Anda di halaman 1dari 49

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, hal ini tentunya telah kita ketahui
karena dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) dinyatakan “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan bangsa
Indonesia diatur oleh hukum termasuk dalam hubungan industrial yang
menyangkut tenaga kerja, yaitu hukum ketenagakerjaan. Di Indonesia
pengaturan tentang ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengaturan ini ada demi
terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam hal tenaga kerja.1
Hukum ketenagakerjaan menurut Imam Soepomo diartikan sebagai
himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan
dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah. Menurut Molenaar, hukum ketenagakerjaan (arbiedsrecht)
adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur
hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan
tenaga kerja, dan antara tenaga kerja dengan pengusaha, dan menurut N. E.
H. Van Esveld, hukum ketenagakerjaan (arbiedsrecht) tidak hanya meliputi
hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi
meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan
pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.2

1
Ahmad Solihin, Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://akhsoname.blogspot.co.id/2015/09/hukum-ketenagakerjaan.html. Diakses: 24-4-
2017
2
Sudarsono, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 219

1
Dalam ketenagakerjaan di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 dalam bab 1 Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa,
ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada saat waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Dalam hal ini,
sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dari Tenaga Kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.3
Hal itu dapat kita lihat bahwa, untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat faktor tenaga kerja harus diperhatikan. Mulai dari pembinaan,
pengarahan, dan perlindungan tenaga kerja. Semata-mata untuk
menciptakan proses pembangunan dan kesejahteraan.4 Ditambah dengan
jumlah penduduk yang sangat besar, itu merupakan salah satu modal yang
sangat penting, karena kesenjangan antara jumlah penduduk yang terus
meningkat tanpa diikuti pertambahan lapangan pekerjaan akan menjadi
pemicu menjamurnya pengangguran dan kurang tersedianya tenaga kerja
yang terampil dan berpengalaman, dan itu merupakan salah satu masalah
pokok yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti halnya
Indonesia.5
Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja bertujuan untuk
menghapus sistem perbudakan dan menjaga agar para tenaga kerja lebih
dimanusiakan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup tenaga
kerja dan hidup layak sebagai manusia, seperti dalam pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
3
Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008),
hlm. 5
4
Fadhlil Wafi, Tinjauan Yuridis Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Tidak
Tetap. [online]. Tersedia: eprints.ums.ac.id/33283/3/2.%20BAB%20I.pdf. Diakses: 24-4-
2017.
5
Ghufron Wicaksono, Makalah Outsourcing atau Hukum Ketenagakerjaan. [online].
Tersedia: http://mahasiswahukumbicara.blogspot.co.id/2015/11/makalah-outsourcing-
hukum.html. Diakses: 24-4-2017.

2
menyatakan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Untuk menjalankan proses dari
perlindungan terhadap tenaga kerja itu memerlukan beberapa perencanaan
dan pelaksanaan secara komprehensif, terpadu dan berkesinambungan.6
Selain itu, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar tenaga kerja. Menjamin kesamaan
kesempatan dan perlakuan tanpa diskriminasi atas apapun. Dalam
rangka untuk mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan
kepentingan pengusaha.7

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah hukum ketenagakerjaan di Indonesia?

2. Apakah aspek-aspek yang diatur di dalam hukum ketenagakerjaan?

BAB II

PEMBAHASAN

6
Fadhlil Wafi, loc. cit.
7
Ibid.

3
A. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan


Dalam Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Perburuhan terdapat
beberapa istilah yang beragam, seperti ada buruh, pegawai, karyawan,
majikan atau pengusaha. Istilah buruh sejak dulu sudah populer dan
masih sering dipakai sebagai sebutan untuk kelompak pekerja. Istilah
pekerja dalam praktek sering dipakai untuk menunjukkan status
hubungan kerja, seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja
harian, pekerja honorer, pekerja tetap, dsb. Sedangkan istilah karyawan
atau pegawai lebih sering dipakai untuk data administrasi.
Pendapat lain menyatakan bahwa istilah buruh sejak dulu
diidentikkan dengan pekerja kasar, pendidikan rendah, dan penghasilan
yang rendah. Bahkan pada zaman kolonial terdapat istilah kuli, mandor
dan semacamnya yang menempatkan buruh pada posisi yang lemah di
bawah pengusaha. Padahal, keberadaan buruh sangatlah penting artinya
bagi kelangsungan perusahaan.
Kata pekerja memiliki pengertian sangat luas, yakni setiap orang
yang melakukan pekerjaan, baik di dalam hubungan kerja maupun di
luar hubungan kerja (swapekerja). Istilah yang sepadan dengan pekerja
ialah karyawan, yakni orang yang berkarya atau bekerja, yang lebih
diidentikkan pada pekerjaan nonfisik, sifat pekerjaannya halus atau tidak
kotor, contoh karyawan bank, dsb. Sedangkan istilah pegawai adalah
setiap orang yang bekerja pada pemerintah, yaitu seperti pegawai negeri.
Dengan digantinya istilah buruh dengan istilah pekerja, konsekuensi
istilah hukum perburuhan menjadi tidak sesuai lagi. Di lain pihak, ada
beberapa sarjana yang mempergunakan hukum ketenagakerjaan.
Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja” yang artinya
“segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,

4
selama, dan sesudah masa kerja” (Pasal 1 huruf f Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003).
Di samping istilah di atas, masih terdapat istilah tenaga kerja yang
mengandung pengertian lebih luas lagi, meliputi pejabat negara,
pegawai negeri sipil atau militer, pengusaha, buruh, swapekerja,
pengangguran dan lain-lain. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, istilah tenaga kerja
mengandung pengertian yang bersifat umum, yaitu setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pengertian ini belum jelas menunjukkan status hubungan kerjanya.
Secara khusus pengertian buruh/pegawai adalah:
1) Bekerja pada atau untuk majikan/perusahaan
2) Imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/pengusaha
3) Secara resmi terang-terangan dan kontinu mengadakan hubungan
kerja dengan majikan/perusahaan, baik untuk waktu tertentu maupun
untuk jangka waktu tidak tertentu lamanya.

Hukum kerja adalah “serangkaian peraturan yang mengatur segala


kejadian yang berkaitan dengan bekerjanya seseorang pada orang lain
dengan menerima upah”. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dalam konteks penggunaan istilah tenaga kerja dan pekerja, istilah
tenaga kerja digunakan baik di luar maupun di dalam hubungan kerja,
sedangkan pekerja khusus di dalam hubungan kerja. Berarti, setiap

5
pekerja sudah pasti tenaga kerja tetapi setiap tenaga kerja belum tentu
pekerja.8
Pengertian pengusaha baik berdasarkan Jamsostek maupun Undang-
Undang Ketenagakerjaan adalah:
1) Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri.
2) Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
3) Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan.

Istilah hukum ketenagakerjaan merupakan istilah baru dalam bidang


ilmu hukum pada umumnya dan bidang hukum perburuhan pada
khususnya, karena istilah itu timbul dari akibat tuntutan hukum
perburuhan itu sendiri serta perkembangan hukum nasional yang
didasarkan pada sumber dari segala sumber hukum yaitu pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Berikut adalah definisi hukum
ketenagakerjaan menurut para ahli:9
a. Menurut Molenaar
Hukum ketenagakerjaan (arbiedsrecht) adalah bagian dari hukum
yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga
kerja dan pengusaha, anatara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan
antara tenaga kerja dengan pengusaha.

b. Menurut Mr. M. G. Levenbach

Hukum ketenagakerjaan (arbiedsrecht) adalah hukum yang


berkenaan dengan hubungan kerja. Dimana pekerjaan itu dilakukan

8
Prayudha Akbar, Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
https://materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/hukum-
ketenagakerjaan.html. Diakses: 25-4-2017
9
Sudarsono, loc. cit.

6
di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung
bersangkut paut dengan hukum kerja itu.

c. Menurut Mr. N. E. H. Van Esveld

Hukum ketenagakerjaan (arbiedsrecht) tidak hanya meliputi


hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan,
tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang
melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.

d. Menurut Imam Soepomo

Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah himpunan-himpunan


peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan
kejadian dimana seorang kerja pada orang lain dengan upah.

Adapun pengertian hukum ketenagakerjaan secara luas meliputi 3


hal, yaitu:
a. Mengatur masa sebelum bekerja (Pre-Employment)
b. Mengatur selama bekerja (During Employment)
c. Mengatur setelah bekerja (Post Employment)

1) Masa sebelum bekerja (Pre-Employment)10


Masalah pengadaan tenaga kerja yang meliputi: pengaturan
lowongan kerja, pengerahan, dan penempatan tenaga kerja yang
merupakan hal penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan tenaga
kerja. Mengingat pentingnya hal tersebut beberapa peraturan telah
diterapkan, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor
Tenaga Kerja di Perusahaan
b. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1980 Tentang Wajib Lapor
Lowongan Pekerjaan
10
Ahmad Solihin, loc. cit.

7
Setiap pengusaha atau pengurus perusahaan wajib melaporkan
secara tertulis setiap ada atau akan ada lowongan pekerjaan
kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk, yang memuat:
 Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan
 Jenis pekerjaan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan
 Jenis kelamin
 Usia
 Pendidikan, keterampilan, keahlian, atau pengalaman.
 Syarat-syarat lain yang dipandang perlu.
c. Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 1970 Tentang Pengerahan
Tenaga Kerja
Pengerahan tenaga kerja dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja dari suatu daerah atau dari luar negeri
dengan memindahkannya dari daerah yang kelebihan tenaga
kerja. Pengerahan dilarang bila tidak ada izin dari menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Izin pengerahan tenaga kerja ini antara
lain memuat:
 Jumlah tenaga kerja yang dikerahkan
 Cara pengerahannya
 Tempat penampungannya
 Biaya pengerahan dan penampungannya
 Perjanjian kerja yang berisi tentang: upah, cuti, jam
kerja/lembur, perumahan, tunjangan-tunjangan, dll.
d. Latihan Kerja
Tugas, wewenang, dan tanggung jawab penyelenggaraan latihan
kerja diatur di dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972
dan Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja adalah
melalui latihan keja baik yang diselenggarakan pemerintah

8
maupun swasta. Dengan latihan kerja dimaksudkan untuk
menyiapkan tenaga kerja dengan memberikan serta
meningkatkan keterampilan dan keahlian guna membentuk sikap
kerja, mutu kerja, dan produktivitas kerja.
e. Dalam GBHN bahwa perluasan dan pemerataan tenaga kerja,
peningkatan mutu, dan perlindungan tenaga kerja adalah
kebijaksanaan yang menyeluruh disemua sektor, sasaran utama
meningkatkan perluasan tenaga kerja, diarahkan pada usaha
penanggulangan-penanggulangan. Pengangguran sebagi akibat
tingkat pertumbuhan tenaga kerja cukup tinggi dibandingkan
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih belum
seimbang atas dasar masalah penanganan tenaga kerja dititik
beratkan pada upaya penempatan tenaga kerja melalui jalur-jalur
kesempatan kerja sebagai berikut:
 Pendaftaran pengangguran
 Bursa tenaga kerja
 AKAD (Antar Kerja Antar Daerah)
 AKAN (Antar Kerja Antar Negara)

 PKGB (Padat Karya Gaya Baru)

2) Selama Bekerja (During Employment)


Sejak campur tangan pemerintah dalam masalah hubungan kerja,
maka hukum ketenagakerjaan yang mengatur semua aspek hubungan
ketenagakerjaan bergeser arahnya dari hubungan privat menjadi
hubungan publik, akan tetapi tetap menjamin kebebasan tenaga kerja
dalam bidang ketenagakerjaan, seperti memilih bidang kerja yang
sesuai. Perjanjian kerja merupakan pangkal tolak dari pada
perkembangan hukum ketenagakerjaan dewasa ini dan untuk masa
yang akan datang, mendewasakan asas demokrasi yang berintikan

9
musyawarah dan mufakat.11 Melalui langkah inilah semua pihak
dapat dilindungi secara adil agar tercapai ketenangan kerja dan
kelangsungan berusaha. Mengenai hubungan kerja diatur dalam :12
a. Undang-Undang Ketenagakerjaan
b. Undang-Undang Keselamatan Kerja
c. Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan
d. Undang-Undang Jaminan social
e. Undang-Undang Serikat Pekerja
f. Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan Upah
g. Peraturan Menteri Tentang Cara Membuat Perjanjian Kerja
Bersama
h. Peraturan Menteri Tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu
i. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Tentang Upah

3) Setelah Bekerja (Post Employment)13


Yang dimaksud dalam post employment ini antara lain tabungan hari
tua atau pensiun, yang merupakan bagian dari Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja. Program jaminan sosial tenaga kerja ini secara
keseluruhan meliputi asuransi kecelakaan kerja, tabungan hari tua,
dan asuransi kematian.
Iuaran tabungan hari tua ini ditanggung secara bersama antara tenaga
kerja dengan pengusaha atau perusahaan. Besarnya iuran tabungan
hari tua untuk masing-masing adalah:
a. Iuran dari pengusaha sebesar 1,5% dari upah tiap bulan.
b. Iuran dari tenaga kerja sebesar 1% dari upah tiap bulan.

Tabungan hari tua ini dibayarkan oleh perusahaan kepada tenaga


kerja dalam hal:
a. Tenaga kerja yang bersangkuan mencapai usia 55 tahun
11
Ibid.
12
Prayudha Akbar, loc. cit.
13
Ahmad Solihin, loc. cit.

10
b. Tenaga kerja yang bersangkutan mengalami cacat total/tetap
menurut keterangan dokter yang ditunjuk oleh perusahaan
(dokter perusahaan)
c. Dalam hal tenaga kerja tersebut meninggal dunia sebelum usia
55 tahun, maka tabungan hari tua itu dibayarkan kepada ahli
warisnya.

Dasar perhitungan jaminan hari tua yang dipakai untuk menentukan


besarnya jaminan pensiun ialah besarnya iuran yang telah
dibayarkan perusahaan/pengusaha dan tenaga kerja kepada badan
penyelenggara/ASTEK pada bulan terakhir dimana tenaga kerja
diberhentikan dengan hak menerima jaminan pensiun/meninggal
dunia. Faktor-faktor yang mempengaruhi jaminan pensiun, yaitu:
a. Usia
b. Masa kerja
c. Lama kepesertaan mengikuti program jaminan

Bilamana tenaga kerja yang meninggal dunia tersebut tidak


mempunyai istri atau suami, maka hak menerima jaminan beralih
pada anaknya dan jaminan ini disebut jaminan pensiun yatim piatu.
Hak untuk mendapatkan jaminan hari tua/pensiun menjadi hilang
dalam 2 peristiwa, yaitu:
a. Berakhirnya karena suatu peristiwa
b. Dibatalkan karena suatu keadaan atau perbuatan.

Berakhirnya jaminan pensiun karena suatu peristiwa apabila


duda/janda penerima pensiun tersebut menikah lagi, duda atau janda
tersebut meninggal dunia sedangkan tidak terdapat lagi anak yang
berhak menerima jaminan pensiun sebagai pensiunan yatim piatu.
Hak untuk mendapatkan jaminan pensiun dapat dibatalkan karena:

11
a. Apabila pada waktu mengajukan permintaan jaminan pensiun
tersebut ternyata terdapat suatu pemalsuan, baik pemalsuan
surat-surat maupun pemalsuan orangnya
b. Apabila penerima jaminan pensiun tenaga kerja dengan seizin
pemerintah menjadi anggota tentara atau tenaga kerja suatu
negara asing
c. Apabila penerima jaminan pensiun tenaga kerja tersebut janda
atau duda berdasarkan Keputusan Pejabat Pemerintah atau badan
yang berwenang dinyatakan salah melakuakan tindakan atau
terlibat dalam suatu gerakan yang menentang pemerintah.

2. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan


Tujuan dari hukum ketenagakerjaan itu sendiri ialah sebagai
berikut:14
1) Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan
2) Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak
terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau
menciptakan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa agar
pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga
kerja sebagai pihak lemah.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan, tujuan hukum ketenagakerjaan ialah:15
1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal
dan manusiawi

14
Nita Nurrachmawati, Makalah Ketenagakerjaan dan Perburuhan. [online]. Tersedia:
http://www.anekamakalah.com/2012/06/makalah-ketenagakerjaan-dan-
perburuhan.html. Diakses: 26-4-2017
15
Opick Mohammed, Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://opickmohammed.blogspot.co.id/2013/04/hukum-ketenagakerjaan.html. Diakses:
26-4-2017

12
2) Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan
daerah.
3) Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan dan,
4) Meningkatkan ksesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan


Sifat hukum ketenagakerjaan sendiri dapat bersifat privat maupun
publik. Hukum ketenagakerjaan dapat bersifat perdata (privat) karena
mengatur kepentingan orang dengan orang atau orang dengan badan
hukum, yang dimaksudkan di sini ialah antara pekerja dengan
pengusaha, misalnya mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut
dengan perjanjian kerja. Namun, hukum ketenagakerjaan juga bersifat
publik, karena:16
a. Dalam hal-hal tertentu negara atau pemerintah turut campur tangan
dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam pemutusan
hubungan kerja
b. Adanya sanksi dan aturan didalam setiap undang-undang di bidang
ketenagakerjaan yang bersifat memaksa yang bertujuan untuk
melindungi tenaga kerja dengan membatasi kebebasan berkontrak.

4. Asas Hukum Ketenagakerjaan


Asas hukum ketenagakerjaan adalah:17
a. Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan pancasila dan UUD
1945 (Pasal 2 UU. No. 13/2003)

16
Ahmad Solihin, loc. cit.
17
Supriadi, Sifat, Asas, Tujuan dan Fungsi Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://adhyepanrita.blogspot.co.id/2012/11/sifat-asas-tujuan-dan-fungsi-hukum.html.
Diakses: 1-5-2017

13
b. Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas
keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan
daerah (Pasal 3 UU. No. 13/2003)

5. Sumber Hukum Ketenagakerjaan18


1) Undang-Undang
Undang-undang yang dipergunakan sebagai pedoman dalam
Hukum Tenaga Kerja adalah :
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 Tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO
Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate
Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour
(Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak)
f. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengesahan
ILO Convention No. 105 Concerning The Abolition of Forced
Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa)
g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.

18
Suparno Ngn, Makalah Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://pusatartikelterpercaya.blogspot.co.id/2015/03/makalah-hukum-ketenagakerjaan-
bab-i.html. Diakses: 29-4-2017

14
h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan
Kerja.

2) Peraturan Lain
a. Peraturan Pemerintah
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun
2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 2005 Tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi
Lembaga Kerjasama Tripartit.
 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Kelima Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja

 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 Tentang Tata


Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan
Penyusunan Serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja

b. Peraturan Presiden
 Keppres Nomor 107 Tahun 2004 Tentang Dewan
Pengupahan
 Keppres Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Tunjangan Jabatan
Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan, Perantara Hubungan
Industrial dan Pengantar Kerja
 Kepres Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Badan Koordinasi
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia.
 Keppres Nomor 83 Tahun 1998 Tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 87 Mengenai Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi.

15
 Keppres Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga
Kerja Warga Negara Asing Pendatang.

c. Instruksi Presiden

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun. 2006 Tentang Kebijakan


Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia

d. Keputusan Menteri
 Kepmenakertrans Nomor KEP.355/MEN/X/2009 Tentang
Tata Kerja Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit Nasional
 Kepmenakertrans Nomor KEP.113/MEN/IV/2009 Tentang
Pembentukan Tim Teknis Pengelolaan dan Pengembangan
Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja di Luar Negeri TA. 2009
 Kepmenakertrans Nomor KEP.49/MEN/2004 Tentang
Ketentuan Struktur dan Skala Upah
 Kepmenakertrans Nomor KEP.250/MEN/XII/2008 Tentang
Klasifikasi dan Karakteristik Data Dari Jenis Informasi
Ketenagakerjaan
 Kepmennakertrans Nomor KEP.268/MEN/XII/2008 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Bulan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Nasional Tahun 2009
 Kepmenakertrans Nomor KEP. 201/MEN/IX/2008 Tentang
Penunjukan Pejabat Penerbitan Persetujuan Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Untuk Kepentingan
Perusahaan Sendiri.
 Kepmenakertrans Nomor KEP.14/MEN/I/2005 Tentang Tim
Pencegahan Pemberangkatan TKI Non Prosedural dan
Pelayanan dan Pelayanan Pemulangan TKI

16
 Kepmenakertrans Nomor KEP.11/MEN/I/2005 Tentang
Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Akreditas
Lembaga Pelatihan Kerja
 Kepmenakertrans Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 Tentang
Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
 Kepmenakertrans Nomor KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang
Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.

 Kepmenakertrans Nomor KEP.51/MEN/2004 Tentang


Istirahat Panjang Pada Perusahaan Tertentu.

e. Peraturan Menteri
 Permenakertrans Nomor PER-23/MEN/IX/2009 Tentang
Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri.
 Permenakertrans Nomor PER-18/MEN/VIII/2009 Tentang
Bentuk, Persyaratan, dan Tata Cara Memperoleh Kartu
Tenaga Kerja Luar Negeri
 Permenakertrans Nomor PER-17/MEN/VIII/2009 Tentang
Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan Tenaga
Kerja Indonesia ke Luar Negeri
 Permenakertrans Nomor 10/MEN/V/2009 Tentang Tata Cara
Pemberian, Perpanjangan dan Pencabutan Surat Izin
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
 Permenakertrans Nomor PER-05/MEN/III/2009 Tentang
Pelaksanaan Penyiapan Calon TKI Untuk Bekerja di Luar
Negeri.
 Permenakertrans Nomor PER.31/MEN/XII/2008 Tentang
Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Melalui Perundingan Bipartit

17
 Permenakertrans Nomor PER.25/MEN/XII/2008 Tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan
dan Penyakit Akibat Kerja
 Permenakertrans Nomor PER.23/MEN/XII/2008 Tentang
Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
 Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
Penempatan Tenaga Kerja
 Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang
Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
 Peraturan Menteri Nomor PER.18/MEN/IX/2007 Tentang
Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar
Negeri.
 Peraturan Menteri Nomor PER.17/MEN/VI/2007 Tentang
Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan
Kerja.
 Peraturan Menteri Nomor PER.12/MEN/VI/2007 Tentang
Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan Pembayaran Iuran,
Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jamsostek.

 Peraturan Menteri Nomor PER.21/MEN/X/2005 Tentang


Penyelenggaraan Program Pemagangan.

3) Kebiasaan
Kebiasaan dalam hal ini adalah kebiasaan yang terjadi antara
pekerja dan pemberi kerja yang dilakukan berulang-ulang dan
diterima masyarakat (para pihak baik pekerja maupun pemberi
kerja), contoh: perekrutan pegawai tanpa pelatihan terstruktur (usaha
kecil dan menengah).

4) Yurisprudensi

18
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka
putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap akan menjadi dasar hukum bagi hakim untuk
memutus perkara serupa.

5) Traktat/perjanjian

Kaitannya dengan masalah perburuhan, perjanjian yang


merupakan sumber hukum tenaga kerja ialah perjanjian kerja.
perjanjian kerja mempunyai sifat kekuatan hukum mengikat dan
berlaku seperti undang-undang pada pihak yang membuatnya.

6. Pihak-Pihak yang Terkait Dalam Hukum Ketenagakerjaan


Guna mewujudkan hubungan kerja atau industrial yang harmonis
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 melibatkan beberapa pihak,
yaitu:
a. Pekerja19
Istilah pekerja buruh pada jaman feodal atau jaman penjajahan
Belanda dahulu yang dimaksud dengan buruh adalah orang-orang
pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain, dan orang-
orang ini oleh Belanda disebut blue collar. Sedangkan orang-orang
yang mengerjakan pekerjaan halus atau di belakang meja disebut
white collar, bisanya yang termasuk golongan ini adalah para
bangsawan yang bekerja di kantoran.

Pembedaan ini dilakukan oleh pemerintah Belanda sebagai taktik


untuk memecah belah orang-orang Indonesia. Pengaruh dari
marsisme, buruh selalu dianggap membuat atau menghancurkan
majikannya. Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003,
19
Ahmad Solihin, loc. cit.

19
pekerja atau buruh adalah setiap orang yang mendapatkan imbalan
atau upah dalam bentuk lain (pasal 1 ayat (3)).

b. Serikat Pekerja atau Buruh20


Serikat buruh atau pekerja adalah organisasi yang dibentuk oleh dan
untuk buruh baik di dalam maupun di luar perusahaan yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
membela dan mempertahankan hak-hak para pekerja.
Dari pengertian diatas disimpulkan bahwa serikat buruh memiliki
sifat bebas, terbuka, demokratis dan bertanggung jawab:
1) Bebas artinya sebagai organisasi melaksanakan hak dan
kewajiban serikat buruh dan tidak mendapatkan tekanan dari
pihak lain.
2) Terbuka artinya serikat buruh atau serikat pekerja dalam
menerima anggota atau memperjuangkan serikat buruh tidak
membedakan agama, suku, bangsa, dan jenis kelamin.
3) Mandiri artinya bahwa dalam mendirikan, mengembangkan
organisasi, ditunjukan dengan kekuatan sendiri tidak
dikendalikan oleh pihak lain diluar organisasi.
4) Demokratis artinya pemilihan pengurus dalam memperjuangkan
hak dan kewajiban sesuai dengan prinsip demokrasi
5) Bertanggung jawab artinya bahwa dalam mencapai tujuan dan
melaksanakan serikat buruh, bertanggung jawab kepada
masyarakat dan negara.
Asas tujuan dan fungsi serikat buruh atau serikat pekerja
1) Asas tujuan:

20
Ibid.

20
 Tujuan keluar yaitu meningkatkan kesejahteraan buruh dan
keluarga
 Tujuan kedalam yaitu memberikan perlindungan pada buruh
dan keluraga
2) Fungsi serikat kerja/federasi serikat kerja atau konfederasi
serikat kerja:
 Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian bersama
 Sebagi wakil pekerja atau buruh dalam bidang
ketenagakerjaan
 Sebagai penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kewajiban anggota
 Sebagai penanggungjawab pemogokan
 Sebagai wakil pekerja buruh dalam kepemilikan saham
diperusahaan.

c. Pengusaha21
Dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menjelaskan pengertian pengusaha adalah:
1) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri
2) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya
3) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada
di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana di maksud dalam
huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia

d. Organisasi Pengusaha22
1) KADIN

21
Nita Nurrachmawati, loc. cit.
22
Ahmad Solihin, loc. cit.

21
Untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam
kegiatan pembangunan, maka pemerintah melalui Undang-
Undang Nomor 49 Tahun 1973 maka membentuk Kamar
Dagang dan Industri (KADIN). KADIN adalah wadah bagi
pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian.
2) APINDO
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) adalah organisasi
pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan dan juga merupakan suatu wadah
kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerjasama yang
terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
APINDO lahir didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam
pembangunan nasional dalam rangka turut serta mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, maka pengusaha Indonesia
harus ikut serta secara aktif mengembangkan peranannya sebagai
kekuatan sosial dan ekonomi.

e. Lembaga Kerjasama23
1) Bipartit
Kerjasama yang hanya dilakukan oleh pengusaha dan pekerja
2) Tripartit
Kerjasama antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Bila
terjadi masalah di dalam hubungan bipartit tidak dapat
diselesaikan secara bipartied maka dapat diselesaikan secara
tripartied.
Unsur-unsur tripartit:
 Komunikasi
 Konsultasi

23
Ibid.

22
 Musyawarah
Jenis-jenis tripartit:
 Tripartit Nasional
 Tripartit Provinsi
 Tripartit Kabupaten
 Tripartit Kodya
 Tripartit Sektoral

f. Pemerintah atau Penguasa


Campur tangan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan
dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan yang adil,
karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat
berbeda secara sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para
pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan
ketenagakerjaan akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan
selalu ingin menguasai yang lemah.24
Imam Soepomo memisahkan antara penguasa dan pengawasan
sebagai para pihak yang berdiri sendiri dalam hukum
perburuhan/ketenagakerjaan, namun menurut Lalu Husni antara
keduannya merupakan suatu kesatuan, sebab pengawasan bukan
merupakan konstitusi yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian
(bidang dalam Depnaker). Secara normatif pengawas perburuhan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 dan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan.
Dalam undang-undang ini pengawas perburuhan yang merupakan
pendidik pegawai negeri sipil memiliki wewenang:25
1) Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan
perburuhan pada khususnya.

24
Nita Nurrachmawati, loc. cit.
25
Ahmad Solihin, loc. cit

23
2) Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal
hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-
luasnya guna membuat undang-undang dan peraturan
perburuhan lainnya.
3) Menjalankan pekerjaan lainnya yang diserahkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan

B. Aspek-Aspek Hukum Ketenagakerjaan

1. Upah
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
pada bab 10 mengatur tentang Pengupahan. Upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan (Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).26 Menurut Pasal 88 ayat (1)
Undang-Undang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh meliputi:27
a. upah minimum
b. upah kerja lembur
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan
26
Suparno Ngn, loc. cit.
27
Sofie Widyana, Pengupahan Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. [online].
Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/pengupahan/pengupahan-dalam-undang-
undang-ketenagakerjaan/. Diakses: 29-4-2017

24
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
f. bentuk dan cara pembayaran upah
g. denda dan potongan upah
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional
j. upah untuk pembayaran pesangon
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pemberian upah kepada tenaga kerja dalam suatu kegiatan produksi


pada dasarnya merupakan imbalan/balas jasa dari para produsen kepada
tenaga kerja atas prestasinya yang telah disumbangkan dalam kegiatan
produksi. Upah tenaga kerja yang diberikan tergantung pada:28
a. Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya.
b. Peraturan undang-undang yang mengikat tentang upah minimum
pekerja (UMR)
c. Produktivitas marginal tenaga kerja.
d. Tekanan yang dapat diberikan oleh serikat buruh dan serikat
pengusaha.
e. Perbedaan jenis pekerjaan.

Upah yang diberikan oleh para pengusaha secara teoritis dianggap


sebagai harga dari tenaga yang dikorbankan pekerja untuk kepentingan
produksi. Sehubungan dengan hal itu maka upah yang diterima pekerja
dapat dibedakan dua macam yaitu:29
1) Upah Nominal
28
Ahmad Solihin, loc. cit.
29
Ibid.

25
Yaitu sejumlah upah yang dinyatakan dalam bentuk uang yang
diterima secara rutin oleh para pekerja.
2) Upah Riil
Adalah kemampuan upah nominal yang diterima oleh para pekerja
jika ditukarkan dengan barang dan jasa, yang diukur berdasarkan
banyaknya barang dan jasa yang bisa didapatkan dari pertukaran
tersebut.
1.1. Larangan30
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Dalam hal pengusaha yang tidak mampu membayar
upah minimum yang telah ditentukan tersebut, dapat dilakukan
penangguhan yang tata cara penangguhannya diatur dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Minimum.
Kemudian, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jika kesepakatan tersebut lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.2. Struktur Skala Upah31


Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan
30
Sofie Widyana, loc. cit.
31
Ibid.

26
kompetensi. Peninjauan upah secara berkala tersebut dengan
memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Ketentuan
mengenai struktur dan skala upah diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.49/MEN/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.

1.3. Perhitungan Upah Pokok32


Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan
tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

1.4. Kewajiban Pembayaran Upah33


Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan
pekerjaan. Namun, pengusaha wajib membayar upah apabila:

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua


masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,


menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal dunia;

d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang


menjalankan kewajiban terhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena


menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
32
Ibid.
33
Ibid.

27
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan
sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari
pengusaha;

g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas


persetujuan pengusaha; dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Pengaturan pelaksanaan ketentuan di atas, ditetapkan dalam Perjanjian


Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

2. Perjanjian Kerja
Dalam dunia kerja, sebelum terjadi hubungan kerja antara Pengusaha
dan Pekerja, dibuat suatu perjanjian yang merupakan dasar kesepakatan
untuk memenuhi hak dan kewajiban antara masing-masing pihak
(Pengusaha dan Pekerja). Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian
dimana pihak yang satu yaitu buruh mengikatkan dirinya untuk bekerja
pada pihaklainnya yaitu majikan untuk selama waktu tertentu dengan
menerima upah (pasal 1601 KUHPerdata), adapun menurut Pasal 1
angka 14 UU Nomor 13 Tahun 2003, perjanjian kerja adalah perjanjian
antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.34
Dari pengertian/perumusan di atas oleh Sendjum H. Manulang
dijabarkan sebagai berikut:35
a. Perjanjian antara seorang pekerja (buruh) dengan pengusaha untuk
melakukan pekerjaan.

34
Opick Mohammed, loc. cit.
35
Ahmad Solihin, loc. cit.

28
b. Dalam melakukan pekerjaan itu pekerja harus tunduk dan berada di
bawah perintah penguasa/pemberi kuasa
c. Sebagai imbalan dari pekerjaan yang dilakukan, pekerja berhak atas
upah yang wajib dibayar oleh penguasa/pemberi kerja.

Sedangkan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan


pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi:36
a. Pembuatan perjanjian kerja
b. Kewajiban buruh
c. Kewajiban majikan/pengusaha
d. Berakhirnya hubungan kerja
e. Cara penyelesaian antara pihak-pihak yang bersangkutan

2.1. Kewajiban Pekerja dan Pengusaha37


Berdasarkan KUHPerdata kewajiban pekerja ialah:
a. Melaksanakan pekerjaan yang diperjanjikan dengan sebaik-baiknya
b. Melaksanakan sendiri pekerjaan
c. Menaati peraturan dalam melaksanakan pekerjaan
d. Melaksanakan segala tugas dan kewajiban secara layak
e. Menaati peraturan tatib dan tata cara yang berlaku dirumah/tempat
majikan bila pekerja tinggal di sana
f. Membayar ganti rugi atau denda
Berdasarkan KUHPerdata kewajiban pengusaha ialah:
a. Membayar upah
b. Mengatur pekerjaan dan tempat kerja
c. Memberikan cuti/libur

36
Ibid.
37
Opick Mohammed, loc. cit.

29
d. Mengurus perawatan/pengobatan pekerja
e. Memberikan surat keterangan

2.2. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja38


Sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya
perjanjian kerja, yaitu:
1) Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut
2) Adanya kemampuan/kecakapan pihak-pihak untuk membuat
perjanjian
3) Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum maupun kesusilaan
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
1) Kesepakatan kedua belah pihak
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2.3. Bentuk Perjanjian Kerja


Bentuk perjanjian kerja adalah bebas. Berdasarkan Pasal 51
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 perjanjian kerja dapat dibuat
secara lisan maupun tulisan.
Apabila perjanjian kerja tersebut dibuat secara lisan, maka pemberi
kerja berkewajiban untuk mengeluarkan surat pengangkatan untuk

38
Ibid.

30
pekerja. Surat penangkatan tersebut sekurang-kurangnya berisi
informasi tentang:39
1) nama dan alamat pekerja
2) tanggal pekerja mulai bekerja
3) tipe pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja
4) jumlah upah yang menjadi hak pekerja.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Than
2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya
memuat:40
1) nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
2) nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
3) jabatan atau jenis pekerjaan;
4) tempat pekerjaan dilakukan;
5) besarnya upah dan cara pembayarannya;
6) syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
7) mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
8) tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
9) tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

2.4. Jenis Perjanjian Kerja

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu41

39
Alsha Alexandra, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja/perjanjian-kerja-waktu-tidak-
tertentu/. Diakses: 30-4-2017
40
Ibid.
41
Maria Amanda, Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja/perjanjian-kerja-untuk-waktu-
tertentu/. Diakses: 30-4-2017

31
Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa
perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu
atau selesainya satu pekerjaan tertentu. Berdasarkan Pasal 1 angka 1
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans
100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”)
adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu.

1) PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu


pekerjaan tertentu

2) PKWT dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa


Indonesia dan huruf latin

3) PKWT wajib didaftarkan kepada instansi yang bertanggung


jawab di bidang ketenagakerjaan

4) PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja


dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:

1) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;


2) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

3) pekerjaan yang bersifat musiman, yaitu pekerjaan yang


pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca sehingga

32
hanya dapat dilakukan untuk satu pekerjaan pada musim
tertentu; atau

4) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan


baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun serta dapat diperbaharui 1 (satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun. Pengusaha yang bermaksud
memperpanjang PKWT tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum
PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis
kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan PKWT hanya
dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari berakhirnya PKWT yang lama.

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

Jangka waktu berlakunya tidak disebutkan dalam perjanjian


kerja, tidak menyebutkan untuk beberapa lama tenaga kerja harus
melakukan pekerjaan tersebut. Berdasarkan Pasal 60 UU
No.13/2003 perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
diperbolehkan untuk memberlakukan masa percobaan. Masa
percobaan ini tidak dapat lebih dari 3 (tiga) bulan dan selama masa
percobaan dilarang untuk memberikan upah dibawah upah
minimum.42
Perjanjian kerja untuk jangka waktu tidak tertentu berakhir,
apabila:43
1) Pihak buruh memasuki masa waktu pensiun tertentu
42
Alsha Alexandra, loc. cit.
43
Ahmad Solihin, loc. cit.

33
2) Pekerja buruh meninggal dunia
3) Adanya putusan pengadilan yang menyatakan buruh melakukan
tindak pidana

2.5. Berakhirnya Hubungan Kerja44


Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja
pun dapat diakhiri bilamana:
1) pekerja meninggal dunia;
2) berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
3) adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4) adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian kerja tidak berakhir dikarenakan meninggalnya pengusaha
atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,
pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, maka
hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-
hak pekerja/buruh.
Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli
waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah
merundingkan dengan pekerja/buruh, sedangkan dalam hal
pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

44
Maria Amanda, Berakhirnya Perjanjian Kerja. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja/berakhirnya-perjanjian-kerja/.
Diakses: 30-4-2017

34
yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa
apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu
tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri
hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja. Hal ini merupakan asas fairness (keadilan) yang
berlaku baik pengusaha maupun pekerja agar kedua saling mematuhi
dan melaksanakan perjanjian kerja yang telah dibuat dan ditandatangani.

2.6. Perjanjian Kerja Bersama


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(“UU Ketenagakerjaan”) mengatur tentang perjanjian kerja, dan juga
mengatur tentang perjanjian kerja bersama.  Berdasarkan Pasal 1 angka
21 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja bersama (“PKB”) adalah
perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua
belah pihak.45
Tujuan dari perjanjian kerja bersama adalah:46
a. menentukan kondisi-kondisi kerja dan syarat-syarat kerja;
b. mengatur hubungan antara pengusaha dengan pekerja;
45
Dianyndra Hardy, Perjanjian Kerja Bersama. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja/perjanjian-kerja-bersama-2/.
Diakses: 30-4-2017
46
Ahmad Solihin, loc. cit.

35
c. mengatur hubungan antara pengusaha atau organisasi pengusaha
dengan organisasi pekerja/serikat pekerja.
Pasal 22 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran
Perjanjian Kerja Bersama (“Permenaker 16/2011”) mengatur bahwa
PKB paling sedikit memuat:47
1) nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
2) nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
3) nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota;
4) hak dan kewajiban pengusaha;
5) hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
6) jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB; dan
7) tanda tangan para pihak pembuat PKB.
PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pasal 124 ayat (3) UU No. 13/2003 mengatur
bahwa apabila isi PKB bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal
demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.48
Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Apabila perusahaan memiliki cabang maka  dibuat PKB induk yang
berlaku di semua cabang perusahaan  atau dapat dibuat PKB turunan
yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan. PKB induk memuat
ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di  seluruh cabang perusahaan

47
Dianyndra Hardy, loc. cit.
48
Ibid.

36
dan PKB turunan memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan
dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing. Dalam hal PKB
induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya PKB
turunan di cabang perusahaan, maka selama PKB turunan belum
disepakati tetap berlaku PKB induk.49
Masa berlaku dari PKB yaitu:50
1) Masa berlakunya paling lama 2 (dua) tahun.
2) Dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat
buruh.
3) Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat
3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang sedang berlaku.
4) Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan maka PKB yang
sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.

3. Pemutusan Hubungan Kerja51


Perselisihan perburuhan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan
pengusaha sering mengarah pada Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”).
PHK dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah
disepakati bersama atau diperjanjikan sebelumnya, dan dapat pula
terjadi karena adanya perselisihan perburuhan. Pasal 1 angka 25 UU
Ketenagakerjaan mendefinisikan  pemutusan hubungan kerja adalah
49
Ibid.
50
Opick Mohammed, loc. cit.
51
Maria Amanda, Pemutusan Hubungan Kerja dan Konsekuensinya. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/pemutusan-hubungan-kerja/pemutusan-hubungan-
kerja-dan-konsekuensinya/. Diakses: 1-5-2017

37
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.

3.1. Sebab Pemutusan Hubungan Kerja


Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur bahwa pengusaha
dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1) melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan;
2) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
3) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya dilingkungan kerja;
4) melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja;
5) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
6) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk mekukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
7) dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan
kerugian bagi perusahaan;
8) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
9) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

38
10) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Pembuktian bahwa pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat


harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
1) pekerja/buruh tertangkap tangan;
2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan


pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi
PHK. Apabila segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat
dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 156 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa apabila terjadi PHK
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima oleh pekerja/buruh

4. Hubungan Industrial
Pengertian hubungan industrial berdasarkan Pasal 1 angka 16
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”) adalah suatu sistem hubungan yang berbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada

39
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.52

4.1. Sarana Hubungan Industrial53


Pasal 103 UU Ketenagakerjaan mengatur bentuk-bentuk sarana
hubungan industrial adalah:

1) Serikat pekerja/serikat buruh


2) Organisasi Pengusaha
3) Lembaga Kerjasama Bipartit
4) Lembaga Kerjasama Tripartit
5) Perjanjian Kerja Bersama
6) Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan
7) Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubugan Industrial, perselisihan
hubungan industrial diharapkan dapat diselesaikan melalui
perundingan bipartit, Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka
penyelesaian dilakukan melalui mekanisme mediasi atau konsiliasi.
Bila mediasi dan konsiliasi gagal, maka perselisihan hubungan
industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan di Pengadilan
Hubungan Industrial.

4.2. Perselisihan Hubungan Industrial


Penyelesaian hubungan industrial diatur dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

52
Maria Amanda, Bentuk-Bentuk Sarana Hubungan Industrial. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-industrial/bentuk-bentuk-
sarana-hubungan-industrial/. Diakses: 1-5-2017
53
Ibid.

40
Industrial (“UU PHI”). Yang dimaksud dengan perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.54
Berdasarkan Pasal 2 UU PHI, jenis-jenis perselisihan hubungan
industrial meliputi:55
1) Perselisihan hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama.
Contohnya; (i) dalam Peraturan Perusahaan (“PP”), Perjanjian Kerja
Bersama (“PKB”), dan perjanjian kerja; (ii) ada kesepakatan yang
tidak dilaksanakan; dan (iii) ada ketentuan normatif tidak
dilaksanakan.
2) Perselisihan Kepentingan
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan
dalam perjanjian kerja, atau PP, atau PKB. Contohnya: kenaikan
upah, transport, uang makan, premi, dan lain-lain.
3) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

54
Sofie Widyana, Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-industrial/jenis-jenis-
perselisihan-hubungan-industrial/. Diakses: 1-5-2017
55
Ibid.

41
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Contohnya; ketidaksepakatan alasan PHK dan perbedaan hitungan
pesangon.
4) Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu
perusahaan
Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatan pekerjaan.

4.3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

1) Perundingan Bipartit56
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/serikat
pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial. Penyelesaian dilakukan secara negosiasi;
penyelesaian sengketa oleh para pihak tanpa melibatkan pihak lain
dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerjasama
yang harmonis dan kreatif.

2) Mediasi57
Jika ternyata penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak
dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, maka tahap yang
dipakai untuk menyelesaikan perselisihan adalah penyelesaian
melalui tripartit yaitu secara mediasi. Upaya penyelesaian

56
Opick Mohammed, loc. cit.
57
Raymond Hutagaol, Mediasi Hubungan Industrial. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-industrial/mediasi-hubungan-
industrial/. Diakses: 1-5-2017

42
perselisihan hubungan industrial melalui cara mediasi bersifat wajib
(mandatory).
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Bila diperbandingkan antara cara penyelesaian perselisihan
bipatrit dengan mediasi, yang membedakan adalah masuknya pihak
luar selain para pihak yang berselisih. Dalam bipatrit perundingan
dilakukan terbatas pada pihak-pihak yang berselisih, sementara
dalam mediasi, adanya pihak luar yaitu mediator yang masuk
sebagai penengah untuk mencoba menyelesaikan perselisihan
tersebut.

3) Konsiliasi58
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”), mengatur mengenai
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi.
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU PHI, konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisishan pemutusan
hubungan kerja atau perselisishan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

58
Sofie Widyana, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Konsiliasi.
[online]. Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-
industrial/penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial-melalui-konsiliasi/. Diakses: 1-5-
2017

43
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 14 UU PHI, pengertian
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

4) Arbitrase59
Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
arbitrase merupakan salah satu alternatif yang bersifat sukarela
(voluntary). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
lembaga arbitrase dapat terjadi jika kedua belah pihak yang
berselisih telah bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan
melalui arbitrase. Arbitrase menurut Undang-undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang  Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (“UU PHI”) adalah penyelesaian suatu perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh/serikat kerja pada
suatu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial, melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih, untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
memiliki putusan mengikat para pihak dan bersifat final.
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU PHI menjelaskan bahwa
kesepakatan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis
dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) yang
masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) rangkap dan memiliki
59
Raymond Hutagaol, Arbitrase Hubungan Industrial. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-industrial/arbitrase-
hubungan-industrial/. Diakses: 1-5-2017

44
kekuatan hukum sama. Atas dasar hal tersebut, para pihak memilih
atau menunjuk arbiter dari daftar yang ditetapkan oleh Menteri
Tenaga Kerja.
Menurut ketentuan UU PHI, apabila kedua belah pihak sudah
bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui lembaga arbitrase, hal ini mengakibatkan lembaga
pengadilan tidak lagi mempunyai kewenangan untuk memeriksa
dan mengadili perselisihan para pihak tersebut, dikarenakan putusan
lembaga arbitrase bersifat final and binding.

BAB III

45
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan diatas maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan baik tertulis
maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Pengaturan tentang
ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan bertujuan untuk
mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan
dan untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak
terbatas dari pengusaha. Sumber hukum dari hukum ketenagakerjaan
yaitu peraturan perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi, dan
traktat/perjanjian. Adapun pihak-pihak yang terkait dengan hukum
ketenagakerjaan ialah pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, pengusaha,
organisasi pengusaha, lembaga kerjasama, dan pemerintah
2. Aspek-aspek yang diatur dalam hukum ketenagakerjaan yaitu tentang
upah, perjanjian kerja, pemutusan hubungan kerja, dan hubungan
industrial.

DAFTAR PUSTAKA

46
Akbar, Prayudha. 2015. Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
https://materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/huk
um-ketenagakerjaan.html. Diakses: 25-4-2017

Alexandra, Alsha. 2014. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. [online].


Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-
kerja/perjanjian-kerja-waktu-tidak-tertentu/. Diakses: 30-4-2017

Amanda, Maria. 2012. Bentuk-Bentuk Sarana Hubungan Industrial.


[online]. Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-
hubungan-industrial/bentuk-bentuk-sarana-hubungan-industrial/.
Diakses: 1-5-2017

Amanda, Maria. 2012. Berakhirnya Perjanjian Kerja. [online]. Tersedia:


http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja/berakhirnya-
perjanjian-kerja/. Diakses: 30-4-2017

Amanda, Maria. 2012. Pemutusan Hubungan Kerja dan Konsekuensinya.


[online]. Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/pemutusan-
hubungan-kerja/pemutusan-hubungan-kerja-dan-konsekuensinya/.
Diakses: 1-5-2017

Amanda, Maria. 2012. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu. [online].


Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-
kerja/perjanjian-kerja-untuk-waktu-tertentu/. Diakses: 30-4-2017

Hardy, Dianyndra. 2014. Perjanjian Kerja Bersama. [online]. Tersedia:


http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja/perjanjian-
kerja-bersama-2/. Diakses: 30-4-2017

Hutagaol, Raymond. 2012. Arbitrase Hubungan Industrial. [online].


Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-
hubungan-industrial/arbitrase-hubungan-industrial/. Diakses: 1-5-
2017

Hutagaol, Raymond. 2012. Mediasi Hubungan Industrial. [online].


Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-
hubungan-industrial/mediasi-hubungan-industrial/. Diakses: 1-5-
2017
Mohammed, Opick. 2013. Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://opickmohammed.blogspot.co.id/2013/04/hukum-
ketenagakerjaan.html. Diakses: 26-4-2017

47
Ngn, Suparno. 2015. Makalah Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://pusatartikelterpercaya.blogspot.co.id/2015/03/makalah-
hukum-ketenagakerjaan-bab-i.html. Diakses: 29-4-2017

Nurrachmawati, Nita. 2012. Makalah Ketenagakerjaan dan Perburuhan.


[online]. Tersedia: http://www.anekamakalah.com/2012/06/makalah-
ketenagakerjaan-dan-perburuhan.html. Diakses: 26-4-2017

Soedarjadi. 2008. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Yogyakarta:


Pustaka Yustisia.

Solihin, Ahmad. 2015. Hukum Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:


http://akhsoname.blogspot.co.id/2015/09/hukum-
ketenagakerjaan.html. Diakses: 24-4-2017

Sudarsono. 2003. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Supriadi. 2012. Sifat, Asas, Tujuan dan Fungsi Hukum Ketenagakerjaan.


[online]. Tersedia: http://adhyepanrita.blogspot.co.id/2012/11/sifat-
asas-tujuan-dan-fungsi-hukum.html. Diakses: 1-5-2017

Wafi, Fadhlil. 2015. Tinjauan Yuridis Tentang Perlindungan Hukum


Terhadap Pekerja Tidak Tetap. [online]. Tersedia:
eprints.ums.ac.id/33283/3/2.%20BAB%20I.pdf. Diakses: 24-4-2017.

Wicaksono, Ghufron. 2015. Makalah Outsourcing atau Hukum


Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://mahasiswahukumbicara.blogspot.co.id/2015/11/makalah-
outsourcing-hukum.html. Diakses: 24-4-2017.

Widyana, Sofie. 2011. Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial.


[online]. Tersedia: http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-
hubungan-industrial/jenis-jenis-perselisihan-hubungan-industrial/.
Diakses: 1-5-2017

Widyana, Sofie. 2012. Pengupahan Dalam Undang-Undang


Ketenagakerjaan. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/pengupahan/pengupahan-dalam-
undang-undang-ketenagakerjaan/. Diakses: 29-4-2017
Widyana, Sofie. 2012. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Melalui Konsiliasi. [online]. Tersedia:
http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-

48
industrial/penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial-melalui-
konsiliasi/. Diakses: 1-5-2017

49

Anda mungkin juga menyukai