lebih sederhana
maka akan mendorong koalisi partai politik yang lebih ramping,
disiplin dan mengikat. Upaya untuk mendorong agar supaya partai
politik membangun koalisi yang disiplin dan mengikat. Pertama,
memperbaiki disiplin internal partai politik masing-masing.
Partai politik harus mampu mengontrol anggota-anggotanya di
parlemen untuk mengikuti kebijakan partainya dalam mendukung
pemerintahan. Jika perlu, partai politik memberikan sanksi tegas
kepada anggotanya di parlemen yang tidak mendukung
program dan kebijakan pemerintah. Kedua, fatsoen politik harus
ditegakkan. Para politisi yang ada di DPR dan kabinet harus sejalan
dan seiring dengan program dan kebijakan presiden. Pejabat partai

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 65


politik yang dipilih di kabinet seharusnya mengundurkan diri
dari jabatan di masing-masing partai untuk mengurangi conflict
of interest. Ketiga, partai-partai politik di dalam koalisi harus
berkomitmen kuat untuk terus mendukung sampai dengan pemilu
presiden berikutnya.
Bila berbicara tentang sistem kepartaian, kita seringkali
hanya memusatkan perhatian pada jumlah partai yang ada dalam
sebuah negara. Akan tetapi, itu sebenarnya bukan berarti kita hanya
membahas jumlah, melainkan juga sehat-tidaknya persaingan partai
politik di suatu negara. Bila mengacu ke jumlah, kita akan menemui
satu, dua, atau sistem banyak partai yang kita kenal. Namun, hal
itu tidak cukup untuk menjadi satu-satunya ukuran ideal bahwa
melihat sistem kepartaian ialah dengan melihat jumlah partai yang
ada di suatu negara.
Bisa jadi jumlah parpol banyak, tetapi tidak bisa berkompetisi
dengan baik sehingga hanya dua atau bahkan satu partai yang
memegang peranan dalam pemerintahan suatu negara. Itu berarti
sistem yang demikian tidak bisa lantas disebut sistem banyak partai.
Meskipun terdapat lebih dari satu partai politik, partai-partai
kecil tidak bisa memberikan pengaruh dalam proses pembuatan
kebijakan. Partai nonpemerintah hanya dianggap sebagai pelengkap
persyaratan prinsip demokrasi yang dianut. Ia hanya partai
pinggiran, yaitu partai yang selalu berada di wilayah pinggiran.
Dalam ikut menentukan jalannya pemerintahan negara, hanya
satu partai yang memegang peranan secara dominan.
Idealnya, pada sebuah bangun kepartaian dari sisi kuantitas,
tersedia partai yang memiliki komitmen dan konsistensi kerakyatan.
Artinya, berapa pun jumlah partai, itu tidak menjadi masalah bila
semuanya memang kebutuhan dari rakyat. Meski sedikit, itu
akan menjadi persoalan bila tak satu pun merupakan wahana

66 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


bagi aspirasi ma syarakat. Dari sisi kualitas, setiap partai memiliki
kesempatan dan keinginan serta kemampuan untuk berkompetisi
melaksanakan fungsi secara optimal dalam sebuah mekanisme yang
kondusif. Keberadaan partai tidak semata-mata ditentukan rezim
yang tengah berkuasa atau sebuah mekanisme administratif yang
diciptakan secara tidak adil dan demokratis oleh penguasa secara
sepihak.
Saya menilai, hilangnya peran sentral parpol dalam
mengkader anggotanya, melahirkan tokoh berbasis ideologi, dan
sebagai penyalur aspirasi publik, menjadi tanda-tanda kemunduran
kualitas politik dan demokrasi. Hilangnya fungsi parpol ini dapat
berdampak negatif terhadap tiga hal bagi perkembangan politik
Indonesia. Pertama, pemilih akan lebih mengedepankan aspek
visual dan kesukaan ketimbang isi dan gagasan dalam menentukan
calon yang akan dipilih. Akibatnya, diskursus tentang bagaimana
Indonesia ke depan akan semakin melemah. Kedua, parpol hanya
sebatas administrator dan fasilitator dalam politik Indonesia.
Akibatnya, tokoh populer atau pemilik modal besar sangat mudah
menunggangi parpol untuk kepentingan individualnya. Ketiga,
hilangnya wadah untuk mengasah negarawan muda masa depan
bangsa. Tanpa kaderisasi parpol yang terintegrasi dan berintegritas,
sulit rasanya ada alternatif untuk para calon pemimpin Indonesia
ke depan mendidik kapasitas politiknya.

2. Sistem Parlementer
Di negara-negara dengan sistem parlementer, pemindahan
kekuasaan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya
terkadang ditandai oleh negosiasi yang panjang guna memperoleh
keuntungan atas keputusan komposisi dan kebijakan kabinet
baru. Pemilihan legislatif yang diadakan di Belgia pada tanggal 10

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 67


Juni 2007 diikuti oleh penundaan terpanjang dalam membentuk
pemerintahan baru dalam sejarah Belgia. Seperti biasa, Raja selaku
kepala negara menunjuk seorang informan untuk mengumpulkan
informasi dan melaporkan kembali seorang formatur yang
kemudian akan mengatur proses pembentukan pemerintahan.
Raja walaupun non-partisan terpaksa harus aktif mengikuti
perkembangan karena negosiasi mengenai kemungkinan koalisi
berulang kali gagal. Sebuah kabinet sementara akhirnya dilantik
oleh raja pada akhir Desember 2007, dalam 194 hari setelah
pemilu digelar. Dalam bulan-bulan berikutnya, Guy Verhofstadt,
yang menyandang sebagai pelaksana tugas Perdana Menteri,
tak terlampau nyaman dalam bekerja, karena praktis tak bisa
mengambil keputusan-keputusan strategis. Pada sebagian besar
negara, termasuk Belgia, memiliki tradisi kuat bahwa pemerintahan
sementara, tidak memiliki otoritas untuk membuat prakarsa
kebijakan.65
Legitimasi pemerintahan dapat dengan mudah dirusak
dalam situasi tawar-menawar yang panjang ini, baik karena
pemerintah sementara tanpa mandat menerapkan kebijakan, atau
karena pemerintah sementara tidak mengambil tindakan dan
kelambanan ini dipandang merusak kepentingan umum. Sebagai
contoh baru-baru ini, kasus penundaan 7 (tujuh) bulan dalam
membentuk sebuah pemerintahan pasca pemilihan legislatif di
Republik Ceko pada bulan Juni 2006. Sebuah media, akibat
keadaan ini, melukiskan dengan mengenaskan bahwa Parlemen
tidak menyelesaikan apa-apa, sementara undang-undang dan
reformasi penting berada dalam keadaan terombang-ambing,

Michael Laver dan Kenneth A. Shepsle, 1994, Making and Breaking


65

Governments: Cabinets and Legislatures in Parliamentary Democracies, Cambridge:


Cambridge University Press, hlm. 292.

68 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


termasuk reformasi pensiun yang telah lama ditunggu, privatisasi
perusahaan milik negara, perombakan KUHP, dan nasib pajak yang
kontroversial. Parlemen yang tidak berfungsi membebani pembayar
pajak sebanyak 3 juta Kc ($ 136,550) per hari. Pemerintah Ceko
yang baru, dengan Mirek Topolanek sebagai perdana menteri,
akhirnya memperoleh pengesahan pada 19 Januari 2007, nyaris
229 hari setelah pemilihan legislatif.
Proses pembentukan pemerintahan parlementer yang
menguasai mayoritas legislatif bisa menjadi kompleks.66 Ketika
sebuah partai politik memenangkan mayoritas legislatif, model
pembentukan pemerintah selalu berkumpul pada prediksi
bahwa hal itu akan membentuk pemerintahan tunggal dan
menguasai semua portofolio kabinet. Hal ini hampir selalu
benar secara empiris dan bukan pertanyaan teoritis terbuka.
Meskipun kita mungkin memikirkan model yang masuk akal
yang memperlakukan pemerintah mayoritas partai tunggal sebagai
koalisi faksi partai, ini bukan fokus dari literatur yang kita hadapi.
Dalam varian yang paling khas dari proses ini, ketika pada satu sisi
kepala negara yang memimpin proses pembentukan pemerintah
dan yang pada akhirnya menginvestasikan sebuah pemerintahan
dengan kewenangan konstitusional untuk menjabat, pada sisi lain
terdapat para formatur untuk membangun pemerintahan. Tata cara
penunjukkan formatur bervariasi dari satu negara ke negara lain,
meskipun biasanya formatur awal adalah pemimpin partai yang
menguasai parlemen. Setelah dipilih, formatur harus membangun
sebuah pemerintahan dengan dukungan dari legislatif. Ini biasanya
membutuhkan alokasi portofolio menteri dan menetapkan
kebijakan dasar yang ingin ditempuh pemerintah. Jika partai

66
Michael Laver dan Norman Schofield, 1998, Multiparty Government: The Politics
of Coalition in Europe (2nd. Ed.), USA, University of Michigan Press.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 69


formatur tidak menguasai mayoritas legislatif, maka formatur
harus bernegosiasi mengenai hal ini dengan pimpinan partai
lain. Bahkan jika partai formatur menguasai mayoritas legislatif,
kemungkinan negosiasi serupa masih berlangsung dengan kalangan
internal partai yang bersangkutan. Selama proses tawar-menawar
ini, tidak jarang formatur gagal membentuk koalisi pada usaha
pertama atau bahkan usaha kedua. Sebagai contoh, diperlukan
7 (tujuh) proposal koalisi yang berbeda selama 106 hari agar
sebuah pemerintahan dibentuk setelah pemilihan legislatif Belgia
tahun 1979.67 Jika tidak ada kesepakatan, formatur yang berbeda
dapat ditunjuk dan rintisan membentuk pemerintahan dimulai
lagi. Begitu sebuah kabinet pada akhirnya terbentuk, dukungan
dari mayoritas legislatif dapat (atau harus) ditunjukkan dengan
pemungutan suara formal. Jika pemungutan suara tidak berhasil,
maka proses pembentukan pemerintah akan dimulai lagi, begitu
seterusnya. Namun, jika pemungutan suara berhasil berhasil (atau
mekanisme ini tidak diatur secara formal), maka kepala negara
hanya akan meresmikan komposisi kabinet yang diusulkan oleh
formatur. Pada titik ini, pemerintah bekerja hingga periode pemilu
berikutnya atau ketika kehilangan dukungan mayoritas legislatif.
Dalam ranah empirik, pengalaman pemerintahan koalisi
bervariasi antar negara. Jerman memiliki sistem pemerintahan
koalisi yang berkembang dengan baik. Sebanyak 9 dari 100
pemerintahan yang terbentuk selama abad kedua puluh telah

67
Lieven De Winter, Arco Timmermans, dan Patrick Dumont, “Belgium: On
Government Agreements, Evangelists, Followers and Heretics”, dalam Wolfgang C.
Müller dan Kaare Strøm (Editor), 2000, Coalition Governments in Western Europe, Oxford,
Oxford University Press, hlm. 315.

70 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


melibatkan dua atau lebih partai.68 Baik Denmark maupun
Irlandia memiliki sistem koalisi yang relatif matang, walaupun
koalisi hanya menjadi norma di Irlandia sejak 1989, ketika partai
dominan, Fianna Fail, mengakhiri moratorium pembagian
kekuasaannya. Selandia Baru memiliki pengalaman yang lebih
terbatas dalam pemerintahan koalisi, yang berasal dari pertengahan
1990-an. Kisaran dalam masa jatuh tempo pemerintahan koalisi
memungkinkan penelitian untuk mengeksplorasi implikasi jangka
pendek dari sebuah pergeseran ke pemerintah pembagian kekuasaan
(Selandia Baru) serta menilai pengaturan dalam sistem yang telah
lama beradaptasi dengan kondisi koalisi (Jerman, Denmark ,
Irlandia). Sementara pemerintah di Selandia Baru memegang
jabatan untuk 3 (tiga) tahun, sebagian besar negara Eropa Barat
memiliki durasi jabatan hingga 4 (empat) tahun, sementara Inggris
dan beberapa lainnya melakukan bahkan sampai 5 (lima) tahun.
Dengan kata lain, dengan asumsi bahwa eksekutif dapat berjalan
secara penuh, pemerintah di Selandia Baru akan tampak jauh
kurang stabil daripada di Inggris.
Di Inggris, untuk menghentikan pemerintahan adalah melalui
mosi tidak percaya yang harus didukung oleh semua oposisi..
Ketentuan serupa terjadi di Denmark, Irlandia dan Selandia Baru.
Dalam praktiknya, tentu saja, partai oposisi mengalami kesulitan.
Meskipun demikian, mereka menghadapi sedikit perjuangan
daripada rekan-rekan mereka di negara-negara seperti Swedia, yang
hanya bisa menjatuhkan sebuah pemerintahan jika didukung oleh
mayoritas dari semua anggota parlemen. Akhirnya, dan yang paling
membatasi, pemerintahan Jerman dan Spanyol aman kecuali jika

68
Kaare Strøm dan Stephen M. Swindle, “The Strategic Use of Parliamentary
Dissolution Powers”, paper delivered to ECPR Joint Sessions of Workshops, Copenhagen,
April 14th-19th 2000, hlm. 2.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 71


pihak oposisi menggerogoti mayoritas mutlak anggota parlemen
melawan pemerintah, dan juga menominasikan penggantinya.
Ketentuan konstruktif diperkenalkan pertama kali di Jerman,
untuk mencegah terulangnya instabilitas rezim Weimar di mana
pemerintah dikalahkan tanpa legislatif mengajukan pemerintahan
penggantinya.69 Ini memiliki 2 (dua) keunggulan. Pertama, ini
mengurangi kemungkinan kebuntuan, di mana oposisi memiliki
dukungan penting untuk menggantikan pemerintahan petahana
tanpa konsensus yang bertele-tele. Kedua, dengan melakukan
penggantian satu pemerintahan secara otomatis, akan mengurangi
intervensi Kepala Negara dalam proses pembentukan pemerintah
yang berpotensi kontroversial.70 Mosi tidak percaya hanya diuji
2 (dua) kali di Jerman yang gagal pada tahun 1972 melawan
Willy Brandt, dan berhasil pada tahun 1982, ketika Helmut
Kohl menggantikan Helmut Schmidt.71 Mosi tidak percaya baru
diperkenalkan di Belgia sejak 1995 dan di Spanyol sejak tahun
1978, di mana tidak ada gerakan kecaman mengenai hal ini.72
Perubahan mekanisme mosi tidak percaya telah
direkomendasikan di Irlandia, dan disarankan untuk
dipertimbangkan di Selandia Baru, sebagai sarana untuk menopang
pemerintah.73 Beberapa komentator melihat peraturan ini telah

69
Thomas Saalfeld, “Germany: Stable Parties, Chancellor Democracy and the Art
of Informal Settlement”, dalam dalam Wolfgang C. Müller dan Kaare Strøm (Editor),
op.cit., hlm. 36.
70
Michael Laver, “The Government Formation Proces in Ireland: Implications
for the Constitutional Role of the President, the Government and the Dáil”, dalam
Constitution Review Group, 1996, hlm. 478.
71
Geoffrey K. Roberts, 2000, German Politics Today, Manchester, Manchester
University Press, hlm. 118-119.
72
Josep M. Colomer, “Spain and Portugal: Rule by Party Leadership”, dalam Josep
M. Colomer, Editor, 1996, Political Institutions in Europe, London: Routledge, hlm. 191.
73
Laver, op.cit.

72 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


memberi kontribusi pada stabilitas pemerintah di Jerman pada
periode pasca perang74 walaupun ada yang berpendapat bahwa
sistem partai yang stabil telah benar-benar menjalankan peran
yang paling utama.75
Ada varian dari ketentuan mosi tidak percaya yang menghindari
membuat tugas oposisi terlalu berat. Salah satu varian tersebut
adalah sistem di Belgia dan di New South Wales di Australia, di
mana oposisi dapat mengindikasikan adanya penggantinya saat
memberikan mosi tidak percaya. Jika oposisi bersatu melawan
petahana tapi tidak mendukung pengganti apapun, sebuah mosi
yang berhasil hanya mengarah pada pemilu baru.76
Cara lain untuk menjamin stabilitas pemerintahan adalah
dengan melepaskan kekuatan atau insentif untuk mengadakan
pemilu dini. Bagi seorang perdana menteri Inggris, satu-satunya
kendala ketentuan bahwa pemilu harus dilaksanakan dalam
5 tahun sekali. Pemerintahan dalam jawngka waktu tersebut
memperoleh lisensi stabilitas, walaupun perdana menteri akan
selalu memperoleh tekanan untuk melakukan pemilu dini.
Ketentuan serupa berlaku di Kanada (maksimum 5 tahun),
Australia dan Selandia Baru (keduanya 4 tahun) - dan juga negara-
negara Eropa seperti Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Jerman
dan Belanda (semua mempersyaratkan 4 tahun) dan Prancis,
Irlandia, Italia dan Luksemburg (mempersyaratkan 5 tahun). Di
Swedia pemerintah dapat membubarkan parlemen sebelum masa
pemilu berikutnya, namun pemilihan baru merupakan tambahan,
dan bukan pengganti, sebab pemilihan harus diadakan setiap 4

74
Geoffrey K. Robert, op.cit., hlm. 118-120.
75
Gordon Smith, “The Resources of a German Chancellor”, West European Politics,
Vol. 14, No. 2, hlm. 50.
76
De Winter, Timmermans dan Dumont, op.cit., hlm. 342.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 73


(empat) tahun sekali. Di negara ini, pemilu dini untuk pertama
kali dilaksanakan pada 1958.77 Pemilu dini sempat dibahas dalam
konteks krisis pemerintahan pada tahun 1978 dan 1981, namun
urung dilaksanakan pada kedua kesempatan tersebut karena
pemilihan reguler harus segera menyusul.78 Jika masa jabatan
pemerintah diukur sebagai proporsi waktu maksimum dalam
memangku jabatan, mekanisme di Swedia beroperasi dengan baik.
Rata-rata durasi pemerintahan relatif mencapai 80%, jauh di atas
rata-rata negara-negara di Eropa lainnya.79
Model ‘semi fixed’ ini memungkinkan terjadinya deadlock,
namun meminimalkan insentif bagi pemerintah untuk
memanfaatkan kondisi pemungutan suara yang menguntungkan
dengan memaksakan pemilihan dini. Di Norwegia dan Swiss tidak
memungkinkan fleksibilitas jadwal pemilu, yang ditetapkan setiap
4 (empat) tahun.
Di Negara dengan sistem parlementer seperti Inggris, di
mana terdapat sebuah partai yang memenangkan mayoritas kursi
legislatif, pembentukan pemerintahan awalnya merupakan proses
yang mudah. Pemimpin partai pemenang menyajikan daftar anggota
dewan yang diusulkan, terutama anggota partai pemenang yang
terkenal, ke kepala negara (Ratu) untuk memperoleh persetujuan.
Dalam pemilihan legislatif di Inggris pada tahun 2010 sayanganya
tidak ada sebuah partai yang memenangkan mayoritas kursi
legislatif. Hasil legislatif ini sangat tidak biasa untuk Inggris, namun
serupa dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara demokrasi
parlementer lainnya. Jika tidak ada satu partai atau aliansi pemilihan
77
Jonathan Boston, 1998, Governing Under Proportional Representation: Lessons
from Europe, Victoria University of Wellington: Institute of Policy Studies, hlm. 116.
78
Torbjörn Bergman, “Sweden: When Minority Cabinets are the Rule and
Majority Coalitions the Exception”, dalam Müller dan Strøm, editor, op.cit., hlm. 199.
79
Saalfeld, op.cit., hlm. 12.

74 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


yang memenangkan mayoritas, dan partai-partai yang terpilih ke
legislatif tidak dapat dengan mudah menemukan landasan bersama,
maka proses pembuatan kabinet baru bersama bisa berlangsung lama
dan berlarut-larut. Untuk waktu yang lama, contoh penundaan
penundaan pembentukan pemerintah yang paling terkenal adalah
pemilu Belanda yang dimulai pada tahun 1977, ketika dibutuhkan
208 hari bagi pembentukan pemerintahan baru. Rekor ini
dipecahkan, pertama di Irak pada tahun 2010 ketika membutuhkan
waktu 8 bulan bagi sebuah pemerintahan untuk dibentuk setelah
pemilihan legislatif di sana, dan kemudian di Belgia ketika proses
pembentukan pemerintah setelah pemilihan legislatif di tahun 2010
berlangsung selama 18 bulan yang luar biasa.
Inggris tak banyak memiliki pemerintahan sementara.
Menyusul kekalahan pemerintah pada sebuah pemilihan,
pemimpin oposisi biasanya diresmikan pada hari berikutnya dan
pemerintah sepenuhnya diganti dalam 48 jam ke depan. Tetapi
di negara-negara di mana sistem pemilihan proporsional tidak
menghasilkan pemenang yang jelas, pembentukan pemerintah baru
mungkin akan memakan waktu lebih lama. Periode terpanjang
yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan baru dalam 50
tahun terakhir di negara Eropa Barat adalah 208 hari yang diambil
di Belanda pada tahun 1977.80 Akan tetapi Belanda tidak sendirian,
rata-rata di 12 negara Eropa barat tidak termasuk Belanda adalah
19 hari, atau hanya di bawah tiga minggu. Apa yang terjadi pada
pemerintahan selama periode ini? Di kebanyakan negara Eropa
Barat, seperti disebutkan di atas, pemerintah petahana tidak dipaksa
untuk mengundurkan diri pada, atau setelah, sebuah pemilihan.
Sebaliknya, mereka mungkin terus bertugas sampai terbentuk
pemerintahan sementara. Tapi jika mereka mengundurkan diri,

80
Müller and Strøm, editor, op.cit., hlm. 570.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 75


entah karena mereka benar-benar kehilangan pemilihan atau
karena mereka gagal membentuk pemerintahan baru. biasanya
tetap bertugas sampai pemerintah baru dilantik, dengan kedudukan
sebagai pemerintahan sementara. Mengingat bahwa pemerintahan
sementara berlangsung selama beberapa minggu, bagaimanakah
menentukan batasan wewenang yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan? Di beberapa negara, peran pemerintah
sementara diatur secara tegas dalam undang-undang dasar atau
dalam sebuah keputusan kabinet. Sebuah survei terhadap konstitusi
di 6 (enam) negara Eropa Barat oleh Komisi Pelayanan Negara
Selandia Baru (1995: 81) mengidentifikasi hanya Denmark
yang secara formal menetapkan ketentuan soal pemerintahan
sementara tersebut. Tetapi kebanyakan negara merumuskan
secara informal bahwa pemerintahan sementara menghindari
pengambilan keputusan kebijakan utama, misalnya dengan
tidak memasukkan rancangan undang-undang ke parlemen,
kecuali soal anggaran. Pengecualiannya adalah Irlandia, di mana
pemerintahan sementara memiliki wewenang yang tak terbatas, dan
bahkan sampai penunjukkan jabatan politik penting.81 Namun,
bahkan di negara-negara yang konvensinya membatasi kekuasaan
pemerintahan sementara, masih banyak interpretasi seputar maksud
konvensi tersebut. Misalnya, Selandia Baru melarang pemerintahan
sementara melakukan inisiatif kebijakan baru atau mengubah
kebijakan yang ada. Implikasinya adalah implementasi kebijakan
yang ada (misalnya, kebijakan pemerintah sebelum pemilihan)
dapat berlanjut. Namun, mengusulkan kebijakan baru mungkin
kontroversial. Setelah pemilihan tahun 1996 di Selandia Baru, dan
meskipun ada upaya untuk merumuskan peraturan yang jelas, ada
beberapa kebingungan dalam pemerintahan sementara mengenai

Laver dan Shepsle, op.cit., hlm. 47.


81

76 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


sejauh mana hal itu dapat dilaksanakan untuk tugas teknis
pemerintahan sehari-hari dan sejauh mana perlu didiskusikan
dengan partai-partai oposisi.82 Di Jerman, keputusan mendesak
diambil oleh petahana hanya setelah berkonsultasi dengan calon
penggantinya, seperti yang dilakukan Kanselir Kohl terhadap
Gerhard Schröder pada bulan Oktober 1998 sehubungan dengan
konflik di Bosnia. Negara-negara lain, seperti Selandia Baru, juga
mengoperasikan sebuah konvensi bahwa pemerintahan sementara
dihadapkan pada keputusan kebijakan utama yang mendesak
akan berkonsultasi dengan calon pengganti, dan akan bertindak
berdasarkan nasehatnya meskipun partai pemerintah tidak setuju
dengan hal ini.83 Jika kandidat pemerintahan belum ditentukan,
peraturan kabinet di Selandia Baru menetapkan bahwa masalah
substantif tersebut (a) ditangguhkan; (b) ditangani sedemikian
rupa agar tidak membebani pemerintahan masa depan; atau
(c) diselesaikan melalui konsultasi dengan partai politik lainnya
sehingga tindakan tersebut mendapat dukungan mayoritas di
parlemen.
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
pemerintahan diukur menurut jumlah hari antara waktu
pelaksanaan pemilihan atau pengunduran diri pemerintah
sebelumnya dan hari dimana pemerintahan baru dilantik secara
resmi. Soal jangka waktu ini, dalam praktik di Eropa terdapat
variasi. Yang pertama adalah variasi yang cukup besar dalam jangka
waktu yang diperlukan untuk membentuk sebuah pemerintahan.
Meskipun dibutuhkan waktu sekitar rata-rata seminggu (6,5 hari)
untuk pembentukan kabinet di Inggris, bahkan bisa kurang dari
82
Colin James, 1997, Under New Sail: MMP and Public Servants, Victoria
University of Wellington: Institute of Policy Studies, hlm. 32.
83
Matthew Palmer, “Collective Cabinet Decision Making in New Zealand”, dalam
Laver dan Shepsle, op.cit., hlm. 244-245.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 77


masa itu di Prancis, Norwegia, dan Swedia, namun dibutuhkan
lebih dari dua bulan (70,6 hari) di Belanda. Variasi kedua adalah
perbedaan cukup besar jangka waktu yang diperlukan untuk
membentuk pemerintahan setelah pemilihan dibandingkan dengan
pembentukan pemerintahan sementara di antara pemilihan.
Kecuali Norwegia dan Spanyol, pemerintah pasca pemilihan selalu
membutuhkan waktu lebih lama untuk proses pembentukannya.
Secara khusus, pemerintah pasca pemilihan membutuhkan waktu
sekitar satu bulan (30,9 hari) untuk terbentuk dibandingkan
dengan kurang dari dua minggu (12,5 hari) untuk pemerintahan
sementara.
Menarik diperhatikan, penelitian yang dilakukan oleh Ecker
dan Meyer, dengan meneliti 297 proses pembentukan pemerintahan
pada 27 negara pasca tahun 1998.84 Dalam kurun waktu rata-rata,
formasi pemerintahan di Belanda (90 hari) dan Austria (75 hari)
membutuhkan waktu yang jauh lebih lama daripada di Denmark
(4 hari), Yunani (3 hari), dan Prancis (2 hari). Ada juga variasi
yang cukup besar, dengan 5% proses tawar menawar selama 95
hari atau lebih. Rata-rata durasi tawar-menawar negara-negara di
Eropa Tengah dan Timur termasuk pola yang ekstrem ini: durasi
pembentukan rata-rata di Republik Ceko (39 hari) sama dengan
Belgia (43 hari), Spanyol (42 hari), dan Luksemburg (37 hari ).
Dengan rata-rata 19 hari, durasi pembentukan pemerintah agak
pendek terjadi di Rumania dan Slovakia, sebuah waktu yang
hampir bersamaan untuk membentuk pemerintahan di Irlandia
(20 hari) dan Finlandia (18 hari). Perundingan koalisi setelah
pemilihan parlemen di Eropa Barat (40 hari) rata-rata delapan
kali lebih lama dari pada negosiasi dalam konteks antar pemilihan

84
Alejandro Ecker and Thomas M Meyer, “The Duration Of Government
Formation Processes In Europe”, Research and Politics October-December 2015.

78 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


(5 hari). Di Eropa Tengah dan Timur, perbedaan antara negosiasi
paska pemilihan dan negosiasi pembentukan pemerintahan
sementara pada dasarnya lebih kecil. Di sini, pembicaraan koalisi
setelah pemilihan umum berlangsung kira-kira dua kali lebih lama
daripada negosiasi antara pemilihan (43 vs 18 hari). Ada beberapa
bukti yang mendukung klaim bahwa pembuatan undang-undang
pemerintah memakan waktu lebih lama dalam negosiasi yang
kompleks. Namun, efek ini hanya terlihat di Eropa Barat (22 vs
38 hari), namun tidak di Eropa Tengah dan Timur. Namun, dalam
data yang baru dikumpulkan untuk Eropa Tengah dan Timur tidak
ada bukti yang konsisten untuk efek kondisional dari ketidaktahuan
dan kompleksitas. Ketidakpastian meningkatkan durasi negosiasi,
namun efek ini serupa pada situasi negosiasi yang rendah (21 v.s.
40 hari), dan kompleksitas tinggi (16 vs 46 hari). Selanjutnya,
kompleksitas hampir tidak berpengaruh pada durasi negosiasi.
Bahkan dalam konteks ketidakpastian yang tinggi, perbedaan
durasi negosiasi rata rata lebih rendah (40 hari) dan situasi negosiasi
yang lebih kompleks (46 hari) jauh lebih kecil daripada perbedaan
keduanya di Eropa Barat.
Hasil kajian Tom Louwerse dan Peter Van Aelst telah
memaparkan Durasi proses pembentukan pemerintah di negara-
negara demokrasi Barat selama 50 tahun terakhir. 85 Mereka
menganalisis perubahan dari waktu ke waktu dan fokus secara
eksplisit dalam 15 tahun terakhir. Durasi rata-rata pembentukan
koalisi kabinet pasca pemilihan di 24 negara industri yang
telah demokratis setidaknya berlangsung sejak tahun 1980an.
Meskipun ada banyak variasi tampak bahwa periode pembentukan
85
Tom Louwerse dan Peter Van Aelst, “The Exceptional Belgian Case? Government
Formation Duration In Comparative Perspective”, Paper prepared for presentation at the
conference ‘Belgium: The State of the Federation’, Vereniging voor Politieke Wetenschappen/
Association belge francophone de science politique, Louvain-la-Neuve, 18 October 2013.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 79


koalisi terpanjang pada tahun 2000an atau 2010 dalam 9 dari
24 kasus yang diperiksa. Jangka waktu yang meningkat terkuat
di Belgia, namun cenderung juga terjadi di Austria, Denmark,
Italia, Luksemburg, Norwegia, Swedia, Swiss, dan Inggris. Bagi
beberapa negara, kenaikan durasi pembentukan memang kecil,
seperti durasi formasi kabinet Italia dengan 61 hari, yang hanya
satu hari lebih lama dari rata-rata durasi pembentukan pada tahun
1970an. Untuk negara lain, panjang pembentukan koalisi tidak
terlalu bervariasi dari waktu ke waktu, terutama untuk negara
dengan periode negosiasi yang relatif singkat. Ada juga sejumlah
negara yang mengalami masa negosiasi yang panjang di tahun
1960an atau 1970an, pengurangan masa negosiasi pada tahun
1980an dan 1990an, namun sedikit meningkat dalam dekade
terakhir. Ini termasuk Negara-negara Skandinavia dan Jerman.
Singkatnya, data tersebut tidak menunjukkan peningkatan durasi
pembentukan koalisi yang sistematis di negara-negara Barat,
namun merupakan gambaran dengan pola yang beragam. Hanya
di Belgia kenaikannya nampaknya ekstrem, sementara di beberapa
negara lain durasinya mengalami peningkatan secara moderat.
Jika membandingkan periode tahun 1950-2000 dengan tahun
antara 2000-2013, terdapat peningkatan jumlah rata-rata durasi
termasuk sistem tradisional “mayoritas” seperti Inggris. Hanya ada
beberapa pengecualian, seperti Prancis, yang bergerak dari sistem
proporsional ke sistem distrik. Bagi beberapa negara, peningkatan
durasi negosiasi berjalan seiring dengan meningkatnya masa
koalisi (Belgia, Swedia, Norwegia, Austria). Di negara lain, baik
durasi pembentukan pembentukan pemerintahan maupun koalisi
cenderung menurun (Prancis, Malta). Namun, untuk negara-
negara lain, tampak kenaikan durasi pembentukan kabinet, namun
tidak ada peningkatan yang signifikan dalam durasi pembentukan
koalisi (Belanda, Yunani, Selandia Baru). Di dua negara mengalami

80 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


penurunan, namun durasi pembentukan pemerintah tetap sama
(Spanyol, Jepang).
Siapakah yang terlibat dalam negosiasi pembentukan
pemerintahan pasca pemilu? Negosiasi pemerintah koalisi
biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil tokoh senior partai-
partai. Sebagian besar dari apa yang disepakati antara para
pihak menyangkut masalah kebijakan. Dengan demikian
sangat jarang negosiasi dilakukan hanya oleh para pemimpin
partai, karena mereka tidak memiliki semua informasi yang
diperlukan untuk menyetujui sebuah program kebijakan. Di
sisi lain, tim negosiasi jarang tersusun dalam jumlah yang besar,
karena ini akan memperluas potensi ketidaksepakatan dan untuk
mengkompromikan kerahasiaan. Di Irlandia setelah pemilihan
1997, negosiasi koalisi antara Fianna Fail dan Demokrat Progresif
dilakukan oleh 8 orang. Pemimpin partai, Bertie Ahern dan
Mary Harney, tidak terlibat langsung dalam negosiasi, namun
menentukan parameter negosiasi tersebut (Mitchell, 1999a: 254).
Bukan hal yang aneh bagi para pemimpin partai untuk tetap
berada di samping negosiasi, menawarkan keputusan akhir untuk
menyelesaikan perselisihan. Pada tahun 1992, negosiasi Fison-Fail-
Labor melibatkan tim kecil dari tiga negosiator dari masing-masing
partai dengan para pemimpin partai tidak lagi terlibat (Farrell,
1993). Di Denmark, para pemimpin partai biasanya memimpin
perundingan, walaupun sekali lagi mereka membawa serta tim kecil
yang terdiri dari calon menteri atau/ atau ketua partai di parlemen.
Tim negosiasi di Jerman cenderung memiliki ukuran yang sama;
tawar menawar antara SPD dan Partai Hijau pada tahun 1998
melibatkan dua tim dari empat anggota tetap dengan juru bicara
lain yang dibawa untuk menegosiasikan isu-isu kebijakan tertentu
(walaupun tim perunding di bawah Kohl biasanya mencapai 15-20

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 81


orang).86 Ketiga partai politik yang terlibat dalam menegosiasikan
koalisi di Selandia Baru setelah pemilihan 1996 mengadopsi
pendekatan fleksibel terhadap tim mereka. Namun demikian,
masing-masing partai membawa tambahan tim di berbagai titik
selama negosiasi.87 Negosiasi antara Partai Buruh dan Partai Aliansi
pada tahun 1999 dilakukan terutama sebelum, tidak setelah,
pemilihan. Perlunya kerahasiaan membatasi tim negosiasi hanya
terdiri atas 4 atau 5 anggota.88
Pembahasan mengenai agenda pemerintahan sudah barang
tentu tak terlampau menjadi masalah bagi partai politik yang
berpengalaman memerintah, akan tetapi tidak demikian halnya
dengan partai yang baru pertama kali memperoleh kesempatan
memegang kekuasaan. Misalnya, di Irlandia pada tahun 1997,
Demokrat Progresif menegosiasikan membentuk pemerintahan
dengan Fianna Fail. Meskipun telah menjadi mitra koalosi empat
tahun sebelumnya, namun mereka membutuhkan pembahasan
agenda kebijakan secara detail. Partai hanya mmeiliki segelintir
penasehat, sementara Fianna Fail karena pengalaman sebelumnya
memiliki akses sumber daya yang jauh lebih besar. Beruntung, partai
tersebut memiliki akses ke pegawai negeri sipil dari Departemen
Keuangan untuk meminta bantuan perumusan kebijakan. Dengan
bantuan 2-3 pegawai negeri senior, mereka lebih mantap dalam
memperoleh informasi kebijakan. Situasi sama pernah dilakukan
oleh Partai Buruh di Irlandia dalam menghadapi diskusi dengan
86
Saalfeld, op.cit., hlm. 47.
87
Jonathan Boston dan Elizabeth McLeay, “Forming the First MMP Government:
Theory, Practice and Prospects”, dalam Jonathan Boston, Stephen Levine, Elizabeth
McLeay, dan Nigel S. Roberts, eds, 1996, From Campaign to Coalition: The 1996 MMP
Election, Palmerston North, The Dunmore Press, hlm. 222-223.
88
Jonathan Boston, dan Stephen Church, “Pre-Election Wheeling and Dealing:
The New Zealand Experience”, dalam Jonathan Boston, Stephen Levine, Elizabeth
McLeay, dan Nigel S. Roberts, eds, 1996, op.cit., hlm. 233-234.

82 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Fianna Fail tahun 1992-1993. Juga oleh Green Party dalam negosiasi
dengan SDP pada 1998. Usai pemilu 1996 di Selandia Baru, partai
baru dan juga paling kecil perolehan suaranya, New Zealand First,
mengalokasikan dana hingga 150.000 poundsterling untuk jasa
konsultasi dengan para ahli saat bernegosiasi mitra pemerintahan.
Sementara itu, di Denmark, para pegawai negeri tidak terlibat
dalam negosiasi pembentukan pemerintahan pasca pemilu. Hal
ini mengingat alokasi informasi yang tersedia setiap saat dan juga
kalangan oposisi telah berhubungan dengan para pegawai negeri
saat pelaksanaan kebijakan.89 Sebaliknya di Jerman, yang tak serupa
dengan Inggris, para birokrat senior seringkali bersifat partisan,
saat menghadapkan diri mereka kepada partai politik. Situasi ini
sempat menyulitkan saat-saat pembentukan pemerintahan koalisi,
terutama era pasca perang pada periode 1982 dan 1998, dengan
mana partai pendatang baru kesulitan memperoleh informasi yang
lebih netral. Tentu bagi SDP dan CGU tak masalah, sebab mereka
biasa menanamkan pengaruh di kalangan birokrat senior, namun
untuk partai seperti Green Party, yang tak pernah memerintah, akan
menjadi persoalan sendiri. Selandia Baru telah mengembangkan
konvensi yang mencakup hubungan antara pegawai negeri sipil dan
partai politik selama negosiasi koalisi. Pegawai negeri sipil di Selandia
Baru seperti di Inggris tapi tidak seperti di Jerman, yang sepenuhnya
tidak partisan, dan kemunculan kondisi multi partai setelah
beralih ke pemilihan di tahun 1996 menyebabkan kekhawatiran
bahwa netralitas pegawai sipil mungkin akan terancam.90 Setiap
partai memperoleh dasar negosiasi yang baik, karena tatanan

89
Eric Damgaard, “The Life and Death of Government Coalitions”, dalam Müller
dan Strøm, Editor, op.cit., hlm. 244-246.
90
Jonathan Boston, Stephen Levine, Elizabeth McLeay, Nigel S Roberts, dan
Hannah Schmidt, “The Impact of Electoral Reform on the Public Service: The New
Zealand Case”, Australian Journal of Public Administration, Vol. 57, No. 3, 1998, hlm. 70.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 83


informasi negara tersebut bahkan mengizinkan pihak oposisi dapat
memperoleh akses ke materi dan data resmi. Hal ini mengurangi
kebutuhan partai untuk memiliki akses terhadap pegawai negeri
sebagai bagian dari negosiasi pembentukan pemerintah. Seperti
disebutkan di atas, permintaan informasi dan saran resmi sangat
bergantung pada tingkat rincian dalam diskusi kebijakan. Ada
sedikit permintaan peran pegawai negeri pada tahun 1999,
ketika diskusi antara Buruh dan Aliansi berlangsung singkat dan
dipusatkan pada masalah prosedural, bukan kebijakan. Sebaliknya,
ada permintaan permintaan yang lebih tinggi pada tahun 1996,
meskipun New Zealand First, yang ingin menegosiasikan sebuah
kesepakatan kebijakan terperinci, menyalurkan permintaannya
melalui pemerintah petahana. Sebagian besar permintaan berypa
bantuan dalam penetapan proposal kebijakan.91
Masalah berikutnya adalah soal portofolio (lingkup
kementerian). Isu portofolio dibagi menjadi dua: alokasi
kementerian antara mitra koalisi, dan pilihan tokoh-tokoh tertentu
untuk menjabat di kementerian tersebut. Alokasi kementrian
disepakati oleh tim negosiasi dengan topik yang akan diajukan di
jabatan menteri senior dan junior sesuai petunjuk para pemimpin
partai. Namun, pemilihan tokoh spesifik untuk mengisi portofolio
adalah, di sebagian besar negara Eropa, tergantung pada tradisi
setiap partai. Partai-partai koalisi di Jerman mengoperasikan
hak veto yang paling formal atas nominasi menteri92, meskipun
nominasi juga menjadi subyek kesepakatan antar pihak di
Denmark.93 Perilaku seperti itu juga dilaporkan terjadi di Irlandia,
di mana pada tahun 1991 rekan junior memveto sebuah nominasi

91
Boston dan McLeay, op.cit., hlm. 227-228.
92
Saalfeld, op.cit., hlm. 47-48, 58, dan 65-66.
93
Damgaard, op.cit., hlm. 248.

84 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


menteri yang diajukan oleh pemimpin Fianna Fail. 94 Untuk
memberikan satu contoh lainnya, pembicaraan rahasia di Inggris
antara para pemimpin Partai Buruh dan Demokrat Liberal setelah
pemilihan umum 1997 tentang pembagian kekuasaan mencakup
diskusi mengenai jumlah tokoh yang mungkin memiliki portofolio
khusus. Demokrat Liberal dilaporkan menolak untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan semacam itu jika seorang menteri tertentu
mempertahankan portofolionya. Arah koalisi tergantung, bukan
hanya partai mana yang mendapatkan suara terbanyak, tapi juga
siapa yang diberi portofolio itu. Orang mungkin mengharapkan
hal ini tercermin dalam diskusi kolektif yang lebih besar antara
para pemimpin partai ketika sampai pada negosiasi portofolio.
Alokasi kementerian antara partai-partai di negara-negara Eropa
Barat telah terbukti sesuai dengan peraturan proporsionalitas, d
imana portofolio didistribusikan ke partai-partai yang proporsional
dengan perolahan suara asing-masing, yang diukur berdasarkan
kursi legislatif mereka dalam koalisi (Browne Dan Franklin, 1973;
Laver dan Schofield, 1990). Pengecualian utama mekanisme ini
adalah kompensasi berlebihan kepada mitra yunior yang sering
dilakukan agar mitra junior mempertahankan posisi mereka di
dalam koalisi dan dengan demikian menghindari kehilangan
dukungan publik.
Dalam sistem di mana jumlah kementerian tidak tetap (seperti
Denmark, Jerman dan Selandia Baru), adalah mungkin untuk
mengakomodasi tuntutan setiap partai dengan meningkatkan
jumlah portofolio yang tersedia. Strategi seperti itu kadang-kadang

94
Basil Chubb, 1992, The Government and Politics of Ireland, London, Longman,
hlm. 172-173.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 85


dilakukan di Jerman, tetapi ini jarang untuk dilakukan.95 Tetapi
di Irlandia, jumlah posisi kabinet sudah ditetapkan. Perselisihan
antar mitra koalisi di Irlandia kadang-kadang diselesaikan dengan
menciptakan jabtaan menteri muda (junior minister) dengan hak
menghadiri rapat kabinet akan tetapi tidak dapat memberikan
suara, atau dengan meningkatkan jumlah kementerian.96 Alokasi
jabatan juga mencakup pula posisi di badan-badan atau lembaga
nonkementerian lainnya.97
Kesepakatan sering digunakan oleh mitra koalisi yunior
sebagai cara mengikat partai yang lebih besar. Tidaklah biasa jika
perselisihan diselesaikan dengan memperhatikan komposisi suara,
di mana partai yang lebih besar bisa berhasil karena mengendalikan
lebih banyak kursi kabinet. Meskipun demikian, partai yang lebih
besar akan mengendalikan lebih banyak portofolio dan, pada
jabatan perdana menteri, kadang-kadang memiliki sarana untuk
mengakhiri koalisi dengan menyerukan pembubaran parlemen.
Kesepakatan koalisi tertulis dimungkinkan lahir dari kebutuhan
mengendalikan perdana menteri. Kesepakatan digunakan
oleh mitra yunior untuk membatasi perdana menteri dengan
mencegahnya menggunakan otoritas ini secara sepihak.98 (Untuk
menilai penggunaan kesepakatan koalisi, saya menggunakan

95
Helmut Norpoth, “The German Federal Republic: Coalition Government at the
Brink of Majority Rule”, dalam Eric. C. Browne dan John Dreijmanis, 1982, Government
Coalitions in Western Democracies, New York, Longman, hlm. 22.
96
John Garry, “The Demise of the Fianna Fail-Labour ‘Partnership’ Government
and the Rise of the ‘Rainbow’ Coalition”, Irish Political Studies, Vol. 10, 1995, hlm.
192-199.
97
Paul Mitchell, “Ireland: From Single Party to Coalition Rule”, dalam Müller
dan Strøm, op.cit., hlm. 143-145.
98
Kaare Kaare dan Wolfgang C . Müller, “Coalition Agreements and Governance”,
paper delivered to the Annual Meeting of the American Political Science Association,
San Francisco, 29th August-2nd September 2001, hlm. 16.

86 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


studi komparatif komprehensif terbaru dari dokumen-dokumen
ini, menganalisis kabinet di 15 negara Eropa Barat antara
tahun 1945-1999. Studi tersebut menemukan bahwa hampir
dua pertiga (65%) kabinet bersandar pada kesepakatan tertulis
formal. Jadi, selama tahun 1940an, kurang dari setengah dari
semua pemerintahan koalisi didasarkan pada kesepakatan tertulis,
sementara pada tahun 1990an, angka ini meningkat menjadi 70%.
Salah satu alasan penggunaan yang lebih besar dari kesepakatan
formal adalah meningkatnya persaingan antara partai politik dan
ketidakpercayaan bersama yang mungkin memunculkan persoalan
dalam koalisi.99 Di antara negara-negara yang menjadi obyek
kajian saya, kesepakatan koalisi banyak digunakan di Irlandia
(rata-rata 4 dari 5 pembentukan kabinet), namun tak terlampau
sering di Denmark dan Jerman (hanya 1 dari 2 kabinet). Salah
satu alasan variasi ini berkaitan dengan gentingnya pemerintahan
yang sedang terbentuk. Di negara-negara seperti Denmark, di
mana kesepakatan hanya diproduksi separuh waktu, dan Italia,
di mana mereka hampir tidak pernah menggunakan undang-
undang, status minoritas pemerintah membuat kurang bermanfaat
bagi mitra koalisi untuk menyetujui program legislatif yang jelas.
Namun, tidak semua pemerintah minoritas menganggapnya
berlebihan untuk menyetujui sebuah kesepakatan terperinci. Hak
koalisi 3 partai di Norwegia pada tahun 1997, misalnya, mencapai
kesepakatan kebijakan yang cukup panjang meskipun hanya
memiliki seperempat kursi di parlemen.
Kapan kesepakatan kemitraan dibuat dan disetujui? Mayoritas
(67%) kesepakatan koalisi setelah pemilihan, dengan 1/5 (21%)
dilakukan masa pemilihan. Hanya 7% kesepakatan yang dibuat
sebelum periode pemilihan. Beberapa koalisi (5%) menjadi subyek

Ibid.
99

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 87


kesepakatan pra-dan pasca pemilihan. Pola keterbukaan bervariasi
antar negara: hanya di Luksemburg bahwa kesepakatan selalu
dirahasiakan, sementara di Denmark dan Jerman, sekitar sepertiga
dari kesepakatan tetap tersembunyi dari tatapan publik.100

D. Sistem Kepartaian dan Pemilu


Mayoritas sistem pemerintahan di seluruh dunia mengadopsi
sistem multipartai sebagai basis demokrasi. Selama bertahun-tahun,
Lindberg melakukan riset bahwa di Afrika, pemilu menjadi pintu
pembuka untuk transisi demokrasi.101 Ia menyimpulkan bahwa
demokrasi elektoral menjadi ujian terberat di kawasan itu, dan
untuk mayoritas di seluruh dunia, justru menghasilkan situasi yang
negatif. Saat mulai melakukan studi pada tahun 2006, Linberg
mengamati dalam kurun waktu 1989 hingga 2003 yang mencakup
232 pemilu (97 pemilu presiden, 135 pemilu parlemen).
Bahkan, Bogaards ketika meneliti praktik di Afrika,
menegaskan bahwa sistem multi partai telah menghasilkan
instabilitas politik.102 Di kawasan itu, lanjut Bogaards, dari 43
negara yang menjalankan sistem multipartai, hanya 5 negara yang
berhasil melampaui transisi dengan pemilu yang dilaksanakan
secara teratur yaitu Ghana, Kenya, Madagascar, Senegal, and
Tanzania, dan kemudian 2 di antaranya mundur kembali terjebak
kepada pemerintahan otoritarian.

100
Ibid., hlm. 5.
101
Baca: S. Lindberg, “The Surprising Significance Of African Elections”, Journal
of Democracy, Vol. 17, No. 1, hlm. 139-151. Baca juga S. Lindberg, Democratization By
Elections? A Mixed Record”, Journal of Democracy Vol. 20, No. 3, hlm. 86-92.
102
M. Bogaards, “Reexamining African Elections”, Journal of Democracy, Vol. 24,
No. 4, 2013, hlm. 151-160.

88 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Di kawasan Amerika Latin, banyak rezim otoritarian
selama puluhan tahun mencoba melaksanakan pemilu yang tak
memuaskan, tetapi tak yang ada benar-benar menghantarkan
ke gerbang demokrasi. 103 Sebagai pengecualian, barangkali
hanya Meksiko dan Panama yang relatif mulus mengubah watak
pemerintahan.
Di Eropa Timur dan Asia Tengah, gelombang demokratisasi
mendorong terjadinya pemilu yang walau sekejap, mampu
mengakhiri sistem komunis.104 Fenomena transisi demokrasi mulai
marak sejalan dengan terjadinya perubahan sosial politik sekitar
dekade tahun 1980-an di Eropa Timur. Beberapa negara seperti
Hongaria, Polandia, dan Chekoslavakia berhasil menumbuhkan
semangat demokrasi dalam masyarakatnya. Pemberdayaan
demokrasi di negara tersebut didasarkan atas keinginan untuk
melepaskan diri dari kooptasi dan hegemoni negara yang terlalu
memonopoli kehidupan mereka semasa rezim komunis berkuasa.
Hal yang sama kemudian juga terjadi di negara Uni Sovyet (Rusia).
Di tengah gencarnya teknologi komunikasi, pemerintah Uni
Sovyet tidak dapat lagi menahan arus informasi dari berbagai
arah. Arus informasi itu memengaruhi masyarakat dan membentuk
opini publik yang mendewasakan cara berpikir dan meluaskan
wawasan, sehingga sebagian dari mereka menjadi terbuka untuk
mengoreksi masyarakat dan negaranya. Terjadinya perubahan itu
dibarengi dengan perubahan status kenegaraan dan kemasyarakatan
di beberapa negara di atas. Kenyataan itu terlihat pada konstitusi

103
J. Mc Coy dan J. Hartlyn, “The Relative Powerlessness Of Elections In Latin
America”, dalam S. Lindberg (Editor), 2009, Democratization by Elections: A New Mode
of Transition, Baltimore: The Johns Hopkins University Press. hlm. 53.
104
V. Bunce dan S. Wolchik, “Oppositions Versus Dictators: Explaining
Divergent Electoral Outcomes In Post-Communist Europe And Eurasia”, dalam S.
Lindberg (Editor), ibid., hlm. 246-248.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 89


mereka yang berbeda dengan konstitusi model komunis yang lama.
Konstitusi yang baru memperlihatkan adanya kesadaran untuk
memasukan konsepsi demokrasi dalam pasal-pasalnya.
Di Timur Tengah dan Afrika Utara, dengan pengecualian
sejumlah negara di kawasan Teluk, juga melaksanakan demokrasi
elektoral untuk membentuk parlemen dan memilih presiden,
namun tak ada yang bisa mendorong demokrasi.
Di Asia, efek sistem kepartaian dan pemilu terhadap
perkembangan demokrasi juga beragam.105 Tentu saja penilaian
ini menyingkirkan negara dengan satu partai seperti China, Laos,
Korea Utara, dan Vietnam. Sedikit pengecualian diberikan kepada
Myanmar dan Bhutan, yang hanya memberikan satu gelombang
pemilu untuk sistem multipartai.
Pola yang pertama adalah mendorong stabilitas demokrasi.
Pelaksanaan pemilu India, Jepang, dan Papua Nugini sedikit
memberikan sumbangan terhadap demokrasi, walaupun Jepang
adalah negara dengan pemilu yang paling bebas. India menjadi
negara yang mengalami kemerosotan pemilu sejak 1990-an. Di
Papua Nugini, kualitas demokrasi terus mengalami kemerosotan.
Jepang tidak pernah menikmati pemilu bebas dalam 3 (tiga) kali
pemilu parlementer yang digelar usai Perang Dunia II.
Pola yang kedua adalah pelaksanaan pemilu oleh rezim
otoritarian. Afganistan, Kamboja, dan Singapura, dalam standar
Barat, tak pernah dikualifikasikan sebagai negara demokrasi. Dalam

105
Kebanyakan negara-negara di Asia menjalankan demokrasi parlementer dan
umumnya pemilu dilaksanakan dalam satu putaran. Sedikit negara yang lain menjalankan
sistem semi presidensial. Dalam hal pemilu serentak, Timor Timur memberlakukan
jadwal pemilu secara ketat. Namun, manakala pemilu berlangsung tak serentak, jadwal
pemilu menjadi longgar seperti di Filipina, Korea Selatan setelah 1986, dan Taiwan
sesudah 1996.

90 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


kurun 20 tahun belakangan pemilu di Kamboja dan 50 tahun di
Singapura, transisi demokrasi tak pernah terjadi.
Negara-negara lain mengalami demokrasi yang fluktuatif:
Bangladesh, Fiji, Pakistan, Sri Lanka, serta Thailand. Riaz menilai
bahwa pemilu di Bangladesh tak sungguh-sungguh mendorong
terciptanya demokrasi dan bahkan terjebak dalam sistem “on
the verge of de facto one-party authoritarianism.”106 Sebanyak dua
negara memulai demokrasi namun berangsur-angsur mengalami
kemerosotan yaitu Malaysia dan Nepal.
Welsh melihat sistem politik di Malaysia semakin berwatak
otoritarian kompetitif dan kemudian “democratic progress through
electoral politics has effectively stalled, and cynicism about the power of
elections is likely to grow.”107 Nepal sebaliknya, di mana demokrasi
elektoral lantas dipulihkan dan kembali sebagai keluarga negara
yang menjalankan multipartai.108
Timor Timur dan Mongolia sama-sama menjanjikan. Mereka
menjalankan pemilu pertama dalam situasi rezim otoritarian akan
tetapi dalam pemilu selanjutnya semakin terdorong berwatak
demokratis. Timor Timur ditandai dengan pemilu presiden
pertama kali pada 2002, dan Mongolia menjadi demokratis sejak
pemilu parlementer digelar.109
Filipina dan Indonesia berpengalaman terus menerus
menyelenggarakan pemilu dalam sistem otoritarian. Akan tetapi,

106
A. Riaz, “Bangladesh’s Failed Election”, Journal of Democracy, Vol. 25, No.
2, 2014, hlm. 119-130.
107
B. Welsh, “Malaysia’s Elections: A Step Backward”, Journal of Democracy, Vol.
24, No. 4, 2013, hlm. 148.
108
Lihat M. Lawonta, “Reform And Resistance In Nepal”, Journal of Democracy,
Vol. 25, No. 4, 2014, hlm. 131-145.
109
S. Fish, “The Inner Asian Anomaly: Mongolia’s Democratization In Comparative
Perspective”, Communist and Post-Communist Studies, Vol. 34, No. 3, 2001, hlm. 323-338.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 91


kekuatan aksi massa (protes publik) lantas membalikkan situasi dan
bukan pemilu yang mendorong demokratisasi. Thompson dengan
meyakinkan mengatakan bahwa proses di Filipina dan Indonesia
adalah contoh sukses revolusi sosial demokratis di kawasan Asia.
Filipina tak pernah memperoleh corak pemerintahan
demokratis usai melaksanakan pemilu sebelum tahun 1986.110
Menurut Brownlee, kejatuhan rezim Marcos bukan karena
kekalahannya dalam pemilu, namun karena instabilitas politik
yang disebabkan pembelotan elit politik yang berpihak kepada
gerakan populis.111 Masa pertama pemerintahan Marcos sebagai
kepala negara (1965) sebenarnya tidaklah buruk. Terjadi perbaikan
besar dalam infrastruktur, keuangan pemerintah yang stabil,
dan kebijakan luar negeri yang aman. Karena keberhasilan yang
dicapainya, Marcos terpilih kembali untuk masa jabatan kedua
(1972).
Sayangnya, pemilihan umum yang memakan terlalu memakan
anggaran, beberapa mengatakan karena Marcos membeli suara dan
kecurangan pemilu lainnya, menyebabkan tingkat inflasi tinggi
dan devaluasi peso Filipina. Bencana alam juga melanda berbagai
wilayah silih berganti. Tuduhan nepotisme, suap, dan korupsi
segera dilemparkan ke pemerintahan. Berbagai aktivis mahasiswa
mulai menyerukan reformasi. Selain itu, Partai Komunis Filipina
kembali bangkit. Keadaan yang tidak menentu ini ditanggapi
Marcos dengan kekerasan. Demonstrasi mahasiswa dibubarkan
dengan gas air mata dan pada tahun 1972 Hukum Darurat Militer
diumumkan. Darurat Militer, yang berlangsung selama lebih dari
sembilan tahun, membuat siapa pun yang berbicara menentang
Appleton, 2001, hlm. xxx.
110

J. Brownlee, Bound To Rule: Party Institutions And Regime Trajectories In


111

Malaysia And The Philippines”, Journal of East Asian Studies, Vol. 8, No. 1, 2008, hlm.
112.

92 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


pemerintah bisa ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum.
Mahasiswa, wartawan, tersangka komunis, bahkan lawan politik
semuanya ditangkap dan ditahan. Cerita penyiksaan, pemerkosaan,
dan jenis pelecehan lain merajalela. Media dipaksa menjadi corong
pemerintah sementara pemilihan umum dipandang sebagai tidak
lebih dari lelucon.
Pada tahun 1981, Marcos mencabut Darurat Militer, sebagian
untuk mempersiapkan kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke
negara itu. Namun, hal ini dipandang sebagai sekedar ‘lip service’
oleh pihak oposisi karena tidak banyak yang berubah. Dua tahun
kemudian, lawan politik Marcos, Benigno Aquino Jr dibunuh di
landasan Bandara Internasional Manila. Dua juta warga Filipina
menunjukkan dukungan mereka dengan menghadiri upacara
pemakaman massal bagi Aquino. Pembunuhan ini banyak dilihat
menjadi katalis bagi kejatuhan rezim Marcos.
Perjuangan menentang Marcos kemudian diteruskan janda
Benigno Aquino, yaitu Ny. Maria Aquino yang lebih dikenal
dengan nama Corazon Aquino atau Cory Aquino dan Salvador
Laurel. Corazon langsung mengambil alih kepemimpinan kaum
oposisi untuk menetang Marcos. Tampilnya Corazon ke panggung
politik Filipina mendapat dukungan sebagian besar rakyat, beberapa
kalangan militer, dan kalangan gereja. Demonstrasi dari beragam
lapisan masyarakat membanjiri Manila. Aksi-aksi yang digelar para
demonstran bertujuan menumbangkan kepemimpinan Marcos
yang otoriter. Pihak keamanan tidak banyak berbuat sesuatu
untuk menindak para demonstran sehingga aksi-aksi jalanan
semakin berani dan merajalela, Untuk meredakan suhu politik
yang memanas, Marcos memutuskan akan menyelenggarakan
pemilihan umum pada 17 Februari 1986. Melalui pemilu, rakyat
bisa menjatuhkan pilihan kepada Marcos atau kepada Corazon.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 93


Pada bulan Februari 1986 hasil pemilu diumumkan yang
menyatakan Marcos sebagai pemenangnya. Pihak oposisi menolak
pengumuman pemerintah itu. Pihak oposisi menuduh pemerintah
telah melakukan kecurangan dalam perhitungan suara. Dalam
suasana saling tuduh dan merebaknya aksi demonstrasi, Presiden
Marcos mempercepat proses pengambilan sumpah dan pelantikan
dirinya sebagai presiden. Hal serupa dilakukan pula oleh Corazon
yang mendapat dukungan berbagai kalangan. Dengan demikian,
Filipina pada suatu ketika sempat mempunyai dua orang presiden.
Dalam perkembangan selanjutnya, aksi-aksi pihak oposisi
semakin bertambah berani. Kaum demonstran di jalan-jalan
banyak meneriakkan yel-yel anti-Marcos. Mereka menuntut
Marcos meletakkan jabatan dan segera meninggalkan Filipina.
Bentrokan-bentrokan dengan petugas keamanan pun tidak dapat
dihindarkan. Letusan-letusan senjata sering terdengar di sana-sini.
Akhirnya, Filipina berada dalam situasi yang mengarah kepada
perang saudara.Pada saat krisis mengancam persatuan dan kesatuan
negara, dua tokoh terkemuka Filipina menyampaikan pernyataan
yang mengejutkan banyak pihak. Kedua tokoh itu ialah Jenderal
Juan Ponce Enrile (Menteri Pertahanan dan Keamanan) dan Letjen
Fidel Ramos (Kepala Deputi Angkatan Bersenjata). Kedua tokoh
yang selama itu bungkam, kemudian menyatakan menggabungkan
diri dengan Corazon Aquino. Bergabungnya kedua perwira tinggi
itu ternyata mempercepat tersingkirnya Marcos. Presiden Amerika
Serikat Ronald Reagan mendesak Marcos menyerahkan kekuasaan
dan segera menyingkir dari Filipina. Permintaan tersebut akhirnya
diterima Marcos dengan pertimbangan supaya tidak terjadi
pertumpahan darah.
Dengan menggunakan pesawat Amerika Serikat, Marcos dan
keluarga dibawa pergi ke Guam, kemudian ke Hawaii. Akibatnya,

94 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


berakhirlah era Marcos yang telah memangku jabatan presiden
selama hampir 20 tahun. Pada 25 Februari 1986 Majelis Nasional
melantik Ny. Corazon Aquino sebagai Presiden Filipina dan
Salvador Laurel menjadi wakilnya.
Di Korea Selatan, pemilu multi partai di bawah rezim
otoritarian berlangung sebanyak 2 (dua) kali. Pertama kali adalah
tahun 1960. Namun pemerintahan sipil gagal bertahan menyusul
kudeta militer pada tahun berikutnya oleh Jenderal Park Chung-
Hee. Dengan bantuan temannya seorang Kolonel bernama Kim
Jong-Pil, Mayjen Park menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan
Yun Po-Son, pada tanggal 6 Mei 1961, yang sebenarnya sekutunya
ketika menggulingkan pemerintahan korup dan otoriter piimpinan
Syngman Rhee. Dengan cepat Jenderal Park mengonsolidasikan
kekuatannya. Tidak hanya politik, semuanya kekuatan sosial,
ekonomi dan tentu saja militer berada dalam genggamannya.
Sebagai mantan tentara, dia paham arti stabilitas, pembangunan
ekonomi maupun pertahanan negeri. Jangan lupa, setelah Perang
Korea, dia masih berhadapan dengan ancaman Korea Utara yang
didukung China.
Pada tanggal 6 Desember 1971, atas nama keamanan negara
ketika dilanda demonstrasi besar-besaran, Presiden Park menyatakan
keadaan darurat, membubarkan parlemen, dan menutup semua
universitas yang menjadi basis aksi demo. Dia juga melarang
kegiatan politik, dan pada bulan Oktober 1072 dia menerbitkan
dekrit yang terkait dengan ‘Yushin Constitution’ yang menjamin
kekuasan kediktatorannya. Berdasarkan Konstitusi ini pula lembaga
yang dibentuknya, National Unification Council, memilih dia tanpa
batas untuk menjadi presiden. Dia juga mengakui adanya parlemen,
tetapi sepertiga anggota merupakan penunjukannya. Dia telah
mengontrol parlemen. Dan dia didukung tentara, polisi, birokrat.

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 95


Pemilu yang kedua dilaksanakan pada tahun 1988.
Hingga tahun 1970an Korea Selatan diperintah oleh presiden
“bertangan besi” Park Chung-hee. Presiden Park Chung-hee
mungkin telah membawa Korea mengalami pertumbuhan
ekonomi yang menakjubkan yang dikenal dengan “perkembangan
kediktatoran”, namun dia juga menebar ketidakpuasan sosial
dengan menindas keinginan masyarakat untuk menegakkan
demokrasi, memperbesar jurang pemisah antara yang kaya dan
yang miskin, serta memperburuk pembangunan daerah yang tidak
seimbang. Pembunuhan presiden Park Chung-hee pada tanggal 26
Oktober tahun 1979 merupakan puncak dari kebencian masyarakat
terhadap pemerintahan tirani.
Kematian presiden Park dipandang sebagai suatu kesempatan
untuk menegakkan demokrasi. Harapan besar untuk menciptakan
era baru yang disebut “musim semi Seoul” bangkit, namun hanya
bertahan dalam waktu yang singkat. Pemerintahan militer yang
dipimpin jenderal Chun Doo-hwan melakukan manuver untuk
memperkuat posisi politiknya, serta mengumumkan keadaan
darurat nasional pada tanggal 17 Mei 1979. Lebih jauh lagi,
pemerintahan militer melarang semua kegiatan politik serta
menangkap lawan politiknya termasuk Kim Dae-jung yang muncul
sebagai pemimpin oposisi, dan kemudian menjadi presiden (1997-
2002). Tentara dikirim ke kampus-kampus dan kota-kota besar
untuk menindak mahasiswa yang melakukan demonstrasi yang
jumlahnya terus meningkat.
Peristiwa bentrokan berdarah antara mahasiswa dan
tentara di Gwangju pada tanggal 18 Mei 1980 akhirnya tidak
dapat dihindari. Konflik berdarah dan penindasan semena-
mena terhadap mahasiswa akhirnya memicu gerakan demokrasi
Gwangju. Kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan militer jauh

96 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dari yang diperkirakan pelaku demontrasi, sehingga mereka harus
mempersenjatai diri untuk melindungi diri mereka dari para
serdadu yang tidak mengenal belas kasihan. Kebrutalan yang
semakin meningkat menyebabkan timbulnya milisia sipil.
Akhirnya Gwangju benar-benar tertutup dari dunia luar.
Semua yang terjadi di kota itu ditutup rapat-rapat sehingga
tidak ada orang dari luar yang mengetahui apa yang sebenarnya
telah terjadi disana. Milisia sipil mengadakan perlawanan untuk
mengembalikan situasi di dalam kota, namun meraka kembali
mengalami kekalahan dalam pembataian massal yang dilakukan
oleh tentara ketika mengobrak-abrik pertahanan terakhir mereka.
Pemerintahan berikutnya menutupi gerakan demokrasi Gwangju
dengan menyebutnya sebagai kerusuhan kecil atau “insiden
Gwangju”. Bahkan jumlah korban yang pasti tidak pernah di
ketahui, walaupun perhitungan secara tidak resmi menyebutkan
ada ratusan korban meninggal dunia.
Pada bulan Juni tahun 1987, semangat Gwangju hidup
kembali dan akhirnya menyalakan demonstrasi pro demokrasi di
seluruh penjuru negeri. Para demonstran menuntut pengungkapan
kebenaran pembantaian massal Gwangju dan menghukum orang-
orang yang bertanggung jawab. Gerakan Demokrasi Gwangju
membuka era baru bagi demokrasi di Korea, dan di kenal sebagai
suatu contoh kemenangan gerakan sipil melawan tirani. Semangat
gerakan itu akan terus memberikan tenaga bagi demokrasi Korea.

E. Partai Politik dan Pengaruh Sosial Ekonomi


Para teoretikus dan pembuat kebijakan pada umumnya
sepakat mengenai peran penting yang dimainkan partai politik
dalam memberikan hubungan antara keanggotaan mereka dalam
sistem perwakilan. Selain itu, tak terbantahkan bahwa tidak

Partai Politik, Demokrasi, dan Sistem Pemerintahan 97


ada demokrasi kontemporer yang unggul tanpa partai politik.112
Meskipun demikian, partai-partai politik di seluruh dunia terus
bergumul dengan tantangan institusional dan struktural dalam
mengkompromikan legitimasi, efektifitas fungsi, dan eksistensi
mereka. Tantangan tersebut mencakup menurunnya keanggotaan,
pelembagaan yang buruk, lemahnya organisasi internal, konflik
internal, dan kinerja pemilihan yang inferior.113 Jika tantangan-
tantangan tadi tak teratasi, popularitas partai politik bisa berkurang,
yang ditandai dengan menurunnya keanggotaan, ketidakpuasan
masyarakat, dan meningkatnya identifikasi partisan.114
Perhatian terhadap perkembangan negatif tersebut telah
mendorong kebangkitan kembali inisiatif reformasi partai politik
untuk menghindari stagnasi, mendapatkan kembali legitimasi,
memperbaiki fungsi internal, dan meningkatkan eksistensi baik di
dalam maupun di luar pemerintahan. Agenda reformasi tersebut
bertujuan memperlengkapi partai politik dengan kapasitas untuk
melaksanakan fungsi yang meliputi: (i) peningkatan partisipasi
masyarakat dalam proses politik, (ii) perluasan agregasi kepentingan
politik, (iii) pelaksanaan transfer kekuasaan politik secara
demokratis, (iv) pengembangan akuntabilitas pemerintah, serta
(v) pemberian legitimasi pada sistem politik.115 Tak kurang penting
adalah perbaikan mekanisme internal partai supaya pengambilan
keputusan dapat berlangsung secara transparan dan partisipatif.

112
Teorell, 1999.
113
NIMD, 2004.
114
Hopkin, 2004.
115
Matlosa, 2005.

98 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


BAB II
SISTEM KEPARTAIAN HEGEMONIK DAN
PERUBAHAN SISTEM KEPARTAIAN

A. PENGANTAR
Kebanyakan rezim pemerintahan otoritarian memperkenalkan
institusi nominal demokrasi seperti partai politik, pemilu,
dan lembaga perwakilan. Diantara kelembagaan yang paling
mengemuka adalah hegemoni partai politik. Partai ini selalu
mendominasi perolehan suara dalam pemilu.116 Sebagai contoh
partai yang mendominasi pemerintahan adalah Institutional
Revolutionary Party (PRI) di Meksiko117, Unione Nazionale Africana
di Zimbabwe-Fronte Patriottico (ZANU PF) di Zimbabwe118, United

116
Lihat Ora John Reuter and Jennifer Gandhi, “Economic Performance and
Elite Defection from Hegemonic Parties”, British Journal of Political Science, Vol. 41,
January, 2011.
117
Berdiri pada 1929 dan hingga dekade 1990-an terus menerus menjadi partai
yang memerintah di Meksiko. Ketua Umum Partai juga menjadi Presiden Meksiko
sebanyak-banyaknya untuk 2 periode masa jabatan. Hingga awal 1980-an, kalangan
oposisi tak berdaya menghadapi kekuasaan partai yang juga memonopoli sumber daya.
Situasi mulai berubah tatkala pertengahan 1980-an partai oposisi secara serius berhasil
menata diri untuk melawan dominasi tersebut dalam kompetisi jabatan di tingkat
nasional maupun lokal.
118
Sejak tahun 1975, partai ini dipimpin oleh Robert Gabriel Mugabe dan hingga
sekarang di usia 93 tahun masih memegang jabatan sebagai Presiden Zimbabwe. Mugabe
juga pernah menjadi perdana menteri (1980-1987).

99
Malays National Organisation (UMNO) di Malaysia119, National
Democratic Party (NDP) di Mesir120, dan United Russia di Rusia.
121
Para pakar sepakat bahwa partai-partai itu mampu bertahan tak
sekedar berlindung dari kecurangan dan politik represif, namun
juga karena faktor seperti penguasaan sumber daya yang mampu
menjalankan patronase, memperbesar belanja sosial menjelang
pemilu, charisma pemimpin partai, dan manakala kalangan oposisi
tercerai berai.122
Dalam watak kepartaian hegemonik, partai mengatasi
masyarakat, pemerintah, dan oposisi. Sistem Kepartaian Hegemonik
diperkenalkan antara lain oleh La Palombara dan Weiner. Menurut
La Palombara dan Weiner, Sistem Kepartaian Hegemonik ditandai
oleh adanya sebuah partai politik atau sebuah koalisi partai yang
119
Ini merupakan persekutuan partai politik yang dikendalikan oleh Barisan
Nasional dan memerintah Malaysia sejak kemerdekaan 1957. Sebanyak 8 perdana menteri
yang pernah memerintah adalah anggota UMNO. Dalam hal ini, UMNO adalah partai
etnis Melayu dan merupakan kekuatan politik dominan di Malaysia yang multietnis.
UMNO selalu melindungi dan mempromosikan kepentingan-kepentingan politik, sosial,
budaya, agama, dan ekonomi Melayu.
120
Partai Demokratik Nasional (NDP), yang didirikan tahun 1978 oleh mendiang
Presiden Anwar Sadat, adalah partai berkuasa pada era Presiden Sadat dan Presiden
Mubarak (1981-2011). Partai ini merupakan pengganti Partai Uni Sosialis yang didirikan
mendiang Presiden Gamal Abdel Nasser. Saat itu Sadat melakukan reformasi politik
terbatas dengan menerapkan sistem multipartai. Sadat membagi kekuatan politik di
Mesir menjadi tiga kubu, yaitu kubu kanan yang membawa bendera Partai Ahrar, kubu
kiri dengan mengusung Partai Amal (kerja), dan kubu tengah dengan Partai Mesir. Partai
Mesir pimpinan Sadat kemudian diubah menjadi NDP. Sidang pengadilan administrasi
tinggi Mesir, Sabtu (16/4/2011), memvonis pembubaran Partai Demokratik Nasional
dan mengembalikan aset partai itu kepada negara.
121
Ini merupakan partai terbesar di Rusia yang hingga 2017 memiliki kursi
mayoritas DPR (Dumma) sebanyak 342 (or 76.22%) dari 450 kursi. Partai didirikan
pada Desember 2001 sebagai fusi Partai Unity dan Partai Fatherland – All Russia. Partai
ini merupakan pendukung Presiden Vladimir Putin, yang juga tak disanggah sebagai
aktor dan tokoh partai yang terkemuka.
122
Lihat Kenneth Greene, Why Dominant Parties Lose, (New York: Cambridge,
2007).

100 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


mendominasi proses politik dalam suatu negara dalam waktu yang
lama. Kemudian Wiatr lebih mengembangkan penjelasan tentang
Sistem Kepartaian Hegemonik ini dengan menyebutkan bahwa
dalam sistem itu, partai-partai politik dan organisasi-organisasi
sosial diakui keberadaanya akan tetapi peranan mereka dibuat
seminimal mungkin.123 Partai Hegemonik tidak akan membiarkan
untuk terjadinya kompetisi baik yang bersifat formal maupun yang
aktual. Partai-partai lain diadakan hanyalah sebagai partai kelas dua
dan sekedar diberi lisensi, karena mereka tidak akan diperkenankan
untuk berkompetisi yang antagonistik dan basis yang sama. Di
dalam kenyataanya, perubahan tidak hanya tidak diperkenankan,
bahkan tidak dapat dilakukan, karena kemungkinan untuk
terjadinya rotasi kekuasaan tak pernah terpikirkan.
Partai politik adalah salah satu institusi penting dlam
demokrasi modern yang mengandaikan sistem keterwakilan
(representatives). Keberadaan dan inerjanya merupakan ukuran
mutlak bagaimana demokrasi berkembang di suatu negara. Partai
politik akan mempengaruhi dan bagaimana dan kearah mana
pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu, dinegara-negara
maju, ukuran keberhasilan demokrasi secara tepat bisa dilihat dari
bagaimana partai politik menjalankan fungsinya untuk memasukan
agenda-agenda kebijakan publik yang bermanfaat tidak saja bagi
konstituen pemilihnya melainkan juga bermanfaat bagi seluruh
komponen bangsa yang ada. Maka bisa dikatakan, parpol adalah
institusi inti demokrasi.
Mencermati perwujudan jaminan bagi partisipasi politik
warga negara tak terlepas dari bagaimana kita memandang peran
partai politik sebagai instrumen dalam sistem politik sekaligus

123
https://adisuryapurba.wordpress.com/2013/11/15/kehidupan-partai-partai-
politik-di-masa-orde-baru-1971-1998/, diakses 25 Maret 2017.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 101


sebagai bagian produktif dari transisi demokrasi. Dibandingkan
dengan kelompok kepentingan dan masyarakat sipil, parpol
memainkan peranan penting yang tidak dapat digantikan oleh
organisasi lainnya. Peran penting ini mendudukkan parpol diposisi
pusat (pilical centrality) yang memiliki dua dimensi. Pertama, setelah
berhasil mengagregasikan berbagai kepentingan dan nilai yang ada
dalam masyarakat, parpol kemudian mentranspormasikannya
menjadi sebuah agenda yang adapat dijadikan platform pemilu.
Diharapkan paltform tersebut mampu menarik banyak suara
dari rakyat sehingga parpol akan mendapatkan banyak kursi di
parlement. Selanjutnya parpol harus mampu mempengaruhi
proses politik dalam legislasi dan implementasi program kebijakan
publik. Kedua, parpol adalah satu-satunya pihak yang dapat
menerjemahkan kepentingan dan nilai masyarakat ke dalam
legislasi dan kebijakan publik yang menginkat. Hal ini dapat
mereka lakukan setelah mereka mendapatklan posisi yang kuat
dalam parlemen daerah maupun nasional.
Sayangnya, fungsi ideal partai tersebut acapkali tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Partai politik seperti ada dan tiada, timbul
tenggelam, datang dan pergi. Parpol ada dan hadir sering kali hanya
pada saat menjelang hajatan demokrasi, seperti pemilihan presiden,
pemilihan anggota legislatif, atau pemilihan kepala daerah. Parpol
juga hadir dalam gegap gempita kampanye politik periodik, pada
momen-momen itu. Selebihnya seperti lenyap ditelan bumi. Atau,
muncul ketika ada anggotanya yang terjerat kasus korupsi. Di
parlemen, parpol muncul ketika anggotanya melanggar etika atau
terlibat keributan saat membahas suatu rancangan undang-undang.
Performa buruk partai politik ini seakan-akan membenarkan
anggapan bahwa selama ini partai politik hanya berfungsi sebagai
kendaraan yang digunakan untuk mencapai kepentingan pribadi.

102 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Bentuknya bisa bermacam-macam. Bagi orang yang tidak
mempunyai pekerjaan, partai politik bisa memberi profesi baru.
Bagi para pengusaha plat merah, partai politik bisa menjadi
kendaraan untuk melakukan lobi yang menguntungkan dirinya.
Bagi orang-orang yang secara hukum bermasalah, partai politik
akan menjadi pelindung politik (political shield) dari kejaran
penegakan hukum. Wajah carut marut ini juga membenarkan
kritik beberapa pengamat dan beberapa jajak pendapat yang
dilakukan belakangan ini. Partai politik seakan-akan sedang
mangalami demarketing atau pemasaran yang buruk. Proses
pemburukan partai baik dari dalam maupun kritikan dari luar
akan melemahkan kekuatan partai politik sebagai salah satu tiang
penyangga bekerjanya sistem demokrasi. Layaknya organ tubuh,
melemahnya partai politik berarti fungsinya tidak berjalan.
Secara substantif, jika partai politik melemah, demokrasi tidak
akan berjalan dengan baik. Partai politik itu seperti setir yang
menghubungkan antara kepentingan rakyat sebagai penumpang
mobil demokrasi dan pemerintah sebagai mesin demokrasi. Kalau
setir tidak berfungsi dengan baik,tidak akan mampu mengendalikan
laju mesin ke arah tujuan penumpangnya. Mesin politik akan
berjalan menuju arah yang diinginkan sendiri yang ujungnya akan
menipu penumpangnya. Jika partai politik mengalami impotensi,
jika maraknya partai politik tidak menghasilkan peningkatan taraf
kehidupan rakyat, jika tuntutan masyarakat yang semakin marak
tidak bisa dipenuhi oleh partai politik melalui wakilnya di DPR,
jika elite partai merasa nyaman dengan terus-menerus berkelahi,
kemungkinan untuk merevisi praktik demokrasi tidak tertutup.
Karena demokrasi itu memang seperti kendaraan atau alat untuk
mencapai tujuan kehidupan bersama.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 103


Dalam konteks demikian, perubahan sistem kepartain
acapkali menjadi salah satu mekanisme untuk merevisi praktik
demokrasi tersebut. Perubahan tersebut seringkali pula menjadi
ciri transisi demokrasi yang penting.

B. Hagemoni Partai Politik


Sistem partai politik hagemonik124 merupakan fenomena
lumrah di banyak sistem politik. Sistem ini dicirikan dominasi
partai politik atau koalisi partai politik yang “maintains a grip
on power through repeated victories in contested elections for the
highest offices of government.” Dominasi partai dapat berlangsung
dalam sistem pemerintahan otoritarian maupun dalam demokrasi
liberal. Perkiraan konservatif menunjukkan sebanyak 40 negara
menjalankan sistem itu, dari negara yang menjadi sasaran studi
terkemuka seperti Jepang, Malaysia, Singapura, Italia, Israel,
Swedia, Afrika Selatan, dan India, hingga yang jarang memperoleh
perhatian seperti Seychelles, Djibouti, Samoa, Liechtenstein,
Botswana, dan Namibia. Dalam beberapa kasus “some ruling
parties endure in power under electorally competitive conditions for
extremely.”125 Kemudian, “dominant party systems tend to occur at
the beginning of a period of electoral contestation and gradually evolve
into something more competitive over time.”126 Kebanyakan dari partai
yang dominan ini “enjoy electoral advantages that originate in their

124
Dalam literatur terdapat aneke istilah dengan pengertian serupa seperti
dominant party regime, dominant party system, hegemonic party regime, hegemonic party
regime, single-party regime, atau predominant party system. Lihat: Greene 2007, Friedman
dan Wong 2008, Magaloni 2006; Geddes 1999, dan Sartori, 1976.
125
Ibid., hlm. 23.
126
Ibid.

104 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


role in creating the regime, giving them a ‘first-mover advantage’ in
the party system long periods of time.”127
Dengan demikian, sistem partai politik hegemonik bertahan
walaupun harus menghadapi kompetisi dalam pemilihan umum.
Partai seperti ini bertahan walaupun terdapat perubahan komposisi
pemilih, munculnya isu-isu baru, atau bahkan saat publik tidak
puas dengan kinerja pemerintah. Misalnya, di Jepang, the Liberal
Democratic Party (LDP) tetap bertahan memerintah antara 1955
hingga 2009, dengan durasi lama atau dalam waktu antara 10 bulan
atau bahkan hanya 20 hari.128 Ia mendominasi pemerintahan pasca
perang, selamat selama perang dingin, dan tetap dipilih di tengah
kemerosotan ekonomi.129
Serupa dengan itu, sejak kemerdekaan Malaysia 1957,
UMNO mendominasi pemerintahan dan bertahan terhadap

127
Ibid., hlm. 24.
128
Lihat Scheiner, 2006, hlm. 11-13.
129
Salah satu sebabnya adalah sistem kabinet parlementer yang dianut Jepang.
Dalam sistem ini, rakyat Jepang memilih anggota parlemen dalam Pemilu. Partai yang
anggotanya paling banyak dipilih akan memenangkan Pemilu. Kemudian, partai ini
dapat mengusulkan siapa yang akan menjadi perdana menteri Jepang. Apabila perdana
menteri yang mereka pilih dirasa tidak mampu atau terlibat skandal, parlemen dapat
membubarkan diri atau mengajukan mosi tidak percaya (no-confidence motion) terhadap
perdana menteri. Setelah itu, Pemilu dapat dilakukan lagi. Mudah dan cepat memang.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 105


ancaman kerusuhan etnis130, krisis suksesi kepemimpinan, dan
juga krisis ekonomi Asia.131
Kaum intelektual telah memeriksa sistem kepartaian
hegemonik untuk 60 tahun.132 Walaupun demikian, tak ada definisi
tunggal untuk “dominasi partai politik” dalam sistem seperti itu.
Publikasi yang ilmiah memiliki keragaman dalam memberikan
pengertian dan sudut pandang.
Dalam pengantar editor, Giliomee dan Simpkins merumuskan
pengertian bahwa sistem kepartaian hegemonik “within a
framework in which at least some democratic rules or practices have
to be observed.”133 Analisis kedua pakar ini terpusat pada kenyataan
politik di negara industri selama 40 tahun terakhir, seperti Afrika
Selatan, Taiwan, Malaysia, dan Meksiko.
Sebaliknya, Friedman dan Wong memasukkan sistem
kepartaian hegemonik mencakup pula dalam negara di mana
oposisi diberangus. Ini mencakup studi terhadap negara komunis

130
Isu-isu golongan dan ras yang menyentuh emosi dan sentimen menjadi tema
utama sepanjang kampanye Pemilu 1969 yang mengakibatkan meningkatnya semangat
masyarakat Melayu dan Tionghoa di Malaysia. Selama kampanye Pemilu 1969, para
calon serta anggota-anggota partai politik, khususnya dari partai oposisi, mengangkat
soal-soal sensitif yang berkaitan dengan bahasa nasional (Bahasa Melayu), kedudukan
istimewa orang Melayu (Bumiputera) dan hak kerakyatan warga non-Melayu. Hal
ini menimbulkan sentimen rasial dan kecurigaan. Partai Perikatan (UMNO-MCA-
MIC) telah mengalami kekalahan yang telak dalam Pemilu 1969. Jumlah kursi yang
dimenangkannya dalam Dewan Rakyat (Parlemen) telah menurun dari 89 kursi pada
tahun 1964 menjadi 66 kursi pada tahun 1969. Partai Perikatan telah hilang kebanyakan
dua pertiga dalam Dewan Rakyat. Partai Gerakan, DAP dan PPP menang 25 buah kursi
dalam Dewan Rakyat sementara PAS menang 12 kursi.
131
Bilveer Singh, “Malaysia in 2008: The Elections that Broke the Tiger’s Back”,
Asian Survey Vol. 49, No. 1, hlm. 156-165.
132
Kharis Ali Templeman, 2012, The Origins And Decline Of Dominant Party
Systems: Taiwan’s Transition In Comparative Perspective, Dissertation Doctor of Philosophy
Political Science, The University of Michigan, Not Published, hlm. 30.
133
Ibid., hlm. xv.

106 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, Tiongkok, dan partai
konservatif di Korea Selatan, yang menggabungkan kekuatan
eksekutif dengan kendali rezim militer.134 Dalam konteks ini,
bahkan Brownlee berpendapat bahwa tiada perbedaan antara partai
tunggal dengan sistem hegemonik.135
Oleh sebab itu, dalam sejumlah riset mengenai sistem
kepartaian ini kemudian melestarikan 2 (dua) tradisi. Pertama,
fokus terhadap sistem kepartaian dan kemudian melakukan analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan bertahan dalam
jangka panjang sebuah partai politik. Dalam konteks ini, termaktub
pula sebuah pertanyaan penting: mengapa andaikata terdapat
pemilu yang demokratis, partai yang bersangkutan tetap bertengger
di kekuasaan? Kedua, fokus terhadap jangka waktu rezim mampu
bertahan: mengapa kekuasaan otokrat yang didukung oleh partai
pemerintah mampu bertahan, dalam kondisi bagaimana hegemoni
partai terpecahkan, dan apa konsekuensi terhadap sistem politik?
Menurut pendapat saya, syarat untuk dapat dikategorikan
“dominan” dalam sistem kepartaian hegemonik adalah sistem
multipartai. Dengan demikian, harus dibedakan antara sistem
kepartaian dengan rezim pemerintahan. Selanjutnya, sistem
multipartai tersebut diikuti dengan syarat pemilu multipartai yang
secara terus menerus berhasil mempertahankan dominasi sebuah
partai atau sebuah koalisi partai. Artinya, terdapat oposisi yang
diperkenankan mengikuti pemilu juga. Secara ringkas, dengan
konsep ini, dapat dijabarkan bahwa dominasi partai meliputi bagian
dari sistem multipartai yang membentuk sistem kepartaian dan
menentukan konfigurasi pemerintahan (rezim).

134
Ibid., hlm. 1.
135
Jason Brownlee, “Portents of Pluralism: How Hybrid Regimes Affect Democratic
Transitions”, American Journal of Political Science, Vol. 53, No. 3, hlm. 515-532.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 107


Dalam pemahaman saya, hegemoni partai dapat terjadi
dalam 2 (dua) tipe rezim: demokrasi dan otokrasi elektoral. Jadi
diskusi mengenai hegemoni partai dapat terjadi dalam demokrasi
liberal maupun nonliberal, atau kalau mengikuti istilah Sartori,
dalam sistem “hegemonic” maupun “predominant.” Namun
hegemoni partai tak terdapat dalam semua bentuk otokrasi.
Praktik di Tiongkok misalnya, di mana semua partai di luar partai
pemerintah dilarang berpartisipasi dalam pemilu, cenderung saya
sebut sebagai “sistem partai tunggal.” 136 Demikian pula, saat
partai mendominasi perolehan suara, namun tak menjadi jalan
menuju kekuasaan seperti di Iran dan Burma, maka sistem yang
terbangun tak menggambarkan sistem kepartaian. Jadi kata kunci
di sini bukanlah terpenuhi kriteria demokrasi atau nondemokratis,
namun ada tidaknya sebuah pemilu, sebagaimana digambarkan
oleh Levitsky and Way.137
Kriteria demokrasi dan nondemokrasi sulit ditemukan
tolok ukur baku dalam penilaian praktik. Sebagai contoh kasus
Zimbabwe dan Bostawana. Di kedua negara terdapat satu partai
yang terus menerus memerintah dan memenangkan pemilu sejak
kemerdekaan. Akan tetapi, orang tak memiliki penilaian yang sama
terhadap respon the Botswana Democratic Party, dengan ZANU-
PF, saat terancam kalah dalam pemilu, di mana partai terakhir
melakukan intimidasi kejam terhadap oposisi dan melakukan
manipulasi terhadap kotak suara, sebab Zimbabwe tak pernah

136
Bandingkan dengan Dan Slater dan Nicholas Smith, “The Power of
Counterrevolution: Contentious Origins of Dominant Party Durability in Asia and
Africa”, Paper presented at the APSA Annual Conference, Washington, D.C., September,
2010.
137
Steven Levitsky dan Lucan Way, “The Rise of Competitive Authoritarianism”,
Journal of Democracy, Vol. 13, No. 2, hlm. 51-65.

108 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


melakukan pemilu untuk jeda kekuasaan.138 Demikian pula dengan
kasus Taiwan dan Meksiko, saat partai petahan terus menerus
berkuasa dan tak pernah kalah, namun akibat liberalisasi politik,
tiba-tiba muncul kemungkinan oposisi meraih kekuasaan dan
dominasi partai semakin merosot.
Dalam sistem kepartaian hegemonik, sebuah partai atau
koalisi partai lantas menjadi dominan dalam sistem politik yang
bersangkutan yang dapat dikategorikan ke dalam 3 karakter sebagai
berikut.
Pertama, dominasi suara atau perolehan kursi parlemen.
Dalam hal ini, partai memperoleh suara meyakinkan dalam pemilu.
Namun demikian, di kalangan sarjana, terdapat perbedaan untuk
menentukan ambang batas perolehan suara tersebut. Pempel
menggunakan ukuran “yang penting mayoritas.”139 Sementara
Reuter mensyaratkan bahwa kemenangan itu cukup meyakinkan
untuk membentuk pemerintahan tanpa koalisi.140 Pakar yang lain
mengajukan angka pasti: 60%141, 75%142 dan ada pula yang ektrem

138
Adam Pzeworski, Michael Alvarez, Jose Cheibub, and Fernando Limongi. 2000,
Democracy and Development: Political Institutions and Material Well-Being in the World,
1950-1990, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 23-28.
139
T.J. Pempel (Editor), 1990, Uncommon Democracies: The One-Party Dominant
Regimes, Ithaca, NY: Cornell University Press.
140
Ora John Reuter, 2010, “The Origins of Dominant Parties”, Unpublished
Ph.D. dissertation, Department of Political Science, Emory University.
141
Nicholas Van de Walle dan Kimberly Butler, “Political Parties and Party Systems
in Africa’s Illiberal Democracies,” Cambridge Review of International Affairs, Vol. 13, No.
1, hlm. 25.
142
Philip Keefer, “.Database of Political Institutions: Changes and Variable
Definitions,” Development Research Group, Washington: World Bank.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 109


ketika mengatakan bahwa suara harus mencapai 100% dan diikuti
dengan menumpas habis kekuatan oposisi.143
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa watak hegemonik
memungkinkan partai tak perlu dukungan pihak lain untuk
menjalankan kewenangan saat membentuk pemerintahan,
meloloskan undang-undang, merancang dan melaksanakan
kebijakan, serta mengubah undang-undang dasar.144 Dalam
sistem parlementer, dominasi partai menunjukkan kekuatan
supra mayoritas. Dalam sistem presidensial, dominasi partai
menunjukkan kemampuan mengendalikan eksekutif dan
mengontrol suara parlemen.
Kedua, dominasi dalam jangka waktu berkuasa. Alternatif
kriteria hegemoni lainnya adalah kemampuan mengelola
kekuasaan. Soal durasi ini, para pakar juga berbeda pendapat.
Reuter mengatakan durasi harus minimal satu periode, sementara
Przeworski mensyaratkan 2 (dua) periode. Yang lain, 3 (tiga)
periode berturut145, 10 tahun146, 15-20 tahun147, 20 tahun148,
143
John Ishiyama dan John James Quinn, “African Phoenix?: Explaining the
Electoral Performance of the Formerly Dominant Parties in Africa”, Party Politics, Vol.
12, No. 3, 2006, hlm. 317-340.
144
Beatriz Magaloni, “Comparative Autocracy.” Presented at Research Frontiers
in Comparative Politics conference, Duke University, April 27-28 2006, hlm. 33-
34, mencatat bahwa kewenangan sepihak mengubah undang-undang dasar ini yang
membedakan antara sistem kepartaian hegemonik dengan sistem predominan.
145
Matthijs Bogaards, “Counting Parties and Identifying Dominant Party Systems
in Africa,” European Journal of Political Research, Vol. 43, 2, hlm. 175.
146
Brendan O’Leary, “Britain’s Japanese Question: ‘Is There a Dominant Party?’”,
dalam Helen Margetts dan Gareth Symth, (Editors), 1994, Turning Japanese: Britain with
a Permanent Party of Government, London, Lawrence & Wishart, hlm. 10.
147
Monty G. Marshall dan Keith Jaggers, 2009, “POLITY IV Project: Political
Regime Characteristics and Transitions, 1800-2007,” Dataset Users’ Manual, Center for
Systemic Peace, hlm. 80.
148
Kenneth F. Greene, 2007, Why Dominant Parties Lose: Mexico’s Democratization
in Comparative Perspective, New York, Cambridge University Press, hlm. 12.

110 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dan 30-50 tahun.149 Walaupun ambang batas durasi tidak sama,
akan tetapi semua memiliki persamaan: dalam sistem “normal”,
semestinya petahana akan kalah atau menang, cepat atau lambat.
Dalam kaitan ini, “a party’s ability to maintain unbroken control of
government reflects something more systemic than just a lucky run of
favorable electoral conditions or savvy leadership.”150
Durasi ini juga menimbulkan konsep yang ambigu mengenai
siapa yang mengendalikan atau ruang lingkup pengendalian
tersebut. Satu kelompok pakar mengatakan bahwa dominasi
itu harus dipimpin oleh sebuah partai politik151 atau dalam
sistem presidensial, ketika pemerintahan terbelah, satu partai
mengendalikan eksekutif dan mampu mengabaikan dukungan
parlemen.152 Sementara kalangan intelektual lainnya mensyaratkan
sebuah koalisi pemerintahan dan kemudian menjadi fokus
analisisnya.153
Ketiga, dominasi dalam negosiasi. Kriteria ini lazimnya bekerja
dalam sistem parlementer. Sebuah partai cukup membutukan satu
rekan koalisi untuk membentuk pemerintahan. Partai menjadi
dominan baik karena kedudukan maupun karena bobot suaranya.
Jika kaidah ini dipegang, maka sebuah partai dominan tak
harus mengendalikan sebagian besar kursi parlemen, akan tetapi
manakala relatif bebas dalam membentuk pemerintahan. Dengan
demikian, tidak selalu harus satu partai yang sama dalam setiap
149
Gary Cox, 1997, Making Votes Count: Strategic Coordination in the World’s
Electoral Systems, Cambridge, Cambridge University Press, hlm. 238.
150
Anthony J. McGann, 1999, The Modal Voter Result: Preference Distributions,
Intra-Party Competition, and Political Dominance, Unpublished Ph.D. dissertation,
Department of Political Science, Duke University, hlm. 108-109.
151
Alan Ware, 1996, Political Parties and Party Systems, Oxford, Oxford University
Press, hlm. 159.
152
Kneeth Greene, op.cit., hlm. 12.
153
Pempel, loc.cit.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 111


siklus pemilu, walaupun kecenderungan yang terjadi adalah partai
yang sama akan tetap bertahan dalam posisinya.154
Keempat, dominasi dalam menentukan agenda kebijakan.
Dalam hal ini partai menentukan program-program pemerintahan
baik karena memperoleh posisi utama dalam koalisi maupun karena
menguasa lembaga-lembaga penentu kebijakan di pemerintahan.
Menurut Pempel, hal ini terjadi ““[b]ecause of its long-standing
presence at the core of government, the dominant party carries out
what many would call a historical project, a series of interrelated
and mutually supportive public policies that give particular shape
to the national political agenda.”155 Dengan demikian, kriteria
ini mempersyaratkan sebuah partai terus menerus menguasai
pemerintahan dan berperan penting dalam merancang dan
melaksanakan kebijakan di seluruh negeri.156
Kelima, dominasi dalam mengendalikan oposisi. Kriteria
yang terakhir, ada pakar yang memasukkan kemampuan untuk
mengendalikan oposisi baik karena jangkauan ideologis maupun
karena ditarik ke sisi pemerintah. Sama halnya dengan kriteria
lain, kriteria ini dibuat transparan, misalnya hanya memberi jatah
kemenangan oposisi sebesar 33%, seperti dalam kasus Kanada
tahun 1960-an atau jika terdapat 3 (tiga) partai maka salah satu
diantaranya “diatur” supaya memperoleh minimal 40%.157 Jika
diamati secara seksama, maka nampak bahwa kriteria ini serupa
dengan kriteria pertama, dominasi melalui jumlah suara. Sebuah
partai politik diusahakan memperoleh kemengan mayoritas,

154
William Riker, 1976, “The Number of Political Parties: A Reexamination of
Duverger’s Law,” Comparative Politics, Vol. 9, No. 1, hlm. 93-106.
155
Pempel, op.cit., hlm. 4.
156
O’Leary, op.cit., hlm. 4.
157
Robert J. Jackson dan Doreen Jackson, 2009, Politics in Canada, 7th ed.
Toronto: Prentice Hall, hlm. 385.

112 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dengan selisih margin yang relatif jauh dibandingkan pesaingnya.
Dengan demikian, kalangan oposisi kecil potensinya untuk segera
menggeser pemerintah.158
Sebuah partai hagemonik memiliki kultur khas dalam
pengambilan keputusan internal. Partisipasi keanggotaan dalam
partai politik terjadi melalui proses perumusan kebijakan,
pemilihan kepemimpinan dan kandidat serta peran dalam
organ partai di semua tingkatan struktur partai.159 Semua hal
tersebut sangat bergantung pada struktur kelembagaan formal
dan informal yang dibangun dalam sistem partai politik yang
bersangkutan. Interaksi antara proses formal dan informal dalam
kaitan ini menentukan tingkat demokrasi internal dalam sebuah
partai politik. Dalam hal ini, apa yang disebut sebagai “intra-party
democracy” atau demokrasi intra-partai mengacu pada sejauh mana
partai-partai politik “membuat struktur dan proses pengambilan
keputusan dengan memberi kesempatan kepada anggota untuk
mempengaruhi pilihan yang ditawarkan partai kepada pemilih dan
pada akhirnya menentukan jenis pemerintahan yang terbentuk.”160
Demokrasi intra-partai sangat penting bagi penciptaan dan
pertumbuhan institusi demokrasi yang berfungsi dengan baik dan
berkelanjutan. Pertama, ia mendorong budaya debat demokratis
dan pertimbangan isu kritis dan oleh karena itu kepemilikan
bersama atas keputusan. Kedua, mempromosikan kesatuan partai

158
Amir Abedi dan Stephen G. Schneider, “Federalism, Parliamentary Government,
and Single-Party Dominance: An Examination of Dominant Party Regimes in Canada,
Australia, Germany, and Austria.” Paper presented at the Annual Meeting of the American
Political Science Association, Philadelphia, hlm. 3-4.
159
N.G. Wanjohi, “Sustainability of Political Parties in Kenya”, in M.A.M. Salih
(Ed), 2003, African Political Parties: Evolution, Institutionalism And Governance, Sterling,
Virginia, Pluto Press.
160
S. Scarrow, 2005, Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical
Perspectives: Implementing Intra-Party Democracy, National Democratic Institute.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 113


dengan meredam kemunculan faksi dan/atau ancaman perpecahan.
Ketiga, ia menciptakan sistem pengelolaan konflik internal secara
baik. Keempat, ia mengurangi penggunaan wewenang delegasi yang
oportunistik dan sewenang-wenang.161 Pencapaian demokrasi intra-
partai bergantung pada sejauh mana proses partisipasi keanggotaan
yang efektif ditetapkan secara formal dan diterapkan secara praktis
dalam peraturan dan prosedur organisasi partai. Bila ada penegakan
yang tidak efektif, atau tidak adanya peraturan semacam itu, partai
tersebut dapat menghadapi tantangan operasional yang signifikan
termasuk proses negosiasi dan koalisi yang terpusat, proses seleksi
kepemimpinan yang tidak inklusif, mekanisme pengelolaan
konflik yang tidak demokratis, dan konvensi partai yang tidak
konstitusional atau tidak sah. Oleh karena itu, demokrasi internal
sangat diperlukan jika partai politik harus memenuhi peran mereka
sebagai agen demokratisasi yang sah dan kredibel di masyarakat.
Banyak penelitian telah dikembangkan mengenai demokrasi
intra-partai di masyarakat barat menurut praktik di negara-negara
seperti Amerika Serikat, Swiss dan negara-negara Skandinavia.
Tentu saja, karena faktor-faktor tertentu, ada perbeadaan kalau
dikaji di kawasan lain, seperti demokrasi intra-partai di Afrika.
Sebaliknya, sistem demokrasi internal yang telah melembaga di
Swiss dengan preferensi relatif untuk demokrasi langsung dalam
bentuk referendum reguler telah dikontraskan dengan politik partai
berbasis demokratik dan berbasis kepentingan di Amerika Serikat.162
Di Afrika, terdapat riset terbatas untuk menyelidiki aspek internal

161
Josh Maiyo, 2008, Political Parties And Intra-Party Democracy In East Africa
From Representative To Participatory Democracy, Master of Philosophy in African studies
Africa Studies Centre, Leiden University, Tidak Diterbitkan, hlm. 6.
162
N. Anstead, 2008, “Internal Party Democracy in Europe and the United
States: Different Models in a Changing Environment”, Conference Paper, Political Studies
Association, 1 - 3 April 2008, Swansea University.

114 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


struktur, fungsi, dan pelembagaan partai politik pada umumnya
dan proses demokrasi internal pada khususnya. Baru belakangan
ini ada beberapa riset yang dilakukan pada aspek demokrasi intra-
partai tertentu dari perspektif kelembagaan dan pengembangan
kapasitas yang bertentangan dengan pendekatan berorientasi proses
yang memprioritaskan dan memperkuat partisipasi anggota. 163
Demikian pula, pluralisme politik cenderung disamakan dengan
kehadiran beberapa partai politik yang bersaing dalam pemilu tanpa
memperhatikan lingkungan politik di mana mereka beroperasi dan
struktur kelembagaan serta proses internal dimana partai-partai
ini menawarkan pilihan nyata kepada pemilih. Meningkatnya
kesadaran politik masyarakat di kawasan ini terutama sejak akhir
tahun 1990an telah meningkatkan jumlah pemilih dan partisipasi
dalam pemilihan, namun ini lebih merupakan cerminan dari
pemilih “faith in the electoral process as a means of changing leadership,
as opposed to faith in political parties as institutions of democracy.”164
Partai politik di kawasan Afrika adalah produk dari kondisi
historis, sosio-ekonomi, dan politik yang berbeda dibandingkan
dengan negara-negara demokrasi barat. Satu-satunya titik sejarah
yang agak paralel dengan model Eropa adalah masa pra dan pasca
kemerdekaan ketika partai politik Afrika melakukan gerakan
pembebasan massal berbasis massa yang mewujudkan sebuah
ideologi pembebasan dari pemerintahan kolonial. Partai politik yang
lahir dari pergerakan kemerdekaan, merumuskan ideologi tunggal
kekuasaan, menjadi fenomana umum di Afrika dan berhubungan
dengan keanekaragaman etnis. Mayoritas partai politik di Afrika
kurang terorganisir dan tidak memiliki kapasitas kelembagaan,

163
Josh Maiyo, op.cit., hlm. 11.
164
M. Chege, 2007, Political Parties in East Africa: Diversity in Political Party
Systems, Stockholm, IDEA.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 115


proses pengambilan keputusan mereka tidak terstruktur, dan
kekuasaan sering kali terletak di tangan pemimpin partai dan
beberapa krooni yang menyumbang uang untuk menghidupi
partai.165 Peran anggota partai menjadi minimal, biasanya untuk
mendukung keputusan yang telah dibuat oleh elit. Mobilisasi
politik mengasumsikan bentuk kultus dan loyalitas kepribadian
yang seringkali ditujukan kepada pimpinan partai dibandingkan
dengan partai sebagai institusi. Ini mendorong politik “perpisahan
partai” (party hopping) di mana ketidaksepakatan kepemimpinan
dapat menyebabkan satu pemimpin melompat dari satu partai ke
partai yang lainnya dengan membawa gerbong pendukung. Contoh
ekstrem yang lain misalnya terdapat partai yang terorganisasi
dengan baik, sangat terpusat, dan terstruktur yang telah berkuasa
sejak kemerdekaan seperti CCM (Chama Cha Mapinduzi) di
Tanzania. Sentralisasi kemudian menghilangkan kekuatan
pengambilan keputusan dari organ dan cabang di tingkat lokal
dan mengkonsentrasikannya pada kelompok inti oligarki partai
seperti Komite Pusat CCM.166 Di Afrika khususnya, perdebatan
pilihan prioritas antara demokrasi dan pembangunan menjadi
lebih penting. Beberapa pemimpin Afrika seperti mantan presiden
Kenya, Daniel Arap Moi, telah mengajukan argumen serupa
untuk menjelaskan preferensi mereka terhadap peraturan partai
tunggal.167 Presiden Uganda Yoweri Museveni memberlakukan
banyak larangan dalam kegiatan partai politik dengan alasan
bahwa partai politik mengembangkan konflik di negara-negara
yang sedang berkembang; otoriter, menjauhkan elit perkotaan
dengan masyarakat kecil; korup; tidak memiliki kebijakan yang

165
Wanjohi, loc.cit.
166
Mayo, op.cit., hlm. 28.
167
Ibid.

116 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


jelas; minim dukungan kelas menengah; dimanipulasi oleh aktor
eksternal untuk mencapai kepentingan neo-kolonial (proxy); atau
sesungguhnya terdapat sistem lain yang lebih demokratis daripada
sistem multipartai.168 Meskipun beberapa dari atribut ini mungkin
berlaku untuk beberapa partai politik di beberapa negara Afrika,
namun tidak demikian halnya dengan karakter partai yang akurat di
seluruh benua.169 Bisa diperdebatkan bahwa partai politik mungkin
bukan penyebabnya, melainkan refleksi dari perpecahan sosial yang
sudah ada sebelumnya dan larangan atau pembatasan aktivitas
partai politik mungkin bukan solusi untuk masalah ini. Kontra
secara intuitif, partai politik yang efektif dan berfungsi dengan
baik dapat berfungsi sebagai katup pengaman sehingga ketegangan
dan frustrasi sosial dapat disalurkan melalui cara-cara damai. Partai
politik yang menjamin tingkat partisipasi keanggotaan secara efektif
dan transparan dalam mempertimbangkan kebijakan, pemilihan
kepemimpinan, dan pengambilan keputusan secara keseluruhan
dapat memberikan jalan bagi kohesi sosial, meminimalkan
kemungkinan konflik terbuka, dan memfasilitasi penyelesaian
konflik secara damai.

C. Durasi Kekuasaan
Dari uraian di atas nampak bahwa terdapat minimal 6 (enam)
kriteria untuk menetapkan watak hegemonik partai. Menurut saya,
keenam kriteria itu tidak satupun memiliki definisi tunggal. Dalam
literatur biasanya tercakup 2 atau 3 kriteria saja, namun demikian
indikator yang ditampilkan acapkali tidak sama.

168
J. Okuku, 2002, Ethnicity, State Power and the Democratisation Process in
Uganda.
169
Mc Mahon, 2004.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 117


Menurut saya, diantara keenam kriteria tadi, maka kriteria
“durasi kekuasaan” adalah yang paling unik. Kriteria ini
berhubungan dengan pengorganisasian partai politik, sistem
kepartaian, dan derajat kompetitif pemilu. Dalam pelacakan yang
paling konvensional, sifat kompetitif pemilu dilahirkan manakala
partai pemerintah terjungkal dari kekuasaan.
Kriteria lain tidak menggambarkan sistem kepartaian secara
utuh. Dominasi perolehan suara sudah memperoleh perhatian
setidak-tidaknya sejak ditulis oleh Duverger.170 Publikasi ini
menguntungkan sebab menggambarkan sistem kepartaian yang
dipertajam dengan kompetisi pemilu yang berangkat dari ruang
sosial yang tidak sama bagi setiap negara, sehingga tidak ada keragu-
raguan untuk menganalisis dominasi partai dalam kursi legislatif
seperti dalam kasus Inggris. Dominasi partai di lembaga perwakilan
mencerminkan 3 (tiga) hal yaitu perolehan kursi dari setiap distrik,
perolehan suara setiap partai, dan konversi dari kedua hal tersebut.
Namun dalam analisis yang lebih kritis, dominasi partai
politik dalam perolehan suara acapkali mengaburkan partai
politik mana yang sesungguhnya memperoleh kemenangan
dalam pemilu. Kita dapat melihat kasus di Inggris atas dominasi
Partai Konservatif (1979-1997)171 dan sesudah 1997 oleh Partai
Buruh.172 Fakta bahwa Partai Buruh mengendalikan mayoritas
legislatif dengan dukungan 63% (418 kursi dari 635 kursi) walau
hanya memperoleh dukungan suara 43% dapat dijelaskan dengan
penggunaan sistem pluralitas dalam keterwakilan tunggal setiap
distrik. Kriteria ini cukup mengaburkan mengingat kemenangan
170
Maurice Duverger, 1954, Political Parties, Their Organization and Activity in
the Modern State, London: Meuthen.
171
Hellen Margetts dan Gareth Smyth (Editors), 1994, Turning Japanese: Britain
with a Permanent Party of Government. London: Lawrence and Wishart.
172
Matthijs Bogaards dan Francoise Boucek, op.cit., hlm. 2.

118 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


partai tidak berhasil mendominasi parlemen dalam pemilu 4 tahun
sebelum pemilu 1997 digelar.
Situasi ekstrem terjadi di Jamaica. Pada pemilu 1976, the
Jamaican Labour Party (JLP) hanya memperoleh 22% kursi
parlemen (13 dari 60 kursi)) dengan dukungan 41% suara pemilih,
sementara itu the People’s National Party (PNP) memperoleh 47
kursi (78%) hanya dengan 57% suara pemilih. Situasi berbalik 4
tahun berikutnya, JLP mendapatkan 51 kursi (59% suara) dan
PNP 9 kursi (41% suara).
Dengan memperhatikan kasus-kasus tersebut, bagi saya
durasi kekuasaan menjadi lebih rasional dibandingkan perolehan
kursi parlemen dalam menentukan watak dominasi partai. Hal ini
karena, “there is a common mismatch between the conceptualization
of a dominant party as one that ‘rules for a long time; and its
operationalization as one that ‘controls most of the seats.”173
Dominasi partai politik dalam kekuasaan seperti Zimbabwe,
acapkali diindentifikasi sebagai partai yang berperan sejak
pembentukan negara dan melimpahnya sumber keuangan yang
dimilikinya. Namun dalam praktik, terdapat contoh di mana
kedua hal itu tidak melekat pada partai namun mampu menduduki
eksekutif dalam jangka waktu yang lama. Kemampuan Partai
Liberal (Kanada, 1935-1957), Sosial Demokrat (Swedia, 1936-
1976), koalisi Partai Liberal (Australia, 1949-1972), dan Kristen
Demokrat (Luksemburg, 1979-sekarang) mengkonfirmasikan hal
tersebut.

Jean-Francois Caulier dan Patrick “Measuring One-Party Dominance with


173

Power Indices”, Dalam Mattijs Bogaards and Francoise Boucek (Editors), 2010,
Dominant Political Parties and Democracy: Concepts, Measures, Cases and Comparisons,
New York: Routledge, hlm. 45-59.

Sistem Kepartaian Hegemonik dan Perubahan Sistem Kepartaian 119


BAB III
MEKSIKO DAN PERUBAHAN
HEGEMONI PARTAI POLITIK

A. PENGANTAR
Tak ada proses transisi demokrasi yang berlarut-larut
seperti halnya di Meksiko. Kritik terhadap sistem kepartaian
yang hegemonik sesungguhnya sudah dilancarkan sejak gerakan
mahasiswa tahun 1968 dan kemudian ditanggapi dengan represif.
Sesudah peristiwa itu, partai oposisi kecil mulai dikenal dan
kemudian bahkan menguasai politik lokal sejak 1980-an.
Akar sistem kepartaian di Meksiko barangkali bisa dirujuk
sejak masa sebelum 1930an. Akan tetapi, sesungguhnya sistem
kepartaian terbentuk baru belasan tahun belakangan. Pada tahun
1929 dibentuk PRI, disusul PAN pada 1930, dan yang terbentuk
belakangan adalah PRD. Wajah kepartaian memang menunjukkan
keberadaan lebih dari satu partai, tetapi sesungguhnya hanya
mencerminkan representasi di tingkat nasional. Diantara partai itu,
hanya PRI yang memiliki dukungan relatif merata di seluruh negeri.
Sistem kepartaian di Meksiko menggambarkan situasi sebagai “the
control of both the executive and legislative powers continuously by
one single party for at least 20 years, or else four consecutive elections.”174

174
Kenneth F. Greene, 2007, Why Dominant Parties Lose: Mexico’s Democratization
in Comparative Perspective, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 12.

121
Sebelum tahun 1988, PRI tak pernah sekalipun kehilangan
kursi presiden, gubernur, maupun senator federal. Partai ini selalu
memperoleh 98% kursi DPR. Kandidat oposisi tak pernah muncul
dan jarang memperoleh kemenangan di tingkat kota sekalipun. Para
intelektual antara 1960-an hingga 1970-an cenderung menyebut
sistem kepartaian Meksiko sebagai “hegemonic party system” untuk
membedakan sistem partai tunggal di negara komunis, mengingat
partai oposisi diperkenankan hadir dalam kompetisi.
Hegemoni PRI berakar dari sejarah peran di masa revolusi.
Partai mengusung reformasi agraria, memperhatikan hak-hak
pekerja, dan mengusahakan pembangunan ekonomi secara
menyeluruh. Partai menyediakan saluran korporatis untuk
mengkooptasikan buruh dan tani, sembari royal memberikan
imbalan finansial bagi organisasi-organisasi terafiliasi. 175
Kemampuan PRI merebut jabatan-jabatan eksekutif di semua
tingkatan pemerintahan mempermudah akses terhadap sumber
daya berkedok intervensi pemerintah dalam sektor ekonomi.
Sebaliknya, kalangan oposisi tidak mampu menantang PRI
mengingat mereka tak punya sumber daya memadai sebagai
imbalan bagi para pendukung-pendukungnya. Prestasi PRI
semacam ini bertahan, walaupun pemilu berlangsung di tengah
krisis ekonomi dan ketidakpuasan publik atas kinerja pemerintah
pada 1980-an hingga 1990-an, sehingga melampaui kalangan
oposisi disebabkan oleh 3 hal.
Pertama, ketimpangan akses dana antara partai pemerintah
dengan oposisi. Akses ini disebabkan karena (i) ketersediaan dana
dari anggaran publik; (ii) bertahannya elit PRI di pemerintahan
federal dan lokal; serta (iii) ketimpangan kapasitas birokrasi dan

Hernández Rodríguez, 1998, hlm. 74.


175

122 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


memudarnya independensi penyelenggara pemilu. 176 Kedua,
berlangsungnya patronase selektif untuk mempengaruhi kalangan
oposisi atau ketika cara ini gagal, kemudian menjalankan sistem
represif secara terbatas.177 Ketiga, kendali pemerintah yang dominan
dalam administrasi pemilu.178

B. Pemilu yang Kompetitif


Munculnya pemilu yang kompetitif tak dapat dilepaskan
keberhasilan modernisasi ekonomi sejak usai Perang Dunia II.
Keberhasilan yang diperoleh dari kinerja pemerintah sejak 1960-an
hingga pertengahan 1980-an, mendorong memudarnya hegemoni
kepartaian. 179 Kepudaran itu semakin kencang pada akhir 1980-
an hingga 1990-an. Terlepas efek modernasi itu, nampaknya
percepatan perubahan itu juga dipengaruhi reformasi sistem pemilu
sebagai hasil negosiasi PRI dengan kalangan oposisi.180 Dengan
berlangsung dalam situasi krisis ekonomi tahun 1980-an yang
dituding sebagai ekses kebijakan PRI, maka dampak terhadap
dominasi partai penguasa menjadi semakin terasa.181 Sekilas ini
176
Joseph L. Klesner, “Electoral Competition and the New Party System in
Mexico”, Latin American Politics & Society, Vol. 47, No. 2, 2005.
177
Lihat Greene,loc.cit.
178
Juan Molinar, “Changing the Balance of Power in a Hegemonic Party System:
The Case of Mexico”, dalam Arend Lijphart dan Carlos H. Waisman [Editors], 1996,
Institutional Design in New Democracies: Eastern Europe and Latin America, Boulder,
CO: Westview.
179
Diskusi yang menarik soal ini, lihat Joseph L. Klesner, Joseph L. (1987),
“Changing Patterns of Electoral Participation and Official Party Support in Mexico”,
dalam Judith Gentleman [comp.], 1987, Mexican Politics in Transition, Boulder, CO:
Westview.
180
Oniel Francisco Díaz-Jiménez dan Igor Vivero-Ávila, “The Dimensions Of
Competition In The Mexican Party System (1979-2012)”, Convergencia, Vol. 68, 2015,
hlm. 4.
181
Ibid.

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 123


menjadi kelaziman partai penguasa yang tergerus karena legitimasi
kebijakannya memudar, walaupun untuk kasus Meksiko, seperti
diuraikan sebelumnya, tetap saja PRI memperoleh dukungan suara
tinggi untuk pemilu di akhir 1980-an hingga awal 1990-an. 182
Sebuah alternatif penjelasan lain barangkali erat kaitannya
dengan kinerja partai oposisi. Langkah liberalisasi ekonomi
yang dirancang mengatasi krisis lantas menyumbang sokongan
delegitimasi PRI. Sampai akhir 1980-an, PRI masih menikmati
akses terhadap dana-dana publik dan ini tergerus dengan
cepat akibat reformasi ekonomi. Privatisasi perusahaan negara
menyumbang kemacetan sumber-sumber dana partai dan sekaligus
juga mempersempit manuver untuk membangun patronage dengan
oposisi. Sayangnya, dalam situasi demikian, publik masih saja
enggan menerima kehadiran peran partai oposisi. Bukan saja karena
kelembagaan struktur dominan yang sudah mengakar demikian
lama, akan tetapi juga karena kecemasan terhadap kemampuan
oposisi untuk mengelola hasil elektoral.
Suatu ancaman terhadap hegemoni PRI mulai muncul saat
pemilu presidensial digelar pada 1988. Saat itu, Cuauhtémoc
Cárdenas, yang diajukan oleh the National Democratic Front (Frente
Democrático Nacional, or FDN), yang memunculkan spekulasi
kelangsungan FRI di masa depan. Namun demikian, usai kompetisi
sengit pada 1988, PRI kembali mengendalikan elektoral pada 1991
dan sejak saat itu gambaran untuk menggusur dominasinya lenyap
tak berbekas.
Sesudah krisis ekonomi 1980-an, tak banyak partai oposisi
yang mengemuka kecuali PAN, yang cenderung berideologi kanan

Diskusi lebih lanjut, baca Beatriz Magaloni, 2006, Voting for Autocracy:
182

Hegemonic Party Survival and its Demise in Mexico, Cambridge: Cambridge University
Press.

124 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


tengah, serta the Party of the Democratic Revolution (Partido de la
Revolució Democrática, or PRD) yang beraliran kiri. Pada masa itu
tak satu pun gubernur dipegang oleh kalangan oposisi, namun
hingga 1990-an, oposisi berhasil menempatkan Walikota di wilayah
yang berpenduduk padat. Pada 1997, PRI masih mengendalikan
DPR, walau dibayang-bayangi oleh PAN dan PRD, dan 2 partai
oposisi kecil lainnya. Puncaknya, PRI tersingkir ketika Vincet Fox,
kandidat PAN, merebut jabatan Presiden pada 2000.
Modernisasi ekonomi nampaknya memberikan dampak
negatif, termasuk mengikis perolehan suara PRI rata-rata 2% dalam
kompetisi di tingkat federal.183 Partai oposisi terutama memperoleh
dukungan di kawasan perkotaan dan kawasan industri di mana
penduduknya relatif memperoleh pendidikan dan akses media
lebih baik.184 Di kawasan pedesaan, di mana partai oposisi tak
terang-terangan menampakkan diri, perolehan suara PRI kadang-
kadang melampaui daftar pemilih. Suara demikian besar diperoleh
sebagai imbalan distribusi tanah atau tekanan para kepala desa, tak
pernah diperoleh pasti, mengingat media massa jarang menyentuh
kawasan pedesaan dibandingkan kawasan perkotaan. Sekalipun
korupsi dan kecurangan pemilu diumbar, tetap saja PRI mampu
mempertahankan dominasinya karena sepanjang dekade 1940-an
hingga 1970-an pemerintah mampu menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang menggembirakan. Sementara itu, kalangan oposisi
tak pernah sungguh menawarkan alternatif kebijakan atau memiliki
figur pengganti yang potensial.
Di tingkat perwakilan nasional, Meksiko mencirikan
penampilan 3 (tiga) partai, namun di tingkat lokal, bisa didominasi

Joseph L. Klesner, op.cit., hlm. 7.


183

Joseph L. Klesner, “Modernization, Economic Crisis, and Electoral Alignment


184

in Mexico”, Mexican Studies/Estudios Mexicanos, Vol. 9, No. 2, 1993, hlm. 187-223.

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 125


salah satu diantara partai-partai itu, yaitu antara PRI dengan salah
satu partai politik lainnya. Kondisi ini semakin tajam sejak 1997.
Kemampuan oposisi untuk mengubah konfigurasi politik
relatif mengejutkan bagi kalangan intelektual dan jurnalis. Saat
kekalahan oposisi dalam pemilu 1988, sampai pertengahan 1990-
an para pengamat cenderung menyebut kemungkinan lebih lama
lagi bagi hegemoni PRI. 185 Namun usai pemilu 1997, kondisi
mulai merubah dan para intelektual meyakini bahwa saat itulah
berlangsungnya pemilu paling demokratis sepanjang sejarah
Meksiko. 186 Oposisi dinilai tidak hanya menjadi pilihan alternatif,
akan tetapi diyakini menjadi aktor potensial untuk mendorong
demokratisasi.
Melalui pemilu 1997, oposisi berhasil mempengaruhi
komposisi DPR federal, Senat, Kepala Pemerintahan Federal
(‘kepala negara di tingkat negara bagian’), 6 (enam) gubernur negara
bagian, dan ratusan kepala pemerintahan lokal lainnya. Namun
demikian, yang paling meyakinkan adalah upaya mengendalikan
Kepala Pemerintahan Federal, yang saat itu artinya menjangkau
7,2 juta pemilih, dibandingkan daftar pemilih di tingkat negara
bagian yang mencapai 8,9 juta.
Sinar oposisi mencuat dengan kegemilangan Cuauhtémoc
Cárdenas, ketua PRD yang sekaligus aktivis kiri sejak 1980-an,
yang mana partai yang dipimpinnya berhasil mengemuka dengan
mengendalikan suara di tingkat federal sekaligus menempatkannya
sebagai kekuatan politik terbesar kedua di Meksiko. Kemenengan
Cardenas menandakan kebangkitan politisi kiri dan sekaligus
revitalisasi partai yang terjungkal sejak pemilihan presiden 1994.
Ketika itu PRD meraih suara 16,59%, kalah telak dibandingkan

Davis and Coleman, 1994.


185

Mainwaring, 1999.
186

126 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


PRI dan PRD, yang masing-masing meraih 48% dan 25%. Dengan
demikian, berjauhan dengan analisis kaum intelektual waktu itu,
PRD tak jatuh dalam kubang kehancuran setelah pemilu 1997.
Politisi kiri menjadi kekuatan penentu sekaligus penanda paling
kentara bangkitnya demokratisasi di Meksiko.
Sesudah pemilu 1997, kalangan oposisi semakin mencuat
ketika berhasil merebut jabatan gubernur pada pemilu di tahun
berikutnya. Dalam hal ini, PRD menggeser PRI untuk jabatan
gubernur di Zacatecas dan Tlaxcala (1998) dan Baja California
Sur (1999). Sementara itu, PAN bertengger di eksekutif negara
bagian Querétaro dan Nuevo León (1997), Aguascalientes (1998),
kemudian Guanajuato, Jalisco, serta Morelos (2000). Setelah itu,
koalisi PAN dan PRD berhasil memenagkan pemilu gubernur di
Nayarit (1999) dan Chiapas (2000).
Puncaknya, PRI menyerah kalah dalam pemilu Presiden tahun
2000. Kandidat PAN, Vincent Fox, yang secara telak menekuk
Francisco Labastida (kandidat PRI) dan Cuauhtémoc Cárdenas
(kandidiat PRD) dengan perolehan suara 42%. Kemenangan Fox
secara politik menandai konfigurasi politik baru yang memperluas
kritik terhadap hagemoni PRI. 187 Kebangkitan oposisi tidak lagi
karena loyalitas kepada ideologi atau program, namun kemampuan
dalam membangkitkan sentiment anti PRI. 188 Tak pelak, tahun
2000 untuk pertama kali oposisi merebut jabatan kepresidenan
dan juga mampu mengurangi kendali PRI di DPR.
Pengembangan kekuatan oposisi Meksiko menempuh
jalan terjal. Pada tahun 1968, muncul aksi massa dan gerakan
mahasiswa yang menuntut demokratisasi dan perlindungan hak-
hak sipil. Situasi terus memburuk memasuki dekade 1970-an,

Schedler, 2000, hlm. 5-7


187

Magaloni and Poiré, 18-19.


188

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 127


hingga Presiden José López Portillo (1976-1982), pada 1977
menyerah kepada tuntutan untuk melaksanakan reformasi pemilu.
Walaupun demikian, pembaruan itu tidak disertai mekanisme
untuk menggunting dominasi PRI di DPR.189
Namun demikian, kebijakan pembangunan yang
dilaksanakan sejak akhir 1930-an, berdampak buruk terhadap
pemerintah. Sesudah jebakan krisis hutang pada 1982, pemerintah
mulai menjalankan ekonomi pasar dan kebijakan neoliberal.
190
devaluasi mata uang pada 1988 dan 1994 memperburuk
keadaan.191 Keterpurukan ekonomi berimbas kepada stabilitas
politik. Kecurangan pemilu pada akhir 1980an menyeruak dan
menimbulkan protes meluas di seluruh negeri. 192 Kebijakan
pemerintah yang menandatangani perjanjian pasar bebas dengan
Kanada dan Amerika Serikat meningkatkan protes dalam negeri.
Akhirnya, pada 1986, PRI bersedia menerima kenyataan dengan
mengundang 5 (lima) partai oposisi terkemuka dan aturan yang
memungkinkan lenyapnya hegemoni PRI.193 Reformasi pemilu
yang dilaksanakan untuk kompetisi 1989-90, 1993, 1994,
dan 1996 berhasil meningkatkan iklim kompetisi pemilu dan
mendorong demokratisasi.

C. Pengaruh Ideologi dan Strategi


Sistem kepartaian di Meksiko memberi gambaran bahwa
ada 1 partai politik yang mendominasi perwakilan di tingkat
189
Becerra et al., 21-22 Ricardo Becerra, Pedro Salazar, dan Jose Woldenberg, 2005,
The Mechanism of Political Competition in Mexico, Mexico City, Cal y Arena, hlm. 22.
190
Edwar L. Gibson, “The Populist Road to Market Reform: Policy and Electoral
Coalitions in Mexico and Argentina”, World Politics, Vol. 49, No. 3, 1997, hlm. 339-342.
191
Ricardo Becerra, Pedro Salazar, dan Jose Woldenberg, op.cit., hlm. 59.
192
Ibid., hlm. 64.
193
Ibid., hlm. 97-99.

128 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


nasional, namun 2 (dua) partai lainnya mempengaruhi komposisi
pemerintahan di tingkat lokal. Penguasaan tingkat lokal ini
memberikan peluang kepada partai-partai tersebut untuk
mengesampingkan faktor ideologis. Dalam hal ini, PAN dan PRD
benar-benar telah menjauh dari ideologi partai, yang cenderung
beraliran kiri dan fokus kepada iso sosial ekonomi, pada saat
didirikan dan ini mempengaruhi ketertarikan para pemilih.
Sebagai konsekuensinya, kedua partai ini menjadi pelampiasan
aneka ragam kepentingan pemilih yang enggan dengan jargon-
jargon ideologis PRI. Hal ini memicu konflik internal di tubuh
PRI yang terutama mencuat sejak akhir 1990-an untuk mencari
strategi pemenengan yang tepat. Baiklah, kita akan memeriksa
bagaimanakah konfigurasi PAN dan PRD yang mampu menjadi
lawan tanding tangguh yang menentang dominasi PRI tersebut.

1. PAN
Partai PAN didirikan oleh sekelompok aktivis Katolik,
pengusaha, dan kalangan profesional yang keberatan terhadap
kebijakan pemerintah yang mendorong hapusnya hak-hak ekslusif
gereja, termasuk kesempatan untuk menyekolahkan anak-anak ke
sekolah paroki ketika negara bergerak menjadi berhaluan kiri di
bawah Presiden ke-49, Lázaro Cárdenas (1934-1940).
Selama memegang tampuk kekuasaan, Cardenas, yang hingga
kini dijuluki “the perfect politician”, mengusung ideologis sosialis
dengan menaruh perhatian terhadap layanan kesehatan, kalangan
pribumi, infrastruktur, dan redistribusi tanah. Tentu saja yang
paling banyak dikenang adalah keberanian melakukan nasionalisasi
terhadap industri minyak yang dikendalikan oleh Inggris dan
Amerika Serikat pada tahun 1938. Nasionalisasi dilakukan dengan
dalih ketentuan Pasal 27 Konstitusi 1917, yang menempatkan

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 129


rakyat sebagai penguasa utama sumber daya alam. Kebijakan kiri
Cardenas menyebabkan Meksiko terperosok ke dalam perangkap
utang yang cukup besar, akan tetapi rakyat dengan kesadaran
sendiri lantas menyumbang kekayaan mereka (perhiasan, ternak)
untuk membiayai utang tersebut. Ini adalah tindakan patriotik yang
luar biasa, mengingat monopoli industri minyak sudah berlangsung
sejak pemerintahan dictator Porfirio Diaz, yang berkuasa selama
30 tahun sejak 1911.
Reformasi agrarian sendiri diusung Cardenas diusung sejak
1931, saat ia menjadi Gubernur Michoacan, yang sekaligus
kemudian berhadapan dengan pengaruh gereja Katolik.
Sesungguhnya, memudarnya pengaruh gereja di sektor publik
sudah terasa sejak amandemen konstitusi yang dirancang oleh
Presiden Plutarcho Elias Calles tahun 1926. Kebijakan ini telah
memicu radikalisme agama. Cardenas sendiri lantas secara
sistematik merancang kebijakan pendidikan yang bersifat sekuler.
Partai PAN, yang lantas dikenal sebagai partai berhaluan
konservatif, sejak 1939 menempatkan dirinya sebagai oposisi
hingga mampu merebut kursi kepresidenan pada tahun 2000.
Kesempatan berperan lebih sgnifikan terutama dipicu oleh
kebijakan Presiden Lopez Partillo yang menasionalisasi bank pada
tahun 1982 dan memunculkan krisis ekonomi pada dekade 1980-
an. Kalangan pengusaha dan kelas menengah tidak menyukai
kebijakan PRI yang dianggap congkak dan terlalu kiri tersebut.194
Basisi pendukugn PAN sendiri umumnya pemilih yang berasal dari
kawasan di bagian utara Meksiko.
Tudingan kecurangan pemilu oleh PRI pada pemilu 1985
dan 1986, memicu PAN untuk menggalang aksi pemogokan

194
Lihat Yemile Mizrahi, “Rebels Without a Cause? The Politics of Entrepreneurs
in Chihuahua”, Journal of Latin American Studies, Vol. 26, No. 1, 1994, hlm. 137-158.

130 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


massal dan protes, sesuatu yang benar-benar baru dalam agenda
aksi partai sejak didirikan.195 Intervensi ekonomi oleh negara
yang dianggap terlalu besar memicu bergabungnya kalangan kelas
pengusaha dan kelas menengah pada 1980-an memperkuat posisi
PAN. Sejak saat itu, pelan-pelan ideologi partai mulai memudar
hanya dalam 20 tahun sejak didirikan. Kebijakan Presiden Carlos
Salinas de Gortari (berkuasa 1988-1994) yang berkompromi
dengan PAN mendorong kesadaran partai untuk lebih berperan
dalam pemerintahan.
Kompromi itu lantas memberi keuntungan bagi PAN dan
Salinas.196 Untuk pertama kali, PAN merebut jabatan gubernur
di Baja California dan Chihuahua masing-masing pada 1989 dan
1992. Menyusul terkuaknya kecurangan pemilu di Guanajuato
dan San Luis Potosí pada tahun 1991, Salinas memaksa mundur
kandidat PRI dan segera menunjuk kader PAN untuk mengisi
jabatan tersebut. Kemenangan PAN mengkonfirmasi keseriusan
Salinas untuk meperlunak hagemoni partai. Bahkan, sesudah
Presiden Ernesto Zedillo (1994-2000) menduduki jabatan, PAN
segera memperoleh kemenangan kursi gubernur di Calisco,
Guanajuato, Querétaro, Nuevo León, dan Aguascalientes serta
sejumlah kota penting lainnya.
Pada masa itu, sejak Salinas hingga Zedillo, kebijakan
ekonomi liberal konsisten dijalankan, sesuatu yang membuat
PAN nyaman dengan kekuasaan. Kerjasama itu memperkuat
posisi PAN. Bahkan, studi terhadap perilaku anggota DPR terbaru
menunjukkan sesungguhnya ideologi PAN dan PRI lambat laun

195
Juan Molinar Horcasitas, ““The Future of the Electoral System” dalam Wayne A.
Cornelius, Judith Gentleman, Peter H. Smith (editors), 1989, Mexico’s Alternative Political
Futures, La Jolla: Center for U.S.Mexican Studies, University of California at San Diego.
196
Stephen D. Morris, 1995, Political Reformism in Mexico: An Overview of
Contemporary Mexican Politics, Boulder: Lynne Rienner, hlm. 90.

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 131


telah seiring dan sejalan.197 Situasi ini mendorong PAN untuk
mempercayai demokrasi dan habis-habisan memperjuangkan
sebuah undang-undang yang dibahas di parlemen. Diantara
kemesraan PAN terhadap kekuasaan nampak ketika partai ini
mendukung referendum untuk melanjutkan petahana PRI, sembari
menyerukan kesetaraan demokrasi.
Di tingkat lokal, PAN mengusung pemerintahan yang
amanah, di tengah tudingan korupsi, kroniisme dan salah kelola
pemerintahan oleh kader PRI. Dampaknya di tingkat lokal
menyajikan adegan berhadap-hadapan antara PRI dan PAN.
Mencitrakan sebagai partai yang mampu menyediakan kader
alternatif untuk memerintah di samping PRI, secara bertahap PAN
“merangkak” memperoleh dukungan meyakinkan untuk pencarian
kekuasaan.198 Strategi ini berbeda dengan yang ditempuh PRD,
yang cenderung konfrontatif terhadap penguasa, sebelum 1997.
Keretakan PAN muncul seiring dengan kalangan idealis
internal yang bersaing dengan kalangan pendukung pasar bebas
sejak tahun 1970-an.199 Keretakan ini menunjukkan evolusi
manajemen partai yang bergerak dari sebuah organisasi kaku menuju
entitas yang mendamba kuasa, satu pihak pada jabatan di tingkat
lokal, parlemen, dan berharap di pihak lain, menduduki jabatan
Presiden. Bekas ketua PAN, Felipe Calderón, mendeskripsikan

197
Antonia Martínez Rodríguez, “Parliamentary Elites and the Polarization of
the Party System in Mexico”, dalam Mónica Serrano (editor), 1998, Governing Mexico:
Political Parties and Elections, London: Institute of Latin American Studies, hlm. 61.
198
Yemile Mizrahi, “The Costs of Electoral Success: The Partido Acción Nacional
in Mexico”, dalam Mónica Serrano (Editor), 1998, Governing Mexico: Political Parties
and Elections, London: Institute of Latin American Studies.
199
Ann L. Craig dan Wayne A. Cornelius, “Houses Divided: Parties and Political
Reform in Mexico”, dalam Scott Mainwaring dan Timothy R. Scully (Editors), 1995,
Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford: Stanford
University Press, hlm. 269-270.

132 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


situasi ini sebagai proses transisi dan usaha dilematis antara peran
sebagai partai oposisi dengan harapan menjadi pemerintah tanpa
kehilangan identitas. 200 Situasi ini berlangsung terus hingga
kepemimpinan Calderon dan mendiang Carlos Castillo yang
memperoleh dukungan kuat dalam kepengurusan nasional,
sebuah situasi yang berbeda dengan waktu 1960-1970-an, di mana
aktivis gereja terlalu mengendalikan organisasi. Kalangan idealis
mengeluhkan mekanisme laju partai yang dikhawatirkan menjadi
barbar, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Menjadi partai pragmatis tidaklah menjadi dambaan kalangan
idealis, namun pada 1990-an, partai semakin bergerak ke arah ini.
Kebutuhan memperoleh kemenangan dalam pemilu, kompromi
dengan PRI soal isu-isu pembangunan ekonomi, serta strategi
merangkak, menjadi faktor perubahan ideologi partai. Namun
demikian, kalangan idealis, seperti Castillo Peraza, tetap saja
berhasil memenangkan pemilu gubernur Mexico City pada 1997.
Merasakan bahwa kalangan idealis akan menghalangi ambisi Vicent
Fox untuk meraih jabatan Presiden, ia membuat “Friends of Fox”
sebagai simpul dukungan nonpartai untuk membantu pendanaan
kampanye, yang kemudian melahirkan keragu-raguan pengurus
PAN untuk menunjuk kandidiat lain di luar Fox. Berbeda dengan
tradisi partai, Fox dengan keras menunjuk diri sebagai figur
alternatif PRI yang hendak mengakhiri dominasi rezim hegemonik.
Menyadari bahwa tak semua rakyat Meksiko berada dalam kubu
anti dan pro rezim pemerintah, memperkuat posisi Fox, yang
terkonfirmasi dalam kemenangan kursi gubernur Guanajuato.
Ketika itu, perbedaan kebijakan antara dirinya dengan kandidat
PRI, Labastida tidak menjadi pusat kampanye.

Yemile Mizrahi, The Costs of Electoral Success…, op.cit., hlm. 110.


200

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 133


2. PRD
Kampanye kepresidenan Cuauhtémoc Cárdenas Solórzano,
putra bekas Presiden Lazaro Cardenas, tahun 1988 menyatukan
kekuatan kalangan kiri dalam wadah the National Democratic
Front (Frente Democrático Nacional, atau FDN). Pada awalnya,
Cardenas adalah Gubernur Michoacán, yang juga merupakan kader
PRI. Pada tahun 1989, ia mendirikan partai PRD dan kemudian
memenangkan jabatan Walikota Mexico City pada tahun 1997. Ia
mencoba juga peruntungan kursi kepresidenan pada pemilu 1994
dan 2000, walaupun gagal.
Tidak suka dengan watak korup partai yang semakin kentara,
ia nekat keluar dari PRI dan mencalonkan diri sebagai Presiden
pada pemilu 6 Juli 1988. Hasilnya menakjubkan: ia nyaris menjadi
pemenang, andaikata pemilu berlangsung kompetitif. Tudingan
kecurangan menyeruak dan ia gagal mengambilalih kekuasaan.
Kandidat PRI, Carlos Salinas de Gortari ditetapkan Menteri
Dalam Negeri menjadi pemenang dengan dukungan suara 50.7%.
Perolehan suara itu cukup mengkhawatirkan sebab menjadi
kemenangan paling rendah sejak PRI mengendalikan pemerintah
pada tahun 1917. Ketika itu, PRI memperoleh 260 kursi (dari
alokasi 500) di parlemen. Untuk mempertahankan kekuasaan,
pemerintah mengelak dari tudingan kecurangan dan kambing
hitam dituduhkan kepada sistem komputer perhitungan suara
yang rusak. Walaupun bagi kebanyakan orang, bukanlah komputer,
melainkan politik yang mengalami kerusakan.
Pernyataan itu tidaklah berpijak dari angan-angan. Situasi
politik itu hasil akumulasi kekecewaan publik terhadap kinerja
pemerintah PRI yang mengecewakan. Namun, sejak pemilu
1934, peralihan kekausaan tidak ditentukan oleh pemilu,
melainkan oleh Presiden petahana. Usai diskusi dengan mediator

134 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


kekuasaan dalam tubuh PRI, petahan akan menentukan siapa
presiden pengganti dan lantas dilegitimasi lewat pemilu “rubber
stamp.” Salah urus pemerintahan dan menurunnya harga minyak
(yang kini sebenarnya menyumbang 1/3 pendapatan Meksiko)
menuntut dilaksanakan keterbukaan ekonomi pada akhir 1980-
an, sesuatu yang sangat berbeda dibandingkan kebijakan PRI sejak
mendominasi pemerintahan. Presiden Miguel de la Madrid (1982-
88), kader PRI kala itu, mengambil kebijakan yang menurunkan
pendapatan masyarakat Meksiko. Akibatnya: popularitas partai,
juga pemerintah, merosot tajam. Lebih lanjut, PRI mengalami
keretakan terbesar sepanjang sejarah. Sementara kalangan internal
menuntut demokrasi yang kompetitif dan sistem multipartai tak
dapat ditunda. Penunjukkan Carlos Salinas de Gortari, kader PRI,
yang juga teknokrat didikan Harvard, memperbesar keretakan
partai.
Dalam sebuah wawancara televisi tahun 2005, bekas
Presiden de la Madrid mengakui bahwa sesungguhnya pada
pemilu 1988 PRI telah kehilangan suara. Namun ia kemudian
melakukan klarifikasi karena pernyataan yang benar adalah PRI
telah kehilangan mayoritas suara. Senator Manuel Bartlett, yang
pernah menjadi Ketua Komisi Federal pada masa pemerintahan de
la Madrid, mengingatkan bahwa Salinas memperoleh dukungan
suara paling kecil sepanjang sejarah dibandingkan dengan kandidat
PRI lainnya. Bartlett menyalahkan ingatan de la Mardid, yang
ketika itu, sudah mencapai 71 tahun sehingga bias mengeluarkan
pernyataan.
Perlu pula dicatat, di pihak Cuauhtémoc Cárdenas Solórzano,
jalan menuju kampanye tidaklah gampang. Pada tahun 1988,
ketika mengusahakan bersatunya kekuatan politik beraliran kiri, 3
(tiga) partai yaitu the Partido Auténtico de la Revolución Mexicana,

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 135


atau PARM; the Partido Popular Socialista atau PPS; dan the
Partido Frente Cardenista de Reconstrucción Nacional atau PFCRN,
meninggalkan koalisi FDN. Akibatnya, menjelang pemilu 1997,
koalisi ini mendaftarkan diri sebagai PRD.
Revolusi nasionalisme menjadi atribut PRD, namun banyak
anggota yang juga menyadari bahwa nasionalisme ekonomi
dan kebijakan substitusi industri tak menyokong banyak untuk
pemulihan ekonomi. Namun, PRD menjadi juru bicara terkemuka
untuk kritik terhadap kebijakan neoliberal dalam membangun
format kepartaian. Karena terbangun dari kalangan sosialis,
bekas kader PRI, maka partai lantas memperbesar dukungan dari
pespektif sosioekonomis. Identitas sosial democrat lebih kentara di
bawah ketua partai Porfirio Muñoz (yang kemudian mengundurkan
diri pada 2000), dan semakin melembaga di bawah ketua partai
Andrés Manuel Obrador.
Kader PRD militant tak lepas terus menuding kecurangan
pemilu 1988, represi partai di bawah pemerintahan Salinas, dan
kenyataan keluarnya kader PRI akibat tak diakomodasi dalam
kandidasi pemilu. Akibatnya, PRD enggan berdiskusi dengan
pemerintah, mencela hasil pemilu legislatif, dan terus menerus
menyerukan reformasi sistem pemilu. Strategi ini efektif menarik
pemilih independen dalam 6-8 tahun pertama peran sebagai
oposisi.201 Selain itu, para pemuka partai lebih mengutamakan
kader yang berjuang sejak awal dibandingkan memberi tempat
untuk pengurus partisan. Percecokan antar pemimpin partai lantas
mempengaruhi citra partai. Keretakan itu disayangkan memberikan
kontribusi tidak maksimal dalam kampanye pemilu 1988.

Kathleen Bruhn, “The Making of the President, 2000: Race to Los Pinos”,
201

dalam Jorge I. Domínguez dan Chappell Lawson, 2001, Mexico 2000: Voting Behavior,
Campaign Effects, and Democratization in Mexico, London: Institute of Latin American
Studies.

136 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Dengan situasi dan gerak partai semacam itu, pemerintah
enggan mengajak PRD dan lebih suka membangun kompromi
dengan PAN. Di dalam pemilu lokal Michoacán dan México tahun
1989 dan 1990, perselisihan antara PRI dan PRD meningkat,
sementara pemerintah memihak PRI. Oleh sebab itu, usai gagal
menguasai representasi di tingkat nasional, pada 1990-an, PRD
mengadopsi strategi PAN dengan cara membangun konstituen
di tingkat lokal. Kemenangan dalam pemilu lokal Meksiko tahun
1997, mempertegas keinginan partai untuk mengesampingkan
ideologis. Selanjutnya, PRD meraih kemenangan pemilu gubernur
di Zacatecas dan Tlaxcala tahun 1998 dan kemudian di Baja
California Sur tahun 1999. Melalui koalisi dengan PAN, PRD
memenangkan pemilu lokal di Nayarit (1999) dan Chiapas (2000).

Meksiko dan Perubahan Hegemoni Partai Politik 137


BAB IV
PARTAI POLITIK DOMINAN DAN
KONSTITUSIONALISME: PELAJARAN DARI AFRIKA

A. PENGANTAR
Selama hampir satu dekade belakangan, Afrika moncer
sebagai rumah yang ramah untuk perkembangan demokrasi. Ada
2 (dua) pertanyaan mengemuka: apa yang menjadi faktor penyebab
dan apa sumbangan terhadap konsolidasi demokrasi?
Dua negara penting untuk menjadi contoh: Afrika Selatan
dan Nigeria. Bukan saja kontribusi ekonomi dan makna penting
di kawasan, tetapi juga ada faktor pembeda signifikan. Demokrasi
di Afrika Selatan berwujud sistem presidensial di mana Presiden
adalah kepala negara dan kepala pemerintahan tetapi diangkat
dan bertanggung jawab kepada Parlemen. Di sisi lain, seperti
kebanyakan negara Afrika lain, Nigeria menjalankan sistem
presidensial “utuh.”
Di Afrika Selatan, pemilihan parlemen dengan sistem
proporsional dan Nigeria menjalankan sistem distrik. Keduanya
juga dicirikan dengan dominasi satu partai politik. Terdapat sedikit
persamaan di kedua negara: peran eksekutif dalam mengangkat
dan memberhentikan anggota parlemen, namun semua hanya
untuk kelengkapan tingkat representasi. Tetapi tidak dapat

139
dipungkiri bahwa di kedua negara eksekutif sangat dominan namun
memberikan efek demokrasi yang berbeda.202
Pada titik ini, partai politik mempunyai sumbangan
yang penting. Bukan saja memupuk kekuasaan eksekutif dan
menyediakan jalan patronage, tetapi juga membentuk parlemen
lengkap dengan klaim akuntabilitas dan representasi. Namun
demikian, pernyataan-pernyataan ini perlu dibuktikan secara
empiris mengingat seperti telah diteliti oleh Samuels dan Shugart
yang mengatakan bahwa ada banyak jalan bagaimana interaksi
partai terhadap pihak lain dalam wadah partai dominan.203 Secara
keseluruhan hal yang harus diamati adalah gerak partai dalam
menghubungkan dirinya dengan sistem pemilu, sistem perwakilan,
dan sistem pemerintahan. Nyaris di seluruh kawasan Afrika, gerak
itu berlangsung dalam sistem multipartai yang kompleks.
Sejarah ketatanegaraan di kawasan Afrika adalah studi kasus
yang sangat baik mengenai berbagai kesulitan yang dihadapi dalam
situasi pasca-kolonial dan terus dihadapi dalam proses penemuan
diri sendiri.204 Konflik tak berujung dan perang sipil di sebagian
besar negara di benua ini mempengaruhi aktivitas politik negara.
Memang, negara-negara Afrika yang merdeka pada tahun 1960an
memproklamirkan komitmen mereka terhadap demokrasi,
pemerintahan yang baik dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Kesepakatan yang dipostulasikan ini mudah dicapai,
mengingat bahwa undang-undang kebebasan negara sebagian besar
datang dengan paket jaminan yang berlimpah kepada warga negara.
Sebagai gantinya, segera setelah kemerdekaan, konstitusi sebagian

202
Farrell, 1971, hlm. x.
203
Samuels dan Shugart, 2010, hlm. 21.
204
Abutudu, Musa. “A Critical Assessment of the Constitutionalism Landscape in
West Africa”. Western Journal Of Black Studies 33, No. 2 (Summer 2009), hlm. 132-139.

140 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


besar, jika tidak dapat dikatakan secara keseluruhan, negara-
negara berkembang segera mengalami sejumlah amandemen, yang
dilakukan dengan cara yang menyiratkan esensi konstitusionalisme
dan pemerintahan yang demokratis.205
Sayangnya, di penghujung tahun 1960-an ditandai oleh
negasi demokrasi dan pelanggaran berat hak asasi manusia dengan
impunitas di seluruh benua Afrika. Demokrasi multipartai yang
dijanjikan berhenti tak lebih buah bibir belaka karena partai oposisi
dianggap sebagai penghambat roda kemajuan.206 Partai-partai
yang berkuasa tidak toleran terhadap politik oposisi, menahan
demokrasi, dan mengorbankan konstitusionalisme dalam bingkai
keserakahan politik. Akibatnya, gelombang kudeta menyapu
seluruh benua, di mana militer menggulingkan pemerintah, dengan
jargon klasik untuk membereskan kekacauan sosio-ekonomi
dan politik yang ditinggalkan pemerintahan sipil. Namun,
pemerintahan militer lagi-lagi terjebak ke dalam kesalahan yang
sama dengan pemerintahan sipil. Jelas, meskipun pemerintah Afrika
diharapkan merangkul dan mempromosikan konstitusionalisme
dan demokrasi pada saat kemerdekaan, mereka juga mengabaikan
impunitas tersebut.
Menurut Smoke, kudeta adalah alat umum perubahan rezim
di Afrika pasca kemerdekaan.207 Dia menyatakan bahwa kegagalan
pemerintahan negara-negara pasca-kemerdekaan bahkan membuat
beberapa pengamat melihat kudeta merupakan kejahatan yang
205
Paul Seaton, “Fortunate Powerlessness”, Perspectives On Political Science 34,
no. 2: (2005), hlm. 79.
206
Linda Camp Keith dan Ayo Ogundele, “Legal Systems and Constitutionalism
in Sub-Saharan Africa: An Empirical Examination of Colonial Influences on Human
Rights “, Human Rights Quarterly 29, no. 4 (May, 2007), hlm. 1065-1097.
207
Paul Smoke, “The Evolution Of Fiscal Decentralization Under Kenya’s New
Constitution: Opportunities And Challenges”, Proceedings of The Annual Conference On
Taxation 104, (2011), hlm. 109-115.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 141


diperlukan guna menyudahi rezim predator dan otokratik, dan
dapat dianggap memfasilitasi transisi menuju demokrasi. Ada dua
masalah dengan argumen ini.
Pertama, pada aras normatif, apa pun motif sebuah
kudeta, secara inheren merusak pemerintahan dan tidak sesuai
dengan tatanan konstitusional. Kedua, kenyataan menunjukkan,
mereka yang mengambil alih kekuasaan melalui kudeta telah
menunjukkan ketidakmampuan mereka, dengan salah urus
ekonomi dan menghancurkan struktur sosial masyarakat Afrika.
Smoke selanjutnya berpendapat bahwa perubahan rezim Afrika
akibat polarisasi perang dingin kehilangan agensi mereka (dengan
sedikit pengecualian) untuk menempuh cara-cara konstitusional.
Menurutnya, konstitusi telah menjadi peta jalan menuju kekuasaan,
dan telah menggagas kudeta atau revolusi sebagai dasar reformasi.208
Sejalan dengan studi Bennett et.al., sebuah konstitusi tidak
dapat diharapkan sebagai obat mujarab untuk semua masalah
politik. Banyak konstitusi yang lalu dinegosiasikan oleh partai-
partai terkunci dalam semacam kebuntuan politik yang mengakar
dalam ruang ketidaksetaraan kekuasaan diantara mereka. Konstitusi
ini terutama dirancang melindungi dan kemudian memperkuat
perubahan demokrasi, dengan membiarkan mereka yang
telah memegang kekuasaan tanpa legitimasi demokratis untuk
mengambil risiko mencabutnya. Namun, negosiasi itu disertai
bayangan transformasi negara yang lebih luas berdasarkan pada
mengakomodasi kepentingan bersaing dalam visi realitas bersama.209

Ibid.
208

Sara Bennett, et.al. “Policy challenges facing integrated community case


209

management in Sub- Saharan Africa”, Tropical Medicine & International Health, Vol. 19,
No. 7: (2014), hlm. 872-882.

142 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


B. Konsolidasi Demokrasi di Afrika
Di kawasan Afrika, pergerakan kemerdekaan selama masa
kolonial dan pasca kolonial, serta cengkeraman pemerintahan
militer memberikan warna dalam perkembangan demokrasi.
Pemerintahan yang terbentuk tersusun dari kalangan pergerakan
akan tetapi gagal menjalankan kontinuitas bernegara karena
keenggaanan menjalankan akuntabilitas, pemilu yang tidak
demokratis, dan kemampuan mempertahankan kinerja eksekutif.
Kepemimpinan politik yang pada umumnya berasal
dari kalangan pergerakan kemderkaan di kebanyakan negara
Afrika, lantas membangun demokrasi dengan topeng sistem
domestik, lewat mobilisasi etnik, pemaksaan dominasi partai
tunggal, pembatasan kebebasan politik, serta penguasaan aset
strategis ekonomis untuk kepentingan patronase. Argument awal
adalah untuk mengupayakan persatuan dalam negeri sembari
mengusahakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sejak dekade 1960-an, legitimasi dan charisma kepemimpinan
politik menyumbang porsi tersebesar dengan memberikan
keuntungan ekonomi bagi sejumlah kecil negara. Namun
yang terjadi kemudian, korupsi merajelala dan para pemegang
pemerintahan cenderung memberikan kesejahteraan bagi segilintir
orang di sekitarnya. Partai pemerintah menjadi alat teror untuk
memberangus perlawanan dan kemakmuran ditebar untuk
golongan politik tertentu yang cenderung otokratif dan terpusat.
Arah pembentukan negara pada umumnya cenderung
digerakkan oleh cara-cara evolusioner. Harapan terhadap demokrasi
di sanubari rakyat telah meningkatkan perasaan frustasi bagi tentara
dan polisi yang terus dijadikan alat untuk membungkam perbedaan
pendapat.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 143


Pada pertengahan 1960-an, sejumlah negara seperti Malawi,
Gabon, Ghana, dan Nigeria memang menikmati stabilitas
pemerintahan, namun kemudian benih-benih kediktatoran muncul
dan memancing pergolakan sipil dan terbentuknya pemerintahan
militer. Gangguan seperti itu terus merembet ke negara-negara
seperti Liberia, Republik Benin, dan Kongo, yang dilanda
kerusuhan sipil dan kemerosotan ekonomi.
Krisis legitimasi dalam negeri dan paksaan negara-negara
pemberi utang (dalam situasi perang dingin), mampu memaksa
sejumlah negara untuk melakukan demokratisasi pada akhir
1980-an dan awal 1990-an. Masa-masa ini adalah pertumbuhan
perdebatan demokrasi paling penting di kawasan ini. Sejumlah
pakar kemudian menyebut bahwa penerimaan demokrasi di Afrika
terjadi dengan cara penggabungan jargon-jargon Barat dan tradisi
setempat.210
Berbeda dengan kriteria gelombang demokratisasi yang
dirumuskan oleh Huntington211, negara-negara Afrika memiliki
karakter tersendiri sehubungan dengan tahapan ini. Karakter
tersebut berlangsung dalam 3 (tiga) tahapan.212 Pertama, periode
perjuangan kemerdekaan (1945-1960). Kedua, pasca kemerdekaan
dan gangguan terhadap demokrasi (1960-1988). Ketiga, periode
pemulihan dan konsolidasi demokrasi (1988-sekarang). Ciri khas
yang paling menonjol dalam proses demokratisasi tersebut adah
proses kelembagaan yangberbarengan dengan mobilisasi sosial.213
Secara kualitatif, konsolidasi demokrasi di banyak negara
dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) warna: sukses, sedikit berhasil,

210
Ake, 2000.
211
Huntington, 1991.
212
Nzongola-Ntalaja, 2006, hlm. 1-4.
213
Chazan et al, 1992, hlm. 14. Baca juga Radelet, 2010, hlm. 90.

144 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dan gagal total. Demokrasi berlangsung dalam 2 (dua) antinomi:
berkembang dan sekaligus merosot. Dalam sebuah survei,
keberlangsungan demokrasi di kawasan Afrika memiliki indeks yang
rendah karena absennya akuntabilitas dan kegagalan imparsialitas
pemilu.214 Kerusakan imparsialitas itu karena kekuasaan Presiden
dan melenggangnya kekausaan parlemen yang menjadi faktor
penyumbang terbesar.
Secara visual, tahapan pertumbuhan demokrasi di negara-
negara Afrika dapat dilukiskan sebagai berikut:

Jika dicermati dalam visual di atas, gelombang demokratisasi


bergerak dari kondisi awal hingga tahun 1950-an, yang kemudian
mengalami penerimaan selama dekade 1960-an, hingga kemudian
dipulihkan kembali pada 1990-an, sebuah masa yang dikenal

Freedom House, 2012.


214

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 145


sebagai dekade transisi. Diperoleh juga deskripsi, bahwa otokrasi
mulai menggeliat pada 1960-an hingga masa hampir 20 tahun
kemudian. Otokrasi dipraktikkan oleh negara-negara yang
mengalami kemerdekaan pada dekade 1950-an hingga 1960-an,
hingga kembali mengalami demokratisasi 1990-an. Sayangnya,
kelembagaan demokrasi dalam periode ini cenderung lemah,
hingga menciptakan sistem laksana 60 tahun sebelumnya.
Sebagaimana digambarkan oleh Mustapha dan Whitfield,
otentifikasi demokrasi di Afrika memperoleh dukungan publik
paling besar dibandingkan dengan kawasan lain.215 Walaupun ada
persoalan akuntabilitas pemerintahan, akan tetapi kemampuan
negara-negara untuk mengembalikan demokrasi mulai tampak
dalam 20 tahun belakangan.216
Pada 1989-2000, banyak negara berhasil menyelenggarakan
pemilu kepresidenan kompetitif.217 Sejak 2012, pemilu multipartai
menjadi ukuran yang paling ditemui untuk mengukur derajat
demokrasi di Afrika.218
Jika pada 1989, hanya ada 3 (tiga) negara yang dikualifikasi
sebagai negara dengan pemilu yang bebas, maka pada 2011
melonjak menjadi 18 negara. Pada tahun yang sama, sebanyak
15 negara telah menggelar pemilu presiden dan pemilu legislatif
(nasional dan lokal).

C. Mempertanyakan Konstitusi
Patologi demokrasi yang menggerogoti banyak negara-negara
di Afrika terutama disebabkan oleh adopsi desain konstitusional.
215
Mustapha dan Whitfield, 2009, hlm. 226.
216
Ibid., hlm. 227.
217
van de Walle, 2007, hlm. 67.
218
Africa Research Institute, 2012, hlm. 1.

146 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Sejarah konstitusi di kawasan ini merupakan sumber pembelajaran
luar biasa untuk menggambarkan keragu-raguan dan komitmen
jati diri negara pascakolonil.219 Terlebih lagi, kerusuhan sipil tak
berkesudahan di banyak negara, menjadi pertanyaan utama,
keberlangsungan konstitusi untuk tekad “guarantee everyone equal
participation in the economic, social and political activities of their
respective nations.”220 Kala dilanda kemerdekaan pada 1960-an, 3
(tiga) kata selalu menjadi mantera: demokrasi, good governance, dan
hak asasi manusia.221 Konstitusi yang lahir dalam masa itu penuh
dengan jargon-jargon perlindungan hak-hak warganegara.222
Sayangnya, pada akhir 1960-an, demokrasi diberangus
menyusul pergolakan internal yang merajelala.223 Partai pemerintah
cenderung membungkam oposisi dan kemudian mengiris-iris
konstitusi dalam cengkeraman kekuasaan mereka.224 Situasi itu
melahirkan kekacauan, yang mengundang tentara melakukan
kudeta dengan dalih memulihkan situasi sosial dan ekonomi.225
Meskipun rezim militer melakukan perebutan kekuasaan
memperoleh penerimaan publik akan tetapi lambat laun mereka
jatuh dalam kubangan kesalahan yang sama dengan pemerintahan
sipil.

219
Morris Kiwinda Mbondenyi dan Tom Ojienda, 2013, Constitutionalism and
Democratic Governance in Africa: Contemporary Perspectives from Sub-Saharan Africa,
Cape Town, Pretoria University Law Press, hlm. 3.
220
Ibid., hlm. 4.
221
M.K. Mbondenyi, 2011, International Human Rights And Their Enforcement
In Africa , LawAfrica, hlm. 89-90.
222
Ibid.
223
U Umozurike The African Charter on Human and Peoples’ Rights (1997),
hlm. 23.
224
Sebagai contoh, pada 1982, Konstitusi Kenya diubah sekedar mendeklarasikan
partai tunggal.
225
U. Umozurike, op.cit., hlm. 22.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 147


Fenomena pelarangan partai politik lantas menjadi pilihan
utama. Fenomena tersebut dapat dirumuskan ke dalam 4
persoalan pokok sebagai berikut: 1) Fenomena empiris mana yang
dapat didefinisikan sebagai larangan terhadap partai politik dan
bagaimanakah jenis larangan tersebut?; 2) Apa efek dari larangan
formal tersebut? Mengapa sedikit negara yang mengadopsi
larangan partai secara aktif? Dan sejauh mana larangan tersebut
secara formal terhadap partai etnis merupakan instrumen efektif
dalam pengelolaan konflik etnis? 3) Mengapa begitu banyak
rezim demokratis baru di Afrika mengadopsi larangan partai?
Dan variabel mana yang menjelaskan bahwa negara lain tidak?
4) Mengingat bahwa hal itu masuk dalam kategori pembatasan
kebebasan politik, bagaimana keberadaan mereka dapat disesuaikan
dengan aspirasi demokratis rezim konstitusional baru atau yang
terkonsolidasi?
Pelarangan etnis dan agama bukan merupakan fenomena
Afrika Sub-Sahara secara eksklusif. Kebijakan ini telah diberlakukan
di beberapa negara di Eropa Timur pasca komunis, merupakan
bagian dari banyak konstitusi di Asia, termasuk dalam konstitusi
baru Afghanistan dan Irak, dan telah diberlakukan di Turki dan
Aljazair. Meskipun sangat menarik untuk memperluas cakupan dan
memasukkannya ke dalam analisis negara dan wilayah lain, pada
tahap ini, fokus pada Afrika merekomendasikan dirinya sendiri,
alasan utamanya adalah pengalaman bersama mengenai politisasi
etnisitas dan upaya bertahan lama dalam pengelolaan konflik etnis
melalui rekayasa kelembagaan di wilayah tersebut.
Pasca kemerdekaan, negara-negara di Afrika memiliki
sejarah panjang soal rekayasa politik dan kemampuan melakukan
eksperimen desain institusional. Banyak pengamat Afrika
mempertanyakan relevansi peraturan dan institusi formal yang

148 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


tersedia dan menekankan sejauh mana dinamika proses politik
dan perilaku aktor dibentuk secara efektif oleh lembaga informal.
Parlemen berusaha untuk merevisi dan memanipulasi institusi
formal, dan pakar internasional telah memberikan kontribusi
mengenai rancangan alternatif kelembagaan serta bukti empiris
tentang kemungkinan konsekuensi kebijakan tersebut.
Paling sering, larangan partai secara eksplisit diatur dalam
konstitusi. Pengecualian adalah Namibia, dimana larangan
keanggotaan partai dibatasi dengan alasan jenis kelamin, ras,
warna kulit, asal etnis, agama, kepercayaan atau status sosial atau
ekonomi menurut undang-undang. Cara lain, ketentuan hukum
soal pendaftaran partai dan pembubaran partai. Dalam kebanyakan
kasus, peraturan untuk pendaftaran tampaknya juga berlaku
untuk pembubaran pihak. Artinya, sebuah partai bisa kehilangan
pendaftarannya saat ditemukan oleh pihak berwenang yang
berwenang bahwa hal itu telah melanggar persyaratan pendaftaran.
Konstitusi Mauritania (1991) merupakan pengecualian dalam hal
tersebut. Namun, acapkali pula, larangan partai politik dinyatakan
secara umum. Misalnya, di Kongo. Konstitusi Madagaskar
1992 melarang organisasi atau partai “yang mengkhotbahkan
totalitarianisme atau segregasi suatu etnis, kesukuan, atau agama”
(Pasal 14 ayat (1)). Larangan terhadap partai politik diarahkan
pada salah satu aspek-aspek tersebut secara terpisah atau kombinasi.
Sebuah negara melarang partai-partai keagamaan, agama dilarang
dalam program, keanggotaan, simbol, dan organisasi partai. Liberia
adalah sebuah pengecualian. Di Liberia, dasar yang berbeda untuk
berbagai aspek organisasi politik partai ditetapkan. Di Pantai
Gading, alasan larangan terhadap partai politik tidak berhubungan
dengan aspek organisasi politik partai namun sesuai dengan dasar
hukumnya.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 149


Larangan terhadap partai politik di negara Afrika pasca
kemerdekaan diadopsi oleh Presiden Nkrumah (Ghana) pada tahun
1960an. Saat ini, setidaknya 22 dua negara Afrika telah melarang
partai-partai politik. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina
Faso, Burundi, Tanjung Verde, Republik Afrika Tengah, Republik
Demokratik Kongo, Djibouti, Guinea Khatulistiwa, Ghana,
Guinea, Pantai Gading, Kenya, Liberia, Mauritania, Namibia,
Niger, Nigeria, Rwanda, Senegal , Sierra Leone, Tanzania dan Togo.
Beberapa negara yang lain memiliki undang-undang yang dapat
digunakan untuk melarang partai-partai (Angola, Kamerun, Chad,
Gabon, Madagaskar, dan Mozambik).
Untuk partai lokal, banyak negara Afrika yang berbahasa
Prancis memiliki klausul ini, seperti Djibouti, Mauritania,
dan Senegal. Dalam beberapa kasus, bahkan tidak jelas apakah
undang-undang dasar atau undang-undang melarang partai-partai
sub-nasional seperti itu. Gabon, Kamerun, dan Chad melarang
“propaganda” atau “diskriminasi” oleh partai politik. Konstitusi
Mozambik (1990) dan Angola (1992) mewajibkan partai politik
untuk “berada dalam lingkup nasional.” Dengan sendirinya, ini
bukan merupakan larangan bagi partai-partai lokal, walaupun
klausul tersebut dapat digunakan untuk keperluan itu. Konstitusi
Rwanda tahun 2003 mensyaratkan bahwa partai-partai harus
mencerminkan persatuan nasional. Dalam upaya rekrutmen dan
seleksi kepemimpinan, meskipun tidak ada upaya yang dilakukan
untuk menentukan kuota atau rincian lainnya. Oleh sebab itu,
informasi lebih rinci diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang
menjengkelkan ini. Akhirnya, berdasarkan rekonstruksi historis
dan normatif ini, perlu mengembangkan sejumlah kriteria normatif
yang dapat digunakan oleh pembentuk undang-undang di Afrika
untuk mereformasi ketentuan kelembagaan mereka.

150 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Singkatnya, walaupaun pemerintahan di negara Afrika
diharapkan mengembangkan demokrasi dan hak asasi, akan
tetapi mereka mengabaikan sendiri merasa kebal dari hal-hal
itu. Seperti Babu dengan sinis mengatakan perihal praktik
penahanan sewenang-wenang, pengabaian hukum acara pidana,
pemenjaraan tanpa proses peradilan, penyangkalan kebebasan
berpendapat, pemolisian secara sistematis dan brutal, dan lain-lain
penyelewengan tindakan aparatur negara.226 Situasi ini terjadi di
Afrika selama beberapa dekade. Oleh karena itu, seseorang akan
setuju dengan Odinkalu bahwa perlindungan hak asasi manusia
yang efektif di Afrika pasca kolonial mengharuskan dilakukannya
orientasi ulang infrastruktur kelembagaan dan orientasi sikap yang
diwarisi dari masa kolonial.227 Sayangnya, proses ini tidak pernah
dilakukan. Sebenarnya, sebagian besar undang-undang, institusi
dan sikap yang melindungi pelanggaran hak asasi manusia selama
penjajahan terus berlangsung pasca kemerderkaan.228
Hampir setengah abad setelah kebanyakan negara di
benua tersebut mencapai kemerdekaan, banyak dari mereka
terus menggunakan undang-undang kolonial yang mengatur
asosiasi politik, kesehatan masyarakat, pendidikan dan kebebasan
berekspresi. Konsekuensinya adalah bahwa klaim mereka untuk
membuat perbedaan dalam realitas hak asasi manusia orang-orang
yang mereka kelola secara efektif dinegasikan.229 Negara-negara
Afrika pasca-kemerdekaan tidak hanya mempertahankan beberapa

226
Babu African socialism or socialist Africa?, 1981, hlm. 171.
227
C.A. Odinkalu ‘Back to the future: The imperative of prioritising for the
protection of human rights in Africa’ , 2003, Journal of African Law , hlm. 1-2.
228
Ibid.
229
J Oloka-Onyango ‘Human rights and sustainable development in contemporary
Africa: A new dawn or retreating horizons?’, 2000, Human Development Report 2000
Background, Paper 4 a

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 151


undang-undang kolonial setelah kemerdekaan akan tetapi juga
praktik amandemen konstitusi yang tidak bertanggung jawab,
guna mengakomodasi keinginan kelas penguasa. Dengan demikian,
mereka berusaha keras mendukung budaya pemerintahan yang
kronis. Akibatnya, warga tak berdosa tanpa henti gagal menikmati
banyak hak-hak dan kebebasan fundamental mereka.
Pandangan sekilas pada abad ke-21 dengan jelas menunjukkan
bahwa masih juga terdapat negara-negara di Afrika yang masih
berkubang dalam pemerintahan yang buruk, sambil berusaha
tetap bertahan di lautan kekacauan konstitusional. Situasi yang
sedang berlangsung di Afrika adalah indikasi yang jelas tentang
bagaimana merongrongnya konstitusionalisme yang menampilkan
antitesis demokrasi dan pemerintahan yang baik. Situasinya
juga menjelaskan mengapa pada awal abad ke-21, benua ini
telah menyaksikan, lebih dari sebelumnya, agitasi reformasi
konstitusional dan tata pemerintahan yang baik yang lebih
komprehensif.
Di atas kertas, tata pemerintahan yang baik dipengaruhi
oleh konstitusi demokratis yang memungkinkan pemerintah
mengelola urusan negara secara efektif, sementara pada saat
yang sama memberdayakan warga negara untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan. Warga negara harus berpartisipasi dalam
penyusunan dan pelaksanaan konstitusi semacam itu. Tata
pemerintahan yang baik tidak dapat dijalankan di Afrika,
mayoritas karena ‘konstitusi otoriter’ yang mengabaikan
doktrin konstitusionalisme dan ditopang oleh kekuatan senjata.
Ketidaksepakatan dengan konstitusi semacam itu, ditambah
dengan kritik soal penyalahgunaan kekuasaan eksekutif oleh
para pemain lama, telah menyebabkan agitasi untuk reformasi
konstitusional di Afrika, yang dewasa ini menjadi titik pusat

152 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


pembicaraan di banyak negara di benua ini. Ada kepercayaan kuat
di bahwa hanya reformasi konstitusional komprehensif yang dapat
menjamin konstitusionalisme berkelanjutan, pemisahan kekuasaan,
dan mengakhiri penyalahgunaan wewenang pemerintahan.
Sebagai akibat dari Perang Dunia II dan dalam konteks
pembangunan kerangka kelembagaan untuk wacana (dan
tindakan) di antara masyarakat bangsa-bangsa, nilai menjadi
penting dalam konstitusi, dan kemampuan negara untuk
melindungi diri dari pengaruh pihak lain telah dikurangi secara
substansial. Sayangnya, bagaimana konstitusi harus dibentuk
setelah peperangan, tidak menetes ke bawah dan mempengaruhi
negara-negara Afrika. Sebaliknya, karena benua Afrika masih
berada di bawah kolonialisme, apartheid, atau setelah perjuangan
kemerdekaan, secara menyedihkan, perjuangan untuk independen
dari penjajah berakhir dengan kekecewaan pasca pembentukan
undang-undang dasar.
Misalnya, Tanganyika (sekarang Tanzania setelah bergabung
dengan Zanzibar pada tahun 1964) memiliki konstitusi pada tahun
1961. Tanganyika mencapai kemerdekaannya pada tahun 1961.
Inggris, penguasa kolonial, menyerahkan di samping memberikan
kemerdekaan, juga meninggalkan konstitusi tertulis. Konstitusi
menciptakan negara berdaulat Tanganyika. Bentuk pemerintahan
di bawah konstitusi pertama sangat banyak didasarkan pada
model Inggris dengan supremasi parlemen, demokrasi multipartai,
pemerintahan oleh perdana menteri dan Gubernur Jenderal sebagai
kepala negara yang mewakili Ratu Inggris dan bertindak simbolis.
Jadi, konstitusi disusun oleh pemerintahan kolonial.230 Dari

230
LC Backer ‘God(s) over constitutions: International and religious
transnational constitutionalism in the 21st Century’ (2007-2008) 27 Mississippi
College Law Review 11.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 153


kemerdekaan sampai sekarang, Tanzania telah memiliki 5 konstitusi
yang ada. Namun, pertanyaan tentang legitimasi dalam pembuatan
setiap konstitusi untuk memenuhi ujian konstitusionalisme masih
diperdebatkan, yang hasilnya saat ini memuncak ke dalam proses
reformasi konstitusi. Proses pembuatan konstitusi tidak dapat
dianggap sebagai reproduksi sederhana dari beberapa prinsip dasar
yang mungkin ditemukan oleh masyarakat tertentu.
Sejak Perang Dunia II, banyak negara Afrika telah menderita
oleh epidemi pembuatan konstitusi. Wabah ini dimulai dan
dipelihara oleh kekuatan yang dikeluarkan oleh dekolonisasi.231
Akibatnya, studi pembuatan konstitusi di hampir setiap negara
Afrika yang mengalami masa kolonial, tidak membentuk
pengecualian apapun, pasti akan bertumpu kepada dokumen
konstitusional yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh fakta
yang tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar konstitusi pasca
kemerdekaan negara-negara Afrika bukanlah dokumen domestic
dan populer namun merupakan pemaksaan dari negara kolonial
pendahulu.
Shivji juga mencatat bahwa ada aneka rupa pembentukan
konstitusi di negara-negara Afrika pasca-kemerdekaan, mulai dari
konstitusi kemerdekaan liberal hingga konstitusi otoriter, sebuah
proses yang dilakukan dengan berbagai metode pembentukan
konstitusi.232 Di sejumlah negara, majelis nasional yang sudah ada
sebelumnya, biasanya dibentuk berdasarkan undang-undang dasar
dan oleh karena itu pasca kemerdekaan badan legislatif mengubah
diri menjadi badan konstituante untuk membuat konstitusi
baru. Hal ini dilakukan di Ghana dan Tanganyika saat mereka
231
S. Adelman, ‘Constitutionalism, pluralism and democracy in Africa’, 1998, 42
Journal of Legal Pluralism, hlm. 73.
232
IG Shivji et al Constitutional and legal systems of Tanzania: A civics source
book, 2004, hlm. 47-48.

154 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


menjalani masa transisi sistem monarki ke republik. Metode ini
juga digunakan oleh Obote untuk memberlakukan Konstitusi
Uganda di tahun 1967 setelah “kudeta istana” menggulingkan
tatanan konstitusional pasca kemerdekaan.233
Ethiopia telah memiliki 4 (empat) Konstitusi sepanjang
sejarahnya. Sebelum tahun 1974, bentuk pemerintahan adalah
monarki. Perpaduan monarki dengan agama dan mitos garis
keturunan Nabi Sulaiman memberikan legitimasi, kekuatan dan
kontinuitas sistem pemerintahan. Asal mula konstitusionalisasi di
Ethiopia dimulai dengan diadopsinya Konstitusi untuk pertama
kali pada tahun 1931 setelah pemerintahan Kaisar Haile Sellasie
I. Konstitusi ini “memberi ekspresi institusional gagasan baru
yang dibawa ke Ethiopia terutama melalui segelintir elit terdidik
akan tetapi berpengaruh.”234 Namun, tujuan utama konstitusi
tidak membatasi kekuasaan pemerintah akan tetapi juga untuk
memusatkan pemerintahan, terutama di bidang perpajakan dan
administrasi peradilan, dan melemahkan penguasa feodal yang
berpengaruh di tingkat lokal. Konstitusi ini tetap berfungsi
sebagai instrumen hukum diganti pada tahun 1955, terlepas dari
terputusnya kekuasaan monarki karena pendudukan Italia 1936-
1941 yang singkat.
Konstitusi 1955 mewakili pergeseran ideologis dari kekuasaan
personal menuju kekuasaan rasional dan dari konsentrasi kekuasaan
berganti menjadi desentralisasi. Konstitusi ini diadopsi sebagian
untuk mengakomodasi dan memperbaiki anomali konstitusional
yang dihasilkan oleh federasi Eritrea dengan Ethiopia pada tahun

233
IG Shivji, ‘Three generations of constitutions and constitution-making in Africa:
An overview and assessment in social and economic context’ in MS Rosen (ed)
Constitutionalism in transition: Africa and Eastern Europe, 2003, hlm. 79.
234
HB Selassie ‘Constitutional development in Ethiopia’, 1966, 10 Journal of
African Law, hlm. 74-76.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 155


1952 setelah rekomendasi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Konstitusi secara eksplisit menyatakan kedaulatan berada di
tangan Kaisar, dan ia berfungsi sebagai pemutus akhir perselisihan,
dan karenanya, mengaburkan pemisahan kekuasaan antara berbagai
lembaga negara. Konstitusi dan bentuk kerajaan berakhir secara
mendadak pada tahun 1974 setelah salah satu revolusi terbesar
dalam sejarah Etiopia yang terutama diatur oleh kaum intelektual,
militer dan petani. Kegagalan menangani masalah kesetaraan
kelompok etnis dan menjamin kepemilikan lahan kepada petani
miskin ditambah dengan prevalensi dan keunggulan gagasan
sosialis memberikan alasan utama terjadinya pemberontakan yang
menyebabkan penggulingan monarki. Rezim militer di bawah
kepemimpinan Kolonel Mengistu Haile Mariam memanfaatkan
kekosongan kekuasaan setelah penggulingan monarki. Rezim
militer secara resmi mendukung komunisme sebagai ideologi
politik dan berafilisasi dengan Uni Soviet.
Sebelum 1974, selama masa kekuasaan monarki, agama
(lebih khusus lagi, Gereja Orthodok Etiopia) memainkan peran
penting dalam pemerintahan sosial dan politik dan urusan lainnya
di negara ini. Dukungan dari gereja sebenarnya merupakan
prasyarat kekuasaan. Namun, selama rezim Dergue, kecenderungan
sosialis rezim pengaruh demikian dipudarkan. Konstitusi saat
ini mengambil pendekatan tengah karena mengklaim telah
memisahkan negara dan agama secara keseluruhan. Dengan
demikian, negara mungkin tidak ikut campur dalam masalah
agama, dan sebaliknya.
Konstitusi Etiopia saat ini pada awalnya merupakan Piagam
Transisi yang berfungsi sebagai Konstitusi Sementara (konstitusi
yang kelima) selama masa transisi, 1991 – 1995. Komisi Konstitusi
dibentuk pada tahun 1992. Komisi tersebut terdiri dari 29 anggota

156 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Majelis Umum, Komite Eksekutif, dan berbagai komite ahli
lainnya. Meskipun struktur prosedural dan institusional domestik
menjadi fokus, akan tetapi konstitusi asing juga ddibahas untuk
tujuan komparatif dengan dukungan dari para ahli lokal dan asing.
Sistem satu partai secara de jure selama Dergue telah merosot
namun dominasi partai tunggal tak terelakkan. Dominasi partai
tersebut sangat terlihat setelah pemilu 2005. Periode sebelum
pemilihan tahun 2005 berlangsung semarak dan pemerintah
dengan murah hati memberikan akses media kepada partai politik
oposisi. Pemerintah menunjukkan komitmen, termasuk kepada
komunitas internasional, sebuah demokrasi dan pemilihan yang
kompetitif. Hasil pemilihan tahun 2005 tampaknya merupakan
tanda kebangkitan partai yang berkuasa yang segera secara agresif
berkonsultasi dengan rakyat mengenai masalah dan keluhan
mereka. Ada juga kampanye rekrutmen keanggotaan sangat
besar yang menargetkan siswa dan lulusan pendidikan tinggi.
Selanjutnya, terdapat kebijakan tidak tertulis mengenai preferensi
anggota dalam akses terhadap pekerjaan pemerintah dan manfaat
sumber daya lainnya.
Partai yang berkuasa bertekad menghindari terulangnya
pemilihan tahun 2005. Dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun,
keanggotaan meningkat 4 (empat) kali lipat dan pemilihan Mei
2010 menghasilkan partai yang berkuasa dengan lebih dari 99,6
persen kursi di parlemen. Pada awal pemilihan 2010, kepercayaan
kepada oposisi masih gelap. Situasi ini memancing kemungkinan
partai pemerintah untuk bertahan, walaupun pemerintah sama
sekali tidak menyangka memperoleh kemenangan demikian
menakjubkan. Pertumbuhan ekonomi telah membantu partai yang
berkuasa dalam mengumpulkan dukungan dan mungkin membuat
partai politik oposisi nampaknya tidak relevan. Pemerintah

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 157


mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi faktor penentu
dalam kemenangan petahana.

D. Partai Politik dan Sistem Kepartaian


Dasawarsa terakhir abad ke-20 ditandai oleh kebangkitan
multipartai di Afrika. Kehadiran partai politik menghasilkan
diskontinuitas tidak hanya dalam kehidupan politik benua tersebut,
namun juga dalam studi politik Afrika. Sejumlah penelitian lahir
dan sebagian besar didasarkan pada teori dan konsep yang ada
dalam ilmu politik. Karya-karya baru ini memberi kontribusi pada
peningkatan integrasi studi politik selatan Sahara dengan sains
politik arus utama.
Kemajemukan partai pertama kali muncul di sub-Sahara
Afrika pada tahap akhir periode kolonial, dalam dekade 1950-an
dan awal 1960-an. Namun, transplantasi model Barat, seperti
negara modern, konstitusionalisme liberal atau pemerintah
perwakilan cepat ditolak oleh hampir semua masyarakat Afrika.
Baru pada awal 1990an, usaha kembali membangun sistem
multipartai mulai terjadi di benua yang secara historis cenderung
menolak atau mendistorsi peraturan dan praktik demokrasi
tersebut. Karena semakin banyak negara terlibat dalam prosesnya,
kebangkitan multipartai di Afrika memicu sejumlah analisis baru
mengenai partai dan sistem kepartaian.
Sejarah partai-partai politik Afrika mungkin sudah
berlangsung lama jika melihat asal mula partai pertama di benua
itu (the True Whig Party, yang didirikan di Liberia pada tahun
1860).235 Pada tahun 1945, di wilayah yang masih sebagian besar
berada di bawah pemerintahan kolonial, kurang dari selusin

Shaheen Mozaffar, “Introduction”, Party Politics, Vol. 11, No. 4, hlm. 395.
235

158 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


partai telah didirikan oleh segelintir kelompok elit Afrika sebagai
ungkapan terorganisir tuntutan politik eformasi sistem kolonial,
mendapatkan akses ke pemerintah kolonial, dan mempengaruhi
kebijakan kolonial.236 Pasca kemerdekaan negara-negara Afrika,
dan selama periode yang segera mendahuluinya, partai-partai
mulai berkembang. Pada 1945-1968, sebanyak 143 partai politik
baru telah muncul di benua ini dan menjadi kendaraan penting
mobilisasi pemilih nasional yang pada akhirnya diberi hak pilih dan
pembentukan pemerintah pasca kemerdekaan untuk pertama kali.237
Sistem multipartai segera terbukti berakar buruk di benua itu.
Tidak lama kemudian sistem itu ditinggalkan. Dengan cara yang
berbeda, sebagian besar negara Afrika memilih untuk menggantinya
dengan sistem partai dominan atau bahkan partai tunggal. Dalam
waktu beberapa tahun selanjutnya, bentuk pemerintahan otoriter
berlaku nyaris di seluruh benua. Variasinya adalah (i) pemerintahan
rezim militer238; (ii) pemerintahan rezim partai tunggal239; (iii)
pemerintahan multipartai240; dan (iv) pemerintahan berbasis rasial.241
Politik multipartai hanya dipertahankan di Botswana, Gambia dan
Mauritius, juga di Senegal dan Zimbabwe selama tahun 1970an
dan 1980an, namun ini paling sering terjadi di bawah naungan
partai dominan dengan watak nonkompetitif.

236
Ibid.
237
Ibid.
238
Burkina Faso, Burundi, Chad, Ghana, Guinea, Lesotho, Liberia, Mauritania,
Nigeria, Sudan, serta Uganda.
239
Angola, Benin, Kamerun, Tanjung Verde, Republik Afrika Tengah, Komoros,
Kongo, Djibuti, Guyana Khatulsitiwa, Ethiopia, Gabon, Guinea- Bissau, Pantai Gading,
Kenya, Madagascar, Malawi, Mali, Mozambique, Niger, Rwanda, São Tomé, Seychelles,
Sierra Leone, Somalia, Swaziland, Tanzania, Togo, Zaire, serta Zambia.
240
Botswana, Senegal, Mauritius, Gambia, serta Zimbabwe.
241
Afrika Selatan.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 159


1. Kenya, Zambia, dan Republik Kongo
Kisah menarik soal keberhasilan dan kegagalan partai
politik di 3 (tiga) negara Afrika: Kenya, Zambia, dan Republik
Demokratik Kongo, layak pula untuk ditengok. Karakteristik,
perkembangan, dan kejatuhan partai politik utama di negara-
negara ini, berlangsung sejak kemerdekaan di tahun 1960an sampai
pertengahan 1990-an. Ketiga negara memperoleh kemerdekaan
dalam periode waktu yang sama. Ketiga negara memperoleh
kemerdekaan selama paruh pertama tahun 1960an, yang terjadi
setelah beberapa bentuk kerusuhan dan pemberontakan melawan
penjajah. Republik Demokratik Kongo mendapatkan kemerdekaan
dari Belgia pada tahun 1960. Kenya memperoleh kemerdekaan
dari Inggris pada tahun 1963, dan Zambia pada tahun 1964, juga
dari Inggris. Mereka berbagi berbagai karakteristik rezim. Chazan
et.al., (1999) mengklasifikasikan ketiga negara yang menjadi subjek
analisis ini sebagai “rezim administratif-hegemonik.”242 Selain itu,
Kenya, Zambia, dan Kongo berbagi kehadiran partai tunggal yang
dominan. Namun, pada tahun 1994, ketiga negara telah mencapai
tahap demokratisasi yang berbeda.
Zambia relatif kaya dibandingkan negara-negara Afrika
lainnya, terutama karena produksi tembaga mereka. Namun,
seperti di koloni lain, Zambia sebagian besar telah dikeluarkan dari
akses terhadap sumber daya sosial dan ekonomi. Baylies dan Szeftel
berpendapat bahwa pengeluaran itu untuk memastikan bahwa
struktur multi partai yang diwarisi pada kemerdekaan pada tahun
1964, dan burjuasi kecil yang mengatur yang mengoperasikannya,

242
Naom Chazan et.al., 1999, Politics and Society in Contemporary Africa, 3rd
edition, Boulder, CO: Lynne Rienner, hlm. 141.

160 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


akan menjadi tidak aman, lemah dan tidak efektif.243 Birokrasi
merupakan jabatan yang menjanjikan askses sumber daya tersebut,
sehingga jalinan patron klien kemudian terjalin dengan rapi.
Di Kenya, perkembangan partai-partai nasional dilarang
sampai tahun 1960, organisasi politik hanya diperbolehkan di
tingkat kabupaten. Untuk pemilihan tahun 1961, masih di bawah
pemerintahan kolonial Inggris, dua partai besar terbentuk, yaitu
the Kenyan African National Union (KANU) and the Kenyan
African Democratic Union (KADU). Karena keadaan, kedua
partai politik pada dasarnya adalah koalisi longgar dari organisasi
politik tingkat kabupaten dan lokal.244
Kongo dihadapkan pada situasi yang serupa namun lebih
ekstrem. Pemerintahan kolonial Belgia lebih terpusat dan kurang
pragmatis dibandingkan kolonialisasi Inggris di Kenya dan Zambia.
Belgia mencoba untuk melawan kemerdekaan Kongo selama
mereka bisa dan menawarkan sedikit persiapan untuk tugas-tugas di
masa depan.245 Partai politik tidak diijinkan sebelum kemerdekaan.
Dalam situasi seperti ini, “the most active organisational framework
for the activation of vote banks which competitive elections require
was the numerous ethnic associations.”246 Oleh karena itu, sama
halnya dengan Kenya, etnisitas menjadi kendaraan penting untuk

243
C. Baylies dan M. Szeftel, “Elections in the One-Party State”, dalam Gertzel
Cherry, et.al., 1999, The Dynamics of the One-Party State in Zambia, Manchester:
Manchester University Press, hlm. 84.
244
Joel D. Barkan, “The Rise and Fall of a Governance Realm in Kenya”, dalam
Goran Hyden dan Michael Bratton, eds., 1987, Governance and Politics in Africa, Boulder,
CO: Lynne Rienner, hlm. 218.
245
Paul Cammack et al, 1993, Third World Politics: A Comparative Introduction,
Hampshire: Macmillan Press.
246
M. Crawford Young, “Elections in Zaire: The Shadows of Democracy”, dalam
Fred M. Hayward, ed., 1987, Elections in Independent Africa, Boulder: Westview Press,
hlm. 192.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 161


memobilisasi pemilih. Pentingnya hubungan etnis dan regional
juga ditegakkan oleh perubahan yang sangat cepat terhadap
kemerdekaan. Pada bulan Januari 1960, Belgia sepakat memberikan
kemerdekaan pada bulan Juni. Pemilihan provinsi dan nasional
dijadwalkan pada bulan Mei, yang hanya tersisa tiga bulan untuk
persiapan. Dalam pemilihan tahun 1960, hampir semua partai
yang terdaftar bersifat regional, etnik atau lokal. Hanya 2 (dua) saja
sebagai pengecualian yaitu the Parti National du Progrès (PNP) dan
the Mouvement National Congolais-Lumumba (MNC-L).

2. Faktor Etnik
Salah satu karakteristik benua Afrika adalah keragaman
etniknya. Sebuah kelompok etnis dapat didefinisikan sebagai
“people who share a distinctive and enduring collective identity based
on a belief in common descent and on shared experiences and cultural
traits.”247 Di Zambia ada sekitar 70 kelompok etnis, dengan jumlah
terbesar sekitar 27% dari jumlah penduduk. Bandingkan hanya
ada sekitar 40 kelompok di Kenya, di mana kelompok terbesar
berjumlah sekitar 22% dari total jumlah penduduk. Kongo
memiliki tingkat fraksionalitas etnis yang sangat tinggi dengan
sekitar 250 kelompok etnis. Diantara ketiga negara tersebut, pada
awal 1990an, etnis memainkan peran utama di Kongo, dan lebih
menonjol dalam politik di Kenya daripada di Zambia. Seperti telah
diuraikan di atas, partai nasional di Kenya dilarang sampai tahun
1959. Ketika KANU dan KADU terbentuk pada tahun 1960,
KANU mewakili beberapa kelompok etnis besar, termasuk Kikuyu,
yang mengklaim dukungan lebih dari 60% populasi. Namun, hal

Nicolas Van de Walle, dan Kimberly Smiddy Butler, “Political Parties and Party
247

Systems in Africa’s Illiberal Democracies”, Cambridge Review of International Affairs, Vol.


14, No, 1, 1999, hlm. 14-28.

162 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


itu tidak berhasil membangun rasa komunitas di kalangan pengikut
KANU dan di berbagai kelompok etnis.248 Ini menunjukkan
bahwa perpecahan etnis yang diwakili dalam kedua partai tidak
cukup menonjol dan mewakili beberapa kelompok etnis tertentu,
sembari mengorbankan akses yang lebih baik terhadap sumber daya
negara. Setelah pelarangan the Kenyan Peoples Union (KPU) pada
tahun 1969, Kenya bersimbiosis menjadi negara yang menjalankan
sistem partai tunggal. Pada 1990, the Forum for the Restoration of
Democracy (FORD) diakui sebagai partai politik akibat tekanan
domestik dan internasional.
Di Zaire, etnisitas telah memainkan peran penting sejak
awal kemerdekaan. Ini adalah faktor utama pendorong pemilu
pertama pasca kemerdekaan pada tahun 1960, yang menghasilkan
parlemen yang sangat terfragmentasi dan mengancam agenda
pembentukan konstitusi. Untuk pemilihan tahun 1965, 227 partai
terdaftar, berdasarkan pembelahan lokal, klaim regional, dan etnis
terhadap otonomi dan ketidakmampuan pemerintah pusat untuk
memberlakukan kekuasaan, yang menyebabkan tidak adanya
partai nasional. Etnisiras yang kuat mengakibatkan tingginya
tingkat kekerasan dan pemberontakan berbasis etnis. Setelah
Presiden Kasavubu memecat Perdana Menteri Tshombe, yang
memimpin pemisahan Katanga pada tahun 1960-1963, seorang
perdana menteri baru tidak dapat dikonfirmasi di parlemen yang
heterogen. Pada tanggal 24 November 1965, Mobutu Sese Seko
diproklamasikan sebagai Presiden oleh komando tertinggi tentara.
Parlemen menyetujui kudeta tersebut, yang juga mendapat banyak
dukungan dari masyarakat. Partai politik segera dilarang sampai
konstitusi baru pada tahun 1967 mengizinkan 2 (dua) partai.
Presiden Mobutu mengkhotbahkan politik nonetnis dan berbagai

Barkan, 1992, hlm. 171.


248

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 163


kelompok etnis diwakili dalam kabinetnya. Tapi lingkaran dalam
penasihatnya hanya dikelola oleh kelompok etniknya.
Dibandingkan dengan Kenya dan Zaire, etnisitas memainkan
peran yang relatif kecil dalam politik Zambia. Persaingan sumber
daya mencerminkan pembagian etnis yang tak mengakibatkan
perpecahan di tingkat regional dan provinsi. Ketika United
Progressive Party (UPP) dibentuk pada tahun 1971, ini mewakili
sedikit perpecahan yang bermotif etnis daripada “protest by
some disadvantaged groups (or those who perceived themselves as
disadvantaged) against the increasing dominance in national affairs
of better educated politicians and the bureaucracy.”249 Setelah Zambia
menjadi negara dengan sistem partai tunggal pada bulan Desember
1972, Presiden Kaunda berusaha mencapai koalisi maksimum
di bawah the United National Independence Party (UNIP), baik
dengan kooptasi maupun dengan cara-cara represif. Pada 1990,
sebuah partai politik baru dibentuk, the Movement for Multi-Party
Democracy (MMD). Partai ini didukung oleh elit terdidik baik dari
kalangan dunia usaha, dosen, pengacara, maupun serikat buruh.
Pembentukan partai baru tidak terutama didasarkan pada etnis
tetapi untuk membangun sistem multipartai.
Reformasi tahun 1990-an secara harfiah menghidupkan
ratusan “partai politik” baru. Namun banyak negara dengan
sistem partai tunggal yang telah mendominasi kehidupan politik
banyak negara selama Perang Dingin masih eksis. Banyak dari
mereka berhasil mempertahankan kekuasaan dengan memastikan
bahwa reformasi dijaga seminimal mungkin dan dengan demikian
mencegah adanya perubahan nyata (seperti terjadi terhadap the
Movimento Popular de Libertação de Angola di Angola, African
National Union-Patriotic Front di Zimbabwe, the Parti Démocratique

Gertzel et al., 1984, hlm. 15.


249

164 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Gabonais di Gabon atau Rassemblement Démocratique du Peuple
Camerounais di Kamerun). Dengan demikian, partai dominan
yang berkuasa berhasil beradaptasi dan bertahan, setidaknya untuk
sementara, di hadapan partai oposisi, seperti kasus the United
National Independence Party di Zambia atau the Parti Démocratique
de la Côte d’Ivoire di Pantai Gading.
Kekuatan politik baru, sebaliknya, terbentuk dengan 3 (tiga
cara yang berbeda). Di negara-negara seperti Uganda, Nigeria,
Pantai Gading, atau Kenya, partai baru dibentuk oleh politisi
yang sudah tenar di muka publik. Sebagai contoh Kizza Besigye
yang membentuk Forum for Democratic Change di Uganda,
Olusegun Obasanjo merintis People’s Democratic Party di Nigeria,
Laurent Gbagbo yang membentuk Front Populaire Ivoirien di
Pantai Gading serta Mwai Kibaki yang membentuk Democratic
Party. Cara yang lain adalah dibentuk oleh kekuatan dan jaringan
masyarakat sipil seperti the New Patriotic Party (Ghana), the
Movement for Multiparty Democracy (Zambia), the Movement for
Democratic Change (Zimbabwe). Pada akhir 1980-an pula, para
pemberontak duduk di pemerintahan atau gagasan-gagasan mereka
diintegrasikan ke dalam konstitusi baru. The Rwandan Patriotic
Front (Rwanda), the Ethiopian People’s Revolutionary Democratic
Front (Ethiopia) atau the Burundian Conseil National Pour la
Défense de la Démocratie–Forces pour la Défense de la Démocratie
(Burundi), misalnya, berhasil memerintah setelah negosiasi dengan
rezim penguasa sebelumnya. Kemudian, Resistência Nacional
Moçambicana (Mozambik) memperoleh pengesahan sebagai partai
usai 15 tahun menggelorakan ajaran Marxis.
Pengalaman politik di tiap-tiap negara juga beragam.
Beberapa negara (seperti Kenya dan Tanzania) telah menikmati
periode stabilitas politik dalam negeri yang lama. Sudan terjebak

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 165


pergolakan satu perang saudara sejak kemerdekaan 1956, kecuali
periode antara 1972 hingga 1983 (di bawah Gaffar al Nimeiry)
ketika Kesepakatan Addis Ababa antara pemerintah Khartoum dan
sebuah otonomi khusus Sudan Selatan diberlakukan. Sementara itu,
Kenya, Sudan, Tanzania dan Uganda memperoleh kemerdekaan
setelah berpuluh-puluh tahun dijajah Inggris. Terlepas dari
pendudukan singkat oleh Italia (1939-1944), Ethiopia memiliki
sejarah panjang sebagai negara merdeka yang telah bertahan dalam
usaha pendudukan asing selama berabad-abad. Di atas semua ini,
negara-negara tersebut mengalami perpecahan internal yang tajam
dalam banyak dimensi. Baik atas basis wilayah, identitas etnik,
agama, budaya, ras, maupun kelas.
Perlu dicatat, bahwa sejak akhir Perang Dunia II hingga
1960-an, label “partai massa” banyak diadopsi saat rintisan sistem
kepartaian dimulai. Banyak partai baru di benua ini pada mulanya
muncul sebagai gerakan pembebasan yang bertujuan memobilisasi
penduduk untuk kemerdekaan. Tentu saja watak kepartaian ini
lantas melahirkan format dan kondisi yang beragam. Kondisi
sebagai partai massa ini terus bertahan hampir 20 tahun pasca
kemerdekaan.250 Kelahiran pemerintahan pasca kemerdekaan,
di samping itu, melibatkan pemindahan sejumlah besar kader
partai yang diperlukan ke institusi dan administrasi negara.
Kader-kader partai pun berkurang. Banyak negara yang kemudian
menyingkirkan pentingnya melembagakan partai politik sembari
lebih nyaman menyusun pemerintahan dalam format partai politik
tunggal. Hanya sedikit partai politik yang berhasil membangun
struktur kelembagaan yang baik seperti Tanganyika African National

250
Nelson Kasfir, 1976, The Shrinking Political Arena. Participation And Ethnicity
In African Politics With A Case Study Of Uganda, Berkeley, University of California Press,
hlm. 244.

166 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Union (Tanzania), atau the Mouvement Révolutionnaire National
pour le Développemen (di Rwanda).251
Memasuki dekade 1970-an, seiring pergerakan kemerdekaan
di Angola dan Mozambik, atau kudeta di Etiopia dan Somalia,
banyak partai yang mengadopsi ideoloagi Marxis dalam
menjalankan pemerintahan. Gagasan bahwa partai tunggal
dianggap sebagai ‘pelopor’ perubahan revolusioner yang seharusnya
tidak lagi mengarah pada keanggotaan massal, melainkan hanya
memilih dan melibatkan kader militan yang sangat termotivasi.
Di Mozambik, Frelimo mendeklarasikan dirinya sebagai partai
pelopor revolusioner pada tahun 1977. Ini memiliki implikasi
praktis, termasuk penerapan kriteria ketat untuk pendaftaran partai,
keutamaan partai atas negara dan penindasan terhadap oposisi.252
Partai politik mencerminkan lingkungan sosial dan ekonomi
di mana mereka tumbuh dan berkembang. Tidak mungkin
memahami dasar struktur dan persaingan antar partai tanpa adanya
apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan ini. Meskipun demikian,
penting juga untuk menghargai tingkat kesamaan misalnya di 5
(lima) negara yang menjadi obyek pengamatan, seperti Sudan,
Kenya, Sudan, Tanzania, dan Uganda. Tabel 1 merangkum fitur
yang paling menonjol di negara-negara ini. Relevansi mereka
akan menjadi lebih jelas saat kita melanjutkan menganalisis sistem
kepartaian masing-masing.

251
Gérard Prunier, 1997, The Rwanda Crisis: History Of A Genocide, London:
Hurst, hlm. 76.
252
Giovanni M. Carbone, “Continuidade na renovação? Ten Years Of Multiparty
Politics In Mozambique: Roots, Evolution And Stabilisation Of The Frelimo-Renamo
Party System”, Journal of Modern African Studies, Vol. 43, No. 3, 2005, hlm. 424.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 167


Size Population Income per Freedom No. of ethnic No. of
Country (sq km, registered
(m.) 2004 capita (USD) House rating groups parties, 2006
’000)

Ethiopia 1,222 75.6 114 5 (PF) 80 60

Kenya 583 33.5 481 3 (PF) 42 66

Sudan 2,506 35.5 594 7 (NF) 150 7

Tanzania 945 37.6 288 3.5 (PF) 120 25

Uganda 236 27.8 245 4.5 (PF) 22 10

Sumber: World Bank, African Development Indicators (Washington, DC:


World Bank, 2006) (columns 2–4); Freedom House, Freedom in
the World (New York: Freedom House, 2006) (column 5); national
censuses (column 6).

Seperti yang terlihat dari tabel, Sudan adalah negara yang


secara geografis paling luas, diikuti oleh Ethiopia, kemudian
Tanzania, Kenya dan Uganda, dalam urutan itu. Sudan, negara
terbesar di Afrika, menempati 2,5 juta kilometer persegi (km),
dibandingkan dengan Uganda seluas 236.000 km persegi. Ethiopia,
secara geografis setengah kali ukuran Sudan, memiliki populasi
dua kali lebih besar. Secara internal, daerah-daerah di semua
negara kurang terintegrasi karena jumlah jalan, kereta api dan
telekomunikasi relatif rendah, namun Sudan dan Ethiopia sangat
dirugikan.
Komunikasi internal lebih baik di Kenya dan Uganda, tetapi
bahkan ada beberapa daerah (Kenya bagian utara dan Uganda
bagian utara) tidak terintegrasi dengan baik ke negara lain.
Meskipun kelima negara bagian adalah negara berpenghasilan
rendah (765 dolar AS (USD) per kapita pada harga tahun 2003),
terdapat banyak variasi. Sudan (sejak produksi minyak dilanjutkan
pada tahun 1999) sekarang memiliki pendapatan per kapita

168 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


tertinggi dibandingkan kelima negara lainnya, dan Ethiopia paling
rendah karena hanya memperoleh 20 persen pendapatan Sudan.
Kenya memiliki ekonomi paling beragam di antara kelima negara
tersebut dan merupakan pusat perdagangan dan komunikasi di
Afrika Timur.
Tingkat keanekaragaman etnis pa kelima negara dapat dilihat
pada kolom 6 Tabel 1 di atas. Namun, seperti di tempat lain di
Afrika, data yang disajikan di sini (dari data sensus terakhir) harus
diperhatikan dengan hati-hati. Identitas etnis di Afrika bermutasi
dengan cepat dari waktu ke waktu dan tergantung pada bagaimana
orang diminta untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri. Untuk
alasan ini, identitas etnis merupakan faktor netral dalam kehidupan
politik.
Tingkat keragaman budaya dan karena itu tak serta merta
menjadi faktor tunggal kekisruhan domestik. Perhatikan, negara-
negara di kawasan Afrika Timur dengan keragaman rendah
(Somalia dan Rwanda) telah menderita kekerasan antar etnis yang
ganas, sementara negara-negara yang menunjukkan pluralisme
etnis yang luar biasa luas (seperti Tanzania) telah menikmati masa
damai antar masyarakat. Sejauh mana pemimpin partai, ideolog
dan penggerak menarik stereotip etnik, budaya, dan agama secara
negatif adalah faktor penentu apakah keragaman berubah menjadi
kesengsaaraan (seperti di Somalia dan Rwanda) daripada aset - yang
mungkin bisa terjadi dalam pengaturan demokratis. Namun, jelas
dari Tabel 1, bahwa kelima negara sangat beragam secara etnik
sehingga para pemimpin partai dan penyelenggara yang bermaksud
melakukan kejahatan dapat selalu memanfaatkan situasi tersebut
untuk membuat transisi menuju demokrasi menjadi gagal, atau
proses semacam itu hanya akan menyebabkan anarki dan kegagalan
negara.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 169


Nampak sebagaimana dirumuskan dalam Tabel 1, terlepas
dari kasus khusus Sudan, negara-negara di kawasan Afrika
Timur telah mengizinkan sejumlah besar partai politik untuk
berpartisipasi. Sekali lagi, Kenya memimpin mengakui 66 partai
politik. Sebaliknya, 7 (tujuh) partai politik utama Sudan telah
beroperasi dalam kondisi yang sulit sejak tahun 1989, ketika semua
organisasi politik dilarang. Pemerintahan Sudan adalah otokrasi
sipil-militer partai tunggal yang membenarkan peraturannya
atas dasar agama. Sejak tahun 2005, partai yang berkuasa telah
memperpanjang pembagian kekuasaan ke beberapa partai regional
tanpa mengorbankan posisi dasar tersebut. Sekali lagi, 3 (tiga)
negara lainnya berada di antara keduanya. Di sebelah Kenya,
Tanzania memiliki struktur partai yang relatif liberal, dengan
25 partai terdaftar. Uganda dan Ethiopia telah mengizinkan
pendaftaran pluralitas partai namun kebebasan untuk partai oposisi
tetap sangat dibatasi.
Selain gerakan antikolonial dan situasi pasca kemerdekaan,
nasionalisme di Afrika sangat setara dengan politisasi tuntutan
yang diajukan oleh masyarakat sub-nasional atau etnis. Nuansa
populis menandai tuntutan ini dengan cara yang sama seperti yang
sering dilakukan di wilayah dunia lain. Kadang-kadang, tuntutan
perjuangan etnis mencakup otonomi daerah atau kemerdekaan,
yang oleh Gunther dan Diamond menghasilkan perbedaan antara
partai-partai etnis dan partai pluralis-nasionalis penuh.253 Selama
masa-masa transisi Afrika Selatan yang panjang dan bermasalah,
misalnya, the Inkatha Freedom Party mengancam akan memisahkan
diri jika konstitusi federal yang memberikan otonomi kepada
orang-orang Zulu yang diundangkan. Partai-partai dengan watak

253
Richard Gunther dan Larry Diamond, “Species Of Political Parties. A New
Typology”, Party Politics, Vol. 9, No. 2, 2003, hlm. 167-199.

170 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


“Ultranationalist mass parties” mendominasi di kawasan Afrika.
Sementara itu, “Religious mass parties”, absen dari sistem kepartaian
pasca kemerdekaanNamun pengecualian tidak sepenuhnya hilang.
Di Uganda, persaingan pemilihan selama awal 1960-an dan 1980an
sebagian besar dibentuk oleh antagonisme antara umat Katolik
dan Protestan, masing-masing kelompok memiliki kendaraan
politik istimewa yaitu the Democratic Party dan the Uganda
People’s Congress. Konsep “partai gerakan” (“movement party”) juga
tampaknya tidak banyak berguna untuk skenario Afrika, kecuali
bahwa, dengan beberapa adaptasi, citra tersebut dapat digunakan
untuk transformasi bekas organisasi gerilya menjadi partai-partai
hegemonik atau dominan, yang secara formal bersaing untuk kursi
parlemen, seperti di Uganda atau Rwanda selama akhir 1980an
dan 1990an.
Kehadiran partai-partai yang didasarkan pada identitas etnis
di Afrika tidak mengherankan, mengingat heterogenitas etnik
adalah ciri yang hampir dimiliki semua masyarakat di kawasan
ini, beberapa di antaranya menggabungkannya dengan perpecahan
agama yang akut. Di sejumlah negara, politik partai tampaknya
mencerminkan keragaman komunal. Sebagai contoh, Parti du
Mouvement de l’Émancipation Hutu dan lawannya, Union National
Rwandaise, pada tahun-tahun awal “Republik Pertama Rwanda”
atau Inkatha Freedom Party di Afrika Selatan.
Persepsi bahwa partai Afrika secara sistematik terkait dengan
kelompok komunal, sesungguhnya menyesatkan. Erdmann
(2004: 71) mengklaim bahwa partai etnik, yang jauh pola di
Afrika, sebenarnya adalah pengecualian. Beberapa partai pada
kenyataannya, dibentuk dan didukung oleh orang-orang dari
latar belakang budaya yang berbeda, entah bagaimana menolak
keterbelahan etnik. Partai-partai ini bisa berbentuk partai trans-

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 171


etnis utuh (apa yang oleh Gunther dan Diamond disebut “pesta
kongres”), yang dicirikan tujuan mempromosikan integrasi
dan koalisi pemilih atau partai yang merujuk pada komunitas
yang berbeda. Kasus yang paling terkenal adalah the African
National Congress, di mana “faktor pembebasan” (liberation factor)
berkontribusi untuk melestarikan kesatuan komponen sosial
pemilih yang berbeda (kecuali untuk etnis Zulu yang mendukung
Inthaka Freedom Party). People’s Revolutionary Democratic Front
di Ethiopia menunjukkan karakter serupa. Di Kenya, the Kenya
African National Union dan the National Rainbow Coalition, yang
memenangkan pemilu 2002, yang menghimpun 15 partai berbasis
etnis-regional, merupakan contoh lain yang menarik.254

E. Partai Politik dan Demokrasi Konstitusional


Bagian ini merujuk kepada 4 (empat) negara Afrika Barat
(Nigeria, Benin, Ghana, dan Senegal) yang menawarkan wawasan
yang berbeda mengenai keterkaitan antara demokrasi konstitusional
dan partai politik, terutama, setelah gelombang ketiga demokrasi
yang melanda Afrika setelah tahun 1989 255, yang memicu
reintroduksi pemilihan kompetitif disertai dengan kebangkitan
partai politik di sebagian besar kawasan ini.
Secara keseluruhan, corak pemerintahan di negara-negara
benua Afrika menunjukkan peningkatan pesat dalam demokrasi
dari tahun 1989 sampai 1995, diikuti oleh stagnasi secara
keseluruhan setelahnya. Meskipun pola akhir transisi secara
keseluruhan diketahui, tampilan yang lebih rinci menunjukkan

254
Stephen Ndegwa, “Kenya: Third Time Lucky?”, Journal of Democracy, Vol. 14,
No. 3, 2003, hlm. 147.
255
Samuel P. Huntington, 1991, The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century, Norman OH, University of Oklahoma Press.

172 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


bahwa transisi awal di semua negara berjalan dengan rute-rute
yang tidak sama, dari demokratisasi radikal hingga peningkatan
otoritarianisme.
Hingga tahun 2011, di kawsan Afrika terdapat 9 (Sembilan)
negara demokrasi, 23 negara nondemokrasi, dan 16 negara tak
dapat dikategorikan sebagai demokrasi, yang semua berasal dari
proses yang bertahan dalam waktu 20 tahun. Sekitar 90 persen
negara yang demokratis pada tahun 1995 masih demokratis pada
tahun 2011, dan sekitar 75 persen berikutnya mengalami interupsi
yang menampilkan demokrasi tidak utuh. Secara keseluruhan,
sekitar 68 persen perubahan demokrasi di seluruh benua antara
tahun 1989 hingga 2011 dapat dikaitkan dengan perubahan
antara tahun 1989 hingga 1995. Lebih penting lagi, demokratisasi
di sebagian besar negara-negara ini pada akhir tahun 2013 juga
ditandai dengan pergantian partai pemerintah ke partai oposisi.256
Nigeria, Ghana, dan Benin memenuhi kategorisasi ini karena
mereka melibatkan transisi “top down” di mana rezim militer
petahana menyerahkan kekuasaan kepada kepemimpinan sipil.
Sementara Senegal, yang selalu memiliki pemerintahan pimpinan
sipil, berubah dari negara pihak ketiga yang dominan diktator
menjadi negara multi partai.257 Demokrasi membutuhkan partai
politik kuat dan berkelanjutan dengan kapasitas mewakili warga
negara dan memberikan pilihan kebijakan yang menunjukkan
kemampuan mereka dalam mengatur kepentingan publik.258

256
Sebastian Elischer, 2013, Political Parties in Africa: Ethnicity and Party
Formation, Cambridge, Cambridge University Press, hlm. 22- 27.
257
Giovanni M. Carbone, “Political Parties and Party Systems in Africa: Themes
and Research Perspectives”, World Political Science Review, Vol. 3, No. 3, 2007, hlm. 1-10.
258
Kenneth Janda, 2005, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical
Perspectives: Adopting Party Law, Washington, The National Democratic Institute for
International Affairs.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 173


Partai politik telah diperdebatkan sebagai perlengkapan yang
sangat diperlukan di negara-negara demokrasi modern, walaupun
formasi dan perkembangan mereka tak dapat berjalan seragam259,
konstitusi di negara-negara Afrika secara sederhana mengandung
ketentuan untuk keberadaan dan legitimasi partai-partai tersebut.
Namun, pengalaman dan praktik demokrasi konstitusional di
sebagian besar negara Afrika sub-Sahara, seperti yang dicontohkan
oleh Nigeria, Benin, Ghana, dan Senegal, telah melukiskan beragam
hasil, terutama, dampak partai politik dalam proses demokratisasi,
praktik demokrasi, dan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, sebuah konstitusi baru biasanya menandai
transisi dari rezim otoriter atau dominan petahana ke rezim baru
atau kembali ke demokrasi multi-partai, untuk menetapkan nada
bagi pemerintahan yang demokratis atau menetapkan peraturan
keterlibatan untuk semua aktor politik.260 Pemilu multi partai
akan menimbulkan demokrasi konstitusional dan, akhirnya
konstitusionalisme.261 Namun, terdapat perbedaan adaptasi teori
ini dalam praktik, yang timbul dari perbedaan latar belakang
politik-sosial-budaya, prosedur pembuatan konstitusi, dan struktur
konstitusional dan institusional, di berbagai negara.262
Proses pembuatan konstitusi di Benin, Ghana, dan
Senegal melibatkan prosedur referendum, sementara di Nigeria,
Konstitusi 1999 mulai diberlakukan tanpa melalui prosedur
259
Shaheen Moazaffar dan James R. Scarritt, 2005, “The Puzzle of African Party
Systems”, Party Politics, Vol. 11. No. 4, 2005, hlm. 400.
260
Michele Brandt, Jill Cottrell, Yash Ghai, and Anthony Regan, 2011,
Constitution-Making And Reforms: Options For The Process, Interpeace, hlm. 13-14.
261
Charles Manga Fombad, “Constitutional Reforms and Constitutionalism in
Africa: Reflections on Some Current Challenges and Future Prospects”, Buffalo Law
Review, Vol. 59, 2007, hlm. 1009-1010.
262
Joe Clare, “Democratization and International Conflicts: The impact of
Institutional Legacies”, Journal Peace Research, Vol. 44, No. 3, 2007, hlm. 259 – 276.

174 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


referendum dan diganggu oleh pertanyaan tentang legitimasinya
yang telah mempengaruhi keefektifannya sejauh dua konferensi
konstitusional, yang pertama, di bawah mantan Presiden Olusegun
Obasanjo, dan yang kedua (masih berlangsung), di bawah Presiden
saat ini, Goodluck Jonathan.
Senegal mengalami periode pemerintahan sipil stabil dan
tanpa intervensi militer. Reformasi konstitusi pada tahun 1976 dan
1978 mendorong pemilu yang kompetitif dengan mengundang
kepesertaan oposisi. Hal itu diikuti oleh amandemen undang-
undang dasar dan undang-undang pemilihan tahun 1991,
yang menghasilkan konfigurasi politik baru tahun 2000 ketika
pemilihan presiden mengakhiri hegemoni Partai Sosialis (PS)
secara mengejutkan. Ketika itu, Partai Demokrat Senegal (PDS),
berhasl memenangkan kontestasi dan memberikan kemenangan
kepresidenan terhadap Abdoulaye Wade. Pemerintahan Wade
kemudian melakukan penyusunan konstitusi baru melalui sebuah
referendum pada tanggal 7 Januari 2001. Dalam pemilihan
presiden 2012 Presiden Wade, dikalahkan oleh Aliansi untuk
Republik - Yaakar, yang dipimpin oleh Macky Sall, bersama dengan
oposisi yang luas.263
Di Benin, saat koalisi pemerintahan The National Conference
of Active Forces of the Nation, mengambilalih pemerintahan pada
Februari 1990, menandakan muara demokrasi yang terbuka.
Sebuah konstitusi baru disahkan pada tahun itu dan lantas untuk
pertama kali sebuah pemilu yang demokratis digelar pada 1991.
Pelaksana tugas Perdana Menteri Nicephore Soglo berhasil merebut
suara kepresidenan dengan menekuk dictator Mathieu Kerekou,

263
Michael Washman, “Democratization through Alternation?- Comparing the
cases of Ghana, Kenya, and Senegal”, Paper prepared for delivery at the Annual Meeting of
the Swedish Political Science Association, Gothenburg, 30 October 2011.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 175


yang sebelumnya sudah berkuasa salama 17 tahun (1972-1991)
melalui sebuah kudeta militer. Pada 30 November 1974, Kerekou
mengadopsi aliran Marxis dalam pemerintahannya (dan kelak
diakhiri pada Desember 1989), diikuti nasionalisasi perbankan
dan industri minyak. The People’s Revolutionary Party of Benin
didirikan pada tahun 1980 sebagai satu-satunya partai yang diakui
oleh negara. Dalam sebuah Konferensi Nasional pada 1990,
parlemen secara sepihak menunjukkan sikap permusuhan dengan
Kerekou dan menyatakan dirinya sebagai badan yang berdaulat dan
independen. Kerekou walaupun menyebut tindakan itu sebagai
kudeta sipil, namun membiarkan deklarasi itu, sesuatu yang lantas
memukul dirinya sendiri karena sejak saat itu kekuasaan Presiden
dilucuti. Seorang ekonom Bank Dunia, Nicéphore Soglo, ditunjuk
sebagai pelaksana tugas Perdana Menteri dan memulai jabatan pada
Maret 1990. Pemilu Februari 1990 mengakhiri kepemimpinan
Kerekou, menjadi pemimpin pertama di Afrika yang menjadi
pecundang lewat elektoral. Namun demikian, Kerekou kembali
memerintah sejak 1996 sampai akhirnya menyerah setelah
dikalahkan oleh Boni Yayi pada pemilu 2006.
Konstitusi Benin, Ghana, Senegal dan Nigeria, seperti
kebanyakan negara demokratisasi sub-Sahara memuat ketentuan
tentang partai politik dan pemilihan264Namun, demokratisasi multi
partai melalui pemilihan di panggung partai politik menimbulkan
beberapa tantangan terhadap konstitusionalisme di negara-
negara ini, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang praktik
konstitusionalisme di negara-negara demokrasi konstitusional

264
Constitution of Benin 1990 Art 4-6; Constitution of Ghana 1992 (as amended
1996)sections 3(1) & (2), 42-56; Constitution of Senegal 2001 (as amended 2009)
Art.4,12, 32, 35 ; and Constitution of Nigeria 1999 (as amended 2010 &2011) sections
40, 221- 229.

176 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


baru ini.265 Sementara konstitusi Benin, Ghana, dan Senegal telah
melahirkan pemilu teratur melalui demokrasi multipartai, yang
sampai batas tertentu dianggap bebas dan adil, karena menjadi
saksi pergantian partai politik yang terpilih menjadi pemerintahan
di ketiga negara tersebut266, dan jika merujuk kepada laporan the
Report of the African Union Election Observation Mission pada 7
Desember 2012 atas pelaksanaan pemilu di Ghana membuktikan
pendalaman demokrasi di negara tersebut. Sementara pengalaman
demokratisasi Nigeria sejak tahun 1999, dapat dengan mudah
diringkas sebagai pengingkaran konstitusionalisme.267
Kinerja Mahkamah Konstitusi untuk menjadi penjaga
demokrasi konstitusional memperoleh kritik negatif di Benin dan
Sinegal, akan tetapi bekerja secara baik di Benin dan Ghana. Di
Nigeria petisi telah menjadi penghalang independensi peradilan
bahkan dalam menghadapi bukti malpraktek pemilihan berskala
besar. Kadang-kadang sebuah percikan independensi dan
aktivisme peradilan oleh pengadilan tertinggi, putusan mereka
telah menimbulkan lebih banyak kontroversi dan membuat
kebingungan.
Kontrol amandemen konstitusi oleh pimpinan partai politik
yang berkuasa di pemerintahan selalu juga merupakan tantangan
bagi konstitusionalisme. Di Senegal, amandemen konstitusi telah
dikendalikan oeh Presiden Wade dan Sall untuk tujuan politik.
265
Peter Burnell, “The Relationship of Accountable Governance and Constitutional
Implementation with Reference to Africa”, Journal of Politics and Law, Vol. 1, No. 3,
2008, hlm. 21-22.
266
Lindsay Whitfield, “Change for a Better Ghana’: Party Competition,
Institutionalization and Alternation in Ghana’s 2008 Elections”, African Affairs, 108/433,
2009, hlm. 621–641.
267
S.M. Omodia dan V.Egwemi, “Party Politics and the Challenge of Political
Representation in Nigeria”, International Journal of Bussiness & Social Science, Vol. 2, No.
22, December 2011, hlm. 270-275.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 177


Amandemen Konstitusi pada tahun Presiden Wade, amandemen
konstitusi tahun 2001 adalah contoh dari kesediaannya untuk
“berkeinginan untuk mengubah peraturan formal yang sesuai
dengan kebutuhan politiknya yang mendesak.” Rute yang sama
diikuti oleh Presiden Sall dalam mengubah konstitusi untuk
menghapuskan jabatan Wakil Presiden dan Senat. Konstitusi
Republik Ghana tahun 1992 mengalami perubahan pada tahun
1996. Sementara Konstitusi 1999 di Nigeria telah diubah pada
tahun 2010 dan 2011.
Secara konklusif, pembentukan konstitusi demi demokratisasi
belum melembagakan demokrasi konstitusional atau mendorong
perkembangan partai politik beraras konstitusionalisme.
Perkembangan konstitusional di 4 (empat) negara, yaitu
Benin, Ghana, Senegal, dan Nigeria, berjalan dengan rute-rute
yang tidak sama, dengan Nigeria berada di ujung spektrum
terendah. Meskipun gelombang konstitusi baru mungkin
tidak menimbulkan demokrasi dan konstitusionalisme, proses
demokratisasi menawarkan kesempatan reformasi konstitusi
untuk memperbaiki kelemahan yang diamati dan meningkatkan
keefektifan partai politik dalam pemerintahan negara, dengan
pelajaran dari Ghana, Benin, dan Senegal.
Terlepas dari faktor-faktor umum yang tampak yang memulai
transisi demokratis menuju demokrasi konstitusional multipartai
di seluruh benua Afrika, sistem partai nasional menunjukkan
karakteristik yang berbeda Karena sistem partai politik yang muncul
di era demokratisasi ini sangat bervariasi. Variasi dalam sistem partai
Afrika dapat dicirikan oleh beberapa partai nasional yang bersaing
untuk mendapatkan kekuasaan di semua tingkat, seperti Ghana,
Senegal, dan Afrika Selatan. Pada sisi lain terdapat hal-hal yang
dipersonalisasi, partikular, dan terbatas secara geografis, di negara-

178 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


negara seperti Benin, Nigeria dan Zambia, dengan sistem dan partai
politik yang sangat terfragmentasi dan hanya mewakili wilayah
atau kepentingan etnis tertentu. Secara akdemik hal ini memiliki
implikasi besar terhadap partisipasi warga, representasi, mobilisasi,
dan pertanggungjawaban dan pembuatan kebijakan pemerintah.
Misalnya, faktor apa yang dapat dipertanggungjawabkan
atas perbedaan sistem partai politik antara Ghana dan Nigeria,
bahkan dengan kemiripan serupa dengan sejarah Inggris, namun
diinterupai oleh beberapa kudeta militer, pluralisme etnis, dan
keterbelakangan ekonomi? Sistem bipartai di negara Ghana
melibatkan 2 (dua) partai besar, NDC dan PLTN, didukung oleh
pola pembelahan elektoral dan organisasi partai regional, berubah
pemilihan sejak tahun 1992.268
Di Nigeria salah satu institusi demokrasi yang paling penting
akan tetapi juga paling tidak berkembang adalah sistem partai
politik, karena saat ini terdapat lebih dari 50 partai politik, yang
sebagian besar bersifat personalistik, etnik, regional, atau kumpulan
orang-orang sekedar mengejar ambisi kekuasaan. Situasi ini telah
menghasilkan partai yang dominan, PDP, sejak 1999, dan tidak
ada partai oposisi yang efektif.
Dalam praktik, partai-partai oposisi tidak dapat menjadi
pesaing partai dominan, karena kontrol undang-undang dan
keuangan, pengendalian pengadilan, represi pasukan keamanan,
tingginya tingkat buta huruf pemilih, dan tingginya insiden
kekerasan setiap pemilu.269 Dalam sebuah analisis empiris terhadap
sistem kepartaian yang kontras di Benin dan Senegal, akibat
268
Minion K. C. Morrison dan Jae Woo Hong, “Ghana’s Political Parties: How
Ethno/Regional Variations Sustain the National Two-Party System”, Journal of Modern
African Studies, Vol. 44, No. 4, 2006, hlm. 623–647.
269
A. K. Oladipupo, “Democratic Waves in West Africa: Nigeria and Ghana as a
Case in View”, Afro Asian Journal of Social Sciences, Vol. 2, No. 2, 2011.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 179


dominasi atau kelemahan pejabat otoriter untuk mengendalikan
dinamika transisi melalui pengaruh peraturan formal, identitas
kolektif, dan norma-norma organisasi.

F. Kasus Uganda: Multipartai di Tengah Otoritarian


Bagian ini menguraikan fungsi partai politik dalam
pemerintahan yang demokratis. Uraian mencakup masalah
yang dihadapi oleh partai politik dalam proses membangun dan
mempertahankan sistem politik yang kompetitif. Bagian ini melihat
kembali kondisi yang telah menyebabkan kebangkitan kembali
demokrasi multipartai dalam dua dekade terakhir dan menyoroti
kasus Uganda sebagai negara yang gagal mencapai politik monopoli
dan mendukung demokrasi multipartai.
Seperti telah diuraikan di muka, pada umumnya partai
politik di Afrika memainkan peran kunci dalam perjuangan
nasionalis melawan pemerintahan kolonial. Namun, pasca
kemerdekaan, sebagian besar partai lantas melarang partai oposisi,
mengkriminalisasi kegiatan mereka atau paling tidak menganggap
remeh peran oposisi dalam keputusan pemerintahan. Setelah
kemerdekaan, kebanyakan para penguasa di negara-negara
Afrika memproklamasikan negara-negara dengan sistem partai
tunggal. Entah disebabkan oleh kinerja pemerintahan sipil atau
militer, berkurangnya peran partai politik kemudian memicu
bencana. Kediktatoran, otoritarianisme, kronisme, korupsi, dan
keterbelakangan ekonomi merajalela, yang menyebabkan terjadinya
negara gagal di Afrika. Seperti ditunjukkan oleh beberapa ilmuwan,
sebagian besar pemerintahan pasca kolonial di Afrika memilih
untuk menjiplak gaya penguasa kolonial dengan mengabaikan
sebagian besar rakyat dan mengisolasi kelompok-kelompok oposisi.

180 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Kecenderungan ini menabur benih pemerintahan otoriter di
Afrika.270
Uganda sangat terpengaruh oleh kepemimpinan pasca
kolonial yang mengejar stabilitas politik. Negara ini mengalami
intoleransi partai tunggal pada tahun 1960an, rezim militer
Idi Amin yang terkenal kejam pada tahun 1970an, dan juga
pemerintah Trotkom yang tidak stabil dan bertikai pada tahun
1980an. Sejak 1986, pemerintahan the National Resistance
Movement (NRM) secara bertahap telah memandu untuk tegaknya
demokratisasi. Namun demikian, tetap saja ada kampanye yang
disengaja oleh beberapa aktivis pro-pemerintah untuk menghukum
partai politik sebagai makhluk penuh dosa.271 Dalam retrospeksi,
dasar demokrasi multipartai yang diletakkan pada saat kemerdekaan
telah dibongkar. Sedangkan tradisi liberal menganggap demokrasi
sebagai hak rakyat untuk mengatur dan memilih pemerintahan
mereka melalui sistem multipartai yang dilembagakan, sesuatu
yang di Uganda, ini masih dipandang dengan kecurigaan oleh elit
politik. Pendeknya, pasca kolonial, eksistensi partai dalam sistem
politik disingkirkan.
Di Uganda, kekuatan pemerintahan otoriter dan kesalahan
manajemen ekonomi paling dirasakan selama rezim Idi Amin
(1971-1979). Rezim Amin menyeret Uganda, dari sebuah negara
yang pernah mengalami kemakmuran menjadi negara paling
melarat di dunia.272 Memang selama tahun 1970an dan paruh

270
Goran Hyden (1983), No Shortcuts to Progress: African Development
Management in Perspective, Los Angeles: University of California Press, hlm. 44.
271
Lihat Pasal 70 Konstitusi Uganda (1995).
272
Dan Mudoola (1996), Religion, Ethnicity and Politics in Uganda, Kampala:
Fountain Publishers.

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 181


pertama tahun 1980an, situasi politik menjadi brutal. Pemerintahan
Idi Amin meninggalkan bekas teror pada sejarah Uganda.273
Kehadiran Idi Amin sebagai penguasa merupakan hasil
kesalahan yang dilakukan pendahulunya, Milton Obote.
Pemerintah Milton Obote sebagai pemerintahan pertama pasca-
kolonial telah melemahkan oposisi dan membatalkan konstitusi
demokratik pada tahun 1962 dan lantas menggantinya dengan
konstitusi baru yang disusun secara tergesa-gesa pada tahun 1966.274
Hal ini mengakibatkan penyingkiran kaum oposisi, penghapusan
monarki, dan embrio pemerintahan partai tunggal. Menurut
pandangan Obote, demi persatuan nasional, perang melawan
kemiskinan, wabah penyakit dan kebodohan, maka perlu dibentuk
sistem partai tunggal. Lagipula, bagi Obote, oposisi tak lebih dari
buih-buih kapitalisme yang patut disingkirkan. Pemerintahan
partai tunggal, kata Mobote, tak berarti meninggalkan kebebasan
berespkresi danm membungkam kritik-kritik yang membangun.
Kegagalan demokrasi multipartai di Uganda bertanggung jawab
atas kelesuan politik yang diderita negara tersebut di era pasca-kolonial.
Negara-negara lain yang mendukung toleransi terhadap pluralisme
demokrasi cenderung menikmati stabilitas politik dan kemajuan
ekonomi. Tampaknya keliru untuk membantah, seperti yang telah
dilakukan beberapa penulis, bahwa politik multipartai bertanggung
jawab atas perpecahan sektarian dan berkurangnya kemajuan dalam
masyarakat. Bukti berlimpah menunjukkan bahwa di Uganda periode
paling makmur adalah pemerintahan langsung pasca-kolonial ketika
politik multipartai berkembang pesat. Tidak hanya itu, pemberian
layanan sosial berlangsung secara efisien dan efektif. Situasi berubah
273
Henry Kyemba (1997), State of Blood: An Inside Story of Idi Amin,
Kampala: Fountain Publishers.
274
Phares Mutibwa, 1982, Uganda Since Independence: A story of Unfulfilled
Hopes, London, Hurst &Co.

182 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


usai Obote membatalkan konstitusi pada tahun 1967, menghentikan
pemilihan umum, dan membuat langkah menuju negara dengan
sistem partai tunggal. Situasi buruk tersebut lantas menjadi alasan
yang diajukan oleh Idi Amin untuk menggulingkan Milton Obote
dalam kudeta militer pada tahun 1971.
Kemungkinan memanfaatkan demokrasi multipartai
dilempar keluar saat rezim militer Idi Amin (1971-1979). Di bawah
rezim tersebut tidak ada jejak demokrasi atau bentuk partisipasi
warga dalam pemerintahan. Sebaliknya, rezim tersebut dituduh
telah melakukan pembunuhan massal, represi sistemik, dan
penculikan paksa atas warga negara yang dicurigai sebagai oposisi.
Pemerintah Uganda menolak diperkenalkannya kompetisi
multipartai lebih kuat daripada pemerintah manapun di kawasan
ini, kecuali Sudan. Presiden Yoweri K. Museveni berkuasa pada
tahun 1986 setelah sebuah kampanye gerilya 6 (enam) tahun
melawan pemerintah pusat. Ia berpenadangan bahwa kompetisi
partai bertanggung jawab atas sejarah pasca-kemerdekaan yang
keras di negara ini. Sejak awal pula ia berkehendak untuk
menyatukan semua kekuatan strategis domestik di dalam sebuah
“pergerakan” (movement), tidak dalam sebuah partai politik.
Partai-partai di Uganda cenderung terfokus secara sektarian
dan etnis di masa lalu. Kendati demikian, tekanan untuk pluralisme
politik meningkat, dan referendum untuk memutuskan atau
melawan sistem multipartai diselenggarakan pada tahun 2000.
Takut bahwa politik multipartai akan mengenalkan kembali
kekerasan, dan sebagian karena penyimpangan pemilihan,
penduduk memberikan suara 90 persen untuk mendukung
“pergerakan.” Tapi agitasi yang memperjuangkan multipartai
politik tidak berhenti. Oposisi mulai secara lebih terbuka terbuka.
Dalam referendum lain pada tanggal 28 Juli 2005, 92 persen

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 183


pemilih memilih sistem multipartai. Hasil ini selaras dengan
putusan pengadilan 2004 yang menyatakan pembatasan terhadap
partai politik oposisi tidak konstitusional.
Dalam situasi tersebut, NRM mendominasi pemilihan parlemen
1996 dan 2001, menyusul boikot oleh partai oposisi. Meskipun
mereka mengetahui popularitas pribadi Museveni, karena orang
yang menghentikan perang, sebagian besar pengamat independen
meragukan kejujuran pemilu-pemilu tersebut. Para pengamat
mencemaskan dominasi NRM atas media, serta pembatasan
pertemuan dan kampanye oposisi, beberapa di antaranya dibubarkan
secara paksa. Namun, DPR tidak monolitik. NRM biasa menunjuk
sejumlah besar anggota khusus Parlemen yang loyal kepada pemerintah
walau bukan kader partai seperti dari kalangan pemimpin perempuan,
serikat pekerja, militer dan sebagainya. Namun, setelah pemilihan
2001, penantang utama Museveni dalam pemilihan presiden, Dr.
Kizza Besigye, harus melarikan diri dari negara tersebut, dilaporkan
karena ancaman terhadap dirinya.
Baru setelah referendum Juli 2005, kemunculan kembali
sistem kepartaian yang benar-benar kompetitif untuk pertama
kalinya sejak 1962, saat kemerdekaan Uganda dari Inggris Raya.
Perlu dicatat bahwa pada tahun 1962 ada 3 (tiga) partie yang
dominan, yaitu the Democratic Party (DP) (dengan dukungan
kaum Katolik), Kabaka Yekka (pendukung monarki), dan the pan-
Africanist Uganda People’s Congress (UPC). Namun, pada pemilu
2006, konfigurasi politik berubah dengan kemunculan bermacam-
macam partai politik. Situasi 40 tahun dalam kekacauan dan
kediktatoran telah mengurangi energi partai-partai tahun 1960-an
meskipun basis etnis dan budaya mereka yang berbeda masih dapat
terdeteksi di bawah permukaan. Sebaliknya, Uganda memiliki satu
partai dominan dan sejumlah kelompok kecil yang bersaing.

184 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Dalam pemilihan parlemen bulan Februari 2006, partai
NRM, yang selama ini mendominasi pemerintahan memenangkan
191 dari 273 kursi yang diperebutkan. Basis dukungan utama ada
di Uganda Barat, kampong halaman Museveni, sebuah hasil yang
tetap tak memberi ruang gerak kepada oposisi. Dalam pemilihan
presiden bulan yang sama, Museveni, yang diusung oleh NRM
memperoleh dukungan 59% suara. Pemilu presiden itu sendiri
dilaksanakan sesudah perubahan konstitusi yang memungkinkan
Museveni mencalokan diri untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini, NRM telah lama menikmati semua ruang
politik sendirian. Reintroduksi multipartai agak dirasakan sebagai
penyumbatan ruang politik yang melimpah itu. Hal ini dapat
menjelaskan perilaku politik beberapa negara bagian pasca 2006
terhadap partai politik oposisi dan kegiatan mereka. Sementara
NRM telah membiarkan organisasi masyarakat sipil berkembang
dan melaksanakan kegiatan dengan bebas, telah terjadi peningkatan
intoleransi terhadap kegiatan partai politik. Di masa lalu, kegiatan
semacam itu dilarang karena dilarang oleh undang-undang.
Ironisnya, sejumlah negara bagian ingin berperilaku seperti itu
sebelum sebelum sistem multipartai diizinkan.
Perlu dicatat, pada tahun 1986, ketika NRM mengambil
alih kekuasaan, argumen yang diajukan oleh pemimpinnya,
Yoweri Museveni adalah masalah utama yang menyebabkan
keterbelakangan di Afrika adalah para pemimpin Afrika yang
berusaha terus menerus berkuasa. Anehnya setelah 23 tahun
tetap berkuasa, konstitusi telah diubah hanya untuk ia dapat
mencalonkan diri kembalidan mungkin tetap berkuasa selama yang
waktu yang diinginkan. Sementara Museveni telah menunjukkan
tekad untuk mempertahankan kekuasaan, masyarakat tampaknya
merasa bahwa NRM telah melampaui batas waktu. Masalahnya

Partai Politik Dominan dan Konstitusionalisme: Pelajaran dari Afrika 185


baik di dalam NRM maupun di oposisi pemimpin alternative
belum muncul. Di sisi oposisi masih sering terjadi keributan.
Sementara itu, korupsi di tubuh NRM merajalela. Kedua
kelemahan ini memberikan celah bagi Museveni tanpa pesaing kuat
untuk mempertahankan jabatan. Beberapa pendapat cenderung
menyarankan agar Museveni menunjuk anaknya sendiri untuk
mengambil alih kekuasaan.
Kecenderungan karakteristik rezim otoriter semakin terlihat
dalam NRM yang berkuasa di bawah Yoweri Museveni. Kekuasaan
negara tidak hanya didominasi oleh NRM, namun pemimpinnya,
Yoweri Museveni tampaknya mengejar masa jabatan yang panjang
dalam masa kepresidenan. Ini mengikuti amandemen konstitusi
pada tahun 2005 yang memungkinkan dia memenuhi syarat untuk
jabatan tersebut.
Pada sisi lain, Partai politik kembali ke panggung politik
Uganda setelah 20 tahun berada dalam kebekuan. Partai politik
seharusnya menjadi juru bicara terkemuka ikhwal kebebasan politik
dan menjadi pendukung hak rakyat. Pertanyaan yang diajukan
adalah apakah Uganda memiliki kemauan untuk mempromosikan
dispensasi politik baru yang dibawa oleh sistem multipartai. Iklim
politik di Uganda pada dasarnya tetap memusuhi evolusi sistem
multipartai yang kompetitif. Pemerintah khawatir kembali kepada
keadaan di tahun 1960-an yang bergejolak. Partai-partai oposisi,
seperti tahun 1960-an, nampaknya bersifat lokal, kecil, dan
terfragmentasi. Beberapa dari mereka rentan terhadap kekerasan.
Reformasi pemilihan dan konstitusi diperlukan untuk merespons
kenyataan ini untuk menghasilkan partai nasional dalam sistem
etnis yang pluralistik yang tampaknya tidak mampu dibentuk
bahkan hampir 50 tahun kemerdekaan.

186 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


BAB V
PARTAI RADIKAL KANAN POPULIS DI EROPA

A. PENGANTAR
Populis, radikal dan kadang rasistis. Partai-partai kanan
radikal semakin populer di banyak negara Eropa. Serangan berdarah
di Norwegia memicu diskusi, apakah perkembangan politik ini
memupuk aksi-aksi teror semacam itu. Mereka menentang Uni
Eropa, membenci pendatang, terutama pemeluk agama Islam.
Inilah pemersatu kaum ekstrim kanan di Eropa, meskipun ada
sejumlah perbedaan dari negara ke negara. Partai kanan radikal
populis telah menjadi aktor berpengaruh di panggung politik
di beberapa negara demokrasi Eropa Barat. Mendapatkan suara
terutama sejak pertengahan 1980an dan seterusnya, mereka
mewakili tipe partai terakhir yang muncul di peta politik Eropa
Barat. Kelompok sayap kanan radikal populis lebih beragam
daripada tipe partai lain di kawasan ini, karena mencakup organisasi
yang memiliki latar belakang dan asal usul yang berbeda. Faktor
pemersatu saat ini adalah seruan mereka untuk pembatasan imigrasi
dan diversifikasi etnis, budaya, dan agama masyarakat Europa
Barat, dan prioritas tinggi yang mereka tetapkan untuk politik
ini. Partai politik yang berkampanye menentang imigran asal
minoritas telah muncul dan telah memperebutkan pemilihan di
semua negara Eropa Barat. Misalnya, partai kanan radikal populis
belum berpengaruh secara politis di negara seperti Irlandia, Inggris,
Jerman, Spanyol, Portugal, Yunani, Wallonia dan Italia selatan.

187
Swedia dan Finlandia, sampai saat ini, juga negara-negara yang
tidak memiliki perwakilan signifikan untuk partai semacam itu,
namun parlemen Swedia sekarang memiliki partai ekstrem sayap
kanan kecil dan parlemen Finlandia memiliki partai radikal yang
cukup besar. Partai kanan radikal populis menerima sorotan media
dan perhatian ilmiah baik secara nasional maupun internasional,
karena tampaknya baru dan karena politisi arus utama dan
komentator lainnya bereaksi dengan kuat.
Di Perancis, Marine Le Pen dari Front Nasional berhasil
membuat keberadaan partainya diakui. Jajak pendapat menunjukkan
dukungan meningkat bagi Marine Le Pen di Perancis. Mencari
teman pun tidak susah tampaknya. Nyonya Le Pen memiliki
hubungan baik dengan Lega Nord di Italia dan FPÖ di Austria.
Kedua partai ini sudah bertahun-tahun menolak keberadaan warga
asing dan berpolemik mengenai Eropa.
Kemudian di Hongaria. Pemilu tahun lalu menunjukkan
pergeseran ke kanan. Partai Fidesz memerintah dengan duapertiga
mayoritas dan mengubah konstitusi yang berlaku. Nasionalisme
dipupuk, sementara undang-undang media yang diperketat
menyebabkan semakin banyak jurnalis kritis yang tak bisa bekerja.
Birgit Sippel politisi tingkat Eropa dari partai SPD mengecam
politik yang disebutnya, berjalan mundur dan dibangun atas
pembatasan kelompok.
Di Eropa utara, beberapa negara yang sebelumnya liberal
kini beringsut ke kanan. Di Denmark, politik luar negeri sudah
dipengaruhinya. Penjagaan perbatasan yang belum lama ini
diberlakukan, terjadi atas desakan kaum populis ini. Dalam pemilu
awal tahun ini di Finlandia, partai nasionalis „True Finns“ berhasil
merebut suara yang tidak sedikit. Ketua partai itu, Timo Soini
begitu populernya sehingga dalam sebuah talk-show, kehadirannya

188 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


disambut dengan jingle khusus. Keberhasilan Soini dicapai lewat
sejumlah kalimat sederhana: Tolak uang untuk negara-negara
bangkrut seperti Portugal, Tolak Perkawinan Sejenis, Tolak
Imigrasi. Partai “True Finns” juga menolak tanggung jawab sebagai
pemerintah, mereka memilih duduk di bangku oposisi dan turut
mempengaruhi kebijakan politik dari situ. Gambaran sama terlihat
di Belanda. Pemerintah yang hanya mendapat dukungan minoritas,
terpaksa berkoalisi dengan Geert Wilders agar bisa bertahan.
Padahal Wilders secara terbuka menentang Qur’an dan Islam.
Putusan pengadilan yang membebaskan Wilders, juga menegaskan
haknya untuk bebas mengemukakan pendapat. Menurut sastrawan
Belanda Hans-Maarten van den Brink, iklim masyarakat sudah
berubah. Peraturan semakin ketat, toleransi terhadap pendatang
sudah berkurang. Ketakutan terus menyulut perdebatan, dan
kelompok yang paling lemah dijadikan kambing hitam. Di Eropa,
kelompok terlemah adalah kaum pendatang asing.
Pada 25 Januari 2015, rakyat Yunani melakukan Pemilu
untuk menentukan siapa yang harus memegang tampuk kekuasaan
nasional. Pemilu ini begitu menarik untuk diperhatikan secara
seksama, karena untuk pertama kali kekuatan politik kiri (radikal,
ya radikal kawan-kawan) berpeluang besar untuk membangun
pemerintahan nasional di Yunani. Sampai dengan tulisan ini
dibuat, exit polls pemilu setidaknya telah menunjukan bahwa
Syriza memperoleh lebih dari 36 persen suara dari 76 persen
pemilih. Suatu prosentase yang sangat besar jika kita menilik
bagaimana kecenderungan partai-partai kiri baru di pemilu Eropa
yang cenderung selalu menjadi minoritas. Harus diakui bahwa
Syriza sebenarnya sangat terinspirasi oleh gelombang gerakan
‘Sosialisme Abad 21’ di tanah Bolivarian Amerika Latin. Namun
kita tidak dapat mengabaikan capaian historis dari Syriza itu

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 189


sendiri. Kemenangan Syriza, tepat berada di jantung terdalam
kapitalisme global, yakni di Eropa. Artikulasi politik Syriza juga
meresonansikan perlawanan popular rakyat yang terjadi secara
mengglobal pasca krisis 2008, yang ditandai dengan perlawanan
lapangan Tahrir di Mesir beserta “musim Semi Arab’-nya; Occupy
Wall Street sampai dengan perlawanan rakyat Turki di Taman Gezi.
Syriza adalah salah satu elemen aktif yang ikut serta dalam gerakan
lapangan Syntagma, yang secara lantang menyerukan perlawanan
sengit terhadap kediktatoran troika (Bank Sentral Uni Eropa, IMF,
dan Komisi Uni Eropa) yang telah mengantarkan implementasi
kebijakan pengetatan (austerity) melalui utang. Utang dari Troika
ini sendiri adalah bagian dari agenda neoliberalisme yang telah
menyebabkan Negara Yunani kehilangan kapasitasnya untuk
menyediakan kebutuhan sosial mendasar bagi warga negaranya.
Politik anti-Uni Eropa (Eurosceptic) yang ganas adalah
fenomena pinggiran pada awal abad kedua puluh satu dan
merupakan inti dari politik Eropa saat ini. Partai politik dengan
platform anti-Eropa telah mendapatkan dukungan suara yang
cukup besar dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2017, partai Eurosceptic menjadi pesaing utama dalam
sejumlah pemilihan nasional di Eropa Barat. Baru-baru ini, Partij
voor de Vrijheid (Partai Kebebasan, PVV) menjadi partai terbesar
kedua dalam pemilihan nasional Belanda pada tanggal 15 Maret
2017 dengan dukungan sekitar 13% suara. Republik Federal
Jerman, yang lama kebal politik radikal dan politik Eurosceptic,
kemungkinan besar akan menyaksikan masuknya pertama
partai Eurosceptic yang benar pertama dalam sejarah Bundestag
(Parlemen), Alternative für Deutschland (Alternative for Germany,
AfD).

190 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Secara keseluruhan, partisipasi pemerintah partai radikal
populis tetap jarang terjadi di Eropa Barat. Lebih dari 200
pemerintah nasional yang telah terbentuk di Eropa Barat sejak
tahun 1980, hanya delapan diantaranya yang melibatkan partai-
partai ini. Dalam semua kasus itu mereka menjadi mitra junior
dalam koalisi. Sementara hanya tiga negara Eropa Barat yang
memiliki pemerintah mayoritas dengan partisipasi partai kanan
populis radikal (Austria, Italia dan Swiss), dan 2 (dua) memiliki
pemerintah minoritas dengan dukungan mereka (Denmark dan
Belanda. Pada tahun 1980an, tidak ada pemerintahan seperti
itu, namun demikian pada tahun 1990an terdapat satu di Italia
(Berlusconi I), namun pada dekade pertama abad kedua puluh satu,
ada tujuh pemerintah mayoritas dan tiga pemerintah minoritas.
Namun, saat ini, hanya satu pemerintah mayoritas yang mencakup
partai politik kanan radikal, yaitu Swiss, sementara partai dalam
kategori ini yang secara resmi mendukung pemerintah minoritas
hanya di satu negara lain, Belanda.

B. Partai Radikal Kanan


Protagonis utama partai anti Uni Eropa dapat ditemukan di
ujung paling kiri dan kanan dari spektrum partai.275 Tokoh kanan
radikal tidak hanya menggelorakan anti-Eropa. Pandangan ini
adalah profil ideologis mereka. Memang, walaupun ada variasi,
hampir semua partai radikal percaya bahwa integrasi Eropa adalah
isu kebijakan yang sangat menonjol.276
275
Leonard Ray, “Validity of Measured Party Positions on European Integration:
Assumptions, Approaches, and a Comparison of Alternative Measures”, Electoral Studies,
Vol. 26, No. 1, 2007, hlm. 159.
276
Maurits J. Meijers, 2016, Is Euroscepticism Contagious? Examining the Impact of
Eurosceptic Challenger Parties on Mainstream Party Attitudes toward the European Union,
PhD Thesis: Hertie School of Governance, Berlin, khususnya Bab 2.

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 191


Penolakan integrasi supranasional berdasarkan argumen
budaya. Penolakan penyatuan supranasional Eropa bagi partai-
partai kanan radikal merupakan konsekuensi wajar dari pandangan
nativisis yang radikal. Nativisme adalah perspektif ideologis yang
menetapkan bahwa hanya anggota kelompok pribumi, yang
menjadi unsur sah pemerintahan.277 Secara historis dan ideologis,
nativisme terkait erat dengan gagasan negara-bangsa, sebuah
konstruksi nasionalis yang telah menjadi landasan politik Eropa
dan global. Hanya negara yang didefinisikan secara etnis atau
budaya dapat menjadi dasar kedaulatan rakyat dan memberi sebuah
pemerintahan dengan legitimasi. Akibatnya, keterlibatan politik
masyarakat, orang atau gagasan politik non-pribumi dianggap
sebagai ancaman terhadap integritas nasional. Proyek integrasi
Eropa tentu saja bertentangan dengan konsepsi sempit tentang
kedaulatan rakyat ini. Integrasi supranasional didasarkan pada
gagasan bahwa kedaulatan rakyat tidak terbatas pada negara-bangsa.
Namun, tidak semua partai radikal di Eropa Barat secara konsisten
menentang integrasi Eropa. Sebaliknya, sebelum penandatanganan
Perjanjian Maastricht, sejumlah pihak yang sekarang sangat terkait
dengan politik anti Uni Eropa, seperti Front Nasional di Perancis
atau Freiheitliche Partei Österreichs (Partai Kebebasan Austria, FPÖ),
pada awalnya mendukung Uni Eropa.278
Pada pertengahan 1980an, pemimpin Front Nasional Jean-
Marie Le Pen secara aktif menganjurkan integrasi lebih lanjut,
terutama di bidang isu-isu sensitif seperti imigrasi, “kebijakan anti-
terorisme” dan kontrol perbatasan. Bagi FN dan sejumlah partai

277
Cas Mudde, 2007, Populist Radical Right Parties in Europe, Cambridge:
Cambridge University Press, hlm. 159.
278
Dimitri Almeida, “Europeanized Eurosceptics? Radical Right Parties and
European Integration”, Perspectives on European Politics and Society, Vol. 11, No. 3, 2010,
hlm. 237–253.

192 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


lain seperti Republikaner di Jerman (Republik), dukungan awal
untuk integrasi Eropa ini sebagian besar berasal dari kepercayaan
bahwa negara-negara Eropa harus bersatu sebagai entitas yang
secara etnis berisfat homogen.279 Namun, tidak semua partai
radikal benar-benar mendukung unifikasi Eropa yang menganut
konsepsi etnis tentang persatuan Eropa. Misalnya, dukungan UE
dari FPÖ pada tahun 1970an dan 1980an merupakan konsekuensi
dari program liberal partai saat itu.280 Kemudian, Lega Nord Italia
(Liga Utara, LN) mendukung integrasi Eropa karena menganggap
Komunitas Ekonomi Eropa sebagai kendaraan yang berguna untuk
memajukan otonomi daerah yang lebih besar.281

Sumber: Ray, “Measuring Party Orientations towards European Integration: Results


from an Expert Survey.”

279
Catherine Fieschi, James Shields, dan Roger Woods, “Extreme Rightwing Parties
and the European Union: France, Germany and Italy”, dalam Political Parties and the
European Union, 1996, London, Routledge, hlm. 237.
280
Hans-Georg Betz, 1994, Radical Right-Wing Populism in Western Europe,
Houndmills, London, Macmillan, hlm. 11.
281
Michael Keating,“The European Union and the Regions”, dalam Barry Jones
dan Michael Keating, Editors, 1995, In The European Union and the Regions, Oxford:
Oxford University Press.

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 193


Dengan ditandatanganinya Perjanjian Maastricht pada tahun
1992, partai politik kanan radikal benar-benar menolak proses
integrasi Eropa. Perjanjian Maastricht menggembar-gemborkan
era baru integrasi politik Eropa. Perkembangan keseluruhan
radikal kanan Euroscepticism seperti digambarkan di atas. Sebuah
partai menolak Uni Eropa apabila memiliki skor di bawah 4. Bagi
partai kanan radikal terdapat kecenderungan menurun sejak
tahun 1992 dan seterusnya. Titik-titik tersebut mewakili rata-rata
posisi Uni Eropa saat itu, sedangkan garis menunjukkan kisaran
posisi Uni Eropa di antara partai-partai kanan radikal. Kisaran
posisi Uni Eropa mereka menurun secara signifikan menandakan
perkembangan posisi anti integrasi yang semakin homogen di
antara partai-partai kanan radikal. Krusial, bukan saja mereka
mengubah posisi mereka dalam isu integrasi Eropa, mereka
juga menganggap isu Uni Eropa juga semakin penting.282 Bagi
Independence Party di Inggris, penentangannya terhadap Perjanjian
Maastricht adalah pelaksaan kebijakan pendiri partai tersebut
saat dibentuk pada tahun 1993 oleh anggota Liga Anti-Federalis,
sebuah gerakan yang dibentuk pada tahun 1991 untuk menentang
Perjanjian Maastricht.283
Saat ini, anti Uni Eropa adalah salah satu fitur inti dari
partai politik kanan radikal di Eropa. Tidak hanya integrasi Uni
Eropa telah diperdalam dalam banyak hal, krisis utang dan krisis
zona Euro berikutnya memungkinkan partai-partai radikal untuk
menggabungkan argumen identitas budaya melawan Uni Eropa
dengan keberatan terhadap penyatuan kedaulatan. Meski demikian,

282
Meijers, loc.cit.
283
Robert Ford, Matthew J. Goodwin, dan David Cutts. “Strategic Eurosceptics
and Polite Xenophobes: Support for the United Kingdom Independence Party (UKIP)
in the 2009 European Parliament Elections”, European Journal of Political Research, Vol.
51, No. 2, 2012, hlm. 204–234.

194 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


tetap ada perbedaan penting antara partai-partai kanan radikal di
seluruh Eropa. PVV pimpinan Geert Wilders, misalnya, adalah
bentuk tanpa syarat, yang populer disebut sebai “Europhobia.”
Sementara, AfD di Jerman lebih bersifat lunak.284 Oleh karena itu,
Wilders adalah pendukung setia “Nexit” atau keluarnya Belanda
dari Uni Eropa. Namun demikian, keberatan paling mengemuka
AfD adalah soal mata uang tunggal dan transfer keuangan di
Eropa, namun mencatat bahwa hanya jika kerangka institusional
Eropa tidak dapat direformasi, akan menganjurkan pembubaran
Uni Eropa, yang akan memungkinkan pembentukan kembali
komunitas ekonomi Eropa. Selain itu, dalam beberapa kasus, partai-
partai radikal telah memoderasi gaya saat berada dalam koolisi
pemerintahan. Saat terlibat dalam pemerintahan Berlusconi, Lega
Nord tidak mendorong memberlakukan kebijakan anti Uni Eropa
walaupun masih mengusung ideologi anti integrasi.285 Demikian
pula, the Finns Party (Perussuomalaiset) telah menolak oposisi
terhadap integrasi Eropa saat mereka memasuki pemerintahan
Finlandia dan pemimpinnya, Timo Soini, menjadi Wakil Perdana
Menteri pada Mei 2015.

C. Partai Radikal Kiri


Keberadaan partai kiri radikal terutama dibayang-bayangi oleh
ancaman efek ekonomi mengenai proses integrasi. Kekhawatiran
tersebut lebih merupakan produk oposisi mereka terhadap ekonomi

284
Aleks Szczerbiak dan Paul Taggart, “Opposing Europe: Party Systems and
Opposition to the Union, the Euro and Europeanisation”, SEI Working Papers, No. 36 ,
2000. Baca juga: Yves Bertoncini dan Nicole Koenig, “Euroscepticism or Europhobia:
Voice vs. Exit?”, Policy Paper N. 121, Jacques Delors Institute, November 2014.
285
Marco Tarchi, “Italy: A Country of Many Populisms”, dalam Daniele Albertazzi
dan Duncan McDonnell (Editors), 2007, Twenty-First Century Populism: The Spectre of
Western European Democracy, Basingstoke: Palgrave Macmillan, hlm. 97.

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 195


pasar bebas dan pencarian keadilan ekonomi dan sosial daripada
penolakan terhadap sebuah pemerintahan dengan konstituen
multinasional.286 Partai politik radikal kiri memandang struktur
kelembagaan dan logika pembuatan kebijakan Uni Eropa bias
ideologis terhadap kebijakan pasar. Seperti dikatakan oleh ilmuwan
terkemuka Uni Eropa Fritz Scharpf, partai kiri radikal percaya
bahwa terdapat asimetri institusional dalam Uni Eropa ketika
membuat peraturan pasar.287 Oleh karena itu, penolakan terhadap
integrasi Eropa timbul dari gagasan bahwa realisasi kebijakan sosial
egaliter tidak mungkin dilakukan dalam kerangka kelembagaan
saat ini. Tentu saja, banyak ilmuwan dan komentator, antara lain
Giandomenico Majone, menolak pandangan Uni Eropa sebagai
pemerintahan liberal pro pasar. Meskipun demikian, kurangnya
kebijakan sosial berfungsi sebagai bukti bagi partai politik kiri
radikal bahwa Uni Eropa merupakan sebuah pemerintahan
neoliberal.
Sementara partai politik radikal kanan Eropa Barat secara
bertahap menyetujui politik anti-Eropa, perkembangan partai
politik kiri radikal kurang linier. Perjanjian Maastricht tidak
mewakili titik balik yang jelas bagi semua partai kiri radikal.
Sementara beberapa partai kiri radikal menganggap Perjanjian
Maastricht dan penggabungan ideologi liberal pasar, partai yang
lain dengan hati-hati mempertimbangkan dimulainya persatuan
politik yang sejati karena kemungkinan membentuk kembali Uni
286
Luke March dan Cas Mudde, “What’s Left of the Radical Left? The European
Radical Left After 1989: Decline and Mutation”, Comparative European Politics, Vol.
3, No. 1, 2005, hlm. 23–49 ; Baca juga Liesbet Hooghe, Gary Marks, dan Carole.
J. Wilson, “Does Left/Right Structure Party Positions on European Integration?”,
Comparative Political Studies, Vol. 35, No. 8, 2002, hlm. 965–989.
287
Fritz W.Scharpf, “Negative and Positive Integration in the Political Economy
of European Welfare States”, dalam Governance in the European Union, 1996, SAGE,
hlm. 15-18.

196 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Eropa sebagai kendaraan kebijakan kalangan sayap kiri. Selain
itu, partai politik kiri radikal telah menunjukkan jalan berbeda
mengenai evolusi posisi mereka dalam integrasi Eropa. Sementara
sebagian besar partai kiri radikal tetap anti integrasi, kecenderungan
menunjukkan bahwa rata-rata dukungan untuk membubarkan
Uni Eropa meningkat dari tahun 1980an sampai pertengahan
tahun 2000an, setelah itu lalu sedikit menurun. Sejumlah partai
kiri radikal secara konsisten memegang posisi anti-Eropa. Bagi
Socialistische Partij di Belanda misalnya, sikap anti inetgrasi adalah
ciri khas identitas partainya.288 Juga dalam kampanyenya untuk
pemilihan parlemen Belanda 2017, Socialistische Partij secara
tidak sengaja menyerang Uni Eropa karena dugaan fasilitasi bisnis
raksasa dengan mengorbankan warga biasa. Di Denmark, Aliansi
Merah-Hijau, yang menyatukan pandangan sosialis kiri dengan
masalah ekologis, telah menganjurkan pembubaran Uni Eropa
dan mempertahankan posisi anti-Eropa selama bertahun-tahun.289
Partai politik kiri radikal lainnya mengubah posisi mereka dalam
isu integrasi Eropa. Langkah serupa yang lebih pragmatis terhadap
Uni Eropa ketika di pemerintahan telah terlihat di PCF Prancis
(Parti communiste français, Partai Komunis Prancis), misalnya.
Meskipun anti integrasi telah menjadi ciri khas PCF Prancis pada
tahun 1980an hingga 1990an, ia memperlemah penentangannya
terhadap Eropa selama partisipasi pemerintahnya di pemerintahan
Perdana Menteri Lionel Jospin tahun 1997.290 Namun demikian,
partai tersebut kembali ke platform anti-Eropa setelah kalah
dalam pemilihan 2002 dan membentuk resolusi bersama Jean-

288
Luke March,2011, Radical Left Parties in Europe, London: Routledge, hlm. 130.
289
Ibid., hlm. 105.
290
David Bell, “The French Extreme Left and Its Suspicion of Power”, dalam
Left Parties in National Governments, 2010, Basingstoke: Palgrave Macmillan, hlm. 40.

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 197


Luc Mélenchon. 291Partai Folkeparti (Partai Sosialis Rakyat), juga
menganjurkan penarikan dari Masyarakat Ekonomi Eripa sampai
pertengahan 1980an, namun secara signifikan bersikap lunak di
tahun-tahun berikutnya untuk membedakan dirinya dari pesaing
radikal Red-Green Alliance (Enhedslisten - De Rød-Grønne) dan
untuk menarik pemilih.292

1. Yunani
Syriza di Yunani adalah contoh kasus karena semakin
menentang integrasi Eropa selama bertahun-tahun: Pada masa-
masa awal tahun 1980an dan 1990an, pendahulu SYRIZA
pada awalnya sangat mendukung integrasi Eropa. Namun, pada
tahun 2000an mereka menjadikan sikap anti integrasi sebagai
inti program. Sikap anti integrasi yang dikombinasikan dengan
status orang asing membuat partai tersebut sebagai kandidat
terdepan dalam sentiment anti disiplin fiskal di Yunani saat mereka
memenangkan pemilihan Januari 2015. Namun, keputusan
terakhir Aléxis Tsípras untuk menerima dana talangan lain
disertai dengan serangkaian langkah-langkah penghematan pada
bulan Juli dan Agustus 2015, telah menunjukkan bahwa Syriza,
sampai batas tertentu, bersedia melampaui oposisi prinsipnya
terhadap Uni Eropa. Pada Juli 2015 tersebut, Tsipras mencetuskan
referendum kepada rakyat Yunani. Referendum itu sejatinya
memberi pilihan kepada rakyat Yunani untuk menyetujui atau
menolak proposal Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Dana
Moneter Internasional (IMF). Dia mendesak rakyat Yunani
memilih ‘Tidak’ agar pemerintah memiliki posisi tawar yang kuat
untuk memulai negosiasi dengan pihak kreditur. Nyatanya, Tsipras

March Luke, op.cit., hlm. 68.


291

Ibid., hlm. 103.


292

198 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


harus mengakui keunggulan kubu ‘Ya’ yang memilih pemerintah
menerima dana talangan. Melihat realitas tersebut, Tsipras memecat
sejumlah menteri sayap kiri dalam perombakan kabinetnya,
Jumat (17/7/2015), menyusul pemberontakan di tubuh partainya
terhadap kesepakatan dana talangan baru yang disepakati pada
pekan ini. Sejumlah menteri yang dipecat antara lain adalah
Menteri Energi Panagiotis Lafazanis dan dua wakil menteri lainnya.
Tsipras tengah berupaya membersihkan upaya pemberontakan
di Partai Syriza setelah 39 anggota parlemen dari partai tersebut
menolak mendukung pemerintah terkait dana talangan baru yang
penuh dengan syarat ketat dari kreditor Eropa, seperti pengurangan
belanja negara, reformasi pensiun, dan peningkatan pajak.
Meskipun demikian, susunan menterian di lembaga perekonomian
utama negara ini tidak berubah. Kementerian Keuangan tetap
dipimpin oleh Euclid Tsakalotos yang baru beberapa pekan
dilantik menggantikan Yanis Varoufakis. Sementara, Menteri
Ekonomi tetap dipegang George Stathakis. Tsipras mengganti
Menteri Tenaga Kerja, Panos Skourletis, salah satu menteri yang
disebut-sebut sekutu terdekatnya. Menteri Reformasi Administrasi,
George Katrougalos akan mengambil alih di kementerian tersebut.
Tsipras juga mengganti Menteri Energi, Lafazanis, yang juga
merupakan pemimpin Platform Kiri Syriza, sebuah faksi yang
sangat menentang dana talangan dalam partai tersebut. Dengan
turunnya Lafazanis, Tsipras akan bertanggung jawab langsung
terhadap sejumlah masalah privatisasi lembaga energi Yunani yang
sensitif, yang juga menjadi syarat dalam dana talangan tersebut.
Selain Lafazanis, wakil menteri tenaga kerja, Dimtris Stratoulis
dan wakil menteri pertahanan, Costas Isychos juga kehilangan
posisi mereka. Stratoulis digantikan oleh Pavlos Chaikalis, mantan
aktor dari mitra koalisi sayap kanan Syriza, The Independent Greeks.
Sementara, mantan wakil menteri keuangan, Nadia Valavani, yang

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 199


juga menentang dana talangan, mengundurkan diri awal pekan ini
sebelum pemungutan suara parlemen. Valavani digantikan oleh
Tryfon Alexiadis, anggota terkemuka dari serikat ahli pajak Yunani.
Selain itu, Christoforos Vernardakis, seorang akademisi terkemuka
di Yunani, akan menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan,
sementara anggota parlemen dari Syriza, Olga Gerovasili dilantik
sebagi juru bicara pemerintah yang baru.
Lalu, pada 15 Agustus 2015, menteri keuangan negara-
negara anggota zona mata uang euro sepakat mengucurkan dana
talangan sebesar 86 miliar euro atau Rp1.260 triliun untuk Yunani
dalam kurun tiga tahun mendatang. Sebagai gantinya, Uni Eropa
menuntut serangkaian persyaratan ketat, seperti pemangkasan
anggaran belanja pemerintah, kenaikan pajak pertambahan nilai
(PPN) yang membuat pajak makanan dan restoran menjadi 23%,
pajak energi dan air menjadi 13%, dan pajak obat serta buku
menjadi 6%. Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras kemudian
mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya pada Agustus
2015 sembari menyerukan digelarnya pemilihan umum dini.
Tsipras mengundurkan diri karena dia kehilangan suara mayoritas
di parlemen setelah sejumlah anggota partainya sendiri, Partai
Syriza, tidak mendukung kebijakannya. Dalam pemungutan suara
mengenai dana talangan di parlemen, sebanyak 43 orang dari 149
anggota parlemen fraksi Syriza menentang atau memilih abstain.
Tsipras praktis mengandalkan suara oposisi saat memutuskan
menerima dana talangan. Tsipras, yang baru terpilih sebagai
perdana menteri pada Januari 2015, mengaku dirinya memiliki
kewajiban moral untuk menuju ke tempat pemungutan suara
setelah gagal memenuhi janjinya menolak proposal pengucuran
dana talangan dari Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Dana
Moneter Internasional (IMF). Perdana Menteri Alexis Tsipras

200 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


mengumumkan kabinet baru Yunani, Selasa (22/9/2015).
Tsipras dipercaya kembali memimpin Yunani setelah sempat
mengundurkan diri dari jabatan PM pada Agustus 2015. Dalam
kabinet baru ini, Tsipras masih mempercayakan jabatan Menteri
Keuangan kepada Euclid Tsakalotos, seorang ekonom sayap kiri
yang bertekad mempertahankan Yunani di zona euro. Panos
Kammenos, tokoh yang memimpin partai sayap kanan, sekali
lagi menjadi Menteri Pertahanan. Nikos Kotzias kembali menjadi
Menteri Luar Negeri, dan urusan keimigrasian juga masih dipegang
Yanis Varoufakis.

2. Denmark
Pada tahun 2009, partai politik berhaluan kiri seperti the Social
Democrats (SD), the Socialist People’s Party (Socialistisk Folkeparti/
SF), the Radical Liberals (Radikale Vens­tre2/RV) and the Red-Green
Alliance Unity List (RGA) mengembangkan kemitraan yang erat
untuk menggantikan pemerintah borjuis kanan. Kemitraan dimulai
dengan kesepakatan kerja sama antara SD dan SF. Peran penting
kaum Sosial Demokrat dalam pembangunan negara kesejahteraan
Denmark di abad ke-20 menjadikan Partai Demokrat Sosial sebagai
satu-satunya partai kelas pekerja Denmark yang benar-benar hebat
selama periode tersebut - terutama setelah Perang Dunia Kedua,
ketika Demokrat Sosial menjadi Partai yang menentukan politik
Denmark. Pada umumnya, partai borjuis sayap kanan, khususnya
Konservatif dan Liberal, bersedia melestarikan negara kesejahteraan
Denmark, meskipun dengan enggan, karena mereka menikmati
dukungan yang luar biasa dari penduduk Denmark untuk menjaga
negara kesejahteraan.
Konsensus parlemen kanan-kiri ini efektif pecah pada
dekade pertama abad baru oleh pemerintahan borjuis Anders

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 201


Fogh Rasmussen yang mulai berkuasa pada tahun 2001 dengan
dukungan dari Partai Rakyat Denmark sayap kanan ekstrim
(Dansk Folkeparti / DF ). Pemerintah memotong pengeluaran
sektor publik secara besar-besaran, terutama di sektor rumah
sakit. Hanya dalam kasus yang jarang terjadi, pemerintah mencari
konsensus dengan SD dan RV dan lebih jarang lagi dengan SF.
Salah satu contohnya adalah kesepakatan pertahanan pada tahun
2009, untuk peningkatan anggaran militer. Situasi parlementer
ini turut mendorong pengembangan kerjasama antara SD dan
SF, untuk pertama kalinya dalam politik Denmark. Sebelumnya,
Demokrat Sosial lebih suka menjalin koalisi dengan RV yang
beraliran kiri-liberal. Namun, kebijaka Sosial Demokrat yang
baru ini juga merupakan reaksi pragmatis atas hilangnya dukungan
partai selama 10 sampai 15 tahun terakhir. Ini sangat penting untuk
menyesuaikan diri dengan ketentuan monetaris Uni Ekonomi dan
Moneter (EMU) dan diadopsinya kebijakan neoliberal, seperti
privatisasi sektor publik. Bagi sebagian penduduk Denmark,
tidak ada lagi perbedaan antara kebijakan Demokrat Sosial dan
partai borjuis yang berkaitan dengan dukungan terhadap sistem
kesejahteraan. Faktor penting lainnya kebijakan baru partai
adalah meningkatnya aktivitas serikat pekerja selama tahun-tahun
sebelumnya untuk kenaikan upah, dan kesetaraan pendapatan
di sektor publik dan swasta, disertai dengan munculnya gerakan
sosial melawan pemotongan kesejahteraan masyarakat, yang telah
memberikan keuntungan bagi SF dengan mengorbankan SD.
Gerakan sosial ini masih cukup kuat arus bawahnya. Kerusuhan
sosial adalah perkembangan baru di Denmark, karena tidak
ada tindakan serikat pekerja atau gerakan sosial yang meluas di
Denmark sejak tahun 1985. Gerakan serikat buruh yang sangat
terpusat dibangun oleh Partai Sosial Demokrat karena persamaan
visi di abad ke-19. Namun serangan neo-liberalisme merusak serikat

202 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


pekerja, mengurangi keanggotaan mereka, dan melemahkan posisi
mereka, meskipun mereka masih cukup kuat dibandingkan negara-
negara di luar Skandinavia.
Daya tarik SF bagi pekerja publik, mengingat dukungan
SD yang melemah sejak tahun 1990an. Namun, hal itu tidak
berarti bahwa para pekerja ini sekarang telah diradikalisasi atau
dipindahkan lebih jauh ke kiri. Pertanyaan besarnya adalah harapan
konkret mereka terhadap pemerintah pusat-kiri yang baru. Sebuah
survei jajak pendapat pada bulan Januari 2010 tentang calon
pemilih SF, sekitar 18-19% pemilih, tidak ragu mengenai harapan
tersebut, terlepas dari kompromi SF terhadap beberapa kebijakan
sebelumnya. Dengan demikian muncul ketergantungan baru
antara SD dan SF, dengan yang pertama bergantung pada SF untuk
menarik pemilih, sementara kemitraan itu sendiri meningkatkan
pemungutan suara di SF, karena memberikan kredibilitas sebagai
partai pemerintah di masa depan. Di sisi lain, kemitraan baru ini
berarti bahwa SF menyesuaikan diri dengan banyak posisi Sosial
Demokrat, yang memegang risiko untuk menentukan posisinya.
Radikalisasi berkontribusi pada perpecahan pertama dan satu-
satunya di SF, ketika memenangkan 20 kursi dari 179, menyusul
keberhasilan besar pertamanya dalam pemilihan tahun 1966. Partai
lalu memutuskan untuk mendukung pembentukan pemerintah
Sosial Demokrat , akan tetapi tanpa kursi kabinet SF, karena
resistansi internal terhadap langkah tersebut. Ketika pada tahun
1967 partai mendukung suspensi pemerintah atas biaya tunjangan
hidup bagi pekerja, terjadi keributan dalam partai tersebut,
termasuk kelompok parlementernya. Pada sebuah konferensi luar
biasa, sayap radikal mendapat dukungan hampir setengah dari
delegasi, yang menyebabkan perpecahan dan pembentukan Sosialis
Kiri (Venstre-socialisterne/ VS), sebuah partai Kiri Baru. Dalam

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 203


pemilihan parlemen di awal 1968, VS memenangkan 4 kursi,
sementara SF turun menjadi 11.
Sejak tahun 1960an, SF telah bercita-cita untuk membentuk
pemerintahan dengan SD. Hal ini mempengaruhi kebijakan SF,
terkadang sampai tingkat yang luar biasa. Kadang-kadang, partai
mampu menarik banyak dukungan dalam pemilihan parlemen
terutama setelah tahun 1966, pada tahun 1987 (27 kursi) dan
1988 (24 kursi namun kemudian turun lagi perolehannya, biasanya
karena adanya pergeseran posisi Social Democratic, dengan
maksud meletakkan dasar untuk kerja sama di masa depan. Pada
tahun 1993, misalnya, SF mendukung kompromi Kesepakatan
Edinburgh, setelah mendukung Perjanjian Denmark terhadap
Perjanjian Maastricht pada tahun 1992. Hal ini menyebabkan
kerugian parlemen pada Pemilu 1994 (turun menjadi 13 kursi)
dan membuka jalan bagi sebuah Formasi partai baru atas dasar
aliansi longgar yang disebut Red-Green Unity List (RGA), yang
telah memenangkan 6 kursi dalam pemilihan. Namun, penurunan
tersebut telah dimulai pada pemilihan sebelumnya pada tahun
1990, ketika SF hanya memiliki 15 kursi, mungkin sebagai efek
samping dari runtuhnya Blok Soviet.
Dalam hal ini, RGA dibentuk pada 1989 dengan komposisi
yang terdiri atas partai-partai kiri revolusioner serta komunis yang
merasa perlu untuk bekerja sama, dalam sebuah menjadi aliansi atau
partai baru, dengan ruang untuk keragaman dan kecenderungan
yang berbeda. Dasar utama untuk ini adalah reformasi politik
DKP di akhir tahun 1980an. RGA mengikuti ideologi Marxis.
Memandang diri sebagai partai akar rumput, dan bekerja untuk
sebuah masyarakat yang berbasis sosialisme dan ekologi demokratis.
Partai ini menentang kapitalisme dan globalisasi neo-liberal. RGA
adalah partai yang paling kiri di Parlemen Denmark, yang masuk

204 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


pada pemilihan pada tahun 1994, memenangkan 6 kursi. Pada
pemilihan tahun 2007, memperoleh 2,2% suara dan 4 anggota
parlemen. Dalam pemilihan lokal pada bulan November 2009,
mereka memiliki wakil pada 16 anggota dewan regional dan lokal,
dan satu wakil walikota di Kopenhagen.

3. Finlandia
Perdana Menteri merupakan kepala pemerintahan, sebuah
posisi yang dicalonkan oleh Presiden selaku kepala negara. Menurut
konstitusi 2000, Presiden mengajukan calon kepala pemerintahan
sesudah partai-partai di parlemen menyepakati komposisi kabinet
dan program-program pemerintahan. Seorang kandidat Perdana
Menteri harus memperoleh dukungan mayoritas absolut suara
parlemen. Jika suara tidak tercapai, maka harus dilakukan
negosiasi ulang mengenai komposisi dan program pemerintahan.
Selanjutnya, kandidat yang disepakati diajukan oleh kepala negara
dan harus memperoleh dukungan absolut parlemen. Jika tetap tidak
memperoleh suara yang dimaksud, maka parlemen mengadakan
pemilihan kandidat kepala pemerintahan dan hasilnya akan
disahkan oleh Presiden.
Prosedur di atas pertama kali digunakan untuk memilih
Anneli Jäätteenmäki sebagai Perdana Menteri pada tahun 2003.
Sebelum Konstitusi baru mulai berlaku, kekuasaan formal
menunjuk Perdana Menteri dan kabinet merupakan hak istimewa
Presiden, dengan diskresi yang bisa menyimpang dari prinsip-
prinsip parlementer, walaupun menteri yang ditunjuk harus
memiliki kepercayaan lembaga perwakilan. Meskipun Perdana
Menteri adalah salah satu tokoh politik terkemuka di negara
tersebut, dia tidak sekuat rekan-rekannya di Eropa utara. Hal ini
terutama karena tidak ada partai yang memiliki kesempatan realistis

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 205


untuk memenangkan mayoritas, dan sangat sulit bagi kelompok
sosialis dan non-sosialis untuk membentuk sebuah pemerintahan
sendiri. Perdana Menteri biasanya memimpin koalisi besar dari 3
partai atau lebih. Kabinet mengikuti sebuah platform pemerintah
yang disepakati oleh partai-partai yang berpartisipasi.
Aliansi Kiri (Vasemmistoliitto / VAS) adalah koalisi aliran kiri
di Finlandia. Dalam pemilihan parlemen terakhir, partai tersebut
memenangkan 8,13% suara dan 14 kursi di parlemen dari 200
kursi parlemen yang diperbutkan, turun dari 17 kursi 4 tahun
sebelumnya. Partai ini didirikan pada tahun 1990 oleh gabungan
the Communist Party of Finland (CPF) dengan Democratic League
for the Finnish People (DLFP). Keduanya telah berpisah pada tahun
1980an, karena CPF terkait dengan jalur pro-Soviet, sementara
DLFP bergerak dalam arah spectrum komunisme di Eropa.
Kelompok kiri lainnya, the Democratic Alternative, juga bergabung
dengan Aliansi. Ketika Uni Soviet masih eksis, kalangan kiri di
Finlandia telah bekerja sama erat dengan sistem negara tersebut,
dan sampai batas tertentu berada di bawahnya. Terutama untuk
generasi yang lebih tua, sosialisme tetap berarti sosialisme Soviet,
sehingga penggunaan istilah sosialis tradisional masih menjadi tabu
bagi banyak orang. Dalam platform partainya, Aliansi Kiri dengan
hati-hati mendefinisikan dirinya sebagai “partai red-green dengan
nilai fundamental, yaitu kebebasan, pembangunan berkelanjutan,
dan kesetaraan.” Dalam definisi itu, “green” tentu mengacu pada
masalah lingkungan, sementara “red” berarti tradisi gerakan buruh,
namun juga, dalam arti yang lebih luas, tuntutan akan keadilan
sosial. Partai tersebut mendukung model negara kesejahteraan
dengan tunjangan atas layanan kesehatan, keperawatan, dan
pendidikan oleh negara dan tunjangan pengangguran terkait
pendapatan, serta jaminan sosial untuk semua orang.

206 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Partai CFP bergerak di bawah tanah sampai akhir Perang
Dunia Kedua. Sementara itu, DLFP didirikan setelah perang
berfungsi sebagai organisasi pemilihan CPF, dan sebagai front
rakyat berbasis luas. Ini mendapat dukungan pemilihan yang
signifikan, dan bahkan pada saat itu menjadi partai terkuat di
Finlandia. Namun, pada akhir tahun 1960an, CPF / DLFP
terjerumus ke dalam konflik internal yang menimbulkan faksi akut
antara golongan moderat (yang mengkompromikan garis partai
termasuk terlibat dalam pemerintahan), dan mereka yang ingin
melanjutkan politik oposisi, yang disebut minoritas atau garis keras.
Pada pertengahan 1980-an, CPF/DLFP akhirnya terbelah menjadi
dua kekuatan politik yang saling bersaing dalam pemilihan.
Untuk itu pada tahun 1990 kemudian dibentuk VAS
yang menyatukan kembali kekuatan golongan kiri. Partai baru
ini berusaha menyatukan dan mereformasi kelembagaan yang
telah terguncang oleh jatuhnya sistem sosialis. Namun, upaya
menyatukan berbagai kelompok juga menyebabkan konflik internal
lanjutan: perpecahan antara garis keras dan sayap reformis yang
lebih banyak diwariskan dari gerakan lama. Ini terwujud sebagai
prasangka yang tidak dapat diatasi, dan berakibat pada perselisihan
seberapa besar kompromi yang mungkin dilakukan partai tersebut.
Konflik internal partai sampai pada tahap akut ketika resesi awal
tahun 1990an menghasilkan kemenangan pemilihan bagi politisi
kiri di Finlandia pada tahun 1995. VAS mengambil bagian dalam
apa yang disebut “Pemerintah Pelangi” (Rainbow Government)
bersama dengan Demokrat Sosial, Partai Hijau , Partai Swedia dan
Partai Koalisi Nasional yang moderat-konservatif, yang memerintah
dari tahun 1995 sampai 2003. Sementara di pemerintahan, VAS
bersedia berkompromi karena menerima kebijakan pengurangan
bantuan sosial dan pemotongan tunjangan anak.

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 207


Selama tahun 1990an, dukungan untuk VAS stabil pada
kisaran 10-12%, namun sejak itu turun menjadi di bawah 9%.
Krisis yang disebabkan oleh kekalahan pemilihan tahun 2003, dan
hilangnya kredibilitas, memuncak dalam pengunduran diri dua
pemimpin partai dan reformasi organisasi partai. Setelah tak lagi
bergabung dengan pemerintahan dan orang-orang mulai menuntut
lebih banyak politik sayap kiri, beberapa pemimpin serikat pekerja,
termasuk seorang mantan sekretaris partai yang bertindak sebagai
arsitek kerja sama pemerintah, mengundurkan diri dari partai. Pada
musim gugur tahun 2009, anggota parlemen berusia 32 tahun
Paavo Arhinmäki, terpilih sebagai ketua partai tersebut.
Esko Tapani Aho terpilih menjadi Perdana Menteri untuk
masa bakti 1991-1995. Aho pertama kali terpilih menjadi anggota
parlemen pada tahun 1983. Ia menjadi Ketua the Center Party pada
tahun 1990, sebuah jabatan yang ia pegang sampai tahun 2002.
Partai tersebut adalah satu dari 3 partai politik besar di Finlandia.
Dalam usia 36 tahun, ia menjadi Perdana Menteri paling muda
dalam sejarah Finlandia. Ia memimpin koalisi pemerintahan yang
tersusun atas the Centre Party, the National Coalition Party, the
Christian Democrats, dan the Swedish People’s Party. Partai Aho
sendiri, mendapatkan sebagian besar dukungannya dari daerah
pedesaan, adalah yang paling menentang keanggotaan Uni Eropa.
Perhatian terbesar mereka adalah situasi pertanian, namun mereka
diyakinkan untuk mendukung keanggotaan karena diplomasi
perdana menteri. Finlandia mengajukan keanggotaan Uni Eropa
pada tanggal 16 Maret 1992 dan sebuah referendum diadakan dua
setengah tahun kemudian. Pemerintahan Aho juga menghadapi
depresi ekonomi yang mendalam pada awal 1990an. Meskipun
terjadi kenaikan utang nasional yang tajam, pemerintah Aho
menerapkan disiplin fiskal ketat yang membuatnya tidak populer.

208 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Hal ini menyebabkan turunnya perolehan suara dalam pemilihan
tahun 1995 dan menempatkan the Center Party sebagai oposisi
selama 8 tahun kemudian. Paavo Tapio Lipponen, ketua the
Social Democratic Party of Finland, kemudian menjadi Perdana
Menteri (1995-2003). Lipponen membentuk kabinet 5 partai
termasuk partai kanan dan kiri. Namun, kebijakan ekonomi
Lipponen didominasi oleh sayap kanan. Tugas utama kabinet
adalah mengurangi jumlah pengangguran. Kebijakan fiskal ketat
memungkinkan partisipasi Finlandia dalam mata uang tunggal
Eropa, yang mengakibatkan diperkenalkannya Euro pada tahun
1999. Perdagangan luar negeri meningkat di atas rata-rata Eropa
1995-1999. Konstitusi baru disahkan dan mulai berlaku pada
tanggal 1 Maret 2000. Lipponen memimpin kampanye SDP
pada tahun 1999 yang memperoleh dukungan suara minimal,
namun SDP tetap menjadi partai terbesar di parlemen. Koalisi
yang dibentuk pada tahun 1995 diperbaharui. Selama kabinet
Lipponen kedua, dia menjadi Presiden Uni Eropa selama 6 bulan
dan menjalankan kebijakan pro-integrasi dan pro-ekspansi.
Selanjutnya, Anneli Tuulikki Jäätteenmäki dalam masa
singkat menjadi Perdana Menteri (7 April 2003-24 June 2003),
dan sekaligus perempuan kepala pemerintahan pertama dalam
sejarah Finlandia. Pemilu 2003, sedikit mengangkat pamor the
Centre Party of Finland, mengalahkan the Social Democratic Party
of Finland. Menurut konstitusi baru, yang berlaku untuk pertama
kalinya setelah pemilihan ini, Jäätteenmäki diberi kesempatan
pertama untuk membentuk kabinet baru. Setelah negosiasi berhasil
menyusun format pemerintahan dengan the Social Democrats dan
the Swedish People’s Party. Anneli Jäätteenmäki mengundurkan diri
pada tanggal 18 Juni 2003, mendapat tekanan akibat tuduhan
bahwa dia telah berbohong kepada Parlemen dan publik mengenai

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 209


bagaimana dia mendapatkan dokumen rahasia Kementerian Luar
Negeri yang dia gunakan untuk tujuan politik selama kampanye
pemilihan. Dia mengundurkan diri sebagai pemimpin Center
Party. Menteri Pertahanan Matti Vanhanen terpilih sebagai
pemimpin partai baru pada 5 Oktober, dan dia menggantikannya
sebagai Perdana Menteri. Vanhanen juga terpilih sebagai ketua the
Center Party. Pemerintahnya memotong pajak penghasilan dari
35,5% menjadi 33,5% pada tahun 2005 dan 32,5% di tahun
2006 (menghasilkan sekitar 55% jumlah tarif pajak setelah pajak
pemerintah daerah dan jaminan sosial). Tarif pajak perusahaan
juga turun menjadi 26% dan capital gain menjadi 28% (keduanya
sebelumnya 29%), meski pada saat bersamaan dividen sebagian
dibuat kena pajak. Vanhanen mengatakan dia bersedia melanjutkan
pemotongan pajak.
Setelah pemilihan Maret 2007, the Center Party masih
menjadi partai terbesar walaupun kehilangan 4 kursi. Namun
rekan koalisi mereka, SDP, kehilangan 8 kursi dan Partai Koalisi
Nasional kanan tengah memperoleh 10 kursi. Kabinet kedua
Vanhanen dibentuk dengan mitra kecil the Green League dan the
Swedish People’s Party.
Pemilihan parlemen tahun 2011 menciptakan situasi politik
baru di Finlandia dan pukulan bagi VAS. Pecundang terbesar adalah
the Center Party pimpinan Perdana Menteri Mari Kiviniemi yang
liberal, yang memperoleh dukungan minimal. Alasan utamanya
adalah korupsi politik di sekitar partai tersebut, yang telah diungkap
selama dua sampai tiga tahun sebelumnya. Sementara itu, VAS
mengalami kemunduran, turun menjadi 8,1dan kehilangan
tiga kursi dan seluruhnya hanya memperoleh 14 kursi. Namun,
di distrik pemilihan Helsinki, partai tersebut meningkatkan
kepemilikannya dari 6,8% menjadi 10,4% suara, dan Ketua Partai

210 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Arhinmäki mendapat suara terbanyak dari kandidat manapun di
Distrik Helsinki (17.099 suara. Anggota parlemen baru terdiri
dari 8 pria dan 6 wanita, yang 6 diantaranya berusia kurang dari
40 tahun. Pandangan umum kelompok ini lebih kiri daripada
sebelumnya.
Pemenang pemilihan yang sesungguhnya adalah True Finns,
yang beraliran nasionalis, yang mendapat 19% suara (+14,9%) dan
39 kursi (+34) di parlemen dengan kapasitas 200 kursi. Partai ini
secara konsisten menjadi penentang utama pemerintahan koalisi
yang dikendalikan oleh Demokrat Sosial, yang selama 30 tahun
terakhir memegang monopoli kekuasaan politik. Karena situasi
itu, maka ketertarikan orang terhadap politik cenderung rendah
yang tercermin dalam partisipasi pemilih. Partai True Finns sendiri
mengusung ideologi kanan, akan tetapi cenderung mengadopsi
program-program yang jauh bersifat sosialis. Timo Soini, Ketua
Partai saat itu, meminta semua kalangan menerima hasil pemilu
sambil menyebut bahwa era baru bagi negaranya telah dimulai. True
Finns merupakan partai yang menentang pemberian bailout atau
dana talangan kepada sesama negara Uni Eropa yang terkena krisis.
Belakangan, Timo Soini bersama partainya juga bersuara keras
menentang rencana Uni Eropa memberikan dana talangan untuk
membantu menyelamatkan ekonomi Portugal dari kebangkrutan.
Kemenangan partai sayap kanan Finlandia ini diperkirakan
bakal berpengaruh pada kebijakan dana talangan Uni Eropa
terhadap Portugal. Sebelumnya, Uni Eropa telah melemparkan
sinyal bakal menolong Portugal yang kini sedang dilanda krisis
ekonomi. Namun, Partai True Finn telah melemparkan sinyal
bakal menentang rencana bailout. Kemenangan partai yang kritis
terhadap bailout ini, diperkirakan akan mempengaruhi kebijakan

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 211


dana talangan di dalam Uni Eropa. Apalagi Finlandia punya hak
veto untuk menentang.

4. Islandia
Ketika monarki konstitusional diperkenalkan di Denmark
pada tahun 1849, Islandia masih merupakan bagian dari Kerajaan
Denmark. Reformasi 1849 memberikan kekuasaan legislatif ke
parlemen Denmark yang baru, namun berbagi kekuasaan dengan
Raja selaku kepala negara yang harus menyetujui semua undang-
undang dengan pengesahan. Raja juga mengendalikan penunjukkan
menteri sampai tahun 1901. Penghapusan absolutisme di Denmark
memicu tuntutan akan otonomi politik yang lebih besar bagi
Islandia. Pemimpin pergerakan kemerdekaan Islandia berpendapat
bahwa sebagai negara yang terpisah, Islandia harus memiliki
parlemen dan pemerintahan sendiri. Pada tahun 1845 parlemen
setempat (Alþingi) dipulihkan namun hanya sebagai badan
konsultatif tanpa kekuasaan. Kemudian pada tahun 1874 Alþingi
diberi kekuasaan legislatif dalam urusan dalam negeri Islandia.
Raja selaku kepala negara masih mempertahankan hak veto, dan
Islandia tetap berada di bawah kekuasaan administratif Denmark.
Tetapi bagi kaum nasionalis Islandia, reformasi terlalu terbatas
sehingga mereka menuntut lebih banyak otonomi. Namun, ketika
itu tuntutan tidak mencakup pelaksanaan demokrasi parlementer.
Perlu dicatat bahwa penerapan demokrasi parlementer di
Islandia dan Denmark merupakan hasil persaingan kekuasaan
antara raja dan mayoritas parlemen di majelis rendah Denmark
(Folketing), di mana Islandia tidak memiliki perwakilan.
Akhirnya, Raja mengakui pada tahun 1901 bahwa para menteri
membutuhkan dukungan dari mayoritas parlemen. Setelah konsesi
ini raja memiliki peran politik yang tidak signifikan. Titik balik

212 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


terakhir dalam hal ini ketika pada tahun 1920 Raja Christian
X menolak menyetujui susunan kabinet. Hal ini menyebabkan
krisis konstitusional yang serius. Krisis dapat dipecahkan saat raja
menyerah dan bersedia menerima kenyataan hanya menjadi kepala
negara belaka dengan fungsi simbolis.
Penerapan demokrasi parlementer di Denmark menghasilkan
kekhawatiran baru bagi pemimpin parlemen Islandia. Perubahan
tersebut menelanjangi kekuasaannya untuk membuat keputusan
independen mengenai ratifikasi undang-undang dan pengangkatan
menteri. Kekuasaan raja yang surut membuat kaum nasionalis
Islandia memperbesar tuntutan akan otonomidengan akibat
bahwa otonomi khusus Islandia tercapai pada 1904. Seperti
Denmark, Islandia juga mengadopsi demokrasi parlementer.
Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan yang mendapat
dukungan anggota parlemen. Sejak saat itu hampir semua menteri
Islandia juga pernah menjadi anggota parlemen. Namun, otonomi
khusus tidak mengubah fakta bahwa undang-undang Islandia
masih harus diratifikasi oleh raja Denmark, yang pada gilirannya
harus mempertimbangkan pendapat kabinet Denmark. Orang
Islandia terus membenci hal ini, dan terus mendesak kemerdekaan
dari Denmark. Pada tahun 1918 Islandia akhirnya menjadi
negara berdaulat meski bukan republik. Raja Denmark diakui
sebagai kepala negara. Dengan kedaulatan pada tahun 1918
dan kemerdekaan penuh pada tahun 1944, masyarakat Islandia
mulai berubah, masyarakat pertaniannya semakin industrial, dan
menyebabkan perubahan cepat dalam gaya hidup. Sistem partai
orang Islandia tidak kebal terhadap perubahan struktur sosial ini.
Pasca kemerdekaan, sistem kepartaian berkembang dengan
cepat dari aliansi parlemen yang diatur secara longgar menjadi
partai-partai yang terorganisasi dengan baik. Menjelang akhir

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 213


1930an transformasi ini selesai. Pada saat yang sama tantangan
ekonomi yang dipresentasikan oleh Great War, dan kemudian Great
Depression, meletakkan fondasi sistem yang ditandai oleh tingkat
kontrol publik terhadap ekonomi yang tinggi. Selanjutnya, sampai
akhir 1960-an ekspor perikanan mencapai hampir 90% dari total
ekspor. Saat ini, jika dibandingkan, nilai ekspor perikanan dari
total pendapatan ekspor sekitar 30%.
Pada tahun 1930-an, serikat pekerja berhasil mendapatkan
konsesi dari pengusaha yang membuat keanggotaan serikat
wajib bagi semua pekerja. Gerakan serikat Islandia, seperti yang
Denmark, diatur di sekitar kerajinan dibandingkan sektor yang
lain. Namun, terlepas dari keanggotaan serikat pekerja, gerakan
serikat pekerja tetap agak terdesentralisasi sampai tahun 1990an.
Struktur desentralisasi merupakan kerugian bagi munculnya neo-
korporatisme, yang selama ini dianggap sebagai salah satu ciri model
Skandinavia bersamaan dengan tradisi pemerintah minoritas.
Berbeda dengan neo-korporatisme yang muncul di beberapa negara
Skandinavia pada akhir 1930an, Islandia mengembangkan sebuah
model di mana sebagian pendapatan disishkan untukmenghadapi
fluktuasi ekspor, yang terkait dengan permintaan tenaga kerja yang
besar, kenaikan biaya tenaga kerja atau kerugian serta kondisi pasar
internasional. Model ini mengandalkan kontrol modal, indeksasi
upah, pengendalian harga, subsidi pertanian serta kontrol impor
dan ekspor. Kemudian devaluasi menjadi instrument tambahan.
Hal ini memberi pemerintah kekuatan besar atas ekonomi untuk
mencapai stabilitas ekonomi. Tetapi fungsi sistem juga sangat
bergantung pada kompromi antara partai politik, baik selama
pembentukan koalisi maupun dalam eksistensi mereka. Secara
kasar, dapat dikatakan bahwa the Independence Party, biasanya
mewakili kepentingan pemilik bisnis; the Progressive Party mewakili

214 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


kepentingan petani, koperasi dan daerah pedesaan; Sedangkan
partai-partai kiri berusaha mewakili gerakan buruh.
Sejak 1959, Islandia memiliki sistem pemilu proporsional
dengan ambang batas 5%. Sistem ini menggantikan sebuah
sistem yang menggabungkan ciri-ciri mayoritas dan proporsional
yang menghasilkan sistem partai yang terdiri dari 4 partai. Sejak
awal 1930an, partai politik terbesar adalah the Independence Party
(beraliran tengah). Partai terbesar kedua adalah the Progressive Party
yang berakar di daerah pedesaan serta diikuti oleh 2 partai kecil:
People´s Party dan the People´s Alliance (dahulu Partai Sosialis). Dari
tahun 1983, 5 atau 6 partai selalu diwakili dalam Alþingi.
Sebelum 1999, the Progressive Party dan the People ‘s Alliance
selalu menjalankan peran utama dalam menentukan koalisi. Tanpa
peran salah satu partai itu, the Independence Party tidak dapat
merumuskan koalisi. Oleh sebab itu, the Progressive Party and the
People´s Party selalu menjadi mitra koalisi hingga tahun 1942.
Tapi sejak saat itu kedua partai tersebut tidak pernah meraih suara
mayoritas di parlemen. Itu berarti mereka harus memasukkan
politisi kiri ke dalam koalisi mereka atau bernegosiasi dengan
the Independence Party. Pada puncak Perang Dingin, kaum krii
tidak dianggap sebagai mitra koalisi yang menarik, karena mereka
menentang keanggotaan NATO dan bersimpati kepada Soviet.
Ini memastikan bahwa the Independence Party mendominasi
pemerintahan dari tahun 1944 sampai 1956 dan juga pada tahun
1959 sampai 1971.
Pada pemilu 1971 dan 1974, pemilu parlemen telah
melahirkan kekuatan partai kiri (Party of Liberals dan Leftists)
yang meraih suara terbanyak dalam pemilu. Ini menunjukkan
fragmentasi partai kiri, tetapi 1983-1993, kekuatan politisi kiri
diwakili oleh 4 partai di parlemen. Namun demikian, gabungan

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 215


keempat partai itu tak cukup menandingi the Indendence Party,
yang nyaris mendekati komposisi 40% suara. Memasuki dekade
1980-an, suara partai-partai kiri merosot dari 25% hingga 20%.
Pada pemilu 1999, keempat partai kiri membangun aliansi dalam
menghadapi pemungutan suara dan tergabung dalam the Social
Democratic Alliance. Akan tetapi kalangan kiri radikal dan paham
lingkungan menolak bergabung dalam aliansi ini. Mereka memilih
mandiri dengan membentuk Left-Green-Movement. Pemilu 1999
sendiri menghasilkan suara 26% untuk the Social Democratic
Alliance, dan 9% untuk Left-Green-Movement. Sementara the
Liberal Party menduduki peringkat ketiga dengan suara 7%.
Sebaliknya, the Independence Party meraih suara terbanyak dalam
25 tahun terakhir (40,5%). Antara 1999-2013, kelima partai itu
selalu memperoleh wakil di parlemen. Pada pemilu 2013, 6 partai
mengirimkan wakil rakyat, dan suara the Independence Party dan the
Social Democratic Alliance masing-masing 24% dan 12%, merosot
jika dibandingkan pemilu 1999.
Perdana Menteri Geir Haarde, yang telah memerintah
selama krisis finansial, dipecat dari jabatan kurang dari seminggu
kemudian. Namun, demonstrasi di Reykjavík terus berlanjut
sepanjang tahun ini, karena pemerintah berikutnya juga berusaha
mengendalikan warga Islandia untuk bertanggung jawab atas
sebagian dari hutang yang diakumulasikan oleh bank-bank yang
gagal. Pada akhirnya, kreditur asing dipaksa untuk menerima
kerugian sebagian besar hutang perbankan, sebuah solusi yang
paling tidak biasa untuk menghadapi tahun 2008 (seperti yang
terus kita lihat dalam krisis zona euro hari ini). Namun, komitmen
luar biasa untuk memprioritaskan kepentingan konsumen atas
kepentingan pemodal inilah yang mendorong Islandia masuk
dalam berita internasional lagi. Bekas kepala pemerintahan

216 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Haarde ditangkap, diadili, dan dihukum karena perannya dalam
membiarkan krisis.
The Progressive Party (Framsóknarflokkurinn), yang
memperjuangkan kepentingan petani, dan the Social Democratic
Party (Alþýðuflokkurinn), yang didukung masyarakat perkotaan,
keduanya didirikan pada tahun 1916. Pada tahun 1929, sebuah
partai sayap kanan, the Independence Party (Sjálfstæðisflokkurinn)
dibentuk, sebagai gabungan dari Partai Konservatif dan Partai
Liberal. Pada 1930, Partai Komunis terbentuk dari pecahan the
Social Democratic Party. Tahun 1938, faksi kiri the Social Democratic
Party keluar dan bergabung dengan partai komunis, namun nama
partai ini lantas diubah menjadi Partai Sosialis. Pada tahun 1956,
faksi lain keluar dari the Social Democratic Party dan kemudian
membentuk People’s Alliance (Alþýðubandalagið). Meskipun partai
lain telah muncul dan terpilih ke Alþingi (parlemen), mereka belum
berhasil mendapatkan pijakan yang kuat dalam lanskap politik.
Jadi, partai sayap kanan , partai tengah, partai sosial-demokrat dan
partai sayap kiri telah mendominasi politik Islandia selama beberapa
dekade terakhir. Suatu pengecualian layak diberikan kepada the
Women’s Alliance (Kvennalistinn) yang didirikan pada tahun 1983
dan memperjuangkan kandidasi perempuan. Walaupun sulit
menempatkan basis ideologi partai ke dalam spectrum sayap kanan
dan sayap kiri, akan tetapi isu feminisme yang diusung memiliki
pengaruh kuat. Dalam masa sebelum pembentukan partai ini,
hanya ada 3 anggota parlemen perempuan. Partai-partai kiri di
Islandia tak stabil lantaran banyaknya faksional yang mendorong
pembentukan partai-partai baru, sementara partai sayap kanan
cenderung stabil. Sampai di penghujung 1990-an, tak seperti
negara Skandinavia lain, Islandia memiliki banyak sekali partai-
partai beraliran kiri. Barulah, ketika the Women’s Alliance bergabung

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 217


dengan the Social Democratic Party pada 1999, situasi kepartain
nyaris serupa dengan negara-negara Nordic lainnya.
Di Islandia, keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat
dan keanggotaan NATO menjadi penanda spectrum partai. Partai-
partai kiri cenderung menolak kedua isu tersebut, sementara partai
kanan nampaknya mendukung. Partai-partai kiri juga cenderung
kritis terhadap isu perpajakan dan mendukung belanja sosial,
sesuatu yang ditolak oleh partai-partai kanan. Gender dan isu
lingkungan menjadi pegangan partai kiri, sementara fokus partai
kanan tidak terhadap kedua isu itu.
Sepanjang tahun 1998-1999, diskusi mengenai penyatuan
partai-partai kiri mengemuka. Hal ini didorong kenyataan
bahwa partai-partai kiri cenderung tidak stabil dan mengalami
perpecahan hampir tiap kali usai pemilu. Para politisi ketika
itu mempertimbangkan penggabungan 4 partai kiri: the Social
Democrats, the People’s Alliance, People’s Movement, dan the Women’s
Alliance. Selama beberapa dekade, The Social Democrats dan the
People’s Alliance telah mendominasi parlemen. The People’s Movement
pecah kongsi dengan The Social Democrats usai pemilu 1995 dan
mampu mengirimkan 4 wakil ke parlemen. Pada saat yang sama, The
Women’s Alliance pecah pamor dan hanya mampu menempatkan 3
wakil. Namun demikian, aliansi kekuatan kiri yang tergabung pada
8 Mei 1999 dalam the Social Democratic Alliance (Samfylkingin) dan
setahun kemudian resmi mengikuti pemilu sebagai partai politik.
Minoritas penentang dalam kedua partai kiri tersebut membentuk
Left-Green Movement (Vinstrihreyfingin – Grænt framboð), yang
mengklaim pengusung sosialisme dan ekologi sebagai alternatif
terhadap The Social Democrats pada 6 Februari 1999. Kekuatan
konservatif seperti the Humanists dan the Christian Democratic Party
mencoba bertahan walau tak memperoleh dukungan parlemen.

218 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Dalam pemilu 2000, The Left-Green Movement memperoleh
dukungan 9,1% suara dan menghasilkan 6 legislator. Sementara
the Social Democratic Alliance menghasilkan 17 legislator dengan
dukungan 26,8%. Secara keseluruhan, jika dibandingkan pemilu
1995, 4 partai kiri seluruhnya memperoleh 23 kursi (37,8%).
Oleh sebab itu, pemilu paling akhir itu nampaknya partai tidak
memperoleh kemenangan signifikan. Namun demikian the Left-
Green Movement sejak itu secara perlahan terus memperoleh
dukungan, kecuali di tahun 2003 yang hanya mampu mengirimkan
1 wakil rakyat.
Pada musim gugur tahun 2009, Islandia memiliki empat
partai politik utama, the Social-Democratic Alliance, the Left-Green
Party, the Independence Party, dan the Progressive Party. Apa yang
membuat ketidakpuasan politik negara ini begitu parah karena
kedua partai yang pertama mewakili pemerintah menderegulasi
industri perbankan dan membiarkannya menghasilkan banyak
hutang, sementara kedua partai berikutnya menawarkan
membentuk pemerintahan baru yang berusaha meyakinkan publik
menerima kewajiban membayar hutang untuk menghindari
sanksi internasional. Rakyat merasa bahwa tawaran pembentukan
pemerintahan baru pun tidak memiliki makna karena tetap saja
mereka menanggung hutang yang begitu besar dan tawaran itu
pula tak menyelesaikan persoalan politik. Situasi berubah pada
bulan November 2009, ketika sebuah partai baru, Besti Flokkurinn
(the Best Party), muncul, meskipun segera dicemoohkan secara luas
sebagai “lelucon” oleh elit politik Islandia.
Usai pemilu 2009, The Left-Green Movement dan the Social
Democratic Alliance sepakat membentuk pemerintahan. Walaupun
merupakan mayoritas timpang, akan tetapi Progressive Party
bersedia untuk memberikan dukungan. Kabinet terdiri atas 4

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 219


menteri The Left-Green Movement, 4 menteri the Social Democratic
Alliance, dan 2 menteri nonpartai. Pemerintah dalam banyak hal
berhasil, terutama berkenaan dengan berbagi informasi dengan
publik melalui pertemuan mingguan dengan media. Pemerintah
menata ulang Bank Sentral, menahan sementara penyitaan,
mengizinkan orang berpenghasilan rendah untuk mendapatkan
akses dana pensiun, meningkatkan kredit, mengadopsi srencana
baru memerangi perdagangan manusia, memperkenalkan kode
etik pemerintahan, dan sebagainya.
Tahun 2016, Islandia mengumumkan percepatan pemilu
parlemen. Hal itu dipicu pengungkapan skandal lewat Panama
Paper, yang memaksa Perdana Menteri Sigmundur Davíð
Gunnlaugsson mundur pada April 2016. Gunnlaugsson adalah
petinggi negeri pertama yang terjungkal setelah keluarnya dokumen
yang mengungkap penggelapan pajak global itu. Pengungkapan
itu memicu aksi protes besar-besaran yang jarang terjadi di
Islandia. Meski kepala pemerintahan mundur, pemerintahan
masih tetap berjalan. Pemerintah Islandia menunjuk Menteri
Perikanan Sigurdur Ingi Johannsson sebagai perdana menteri
baru. Johannsson, yang juga pernah menjabat sebagai menteri
pertanian, menyatakan bahwa pemerintah akan berfokus pada
sejumlah proyek besar yang selama tiga tahun terakhir tertunda
akibat kebijakan kontrol modal.
Perdana Menteri Islandia hari Minggu (30/10/2016)
mengundurkan diri setelah hasil pemilihan parlemen menunjukkan
tidak ada partai yang meraih mayoritas yang dibutuhkan untuk
membentuk pemerintahan baru. Perdana Menteri Sigurdur
Ingi Johannsson dari Partai Progresif yang berhaluan tengah,
mengatakan, sesuai konstitusi, ia akan menyerahkan pengunduran
dirinya kepada presiden dan akan tetap menjabat, jika diminta,

220 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


sampai pemerintahan baru terbentuk. Koalisi partai Independent
dan Progresif yang memerintah sejak tahun 2013 bersama-sama
memenangkan 29 kursi dalam parlemen dengan 63 anggota. Partai
Pirate yang radikal, dibentuk empat tahun sebelumnya, meraih
banyak suara, tetapi tidak sebanyak yang selama ini tampak dalam
jajak pendapat. Pirate, pendukung demokrasi langsung yang anti-
otoriter dan kebebasan digital, meraih hampir tiga kali lipat suara,
dari 5 persen tahun 2013 menjadi 14,5 persen, dan akan mendapat
10 kursi dalam parlemen. Bersama tiga sekutu kiri-tengah, mereka
memenangkan 27 kursi. The Left-Green Movement, yang meraih
15,9 persen suara, juga akan mendapat 10 kursi dalam parlemen.
Perolehan itu menunjukkan, parlemen Islandia akan terpecah
antara partai-partai berhaluan kanan dan kiri.
Demokrasi parlementer di Islandia menyisakan perhatian
yang unik terhadap posisi Presiden. Ketika Jerman menduduki
Denmark pada bulan April 1940, Alþingi secara sepihak
mengakhiri Undang-undang Uni Denmarik-Islandia 1918.
Tindakan tersebut memungkinkan dilakukannya revisi dalam 25
tahun, namun pendudukan Denmark membuat orang Islandia
segera memutuskan untuk mendirikan sebuah republik. Sebagai
langkah ke arah itu Alþingi memilih presiden sementara pada
tahun 1941. Juga sebuah komite parlementer khusus, yang terdiri
dari perwakilan partai politik, diberi tugas untuk mengusulkan
perubahan konstitusi untuk mendirikan sebuah republik.
Komite khusus tersebut hanya sedikit melakukan perubahan
seperti mengganti kata “raja” dengan kata “presiden.” Namun,
proses meratifikasi undang-undang diubah agar kecil kemungkinan
presiden tergoda untuk ikut campur dalam proses legislatif.
Dengan demikian jika sebuah undang-undang sudah dibahas
parlemen, terlepas dari penolakan presiden untuk menandatangani

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 221


undang-undang bersama menteri, akan tetap berlaku sampai
hasil referendum mengatakan sebaliknya (pasal 26). Dengan frasa
ini, maka nasib akhir sebuah undang-undang yang menghadapi
penolakan Preisden, akan ditentukan dalam sebuah referendum.
Anggota parlemen pada awal 1940-an sudah merasakan
bagaimana situasi politik yang harus dihadapi tatkala Presiden
dibiarkan tak terkendali. Pada tahun 1942 presiden sementara
telah menunjuk orang-orang yang bukan anggota parlemen
untuk menjalankan pemerintahan setelah perundingan koalisi
yang berkepanjangan gagal menghasilkan pemerintahan baru.
Para pemimpin parlemen tidak senang dengan keputusan ini,
namun ada juga kesadaran bahwa pada saat itu partai-partai tidak
dapat membuat kompromi yang diperlukan untuk membentuk
pemerintahan. Sementara kebuntuan berlangsung, pemerintahan
berjalan tanpa kontrol anggota parlemen. Akhirnya, partai-partai
politik dapat menghasilkan mayoritas parlemen pada akhir tahun
1944 dan itu hanya beberapa bulan setelah Islandia menjadi
republik. Dalam 70 tahun sejak Islandia menjadi sebuah republik,
Presiden tercatat hanya beberapa kali terlibat aktif dalam membantu
pembentukan sebuah pemerintahan. Keterlibatan itu didorong
oleh situasi serupa di mana partai-partai politik mengalami
kesulitan untuk mencapai kompromi penyelesaian permasalahan
ekonomi (1947, 1949, 1958, 1978 dan 1979). Intervensi Presiden
yang lain karena kegagalan pengambilan keputusan soal sistem
pemilu (1958). Negosiasi gagal untuk membentuk pemerintahan
telah menghasilkan pembentukan pemerintahan minoritas
sementara (1949, 1958, 1979, 2009). Perbedaan kebijakan luar
negeri menyebabkan pecahnya koalisi pemerintahan sehingga
Presiden melakukan intervensi dalam pembentukan eksekutif
(1946, 1956). Perdebatan cara penyelesaian persoalan ekonomi

222 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


juga dapat mendorong perpecahan koalisi sebelum akhir masa
jabatan eksekutif (1958, 1974, 1979, 1987, 2009). Sejarah juga
menunjukkan bahwa pemerintahan dengan lebih dari 3 partai
akan lebih rentan mengalami keretakan dibandingkan koalisi oleh
2 partai. Semua fakta sejarah tercatat sebagai penyebab intervensi
Presiden dalam pembentukan pemerintahan walaupun hanya
terbatas sebagai formatur.
Terkadang teks sebuah konstitusi memberikan informasi
terbatas tentang kekuatan sebenarnya parlemen berhadapan dengan
presiden. Dalam hal ini, konteks politik itu penting. Austria adalah
contoh sebuah negara dengan sebuah konstitusi yang tampaknya
memberi presiden yang dipilih langsung terlibat dalam prosedur
legislasi. Presiden Islandia memiliki peran yang sangat terbatas
dalam pembentukan koalisi, dengan beberapa pengecualian
seperti ditunjukkan dalam uraian sebelumnya. Apalagi, presiden
tidak memiliki wewenang untuk membubarkan parlemen tanpa
persetujuan perdana menteri. Presiden juga tidak pernah ikut
campur dalam proses legislatif sampai tahun 2004. Ketika itu terjadi
sebuah era baru dalam hubungan antara presiden dan pemerintah,
juga terhadap parlemen, yang mungkin memiliki implikasi
terhadap wewenang Presiden dalam pembentukan pemerintah dan
pembuatan kebijakan publik.
Pada tahun 2004 Ólafur Ragnar Grímsson menjadi presiden
Islandia pertama yang menolak menandatangani undang-undang
yang disahkan oleh parlemen. Grímsson terpilih sebagai presiden
pada tahun 1996, dan terpilih lagi tahun 2000, 2004, 2008, 2012.
Tidak seperti kebanyakan pendahulunya, dia adalah seorang politisi
sebelum menjadi presiden. Hanya salah satu pendahulunya yang
sebelumnya adalah seorang politisi yaitu Ásgeir Ásgeirsson (1952-
1968). Kepala negara sebelumnya adalah Vigdís Finnbogadóttir

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 223


(akademisi, 1980-1996, menjadi perempuan pertama di dunia yang
dipilih langsung sebagai Presiden), Kristján Eldjárn (akademisi,
1968-1980), dan Sveinn Björnsson (diplomat, 1944-1952,
meninggal dunia dalam periode ketiga jabatan Presiden tahun
1952).
Selama dua periode kepresidenan Grímsson the Independece
Party dan the Progressive mengendalikan pemerintah. Selama kurun
waktu tersebut Grimsson menjauh dari sikap intervensi politik.
Tapi sebuah kesempatan muncul saat Alþingi mengeluarkan
undang-undang kontroversial pada tahun 2004 yang membatasi
kepemilikan media massa oleh sebuah kelompok bisnis. Muncul
keragaman pendapat di media sebagai keberatan terhadap
undang-undang tersebut. Oposisi di parlemen juga menentang
undang-undang tersebut. Dikatakan bahwa undang-undang
tersebut memberikan bukti lain tentang kontrol pemerintah dalam
bidang politik. Tidak lama sesudah itu sebuah jajak pendapat
menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih skeptis terhadap
undang-undang tersebut. Ini menciptakan ruang aman bagi
Presiden Grímsson untuk menggunakan kasus ini guna memperluas
tindakan kepala negara. Grimsson memberikan pernyataan terbuka
bahwa ia tidak akan menandatangani undang-undang media
tersebut dengan alasan tidak memperoleh dukungan publik.
Dengan tindakan ini, Grimsson menempatkan Presiden sebagai
pembela rakyat yang memastikan supaya mayoritas anggota
parlemen tidak mengabaikan kehendak rakyat. Tindakan ini tak
pelak merupakan reinterpretasi radikal terhadap Pasal 26 konstitusi
yang telah diberlakukan sejak 1944 untuk membatasi keterlibatan
Presiden dalam prosedur legislasi. Tentu saja, reinterpretasi tersebut
tidak diterima dengan baik oleh mayoritas parlemen. Namun para
pemimpinnya menerima tindakan tersebut sebagai fait accompli.

224 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Apalagi walaupun konstitusi meminta referendum bila tahapan
legislasi menghadapi situasi semacam itu, para pemimpin partai
sepakat bahwa tindakan terbaik adalah menarik kembali rancangan
undang-undang tersebut. Jajak pendapat telah menunjukkan
bahwa pemerintah kemungkinan akan menjadi pecundang apabila
sebuah referendum digelar. Oposisi segera memuji sikap Presiden.
Koalisi pemerintah berusaha mencegah situasi serupa terulang
kembali sembari membentuk usul perubahan undang-undang
dasar. Namun usul itu kandas mengingat prasyarat konsensus
pembahasan usul perubahan tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Lagipula, kalangan oposisi menolak usul tersebut dan
cenderung gembira menerima sikap seorang kepala negara yang
menjadi mitra tanding pemerintah.
Pada tahun 2007 the Social Democratic Alliance menggantikan
the Progressive Party sebagai mitra koalisi the Independence Party.
Setahun kemudian Islandia terjebak krisis keuangan yang
mengerikan karena 3 bank utama di dalam negeri terjebak utang
yang jumlahnya mencapai 9 kali PDP negara tersebut. Deregulasi
industri perbankan Islandia pada awal tahun 2000an telah
menciptakan banyak insentif bagi bank untuk menemukan kembali
diri mereka sebagai perusahaan kewiraswastaan yang spesifik.
Investasi internasional dan skema keuangan berbahaya lainnya
dilakukan, menggelembungkan sektor perbankan dan pinjaman
dalam negeri, yang mendorong sebuah revolusi konsumen yang
membuat Islandia, selama beberapa tahun, salah satu negara terkaya
per kapita di dunia. Namun 3 bank swasta utama Islandia juga
akhirnya mengumpulkan lebih dari $ 85 miliar utang internasional
pada tahun 2008, beberapa kali lipat produk domestik bruto
Islandia. Ketika pasar kredit internasional mengering setelah
runtuhnya Lehman Brothers pada bulan September, hutang bank

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 225


tidak dapat lagi dibayarkan, dan ketiganya gagal dan dinasionalisasi,
membawa Bank Sentral Islandia nyaris berada di ambang
kebangkrutan. Pemegang rekening bank asing, terutama di Inggris,
menekan pemerintah untuk mengembalikan simpanan mereka.
Dalam waktu kurang dari dua minggu, kredibilitas utang negara
diturunkan, dan mata uang krona kehilangan dua pertiga nilainya.
Muncul inflasi dan pengangguran, lalu IMF masuk pada bulan
November dengan paket stabilisasi senilai $ 4 miliar, mengakhiri
fase krisis yang paling mengerikan. Tapi akibatnya meluas ke tahun
2009, saat demonstrasi melawan mereka yang dituduh memicu
krisis meningkat.
Pada akhir Januari 2009, the Social Democratic Alliance
mengakhiri kerja sama dengan Partai Kemerdekaan untuk
membentuk pemerintahan minoritas dengan Left-Green Movement.
Pemerintah mengandalkan dukungan the Progressive Party sebagai
pengganti janji pemilihan awal dan reformasi konstitusi. Pemilihan
pada bulan April 2009 kemudian berhasil mengamankan kemitraan
baru itu sebagai mayoritas solid di parlemen. Tugas sulit segera
menghadang pemerintah dan antara lain adalah menyelesaikan
perselisihan dengan pemerintah Inggris dan Belanda mengenai
pertanggungjawaban atas kegagalan yang dijalankan oleh salah satu
bank swasta gagal di negara tersebut. Pada bulan Juni pemerintah
baru mencapai kesepakatan dengan pemerintah Inggris dan Belanda
yang menjamin bahwa Islandia akan membayar € 5 miliar dengan
bunga yang relatif tinggi. Tentu saja komitmen itu merupakan
jumlah yang sangat besar untuk sebuah negara kecil dengan
populasi hanya 320.000, dan sudah terperangkap hutang. Rakyat
berpendapat bahwa bank yang harus bertanggung jawab, bukan
pembayar pajak. Meski begitu, parlemen meloloskan kesepakatan
tersebut setelah berdebat panjang dan gagal melakukan negosiasi

226 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


ulang persyaratan tersebut. Kesepakatan tersebut didukung oleh
semua anggota parlemen kedua partai koalisi tersebut dan disahkan
sebagai undang-undang, namun sangat ditentang oleh partai
oposisi.
Oposisi berpaling kepada Presiden untuk membantu
membatalkan undang-undang tersebut. Ada keragu-raguan apakah
Grímsson akan berbalik melawan mantan sekutu politiknya pada
saat kritis seperti itu. Tapi ternyata Presiden bergabung dengan
oposisi dan menolak menandatangani undang-undang tersebut
pada Januari 2010. Akibatnya, peringkat popularitasnya melonjak.
Sebaliknya, pemerintah dengan cepat kehilangan dukungan. Jajak
pendapat pada saat itu juga menunjukkan bahwa kepercayaan di
parlemen berada pada titik terendah sepanjang sejarah. Kurangnya
kepercayaan mencerminkan fakta bahwa publik menyalahkan
politisi atas krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Presiden
Grímsson menggunakan kurangnya kepercayaan di parlemen
sebagai salah satu alasan utama untuk tidak menandatangani
undang-undang. Presiden juga mengatakan telah menerima sebuah
petisi yang ditandatangani oleh 25% pemilih yang memintanya
untuk tidak menandatangani undang-undang tersebut. Dalam
pernyataannya Presiden Grímsson mengatakan sebuah referendum
tersebut akan memulihkan kepercayaan pada sistem politik dan
mempromosikan persatuan nasional.
Pemerintah terkejut ketika melihat Presiden secara efektif
menghalangi kesepakatan penting yang telah mereka lakukan
dengan pemerintah asing. Namun pemerintah taka da pilihan
kecuali melaksanakan referendum, yang kemudian mendapat banyak
perhatian internasional. Presiden memberikan wawancara di semua
media internasional dan menjelaskan bahwa Islandia adalah negara
demokratis kecil yang tidak dapat didorong oleh kekuatan besar

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 227


untuk menerima persyaratan yang tidak adil. Dalam referendum
di bulan Maret 2010 93% memilih menentang undang-undang
tersebut. Setelah kekalahan ini, pemerintah mengumpulkan tim
perunding baru, termasuk orang-orang yang dipercaya oleh oposisi.
Beberapa bulan kemudian kesepakatan penyelesaian kreditur asing
yang lebih menguntungkan tercapai. Sebuah rancangan undang-
undang soal itu sudah disetujui, akan tetapi secara mengejutkan
Presiden Grímsson menolak mengesahkan produk legislatif itu.
Presiden berkilah bahwa masalah demikian penting bukan urusan
parlemen tetapi harus memperoleh persetujuan rakyat. Presiden
menunjuk 3 alasan: parlemen baru belum dipilih, kepercayaan
internasional belum pulih, dan kehendak rakyat untuk menjadi
pihak penentu keputusan pemerintah.
Sebuah referendum terpaksa digelar pada bulan April 2011
dan hasilnya telak, walau disepakati parlemen, sebanyak 60%
rakyat menolak. Belanda dan Inggris berang, dan menyeret masalah
itu ke Pengadilan Eropa. Pada bulan Februari 2013, pengadilan
memutuskan bahwa Uni Eropa tidak memiliki kewenagan untuk
menuntut pembayaran dana deposito di dalam bank swasta sebuah
negara manakala skema penjaminan tidak dapat berjalan dengan
baik. Putusan pengadilan disambut sorak gembira pembayar pajak
Islandia dan juga Presiden Grimsson. Namun putusan itu juga
sekaligus memukul legitimasi pemerintah yang dianggap tidak becus
menyelesaiakan perselisihan yang melibatkan pemerintah asing.
Pada tahun 2012 Grímsson terpilih kembali sebagai Presiden.
Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas pemilih menyukai
tindakan-tindakan Presiden Grímsson. Pemilihan dianggap sebagai
mandat bagi kepala negara untuk menjadi lebih vokal pada isu-
isu yang berkaitan dengan kedaulatan dan perubahan konstitusil.
Selama bertahun-tahun presiden juga menciptakan sebuah profil

228 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


internasional yang kuat. Misalnya, Grimsson memiliki hubungan
yang lebih erat dengan para pemimpin di negara-negara seperti
China, India dan Rusia. Dia juga telah mempromosikan kerjasama
internasional yang lebih dekat di wilayah Arktik dan memiliki
reputasi internasional dalam memerangi pemanasan global.

5. Norwegia
Sejak tahun 1981, sistem politik Norwegia telah mengalami
dua perubahan mendasar. Pertama, deregulasi dan privatisasi yang
ekstensif dengan dukungan seluruh kekuatan parlemen, kecuali
the Socialist Left Party (SV) dan the Centre Party (SP). Kedua,
seluruh partai menyetujui integrasi ekonomi Norwegia dengan
Eropa. Tindakan ini menyebabkan kebijakan ekonomi yang sudah
ditempuh tidak dapat dievaluasi dan bahkan justru menuntut
tindakan-tindakan lain yang cenderung neoliberal.
Perdana Menteri merupakan kepala pemerintahan
Norwegia. Perdana Menteri dan Kabinet (yang terdiri dari semua
kepala departemen pemerintahan) secara kolektif bertanggung
jawab atas kebijakan dan tindakan mereka kepada Parlemen
Norwegia. Norwegia memiliki sebuah konstitusi, yang diadopsi
pada 17 Mei 1814. Posisi Perdana Menteri diatur dengan
undang-undang. Perdana Menteri Modern memiliki keterlibatan
dalam proses legislasi, namun asalkan memperoleh dukungan
parlementer, mereka dapat mengendalikan legislatif dan eksekutif
(Kabinet) dan karenanya memiliki kekuatan de facto yang cukup
besar. Tidak seperti praktik sistem pemerintahan sejenis di Eropa,
Perdana Menteri Norwegia tidak berwenang memberikan usul
kepada kepala negara (raja atau ratu) untuk membubarkan
parlemen dan mengusulkan pemilu dini. Konstitusi mensyaratkan
bahwa parlemen menjalani masa jabatan 4 tahun. Jika Perdana

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 229


Menteri kehilangan kepercayaan dari parlemen, dia harus
mengundurkan diri.
Partai Buruh yang didirikan pada 21 Agustus 1887 merupakan
partai dengan ideologi sosial demokrasi. Slogannya sejak tahun
1930an adalah “semua orang ambil bagian”, dan partai tersebut
secara tradisional mendukung negara kesejahteraan yang kuat,
didanai melalui pajak dan bea. Sejak tahun 1980an, partai tersebut
telah memasukkan lebih banyak prinsip ekonomi pasar sosial, yang
memungkinkan dilakukannya privatisasi aset serta pelayanan publik
yang dikelola oleh pemerintah dan mengurangi pajak penghasilan,
mengikuti gelombang liberalisasi ekonomi di tahun 1980an.
Selama pemerintahan Stoltenberg yang pertama, kebijakan partai
tersebut terinspirasi oleh visi Tony Blair dan melibatkan privatisasi
paling masif oleh pemerintahan Norwegia sampai saat itu. Partai
ini sering digambarkan berwatak neoliberal sejak tahun 1980an,
baik oleh ilmuwan politik maupun penentangnya, para politisi
kiri. Partai Buruh mengungguli dirinya sebagai partai progresif
menggalang kerja sama di tingkat nasional maupun internasional.
Partai Buruh selalu menjadi pendukung kuat keanggotaan NATO
dan telah mendukung keanggotaan Norwegia di Uni Eropa
dengan mengajukan 2 referendum (1972 dan 1994). Selama
Perang Dingin, ketika partai tersebut mendominasi pemerintahan,
telah menyejajarkan Norwegia dengan Amerika Serikat di tingkat
internasional dan mengikuti kebijakan anti-komunis di tingkat
domestik, setelah pidato Kråkerøy tahun 1948 dan berpuncak
pada Norwegia sebagai anggota pendiri NATO pada tahun 1949.
Didirikan pada tahun 1887, partai memperoleh dukungan
besar hingga menjadi partai terbesar di Norwegia pada tahun
1927. Selama tahun 1920-an, kemudian mengikuti mencatatkan
diri sebagai bagian gerakan komunis internasional tahun 1919

230 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


sampai 1923. Pengikatan dalam gerakan internasional ini memicu
perpecahan dengan terbentuknya the Social Democratic Labour Party
of Norway. Tahun 1923, partai keluar dari gerakan internasional,
menyisakan perpecahan dengan terbentuknya the Communist Party
of Norway.
Partai Buruh membentuk pemerintahan pertamanya pada
tahun 1928. Christopher Hornsrud membentuk pemerintahan
pertama Partai Buruh; dan hanya bertahan dua minggu. Pada
awal 1930an Buruh meninggalkan profil revolusionernya dan
menetapkan sebuah program reformis. Partai Buruh kemudian
kembali ke pemerintahan pada tahun 1935 dan tetap berkuasa
sampai tahun 1965 (kecuali periode pengasingan Perang Dunia
II antara 1940-1945 dan satu bulan di tahun 1963). Selama
hampir dua puluh tahun pertama setelah Perang Dunia II,
Einar Gerhardsen memimpin partai dan negara tersebut. Hal
ini sering dianggap sebagai “zaman keemasan” Partai Buruh dan
telah memimpin pemerintah selama 16 tahun sejak 1935. Dari
tahun 1945 sampai 1961, partai menguasai mayoritas mutlak di
parlemen, satu-satunya saat ini yang pernah terjadi dalam sejarah
Norwegia. Periode lain kepemimpinan Partai Buruh pemerintah
nasional adalah 1971-1972, 1973-1981, 1986-1989, 1990-1997
dan 2000-2001.
Sejak 1945-1961, Partai Buruh mendominasi pemerintahan.
Einar Henry Gerhardsen menjadi perdana menteri paling lama
dalam sejarah Norwegia sejak 1945, yaitu selama 17 tahun
(945–1951, 1955–1963, dan 1963–1965). Dia dianggap sebagai
salah satu arsitek utama pembangunan kembali Norwegia setelah
Perang Dunia II. Menjelang pertengahan tahun 1930an, Buruh
merupakan kekuatan utama di panggung politik nasional, menjadi
partai pemerintahan di bawah pemerintahan perdana menteri

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 231


Johan Nygaardsvold dari tahun 1935 sampai invasi Jerman pada
tahun 1940. Setelah pendudukan Jerman tahun 1940, Gerhardsen
menjadi pelaksana tugas ketua Partai Buruh, karena sang ketua,
Oscar Torp telah pergi ke pengasingan. Gerhardsen menjadi
walikota Oslo pada tanggal 15 Agustus 1940, namun dipaksa untuk
mengundurkan diri oleh tentara Jerman pada tanggal 26 Agustus
tahun yang sama. Pada bulan September, pemerintah pendudukan
melarang semua partai, termasuk Partai Buruh. Setelah perang,
Gerhardsen membentuk pemerintahan sementara yang duduk
sejak akhir pendudukan pada bulan Mei 1945 sampai pemilihan
diadakan pada bulan Oktober tahun yang sama. Pemilu memberi
Buruh mayoritas absolut di Parlemen, yang dipertahankan sampai
tahun 1961.
The Socialist Peoples’ Party (SF) terbentuk pada 1961, dengan
dukungan faksi-faksi Partai Buruh yang menentang keanggotaan
Norwegia dalam NATO dan pelucutan senjata nuklir. Sejak saat
itu, dominasi Partai Buruh berakhir. John Daniel Lyng menjadi
Perdana Menteri dari tanggal 28 Agustus sampai 25 September
1963 di sebuah pemerintahan koalisi yang terdiri dari the
Conservative, Centre, Christian Democratic, dan Liberal. Itu adalah
pemerintahan pertama dalam 28 tahun yang tidak dipimpin oleh
Partai Buruh. Masa singkat memegang jabatan Perdana Menteri
terjadi pada Agustus 1963 setelah dua perwakilan Partai Sosialis
(SF) bergabung mengajukan mosi tidak percaya atas kabinet
Gerhardsen. Lyng segera menyadari di antara mereka, partai-partai
non-sosialis hanya memiliki satu kursi di parlemen, dan jika mereka
bergabung bersama, mereka akan bisa membentuk pemerintahan
selama SF abstain. Dia dengan cepat menghadapi koalisi yang
mulai pada tanggal 28 Agustus. Aksi parlementer menyebabkan
kabinet Partai Buruh dipulihkan sebulan kemudian setelah SF

232 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


memberikan dukungannya kembali. Meski kabinet Lyng hanya
bertahan sebulan, ternyata partai non-sosialis tersebut mampu
membentuk pemerintahan. Setelah pemilihan 1965, partai-partai
non-sosialis memenangkan mayoritas dengan Per Borten sebagai
Perdana Menteri, dan John Lyng sebagai Menteri Luar Negeri. Dia
digantikan oleh Svenn Stray pada tahun 1970.
Per Borten menjadi Perdana Menteri Norwegia dari tahun
1965, dia memimpin pemerintahan koalisi 4 partai kanan tengah,
sampai 17 Maret 1971, ketika pemerintah membubarkan diri.
Dia mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri ketika diketahui
bahwa dia telah menunjukkan informasi rahasia tentang Norwegia
dalam negosiasi mengenai keanggotaan Komunitas Ekonomi
Eropa, antara lain Arne Haugestad, yang kemudian menjadi
pemimpin Gerakan Rakyat melawan keanggotaan Masyarakat
Ekonomi Eropa di Norwegia.
Trygve Martin Bratteli, Ketua Partai Liberal, kemudian
menjadi Perdana Menteri (1971–1972 dan 1973–1976). Dalam
kebijakan sosial, Bratteli melihat bertanggung jawab atas penetapan
sebuah undang-undang pada bulan Juni 1972 yang menurunkan
usia pensiun menjadi 67 tahun. Inti karir politiknya adalah masalah
keanggotaan Norwegia dalam Komunitas Eropa. Setelah penolakan
publik dalam referendum 1972, kabinetnya mengundurkan diri.
Lars Korvald, ketua the Christian Democratic Party menjadi
Perdana Menteri. Korvald merupakan Perdana Menteri Norwegia
dari tahun 1972 sampai 1973, memimpin kabinet ketika Trygve
Bratteli mengundurkan diri setelah referendum pertama mengenai
keanggotaan Norwegia di Komunitas Ekonomi Eropa. Kabinet
Korvald bertugas dari tanggal 18 Oktober 1972 sampai 16 Oktober
1973. Meskipun berumur pendek, ini merupakan tonggak sejarah
penting dalam politik Norwegia, karena masa pemerintahan

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 233


Korvald menandai berakhirnya perdebatan sengit mengenai
keanggotaan Norwegia di Uni Eropa, dan karena pemerintahan
ini sendiri merupakan sebuah koalisi non-sosialis sentris. Dia juga
perdana menteri pertama dari partainya. Korvald juga terbukti
menjadi perdana menteri yang efektif dalam situasi politik yang
sangat sulit dan transisional. Kabinetnya menugaskan perundingan
untuk sebuah perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa dan
melembagakan kebijakan perminyakan Norwegia yang pertama.
Odvar Nordli menjadi Perdana Menteri pada tahun 1976,
menggantikan Bratteli kabinet kedua. Nordli harus mengatur
melalui beberapa kasus sulit seperti resolusi ganda mengenai NATO
dan kontroversi nasional mengenai pembendungan sungai Alta-
Kautokeino. Kabinet Nordli memerintah sampai Februari 1981,
ketika diikuti oleh kabinet partai buruh lainnya: Gro Harlem
Brundtland.
Brundtland, perdana menteri perempuan pertama di
Norwegia ini, memegang jabatan kepala pemerintahan dalam 3
periode yaitu 1981, 1986-1989, dan 1990-1996. Masa jabatan
yang kedua adalah tanggal 9 Mei 1986 sampai 16 Oktober 1989
dan kabinet ini dikenal di seluruh dunia karena tingginya proporsi
menteri perempuan: hampir setengah, atau 8 dari total 18 menteri,
adalah perempuan. Untuk waktu yang lama, politik parlementer
dan kebijakan pemerintah sebagian besar adalah daerah laki-laki dan
hampir tidak memberi tempat kepada politisi perempuan. Di Barat,
ada kepercayaan luas bahwa perempuan tidak dapat menjadi politisi
kompeten, sebuah pandangan yang bertahan bahkan setelah Perang
Dunia II. Sejumlah anggota parlemen perempuan yang muncul
setelah Perang Dunia II cenderung dipandang sebagai pengecualian
terhadap pandangan tersebut. Mereka diharapkan membatasi
diri mereka pada area kebijakan yang secara tradisional dianggap

234 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


cocok untuk perempuan, seperti kesehatan, pekerjaan sosial dan
pendidikan, dan menyerahkan bidang yang lebih berbobot dan
bergengsi seperti ekonomi, urusan luar negeri dan pertahanan ke
politisi laki-laki. Pada tahun 1990an, kurang dari 30 persen menteri
kabinet di 10 negara di Eropa Barat adalah perempuan (Swedia,
Norwegia, Prancis, Belanda, Spanyol, Denmark, Inggris, Irlandia,
Italia, Jerman). Ada lebih banyak perempuan di parlemen, lebih
banyak menteri perempuan dan bahkan ada beberapa perempuan
Perdana Menteri, walaupun hanya 2 di antaranya berpengaruh di
Barat. Kedua perdana menteri perempuan ini berkuasa pada waktu
yang kurang lebih sama, yaitu Margaret Thatcher (Inggris, 1979-
1990) dan Gro Harlem Brundtland (Norwegia 1981, 1986-1989,
1990-1996).
Gro Harlem berasal dari keluarga demokratis yang terkemuka.
Ayahnya telah menjadi menteri dua kali pada periode 1955-1965,
dan Perdana Menteri Norwegia yang terkenal demokratis pada
tahun lima puluhan dan enam puluhan, Einar Gerhardsen,
adalah seorang teman keluarga. Gro pernah mengalami seksisme
untuk pertama kalinya dalam hidupnya dan akan menjadi dasar
feminisme baginya. Dari tahun 1974 sampai 1979, dia adalah
Menteri Lingkungan Hidup di kabinet Trygve Bratteli (1973-1976)
dan Odvar Nordli (1976-1981), dan dia berfungsi dengan baik
dalam posisi ini. Setelah kabinet Brundtland pada 1986-1989,
sebagian besar kabinet berikutnya juga terdiri dari setidaknya 40%
perempuan. Selain itu, pemerintah menetapkan sebuah panduan
bahwa 40% dari semua fungsi politik di berbagai tingkat harus diisi
oleh perempuan. Sejak tahun 1970-an Norwegia menjadi negara
terkaya di kawasan Skandinavia karena cadangan minyaknya. Hal
ini tentu membantu negara tersebut untuk bertahan dalam krisis
ekonomi tahun 1980-an. Namun ketika harga minyak dunia mulai

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 235


turun pada paruh kedua dekade ini, langsung menjadi pukulan
bagi Norwegia. Namun kebijakan kabinet kedua Brundtland
dikenal dengan langkah-langkah efektifnya seperti mengendalikan
inflasi dengan menaikkan suku bunga, pengurangan ekonomi, dan
devaluasi mata uang untuk meningkatkan daya saing Norwegia.
Harga yang harus dibayar untuk ini adalah kenaikan tingkat
pengangguran 2-4% persen, lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara Eropa Barat, namun tertinggi untuk Skandinavia.
Situasi itu memukul Partai Buruh dan kemudian menyebabkan
kekalahan pada pemilu 1989. Dari tahun 1990-96 dia kembali
sebagai perdana menteri ketika tantangan terbesarnya adalah
membawa Norwegia ke Uni Eropa. Dalam referendum tahun 1994,
pendukung kalah dalam sebuah referendum (48% melawan 52%).
Secara umum, kabinetnya menikmati reputasi yang baik.
Usai periode ketiga, kedudukan Brundtland digantikan oleh
Thorbjørn Jagland, yang menjadi kepala pemerintahan 25 Oktober
1996 – 17 Oktober 1997. Kabinet Jagland berumur pendek dengan
dua menteri dipaksa untuk mundur. Dia mengundurkan diri setelah
pemilihan 1997 meski partainya memenangkan suara terbanyak.
Jagland masih merupakan ketua partai, namun memberikan porsi
perdana menteri kepada Jens Stoltenberg membentuk kabinet
keduanya pada tahun 2005. Menjelang pemilihan parlemen 1997,
Jagland mengumumkan kabinet akan mengundurkan diri jika
Partai Buruh menerima kurang dari 36,9% suara rakyat. Ini adalah
persentase suara yang diterima partai tersebut dalam pemilihan
1993 ketika Brundtland masih memimpin, yang telah memberi
mereka mandat yang tidak jelas untuk memerintah.
Kabinet Buruh hanya didukung langsung oleh kelompok
partainya sendiri, yang terdiri dari 67 dari 165 anggota Parlemen.
Untuk meloloskan undang-undang, kabinet telah meminta

236 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


dukungan dari partai oposisi terbesar, yaitu the Center Party
dan juga musuh tradisional Partai Buruh, Partai Konservatif.
Brundtland telah menggunakan taktik ad-hoc ini selama masa
jabatannya sebagai Perdana Menteri. Namun, negosiasi untuk
mendapatkan anggaran negara tahunan pada tahun 1996 sangat
sulit. Menurut ilmuwan politik Trond Nordby, Jagland merasa
bahwa sebuah kabinet yang mencapai kurang dari 36,9% akan
kesulitan memerintah. Hasil pemilu menunjukkan Partai Buruh
hanya memperoleh 35,0% suara, walaupun masih merupakan
partai terbesar. Jagland mengundurkan diri pada tanggal 29
September 1997 dan kekuasaan diberikan kepada Kjell Magne
Bondevik, ketua Christian Democratic Party.
Bondevik menjadi Perdana Menteri pada 1997-2000 dan
2001-2005, menempatkannya sebagai kepala pemerintahan
nonPartai Buruh yang paling lama berkuasa sesudah Perang Dunia
II. Pemerintahan pertama dengan koalisi the Christian Democratic
Party, the Centre Party dan the Liberal Party. Pemerintahan kedua
terdiri atas koalisi the Christian Democratic Party, the Conservative
Party dan the Liberal Party.
Pada tahun 2000 kabinet pertama Bondevik mengundurkan
diri menyusul kegagalan mosi tidak percaya. Kabinet pertama
Stoltenberg memerintah Norwegia dari tanggal 17 Maret 2000
sampai 19 Oktober 2001. Stoltenberg adalah wakil ketua partai
buruh sementara Jagland menjadi ketua partai. Sebagai gantinya
Jagland diberi jabatan sebagai Menteri Luar Negeri. Masa jabatan
Stoltenberg yang pertama sebagai Perdana Menteri (2000-2001)
kontroversial di dalam partainya sendiri, bertanggung jawab atas
reformasi dan modernisasi negara kesejahteraan yang mencakup
privatisasi beberapa layanan utama perusahaan dan korporasi.

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 237


Dalam pemilihan parlemen tanggal 10 September 2001, Partai
Buruh mengalami salah satu hasil terburuknya, memenangkan
hanya 24% suara. Pemilu mendorong krisisi internal terhadap
Partai Buruh. Setelah pemilihan pada tahun 2001, Stoltenberg
dan kabinetnya dipaksa untuk mengundurkan diri, dengan Partai
Buruh mengalami kegagalan dukungan karena kampanye pemilu
terburuk sejak 1924. Dengan perolehan suara 98%, Partai Buruh
hanya mengumpulkan 24%, turun dari 35%. Beberapa analis
telah menunjukkan bahwa salah satu penyebab kekalahan Partai
Buruh adalah bahwa dengan hanya satu tahun berkuasa sampai
pemilihan berikutnya, lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk
memulai atau mencoba memulai reformasi tanpa konsultasi publik.
Reformasi itu termasuk penjualan di perusahaan milik negara,
pengorganisasian kembali perawatan kesehatan dan rumah sakit
umum dan perubahan tunjangan kesehatan. Krisis internal partai
segera diikuti oleh pertempuran kepemimpinan antara Jagland dan
Stoltenberg. Baik Jagland, sebagai ketua, dan Stoltenberg, sebagai
wakil ketua, mengatakan bahwa mereka terbuka untuk ditantang
karena posisi mereka dalam kongres partai tersebut pada bulan
November 2002. Stoltenberg menolak untuk mengatakan apakah
dia akan menantang Jagland untuk posisi kepemimpinan, yang
dilihat oleh pengamat sebagai pertanda bahwa dia mungkin akan
mencari posisi kepemimpinan. Pada awal Februari 2002, Jagland,
yang dirawat di rumah sakit pada bulan Januari, dan mendapat
cuti sakit, mengatakan bahwa dia tidak akan mencalonkan kembali
dalam bursa kepemimpinan partai. Pada bulan November 2002,
Stoltenberg dengan suara bulat dipilih sebagai pemimpin baru.
Setelah pemilu 2001, sebuah pemerintahan minoritas kanan
tengah terbentuk oleh the Conservatives, the Christian Democrats
(KF), dan the Liberals, yang hanya mengantongi 62 kursi dari

238 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


165 kursi parlemen. Kjell Magne Bondevik (Christian Democratic
Party) menjadi Perdana Menteri. Bondevik akhirnya menjabat
sebagai Perdana Menteri Norwegia dari tahun 1997 sampai 2000
(dalam koalisi pemeritnahan the Christian Democratic Party, the
Centre Party, dan the Liberal Party), dan dari tahun 2001 sampai
2005 membuatnya menjadi perdana menteri yang paling lama di
Norwegia sejak Perang Dunia II. Saat menjabat dalam periode
pertama, Bondevik menarik perhatian internasional pada Agustus
1998 ketika dia mengumumkan bahwa dia menderita depresi,
menjadi pemimpin dunia tertinggi yang harus menerima kenyataan
mengalami penyakit jiwa saat menjabat. Setelah pengakuan ini,
Anne Enger Lahnstein bertindak sebagai Perdana Menteri selama
3 minggu, dari tanggal 30 Agustus sampai 23 September, hingga
Bondevik sembuh dari depresi. Bondevik kemudian kembali
memimpin pemerintahan. Bondevik menerima ribuan surat yang
mendukung, dan mengatakan bahwa pengalaman itu positif secara
keseluruhan, baik untuk dirinya sendiri maupun karena penyakit
mental tersebut membuat masyarakat lebih dapat menerima.
Kabinet pertama Bondevik dikalahkan oleh mosi tidak percaya
pada bulan Maret 2000 sebagai akibat dari perselisihan mengenai
pembangunan pembangkit listrik tenaga gas dan digantikan oleh
pemerintah Partai Buruh yang dipimpin oleh Jens Stoltenberg
sampai kekalahan mereka dalam pemilihan parlemen tahun 2001.
Pada pemilihan tahun 2001 Partai Buruh memperoleh
dukungan terendah 24,3% suara rakyat, namun masih merupakan
partai terbesar di parlemen. Pada pemilihan tahun 2005 partai
memperoleh kembali dukungan dan menerima 32,7% suara
rakyat. Ini adalah mitra utama di Koalisi Hijau-Tengah-kiri, yang
memenangkan mayoritas dalam pemilihan tahun 2005. Pemimpin
buruh Jens Stoltenberg menjadi Perdana Menteri dan memimpin

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 239


sebuah pemerintahan koalisi, pemerintah koalisi pertama yang
memasukkan Partai Buruh. Stoltenberg sebelumnya adalah Perdana
Menteri dari tahun 2000 sampai 2001.
Kabinet kedua Stoltenberg memerintah Norwegia dari 17
Oktober 2005 sampai 16 Oktober 2013. Pemilu parlemen 2005
menghasilkan dukungan suara besar untuk Partai Buruh, dan
partai tersebut memperoleh mayoritas di parlemen bersamaan
dengan partai-partai “Merah-Hijau” lainnya, the Socialist Left
Party dan the Centre Party. Ini membuka jalan bagi sebuah sejarah
pertama di Norwegia, karena Partai Buruh bergabung dalam
sebuah pemerintahan koalisi dengan kekuatan kiri lain. Sejak
pembentukan pemerintah, isu-isu politik utama seperti partisipasi
militer Norwegia dalam perang Afghanistan, kegiatan perminyakan
di Laut Barents, hak LGBT, imigrasi dan kualitas pendidikan telah
diperdebatkan oleh masyarakat. Dengan terpilihnya kembali
Stoltenberg di tahun 2009, langsung berhadapan dengan resesi
global dan memperjuangkan kebijakan lingkungan melalui
perpajakan swasta dan perusahaan. Pada tanggal 22 Juli 2011,
sebuah bom meledak di Oslo di luar gedung pemerintah yang
menjadi kantor perdana menteri, menewaskan sedikitnya 8 orang
sembari melukai yang lain. Sekitar satu jam kemudian, sebuah
penembakan, yang menewaskan 69 orang, dilaporkan di Utøya,
sebuah pulau yang berjarak 45 menit di mana Partai Buruh yang
berkuasa mengadakan kemah pemuda tahunan. Perdana Menteri
dijadwalkan mengunjungi kemah pemuda tersebut keesokan
harinya, dan sedang berada di kediamannya menyiapkan pidatonya
pada saat ledakan Oslo. Pada tanggal 24 Agustus 2012, Anders
Behring Breivik yang berusia 33 tahun dinyatakan bersalah oleh
Pengadilan Distrik Oslo karena telah melakukan serangan teroris,
pemboman kantor perdana menteri, dan penembakan di pulau

240 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Utøya, dan dihukum dalam tahanan hukuman penjara khusus yang
dapat diperpanjang tanpa batas waktu - dengan kerangka waktu 21
tahun dan waktu minimum 10 tahun, yang merupakan hukuman
maksimum di Norwegia.
Stoltenberg kemudian menjadi kandidat Perdana Menteri
pada Pemilu 2013, yang sedang mencari dukungan kembali untuk
masa jabatan ketiga. Pada tanggal 9 September 2013, koalisi gagal
meraih mayoritas, dengan 72 mandat yang dibutuhkan, meskipun
Partai Buruh tetap menjadi partai terbesar di Norwegia dengan
30,8% suara. Dalam sambutannya di malam yang sama, dia
mengumumkan bahwa kabinetnya akan mengundurkan diri pada
bulan Oktober 2013. Stoltenberg kembali ke Parlemen di mana
dia menjadi pemimpin parlemen untuk Partai Buruh dan anggota
Komite Tetap untuk Urusan Luar Negeri dan Pertahanan.
Selanjutnya, Erna Solberg menjadi kepala pemerintahan
setelah memenangkan pemilihan umum pada tanggal 9 September
2013 dan diangkat menjadi Perdana Menteri pada tanggal 16
Oktober 2013. Solberg adalah Perdana Menteri wanita kedua
Norwegia setelah Gro Harlem Brundtland. Solberg merupakan
wakil ketua Partai Konservatif dari tahun 2002 sampai 2004 dan,
pada tahun 2004, dia menjadi ketua partai.

6. Swedia
Demokrasi parlementer dilaksanakan di Swedia. Perdana
Menteri merupakan kepala pemerintahan. Jauh sebelum jabatan
perdana menteri dibentuk pada 1876, posisi eksekutif menyatu
dalam diri kepala negara yang juga pemimpin monarki (raja). Louis
Gerhard De Geer, arsitek sistem bikameral, kemudian menjadi
orang yang pertama kali menjadi perdana menteri pada 1876. Sejak
1917, sistem parlementer telah mantap dilaksanakan, di mana

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 241


kepala negara memiliki diskresi untuk menunjuk perdana menteri
dan kabinet. Sejak saat itu, kepala pemerintahan tergantung
mayoritas dukungan suara parlemen. Reformasi konstitusi pada
1974, pada akhirnya, menempatkan kepala negara dalam posisi
simbolik, dan pembentukan pemerintahan sama sekali tidak
berhubungan dengannya, karena amat tergantung sepenuhnya
kepada lembaga perwakilan.
Jika Perdana Menteri berhenti atau mengundurkan diri,
Ketua Parlemen akan meminta yang bersangkutan atau salah
satu wakilnya, untuk tetap melaksanakan tugas sementara sampai
ditunjuknya kepala pemerintahan yang baru. Ketua Parlemen
lalu bernegosiasi dengan pemimpin partai untuk menunjuk figur
Perdana Menteri yang akan disahkan oleh Parlemen. Jika figur itu
memperoleh dukungan parlemen, maka yang bersangkutan akan
menjadi kepala pemerintahan dan diberikan keleluasaan untuk
menentukan komposisi kabinet.
Perdana Menteri dapat memperoleh mosi tidak percaya yang
mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatan. Sebaliknya,
Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen, kecuali jika terjadi
dalam masa 3 bulan usai pemilu. Di atas kertas, jabatan kepala
pemerintahan di Swedia secara konstitusional lebih kuat, apabila
dibandingkan dengan posisi serupa di Denmark dan Norwegia,
karena menerima konsentrasi kekuasaan eksekutif secara de facto
dan de jure. Di kedua negara tersebut, kepala negara masih
memiliki kekuasaan nominal, yang secara konvensi memerlukan
persetujuan kepala pemerintahan.
Partai Kiri Swedia (Vänsterpartiet) adalah penerus Partai
Komunis Swedia, namun hari ini menjauhkan diri dari ajaran-
ajaran komunis. Partai ini merupakan partai kiri radikal yang paling
sukses di Swedia. Selain Partai Kiri, Swedia memiliki sejumlah besar

242 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


partai yang setia terhadap ajaran komunis, ajaran Trotskyis, dan
pendukung Mao, yang telah berkali-kali mencetak keberhasilan
kecil di tingkat lokal.
Pada tahun 1917, the Social Democratic Left Party of Sweden
(SSV) dibentuk sebagai sempalan Partai Sosial Demokrat. Pada
tahun 1919, SSV menjadi pendiri Komunis Internasional, dan
pada tahun 1921 berganti nama menjadi Partai Komunis Swedia
(Sveriges Kommunistiska Parti, SKP). Anggota SKP berpartisipasi
dalam brigade internasional dalam Perang Sipil Spanyol, dan
mengorganisir perlawanan terhadap Nazi. Selama Perang Dunia
Kedua, SKP tidak dilarang secara resmi, namun aktivitas politiknya
ditekan oleh berbagai pembatasan dan tindakan represif. Menjelang
akhir perang, partai ini tetap menikmati kemajuan besar dalam
pemilihan, berkat perlawanannya terhadap Nazisme. Namun, ini
hanya fenomena singkat, dan dengan dimulainya Perang Dingin,
hasil pemilihan turun menjadi sekitar 5%, lalu mereka bertahan
hingga 1998. Sampai tahun 1960an, SKP sebagian besar berkiblat
ke Moskow dan tahun 1967, mengubah nama menjadi Partai Kiri
Komunis (Vänsterpartiet Komunisterna, VPK). Partai ini merupakan
salah satu partai pertama yang secara terbuka mengutuk invasi Soviet
ke Cekoslovakia pada tahun 1968, sebuah sikap yang mengejutkan
jika dibandingkan dengan partai-partai komunis Barat lainnya.
Dengan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991, partai tersebut
sekarang menyebut dirinya Partai Kiri (Vänsterpartiet).
Rekonstruksi partai dan juga sistem kepartaian di Swedia
berlangsung berliku dan sulit. Partai Kiri secara konsisten
menjadi alternatif elektoral terhadap Partai Sosial Demokrat,
dan menjadi pilihan konkrit bagi pengikut setia aliran kiri. Partai
Kiri menjadi perisai bagi sistem Welfare State dan sistem jaminan
sosial di Swedia. Sikap partai menjadi penting mengingat Partai

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 243


Sosial Demokrat Swedia sudah bergerak untuk menerima paham
ekonomi neoliberal, menentang welfare state, dan pembatasan
campur tangan publik. Partai Kiri sudah menarik diri dari paham
komunis usai bubarnya Uni Soviet.
Di bawah kepemimpinan Gudrun Schyman (1993-2003),
yang sampai hari ini merupakan salah satu politisi paling populer
di Swedia, politik feminis didirikan bersamaan dengan sosialisme
sebagai salah satu fondasi Partai Kiri pada Kongres Partai 1996.
Schyman sendiri awalnya penganut ajaran komunis, namun di
bawah kepemimpinannya, Partai Kiri membuka diri terhadap
gerakan sosial baru. Setelah memimpin Partai Kiri, Schyman
menelurkan ideologi baru yang mengarah kepada feminisme,
sebuah fitur Swedia yang unik di lanskap partai Eropa. Sebagai
hasil dari garis partai barunya, Partai Kiri pada tahun 1998
memenangkan 12% suara, hasil pemilihan yang tertinggi
disbanding pemilu sebelumnya. Keberhasilan pemilihan itu adalah
hasil dari kekecewaan pemilih kiri dengan Partai Sosial Demokrat,
dan juga berkat penolakan yang jelas dari Partai Kiri terhadap
integrasi Uni Eropa tahun 1995. Aset terbesar Schyman adalah daya
tariknya bagi para pemilih, dan partainya melipatgandakan jumlah
anggota parlemen selama kepemimpinannya. Dia mendapatkan
popularitas untuk sikapnya yang terbuka; misalnya, dia terbuka
tentang usaha mengatasi ketergantungan terhadap minuman
keras dan telah mendukung prakarsa menjadikan kantor parlemen
sebagai tempat kerja bebas alcohol.
Schyman meninggalkan Partai Kiri pada tahun 2004 dan
pada tahun 2005 mendirikan Inisiatif Feminis, sebuah organisasi
yang pada kongres pertamanya memutuskan untuk mengikuti
pemilihan parlemen yang akan datang. Pada tahun 2006 Jane
Fonda mendukungnya dalam kampanye partai sebelum pemilihan

244 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


2006. Inisiatif Feminis hanya memperoleh sekitar 0,7% suara,
dibandingkan dengan ambang batas 4% yang diperlukan untuk
perwakilan parlemen. Pada pemilihan parlemen Eropa 2009,
partai tersebut mendapat 2,22% suara. Pada musim panas tahun
2010-menjelang pemilihan 2010-Schyman membakar 100.000
krona Swedia dalam sebuah demonstrasi melawan gaji yang
tidak setara di Swedia. Perhatian terhadap partai meluas, akan
tetapi dalam pemilu hanya memperoleh 0,4% suara. Pada pemilu
Eropa, Inisiatif Feminis memperoleh 5,3% suara sehingga mampu
mengirimkan seorang wakil sebagai anggota parlemen. Pada pemilu
2014, partai ini hanya memperoleh 3,1% suara, masih kurang
dengan ambang batas suara 4%, sehingga tidak dapat mengirimkan
wakil ke parlemen. Tetapi ia merupakan partai politik paling
populer di luar parlemen.
Pada tahun 2004, Lars Ohly terpilih menjadi Ketua Partai
Kiri. Seperti Schyman, dia adalah anggota sayap kiri akan tetapi
lebih konservatif, dan setelah pemilihannya, dia menggambarkan
dirinya sebagai seorang komunis, yang segera memancing kritik
tajam. Sekelompok faksi penentang, yang menamakan dirinya Left
Crossroads (Vägval Vänster), yang meminta sebuah platform partai
yang lebih luas, dan menggulirkan wacana aliansi hijau-merah.
Namun, faksi ini tidak mendorong perpecahan, dan bahkan faksi
ini tidak aktif sejak tahun 2009.
Dalam pemilihan parlemen tahun 2006, Partai Kiri
mengalami kemunduran bersejarah, dengan dukungan pemilih
merosot dari 12,7 menjadi 5,7% suara. Dalam posisinya sebagai
pendukung pemerintahan minoritas Sosial Demokrat, ia tidak
lagi memberikan alternatif yang kredibel. Hasil pemilihannya
memperkuat pola di antara banyak partai kiri Eropa sejak era 90an,
yang menurutnya memasuki pemerintahan koalisi dengan Sosial

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 245


Demokrat, atau mendukung pemerintah minoritas, lalu terpuruk
dalam pemilihan. Hal ini terutama benar mengingat fakta bahwa
disiplin anggaran yang dilakukan oleh pemerintah didukung oleh
Partai Kiri, sejak tahun 1990an meningkatkan kesenjangan antara
kaya dan miskin dan menyebabkan peninjauan terhadap sistem
jaminan sosial. Partai sayap kanan terbesar, kaum moderat, memuji
reaksi populer terhadap pengurangan negara kesejahteraan dan
privatisasi yang diperkenalkan oleh Demokrat Sosial.
Dalam pemilihan 2010, untuk pertama kalinya
mempresentasikan sebuah platform pemilihan umum, dengan
Partai Kiri, Social Democratic SAP (Sverigig socialdemokratiska
arbetareparti) dan Partai Lingkungan Hijau (Miljöktiet) berkampanye
untuk sebuah “Koalisi hijau-hijau.” Upaya tersebut diluncurkan
pada bulan Desember 2008 setelah beberapa penolakan awal
gagasan kerja sama dengan Partai Kiri di SAP telah diatasi dan ketua
partai Mona Sahlin terpaksa menyerah pada tekanan kader partai.
Beberapa bagian dari gerakan serikat buruh juga menentang koalisi
SAP dan Partai Hijau, karena partai yang terakhir mendukung
pemikiran liberal, terutama di pasar tenaga kerja dan kebijakan
ekonomi. Mereka juga menunjukkan watak konservatif-liberal
dengan mayoritas parlementer dalam beberapa isu lainnya,
seperti imigrasi. Partai Kiri kemudian berdiri bersama SAP dan
Partai Hijau melawan blok borjuis. Ini sudah terbentuk sebelum
pemilihan tahun 2006, dan setelah kemenangannya, membentuk
pemerintahan borjuis murni yang konservatif pertama di negara
pasca perang. Peran Partai Kiri berhadapan dengan Demokrat
Sosial, yang telah mendominasi pemerintahan sampai tahun
2006, adalah sebuah korektif, kritik terhadap Demokrat Sosial
telah berjalan seiring dengan dukungan untuk kerja pemerintahan
Sosial Demokrat. Namun sekarang, partisipasi dalam pemerintahan

246 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


menjadi tujuannya. Untuk memasuki koalisi hijau-merah, Partai
Kiri harus membuat sejumlah kompilasi substantif.
Dari tahun 1998 sampai 2006, Partai Kiri menandatangani
sebuah kesepakatan formal untuk mendukung pemerintah
minoritas Sosial Demokrat. Tapi bahkan sebelum itu, Demokrat
Sosial dapat memastikan bahwa Partai Kiri akan mendukung
pemerintah minoritas atau partai tunggal mereka, karena
satu-satunya alternatif pasti adalah dukungan de facto untuk
pengambilalihan oleh blok borjuis. Umumnya, tidak ada konsesi
yang dibuat. Bergantung rancangan undang-undang apa yang
sedang dipermasalahkan, Demokrat Sosial akan berusaha meraih
dukungan dari berbagai partai kecil, baik Partai Liberal maupun
Partai Kiri. Bentuk aliansi merah-hijau menandai berakhirnya era
kelima, dan sekarang enam, spektrum partai, dengan Demokrat
Sosial sebagai titik fokus kekuasaannya yang tak tergoyahkan.
Sekarang tidak dapat ditarik kembali dua blok tiga partai, dengan
kerja sama melintasi batas antara mereka tidak dimasukkan.

Partai Radikal Kanan Populis di Eropa 247


DAFTAR PUSTAKA

Abutudu, Musa. “A Critical Assessment of the Constitutionalism


Landscape in West Africa”, Western Journal Of Black Studies
33, No. 2 (Summer 2009).
Adam Pzeworski, Michael Alvarez, Jose Cheibub, and Fernando
Limongi. 2000, Democracy and Development: Political
Institutions and Material Well-Being in the World, 1950-1990,
Cambridge: Cambridge University Press.
Agus Sutisna, “Politik Penyederhanaan Sistem Kepartaian Di
Indonesia Pasca Reformasi 1998”, Sosio Didaktika, Vol. 2,
No. 2, 2015.
A.H.Y. Chen, “A Tale Of Two Islands: Comparative Reflections
On Constitutionalism In Hong Kong And Taiwan”, Hong
Kong Law Journal, Vol. 37, 2007.
A K. Oladipupo, “Democratic Waves in West Africa: Nigeria and
Ghana as a Case in View”, Afro Asian Journal of Social Sciences,
Vol. 2, No. 2, 2011.
Alan Ware, 1996, Political Parties and Party Systems, Oxford, Oxford
University Press.
Alejandro Ecker and Thomas M Meyer, “The Duration Of
Government Formation Processes In Europe”, Research and
Politics October-December 2015.
Aleks Szczerbiak dan Paul Taggart, “Opposing Europe: Party Systems
and Opposition to the Union, the Euro and Europeanisation”,
SEI Working Papers, No. 36 , 2000. Baca juga: Yves Bertoncini
dan Nicole Koenig, “Euroscepticism or Europhobia: Voice

249
vs. Exit?”, Policy Paper N. 121, Jacques Delors Institute,
November 2014.
Amir Abedi dan Stephen G. Schneider, “Federalism, Parliamentary
Government, and Single-Party Dominance: An Examination
of Dominant Party Regimes in Canada, Australia, Germany,
and Austria.” Paper presented at the Annual Meeting of the
American Political Science Association, Philadelphia.
Ann L. Craig dan Wayne A. Cornelius, “Houses Divided: Parties
and Political Reform in Mexico”, dalam Scott Mainwaring
dan Timothy R. Scully (Editors), 1995, Building Democratic
Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford: Stanford
University Press.
Anthony J. McGann, 1999, The Modal Voter Result: Preference
Distributions, Intra-Party Competition, and Political
Dominance, Unpublished Ph.D. dissertation, Department
of Political Science, Duke University.
Antonia Martínez Rodríguez, “Parliamentary Elites and the
Polarization of the Party System in Mexico”, dalam Mónica
Serrano (editor), 1998, Governing Mexico: Political Parties
and Elections, London: Institute of Latin American Studies.
A Riaz, “Bangladesh’s Failed Election”, Journal of Democracy, Vol.
25, No. 2, 2014.
Basil Chubb, 1992, The Government and Politics of Ireland, London,
Longman.
Beatriz Magaloni, “Comparative Autocracy.” Presented at
Research Frontiers in Comparative Politics conference, Duke
University.
Becerra et al., 21-22 Ricardo Becerra, Pedro Salazar, dan Jose
Woldenberg, 2005, The Mechanism of Political Competition
in Mexico, Mexico City, Cal y Arena.

250 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Bilveer Singh, “Malaysia in 2008: The Elections that Broke the
Tiger’s Back”, Asian Survey Vol. 49, No. 1.
Brendan O’Leary, “Britain’s Japanese Question: ‘Is There a
Dominant Party?’”, dalam Helen Margetts dan Gareth Symth,
(Editors), 1994, Turning Japanese: Britain with a Permanent
Party of Government, London, Lawrence & Wishart.
Bumba Mukherjee, “Why Political Power-Sharing Agreements
Lead to Enduring Peaceful Resolution of Some Civil Wars,
But Not Others?”, International Studies Quarterly, Vol. 50,
2006.
B. Welsh, “Malaysia’s Elections: A Step Backward”, Journal of
Democracy, Vol. 24, No. 4, 2013.
Cas Mudde, 2007, Populist Radical Right Parties in Europe,
Cambridge: Cambridge University Press.
Catherine Fieschi, James Shields, dan Roger Woods, “Extreme
Rightwing Parties and the European Union: France,
Germany and Italy”, dalam Political Parties and the European
Union, 1996, London, Routledge.
C.A. Odinkalu ‘Back to the future: The imperative of prioritising
for the protection of human rights in Africa’ , 2003, Journal
of African Law.
C. Baylies dan M. Szeftel, “Elections in the One-Party State”, dalam
Gertzel Cherry, et.al., 1999, The Dynamics of the One-Party
State in Zambia, Manchester: Manchester University Press.
C. Danks, 2009, Politics Russia, Harlow, Pearson.
Charles Manga Fombad, “Constitutional Reforms and
Constitutionalism in Africa: Reflections on Some Current
Challenges and Future Prospects”, Buffalo Law Review,
Vol. 59, 2007.

Daftar Pustaka 251


Colin James, 1997, Under New Sail: MMP and Public Servants,
Victoria University of Wellington: Institute of Policy Studies.
Collin Hay, “Chronicles Of A Death Foretold: The Winter Of
Discontent And Construction Of The Crisis Of British
Keynesianism”, Parliamentary Affairs, Vol. 63, No. 3, 2010.
Daniel Dhakidae (Ed.), Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi,
Strategi, dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999).
Daniele Caramani, Comparative Politic (New York: Oxford
University Press, 2008).
Dan Mudoola (1996), Religion, Ethnicity and Politics in Uganda,
Kampala: Fountain Publishers.
David Bell, “The French Extreme Left and Its Suspicion of
Power”, dalam Left Parties in National Governments, 2010,
Basingstoke: Palgrave Macmillan.
D. Farrell, “Political Parties In A Changing Campaign
Environment”,dalam R. Katz and W. Crotty, Editors, 1996,
Handbook Of Party Politics. London: Sage.
D. Kitsikis, “Popularism, Eurocommunism and the KKE”, dalam
M. Waller and M. Fennema, eds., 1998, Communist Parties
in Western Europe: Decline or Adaptation, Oxford: Basil
Blackwell.
D. Maguire, “The Recent Birth of Modern Italy”, dalam J. Kurth
dan J. Petras (eds.), 1993, Mediterranean Paradoxes: The
Politics and Social Structure of Southern Europe, Providence
dan Oxford: Berg.
Dimitri Almeida, “Europeanized Eurosceptics? Radical Right
Parties and European Integration”, Perspectives on European
Politics and Society, Vol. 11, No. 3, 2010.

252 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Edwar L. Gibson, “The Populist Road to Market Reform: Policy
and Electoral Coalitions in Mexico and Argentina”, World
Politics, Vol. 49, No. 3, 1997.
Frank L. Wilson, “Sources of Party Transformation: The Case of
France”, dalam Peter H. Merkl (ed.), 1980, Western European
Party Systems: Trends and Prospects, New York, Free Press.
Fritz W.Scharpf, “Negative and Positive Integration in the Political
Economy of European Welfare States”, dalam Governance in
the European Union, 1996, SAGE.
Henry Kyemba (1997), State of Blood: An Inside Story of
Idi Amin, Kampala: Fountain Publishers.
Gary Cox, 1997, Making Votes Count: Strategic Coordination in the
World’s Electoral Systems, Cambridge, Cambridge University
Press.
G. Brunner, “The Treatment of Anti-constitutional Parties in
Eastern Europe”, dalam F. Feldbrugge dan W. Simons,
eds., 2002, Human Rights in Russia and Eastern Europe, The
Netherlands, Kluwer International Law.
Geoffrey K. Roberts, 2000, German Politics Today, Manchester,
Manchester University Press.
Gérard Prunier, 1997, The Rwanda Crisis: History Of A Genocide,
London: Hurst.
Giovanni M. Carbone, “Continuidade na renovação? Ten Years Of
Multiparty Politics In Mozambique: Roots, Evolution And
Stabilisation Of The Frelimo-Renamo Party System”, Journal
of Modern African Studies, Vol. 43, No. 3, 2005.
_________________, “Political Parties and Party Systems in
Africa: Themes and Research Perspectives”, World Political
Science Review, Vol. 3, No. 3, 2007.

Daftar Pustaka 253


Goran Hyden (1983), No Shortcuts to Progress: African
Development Management in Perspective, Los Angeles:
University of California Press.
Gordon Smith, “The Resources of a German Chancellor”, West
European Politics, Vol. 14, No. 2.
G. Pasquino, “The Democratic Party And The Restructuring Of
The Italian Party System”, Journal of Modern Italian Studies,
Vol. 14, No. 1, 2009.
G. Sani dan P. Segatti, “Antiparty Politics and the Restructuring of
the Italian Party System”, dalam P.N. Diamandouros dan
R. Gunther (eds.), 2001, Parties, Politics, and Democracy
in the New Southern Europe, Baltimore and London: The
John Hopkins University Press.
G. Sartori, 2005, Parties And Party Systems, Colchester: ECPR Press.
Hans-Georg Betz, 1994, Radical Right-Wing Populism in Western
Europe, Houndmills, London, Macmillan.
HB Selassie ‘Constitutional development in Ethiopia’, 1966, 10
Journal of African Law.
Hellen Margetts dan Gareth Smyth (Editors), 1994, Turning
Japanese: Britain with a Permanent Party of Government.
London: Lawrence and Wishart.
Helmut Norpoth, “The German Federal Republic: Coalition
Government at the Brink of Majority Rule”, dalam Eric. C.
Browne dan John Dreijmanis, 1982, Government Coalitions
in Western Democracies, New York, Longman.
H.J. Puhle, “Socialist Parties in the New Southern Europe”, dalam
P. N. Diamandouros dan R. Gunther (eds.), 2001, Parties,
Politics, and Democracy in the New Southern Europe, Baltimore
dan London: The John Hopkins University Press.

254 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


https://adisuryapurba.wordpress.com/2013/11/15/kehidupan-
partai-partai-politik-di-masa-orde-baru-1971-1998/, diakses
25 Maret 2017.
IG Shivji et al Constitutional and legal systems of Tanzania: A civics
source book, 2004.
IG Shivji, ‘Three generations of constitutions and constitution-
making in Africa: An overview and assessment in social and
economic context’ in MS Rosen (ed) Constitutionalism
in transition: Africa and Eastern Europe, 2003.
I van Biezen, “The End Of Party Democracy As We Know It? A
Tribute To Peter Mair”, Irish Political Studies, Vol. 29, No.
2, 2014.
Jason Brownlee, “Portents of Pluralism: How Hybrid Regimes
Affect Democratic Transitions”, American Journal of Political
Science, Vol. 53, No. 3.
J. Brownlee, Bound To Rule: Party Institutions And Regime
Trajectories In Malaysia And The Philippines”, Journal of East
Asian Studies, Vol. 8, No. 1, 2008.
Jean-Francois Caulier dan Patrick “Measuring One-Party
Dominance with Power Indices”, Dalam Mattijs Bogaards
and Francoise Boucek (Editors), 2010, Dominant Political
Parties and Democracy: Concepts, Measures, Cases and
Comparisons, New York: Routledge.
J. Fraenkel, “Strategic Registration From Metropolis To Periphery
In The Republic Of The Marshall Islands”, Journal of Pacific
History, Vol. 37, No. 3, 2002.
J. Mc Coy dan J. Hartlyn, “The Relative Powerlessness Of Elections
In Latin America”, dalam S. Lindberg (Editor), 2009,
Democratization by Elections: A New Mode of Transition,
Baltimore: The Johns Hopkins University Press.

Daftar Pustaka 255


Joe Clare, “Democratization and International Conflicts: The
impact of Institutional Legacies”, Journal Peace Research, Vol.
44, No. 3, 2007.
John Garry, “The Demise of the Fianna Fail-Labour ‘Partnership’
Government and the Rise of the ‘Rainbow’ Coalition”, Irish
Political Studies, Vol. 10, 1995.
John Ishiyama dan John James Quinn, “African Phoenix?:
Explaining the Electoral Performance of the Formerly
Dominant Parties in Africa”, Party Politics Vol. 12, No. 3,
2006.
J. Okuku, 2002, Ethnicity, State Power and the Democratisation
Process in Uganda.
J Oloka-Onyango ‘Human rights and sustainable development in
contemporary Africa: A new dawn or retreating horizons?’,
2000, Human Development Report 2000 Background.
Jonathan Boston dan Elizabeth McLeay, “Forming the First
MMP Government: Theory, Practice and Prospects”, dalam
Jonathan Boston, Stephen Levine, Elizabeth McLeay, dan
Nigel S. Roberts, eds, 1996, From Campaign to Coalition: The
1996 MMP Election, Palmerston North, The Dunmore Press.
Jonathan Boston, Stephen Levine, Elizabeth McLeay, Nigel S
Roberts, dan Hannah Schmidt, “The Impact of Electoral
Reform on the Public Service: The New Zealand Case”,
Australian Journal of Public Administration, Vol. 57, No. 3,
1998.
Jonathan Boston, 1998, Governing Under Proportional Representation:
Lessons from Europe, Victoria University of Wellington:
Institute of Policy Studies.
José Antonio Cheibub, Adam Przeworski, dan Sebastián M.
Saiegh, “Government Coalitions and Legislative Success

256 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


under Presidentialism and Parliamentarism”, British Journal
of Political Science, Vol. 34, 2004.
Joseph L. Klesner, “Electoral Competition and the New Party
System in Mexico”, Latin American Politics & Society, Vol.
47, No. 2, 2005.
Josh Maiyo, 2008, Political Parties And Intra-Party Democracy In
East Africa From Representative To Participatory Democracy,
Master of Philosophy in African studies Africa Studies Centre,
Leiden University, Tidak Diterbitkan.
Joseph L. Klesner, “Modernization, Economic Crisis, and Electoral
Alignment in Mexico”, Mexican Studies/Estudios Mexicanos,
Vol. 9, No. 2, 1993.
Juan Molinar Horcasitas, ““The Future of the Electoral System”
dalam Wayne A. Cornelius, Judith Gentleman, Peter H.
Smith (editors), 1989, Mexico’s Alternative Political Futures,
La Jolla: Center for U.S.Mexican Studies, University of
California at San Diego.
Kaare Kaare dan Wolfgang C . Müller, “Coalition Agreements and
Governance”, paper delivered to the Annual Meeting of the
American Political Science Association, San Francisco, 29th
August-2nd September 2001.
Kaare Strøm dan Stephen M. Swindle, “The Strategic Use of
Parliamentary Dissolution Powers”, paper delivered to ECPR
Joint Sessions of Workshops, Copenhagen, April 14th-19th
2000.
Kathleen Bruhn, “The Making of the President, 2000: Race to Los
Pinos”, dalam Jorge I. Domínguez dan Chappell Lawson,
2001, Mexico 2000: Voting Behavior, Campaign Effects,
and Democratization in Mexico, London: Institute of Latin
American Studies.

Daftar Pustaka 257


“Kembalinya Tradisi Golkar”, Kompas, 21 Desember 2004.
Kenneth F. Greene, 2007, Why Dominant Parties Lose: Mexico’s
Democratization in Comparative Perspective, Cambridge:
Cambridge University Press.
Kenneth F. Greene, 2007, Why Dominant Parties Lose: Mexico’s
Democratization in Comparative Perspective, New York,
Cambridge University Press.
Kenneth Janda, 2005, Political Parties and Democracy in Theoretical
and Practical Perspectives: Adopting Party Law, Washington,
The National Democratic Institute for International Affairs.
Kharis Ali Templeman, 2012, The Origins And Decline Of Dominant
Party Systems: Taiwan’s Transition In Comparative Perspective,
Dissertation Doctor of Philosophy Political Science, The
University of Michigan, Not Published.
Kuskridho Ambardi, 2009, Mengungkap Politik Kartel. Studi
tentang Sistem Kepartaian di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia-LSI.
LC Backer ‘God(s) over constitutions: International and
religious transnational constitutionalism in the 21st Century’
(2007-2008) 27 Mississippi College Law Review 11.
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu,t.t.
Leonard Ray, “Validity of Measured Party Positions on European
Integration: Assumptions, Approaches, and a Comparison of
Alternative Measures”, Electoral Studies, Vol. 26, No. 1, 2007.
Lieven De Winter, Arco Timmermans, dan Patrick Dumont,
“Belgium: On Government Agreements, Evangelists,
Followers and Heretics”, dalam Wolfgang C. Müller dan
Kaare Strøm (Editor), 2000, Coalition Governments in Western
Europe, Oxford, Oxford University Press.

258 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Lili Romli, “Pandangan Urang Awak terhadap Partai Politik:
Kasus Sumatra Barat”, dalam Syamsuddin Haris (ed),
Persepsi Masyarakat terhadap Partai Politik Peserta Pemilu
2004, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Balitbang
Depdagri, 2003.
Lili Romli (Ed.), Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru Studi
Kasus Partai Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS, Jakarta:
P2P-LIPI, 2008.
Linda Camp Keith dan Ayo Ogundele, “Legal Systems and
Constitutionalism in Sub-Saharan Africa: An Empirical
Examination of Colonial Influences on Human Rights “,
Human Rights Quarterly 29, no. 4 (May, 2007).
Lindsay Whitfield, “Change for a Better Ghana’: Party Competition,
Institutionalization and Alternation in Ghana’s 2008
Elections”, African Affairs, 108/433, 2009.
Luis F. Clemente, Party Systems Stability in Latin America : A
Comparative Study (New York: State of University of New
York, 2009).
Luke March dan Cas Mudde, “What’s Left of the Radical Left? The
European Radical Left After 1989: Decline and Mutation”,
Comparative European Politics, Vol. 3, No. 1, 2005.
Luke March,2011, Radical Left Parties in Europe, London:
Routledge.
Luky Sandra Amalia, ”DPRD Banten: Relasi Formalistik dengan
Konstituen”, dalam Lili Romli dan Luky Sandra Amalia
(ed.), Kecenderungan Hubungan Anggota Legislatif dan
Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009,
(Jakarta:P2P-LIPI, 2010).
Marco Tarchi, “Italy: A Country of Many Populisms”, dalam
Daniele Albertazzi dan Duncan McDonnell (Editors), 2007,

Daftar Pustaka 259


Twenty-First Century Populism: The Spectre of Western European
Democracy, Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”, dalam Moch.
Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Sistem Presidensial
dan Sosok Presiden Ideal, Jakarta: Pustaka Pelajar dan Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia-AIPI, 2009.
Matthijs Bogaards, “Counting Parties and Identifying Dominant
Party Systems in Africa,” European Journal of Political Research,
Vol. 43, 2.
Maurice Duverger, 1954, Political Parties, Their Organization and
Activity in the Modern State, London: Meuthen.
Maurits J. Meijers, 2016, Is Euroscepticism Contagious? Examining
the Impact of Eurosceptic Challenger Parties on Mainstream
Party Attitudes toward the European Union, PhD Thesis:
Hertie School of Governance, Berlin.
M. Bogaards, “Reexamining African Elections”, Journal of
Democracy, Vol. 24, No. 4, 2013.
M. Chege, 2007, Political Parties in East Africa: Diversity in Political
Party Systems, Stockholm, IDEA.
M. Crawford Young, “Elections in Zaire: The Shadows of
Democracy”, dalam Fred M. Hayward, ed., 1987, Elections
in Independent Africa, Boulder: Westview Press.
Michael Keating,“The European Union and the Regions”, dalam
Barry Jones dan Michael Keating, Editors, 1995, In The
European Union and the Regions, Oxford: Oxford University
Press.
Michael Laver dan Kenneth A. Shepsle, 1994, Making and Breaking
Governments: Cabinets and Legislatures in Parliamentary
Democracies, Cambridge: Cambridge University Press.

260 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Michael Laver dan Norman Schofield, 1998, Multiparty
Government: The Politics of Coalition in Europe (2nd. Ed.),
USA, University of Michigan Press.
Michael Laver, “The Government Formation Proces in Ireland:
Implications for the Constitutional Role of the President,
the Government and the Dáil”, dalam Constitution Review
Group, 1996.
Michael Washman, “Democratization through Alternation?-
Comparing the cases of Ghana, Kenya, and Senegal”, Paper
prepared for delivery at the Annual Meeting of the Swedish
Political Science Association, Gothenburg, 30 October
2011.
Michael W. Doyle dan N. Sambanis, “International Peacebuilding:
A Theoretical and Empirical Analysis”, American Political
Science Review, Vol. 9, No. 4, 2000.
Michele Brandt, Jill Cottrell, Yash Ghai, and Anthony Regan,
2011, Constitution-Making And Reforms: Options For The
Process, Interpeace.
Minion K. C. Morrison dan Jae Woo Hong, “Ghana’s Political
Parties: How Ethno/Regional Variations Sustain the National
Two-Party System”, Journal of Modern African Studies, Vol.
44, No. 4, 2006.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia,
2008).
M.K. Mbondenyi, 2011, International Human Rights And Their
Enforcement In Africa, LawAfrica.
Monty G. Marshall dan Keith Jaggers, 2009, “POLITY IV Project:
Political Regime Characteristics and Transitions, 1800-2007,”
Dataset Users’ Manual, Center for Systemic Peace.

Daftar Pustaka 261


Morris Kiwinda Mbondenyi dan Tom Ojienda, 2013,
Constitutionalism and Democratic Governance in Africa:
Contemporary Perspectives from Sub-Saharan Africa, Cape
Town, Pretoria University Law Press.
N. Anstead, 2008, “Internal Party Democracy in Europe and the
United States: Different Models in a Changing Environment”,
Conference Paper, Political Studies Association, 1 - 3 April 2008,
Swansea University.
Naom Chazan et.al., 1999, Politics and Society in Contemporary
Africa, 3rd edition, Boulder, CO: Lynne Rienner.
National Democratic Institute, 2013, Political Parties And
Democracy In Theoretical And Practical Perspectives,
Massachusetts, Center of Excellence on Democracy, Human
Rights and Governance.
Nelson Kasfir, 1976, The Shrinking Political Arena. Participation
And Ethnicity In African Politics With A Case Study Of Uganda,
Berkeley, University of California Press.
N.G. Wanjohi, “Sustainability of Political Parties in Kenya”, in
M.A.M. Salih (Ed), 2003, African Political Parties: Evolution,
Institutionalism And Governance, Sterling, Virginia, Pluto
Press.
Nicolas Van de Walle, dan Kimberly Smiddy Butler, “Political
Parties and Party Systems in Africa’s Illiberal Democracies”,
Cambridge Review of International Affairs, Vol. 14, No, 1,
1999.
P. Anderson, “An Invertebrate Left”, London Review of
Books, 2009.
Partono, “Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektifitas
Pemerintah”, makalah, 2010.

262 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Peter Burnell, “The Relationship of Accountable Governance and
Constitutional Implementation with Reference to Africa”,
Journal of Politics and Law, Vol. 1, No. 3, 2008.
Paul Seaton, “Fortunate Powerlessness”, Perspectives On Political
Science 34, no. 2: (2005).
Paul Smoke, “The Evolution Of Fiscal Decentralization Under
Kenya’s New Constitution: Opportunities And Challenges”,
Proceedings of The Annual Conference On Taxation 104, (2011).
Phares Mutibwa, 1982, Uganda Since Independence: A story
of Unfulfilled Hopes, London, Hurst &Co.
Philip Keefer, “.Database of Political Institutions: Changes and
Variable Definitions,” Development Research Group,
Washington: World Bank.
P. Panapa dan J. Fraenkel, 2008, State, Society, and Governance in
Melanesia, Canberra, Australian National University, hlm.
9; T. Taafaki, “Tuvalu”, S. Levine (ed.), 2009, Pacific Ways.
Government and Politics in the Pacific Islands. Wellington:
Victoria University Press.
Paul Cammack et al, 1993, Third World Politics: A Comparative
Introduction, Hampshire: Macmillan Press.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia,
1992).
Richard Gunther dan Larry Diamond, “Species Of Political Parties.
A New Typology”, Party Politics, Vol. 9, No. 2, 2003.
Richard S. Katz dan Peter Mair, Editors, 1992, Party Organizations:
A Data Handbook on Party Organizations in Western
Democracies, 1960-1990, London, Sage Publications,
_________________________, 1994. How Party Organize:
Change and Adaptation in Party Or- ganizations in Western
Democracies. London: Sage Publication.

Daftar Pustaka 263


Robert Ford, Matthew J. Goodwin, dan David Cutts. “Strategic
Eurosceptics and Polite Xenophobes: Support for the United
Kingdom Independence Party (UKIP) in the 2009 European
Parliament Elections”, European Journal of Political Research,
Vol. 51, No. 2, 2012.
Robert J. Jackson dan Doreen Jackson, 2009, Politics in Canada,
7th ed. Toronto: Prentice Hall.
Oniel Francisco Díaz-Jiménez dan Igor Vivero-Ávila, “The
Dimensions Of Competition In The Mexican Party System
(1979-2012)”, Convergencia, Vol. 68, 2015.
Ora John Reuter, 2010, “The Origins of Dominant Parties”,
Unpublished Ph.D. dissertation, Department of Political
Science, Emory University.
Sabastian Salang, Potret Partai Politik di Indonesia, Asesmen Terhadap
Kelembagaan, Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Forum
Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007).
S. Adelman, ‘Constitutionalism, pluralism and democracy in
Africa’, 1998, 42 Journal of Legal Pluralism.
Samuel P. Huntington, 1991, The Third Wave: Democratization
in the Late Twentieth Century, Norman OH, University of
Oklahoma Press.
Sara Bennett, et.al. “Policy challenges facing integrated community
case management in Sub- Saharan Africa”, Tropical Medicine
& International Health, Vol. 19, No. 7: (2014).
S. Barman, “The Life of the Party”, Comparative Politics, Vol. 30,
No. 1, 1997.
Scott Mainwaring, “Presidentialism in Latin America”, Latin
America Research Review, Vol. 25, No. 1, 1990.

264 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


_______________, “Presidentialism, Multipartism, and
Democracy: The Difficult Combination”, Comparative
Political Studies, Vol. 26,No. 2, 1993.
Sebastian Elischer, 2013, Political Parties in Africa: Ethnicity and
Party Formation, Cambridge, Cambridge University Press.
S. Fish, “The Inner Asian Anomaly: Mongolia’s Democratization In
Comparative Perspective”, Communist and Post-Communist
Studies, Vol. 34, No. 3, 2001.
Shaheen Mozaffar, “Introduction”, Party Politics, Vol. 11, No. 4.
Shaheen Moazaffar dan James R. Scarritt, 2005, “The Puzzle of
African Party Systems”, Party Politics, Vol. 11. No. 4, 2005.
Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia,
(Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2011).
S.M. Omodia dan V.Egwemi, “Party Politics and the Challenge of
Political Representation in Nigeria”, International Journal of
Bussiness & Social Science, Vol. 2, No. 22, December 2011.
S. Scarrow, 1996, Parties And Their Members: Organizing For Victory
In Britain And Germany, Oxford, Oxford University Press,
hlm. 42–46. Baca juga A. Ware, 1996, Political Parties And
Party Systems, Oxford, Oxford University Press.
Stephen D. Morris, 1995, Political Reformism in Mexico: An
Overview of Contemporary Mexican Politics, Boulder: Lynne
Rienner.
Stephen Ndegwa, “Kenya: Third Time Lucky?”, Journal of
Democracy, Vol. 14, No. 3, 2003.
Steven Levitsky dan Lucan Way, “The Rise of Competitive
Authoritarianism”, Journal of Democracy, Vol. 13, No. 2.
Thimothy D. Sisk, 1996, Power Sharing and International
Mediation in Ethnic Conflicts. Carnegie Com- mission on

Daftar Pustaka 265


Preventing Deadly Conflict, US Institute of Peace, Washington
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Thomas Quinn, “Block Voting In The Labour Party: A Political
Exchange Model”, Party Politics, Vol. 8, No. 2, 2002.
T.J. Pempel (Editor), 1990, Uncommon Democracies: The One-Party
Dominant Regimes, Ithaca, NY: Cornell University Press.
Tom Louwerse dan Peter Van Aelst, “The Exceptional Belgian
Case? Government Formation Duration In Comparative
Perspective”, Paper prepared for presentation at the conference
‘Belgium: The State of the Federation’, Vereniging voor Politieke
Wetenschappen/Association belge francophone de science
politique, Louvain-la-Neuve, 18 October 2013.
Wiliam Chang, “Disorientasi Partai Politik”, Kompas, 28 Maret
2014.
William N. Chamber dalam Louis Sandy Maisel dan Mark D.
Brewer, Parties and Election in America : The Electoral
Process (Maryland: Rowman and Littlefield Publishing
Group, 2012).
William Riker, 1976, “The Number of Political Parties: A
Reexamination of Duverger’s Law,” Comparative Politics,
Vol. 9, No. 1.
Yemile Mizrahi, “Rebels Without a Cause? The Politics of
Entrepreneurs in Chihuahua”, Journal of Latin American
Studies, Vol. 26, No. 1, 1994.
Yemile Mizrahi, “The Costs of Electoral Success: The Partido Acción
Nacional in Mexico”, dalam Mónica Serrano (Editor), 1998,
Governing Mexico: Political Parties and Elections, London:
Institute of Latin American Studies.

266 PARTAI POLITIK, IDEOLOGI, DAN KEKUASAAN


Y. Feofanov, “The Establishment of the Constitutional Court in
Russia and the Communist Party Case”, Review of Central
and East European Law, Vol. 6, 1993.

Daftar Pustaka 267


BIOGRAFI PENULIS

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. Lahir di


Gunungkidul, 1 Mei 1978. Merupakan
dosen hukum tata negara Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret sejak 2004.
Menyelesaikan pendidikan sarjana pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
(2001), Magister Hukum Universitas Gadjah
Mada (2003), dan Doktor Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (2014). Pernah menempuh Sandwich
Like Program di School of Economics, Law, and Governemnt
Utrecht University, Netherland (2012) untuk memperdalam riset
hukum dan penulisan jurnal internasional. Pernah menjabat sebagai
Sekretaris Badan Mediasi dan Bantuan Hukum Universitas Sebelas
Maret (2004-2011), Kepala Pusat Penelitian Konstitusi dan Hak
Asasi Manusia LPPM Universitas Sebelas Maret (2010-2012), dan
Koordinator Tenaga Ahli Rektor Bidang Hukum (2015-sekarang).
Aktif melakukan penelitian antara lain Hibah Kajian Wanita
(2005), Hibah Strategi Nasional Dirjen Dikti (2012 dan 2013),
Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (2015), dan Hibah
Prioritas Nasional MP3EI Dirjen Dikti (2016), serta penelitian
yang dibiayai oleh PNBP Universitas Sebelas Maret (2013 dan
2015). Ia juga aktif menulis di media nasional dan lokal untuk isu-
isu hukum dan politik serta berpengalaman melakukan advokasi
kebijakan publik dan menjadi mentor dalam bimbingan teknis
pengembangan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan.

269

Anda mungkin juga menyukai