Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Tentang
Teori Belajar Behaviouristik, Kognitif dan Konstruktivistik
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas pada mata kuliah PTIK

Disusun Oleh:

Lucky Ardian Putra


[2010013411001]

Dosen Pembimbing

Dr.Eril Syahmaidi, M.Pd

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Bung Hatta
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Teori
Belajar Behaviouristik, Kognitif dan Konstruktivitif.

Terima kasih saya ucapkan kepada Dosen Matakuliah PTIK yang telah


membantu kami baik secara moral maupun materi. Terima kasih juga saya ucapkan
kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kami sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa Makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca
guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga Maklah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat
untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

[Mandailing Natal, 28 Desember 2020]


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apasih teori itu? Dalam Wikipedia teori memiliki arti serangkaian bagian atau
variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah
pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar
variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Secara umum, teori
merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.

Jadi teori merupakan serangkaian ide yang diperoleh berdasarkan fakta yang itu
bisa berkembang lagi tergantung dari pandangan setiap orang.

Belajar tidak hanya mengumpulkan dan menghafal sebanyak mungkin


informasi. Tetapi belajar juga dari mengamati, meniru, bereksperimen, melihat,
mendengar, dan membaca. Ernest R. Hilgard dalam Introduction to Psychology
menjelaskan pengertian belajar sebagai suatu proses perubahan kegiatan, reaksi
terhadap lingkungan.

Teori belajar merupakan  landasan terjadinya suatu proses belajar yang


menuntun terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan
sebagai integrasi prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi
tercapainya tujuan pendidikan. Teori belajar akan memberikan kemudahan bagi
guru dalam menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Banyak ditemukan teori belajar yang menitik beratkan pada perubahan tingkah
laku setelah proses pembelajaran.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber


belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang
diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada
peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu
peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang
individu berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman
dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, beberapa masalah yang akan di bahas
dalam makalah ini antara lain :
1. Apakah yang dimaksud dengan teori belajar?
2. Apa itu teori belajar behaviouristik?
3. Apa itu teori belajar kognitif?
4. Apa itu teori belajar konstruktivistik?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah tentang Teori Belajar Behaviouristik, Kognitif


dan Konstruktivitif yaitu agar lebih mengenal lebih jauh apa itu teori belajar
tersebut.

D. Kegunaan Penulisan

Kegunaan dari Penulisan ini adalah untuk mengetahui dapat mengetahui


bagaimana Model Pembelajaran Behavioristik, dapat mengetahui Model
Pengajaran Kognitivistik, dapat mengetahui bagaimana model Pengajaran
Konstruktivistik
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Behaviouristik


Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dianut
oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman. Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri dan penganut teori ini
antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner.

Teori belajar behavioristik sendiri merupakan teori belajar yang lebih


mengutamakan pada perubahan tingkah laku siswa sebagai akibat adanya stimulus
dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami
siswa dalam hal kemampuannya yang bertujuan merubah tingkah laku dengan cara
interaksi antara stimulus dan respon (Nahar, 2016).

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh
terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang
dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi  antara stimulus dan respon (Slavin,


2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input
yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan
respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:

 Reinforcement and Punishment;


 Primary and Secondary Reinforcement;
 Schedules of Reinforcement;
 Contingency Management;
 Stimulus Control in Operant Learning;
 The Elimination of Responses

(Gage, Berliner, 1984).

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku
akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret, yaitu yang dapat diamati, atau
tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula
dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek;
(2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon

Teori Behaviouristik dengan model hubungan stimulus-responnya,


mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.

Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang


membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak
yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan
harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau puji.

 Ciri-ciri Aliran Behavioristik

Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,


menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh
adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi
terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar. Dalam hal konsep
pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioristik.
Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk

memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau
situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai
pendidikannya sendiri.

 Tokoh-Tokoh Aliran Behavioristik

Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike,


Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-
karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya
dalam pembelajaran.
1. Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus


dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak
dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama,
menurut

Thorndike yakni:

(1) hukum efek;

(2) hukum latihan dan

(3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).

Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat


respon.

2. Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan


respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni,
karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi
Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik
semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

3. Teori Belajar Menurut Clark Hull


Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh
teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua
fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap
bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan
pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh kegiatan selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan
dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan
mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam
proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru
harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus
dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak
boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5. Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli


konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar
secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang
diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang
diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000).
Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus
memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan
bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk
menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap
alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

 Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan


tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik.
Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran
seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu


menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi
sekadar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi


tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan
respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran
atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berpikir


linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa
belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar
menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekadar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak


menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa
yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie,
yaitu:

Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat


sementara;

Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;

Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun


salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadang kala lebih buruk
daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda
dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus
dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang
pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif
menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.
B. Teori Belajar Kognitif

Teori perkembangan kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget,


seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan
banyak konsep utama dalam lapangan psikolog perkembangan dan berpengaruh
terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan
untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis
dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas
munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang
mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat
seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara
mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti
teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan
pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita
membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan
sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget
memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk
memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan
semakin canggih seiring pertambahan usia:

Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)

Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)

Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)

Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

 Periode sensorimotor

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga


dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui
diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama
dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai
perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-
tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan
berhubungan terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai
empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-
kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai
sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara
penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan
sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat
objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau
dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas
sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan
cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan
tahapan awal kreativitas.

 Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan
mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia
dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis
yang muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur
melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini
adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam
tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan
gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan
untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek
menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau
bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya
berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan
muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak
mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan
benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih
menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka
cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan
bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami
bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan,
kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki
pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak
hidup pun memiliki perasaan.

 Tahapan operasional konkrit

Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia
enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang
memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:

1. Pengurutan—kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran,


bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran,
mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling
kecil.
2. Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi
serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain,
termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda
lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan
logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan
berperasaan)
3. Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu
permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh, anak tidak akan
lagi menganggap bahwa cangkir yang pendek tapi lebar memiliki isi lebih
sedikit dibanding cangkir yang tinggi tapi ramping.
4. Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat
diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan
cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4,
jumlah sebelumnya.
5. Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-
benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek
atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang
seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke
gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak
dengan isi cangkir lain.
6. Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari
sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara
yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti
menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian
Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali
ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu
bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

 Tahapan operasional formal

Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif


dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun
(saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah
diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan
menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang
dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala
sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di
antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat
terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa
secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan
sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai
seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

 Proses perkembangan

Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan.


Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa
kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami
dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang
terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan
Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan
pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan,
informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau
mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin
memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila
pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan
beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit.
Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu
memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk
memasukkan jenis burung yang baru ini.

Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang


sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung
memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke
dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung
kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu
pada skema burung si anak.

Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau


penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema
yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru
sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya
tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh
mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.

Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah


dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya.
Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai
keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya
dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar
keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses
penyesuaian di atas.
Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima
pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi
pengetahuannya.

C. Teori Belajar Konstruktivistik

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat


generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui
dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis. 

Pengertian, Ciri-Ciri Dan Definisi Konstruktivistik Menurut Ahli:

1. Karli (2003:2) menyatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu


pandangan tentang proses pembelajaran yang (perolehan pengetahuan)
diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui
pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun
oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
2. Poedjiadi (2005:70) juga menyampaikan bahwa “konstruktivisme bertitik
tolak dari pembentukan pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan, yaitu
mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau
dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi
dengan lingkungannya”. 
3. Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa
pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang
yang sedang belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya
sendiri (Kukla, 2003: 39).
4. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri
(Matthews, dalam Paul Suparno,1997 : 18-17).
Konstruktivistik merupakan perkembangan teori belajar Kognitif.
Kostruktivisme berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan adalah suatu proses
pembentukan yang terus menerus berkembang dan berubah. Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang tertentu atau tetap, melainkan suatu
proses untuk menjadi tahu.

Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan
dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini
pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima
pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan
kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam
pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan
seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas
guru adalah memfasilitasi proses tersebut, dengan: 

1. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa;


2. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri;
dan
3. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme


adalah suatu pandangan yang mendasarkan bahwa perolehan pengetahuan atau
konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar yang diawali dengan
terjadinya konflik kognitif yang pada akhir proses belajar pengetahuan akan
dibangun oleh melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya. 

Konstruktivistik dapat dilakukan dengan memberikan masalah pada siswa.


Pemberian masalah dimaksudkan untuk merangsang siswa agar berpendapat dan
berpikir kritis ketika mereka dihadapkan pada fakta-fakta baru. Siswa diperlakukan
sebagai pemikir-pemikir, atau dilatih untuk menjadi pemikir, bukan hanya sebagai
penerima pasif pengetahuan. Pembelajaran konstruktivistik lebih menekankan
kepada peningkatan keterampilan proses belajar, tidak semata-mata pada hasil
belajar. Untuk mencapai tujuan belajar, strategi yang dijalankan guru adalah
menciptakan belajar kolaboratif, yang memungkinkan pembahasan suatu masalah
dari berbagai sudut pandang.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.


2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya mampu membina
pengetahuan mereka secara mandiri.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui
proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan
dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya
tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivistik 

1. Yuleilawati (2004:54) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran konstruktivis


menurut beberapa literatur yaitu sebagai berikut:
2. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah
ada sebelumnya
3. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia 
4. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman
5. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui
berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi
atau bekerja sama dengan orang lain.
6. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian
harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang
terpisah.

Sedangkan menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/ Jurnal/43/rusdy-a-


siroj.htm) ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah :

1. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang


telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan.
2. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua
mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan
dengan berbagai cara.
3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan
dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu
konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya
transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan
orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama
antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis
sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik
dan siswa mau belajar.

Pembelajaran konstruktivistik dapat dikenali melalui ciri-cirinya yang antara lain


sebagai berikut:

1. Adanya kerjasama;
2. Saling menunjang;
3. Menyenangkan, tidak membosankan; 
4. Belajar dengan bergairah;
5. Pembelajaran terintegrasi;
6. Menggunakan bebagai sumber;
7. Siswa aktif, sharing dengan teman;
8. Siswa kritis, guru kreatif;
9. Laporan kepada orang tua berwujud, rapor, hasil karya siswa, laporan
praktikum, dan karangan siswa, dll.

Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip


konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri,
baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari
guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa
aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep
menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4)
guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
siswa berjalan mulus. 

Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan


beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan,
mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan
untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.
 Langkah-langkah Pembelajaran Konstruktivistik 

Paul Suparno (1997 : 69-70) menjelaskan beberapa ciri mengajar konstruktivistik


adalah sebagai berikut :

1) Orientasi.

Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam


mempelajari suatu topik dan murid di beri kesempatan untuk mengadakan
observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.

2) Elicitasi. 

Murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi,


menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk
mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar atau poster. 

3) Restrukturisasi ide yang terdiri dari tiga hal yaitu :

 Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau lewat teman
diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain,
seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak
cocok dan sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
 Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya
bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan
yang diajukan teman-teman.
 Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan ada
baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan
atau persoalan yang baru.
 Penggunaan ide dalam banyak situasi.

Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan
pada bermacam-macam situasi yang dihadapai. Hal ini akan membuat pengetahuan
murid lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam
pengecualiannya.

 Review, bagaimana ide itu berubah.

Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi sehari-hari,


seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu
keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.

Dari langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan


kostruktivistik di atas maka tugas guru adalah menjadi mitra yang aktif bertanya,
merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan pebelajar
mengungkapkan gagasan atau konsepnya, serta kritis menguji konsep siswa. Yang
terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apapun adanya
sambil menujukkan apakah pemikiran itu jalan atau tidak. Guru harus menguasai
bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan
siswa yang berbeda.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 MODEL PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK

 Teoribelajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan


oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman

Tujuan pembelajaran menurut Behavioristik adalah behavioral learning ourcome


yang dinyatakan secara spesifik, seperti :

 A – Audience adalah siswa


 B – Behavior perilaku atau kompetensi yang perlu di tampilkan setelah
proses belajar dilakukan, seperti “ menjawab pertanyaan ‘
 C – Condition setelah menyelasaikan unit pelajaran yang dievaluasi diakhir
proses pembelajaran.
 D – Degres yaitu pencapaian hasil belajar, misalnya 90 %

 MODEL PEMBELAJARAN KOGNITIF

Metode pembelajaran kognitif merupakan salah satu metode pembelajaran


yang menitih beratkan pada bagaimana peserta didik berpikir, Winkel (1996: 53)
dalam bukunya mengatakan bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau
psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan
dan nilai sikap.
 MODEL PEMBELAJARAN  KONSTUKTIVISTIK

 Memberikan keaktifan terhadap seseorang untuk belajar menemukan sendiri


kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna
mengembangkan dirinya sendiri.

Ada empat prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran :

 Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam


 Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan
akomodasi.
 Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih dari proses
mekanik yang akumulatif.
 Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan
struktur kognitif. Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses refleksi dan
resolusi konflik.

B. Kritik dan Saran

Penyusunan materi dalam makalah ini sudah cukup baik, namun masih
banyak memiliki kekurangan khususnya kelengkapan materi. Untuk itu penulis
mengharapakan kritik dan saran dari para pembaca agara kelak penulis dapat
membuat makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik#:~:text=Teori
%20belajar%20behavioristik%20adalah%20sebuah,Hull%2C%20Guthrie%2C
%20dan%20Skinner.

https://www.kompasiana.com/alvinzahro/5adc9188cf01b4734e01b842/teori-
belajar-behavioristik-tingkah-laku

https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif

https://id.wikipedia.org/wiki/Konstruktivisme#:~:text=Teori%20Konstruktivisme
%20didefinisikan%20sebagai%20pembelajaran,makna%20dari%20apa%20yang
%20dipelajari.&text=Unsur%20terpenting%20dalam%20teori%20ini,dengan
%20pemahamannya%20yang%20sudah%20ada.

http://meaningaccordingtoexperts.blogspot.com/2017/04/pengertian-ciri-ciri-dan-
definisi.html

http://www.depdiknas.go.id/ Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm

Anda mungkin juga menyukai