ideologi,
dan kekuasaan
partai politik,
ideologi,
dan kekuasaan
Penulis:
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.
Desain Cover:
Husni. M
Layout:
Eko Taufiq
Penerbit:
CV. ABSOLUTE MEDIA
Krapyak Kulon RT 03 No. 100,
Panggungharjo Sewon Bantul Yogyakarta
Email: absolutemedia09@yahoo.com
Telp: 087839515741 / 082227208293
Website: www.penerbitabsolutemedia.com
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................ v
DAFTAR ISI......................................................................... vii
vii
BAB III: MEKSIKO DAN PERUBAHAN HEGEMONI
PARTAI POLITIK................................................................ 121
A.. PENGANTAR............................................................ 121
B.. Pemilu yang Kompetitif............................................... 123
C.. Pengaruh Ideologi dan Strategi..................................... 128
1..PAN.................................................................... 129
2..PRD................................................................... 134
viii
5..Norwegia............................................................ 229
6..Swedia................................................................. 241
ix
BAB I
PARTAI POLITIK, DEMOKRASI,
DAN SISTEM PEMERINTAHAN
A. PENGANTAR
Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik atau parpol
merupakan wadah perjuangan bagi masyarakat untuk mewujudkan
kehidupan politik yang lebih baik. Masyarakat semestinya dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingannya melalui parpol. Namun
kenyataannya, keberadaan parpol tidak berbanding lurus dengan
fungsi yang diembannya. Parpol yang hadir masih dianggap sebagai
masalah ketimbang solusi bagi demokratisasi.
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu
sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari
sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. Dalam suatu
sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya
satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi
yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran
tentang struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam
upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian
yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan
efektivitas pemerintahan.1
1
Sabastian Salang, Potret Partai Politik di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan,
Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung,
Oktober 2007), hlm. 3.
1
Jika demokrasi diandaikan sebagai proses dan alat kontrol
masyarakat yang mengikat melalui keputusan kolektif dalam
segenap persoalan publik, maka keterwakilan harus menjadi salah
satu prasyaratnya. Sejauh mana institusi publik yang ada mampu
mengakomodasi harapan dan kepentingan warga secara nyata ?
Pemilu merupakan salah satu contoh mekanisme demokrasi yang
diyakini dan diharapkan banyak pihak akan menjadi alat untuk
mengagregasikan kepentingan warganegara secara damai. Partai
politik (Parpol) sebagai institusi demokrasi karenanya menjadi
penting sebagai lembaga representatif yang mewakili kepentingan
konstituennya.
Secara konstitusional keberadaan parpol mengungkapkan
kesetiakawanan diri dan keterlibatan aktif dalam peningkatan
keadilan dan kesejahteraan di kalangan rakyat jelata. Dalam ajang
perpolitikan, parpol berperan sebagai radar yang menangkap,
menyergap, serta mengerti aspirasi dan tuntutan rakyat. Seharusnya
setiap parpol memiliki kuping yang panjang, tajam, dan bijaksana
menelaah suara rakyat berlalu tanpa bekas.
Adanya konstitusi yang mengartikulasikan nilai dan prinsip
demokrasi tidak mencukupi untuk pembentukan sistem politik yang
demokratis dalam praktik. Namun, sama benarnya bahwa sebuah
konstitusi demokratis adalah sebuah kondisi yang mendahului
pembangunan konstitusionalisme yang demokratis. Oleh karena
itu, konstitusi perlu terus menerus dikaji ulang untuk memperkuat
berbagai aspek demokrasi seperti partisipasi rakyat dalam proses
politik, pertanggungjawaban negara terhadap masyarakat yang
diaturnya, pemerintahan terbuka, dan the rule of law.2
2
A.H.Y. Chen, “A Tale Of Two Islands: Comparative Reflections On
Constitutionalism In Hong Kong And Taiwan”, Hong Kong Law Journal, Vol. 37, 2007,
hlm. 647.
4
C. Danks, 2009, Politics Russia, Harlow, Pearson, hlm. 319.
5
Y. Feofanov, “The Establishment of the Constitutional Court in Russia and the
Communist Party Case”, Review of Central and East European Law, Vol. 6, 1993, hlm. 633.
6
G. Brunner, “The Treatment of Anti-constitutional Parties in Eastern Europe”,
dalam F. Feldbrugge dan W. Simons, eds., 2002, Human Rights in Russia and Eastern
Europe, The Netherlands, Kluwer International Law, hlm. 28-30.
7
Wiliam Chang, “Disorientasi Partai Politik”, Kompas, 28 Maret 2014, hlm. 6.
8
Lili Romli (Ed.), Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru Studi Kasus Partai
Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS, Jakarta: P2P-LIPI, 2008, hlm. 2.
9
Lili Romli, “Pandangan Urang Awak terhadap Partai Politik: Kasus Sumatra
Barat”, dalam Syamsuddin Haris (ed), Persepsi Masyarakat terhadap Partai Politik Peserta
Pemilu 2004, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Balitbang Depdagri, 2003, hlm. 80.
10
Luky Sandra Amalia, ”DPRD Banten: Relasi Formalistik dengan Konstituen”,
dalam Lili Romli dan Luky Sandra Amalia (ed.), Kecenderungan Hubungan Anggota
Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009, (Jakarta:P2P-
LIPI, 2010), hlm. 91.
14
National Democratic Institute, 2013, Political Parties And Democracy
In Theoretical And Practical Perspectives, Massachusetts, Center of Excellence on
Democracy, Human Rights and Governance, hlm. 17.
15
Thomas Quinn, “Block Voting In The Labour Party: A Political Exchange
Model”, Party Politics, Vol. 8, No. 2, 2002, hlm. 215.
18
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik,
Yogyakarta: Graha Ilmu,t.t., hlm. 112-114.
415.
20
Luis F. Clemente, Party Systems Stability in Latin America : A Comparative
Study (New York: State of University of New York, 2009), hlm. 20.
21
William N. Chamber dalam Louis Sandy Maisel dan Mark D. Brewer, Parties
and Election in America : The Electoral Process (Maryland: Rowman and Littlefield
Publishing Group, 2012), hlm. 15.
22
Daniele Caramani, Comparative Politic (New York: Oxford University Press,
2008), hlm. 319.
23
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 127.
24
Ibid., hlm. 127-128.
25
Agus Sutisna, “Politik Penyederhanaan Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca
Reformasi 1998”, Sosio Didaktika, Vol. 2, No. 2, 2015, hlm. 167-175.
26
Lihat Muhammad Qodari, “Kembalinya Tradisi Golkar”, Kompas, 21 Desember
2004, hlm. 6.
27
Baca Daniel Dhakidae (Ed.), Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi,
dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999), hlm. 196
32
Lihat Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta:
Institute for Democracy and Welfarism, 2011), hlm. 59-60.
37
Richard S. Katz dan Peter Mair, Editors, 1992, Party Organizations: A Data
Handbook on Party Organizations in Western Democracies, 1960-1990, London, Sage
Publications, hlm. 9.
38
A. Panebianco, op.cit., hlm. 253-257.
39
Frank L. Wilson, “Sources of Party Transformation: The Case of France”,
dalam Peter H. Merkl (ed.), 1980, Western European Party Systems: Trends and Prospects,
New York, Free Press, hlm. 542-544.
40
H.J. Puhle, “Socialist Parties in the New Southern Europe”, dalam P. N.
Diamandouros dan R. Gunther (eds.), 2001, Parties, Politics, and Democracy in the New
Southern Europe, Baltimore dan London: The John Hopkins University Press.
41
D. Maguire, “The Recent Birth of Modern Italy”, dalam J. Kurth dan J. Petras
(eds.), 1993, Mediterranean Paradoxes: The Politics and Social Structure of Southern Europe,
Providence dan Oxford: Berg, hlm. 87.
42
G. Sartori, 2005, Parties And Party Systems, Colchester: ECPR Press.
43
Ibid., hlm. 117-120.
44
G. Sani dan P. Segatti, “Antiparty Politics and the Restructuring of the Italian
Party System”, dalam P.N. Diamandouros dan R. Gunther (eds.), 2001, Parties,
Politics, and Democracy in the New Southern Europe, Baltimore and London: The
John Hopkins University Press.
45
S. Barman, “The Life of the Party”, Comparative Politics, Vol. 30, No. 1, 1997,
hlm. 102-103.
46
G. Pasquino, “The Democratic Party And The Restructuring Of The Italian
Party System”, Journal of Modern Italian Studies, Vol. 14, No. 1, 2009, hlm. 203.
47
P. Anderson, “An Invertebrate Left”, London Review of Books, 2009.
48
Ibid.
49
Barbieri, 1989, hlm. 4.
53
Bumba Mukherjee, “Why Political Power-Sharing Agreements Lead to
Enduring Peaceful Resolution of Some Civil Wars, But Not Others?”, International
Studies Quarterly, Vol. 50, 2006, hlm. 479–504.
54
lihat Doyle dan Sambanis, loc.cit.
55
Bumba Mukherjee, op.cit., hlm. 481-482.
56
Barbara F. Walter, op.cit., hlm. 371.
1. Sistem Presidensial
Pertama, Sistem dua partai sering dianggap sebagai sistem
kepartaian yang paling ideal sebab kompatibel untuk sistem
presidensial dan sistem parlementarian, sedangkan sistem
multipartai dianggap hanya sesuai dengan sistem parlementer.57
Kedua, kekakuan sistemik mengenai masa jabatan presiden
yang bersifat tetap mengakibatkan tidak ada peluang untuk
mengganti presiden di tengah jalan meskipun kinerjanya tidak
memuaskan publik.
Ketiga, prinsip pemenang mengambil semua memberi peluang
bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya
atas nama rakyat. Keempat, menurut Juan Linz, seperti dikutip
Syamsuddin Haris, pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif
dan legislatif di dalam sistem presidensial cenderung menimbulkan
polarisasi dan instabilitas politik, sehingga dianggap tidak cocok
diterapkan di negara demokrasi baru.58
Kesulitan lain yang muncul akibat perpaduan sistem ini
antara lain, pertama, sulitnya melembagakan format koalisi
permanen di antara partai-partai tanpa mayoritas di parlemen.
Kedua, lemahnya disiplin partai-partai dalam mempertahankan
57
Ibid., hlm. 55.
58
Syamsuddin Haris, “Dilema Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde Baru
dan Urgensi Penataan Kembali Relasi Presiden-DPR”, dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar
Nusa Bhakti (Ed.), Ibid, hlm. 98.
61
Cheibub dkk, loc.cit.
62
Scott Mainwaring, “Presidentialism in Latin America”, Latin America Research
Review, Vol. 25, No. 1, 1990, hlm. 169.
63
José Antonio Cheibub, Adam Przeworski, dan Sebastián M. Saiegh, “Government
Coalitions and Legislative Success under Presidentialism and Parliamentarism”, British
Journal of Political Science, Vol. 34, 2004, hlm. 565-587.
64
Partono, “Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektifitas Pemerintah”,
makalah, 2010, hlm. 3.
2. Sistem Parlementer
Di negara-negara dengan sistem parlementer, pemindahan
kekuasaan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya
terkadang ditandai oleh negosiasi yang panjang guna memperoleh
keuntungan atas keputusan komposisi dan kebijakan kabinet
baru. Pemilihan legislatif yang diadakan di Belgia pada tanggal 10
66
Michael Laver dan Norman Schofield, 1998, Multiparty Government: The Politics
of Coalition in Europe (2nd. Ed.), USA, University of Michigan Press.
67
Lieven De Winter, Arco Timmermans, dan Patrick Dumont, “Belgium: On
Government Agreements, Evangelists, Followers and Heretics”, dalam Wolfgang C.
Müller dan Kaare Strøm (Editor), 2000, Coalition Governments in Western Europe, Oxford,
Oxford University Press, hlm. 315.
68
Kaare Strøm dan Stephen M. Swindle, “The Strategic Use of Parliamentary
Dissolution Powers”, paper delivered to ECPR Joint Sessions of Workshops, Copenhagen,
April 14th-19th 2000, hlm. 2.
69
Thomas Saalfeld, “Germany: Stable Parties, Chancellor Democracy and the Art
of Informal Settlement”, dalam dalam Wolfgang C. Müller dan Kaare Strøm (Editor),
op.cit., hlm. 36.
70
Michael Laver, “The Government Formation Proces in Ireland: Implications
for the Constitutional Role of the President, the Government and the Dáil”, dalam
Constitution Review Group, 1996, hlm. 478.
71
Geoffrey K. Roberts, 2000, German Politics Today, Manchester, Manchester
University Press, hlm. 118-119.
72
Josep M. Colomer, “Spain and Portugal: Rule by Party Leadership”, dalam Josep
M. Colomer, Editor, 1996, Political Institutions in Europe, London: Routledge, hlm. 191.
73
Laver, op.cit.
74
Geoffrey K. Robert, op.cit., hlm. 118-120.
75
Gordon Smith, “The Resources of a German Chancellor”, West European Politics,
Vol. 14, No. 2, hlm. 50.
76
De Winter, Timmermans dan Dumont, op.cit., hlm. 342.
80
Müller and Strøm, editor, op.cit., hlm. 570.
84
Alejandro Ecker and Thomas M Meyer, “The Duration Of Government
Formation Processes In Europe”, Research and Politics October-December 2015.
89
Eric Damgaard, “The Life and Death of Government Coalitions”, dalam Müller
dan Strøm, Editor, op.cit., hlm. 244-246.
90
Jonathan Boston, Stephen Levine, Elizabeth McLeay, Nigel S Roberts, dan
Hannah Schmidt, “The Impact of Electoral Reform on the Public Service: The New
Zealand Case”, Australian Journal of Public Administration, Vol. 57, No. 3, 1998, hlm. 70.
91
Boston dan McLeay, op.cit., hlm. 227-228.
92
Saalfeld, op.cit., hlm. 47-48, 58, dan 65-66.
93
Damgaard, op.cit., hlm. 248.
94
Basil Chubb, 1992, The Government and Politics of Ireland, London, Longman,
hlm. 172-173.
95
Helmut Norpoth, “The German Federal Republic: Coalition Government at the
Brink of Majority Rule”, dalam Eric. C. Browne dan John Dreijmanis, 1982, Government
Coalitions in Western Democracies, New York, Longman, hlm. 22.
96
John Garry, “The Demise of the Fianna Fail-Labour ‘Partnership’ Government
and the Rise of the ‘Rainbow’ Coalition”, Irish Political Studies, Vol. 10, 1995, hlm.
192-199.
97
Paul Mitchell, “Ireland: From Single Party to Coalition Rule”, dalam Müller
dan Strøm, op.cit., hlm. 143-145.
98
Kaare Kaare dan Wolfgang C . Müller, “Coalition Agreements and Governance”,
paper delivered to the Annual Meeting of the American Political Science Association,
San Francisco, 29th August-2nd September 2001, hlm. 16.
Ibid.
99
100
Ibid., hlm. 5.
101
Baca: S. Lindberg, “The Surprising Significance Of African Elections”, Journal
of Democracy, Vol. 17, No. 1, hlm. 139-151. Baca juga S. Lindberg, Democratization By
Elections? A Mixed Record”, Journal of Democracy Vol. 20, No. 3, hlm. 86-92.
102
M. Bogaards, “Reexamining African Elections”, Journal of Democracy, Vol. 24,
No. 4, 2013, hlm. 151-160.
103
J. Mc Coy dan J. Hartlyn, “The Relative Powerlessness Of Elections In Latin
America”, dalam S. Lindberg (Editor), 2009, Democratization by Elections: A New Mode
of Transition, Baltimore: The Johns Hopkins University Press. hlm. 53.
104
V. Bunce dan S. Wolchik, “Oppositions Versus Dictators: Explaining
Divergent Electoral Outcomes In Post-Communist Europe And Eurasia”, dalam S.
Lindberg (Editor), ibid., hlm. 246-248.
105
Kebanyakan negara-negara di Asia menjalankan demokrasi parlementer dan
umumnya pemilu dilaksanakan dalam satu putaran. Sedikit negara yang lain menjalankan
sistem semi presidensial. Dalam hal pemilu serentak, Timor Timur memberlakukan
jadwal pemilu secara ketat. Namun, manakala pemilu berlangsung tak serentak, jadwal
pemilu menjadi longgar seperti di Filipina, Korea Selatan setelah 1986, dan Taiwan
sesudah 1996.
106
A. Riaz, “Bangladesh’s Failed Election”, Journal of Democracy, Vol. 25, No.
2, 2014, hlm. 119-130.
107
B. Welsh, “Malaysia’s Elections: A Step Backward”, Journal of Democracy, Vol.
24, No. 4, 2013, hlm. 148.
108
Lihat M. Lawonta, “Reform And Resistance In Nepal”, Journal of Democracy,
Vol. 25, No. 4, 2014, hlm. 131-145.
109
S. Fish, “The Inner Asian Anomaly: Mongolia’s Democratization In Comparative
Perspective”, Communist and Post-Communist Studies, Vol. 34, No. 3, 2001, hlm. 323-338.
Malaysia And The Philippines”, Journal of East Asian Studies, Vol. 8, No. 1, 2008, hlm.
112.
112
Teorell, 1999.
113
NIMD, 2004.
114
Hopkin, 2004.
115
Matlosa, 2005.
A. PENGANTAR
Kebanyakan rezim pemerintahan otoritarian memperkenalkan
institusi nominal demokrasi seperti partai politik, pemilu,
dan lembaga perwakilan. Diantara kelembagaan yang paling
mengemuka adalah hegemoni partai politik. Partai ini selalu
mendominasi perolehan suara dalam pemilu.116 Sebagai contoh
partai yang mendominasi pemerintahan adalah Institutional
Revolutionary Party (PRI) di Meksiko117, Unione Nazionale Africana
di Zimbabwe-Fronte Patriottico (ZANU PF) di Zimbabwe118, United
116
Lihat Ora John Reuter and Jennifer Gandhi, “Economic Performance and
Elite Defection from Hegemonic Parties”, British Journal of Political Science, Vol. 41,
January, 2011.
117
Berdiri pada 1929 dan hingga dekade 1990-an terus menerus menjadi partai
yang memerintah di Meksiko. Ketua Umum Partai juga menjadi Presiden Meksiko
sebanyak-banyaknya untuk 2 periode masa jabatan. Hingga awal 1980-an, kalangan
oposisi tak berdaya menghadapi kekuasaan partai yang juga memonopoli sumber daya.
Situasi mulai berubah tatkala pertengahan 1980-an partai oposisi secara serius berhasil
menata diri untuk melawan dominasi tersebut dalam kompetisi jabatan di tingkat
nasional maupun lokal.
118
Sejak tahun 1975, partai ini dipimpin oleh Robert Gabriel Mugabe dan hingga
sekarang di usia 93 tahun masih memegang jabatan sebagai Presiden Zimbabwe. Mugabe
juga pernah menjadi perdana menteri (1980-1987).
99
Malays National Organisation (UMNO) di Malaysia119, National
Democratic Party (NDP) di Mesir120, dan United Russia di Rusia.
121
Para pakar sepakat bahwa partai-partai itu mampu bertahan tak
sekedar berlindung dari kecurangan dan politik represif, namun
juga karena faktor seperti penguasaan sumber daya yang mampu
menjalankan patronase, memperbesar belanja sosial menjelang
pemilu, charisma pemimpin partai, dan manakala kalangan oposisi
tercerai berai.122
Dalam watak kepartaian hegemonik, partai mengatasi
masyarakat, pemerintah, dan oposisi. Sistem Kepartaian Hegemonik
diperkenalkan antara lain oleh La Palombara dan Weiner. Menurut
La Palombara dan Weiner, Sistem Kepartaian Hegemonik ditandai
oleh adanya sebuah partai politik atau sebuah koalisi partai yang
119
Ini merupakan persekutuan partai politik yang dikendalikan oleh Barisan
Nasional dan memerintah Malaysia sejak kemerdekaan 1957. Sebanyak 8 perdana menteri
yang pernah memerintah adalah anggota UMNO. Dalam hal ini, UMNO adalah partai
etnis Melayu dan merupakan kekuatan politik dominan di Malaysia yang multietnis.
UMNO selalu melindungi dan mempromosikan kepentingan-kepentingan politik, sosial,
budaya, agama, dan ekonomi Melayu.
120
Partai Demokratik Nasional (NDP), yang didirikan tahun 1978 oleh mendiang
Presiden Anwar Sadat, adalah partai berkuasa pada era Presiden Sadat dan Presiden
Mubarak (1981-2011). Partai ini merupakan pengganti Partai Uni Sosialis yang didirikan
mendiang Presiden Gamal Abdel Nasser. Saat itu Sadat melakukan reformasi politik
terbatas dengan menerapkan sistem multipartai. Sadat membagi kekuatan politik di
Mesir menjadi tiga kubu, yaitu kubu kanan yang membawa bendera Partai Ahrar, kubu
kiri dengan mengusung Partai Amal (kerja), dan kubu tengah dengan Partai Mesir. Partai
Mesir pimpinan Sadat kemudian diubah menjadi NDP. Sidang pengadilan administrasi
tinggi Mesir, Sabtu (16/4/2011), memvonis pembubaran Partai Demokratik Nasional
dan mengembalikan aset partai itu kepada negara.
121
Ini merupakan partai terbesar di Rusia yang hingga 2017 memiliki kursi
mayoritas DPR (Dumma) sebanyak 342 (or 76.22%) dari 450 kursi. Partai didirikan
pada Desember 2001 sebagai fusi Partai Unity dan Partai Fatherland – All Russia. Partai
ini merupakan pendukung Presiden Vladimir Putin, yang juga tak disanggah sebagai
aktor dan tokoh partai yang terkemuka.
122
Lihat Kenneth Greene, Why Dominant Parties Lose, (New York: Cambridge,
2007).
123
https://adisuryapurba.wordpress.com/2013/11/15/kehidupan-partai-partai-
politik-di-masa-orde-baru-1971-1998/, diakses 25 Maret 2017.
124
Dalam literatur terdapat aneke istilah dengan pengertian serupa seperti
dominant party regime, dominant party system, hegemonic party regime, hegemonic party
regime, single-party regime, atau predominant party system. Lihat: Greene 2007, Friedman
dan Wong 2008, Magaloni 2006; Geddes 1999, dan Sartori, 1976.
125
Ibid., hlm. 23.
126
Ibid.
127
Ibid., hlm. 24.
128
Lihat Scheiner, 2006, hlm. 11-13.
129
Salah satu sebabnya adalah sistem kabinet parlementer yang dianut Jepang.
Dalam sistem ini, rakyat Jepang memilih anggota parlemen dalam Pemilu. Partai yang
anggotanya paling banyak dipilih akan memenangkan Pemilu. Kemudian, partai ini
dapat mengusulkan siapa yang akan menjadi perdana menteri Jepang. Apabila perdana
menteri yang mereka pilih dirasa tidak mampu atau terlibat skandal, parlemen dapat
membubarkan diri atau mengajukan mosi tidak percaya (no-confidence motion) terhadap
perdana menteri. Setelah itu, Pemilu dapat dilakukan lagi. Mudah dan cepat memang.
130
Isu-isu golongan dan ras yang menyentuh emosi dan sentimen menjadi tema
utama sepanjang kampanye Pemilu 1969 yang mengakibatkan meningkatnya semangat
masyarakat Melayu dan Tionghoa di Malaysia. Selama kampanye Pemilu 1969, para
calon serta anggota-anggota partai politik, khususnya dari partai oposisi, mengangkat
soal-soal sensitif yang berkaitan dengan bahasa nasional (Bahasa Melayu), kedudukan
istimewa orang Melayu (Bumiputera) dan hak kerakyatan warga non-Melayu. Hal
ini menimbulkan sentimen rasial dan kecurigaan. Partai Perikatan (UMNO-MCA-
MIC) telah mengalami kekalahan yang telak dalam Pemilu 1969. Jumlah kursi yang
dimenangkannya dalam Dewan Rakyat (Parlemen) telah menurun dari 89 kursi pada
tahun 1964 menjadi 66 kursi pada tahun 1969. Partai Perikatan telah hilang kebanyakan
dua pertiga dalam Dewan Rakyat. Partai Gerakan, DAP dan PPP menang 25 buah kursi
dalam Dewan Rakyat sementara PAS menang 12 kursi.
131
Bilveer Singh, “Malaysia in 2008: The Elections that Broke the Tiger’s Back”,
Asian Survey Vol. 49, No. 1, hlm. 156-165.
132
Kharis Ali Templeman, 2012, The Origins And Decline Of Dominant Party
Systems: Taiwan’s Transition In Comparative Perspective, Dissertation Doctor of Philosophy
Political Science, The University of Michigan, Not Published, hlm. 30.
133
Ibid., hlm. xv.
134
Ibid., hlm. 1.
135
Jason Brownlee, “Portents of Pluralism: How Hybrid Regimes Affect Democratic
Transitions”, American Journal of Political Science, Vol. 53, No. 3, hlm. 515-532.
136
Bandingkan dengan Dan Slater dan Nicholas Smith, “The Power of
Counterrevolution: Contentious Origins of Dominant Party Durability in Asia and
Africa”, Paper presented at the APSA Annual Conference, Washington, D.C., September,
2010.
137
Steven Levitsky dan Lucan Way, “The Rise of Competitive Authoritarianism”,
Journal of Democracy, Vol. 13, No. 2, hlm. 51-65.
138
Adam Pzeworski, Michael Alvarez, Jose Cheibub, and Fernando Limongi. 2000,
Democracy and Development: Political Institutions and Material Well-Being in the World,
1950-1990, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 23-28.
139
T.J. Pempel (Editor), 1990, Uncommon Democracies: The One-Party Dominant
Regimes, Ithaca, NY: Cornell University Press.
140
Ora John Reuter, 2010, “The Origins of Dominant Parties”, Unpublished
Ph.D. dissertation, Department of Political Science, Emory University.
141
Nicholas Van de Walle dan Kimberly Butler, “Political Parties and Party Systems
in Africa’s Illiberal Democracies,” Cambridge Review of International Affairs, Vol. 13, No.
1, hlm. 25.
142
Philip Keefer, “.Database of Political Institutions: Changes and Variable
Definitions,” Development Research Group, Washington: World Bank.
154
William Riker, 1976, “The Number of Political Parties: A Reexamination of
Duverger’s Law,” Comparative Politics, Vol. 9, No. 1, hlm. 93-106.
155
Pempel, op.cit., hlm. 4.
156
O’Leary, op.cit., hlm. 4.
157
Robert J. Jackson dan Doreen Jackson, 2009, Politics in Canada, 7th ed.
Toronto: Prentice Hall, hlm. 385.
158
Amir Abedi dan Stephen G. Schneider, “Federalism, Parliamentary Government,
and Single-Party Dominance: An Examination of Dominant Party Regimes in Canada,
Australia, Germany, and Austria.” Paper presented at the Annual Meeting of the American
Political Science Association, Philadelphia, hlm. 3-4.
159
N.G. Wanjohi, “Sustainability of Political Parties in Kenya”, in M.A.M. Salih
(Ed), 2003, African Political Parties: Evolution, Institutionalism And Governance, Sterling,
Virginia, Pluto Press.
160
S. Scarrow, 2005, Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical
Perspectives: Implementing Intra-Party Democracy, National Democratic Institute.
161
Josh Maiyo, 2008, Political Parties And Intra-Party Democracy In East Africa
From Representative To Participatory Democracy, Master of Philosophy in African studies
Africa Studies Centre, Leiden University, Tidak Diterbitkan, hlm. 6.
162
N. Anstead, 2008, “Internal Party Democracy in Europe and the United
States: Different Models in a Changing Environment”, Conference Paper, Political Studies
Association, 1 - 3 April 2008, Swansea University.
163
Josh Maiyo, op.cit., hlm. 11.
164
M. Chege, 2007, Political Parties in East Africa: Diversity in Political Party
Systems, Stockholm, IDEA.
165
Wanjohi, loc.cit.
166
Mayo, op.cit., hlm. 28.
167
Ibid.
C. Durasi Kekuasaan
Dari uraian di atas nampak bahwa terdapat minimal 6 (enam)
kriteria untuk menetapkan watak hegemonik partai. Menurut saya,
keenam kriteria itu tidak satupun memiliki definisi tunggal. Dalam
literatur biasanya tercakup 2 atau 3 kriteria saja, namun demikian
indikator yang ditampilkan acapkali tidak sama.
168
J. Okuku, 2002, Ethnicity, State Power and the Democratisation Process in
Uganda.
169
Mc Mahon, 2004.
Power Indices”, Dalam Mattijs Bogaards and Francoise Boucek (Editors), 2010,
Dominant Political Parties and Democracy: Concepts, Measures, Cases and Comparisons,
New York: Routledge, hlm. 45-59.
A. PENGANTAR
Tak ada proses transisi demokrasi yang berlarut-larut
seperti halnya di Meksiko. Kritik terhadap sistem kepartaian
yang hegemonik sesungguhnya sudah dilancarkan sejak gerakan
mahasiswa tahun 1968 dan kemudian ditanggapi dengan represif.
Sesudah peristiwa itu, partai oposisi kecil mulai dikenal dan
kemudian bahkan menguasai politik lokal sejak 1980-an.
Akar sistem kepartaian di Meksiko barangkali bisa dirujuk
sejak masa sebelum 1930an. Akan tetapi, sesungguhnya sistem
kepartaian terbentuk baru belasan tahun belakangan. Pada tahun
1929 dibentuk PRI, disusul PAN pada 1930, dan yang terbentuk
belakangan adalah PRD. Wajah kepartaian memang menunjukkan
keberadaan lebih dari satu partai, tetapi sesungguhnya hanya
mencerminkan representasi di tingkat nasional. Diantara partai itu,
hanya PRI yang memiliki dukungan relatif merata di seluruh negeri.
Sistem kepartaian di Meksiko menggambarkan situasi sebagai “the
control of both the executive and legislative powers continuously by
one single party for at least 20 years, or else four consecutive elections.”174
174
Kenneth F. Greene, 2007, Why Dominant Parties Lose: Mexico’s Democratization
in Comparative Perspective, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 12.
121
Sebelum tahun 1988, PRI tak pernah sekalipun kehilangan
kursi presiden, gubernur, maupun senator federal. Partai ini selalu
memperoleh 98% kursi DPR. Kandidat oposisi tak pernah muncul
dan jarang memperoleh kemenangan di tingkat kota sekalipun. Para
intelektual antara 1960-an hingga 1970-an cenderung menyebut
sistem kepartaian Meksiko sebagai “hegemonic party system” untuk
membedakan sistem partai tunggal di negara komunis, mengingat
partai oposisi diperkenankan hadir dalam kompetisi.
Hegemoni PRI berakar dari sejarah peran di masa revolusi.
Partai mengusung reformasi agraria, memperhatikan hak-hak
pekerja, dan mengusahakan pembangunan ekonomi secara
menyeluruh. Partai menyediakan saluran korporatis untuk
mengkooptasikan buruh dan tani, sembari royal memberikan
imbalan finansial bagi organisasi-organisasi terafiliasi. 175
Kemampuan PRI merebut jabatan-jabatan eksekutif di semua
tingkatan pemerintahan mempermudah akses terhadap sumber
daya berkedok intervensi pemerintah dalam sektor ekonomi.
Sebaliknya, kalangan oposisi tidak mampu menantang PRI
mengingat mereka tak punya sumber daya memadai sebagai
imbalan bagi para pendukung-pendukungnya. Prestasi PRI
semacam ini bertahan, walaupun pemilu berlangsung di tengah
krisis ekonomi dan ketidakpuasan publik atas kinerja pemerintah
pada 1980-an hingga 1990-an, sehingga melampaui kalangan
oposisi disebabkan oleh 3 hal.
Pertama, ketimpangan akses dana antara partai pemerintah
dengan oposisi. Akses ini disebabkan karena (i) ketersediaan dana
dari anggaran publik; (ii) bertahannya elit PRI di pemerintahan
federal dan lokal; serta (iii) ketimpangan kapasitas birokrasi dan
Diskusi lebih lanjut, baca Beatriz Magaloni, 2006, Voting for Autocracy:
182
Hegemonic Party Survival and its Demise in Mexico, Cambridge: Cambridge University
Press.
Mainwaring, 1999.
186
1. PAN
Partai PAN didirikan oleh sekelompok aktivis Katolik,
pengusaha, dan kalangan profesional yang keberatan terhadap
kebijakan pemerintah yang mendorong hapusnya hak-hak ekslusif
gereja, termasuk kesempatan untuk menyekolahkan anak-anak ke
sekolah paroki ketika negara bergerak menjadi berhaluan kiri di
bawah Presiden ke-49, Lázaro Cárdenas (1934-1940).
Selama memegang tampuk kekuasaan, Cardenas, yang hingga
kini dijuluki “the perfect politician”, mengusung ideologis sosialis
dengan menaruh perhatian terhadap layanan kesehatan, kalangan
pribumi, infrastruktur, dan redistribusi tanah. Tentu saja yang
paling banyak dikenang adalah keberanian melakukan nasionalisasi
terhadap industri minyak yang dikendalikan oleh Inggris dan
Amerika Serikat pada tahun 1938. Nasionalisasi dilakukan dengan
dalih ketentuan Pasal 27 Konstitusi 1917, yang menempatkan
194
Lihat Yemile Mizrahi, “Rebels Without a Cause? The Politics of Entrepreneurs
in Chihuahua”, Journal of Latin American Studies, Vol. 26, No. 1, 1994, hlm. 137-158.
195
Juan Molinar Horcasitas, ““The Future of the Electoral System” dalam Wayne A.
Cornelius, Judith Gentleman, Peter H. Smith (editors), 1989, Mexico’s Alternative Political
Futures, La Jolla: Center for U.S.Mexican Studies, University of California at San Diego.
196
Stephen D. Morris, 1995, Political Reformism in Mexico: An Overview of
Contemporary Mexican Politics, Boulder: Lynne Rienner, hlm. 90.
197
Antonia Martínez Rodríguez, “Parliamentary Elites and the Polarization of
the Party System in Mexico”, dalam Mónica Serrano (editor), 1998, Governing Mexico:
Political Parties and Elections, London: Institute of Latin American Studies, hlm. 61.
198
Yemile Mizrahi, “The Costs of Electoral Success: The Partido Acción Nacional
in Mexico”, dalam Mónica Serrano (Editor), 1998, Governing Mexico: Political Parties
and Elections, London: Institute of Latin American Studies.
199
Ann L. Craig dan Wayne A. Cornelius, “Houses Divided: Parties and Political
Reform in Mexico”, dalam Scott Mainwaring dan Timothy R. Scully (Editors), 1995,
Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford: Stanford
University Press, hlm. 269-270.
Kathleen Bruhn, “The Making of the President, 2000: Race to Los Pinos”,
201
dalam Jorge I. Domínguez dan Chappell Lawson, 2001, Mexico 2000: Voting Behavior,
Campaign Effects, and Democratization in Mexico, London: Institute of Latin American
Studies.
A. PENGANTAR
Selama hampir satu dekade belakangan, Afrika moncer
sebagai rumah yang ramah untuk perkembangan demokrasi. Ada
2 (dua) pertanyaan mengemuka: apa yang menjadi faktor penyebab
dan apa sumbangan terhadap konsolidasi demokrasi?
Dua negara penting untuk menjadi contoh: Afrika Selatan
dan Nigeria. Bukan saja kontribusi ekonomi dan makna penting
di kawasan, tetapi juga ada faktor pembeda signifikan. Demokrasi
di Afrika Selatan berwujud sistem presidensial di mana Presiden
adalah kepala negara dan kepala pemerintahan tetapi diangkat
dan bertanggung jawab kepada Parlemen. Di sisi lain, seperti
kebanyakan negara Afrika lain, Nigeria menjalankan sistem
presidensial “utuh.”
Di Afrika Selatan, pemilihan parlemen dengan sistem
proporsional dan Nigeria menjalankan sistem distrik. Keduanya
juga dicirikan dengan dominasi satu partai politik. Terdapat sedikit
persamaan di kedua negara: peran eksekutif dalam mengangkat
dan memberhentikan anggota parlemen, namun semua hanya
untuk kelengkapan tingkat representasi. Tetapi tidak dapat
139
dipungkiri bahwa di kedua negara eksekutif sangat dominan namun
memberikan efek demokrasi yang berbeda.202
Pada titik ini, partai politik mempunyai sumbangan
yang penting. Bukan saja memupuk kekuasaan eksekutif dan
menyediakan jalan patronage, tetapi juga membentuk parlemen
lengkap dengan klaim akuntabilitas dan representasi. Namun
demikian, pernyataan-pernyataan ini perlu dibuktikan secara
empiris mengingat seperti telah diteliti oleh Samuels dan Shugart
yang mengatakan bahwa ada banyak jalan bagaimana interaksi
partai terhadap pihak lain dalam wadah partai dominan.203 Secara
keseluruhan hal yang harus diamati adalah gerak partai dalam
menghubungkan dirinya dengan sistem pemilu, sistem perwakilan,
dan sistem pemerintahan. Nyaris di seluruh kawasan Afrika, gerak
itu berlangsung dalam sistem multipartai yang kompleks.
Sejarah ketatanegaraan di kawasan Afrika adalah studi kasus
yang sangat baik mengenai berbagai kesulitan yang dihadapi dalam
situasi pasca-kolonial dan terus dihadapi dalam proses penemuan
diri sendiri.204 Konflik tak berujung dan perang sipil di sebagian
besar negara di benua ini mempengaruhi aktivitas politik negara.
Memang, negara-negara Afrika yang merdeka pada tahun 1960an
memproklamirkan komitmen mereka terhadap demokrasi,
pemerintahan yang baik dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Kesepakatan yang dipostulasikan ini mudah dicapai,
mengingat bahwa undang-undang kebebasan negara sebagian besar
datang dengan paket jaminan yang berlimpah kepada warga negara.
Sebagai gantinya, segera setelah kemerdekaan, konstitusi sebagian
202
Farrell, 1971, hlm. x.
203
Samuels dan Shugart, 2010, hlm. 21.
204
Abutudu, Musa. “A Critical Assessment of the Constitutionalism Landscape in
West Africa”. Western Journal Of Black Studies 33, No. 2 (Summer 2009), hlm. 132-139.
Ibid.
208
management in Sub- Saharan Africa”, Tropical Medicine & International Health, Vol. 19,
No. 7: (2014), hlm. 872-882.
210
Ake, 2000.
211
Huntington, 1991.
212
Nzongola-Ntalaja, 2006, hlm. 1-4.
213
Chazan et al, 1992, hlm. 14. Baca juga Radelet, 2010, hlm. 90.
C. Mempertanyakan Konstitusi
Patologi demokrasi yang menggerogoti banyak negara-negara
di Afrika terutama disebabkan oleh adopsi desain konstitusional.
215
Mustapha dan Whitfield, 2009, hlm. 226.
216
Ibid., hlm. 227.
217
van de Walle, 2007, hlm. 67.
218
Africa Research Institute, 2012, hlm. 1.
219
Morris Kiwinda Mbondenyi dan Tom Ojienda, 2013, Constitutionalism and
Democratic Governance in Africa: Contemporary Perspectives from Sub-Saharan Africa,
Cape Town, Pretoria University Law Press, hlm. 3.
220
Ibid., hlm. 4.
221
M.K. Mbondenyi, 2011, International Human Rights And Their Enforcement
In Africa , LawAfrica, hlm. 89-90.
222
Ibid.
223
U Umozurike The African Charter on Human and Peoples’ Rights (1997),
hlm. 23.
224
Sebagai contoh, pada 1982, Konstitusi Kenya diubah sekedar mendeklarasikan
partai tunggal.
225
U. Umozurike, op.cit., hlm. 22.
226
Babu African socialism or socialist Africa?, 1981, hlm. 171.
227
C.A. Odinkalu ‘Back to the future: The imperative of prioritising for the
protection of human rights in Africa’ , 2003, Journal of African Law , hlm. 1-2.
228
Ibid.
229
J Oloka-Onyango ‘Human rights and sustainable development in contemporary
Africa: A new dawn or retreating horizons?’, 2000, Human Development Report 2000
Background, Paper 4 a
230
LC Backer ‘God(s) over constitutions: International and religious
transnational constitutionalism in the 21st Century’ (2007-2008) 27 Mississippi
College Law Review 11.
233
IG Shivji, ‘Three generations of constitutions and constitution-making in Africa:
An overview and assessment in social and economic context’ in MS Rosen (ed)
Constitutionalism in transition: Africa and Eastern Europe, 2003, hlm. 79.
234
HB Selassie ‘Constitutional development in Ethiopia’, 1966, 10 Journal of
African Law, hlm. 74-76.
Shaheen Mozaffar, “Introduction”, Party Politics, Vol. 11, No. 4, hlm. 395.
235
236
Ibid.
237
Ibid.
238
Burkina Faso, Burundi, Chad, Ghana, Guinea, Lesotho, Liberia, Mauritania,
Nigeria, Sudan, serta Uganda.
239
Angola, Benin, Kamerun, Tanjung Verde, Republik Afrika Tengah, Komoros,
Kongo, Djibuti, Guyana Khatulsitiwa, Ethiopia, Gabon, Guinea- Bissau, Pantai Gading,
Kenya, Madagascar, Malawi, Mali, Mozambique, Niger, Rwanda, São Tomé, Seychelles,
Sierra Leone, Somalia, Swaziland, Tanzania, Togo, Zaire, serta Zambia.
240
Botswana, Senegal, Mauritius, Gambia, serta Zimbabwe.
241
Afrika Selatan.
242
Naom Chazan et.al., 1999, Politics and Society in Contemporary Africa, 3rd
edition, Boulder, CO: Lynne Rienner, hlm. 141.
243
C. Baylies dan M. Szeftel, “Elections in the One-Party State”, dalam Gertzel
Cherry, et.al., 1999, The Dynamics of the One-Party State in Zambia, Manchester:
Manchester University Press, hlm. 84.
244
Joel D. Barkan, “The Rise and Fall of a Governance Realm in Kenya”, dalam
Goran Hyden dan Michael Bratton, eds., 1987, Governance and Politics in Africa, Boulder,
CO: Lynne Rienner, hlm. 218.
245
Paul Cammack et al, 1993, Third World Politics: A Comparative Introduction,
Hampshire: Macmillan Press.
246
M. Crawford Young, “Elections in Zaire: The Shadows of Democracy”, dalam
Fred M. Hayward, ed., 1987, Elections in Independent Africa, Boulder: Westview Press,
hlm. 192.
2. Faktor Etnik
Salah satu karakteristik benua Afrika adalah keragaman
etniknya. Sebuah kelompok etnis dapat didefinisikan sebagai
“people who share a distinctive and enduring collective identity based
on a belief in common descent and on shared experiences and cultural
traits.”247 Di Zambia ada sekitar 70 kelompok etnis, dengan jumlah
terbesar sekitar 27% dari jumlah penduduk. Bandingkan hanya
ada sekitar 40 kelompok di Kenya, di mana kelompok terbesar
berjumlah sekitar 22% dari total jumlah penduduk. Kongo
memiliki tingkat fraksionalitas etnis yang sangat tinggi dengan
sekitar 250 kelompok etnis. Diantara ketiga negara tersebut, pada
awal 1990an, etnis memainkan peran utama di Kongo, dan lebih
menonjol dalam politik di Kenya daripada di Zambia. Seperti telah
diuraikan di atas, partai nasional di Kenya dilarang sampai tahun
1959. Ketika KANU dan KADU terbentuk pada tahun 1960,
KANU mewakili beberapa kelompok etnis besar, termasuk Kikuyu,
yang mengklaim dukungan lebih dari 60% populasi. Namun, hal
Nicolas Van de Walle, dan Kimberly Smiddy Butler, “Political Parties and Party
247
250
Nelson Kasfir, 1976, The Shrinking Political Arena. Participation And Ethnicity
In African Politics With A Case Study Of Uganda, Berkeley, University of California Press,
hlm. 244.
251
Gérard Prunier, 1997, The Rwanda Crisis: History Of A Genocide, London:
Hurst, hlm. 76.
252
Giovanni M. Carbone, “Continuidade na renovação? Ten Years Of Multiparty
Politics In Mozambique: Roots, Evolution And Stabilisation Of The Frelimo-Renamo
Party System”, Journal of Modern African Studies, Vol. 43, No. 3, 2005, hlm. 424.
253
Richard Gunther dan Larry Diamond, “Species Of Political Parties. A New
Typology”, Party Politics, Vol. 9, No. 2, 2003, hlm. 167-199.
254
Stephen Ndegwa, “Kenya: Third Time Lucky?”, Journal of Democracy, Vol. 14,
No. 3, 2003, hlm. 147.
255
Samuel P. Huntington, 1991, The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century, Norman OH, University of Oklahoma Press.
256
Sebastian Elischer, 2013, Political Parties in Africa: Ethnicity and Party
Formation, Cambridge, Cambridge University Press, hlm. 22- 27.
257
Giovanni M. Carbone, “Political Parties and Party Systems in Africa: Themes
and Research Perspectives”, World Political Science Review, Vol. 3, No. 3, 2007, hlm. 1-10.
258
Kenneth Janda, 2005, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical
Perspectives: Adopting Party Law, Washington, The National Democratic Institute for
International Affairs.
263
Michael Washman, “Democratization through Alternation?- Comparing the
cases of Ghana, Kenya, and Senegal”, Paper prepared for delivery at the Annual Meeting of
the Swedish Political Science Association, Gothenburg, 30 October 2011.
264
Constitution of Benin 1990 Art 4-6; Constitution of Ghana 1992 (as amended
1996)sections 3(1) & (2), 42-56; Constitution of Senegal 2001 (as amended 2009)
Art.4,12, 32, 35 ; and Constitution of Nigeria 1999 (as amended 2010 &2011) sections
40, 221- 229.
270
Goran Hyden (1983), No Shortcuts to Progress: African Development
Management in Perspective, Los Angeles: University of California Press, hlm. 44.
271
Lihat Pasal 70 Konstitusi Uganda (1995).
272
Dan Mudoola (1996), Religion, Ethnicity and Politics in Uganda, Kampala:
Fountain Publishers.
A. PENGANTAR
Populis, radikal dan kadang rasistis. Partai-partai kanan
radikal semakin populer di banyak negara Eropa. Serangan berdarah
di Norwegia memicu diskusi, apakah perkembangan politik ini
memupuk aksi-aksi teror semacam itu. Mereka menentang Uni
Eropa, membenci pendatang, terutama pemeluk agama Islam.
Inilah pemersatu kaum ekstrim kanan di Eropa, meskipun ada
sejumlah perbedaan dari negara ke negara. Partai kanan radikal
populis telah menjadi aktor berpengaruh di panggung politik
di beberapa negara demokrasi Eropa Barat. Mendapatkan suara
terutama sejak pertengahan 1980an dan seterusnya, mereka
mewakili tipe partai terakhir yang muncul di peta politik Eropa
Barat. Kelompok sayap kanan radikal populis lebih beragam
daripada tipe partai lain di kawasan ini, karena mencakup organisasi
yang memiliki latar belakang dan asal usul yang berbeda. Faktor
pemersatu saat ini adalah seruan mereka untuk pembatasan imigrasi
dan diversifikasi etnis, budaya, dan agama masyarakat Europa
Barat, dan prioritas tinggi yang mereka tetapkan untuk politik
ini. Partai politik yang berkampanye menentang imigran asal
minoritas telah muncul dan telah memperebutkan pemilihan di
semua negara Eropa Barat. Misalnya, partai kanan radikal populis
belum berpengaruh secara politis di negara seperti Irlandia, Inggris,
Jerman, Spanyol, Portugal, Yunani, Wallonia dan Italia selatan.
187
Swedia dan Finlandia, sampai saat ini, juga negara-negara yang
tidak memiliki perwakilan signifikan untuk partai semacam itu,
namun parlemen Swedia sekarang memiliki partai ekstrem sayap
kanan kecil dan parlemen Finlandia memiliki partai radikal yang
cukup besar. Partai kanan radikal populis menerima sorotan media
dan perhatian ilmiah baik secara nasional maupun internasional,
karena tampaknya baru dan karena politisi arus utama dan
komentator lainnya bereaksi dengan kuat.
Di Perancis, Marine Le Pen dari Front Nasional berhasil
membuat keberadaan partainya diakui. Jajak pendapat menunjukkan
dukungan meningkat bagi Marine Le Pen di Perancis. Mencari
teman pun tidak susah tampaknya. Nyonya Le Pen memiliki
hubungan baik dengan Lega Nord di Italia dan FPÖ di Austria.
Kedua partai ini sudah bertahun-tahun menolak keberadaan warga
asing dan berpolemik mengenai Eropa.
Kemudian di Hongaria. Pemilu tahun lalu menunjukkan
pergeseran ke kanan. Partai Fidesz memerintah dengan duapertiga
mayoritas dan mengubah konstitusi yang berlaku. Nasionalisme
dipupuk, sementara undang-undang media yang diperketat
menyebabkan semakin banyak jurnalis kritis yang tak bisa bekerja.
Birgit Sippel politisi tingkat Eropa dari partai SPD mengecam
politik yang disebutnya, berjalan mundur dan dibangun atas
pembatasan kelompok.
Di Eropa utara, beberapa negara yang sebelumnya liberal
kini beringsut ke kanan. Di Denmark, politik luar negeri sudah
dipengaruhinya. Penjagaan perbatasan yang belum lama ini
diberlakukan, terjadi atas desakan kaum populis ini. Dalam pemilu
awal tahun ini di Finlandia, partai nasionalis „True Finns“ berhasil
merebut suara yang tidak sedikit. Ketua partai itu, Timo Soini
begitu populernya sehingga dalam sebuah talk-show, kehadirannya
277
Cas Mudde, 2007, Populist Radical Right Parties in Europe, Cambridge:
Cambridge University Press, hlm. 159.
278
Dimitri Almeida, “Europeanized Eurosceptics? Radical Right Parties and
European Integration”, Perspectives on European Politics and Society, Vol. 11, No. 3, 2010,
hlm. 237–253.
279
Catherine Fieschi, James Shields, dan Roger Woods, “Extreme Rightwing Parties
and the European Union: France, Germany and Italy”, dalam Political Parties and the
European Union, 1996, London, Routledge, hlm. 237.
280
Hans-Georg Betz, 1994, Radical Right-Wing Populism in Western Europe,
Houndmills, London, Macmillan, hlm. 11.
281
Michael Keating,“The European Union and the Regions”, dalam Barry Jones
dan Michael Keating, Editors, 1995, In The European Union and the Regions, Oxford:
Oxford University Press.
282
Meijers, loc.cit.
283
Robert Ford, Matthew J. Goodwin, dan David Cutts. “Strategic Eurosceptics
and Polite Xenophobes: Support for the United Kingdom Independence Party (UKIP)
in the 2009 European Parliament Elections”, European Journal of Political Research, Vol.
51, No. 2, 2012, hlm. 204–234.
284
Aleks Szczerbiak dan Paul Taggart, “Opposing Europe: Party Systems and
Opposition to the Union, the Euro and Europeanisation”, SEI Working Papers, No. 36 ,
2000. Baca juga: Yves Bertoncini dan Nicole Koenig, “Euroscepticism or Europhobia:
Voice vs. Exit?”, Policy Paper N. 121, Jacques Delors Institute, November 2014.
285
Marco Tarchi, “Italy: A Country of Many Populisms”, dalam Daniele Albertazzi
dan Duncan McDonnell (Editors), 2007, Twenty-First Century Populism: The Spectre of
Western European Democracy, Basingstoke: Palgrave Macmillan, hlm. 97.
288
Luke March,2011, Radical Left Parties in Europe, London: Routledge, hlm. 130.
289
Ibid., hlm. 105.
290
David Bell, “The French Extreme Left and Its Suspicion of Power”, dalam
Left Parties in National Governments, 2010, Basingstoke: Palgrave Macmillan, hlm. 40.
1. Yunani
Syriza di Yunani adalah contoh kasus karena semakin
menentang integrasi Eropa selama bertahun-tahun: Pada masa-
masa awal tahun 1980an dan 1990an, pendahulu SYRIZA
pada awalnya sangat mendukung integrasi Eropa. Namun, pada
tahun 2000an mereka menjadikan sikap anti integrasi sebagai
inti program. Sikap anti integrasi yang dikombinasikan dengan
status orang asing membuat partai tersebut sebagai kandidat
terdepan dalam sentiment anti disiplin fiskal di Yunani saat mereka
memenangkan pemilihan Januari 2015. Namun, keputusan
terakhir Aléxis Tsípras untuk menerima dana talangan lain
disertai dengan serangkaian langkah-langkah penghematan pada
bulan Juli dan Agustus 2015, telah menunjukkan bahwa Syriza,
sampai batas tertentu, bersedia melampaui oposisi prinsipnya
terhadap Uni Eropa. Pada Juli 2015 tersebut, Tsipras mencetuskan
referendum kepada rakyat Yunani. Referendum itu sejatinya
memberi pilihan kepada rakyat Yunani untuk menyetujui atau
menolak proposal Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Dana
Moneter Internasional (IMF). Dia mendesak rakyat Yunani
memilih ‘Tidak’ agar pemerintah memiliki posisi tawar yang kuat
untuk memulai negosiasi dengan pihak kreditur. Nyatanya, Tsipras
2. Denmark
Pada tahun 2009, partai politik berhaluan kiri seperti the Social
Democrats (SD), the Socialist People’s Party (Socialistisk Folkeparti/
SF), the Radical Liberals (Radikale Venstre2/RV) and the Red-Green
Alliance Unity List (RGA) mengembangkan kemitraan yang erat
untuk menggantikan pemerintah borjuis kanan. Kemitraan dimulai
dengan kesepakatan kerja sama antara SD dan SF. Peran penting
kaum Sosial Demokrat dalam pembangunan negara kesejahteraan
Denmark di abad ke-20 menjadikan Partai Demokrat Sosial sebagai
satu-satunya partai kelas pekerja Denmark yang benar-benar hebat
selama periode tersebut - terutama setelah Perang Dunia Kedua,
ketika Demokrat Sosial menjadi Partai yang menentukan politik
Denmark. Pada umumnya, partai borjuis sayap kanan, khususnya
Konservatif dan Liberal, bersedia melestarikan negara kesejahteraan
Denmark, meskipun dengan enggan, karena mereka menikmati
dukungan yang luar biasa dari penduduk Denmark untuk menjaga
negara kesejahteraan.
Konsensus parlemen kanan-kiri ini efektif pecah pada
dekade pertama abad baru oleh pemerintahan borjuis Anders
3. Finlandia
Perdana Menteri merupakan kepala pemerintahan, sebuah
posisi yang dicalonkan oleh Presiden selaku kepala negara. Menurut
konstitusi 2000, Presiden mengajukan calon kepala pemerintahan
sesudah partai-partai di parlemen menyepakati komposisi kabinet
dan program-program pemerintahan. Seorang kandidat Perdana
Menteri harus memperoleh dukungan mayoritas absolut suara
parlemen. Jika suara tidak tercapai, maka harus dilakukan
negosiasi ulang mengenai komposisi dan program pemerintahan.
Selanjutnya, kandidat yang disepakati diajukan oleh kepala negara
dan harus memperoleh dukungan absolut parlemen. Jika tetap tidak
memperoleh suara yang dimaksud, maka parlemen mengadakan
pemilihan kandidat kepala pemerintahan dan hasilnya akan
disahkan oleh Presiden.
Prosedur di atas pertama kali digunakan untuk memilih
Anneli Jäätteenmäki sebagai Perdana Menteri pada tahun 2003.
Sebelum Konstitusi baru mulai berlaku, kekuasaan formal
menunjuk Perdana Menteri dan kabinet merupakan hak istimewa
Presiden, dengan diskresi yang bisa menyimpang dari prinsip-
prinsip parlementer, walaupun menteri yang ditunjuk harus
memiliki kepercayaan lembaga perwakilan. Meskipun Perdana
Menteri adalah salah satu tokoh politik terkemuka di negara
tersebut, dia tidak sekuat rekan-rekannya di Eropa utara. Hal ini
terutama karena tidak ada partai yang memiliki kesempatan realistis
4. Islandia
Ketika monarki konstitusional diperkenalkan di Denmark
pada tahun 1849, Islandia masih merupakan bagian dari Kerajaan
Denmark. Reformasi 1849 memberikan kekuasaan legislatif ke
parlemen Denmark yang baru, namun berbagi kekuasaan dengan
Raja selaku kepala negara yang harus menyetujui semua undang-
undang dengan pengesahan. Raja juga mengendalikan penunjukkan
menteri sampai tahun 1901. Penghapusan absolutisme di Denmark
memicu tuntutan akan otonomi politik yang lebih besar bagi
Islandia. Pemimpin pergerakan kemerdekaan Islandia berpendapat
bahwa sebagai negara yang terpisah, Islandia harus memiliki
parlemen dan pemerintahan sendiri. Pada tahun 1845 parlemen
setempat (Alþingi) dipulihkan namun hanya sebagai badan
konsultatif tanpa kekuasaan. Kemudian pada tahun 1874 Alþingi
diberi kekuasaan legislatif dalam urusan dalam negeri Islandia.
Raja selaku kepala negara masih mempertahankan hak veto, dan
Islandia tetap berada di bawah kekuasaan administratif Denmark.
Tetapi bagi kaum nasionalis Islandia, reformasi terlalu terbatas
sehingga mereka menuntut lebih banyak otonomi. Namun, ketika
itu tuntutan tidak mencakup pelaksanaan demokrasi parlementer.
Perlu dicatat bahwa penerapan demokrasi parlementer di
Islandia dan Denmark merupakan hasil persaingan kekuasaan
antara raja dan mayoritas parlemen di majelis rendah Denmark
(Folketing), di mana Islandia tidak memiliki perwakilan.
Akhirnya, Raja mengakui pada tahun 1901 bahwa para menteri
membutuhkan dukungan dari mayoritas parlemen. Setelah konsesi
ini raja memiliki peran politik yang tidak signifikan. Titik balik
5. Norwegia
Sejak tahun 1981, sistem politik Norwegia telah mengalami
dua perubahan mendasar. Pertama, deregulasi dan privatisasi yang
ekstensif dengan dukungan seluruh kekuatan parlemen, kecuali
the Socialist Left Party (SV) dan the Centre Party (SP). Kedua,
seluruh partai menyetujui integrasi ekonomi Norwegia dengan
Eropa. Tindakan ini menyebabkan kebijakan ekonomi yang sudah
ditempuh tidak dapat dievaluasi dan bahkan justru menuntut
tindakan-tindakan lain yang cenderung neoliberal.
Perdana Menteri merupakan kepala pemerintahan
Norwegia. Perdana Menteri dan Kabinet (yang terdiri dari semua
kepala departemen pemerintahan) secara kolektif bertanggung
jawab atas kebijakan dan tindakan mereka kepada Parlemen
Norwegia. Norwegia memiliki sebuah konstitusi, yang diadopsi
pada 17 Mei 1814. Posisi Perdana Menteri diatur dengan
undang-undang. Perdana Menteri Modern memiliki keterlibatan
dalam proses legislasi, namun asalkan memperoleh dukungan
parlementer, mereka dapat mengendalikan legislatif dan eksekutif
(Kabinet) dan karenanya memiliki kekuatan de facto yang cukup
besar. Tidak seperti praktik sistem pemerintahan sejenis di Eropa,
Perdana Menteri Norwegia tidak berwenang memberikan usul
kepada kepala negara (raja atau ratu) untuk membubarkan
parlemen dan mengusulkan pemilu dini. Konstitusi mensyaratkan
bahwa parlemen menjalani masa jabatan 4 tahun. Jika Perdana
6. Swedia
Demokrasi parlementer dilaksanakan di Swedia. Perdana
Menteri merupakan kepala pemerintahan. Jauh sebelum jabatan
perdana menteri dibentuk pada 1876, posisi eksekutif menyatu
dalam diri kepala negara yang juga pemimpin monarki (raja). Louis
Gerhard De Geer, arsitek sistem bikameral, kemudian menjadi
orang yang pertama kali menjadi perdana menteri pada 1876. Sejak
1917, sistem parlementer telah mantap dilaksanakan, di mana
249
vs. Exit?”, Policy Paper N. 121, Jacques Delors Institute,
November 2014.
Amir Abedi dan Stephen G. Schneider, “Federalism, Parliamentary
Government, and Single-Party Dominance: An Examination
of Dominant Party Regimes in Canada, Australia, Germany,
and Austria.” Paper presented at the Annual Meeting of the
American Political Science Association, Philadelphia.
Ann L. Craig dan Wayne A. Cornelius, “Houses Divided: Parties
and Political Reform in Mexico”, dalam Scott Mainwaring
dan Timothy R. Scully (Editors), 1995, Building Democratic
Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford: Stanford
University Press.
Anthony J. McGann, 1999, The Modal Voter Result: Preference
Distributions, Intra-Party Competition, and Political
Dominance, Unpublished Ph.D. dissertation, Department
of Political Science, Duke University.
Antonia Martínez Rodríguez, “Parliamentary Elites and the
Polarization of the Party System in Mexico”, dalam Mónica
Serrano (editor), 1998, Governing Mexico: Political Parties
and Elections, London: Institute of Latin American Studies.
A Riaz, “Bangladesh’s Failed Election”, Journal of Democracy, Vol.
25, No. 2, 2014.
Basil Chubb, 1992, The Government and Politics of Ireland, London,
Longman.
Beatriz Magaloni, “Comparative Autocracy.” Presented at
Research Frontiers in Comparative Politics conference, Duke
University.
Becerra et al., 21-22 Ricardo Becerra, Pedro Salazar, dan Jose
Woldenberg, 2005, The Mechanism of Political Competition
in Mexico, Mexico City, Cal y Arena.
269