Anda di halaman 1dari 9

Perbandingan Naskah Babad Banyumas

Babad Banyumas berisi tentang sekitar cerita sejarah Banyumas, yang diawali dengan
kisah putra raja Majapahit pergi ke pajajaran, bertemu dengan Prabu Siliwangi yang salah satu
keturunannya bernama Adipati Wirasaba, menurunkan adipati-adipati di Banyumas. Dan
berakhir dengan Kisah R. Ng. Dipakasuma di Purbalingga sampai kemunduran derajat
Tumenggung Yudanegara karena Raffles datang ke Banyumas.

Awal mulanya sang adipati beserta pengiringnya dalam perjalanan pulang menempuh
jalan pintas, dan bukan jalan yang buasa dilalui umum dari para narapraja. Maka para gandek
tadi sulit untuk melacak perjalanannya. Pada kesempatan ini sang Adipati memerlukan singgah
ke beberapa demang dan lurah kadipaten yang dilewatinya.

Ki adipati banyak memperoleh pengalaman baru soal perdesaan yang kiranya dapat
diterapkan di Kabupatennya. Para demang dan lurah yang disinggahinya merasa sangat senang
dan bangga. Diantarnya yang menyampaikan tanda penghormatan berupa bingkisan hasil
kerajinan setempa. sementara itu, perjalanan pulang Ki Adipati sudah menginjak hari ke tujuh,
Sabtu Pahing, dan sudah sampai di desa Bener, Distrik Ambal, Kabupaten kebumen.

Menjelang shalat dzuhur ki Adipati beserta para pengiringnya singgah dan istirahat di
rumah sahabatnya yang rumahnya terdiri atas rumah induk dan balai yang biasa disebut “Balai
Malang“ (Balai Melintang). Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang
hati. Ketika Ki Adipati dan para pengiringnya sedang menikmati jamuan makan siang, tiba-tiba
datanglah Gandek utusan kanjeng Sultan (Gandek pertama) yang mengemban tugas untuk
membunuh Adipati. Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan dengan segan gandek tadi
melaksanakan tugasnya. Kuda kesayangan Ki Adipati yang berada dipohon sawo disisi rumah
meronta-ronta, seolah ada firasat buruk yang dirasakan oleh indra keenamnya. Akhirnya Ki
Adipati meninggal ditangan Gandek dengan keris pusaka Keraton Pajang. Semua yang ada di
Pendopo itu geger dan gugup. Mereka sadar bahwa gandek pembunuh itu pembawa amanat
kanjeng Sultan. Melawan Gandek berarti melawan Sang Prabu junjungannya.

Kabupaten Wirasaba masih diliputi suasana berkabung. Ucapan bela sungkawa lewat
surat dan para sahabat dan rekan Bupati masih berdatangan. Tampuk pimpinan Kabpupaten
sementara dipegang oleh Patih yang mewakili Ki Adipati semenjak kepergiannya menghadap
Kanjeng Sultan. Putra almarhum tidak ada yang berani mengangkat dirinya sebagai dirinya
sebagai Bupati menggantikan kedudukan ayahandanya sebelum ada izin dari Kesultanan.
Bahkan hatinya masih diliputi rasa cemas dan tanda tanya. Ia menerka-nerka bahwa apa yang
akan terjadi pada Kabupaten ini dan betulkah laporan para saksi mata bahwa pembunuhan atas
diri ayah tercinta itu karena kekeliruan akibat fitnah Demang Toyareka. Dan itu bukankah hal
taktik busuk dan akal licik dari golongan tertentu saja untuk merebut kekuasaan.

Sultan Hadiwijaya sendiri setelah menerima laporan kedua gandek atau petugasnya yang
merasa sangat berdosa itu sangat menyesal dan terharu. Sultan merasa sangat bertanggung jawab
atas pembunuhan itu. Tumenggung Tambakbaya tokoh Kesultanan Pajang ditugaskan membawa
surat yang ditujukan kepada Adipati Wargautama I almarhum, dan sekaligus ditugaskan untuk
memberi penjelasan secara lisan tentang peristiwa pembunuhan yang tidak sengaja itu.

Setelah itu setiba di Kadipaten Wirasaba, Tumenggung Tambakbaya mengumpulkan


putra dan menantu Ki Adipati dan almarhum serta para sentana, menjelaskan persoalan wafatnya
Ki Adipati yang diperkuat dengan surat resmi dari Kanjeng Sultan, yang sekaligus berisi
panggilan kepada salah seorang putra almarhum. Khawatir akan senasib dengan ayahandanya,
maka putra Ki Adipati bersikeras tidak mau menghadap memenuhi panggilan Kanjeng Sultan,
dia menduga bahwa itu hanya suatu tipu muslihat belaka.

Akhirnya Tumenggung Tambakbaya minta agar menantu Ki Adipati yang datang


memenuhi panggilan Kanjeng Sultan. Menantu almarhum yaitu Joko Kahiman (Anakanya Ki
Meranggi dari Kejawar Banyumas) menerima tawaran itu untuk memenuhi panggilan Kanjeng
Sultan dengan suatu permohonan kepada saudara-saudaranya umpama dapat kembali dengan
selamat dan mendapat anugerah dari Kanjeng Sultan. Berharap saudara-saudara tidak iri hati
(kecewa) dan para pejabat Kabupaten menyetujuinya. Konon hanya istrinya yang kurang
sepakat. Namun ia bertekad menghadapi apa saja yang akan menimpa dirinya demi ketaatannya
kepada Kesultanan Pajang.

Kanjeng Sultan meminta maaf kepada Joko Kahiman dan segenap keluarga alhmarhum
atas kekeliruan pidanya pada almarhum ayah mertuanya. Semua itu terjadi karena fitnah abdi
dalem (pegawai) almarhum ayah mertuanya, Ki Damang Toyareka maka demi keadilan dan
jalannya roda pemerintahan Kabupaten Wirasaba segera pulih kembali, Joko Kahiman diangkat
menjadi Bupati Wirasaba menggantikan almarhum ayah mertuanya.

Dalam suasana yang kritis itu muncul Raden Joko Kahiman, yang rela mengambil resiko
menemui Sultan Hadiwijaya. Raden Joko Kahiman sejatinya adalah menantu Bupati Wirasaba,
dengan harapan agar tidak terjadi ketegangan yang berlarut-larut, ia pergi menuju pusat wilayah
Kesultanan Pajang. Hasil kunjungan itu membuahkan perintah Sultan Hadiwijaya, agar dirinya
menjadi penerus kepemimpinan Kadipaten Wirasaba. Namun, Raden Joko Kahiman merasa ada
yang lebih berhak dari dirinya, namun disisi lain perintah Sultan wajib ia jalankan. Untuk
menyelesaikan permasalahan itu, akhirnya ia berinisiatif memecah Kadipaten Wirasaba menjadi
4 bagian. 3 bagian dipegang oleh ahli waris mertuanya, 1 bagian lagi dibawah
kepemimpinannya. Kadipaten Wirasaba, diserahkan kepada Kyai Ngabei Wargo Wijoyo, lalu
Kadipaten Merden, diserahkan kepada Kyai Ngabei Wiro Kusumo, lalu Kadipaten Banjar
Pertambakan, diserahkan kepada Kyai Ngabei Wiroyudo, lalu Kadipaten Banyumas di daerah
Kejawar, di pimpin oleh Raden Joko Kahiman. Atas jasanya mencegah terjadinya perpecahan di
wilayah Wirasaba, Raden Joko Kahiman lebih dikenal dengan nama ‘Adipati Mrapat’.

Setelah itu, berdirinya Kabupaten Banyumas memiliki asal usul nama Banyumas yang
memiliki berbagai macam versi, diantaranya seperti ada beberapa orang menyebutkan bahwa
nama Banyumas berasal dari kata “Banyu” dan “Emas” Kata-kata itu diceritakan oleh penduduk
daerah tersebut secara bersaut-sautan. Konon sebelum nama Banyumas daerah itu disebut
Selarong. Kala itu Selarong kedatangan seorang tamu dengan menunggang kuda. Selama di
Selarong, tamu itu bertingkah laku aneh, berbeda dengan adat istiada setempat. Oleh karena itu,
penguasa praja mengambil tindakan pengamanan. Tamu dimasukkan dedalam bui atu penjara.

Pada saat itu kota Selarong sedang dilanda kemarau panjang. Sumur-sumur kering.
Aliran Sungai Serayu surut. Untuk mendapatkan air sangat susah. Penduduk harus membuat
belik-belik di pinggir sungai. Sejak tamu itu dimasukkan ke dalam penjara secara kebetulan
tampaklah awan hitam di langit. Lama-kelamaan berubah menjadi mendung. Suasana pun
menjadi gelap dan akhirnya turunlah hujan dengan lebatnya.

Bukan main gembiranya penduduk Selarong. “Banyu…Banyu…Banyu...” dan yang lain


berteriak kata-kata “Banyu Emas“. Banyu Mas artinya air yang sangat berharga bagaikan emas.
Sejak saat itulah kota Selarong berganti nama menjadi Banyumas sampai sekarang.
Sejak kejadian itu, penguasa melepaskan tamu itu dari penjara, dengan pertimbangan
keadaan mulai tenang. Setelah dibebaskan tamu itu langsung pergi ke Desa Dawuhan. Di sana ia
berguru kepada orang sakti bernama Embah Galagamba atau biasa disebut Ki Glagah Amba.
Kedua orang itu tinggal di Padepokan Dawuhan hingga akhir hayatnya. Embah Glagah dan
muridnya dimakamkan di Dawuhan.

Adapun cerita lain yaitu, bahwa Adipati Wirasaba yang bernama Wargautama I (satu)
memerintah rakyat Kadipaten Wirasaba dengan arif dan bijaksana. Keberhasilan dalam
menjalankan pemerintahan membuat rakyat Kadipaten Wirasaba hidup makmur, aman dan
damai. Sepeninggal Raden Wargautama I, kedudukan digantikan oleh menantunya, Raden Bagus
Mangun atau Raden Semangun, yang disebut juga Joko Kaiman, Putra Raden Banyaksosro.
Raden Mangun disebut Raden Wargautama II (dua).

Adipati Wargautama II membagi tanah Kadipaten Wirasaba menjadi empat bagian untuk
diserahkan kepada empat orang putranya. Sejak itu beliau dikenal dengan sebutan Adipati
Mrapat artinya adipati yang membagi empat. Di kemudian hari keempat daerah ini dikenal
dengan istilah Catur Tunggal. Tanah tersebuat di sebelah barat daya Desa Kejawar. Di sana
terdapat pepohonan yang bernama pohon tembangan. Warnanya seperti emas.

Dengan berbagai pertimbangan dan saran dari para cerdik pandai, akhirnya Adipati
Mrapat memutuskan untuk malaksanakan apa yang diwangsitkan, yaitu membuka hutan.
Berangkatlah Adipati Mrapat dengan rakyatnya yang setia dan siap berjuang membuka daerah
permukiman baru. Tidak terhitung berapa lamanya membuka hutan, akhirnya selesai dan kota
pun menjelma atau terwujud.

Tahun 1582 bukan merupakan tahun awal, tetapi merupakan tahun akhir kekuasaan
Adipati Mrapat. Di samping itu, tahun 1571 juga terpampang pada Papan Makam dan Batu Grip
Makam Adipati Mrapat yang masih ada pada tanggal 1 Januari 1984, setelah itu makam
direnovasi oleh Bupati Roedjito, renovasi tersebut telah menghilangkan data tersebut. Daerah
yang pertama kali dibangun sebagai pusat pemerintahan ialah hutan Tembaga sebelah barat laut
daerah Kejawar dan sekarang terletak di pertemuan Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan
di Desa Kalisube dan Desa Pekunden Kecamatan Banyumas.
Perbandingan Naskah Babad Banyumas Kalibening dan Mertadiredjan

1. Versi Babad Banyumas Kalibening

Babad Banyumas Kalibening merupakan naskah dan teks tertua. Babad Banyumas
Kalibening memakai huruf Jawa yang berasal dari abad ke-17 Masehi dan kertas dluwang (bdk.
Holle, 1877:6). Kertas yang dipakai berukuran 11 X 16 cm. Tebal naskah 60 halaman. Halaman-
halaman pada bagian depan dan belakang hilang. Naskah tersebut adalah koleksi juru kunci
makam Kalibening, Sanmuhadi. Kalibening ini berada tidak jauh dari makam pendiri Banyumas
Adipati Warga Utama II di desa Dawuhan. Selain usianya yang tertua, Babad Banyumas
Kalibening memiliki keistimewaan, yaitu menyebut nama Adipati Wirasaba dengan gelar Ki
Kepaguhan. Nama ini amat dekat dengan nama Bhre Paguhan, raja daerah bawahan Majapahit
seperti yang disebut dalam teks Pararaton (Padmapuspita, 1966). Nama-nama binatang dipakai
untuk nama orang, misalnya Patih Banteng, Gagak Minangsi, Kuntul Winatenan, Kebo Singat,
dan Ra Kungkung. Adanya nama-nama di atas menunjukkan bahwa teks tersebut lebih tua
daripada teks-teks lainnya. Kejawar, tempat tinggal Kiai Mranggi disebut dengan nama kunanya,
yaitu Ajahawar. Nama Kepaguhan di Banyumas secara berangsur-angsur telah berubah menjadi
Paguwan atau Paguwon.

2. Versi Mertadiredjan

Naskah Babad Banyumas koleksi Kangjeng Pangeran Aria Mertadiredja III (selanjutnya
disingkat BBM) ditemukan sehingga teks Tedhakan Serat Babad Banyumas dapat dibandingkan
dengan teks induk. Perbandingan kedua teks tersebut menjelaskan bahwa jumlah pupuh, nama
pupuh, dan jumlah bait tidak ada perbedaan yang hakiki, termasuk bagian sambetan. Namun,
bahasa yang dipakai dalam Tedhakan Serat Babad Banyumas (TSBB) lebih halus daripada teks
induk. Hal itu terjadi karena Raden Natahamijaya adalah seorang carik jaksa yang berasal dari
Magetan sehingga teks induk diubah redaksinya. Sebelum naskah induk ditemukan, TSBB
merupakan naskah tunggal. Dengan demikian, TSBB dapat diketahui tradisi teksnya.
Versi Mertadiredjan merupakan satu-satunya versi tembang yang memuat tradisi silsilah kiri
atau sejarah pangiwa, yaitu silsilah dari Nabi Adam sampai raja-raja Majapahit (Priyadi,
1995b:63-67 & 1995c:489). Selanjutnya, raja-raja Majapahit dipakai sebagai cikal-bakal yang
menurunkan tokoh-tokoh lokal, seperti Kaduhu, Banyak Sasra, Banyak Kumara, dan Rara
Ngaisah (Priyadi, 2003). Tokoh-tokoh tersebut adalah hasil perkawinan campuran Majapahit
(Raden Putra) dengan Pajajaran (Dewi Pamekas). Perkawinan campuran itu menjadi alat
legitimasi bagi pendiri Banyumas (Bagus Mangun atau Jaka Kaiman). Bagus Mangun adalah
putra Banyak Sasra yang kawin dengan putri Pasirluhur. Dengan demikian, Bagus Mangun
masih keturunan Majapahit, Pajajaran, dan Pasirluhur, juga Nabi Adam (Priyadi, 1990; bdk.
Knebel, 1901). Teks sejarah pangiwa tidak ditemukan pada naskah-naskah Babad Banyumas
yang lain, kecuali versi Adimulya. Sebagian besar naskah-naskah Babad Banyumas memuat teks
silsilah dari raja-raja Majapahit yang dihubungkan secara langsung dengan pendiri Banyumas
(Behrend, 1998:223).

Babad Banyumas koleksi Pangeran Aria Mertadiredja III di atas ditemukan berkat
bantuan Brigjen Polisi Purnawirawan Mustafa Ganda- subrata (kakak Ratmini Soedjatmoko).
Naskah tersebut tersimpan dengan sejumlah naskah milik Pangeran Aria Mertadiredja III (kakek
buyut Mustafa) dan Pangeran Aria Gandasoebrata (kakek Mustafa).

Maka dapat disimpulkan terdapat lima hal yang baru yang ditemukan pada teksTSBB,
yakni (1) adanya silsilah pangiwa atau silsilah kiri, (2) kisah Raden Putra (nama lain Baribin),
(3) kisah Raden Katuhu (Kaduhu), (4) kisah masa muda Mranggi Kejawar dan Bagus Mangun,
dan (5) bagian sambetan berisi silsilah trah Mertadiredjan. Kelima hal di atas dimunculkan dalam
teks untuk melegitimasikan keluarga Mertadiredjan, khususnya Kangjeng Pangeran Aria
Mertadiredja III, yang menjabat bupati Purwokerto (1860-1879) dan bupati Banyumas (1879-
1913). Perpindahan KPA Mertadiredja III ke Banyumas sudah ditengarai oleh simbolik ramalan,
yaitu yen ana kudhi tarung karo karahe, negeri Banyumas bakal mulih marang sing duwe.
Ramalan ini terbukti terjadi pada masa Cakranagara II, bupati Banyumas berselisih dengan
residen Banyumas. Cakranagara II mengundurkan diri. Cakranagara II bukan trah Banyumasjika
dilihat dari garis ayah, tetapi keturunan Pasir dari garisibu. Trah Mertadiredjan adalah keturunan
trah Yudanagaran, keturunan Yudanagara III (KRA Danuredja), yakni Ngabehi Mertawijaya di
Kedhungrandhu yang berputra Mertadiredja I atauBratadiningrat.Mertadiredja Isebagaisalah
seorang pejabat wedana bupati Banyumas (pejabat yang lain, Transformasi Teks Babad
Banyumas (BR.58) (Sugeng Priyadi) -- 31 (Mertawijaya), (8) Tumenggung Yudanagara III
(menjadi Patih Yogyakarta), (9) Tumenggung Yudanagara IV, dan (10) Tumenggung
Yudanagara V (Raden Gandakusuma).
KRITIK TEKS

Perbandingan Naskah Babad Banyumas

Oleh :

Zahra Aulianisa

J1B018035

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU BUDAYA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


2019

Anda mungkin juga menyukai