Anda di halaman 1dari 31

ISLAM PADA MASA KHULAFAUR

ROSYIDIN:
Bentuk Administrasi, Situasi Sosial Budaya dan Politik, Model Peralihan
Kepemimpinan, Beberapa Konflik Sosial dan Munculnya Sekte-Sekt eDalam
Islam

Makalah ditulis guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Yang dibina oleh Hasyim Amrullah, M.A

Disusun oleh:

Zulfa Rohmatus Sa’adah (19150095)

Devi Mufidatul Maulidiya (19150096)

Salwa Safira Az Zahroh (19150097)

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

Mei, 2020

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 3

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penulisan ... 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Bentuk-bentuka dministrasi pemerintahan dan politik serta situasi


social budaya pada masa Khulafaur Rasyidin

2.1.1 Abu Bakar As-Shiddiq … 4


2.1.2 Umar Bin Khattab … 5
2.1.3 Utsman Bin Affan … 7
2.1.4 Ali Bin AbiThalib … 9
2.2 Model peralihan kepemimpinan pada masa Khulafaur Rasyidin
2.2.1 Abu Bakar As-Shiddiq … 11
2.2.2 Umar Bin Khattab … 12
2.2.3 Utsman Bin Affan … 12
2.2.4 Ali Bin AbiThalib … 13
2.3 Konflik sosial pada masa Khulafaur Rasyidin dan munculnya sekte-sekte
dalam Islam … 13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan …

3.2 Saran …

DAFTAR PUSTAKA… 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sejarah peradaban islam memiliki arti yang sangat penting dan tidak bisa
kita abaikan begitu saja. Karena dengan sejarah, kita bisa mengetahui apa yang
telah terjadi pada zaman terdahulu. Kita jugabisa mengerti bagaimana bentuk
pemerintahan islam, kondisi social budaya, dan berbagai peristiwa penting pada
zaman Nabi Muhammad SAW. Tak berhenti disitu saja, kita juga bias mengerti
apa yang terjadi pada zaman Khulafaur Rasyidin. Diantaranya yaitu bentuk
administrasi, situasi sosial budaya dan politik, model peralihan kepemimpinan,
beberapa konflik sosial serta munculnya sekte-sekte dalam islam.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana bentuk administrasi, situasi sosial budaya, dan politik pada


masa Khulafaur Rasyidin?
2. Bagaimana model peralihan kepimpinan pada masa Khulafaur Rasyidin?
3. Bagaimana konflik sosial dan munculnya sekte- sekte dalam islam?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui bentuk administrasi, situasi sosial budaya, dan politik pada


masa Khulafaur Rasyidin.
2. Mengetahui model peralihan kepimpinan pada masa Khulafaur Rasyidin.
3. Mengetahui konflik sosial dan munculnya sekte- sekte dalam islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bentuk – Bentuk Administrasi, Situasi Sosial Budaya, dan Politik Masa
Khulafaur Rosyidin

2.1.1 Abu Bakar Ash Shiddiq

Pada awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman dari umat


Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Di antara pertentangan tersebut
ialah timbulnya orang-orang yang murtad (kaum Riddah), orang-orang yang tidak
mau mengeluarkan zakat, orang-orang yang mengaku menjadi Nabi seperti
Musailamah Al Kazzab dari bani Hanifah di yamamah, Sajah dari bani Tamim, Al
Aswad al Ansi dari yaman dan Thulaihah ibn Khuwailid dari Bani Asad, serta
beberapa pemberontakan dari beberapa kabilah. Untuk mengembalikan mereka
pada ajaran Islam, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq membentuk sebelas pasukan
dengan pemimpinnya masing-masing. Setiap pemimpin pasukan mendapat tugas
untuk mengembalikan keamanan dan stabilitas daerah yang ditentukan. Abu
Bakar menyampaikan wasiat kepada pasukan untuk tidak berkhianat, tidak
menipu, tidak melampaui batas, tidak mencincang musuh, tidak membunuh anak-
anak atau wanita atau orang lanjut usia, tidak memotong kambing atau unta
kecuali untuk dimakan. Allah memberikan dukungan kepada kaum Muslimin
dalam pertempuran ini sehingga berhasil menumpas kemurtadan, memantapkan
Islam di segenap penjuru Jazirah, dan memaksa semua kabilah untuk membayar
zakat.

Selama peperangan Riddah, banyak dari penghafal Al-Qur’an yang tewas.


Umar cemas jika bertambah lagi angka kematian itu, berarti beberapa bagian dari
Al-Qur’an akan musnah. Karena itu, beliau menasehati Abu Bakar untuk
membuat suatu “kumpulan” Al-Qur’an kemudian ia memberikan persetujuan dan
menugaskan Zaid Bin Tsabit karena beliau paling bagus hafalannya. Para ahli
sejarah menyebutkan bahwa pengumpulan Al-Qur’an ini termasuk salah satu jasa
besar dari Khalifah Abu Bakar.

4
Dalamurusanpemerintahan, Abu Bakarmenunjuk Ali bin Abi Thalib,
Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris dan Abu Ubaidah
sebagai bendahara serta Umar bin Khathab sebagai hakim Agung. Untuk daerah
kekuasaan Islam, dibentuklah provinsi-provinsi, dan untuk setiap provinsi
ditunjuk seorang amir. Antara lain Itab bin Asid menjadi Amir kota Mekkah,
Utsman bin Abi Al-Ash menjadi amir kota Thaif, Al-Muhajir bin Abi Umayyah
menjadi amir untuk San’a, Ziad bin Labid menjadi amir untuk Hadramaut, Ya’la
bin Umayyah menjadi amir untuk Khaulan, Abu Musa Al-Ansyari menjadi amir
untuk Zubaid dan Rima’, Muaz bin Jabal menjadi amir untuk Al-Janad, Jarir bin
Abdullah menjadi amir untuk Najran, Abdullah bin Tsur menjadi amir untuk
Jarasy, Al-Ula bin hadrami menjadi amir untuk Bahrain, sedangkan untuk Iraq
dan Syam (Syria) dipercayakan kepada para pemimpin Militer.

Para Amir tersebut bertugas sebagai pemimpin agama, juga menetapkan


hukum dan melaksanakan undang-undang. Artinya seorang amir di samping
sebagai pemimpin agama, juga sebagai hakim dan pelaksana tugas kepolisian.
Namun demikian, setiap amir diberi hak untuk mengangkat pembantu-
pembantunya, seperti katib, amil, dan sebagainya.

Khalifah Abu Bakarmembentuk sebuah lembaga mirip Bait Al-Mal yang


mengelolaharta zakat, infak, sedekah, harta rampasan, dan lain-lain. Harta tersebut
digunakan untuk gaji pegawai negara dan kesejahteraan umat sesuai dengan
aturan yang ada.Diriwayatkan bahwa Abu Bakartidak pernah mengambil uang
dari baitul mal. Karena menurutnya, ia tidak berhak sesuatu dari baitul mal umat
Islam. Oleh karena itu, selama menjadi kholifah, ia tetap berdagang untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari hari.

2.1.2 Umar bin Khatab

Pada zaman KhalifahUmar bin Khattab, umat Islam mengalami kemajuan


di bidang tata administrasi
pemerintahan.Sejumlahkebijakandanperaturanbarujugaditetapkan,
sepertiadanyasistemgaji,administrasi pajak tanah, didirikannyapengadilan-
pengadilan, dan pemisahanantarabidang yudikatif dan eksekutif. Penguatan sistem

5
keuangan juga dilakukan, yakni dengan dibangunnya lembaga baitul mal,
mencetak mata uang, mengadakan Hisbah, yaitu pengontrolan terhadap
pasar,sertadiciptakannya timbangan dan takaran. Ada juga pengaturan
administratif lain berupaperjalanan pos dan menetapkan tahun Hijriah,penjagaan
terhadap tata tertib dan susila, dan pengawasan terhadap kebersihan jalan. Hal ini
bertujuanuntuk mempermudah dan mengontrol setiap wilayah kekuasaan Islam
yang semakin luas. Dengan begitu, Umar Bin Khattabdapat mengetahui dengan
cepat kondisi wilayah kekuasaannya. Dalam masa pemerintahannya,urusan
ketatanegaraan dikenal dengan sebutan An-Nidhamul. Susunan tatausaha Negara
yang adayaitu: ad-Dawawinu, al-Imaarah ‘alal buldaan, al-Barid, dan asy-Syur-
thah.

 Ad-Dawawinu
Pada mulanya kaum Muslimin berjihad dengan sangat ikhlas, dengan tidak
mengharap sesuatu. Tapi lambat laun, para pejuang itu perlu
diberihartarampasanperang (ghanimah), sesuai dengan perintah Allah. Karena itu
mereka perlu didaftar, hal mana mengharuskan adanya tata usaha.
Beberapa orang ahli tata usaha pemerintahan dari Persia memberi pendapat
kepada Khalifah untuk membuat bukuu-buku daftar untuk bermacam urusan;
juyusy, amwal, dan sebagainya. Maka oleh Khalifah Umar, ditetapkan beberapa
orang Kuttab (sekertaris) untuk menulis/ mengurus beberapa buku daftar urusan.
Umar membentuk dua diwan, yaitu:
1) Diwanul Jund, untuk mendaftarkan para anggota tentara dan urusan yang
lain.
2) Diwanul Kharaj, untuk mengurus uang masuk dan uang keluar

 Al-Imaarah’Alal Buldaan
Pemerintah kabilah dalam kalangan Arab jahiliyah pada asasnya adalah
demokrasi, karena syekhnya (kepala kabilah) dipilih bersama oleh kepala-
kepala asyirah (suku). Pada zaman Umar, daerah-daerah Negara dijadikan
lebih luas. Agar lebih mudah, kemudian dibagi ke dalam beberapa propinsi,
yaitu: wilayah Al-Ahwaz dan Al-Bahrain, wilayah Sajistan, Makran dan

6
Karman, wilayah Thabristan dan wilayah Khurasan, wilayah Irak, wilayah
Syam, wilayah Palestina, wilayah Mesir Atas: wilayah Mesir Bawah dan
Barat, dan Wilayah Padang Sahara Lybia.

 Al-Barid
Dalam masa permulaan Islam ini,soal pos dansuratmenyurattelah diurus,
walaupun sangat sederhana.

 Asy-Syurthah
Khalifah Umar adalah orang yang pertama mengadakan dinas “jaga
malam”.

Dapat disimpulkanbahwa konsep administrasi pada masa Umar terbagidalam


berbagai bidang. Pada masa ini, Umar memberikan gaji kepada para guru yang
mengajar, serta mulai mendatanya. Selain itu,Umar juga membagi wilayahnya
menjadi beberapa provinsi. Urusan administrasi yang lain yaitu dalam hal surat
menyurat atau pos. Beliau juga membentuk tenaga pengamanan untuk berjaga di
wilayahnya.

2.1.3 Usman bin Affan

Untuk pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah, Khalifah Utsman


bin Affan mempercayakan seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi.
Pada masa kekhalifahanUysman, Madinah dibagi menjadi 10 provinsi dengan
masing-masing gubernur/amirnya, yaitu :

· Nafi’ bin al-Haris al-Khuza’i, Amir wilayah Makkah;

· Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, Amir wilyah Thaif

· Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd. Manaf, Amir wilayah
Shana’a

· Abdullah bin Abi Rabiah, Amir wilayah al-Janad;

· Utsman bin Abi al-Ash al-Tsaqafi, Amir wilyah Bahrain;

7
· Al-Mughirah bin Syu’bah al-Tsaqafi, Amir wilayah Kuffah;

· Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari, Amir wilayah Basarah;

· Muawiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus;

· Umair bin Sa’ad, Amir wilayah Himsh;

· Amr bin Ash al-Sahami, Amir wilayah Mesir.

Gubernur atau Amir adalah wakil khalifah di daerah untuk melaksanakan tugas
administrasi pemerintahan dan bertanggungjawab kepadanya.

Sedangkandalamhalperluasanwilayah, Utsman harus bekerja lebih keras


lagi dalam mempertahankan dan melanjutkan perjuangan panji Islam. Karena
pada pemerintahan sebelumnya telah tersiar negeri-negeri yang sudahditaklukan
oleh Islam, sehingga ada ancaman danpemberontakan berbalik dari pihak
mereka.Akan tetapi, Utsman dapat meredakan dan mengatasinya dengan
baik.Bahkan pada masa ini, Islam berhasil tersebar hampir ke seluruh belahan
dunia, mulai dari Anatoliadan Asia kecil, armenia, Kaukus, Bulukhistan,
Afganistan, Azarbaijan, Kurdistan, Heart, Tus, Naisabur, Samarkand, Tashkent,
Turkmenistan, Khurasan dan Thabrani Timur hingga Timur Laut seperti Libya,
Aljazair, Tunisia, Maroko dan Ethiopia.

Utsman juga membentuk armada laut Islam yang pertama.Sebenarnya,


idemembuat armada laut sudah ada sejak kekhalifahan Umar bin Khathab,namun
ketika itu Umar menolaknya, karena khawatir akan membebani kaum Muslimin
pada saat itu.Pada kekhalifahan Utsman, Muawiyah meminta izin
untukpembentukanarmada laut,dengantujuan menghadapi serangan-serangan
angkatan lautRomawi di daerah-daerah pesisir provinsinya.Permohonan itu di
kabukan, dengan syarat pembuatan armada laut tersebut tidak memaksakan kaum
muslimin,hanya oarang-orang sukarela membuatnya. Muawiyah menyetujuinya,
dan pembuatan armada aut terlaksana dengan baik, sehingga dapat merebut
kekuasaan wilayah Romawi.

Selain membangun armada laut, Utsman bin Affan juga membangun


sebuah bendungan yang besar untuk melindungi Madinah dari bahaya banjir dan
mengatur persediaan air untuk kota. Ia juga membangun jalan, masjid, jembatan,

8
rumah tamu di berbagai wilayah dan memperluas Masjid Nabawi.Jalan-jalan
menuju ke Madinah dilengkapi dengan fasilitasbagi para pendatang. Tempat-
tempat persediaan air dibangun di Madinah,kota-kota padang pasir,dan di ladang-
ladang peternakan unta dan kuda.Pembangunan sarana-sarana ini menunjukan
bahwasebagaikhalifah, Utsman bin Affan, sangat peduli dan memperhatikan
kemaslahatan publik.

Pada masa khalifah Abu Bakar, penyusunan Al-Quran dilakukan atas


usulan dari Umar bin Khathab yang kemudian disimpan oleh isteri Nabi Hafsah
binti Umar. Ketika kekhalifahanUtsman Bin Affan, penyebaran Islam
sudahsemakin luas, sehinggabanyak ditemukan perbedaan bacaandalamAlquran.
Maka Utsman menyusun kembali Al-Qur’an yang ada pada Hafsah binti Umar
dan menyeragamkannya kedalam bahasa Quraisy agar tidak terjadi perselisihan
antara umat dikemudian hari. Khalifah Utsman menginginkan agar Al-Quran
tidak mempunyai banyak versi bacaan dan bentuknya, sehingga mushaf berbagai
versi masing-masing kabilah di bakar kecuali mushaf yang sesuai dengan naskah
Al-Quran aslinya. Utsman mampu menghasilkan karya besar, yaitu melakukan
kodifikasi (proses pengumpulan hukum di wilayah tertentu untuk menghasilkan
sebuah undang-undang) Al-Quran yang diserahkan kepada Zaid Bin Tsabit. Karya
ini merupakan karya besar karena melibatkan ratusan penghafal Al-Quran maupun
saksi pertama sejumlah ayat AL-Quran. Selain itu, Utsman juga berhasil
mempersatukan jumlah qiro’ah yang ada menjadi 7 yang dikenal dengan sebutan
Qiro’ah As-Sab’ah.

2.1.4 Ali bin Abi Tholib

Salah satu penyebab utama munculnya protes dari kalangan pemberontak


terhadap khalifah Utsman adalah kebijakan beliau yakni mengangkat para pejabat
yang berasal dari keluarganya (nepotisme). Oleh karena itu, kebijakan pertama
yang diambil oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah melenyapkan reaksi
masyarakat, yaitu dengan memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak disenangi
kaum muslimin, karena kurang menunjukkan prestasi dalam bekerja. Berikut ini
beberapa gubernur yang diangkat sebagai pengganti pejabat di masa Khalifah
Utsman bin Affan:

9
• Sahl bin Hanif sebagai Gubernur Syiria

• Umrah bin Shihab sebagai Gubernur Kufah

• Usman bin Hanif sebagai Gubernur Basrah

• Ubaidah bin Abbas sebagai Gubernur Yaman

• Qais bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir

Selain itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib juga mengangkat beberapa pejabat sebagai
berikut:

• Abdullah bin Arqam sebagai Pejabat Perbendaharaan Negara (Baitul Mal)

• Zaid bin Tsabit sebagai Kepala Secretariat Negara (Ad Dawawin)

• Qutsam bin Tsabit sebagai kepala daerah (al Amil) Makkah al Mukarramah

• Tammam bin Abbas sebagai kepala Daerah (al Amil) Madinah al Munawarah

Sebelumnya, padapemerintahan Khalifah Usman bin Affan, banyak para


pejabat yang menguasai harta negara. Tidak sedikit dari mereka yang hidup
mewah, bergelimang harta benda. Sejalan dengan itu, Khalifah Ali Bin Abi Thalib
mengambil kebijakan untuk menarik semua harta yang dianggap milik negara. Hal
itu sengaja dilakukan oleh Ali untuk membersihkan pemerintahannya,

Ali bin Abi Thalib juga membenahisistemkeuangan negara.Langkahawal


yang dilakukanadalahmenyita harta hasil korupsi dari para pejabat kemudian
memecatnya. Harta hasil korupsi itu kemudian dimasukkan ke Baitul Mal untuk
dikelola secara profesional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan taraf
hidup masyarakat.

Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam


bidangilmupengetahuandiantaranyayaitumensistematisasikan bahasa Arab.
Menurutnya, masihbanyak wilayah yang tidak mengerti bahasa Arab, padahal
ajaran Islam disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab. Keprihatinan inilah
yang mendorong Khalifah Ali untuk mensistematisasikan bahasa Arab.Dalam

10
pelaksanaannya, Abu al Aswad ad Duali diperintahkan untuk memberikan tanda
baca pada huruf-huruf Arab. Selain itu, dia juga diperintah untuk menulis buku
yang berisi ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab). Dengan demikian, kaum muslimin
yang bukan berasal dari bangsa Arab juga mampu mempelajari al Qur’an dan
Hadits Rasulullah saw dengan baik.

Bidang pembangunan pun sangat digalakkan pada pemerintahan Khalifah


Ali bin Abi Thalib, terutama kota Kuffah yang menjadi kota pusat kebudayaan
Islam, yaitu pusat ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu nahwu dan berbagai macam ilmu
pengetahuan lainnya.

2.2 Model Peralihan Khulafaur Rosyidin

2.2.1 Pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq

Setelah Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin dihadapkan suatu


problema yang berat, karena sebelum meninggal, Rasulullah tidak meninggalkan
pesan tentang siapa yang akan menggantikan Beliau sebagai pemimpin umat.
Ditengah kekosongan pemimpin tersebut, ada golongan sahabat dari Anshar yang
berkumpul di tempat Saqifah Bani Sa’idah, sebuah tempat yang biasa digunakan
sebagai pertemuan dan musyawarah penduduk kota Madinah. Pertemuan
golongan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah tersebut dipimpin seorang sahabat yang
sangat dekat Rasulullah SAW, ia adalah Saad bin Ubadah tokoh terkemuka Suku
Khazraj.

Pada waktu Saad bin Ubadah mengajukan gagasan tentang siapa yang pantas
menjadi pemimpin, ia menyatakan bahwa kaum Ansharlah yang pantas
memimpin kaum muslimin, dengan argumen bahwa golongan Ansharlah yang
telah banyak menolong Nabi dan Kaum Muhajirin dari kejaran dan penindasan
orang – orang kafir Quraisy. Gagasan ini di setujui oleh golongan Anshar.

Pada saat tokoh Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar bn Khatab, dan Abu
Ubaidah bin Jarrah menuju Saqifah Bani Sa’idah, kaum Anshar sepakat untuk
membaiat Saad bin Ubadah, namun kaum Muhajirin menolaknya. Abu Bakar

11
mengatakanbahwa jabatan khalifah sebaiknya diserahkan kepada kaum Muhajrin.
Alasanya adalah karena kaum Muhajirin yang lebih dulu msuk islam.

Abu Bakar meunjuk dua orang Muhajirin yaitu Umar bin Khattab dan Abu
Ubaidah bin Jarrah. Namun sebelum kaum Anshar merespon usulan Abu Bakar,
Umar dan Abu Ubaidah menolak dan memilih Abu Bakar. Akhirnya Abu Bakar
pun dibaiat. Lalu esok harinya baiat terhadap Abu Bakar secara umum dilakukan
utuk umat muslim di Madinah dan Abu Bakar berpidato. “Saudara-saudara, saya
sudah dipilih untuk memimpin kalian sementara saya bukanlah orang terbaik
diantara kalian. Jika saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu
kepercayaan dan dusta merupakan pengkhianatan. Taatilah saya selama saya taat
kepada Allah dan Rasul Nya. Tetapi bila saya melanggar perintah Allah dan Rsul
Nya, maka gugurlah ketaatanmu kepada Nya”.

2.2.2 Pengangkatan Umar bin Khathab

Abu bakar melihat adanya percekcokan dikalangan kaum muslimin ketika


Rasulullah berpulang ke rahmatullah. Kehendak dan keinginan golongan
yangsimpang siur itu, nyaris menimbulkan perpecahan diantara umat islam.
Beberapa hari sebelum Abu Bakar wafat, bala tentara sedang bertempur dalam
perang yang paling sengit yang pernah dikenal dalam sejarah pada masa itu.
Peperangan itu terjadi antara kaum muslimin melawan tentara Persia dan
Romawi. Abu Bakar berfikir bahwa kalau mereka ditinggalkan begitu saja, tidak
ada kholifah yang akan menggantikan beliau. Sesudah memusyawarahkan hal itu
dengan kaum muslimin, dinyatakan bahwa beliau yang akan menunjuk
penggantinya. Abu bakar mengemukakan Umar Bin Khattab sebagai calon. Karna
menurut Abu Bakar, tidak ada pengganti yang pantas dan sesuai selain Umar Bin
Khattab. Penunjukan Umar sebagai kholifah dilakukan Abu Bakar dengan
menuliskan wasiat sebelumbeliau wafat.

2.2.3 Pengangkatan Utsman bin Affan

Sebelum meninngal, Umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu


Utsman, Ali dan Sa’ad bin Abi Waqos. Seperti yang dikatakan Kholifah Umar
dalam pidatonya,beliautelah membentuk dewan formatur yang bertugas memilih

12
penggantinya kelak. Mereka berjumlah enam orang yaitu Ali Utsman Sa’ad bin
Abi Waqos, Abdurrahman Bin Auf, Zubair bin Awam dan Tholhah bin
Ubaidillah. Mekanisme pemilihan kholifah ditentukan sebagai berikut

a.Yang berhak menjadi kholifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur
dengan suara terbanyak.

b.Apabila suara terbagi secara berimbang, Abdullah bin Umar yang berhak
menentukannya.

c.Apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang
dipilih oleh Abdurrahman bin Auf harus diangkat menjadi kholifah. Kalau masih
ada yang menentangnya, penentang tersebut hendaklah di bunuh.

Hasilnya adalah muncul dua kandidat kholifah yaitu Utsman dan Ali.
Ketika diadakan penjajakan suara diluar sidang formatur, terjadi silang pemilihan
yakni Ali dipilih oleh Utsman, dan Utsman dipilih oleh Ali. Selanjutnya
Abdurrahman bermusyawaroh dengan masyarakat dan sejumlah pembesar diluar
anggota dewan formatur. Ternyata, suara di masyarakat terpecah menjadi dua,
yaitu kubu Bani Hasyim yang mendukung Ali dan kubu Bani Umayyah yang
mendukung Utsman. Maka terpilihlah Utsman sebagai kholifah, karena Utsman
lebih tua dari pada Ali dan ia lebih tegas serta bijaksana dari Ali.

2.2.4 Pengangkatan Ali bin Abi Thalib

Pengukuhan Ali menjadi kholifah tidak semulus pengukuhan tiga orang


kholifah sebelumnya. Ali di ba’iat ditengah suasana berkabung atas meninggalnya
Utsmandanadanyapertentangan serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab,
kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota
Madinah seperti Ali Bin Abi Tholib, Tholhah, Zubair, Sa’ad Bin Abi Waqos Dan
Abdullah Bin Umar Bin Khottob agar bersedia menjadi kholifah, namun mereka
menolak. Kaum pemberontak maupun kaum Anshor dan Muhajirin lebih
menginginkan Ali menjadi kholifah. Namun, ali menolak sebab ia menghendaki
urusan itu diselesaikan melalui musyawaroh. Akan tetapi, setelahrakyat
mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak

13
terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia diba’iat menjadi
kholifah.

2.3 Beberapa konflik sosial pada masa Khulafaur Rosyidin dan munculnya
sekte-sekte dalam Islam

Perang Jamal

a. Latar Belakang terjadinya perang jamal

Setelah Ali bin Abu Thalib dibai’at, Thalhah dan Azzubeir meminta ijin
kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun menginjinkan mereka. Mereka
kemudian bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah disana. Saat itu Aisyah
sudah mendengar kabar bahwa Utsman terbunuh. Maka, mereka semua
berkumpul di Makkah, hendak menuntut balas atas terbunuhnya Utsman.

Tidak lama kemudian, Ya’la bin Munyah dari Bashrah dan Abdullah bin Amir
dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua berkumpul di Makkah juga untuk
menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Mereka lalu keluar dari Makkah diikuti
oleh orang-orang di belakang mereka, pergi menuju ke Bashrah hendak mencarai
pembunuh Utsman. Semua itu mereka lakukan karena mereka memandang bahwa
mereka telah lalai dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali berada di Madinah,
sementara Utsman bin Hunaif adalah gubernur Basharah yang diangakat oleh Ali
bin Abu Thalib.

Sesampainya mereka di Bashrah, Ali menugaskan Utsman bin Hunaif untuk


menanyakan tujuan mereka datang ke Bashrah. Mereka menjawab: “Kami
menginginkan pembunuh Utsman.” Utsman bin Hunaif berkata: “Tunggulah
hingga Ali datang. Ia melarang untuk masuk ke Bashrah. Ketika itulah, Jabalah
keluar menemui mereka. Jabalah ini adalah salah seorang yang terlibat dalam
pembunuhan Utsman. Ia menyerang mereka dengan jumlah pasukan 700 personil.
Namun mereka dapat mengalahkannya dan membunuh personil yang bersamanya.
Sementara banyak juga penduduk Bashrah yang bergabung dengan pasukan
Thalhah, Azzubair, dan Aisyah ini.

14
Ali kemudian keluar dari Madinah, bergerak menuju Kufah. Ini terjadi setelah
ia mendengar kabar bahwa telah terjadi peperangan antara Utsman bin Hunaif,
gubernur tunjukan Ali untuk Bashrah, dengan Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah,
serta orang-orang yang bersama mereka. Ali keluar setelah menyiapkan pasukan
yang berjumlah 10.000 orang untuk menyerang Thalhah dan Azzubeir. Disini kita
melihat secara jelas bahwa Ali bin Abu Thaliblah yang keluar mendatangi mereka
(Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah), bukan mereka yang keluar menuju Ali. Mereka
juga tidak bermaksud memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh sebagian
kelompok dan orang-orang yang terpengaruh oleh isapan jempol terkait
peperangan ini. Jikalau mereka ingin memberontak terhadap Ali, tentunya mereka
akan langsung pergi menuju ke Madinah, bukan ke Bashrah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta


orang-orang yang ikut bersama mereka tidak pernah membatalkan dan menolak
kekhaliahan Ali. Mereka juga tidak mencela, tidak menyebutkan kejelekan, tidak
membai’at orang selain Ali, dan tidak pergi menuju Bashrah untuk menyerang
Ali. Karena, ketika itu Ali memang tidak berada di Bashrah. Oleh karena itu, Al-
Ahnaf bin Qais berkata: “Aku bertemu Thalah dan Azzubeir setelah terjadi
pengepungan terhadap Utsman, lantas bertanya: “Apa yang kalian berdua
perintahkan kepadaku? Karena, aku melihat Utsman telah terbunuh.’ Mereka
berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ Aku kemudian bertemu dengan Aisyah di
Makkah setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman, lalu bertanya: “Apa yang
engkau perintahkan?’ Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.” 1

b. Perundingan jelang meletusnya peperangan

Ali mengirimkan Almiqdad bin Alaswad dan Alqa’qa bin Amr untuk
berunding dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak Almiqdad dan Alqa’qa sepakat
dengan pihak Thalhah dan Azzubeir untuk tidak berperang. Masing-masing pihak
menjelaskan sudut pandang mereka.

Thalhah dan Azzubeir berpendapat bahwa tidak boleh membiarkan pembunuh


Utsman begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat bawa menyelidiki siapa
pembunuh Utsman untuk saat sekarang bukan hal paling mendesak. Namun, hal

15
ini bisa ditunda sampai keadaan stabil. Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash
para pembunuh Utsman. Adapun yang mereka perselisihkan adlah waktu untuk
merealisasikan hal tersebut.

Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur dengan tenang,
sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba – mereka para pembunuh Utsman –
terjaga dan melewati malam yang buruk, karena akhirnya kaum Muslimin sepakat
untuk tidak saling berperang. Demikianlah keadaan yang disebutkan oleh para
sejarawan yang mencatat peperangan ini, seperti Athabari,2 Ibnu Katsir,3 Ibnu
Atsir,4 Ibnu Hazm,5 dan yang lainnya Ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba
sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut dibatalkan. Menjelang
waktu subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka
menyerang pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa orang
diantara pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri. Pasukan Thalhah
mengira bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka
menyerang pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan
Thalhah dan Azzubeir telah berkhianat. Serang-menyerang antara kedua pasukan
ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang pun berkecamuk
dengan heabatnya.

c. Upaya Menghentikan Peperangan

Para pembesar pasukan dari kedua belah pihak telah berupaya


menghentikan peperangan, namun mereka tidak berhasil. Ketika itu Thalhah
berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun mereka tidak
mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk sekali jilatan neraka!
Buruk sekali kerakusan!”6 Ali juga berupaya melerai mereka, namun mereka
tidak menggubrisnya. Aisyah kemudian mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan
membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah
bin Saba membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya. Perang jamal
terjadi pada tahun 36 h atau pada awal kekhilafaan Ali. Perang ini mulai
berkecamuk setelah zhuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu.

16
Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara
Pasukan Jamal (berunta) berjumlah 5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang
oleh Muhammmad bin Ali bin Abu Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal
dipegang oleh Abdullah bin Azzubeir. Pada perang ini banyak sekali kaum
muslimin yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah
agara menyelamatkan pedang-pedang kita darinya. Kita memohon kepada Allah
agar meridhai dan memberi ampunan kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu
dalam perang ini).

d. Terbunuhnya Thalhah dan Azzubeir

Thalhah, Azzubeir, dan Muhammad bin Thalhah tewas terbunuh.


Mengenai Azzubeir, ia sebenarnya tidak ikut serta dalam perang ini. Begitu juga
dengan Thalhah. Karena ada sebuah riwayat menyebutkan bahwasanya ketika
Azzubeir datang pada perang ini, ia bertemu Ali bin Abu Thalib, lantas Ali
berkata kepadanya: “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah pernah bersabda:
‘Engkau akan memerangi Ali sedangkan engkau dalam posisi mendzaliminya.’
“Maka, pada hari itu Azzubeir kembali dan tidak ikut berperang Jadi yang benar
adlah Azzubeir tidak ikut perang. Tetapi apakah dialog yang disebutkan dalam
riwayat itu memang terjadi antara ia dan Ali? Wallahu a’lam. Karena , riwayat ini
tidak memiliki sanad yang kuat. Namun, begitulah yang masyhur dalam buku-
buku sejarah. Ada lagi riwayat yang lebih masyhur, yakni Azzubeir tidak ikut
dalam perang ini, namun ia dibunuh secara diam-diam oleh seorang yang bernama
Ibnu Jurmuz.

Sementara itu, Thalhah terbunuh karena terkena anak panah nyasar.


Namun, yang masyhur, orang yang membidiknya adalah Marwan bin Alhakam.
Bidikan Marwan mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya. Ketika itu ia
sedang berusaha melerai para prajurit yang berperang. Seusai perang, banyak
prajurit yang terbunuh. Khususnya, mereka yang menjaga unta yang dikendarai
oleh Aisyah, karena Aisyah merupakan simbol bagi mereka, bahkan mereka mati-
matian dalam melindunginya. Karena itu, dengan tumbangnya unta Aisyah,
perang pun berhenti dan selesai. Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu Thalib,

17
walaupun sebenarnya tidak ada pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum
Muslimin memperoleh kerugian dalam perang ini.

e. Pasca Terjadinya Peperangan

Pasca Perang Jamal, Ali berjalan di antara para korban yang tewas, lalu
menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Setelah mendudukannya dan
mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu Muhammad, alangkah
berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah bintang-
bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya berkata: “Aduhai, seandainya
aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa ini.10 Setelah itu, Ali melihat
mayat Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari Thalhah), lalu ia menangis lagi.
Muhammad bin Thalhah adalah orang yang dijuluki dengan Assajjad (orang yang
banyak sujud) karena dia banyak beribadah. Seluruh Sahabat yang mengikuti
perang ini, tanpa terkecuali, menyesali apa yang telah terjadi.

Ibnu Jurmuz menemui Ali sambil membawa pedang milik Azzubeir, lalu
berkata: “Aku telah membunuh Azzubeir, aku telah membunuh Azzubeir.”
Mendengar hal itu, Ali berkata: “Pedang ini telah begitu lama menghilangkan
duka dan kesusahan Rasulullah. Berikanlah berita gembira kepada orang yang
telah membunuh Ibnu Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa ia akan masuk Neraka.”
Setelah itu Ali tidak mengijinkan Ibnu Jurmuz untuk menemuinya.11 Pasca
Perang Jamal, Ali menemui Ummul Mukminin Aisyah, kemudian
mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan.
Sebab, dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali agar memuliakan dan
menghormati Aisyah. Diriwayatkan dari Ali; dia berkata bahwasanya Rasulullah
bersabda kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara kau dan Aisyah.” Ali
berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan menjadi orang yang
paling celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya, tapi jika itu terjadi,
maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”12 Maka Ali pun
melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah kepadanya.

f. Mengapa Ali menunda qishash bagi pembunuh Utsman?

18
Ali meninjau masalah ini dari segi maslahat dan mafsadatnya, dan ia
melihat bahwa yang maslahat adalah menunda qishash, tapi bukan
meninggalkannya sama sekali. Inilah yang menjadi alasan ditundanya qishash.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi pada peristiwa ifki, yaitu ketika
sebagian orang menggosipkan Aisyah telah selingkuh. Diantara mereka yang
masyhur menggosipkan Aisyah saat itu adalah: Hassan bin Tsabbit, Hammah binti
Jahsy, dan Misthah bin Utsatsah. Sementara yang menjadi penyulutnya adalah
Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika itu, Nabi naik ke atas mimbar, kemudian
bersabda: “Siapa yang membelaku terhadap seseorang yang menyakitiku dengan
menyakiti keluargaku?” Yang beliau maksud dengan orang itu adalah Abdullah
bin Ubay bin Salul. Maka, Sa’ad bin Mu’adz pun berdiri dan berkata: “Aku yang
akan membelamu, wahai Rasulullah! Apabila orang itu berasal dari kami, orang-
orang Aus, maka kami akan membunuhnya. Apabila orang itu berasal dari saudara
kami, orang-orang Khazraj, maka perintahkanlah pada kami untuk membunuhnya.

Sa’ad bin Ubadah kemudian berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin
Mu’adz. Setelah itu, Usaid bin Hudhair berdiri dan membantah perkataan Sa’ad
bin Ubadah. Nabi pun menenangkan mereka.13 Nabi tahu betul bahwa ini
merupakan masalah besar. Sebelum kedatangan nabi ke Madinah, suku Aus dan
Khazraj sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin
mereka. Maka dari itu, orang ini mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
pandangan mereka. Dialah yang kembali bersama sepertiga pasukan pada saat
Perang Uhud. Dalam hal ini, Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay bin
Salul. Mengapa demikian? Karena, maslahat. Menurut pandangan beliau,
menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul ketika itu akan menimbulkan kerusakan
yang lebih besar daripada apabila beliau membiarkannya.

Demikian juga dengan Ali. Ia berpandangan bahwa menunda qishash akan


menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Selain itu,
pada masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu untuk mengqishsash para
pembunuh Utsman, karena orang-orangnya belum diketahui, walaupun memang
ada otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai kabilah-kabilah yang akan
membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih, dan fitnah saat itu masih

19
terjadi. Siapa yang berani menjamin bahwa mereka tidak akan membunuh Ali?
Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa dipastikan mereka akan
membunuhnya setelah itu.

Oleh karena itu, ketika tampuk kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia


pun tidak membunuh para pembunuh Utsman, mengapa? Karena, pada akhirnya
berkesimpulan sama seperti Ali. Ketika itu Ali melihat realita. Sementara
Mu’awiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya saja. Tapi setelah memegang
tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah melihat kondisi secara riil (di lapangan).
Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk mengqishash sebagian di
antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup sampai jaman Alhajjaj.
Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mereka diqishash
semuanya. Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, tetapi
karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.

Dinukil dari buku terjemahan yang berjudul “inilah faktanya” Meluruskan sejarah
umat islam sejak wafat nabi hingga terbunuhnya husein

Perang Shifin

Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan merupakan sebuah tragedi dalam


sejarah Islam. Pembunuhan yang terjadi akibat ketidakpuasan sebagian muslim ini
sekaligus menandai retaknya persatuan di antara umat Islam yang telah dirintis
oleh Rasulullah. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya stabilisasi politik setelah
wafatnya Utsman. Pasca terbunuhnya Utsman, muncul sebuah konflik baru antara
dua tokoh kuat muslim yakni Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Konflik tersebut bermula dari ketidakmauan Muawiyah untuk berbaiat kepada
Khalifah Ali dan akhirnya menyebabkan pecahnya Perang Shiffin.

Latar Belakang Perang Shiffin

Setelah Perang Jamal dan Ali dibaiat oleh mayoritas kaum Anshar dan
Muhajirin, Ali memindahkan kursi kekhalifahannya dari Madinah ke Kufa. Dari
Kufa, ia mengirim gubernur-gubernur baru yang menerima pemikirannya, untuk
mengambil alih fungsi administraif provinsi-provinsi yang memberontak. Akan

20
tetapi salah satu dari para gubernur itu menolak berbaiat kepadanya, ia dalah
gubernur Syam, Muawiyah ibn Abu Sofyan. Muawiyah merupakan politikus yang
sangat licin dan mempunyai ambisi besar. Perangainya yang lemah lembut dan
tidak segan-segan mengelurkan hartanya, membuatnya menjadi politikus yang
disegani dan memiliki banyak sekutu. Ketika Ali mengutus Jarir bin Abdullah
untuk menyerahkan surat kepada Muawiyah untuk berbaiat, Muawiyah tidak serta
merta menerimanya. Ia justru mengumpulkan Amr bin al-Ash dan tokoh-tokoh
negeri Syam untuk bermusyawarah.

Setelah bermusyawarah, mereka memutuskan untuk menolak berbaiat


kepada Ali hingga para pembunuh Utsman ditumpas atau Ali menyerahkan para
pembunuh tersebut. Jika ia tidak memenuhi permintaan ini maka mereka akan
memerangi Ali dan menolak berbaiat kepadanya hingga mereka berhasil
menghabisi seluruh pembunuh Utsman tanpa sisa. Setelah itu Jarir pulang
menemui Ali dan menceritakan keputusan Muawiyah dan penduduk Syam.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib merespon ancaman Muawiyah dengan
berangkat dari Kufah bertujuan untuk menduduki Syam. Ia mempersiapkan
pasukan di Nukhailah dan menunjuk Abu mas’ud Uqbah bin Amru sebagai amir
sementara di Kufah. Sebelum berangkat beberapa orang menganjurkan agar
khalifah tetap tinggal di Kufah dan cukup mengirim pasukan ke sana, namun
beberapa orang lainnya menganjurkannya supaya turut keluar bersama pasukan.

Ketika berita keberangkatan pasukan Ali sampai kepada Muawiyah, ia


segera bermusyawarah dengan Amr bin Ash yang juga menganjurkan Muawiyah
untuk keluar bersama pasukannya. Amr lalu berpidato di hadapan penduduk Syam
bahwa “Sesungguhnya penduduk Kufah dan Bashrah telah musnah pada perang
Jamal, tidak tersisa bersama Ali kecuali segelintir orang saja. Termasuk
sekelompook orang yang membunuh Khalifah Amirul Mukminin Utsman bin
Affan. Allah Allah! Jangan sia-siakan hak kalian, jangan biarkan darah Utsman
tertumpah sia-sia.” Kemudian ia menulis pesan kepada seluruh pasukan di Syam,
dalam waktu singkat mereka sudah berkumpul dan mengangkat panji-panji bagi
amir masing-masing. Pasukan Syam telah bersiap-siap berangkat. Mereka

21
bergerak menuju Eufrat dari arah Shiffin. Sementara di pihak lain, Ali bersama
pasukannya bergerak dari Nukhlailah menuju tanah Syam.

Pecahnya Perang Shiffin

Kedua kubu saling berhadapan pada Juli 657 di tempat bernama Shiffin, di
hulu sungai Eufrat. Sesampainya di Shiffin kedua pasukan sempat saling berebut
sumber air, hingga menimbulkan konfrontasi kecil. Kemudian kedua pihak
sepakat berdamai dalam urusan air ini. Sehingga mereka saling berdesak-desakan
di sumber air itu, mereka tidak saling berbicara dan mengganggu. Ali berdiam
selama dua hari tanpa mengirim sepucuk surat pun kepada Muawiyah dan
Muawiyah pun juga melakukan hal yang sama. Kemudian Ali mengirim seorang
utusan kepada Muawiyah, namun kesepakatan belum juga tercapai. Muawiyah
tetap bersikeras menuntut darah pembunuh Utsman. Setelah terjadi kebuntuan
dalam negosiasi maka pertempuran antara keduanya pun tidak dapat dihindarkan.
Pada awalnya Ali mengajak Muawiyah untuk bertempur satu lawan satu, supaya
konflik di antara mereka segera usai. Sehingga siapa yang hidup ia adalah yang
menang dan menjadi khalifah. Namun, Muawiyah menolak ajakan itu, hanya Amr
yang mau.

Ketika Ali dan Amr berhadap-hadapan dan menyentak lembing serta


pedang masing-masing, hampir saja Amr tewas oleh pedang Ali. Pedang Alli
telah mengenai pinggangnya, hampir menembus perutnya mengenai tali celananya
dan putus, hingga auratnya terlihat. Ali tidak mau melanjutkan pertempuran itu
dan berbalik menuju tempat lain dan membiarkan Amr menutupi auratnya.
Setelah itu, perempuran besar baru dimulai. Pada awalnya, Muawiyah
mendominasi pertempuran , tetapi akhirnya pasukan Muawiyah dipaksa mundur
karena mendapat serangan keras dari pasukan Ali. Bahkan, beberapa orang
serdadu Ali telah sampai di depan kemah Muawiyah.

Lukisan Perang Shiffin

22
Dalam pertempuran terakhir pada 28 Juli 657 M, pasukan Ali di bawah
pimpinan Malik al-Asytar hampir menang ketika Amr ibn al Ash dengan licik
melancarkan siasatnya. Ia memerintahkan pasukan Muawiyah untuk melekatkan
salinan al-Quran di ujung tombak dan mengangkatnya, sebuah tanda yang
diartikan pasukan Ali sebagai seruan untuk mengakhiri perang dan mengikuti
keputusan al-Quran.

Ketika tombak-tombak pasukan Muawiyah diangkat, tentara Ali tidak


menyerang lagi, padahal mereka hampir menang. Ali sendiri menganggap itu
hanya tipu daya musuh saja. Ia berseru, “Wahai hamba Allah, teruskan merebut
hakmu, teruskan memerangi musuhmu, Muawiyah. Amr bin Ash, Ibnu bin Muith,
Habib bin Muslimah, Ibnu Abi Sarah, dan Dhihak ibnu Qais. Mereka itu bukanlah
ahli agama, bukanlah ahli al-Quran. Aku lebih mengetahui keadaan mereka. Aku
berteman dengan mereka sejak kecil dan sampai dewasa. Pada waktu kecil mereka
hanyalah anak-anak nakal dan pada waktu besarnya mreka laki-laki yang jahat
semata. Mereka mengangkat al-Quran hanyalah rencana mereka. Mereka
mengangkat al-Quran tidak lain hanyalah tipuan.pecayalah pada apa yang
kukatakan.” Orang banyak itu menjawab, “tidak sampai hati kami akan
meneruskan peperangan kalau kami telah diseru kepada kitab Allah.” Pada
awalnya Ali hendak meneruskan peperangan, tetapi suara pengikutnya pecah.
Sebagian dari mereka sudah tidak mau berperang lagi, sehingga Ali terpaksa
menghentikan perang dengan hati yang amat kesal. Perang pun akhirnya berakhir,
dan konflik antar keduanya dilanjutkan ke jalur perundingan.

Dimulainya Perundingan

Setelah perang berhenti, Ali mengutus Asy’ats ibnu Qaist untuk menemui
Muawiyah dan menanyakan tentang tujuan mengangkat al-Quran di atas kepala
tombak. Muawiyah menjawab bahwa maskudnya adalah agar perkara ini
dihukumkan saja menurut hukum Kitabullah. Apa yang diputuskan oleh kedua
orang yang diutus itu, maka kelak akan diterima. Asy’ats tidak melawan usulan
Muawiyah, dan kembali untuk menyampaikannya kepada Ali. Sebelum Ali
menyatakan pikirannya dengan tergesa-gesa banyak orang telah menjawab setuju.
Orang Syam yang mendengar itu lalu berkata bahwa utusan mereka adalah Amr

23
bin Ash. Lalu pengikut Ali (orang Irak) berkata, “Kami memilih Abu Musa al-
Asy’ari.” Ali yang mendengar pendapat kaumnya lalu berkata, “Jika telah kamu
bantah perintahku pada awal perkara ini, sekarang jangalah dibantah pula. Aku
tidak suka berwakil pada Abu Musa.” Abu Musa memang merupakan orang yang
dikenal saleh tapi ia tidak begitu loyal kepada Ali.

Namun, penolakan Ali justru ditekan oleh mayoritas pengikutnya yang


berkehendak untuk mengutus Abu Musa. Sekali lagi Ali terpaksa menurut. Pada
waktu itu, terlihat bahwa pengaruh Ali mulai hilang terhadap pengikutnya. Di sisi
lain, pengaruh Muawiyah semakin menguat kepada pasukannya. Kedua juru
runding memegang dokumen kesepakatan tertulis yang memberikan otoritas
penuh untuk mengambil keputusan. Keduanya memutuskan untuk menunda
perundingan hingga bulan Ramadhan. Ali dan Muawiyah menyetujui tempat
perundingan yaitu di Daumatul Jandal, Adhruh. Pada bulan Ramadhan yang telah
disepakati atau pada Januari 659 M, kedua kubu bertemu kembali di Daumatul
Jandal, Adhruh, dengan membawa 400 saksi dari masing-masing pihak.

Perundingan yang Merugikan

Apa yang tepatnya terjadi dalam perundingan bersejarah ini sulit


dipastikan. Berbagai versi muncul dalam berbagai sumber yang berbeda. Ada
riwayat yang menyebutkan bahwa kedua pihak sepakat untuk melengserkan kedua
pemimpin mereka, sehingga melapangkan jalan bagi calon baru. Akan tetapi
setelah Abu Musa yang lebih tua berdiri dan menegaskan bahwa ia memecat Ali
dari jabatan kekhalifahannya dan memilih Abdullah bin Umar, Amr
mengkhianatinya dan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah. Namun, kajian
kritis yang dilakukan sejarawan-sejarawan modern, memperlihatkan bahwa
riwayat itu mencerminkan pandangan kelompok Irak (kebanyakan riwayatnya
menjadi rujukan) yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah, musuh Dinasti
Umayyah. Kemungkinan yang telah terjadi adalah bahwa kedua juru runding
memecat kedua pemimpin mereka, sehingga Ali menjadi pihak yang kalah, karena
Muawiyah tidak memiliki jabatan kekhalifahan yang harus diletakkan. Ia tidak
lain hanyalah seorang gubernur sebuah provinsi.

24
Hasil arbitrase itu telah menempatkan dirinya setara dengan Ali, yang
posisinya menjadi tidak lebih dari pemimpin yang diragukan otoritasnya.
Berdasarkan keputusan para arbitor, Ali dilengserkan dari jabatan kekhalifahan
yang sebenarnya, sementara Muawiyah dilengserkan dari jabatan kekhalifahan
fiktif yang ia klaim dan belum berani ia kemukakan di depan publik.

Terdapat kerugian lain yang diderita Ali karena menerima tawaran


arbitrase, yaitu turunnya simpati sejumlah besar pendukungnya. Pendukung yang
membelot itu akhirnya membentuk sebuah sekte baru, bernama Khawarij.
Kelompok ini pada perkembangannya akan memusuhi Ali dan akhirnya
menyebabkan khalifah terbunuh dalam perjalanannya ke Masjid Kufah, pada 24
Januari 661 M.

2.3.1 Syi’ah

Kaum Syi’ah adalah orang-orang yang mendukung Ali bin Abi Tholib. Ali
telah mempunyai banyak pendukung setelah wafatnya Rosulullah SAW.
Diantaranya Jabir ibnu Abdillah, Huzaifah ibnul Yaman, Salman al Farisi, Abu
Zar Al Ghifari, dll. Karena Nabi Muhammad wafat tanpa meninggalkan anak laki-
laki, maka yang paling dekat dengannya (menurut jalan pikiran Syi’ah) adalah
anak pamannya yaitu Ali bin Abi Tholib. Atas dasar itu orang-orang yang
merampas jabatan kholifah seperti Abu Bakar,Umar dan Utsman berarti
merampas jabatan dari orang yang berhak menerimanya.

Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib dipercayai oleh
penganutnya. Kelima prinsip itu adalah :

1. Al-Tauhid

Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu ada. Maha esa, tunggal,
tempat bergantung segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak
ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-
sifat Allah.

2. Al-‘Adl

25
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Ia tidak melakukan
perbuatan buruk karena Ia melarang keburukan. Allah mencela kedzaliman dan
orang yang berbuat dzalim.

3. Al-Nubuwwa

Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan
umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutus sejumlah nabi dan rasul
ke muka bumi untuk membimbing umat manusia.

4. Al-Imamah

Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia
sekaligus.Iamerupakanpengganti rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan
hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.

5. Al-Ma’ad

Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya
sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.

2.3.2 Khawarij

Menurut bahasa,Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar,


muncul, timbul, atau memberontak. Kelompok ini juga kadang kadang menyebut
dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah”.
Nama lain dari Khawarij adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata “harura”
yaitu nama suatu tempat dekat Kuffah. Khawarij muncul bersamaan dengan
Syi’ah. Masing-masing muncul sebagai aliran pada masa pemerintahan Khalifah
Ali bin Abi Thalib. Pada awalnya pengikut kedua aliran ini adalah para
pendukung Ali, meskipun pemikiran aliran Khawarij lebih dahulu muncul dari
pada aliran Syi’ah.

Khawarij untuk pertama kali muncul dikalangan tentara Ali ketika


peperangan memuncak antara pasukan Ali dan pasukan Mu’awiyah (perang
siffin). Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali
yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidaksetujuan mereka terhadap sikap

26
Ali yang menerima tahkim dalam upaya penyelesaian persilisihan dan konfliknya
dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, gubernnur Syam, pada waktu Perang Siffin.
Mereka beralasan bahwa tahkim merupakan penyelesaian masalah yang tidak
didasarkan pada ajaran Al-Quran, tapi ditentukan oleh manusia sendiri. Dan orang
yang tidak memutuskan hukum dengan al-Qur’an adalah kafir.Dengan demikian,
orang yang melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.

Atas dasar ini, golongan yang semula mendukung Ali selanjutnya berbalik
menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya
yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash. Untuk
itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh keempat tokoh ini, dan menurut
fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka. Orang yang
membunuh Ali ialah Ibnu Muljam dengan cara di tusuk dengan pedang.

Beberapa prinsip yang disepakati aliran Khawarij:

1. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam (yang
paling tegas)

2.Khalifah tidak harus berasal dari Keturunan Arab. Dengan demikian setiap
orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila sudah memenuhi syarat.

3.Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan
kedzaliman.

4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah
tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap telah menyeleweng.

5. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelahterjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap


telah menyeleweng.

6.Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap
menyeleweng dan telah menjadi kafir.

7.Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.

27
8.Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus
dibunuh.

Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat
menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap
kafir.

9.Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila
tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara
musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam
(negara islam).

10.Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng

11. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga sedangkan
orang yang jahat harus masuk neraka).

12. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan[6]

13. Orang yang meninggalkan haji adalah kafir, karena meninggalkan haji adalah
dosa.

2.3.3 Murji’ah

Kata Murji’ah berasal dari kata “arja’a” yang berarti menangguhkan,


mengakhirkan dan memberi pengharapan. Sehingga Murji’ah artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Muawiyyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Ada teori yang
berkembang mengenai asal usul kemunculan Murji’ah. Teori tersebut mengatakan
bahwa gagasan irja’ atau arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan
menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan
juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme.

Golongan ini muncul di tengah memuncaknya perdebatan mengenai


pelaku dosa besar.Murjiah terjadi pada masa sahabat Nabi, yaitu pada masa akhir
pemeritahan Utsman. Pergunjingan tentang keadaan pemerintahan Utsman dan
para pejabatnya berkembang sampai ke pelosok-pelosok wilayah islam.

28
Pergunjingan itu kemudian melahirkan fitnah dan berakhir dengan terbunuhnya
Utsman. Di saat seperti itu, sekelompok sahabat memilih bersikap diam dan
menahan diri agar tidak mencampuri fitnah yang menimbulkan kekacauan luar
biasa di kalangan umat islam.

Ajaran-ajaran pokok murji’ah adalahsebagaiberikut:

1.Iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati

2.Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumi kafir. Muslim tersebut
tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.

3.Hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masa kekuasaan Khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-
Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekhalifahan islam yang
berhasil dalam mengembangkan wilayah islam lebih luas. Nabi Muhammad yang
telah meletakkan dasar agama islam di Arab,setelah beliau wafat,gagasan dan ide-
idenya diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama islam yang
dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat telah
membuahkan hasil yang gemilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia, ekspansi
kekuasaan islam menembus ke luarpersia.

3.2 Saran

Demikianlah pokok bahasan makalah yang dapat kami sampaikan.


Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dari
berbagai kalangan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauhdari kata
sempurna, dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan referensi yang ada. Oleh
sebab itu, saran dankritik yang membangun selalu kami harapkan. Agar
kedepannya, kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.

30
DAFTAR PUSTAKA

Djamidin, Taufiq. 2009. Trgedi Pembunuhan 3 Khalifah. Yogyakarta: Pinus Book


Publisher.

Ja’farian, Rasul. 2003. Sejarah Islam: sejak wafat Nabu SAW hingga runtuhnya
Dinasti Bani Umayyah. Jakarta: Lentera.

Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam. jakarta: Rajawali Pers.

Buku ajar kelas x Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Malang

Muhammad, Maulana Ali. 2007. Early Chalipate (Khulafaur Rosyidin). Jakarta:


Darul Kutubil Islamiyah

Fuad, Zaki. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Surabaya

Yakub dkk. Sejarah Peradaban Islam Pendekatan Periodesasi. Medan : Perdana


Publishing

Rahamtullah, Muhammad. 2014. Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq.


Pontianak : Jurnal Khatulistiwa

Salman, Muhammad. 2016. Etika Politik Khalifah Abu Bakar Yogyakarta

Syauqi, Abrori dkk. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta : Aswaja


Pressindo

31

Anda mungkin juga menyukai