Anda di halaman 1dari 45

Tugas Ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

KARAKTERISTIK PELAJAR DAN PENGEMBANGAN STRATEGI PEMBELAJARAN

Dosen Pengampu: Dr. Saifuddin Malik

Di susun oleh:

Saripun

Ali Sobri

SEMESTER II

YAYASAN PERGURUAN TINGGI RADEN RAHMAT

UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT

PROGRAM PASCASARJANA

MALANG

2021

SEKAPUR SIRIH
 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kami semua

kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi

yang berjudul “Karakteristik Peserta Didik” dapat selesai seperti waktu yang telah kami

rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah

memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu kami

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Nurul Umamah, M.Pd. dan Ibu Rully Putri Nirmala Puji, S.Pd, M.Ed. selaku

dosen mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi Universitas Jember

2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami sehingga makalah

ini dapat terselesaikan

3. Teman-teman Kelas A Prodi Pendidikan Sejarah yang telah membantu dan memberikan

dorongan semangat agar makalah ini dapat di selesaikan

Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan, makalah ini disusun untuk memenuhi salah

satu tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi. Materi dalam makalah ini

membahas tentang karakteristik peserta didik. Tidak ada kata sempurna selain milik-Nya,

penyusun menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Kritik yang

membanguun sangat dibutuhkan penyusun untuk menyempurnakan makalah selanjutnya.

DAFTAR ISI
 

PRAKATA.. II

DAFTAR ISI. III

BAB1. PENDAHULUAN.. 1

1.1.      Latar Belakang. 1

1.2.      Rumusan Masalah. 2

1.3.      Tujuan Penulisan. 21.4.      Manfaat Penulisan. 2BAB 2. PEMBAHASAN.. 32.1.      

Definisi  karakteristik Peserta Didik. 32.2.      Karakteristik peserta didik. 62.3.      Cara

Menganalisis Karakteristik Peserta Didik. 11BAB 3. PENUTUP. 153.1.       Simpulan.

15DAFTAR PUSTAKA.. 16

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang

Adanya berbagai aspek yang berupa pengetahuan, gaya belajar, minat, dan motivasi yang

dimiliki oleh peserta didik dapat mempengaruhi dalam strategi pengelolaan yang berhubungan

dengan tatanan pembelajaran. Hal ini diwujudkan agar sesuai dengan setiap karakteristik peserta

didik. Pada indikator kemampuan awal peseta didik meliputi berbagai tingkat ketrampilan

maupun pengetahuan.

Adapun teknik yang digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional seperti

interview, observasi, dan tes. Teknik yang digunakan seperti itu juga dapat mengidentifikasi

perilaku awal pada peserta didik. Selain itu juga dapat dilakukan dengan tes bakat.

Karakteristik peserta didik dapat didefinisikan sebagai aspek maupun kualitas seorang peserta

didik. Berbagai aspek yang yang ada dalam diri peserta didik dapat dikaitkan dengan penataan

pembelajaran. Sehingga karakteristik peserta didik dapat mempengaruhi pemilihan strategi

pembelajaran. Sesungguhnya, karakteristik pada peserta didik dididentifikasi dapat

mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.

Seorang ilmuan pembelajaran yang menetapkan bahwa kedudukan karakteristik peserta didik

merupakan komponen terpenting dalam pengembangan pengelolaan strategi pembelajaran.

Secara umum karakteristik peserta didik yang disebut sebagai karakter individu ini dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor usia, latar belakang, dan keturunan (gender).

Faktor – faktor tersebut telah dibawa sejak peserta didik lahir. Tetapi faktor tersebut juga

dipengaruhi oleh keadaan dari lingkungan sosial yang menjadi titik awal menentukan kualitas

hidup. Teori pembelajaran dijadikan sebagai acuan pada saat pengoptimalan proses

pembelajaran. Sehingga teori tersebut dapat dikatakan sebagai teori yang komprehensif.

1.2.            Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut.

 Bagaimana definisi dari karakteristik peserta didik?

 Bagaimana karakteristik peserta didik menurut Reigeluth?

 Bagaimana cara menganalisis karakteristik peserta didik?

1.3.            Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas dapat ditarik tujuan penulisan sebagai berikut.

 Untuk mengetahui definisi dari karakteristik peserta didik

 Untuk mengetahui karakteristik peserta didik menurut Reigeluth

 Untuk mengetahui cara menganalisis karakteristik peserta didik

1.4.            Manfaat Penulisan

Dari tujuan penulisan di atas dapat ditarik manfaat penulisan sebagai berikut.

 Dapat menambah wawasan tentang mengetahui definisi dari karakteristik peserta didik.

 Dapat menambah wawasan tentang karakteristik peserta didik menurut Reigeluth

 Dapat menambah wawasan tentang cara menganalisis karakteristik peserta didik


BAB II

PEMBAHASAN

2.1.             Definisi  karakteristik Peserta Didik

Karakteristik merupakan suatu gaya hidup seseorang maupun nilai yang berkembang secara

teratur setiap hari yang mengacu kepada tingkah laku yang mengarah pada kepribadian yang

lebih konsisten dan mudah dipahami. Dimana karakteristik dapat diartikan sebagai ciri yang

lebih ditonjolkan dalam berbagai aspek tingkah laku ( Daryanto & Rachmawati, 2015: 15)

Peserta didik merupakan orang yang mendapatkan pengaruh dari berbagai kelompok yang

sedang melaksanakan pendidikan. Peserta didik merupakan unsur yang sangat penting dalam

kegiatan pembelajaran. Karena peserta didik dijadikan sebagai titik persoalan dalam berbagai

aktifitas kegiatan belajar mengajar. Dalam aspek psikologis, peserta didik merupakan titik

penentu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan baik dalam artian bentuk fisik maupun

psikis. Namun, peserta didik juga berhak mendapatkan bimbingan yang terarah dan konsisten

dalam menentukan kemampuan yang sebenarnya. Peserta didik disebut sebagai insan yang

menarik. Karena memiliki fisik dan psikis yang unik. Berbagai potensi yang dimiliki oleh

peserta didik masih memerlukan perkembangan guna mencapai kebutuhan untuk perkembangan

yang sangat optimal.

Menurut Reigeluth (1993) seorang ilmuan pembelajaran yang menetapkan bahwa kedudukan

karakteristik peserta didik merupakan komponen terpenting dalam pengembangan pengelolaan

strategi pembelajaran. Dalam hal ini, proses pembelajaran yang didalamnya terdapat dimensi,

metode, dan strategi yang telah dikembangkan dalam pembelajaran. Sehingga menganalisis

karakteristik peserta didik merupakan suatu langkah awal yang harus dikembangkan. Strategi

dan model dikembangkan dengan tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal. Oleh

karena itu, pembelajaran harus berpandangan kepada karakteristik peserta didik.


Karakteristik peserta didik dapat didefinisikan sebagai aspek maupun kualitas seorang peserta

didik. Berbagai aspek yang yang ada dalam diri peserta didik dapat dikaitkan dengan penataan

pembelajaran. Sehingga karakteristik peserta didik dapat mempengaruhi pemilihan strategi

pembelajaran. Sesungguhnya, karakteristik pada peserta didik dididentifikasi dapat

mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.

Kemampuan yang dimiliki oleh setiap peserta didik merupakan tonggak untuk memilih strategi

pembelajaran yang cocok. Kemampuan peserta didik yang dijadikan sebagai kemampuan awal

atau tonggak ini berperan untuk meningkatkan pelaksanaan pembelajaran. Hal ini menyebabkan

perubahan besar yang membantu memudahkan proses internal yang terjadi pada peserta didik

pada saat meraka melakukan kegiatan belajar

Secara umum karakteristik peserta didik yang disebut sebagai karakter individu ini dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor usia, latar belakang, dan keturunan (gender).

Faktor – faktor tersebut telah dibawa sejak peserta didik lahir. Tetapi faktor tersebut juga

dipengaruhi oleh keadaan dari lingkungan sosial yang menjadi titik awal menentukan kualitas

hidup. Teori pembelajaran dijadikan sebagai acuan pada saat pengoptimalan proses

pembelajaran. Sehingga teori tersebut dapat dikatakan sebagai teori yang komprehensif.

Memasuki tahun 1960, Ausabel mengemukakan bahwa dalam mengoptimalkan perolehan hasil

belajar, pengorganisasian, dan mengungkapkan adanya pengetahuan baru yang bertujuan untuk

menciptakan dan mempuat pengetahuan baru yang sangat bermakna bagi peserta didik. Hal – hal

yang perlu dilakukan adalah dengan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh

peserta didik. (Umamah, 2014:101)

Dalam perkembangannya, peserta didik juga memiliki suatu hambatan dalam proses

pembelajaran. Sehingga banyak berbagai faktor yang mempengaruhi karakteristik peserta didik

antara lain:

1. Dalam diri individu sendiri :


Sejak berada dalam kandungan, janin tumbuh dan berkembang seseuai dengan proses

tahapannya. Jadi akan terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya, yakni:

1. Bakat

Setiap bakat yang dimiliki oleh peserta didik dapat tumbuh dengan sendirinya dan tergantung

pada peserta didik itu sendiri mau atau tidak dalam mengembangkan potensi bakat yang

dimiliki.

1. Sifat keturunan

Berdasarkan fakta yang dimiliki oleh manusia, maka besar kemungkinan bagi peserta didik

untuk memiliki sifat yang berdasarkan garis keturunan yang dimiliki oleh orang tua mereka.

1. Dorongan dan instik

Dorongan dan instik yang dimiliki oleh peserta didik berasala dari batin mereka masing –

masing. Sehingga dorongan disini merupakan ambisi dari peserta didik untuk terus maju dalam

meningkatkan proses pembelajaran.

2. Luar dari Individu

Faktor selanjutnya yakni berdasarkan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya yang dapat

mempengaruhi karakteristik peserta didik antara lain :

1. Makanan

Makanan maupun minuman dapat mempengaruhi dan menghambat perkembangan peserta didik

karena setiap makanan dan minuman yang dikonsumsui dapat menjadi gizi dan racun bagi

kesehatan tubuh manusia.

1. Iklim
Iklim yang dimiliki oleh suatu negara juga dapat memperuhi karakteristik peserta didi. Karena

bila iklim di sekitar mereka baik dan tidak buruk. Maka sedikit kemungkinan untuk menghambat

perkemangan karakteristik peserta didik.

1. Ekonomi

Ekonomi yang yang dimiki oleh pserta didik juga mampu menghambat perkembangan

karakteristik peserta didik. Karena semakin tinggi ataupun semakin rendah suatu ekonomi yang

dimiliki maka akan besar pengaruhnya terhadap karakteristik yang dimiliki oleh peserta didik.

3. Umum

4. Intelegensi

Kemampuan intelegensi ataupun intelektual yang dimiliki oleh peserta didik dapat

mempengaruhi ke dalam proses pembelajaran peserta didik

1. Jenis kelamin

Jenis kelamin juga bisa disebut sebagai penghambat karakteristik peserta didik. Karena setiap

laki – laki maupun wanita memilki perbedaan yang signifikan untuk diketahui oleh peserta didik

2.2.            Karakteristik peserta didik

Menurut Reigeluth (1993) mengungkapkan bahwa karakteristik peserta didik terbagi menjadi

empat yakni antara lain :

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan suatu intelektual yang dimiliki oleh peserta didik. Pengetahuan inilah

yang disebut dengan intelegensi siswa yang harus tetap dipertahankan untuk kemampuan peserta

didik.
Menurut Reigeluth (dalam Degeng, 1999) pengetahuan peserta didik diidentifikasi menjadi tujuh

jenis yang termasuk kedalam kemampuan awal peserta didik. Kemampuan awal peserta didik ini

antara lain:

1. Arbitrarily meaningfull knowledge (pengetahuan bermakna tak terorganisasi).

Pengetahuan ini merupakan tempat untuk mengaitkan suatu kemampuan menghafal. Hafalan

dalam hal ini merupakan hafalan yang tidak terlalu penting. Namun masih memiliki makna

penting bagi pengetahuan peserta didik. Sehingga hafalannya hanya untuk memudahkan retensi.

1. Analogic knowledge (pengetahuan analogis)

Pengetahuan seperti ini merupakan pengetahuan baru yang mengaitkan pengetahuan dengan

kemampuan peserta didik maupun pengetahuan baru yang masih sama dan serupa serta berada

di luar topik atau isi yang sedang dibacarakan.

1. Superordinate knowledge (pengetahuan tingkat yang lebih tinggi)

Pengetahuan tingkat yang lebih tinggi ini merupakan pengetahuan yang memiliki tingkat yang

berada diatas analogic knowledge. Jadi dalam hal ini pengetahuan tingkat lebih tinggi dapat

berfungsi sebagai tonggak atau kerangka bagi pengetahuan yang baru.

1. Coordinate knowledge (pengetahuan setingkat)

Pengetahuan setingkat ini merupakan pengetahuan yang berfungsi sebagai pengetahuan yang

komparatif.

1. Subordinate knowledge (pengetahuan tingkat yang lebih rendah)

Pengetahuan tingkat yang lebih rendah ini merupakan pengetahuan yang berfungsi untuk

menyatakan kebenaran pengetahuan baru yang sebenarnya. Sehingga dapat dibuktikan dengan

memberikan contoh-contohnya.
1. Experiential knowlege (pengetahuan pengalaman)

Pengetahuan berdasarkan pengalaman ini memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan

pengetahuan tingkat yang lebih rendah. Pada pengetahuan pengalaman ini juga mengkonkritkan

atau memberikan fakta dengan menyediakan bukti contoh untuk pengetahuan baru.

1. Cognitive strategy (strategi kognitif)

Strategi kognitif yang dimaksud ialah suatu strategi yang menyediakan berbagai cara dalam

mengolah pengetahuan baru. Sehingga akan ada pemikiran ataupun pengungkapan kembali

terhadap pengetahuan yang telah tersimpan dalam memori ingatan

2. Gaya

Reigeluth mengidentifikasi gaya belajar peserta didik menjadi tiga tipe yakni gaya belajar visual,

gaya belajar auditori, dan gaya belajar kinestetik. Gaya belajar pada peserta didik merupakan

suatu tipe dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar mereka. Sehingga peserta didik akan

selalu menggali potensinya dengan cara gaya belajar mereka sendiri. Setiap peserta didik yang

memiliki gaya belajar visual mereka akan belajar memahami dengan apa yang mereka lihat.

Sedangkan peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori lebih memahami pembelajaran

dengan cara mendengar apa yang mereka dengar. Sementara gaya belajar kinestetik memahami

dengan cara menggerakkan tubuhnya, entah itu sentuhan ataupun pada rabaan. Namun dalam

kenyataannya setiap peserta didik pasti memiliki ketiga gaya belajar tersebut. Tetapi hanya salah

satu yang mendominasi dalam gaya belajar mereka. Mengenai tentang gaya belajar peserta didik

juga dapat dilihat sebgai berikut.

 Gaya belajar visual

Dalam gaya belajar visual yang terjadi pada peserta didik dapat diketahui melalui ciri – ciri

utama yakni dengan menggunakan indera penglihatan. Reigeluth (1999) menjelaskan bahwa

gaya belajar dengan visual ini lebih suka berbicara cepat, suka mencoret-coret saat menelpon,

dan lebih suka melihat gambar peta beserta penjelasannya.pada umumnya peserta didik dengan
gaya visual ini biasanya menerapkan suatu strategi visual yang sangat kuat dengan menyerap

suatu informasi dengan ungkapan gambar. Ciri-ciri gaya belajar visual yakni antara lain:

1. Bicara cepat

2. Lebih mementingkan penampilan

3. Bersikap rapi dan teratur

4. Tidak mudah terganggu bila ada keributan

5. Lebih suka membaca daripada dibacakan

6. Lebih suka mencorat coret meski bukan hal yang penting

7. Lebih suka mengingat wajah orang daripada mengingat namanya

 Gaya belajar auditorial

Bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori dapt dikenal dan diketahui dengan ciri-

ciri yang lebih dominan yakni dengan menggunakan kekuatan indera pendengaran. Reigeluth

(1993) menjelaskan bahwa peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori lebih suka

berbicara daripada membaca maupun menulis. Reigeluth (1999) juga menyatakan bahwa “aku

mendengar apa yang kau katakan”. Kecepatan dalam berbicara juga sedang. Pada saat menyerap

informasi umumnya orang bergaya belajar auditori juga menerapkan adanya strategi

pendengaran yang sangat kuat. Sehingga pendidik yakni guru juga harus menerapkan

pembelajaran yang memberikan suatu variasi pengajaran yang dapat diterima dan dimengerti

oleh peserta didik dengan gaya belajar auditori. Ciri ciri gaya belajar auditorial yakni:

1. Pada saat bekerja suka berbicara kepada dirinya sendiri

2. Merasa terganggu bila ada keributan

3. Kesulitan dalam menulis maupun mengarang

4. Lebih suka bercerita

5. Menyukai lelucon dari lisan daripada dari komik

6. Bila berbicara dalam irama yang berpola

7. Bila berdiskusi selalu menggunakan kata kata yang panjang


8. Selalu mengulangi kata kata yang terlontar dan dapat menirukan nada pembicaraan orang

lain

9. Lebih suka mendengarkan musik

10. Bila berbicara dengan orang lain selalu memalingkan penglihatannya dan tidka

melakukan kontak mata saat berbicara dengan orang lain.

 Gaya belajar kinestetik

Reigeluth (1993) menjelaskan bahwa peserta didik yang menggunakan gaya belajar kinestetik

lebih suka menggerakkan anggota tubuhnya saat berbicar dan sulit untuk diam. Pada umumnya

peserta didik yang menggunakan gaya belajar kinestetik memahami informasi dengan

menggunakan strategi fisik dan mampu berekspresi dengan fisik mereka. Adapun ciri-ciri yang

dapat melihat peserta didik dengan menggunakan gaya belajar kinestetik antara lain:

1. Berbicara dengan perlahan

2. Membutuhkan waktu untuk berpikir dalam berbicara maupun dalam bertindak

3. Penampilan selalu rapi

4. Tidak mudah terganggu dengan keributan

5. Bila belajar selalu menggunakan praktek menghafal dengan berjalan

6. Membuat keputusan berdasarkan perasan

7. Minat

Minat merupakan suatu hal yang berpengaruh besar tehadap belajar peserta didik. Apabila

materi pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik maka, peserta didik

akan bersemangat dan tidak berambisi dalam mempelajarinya. Karena bagi mereka, tidak akan

ada daya tarik yang membuat mereka untuk berambisi dalam mempelajarinya. Sehingga tidak

akan ada kepuasan bagi peserta didik. Tapi jika materi pelajarannya diminati dan dan menarik

peserta didik maka akan menumbuhkan minat dan menambah semangat terhadap kegitan

pembelajaran. Peserta didik yang kurang meminati materi pembelajaran, maka dapat diusahakan
untuk mempunyai minat yang cukup besar dengan cara menjelaskan menggunakan metode yang

menarik dan hal yang berguna bagi peserta didik. Serta dapat dilakukan dengan mendongkrak

semngat peserta didik untuk menjelaskan materi yang berhubungan dengan cita-cita yang

berkaitan dengan materi pelajaran yang akan dipelajari.

4. Motivasi belajar

Motivasi dalam proses pembelajaran sangat diperlukan. Karena pendidik harus mampu

mendorong dan mendongkrak peserta didik agar dapat belajar dengan tekun dan bersemangat

dalam merencanakan maupun melaksanakan sesuatu yang selalu ada hubungannya dengan

kegiatan belajar. Menurut Reigeluth (dalam Degeng, 1999) motivasi dapat dibedakan menjadi

dua macam yakni:

 Motivasi intrinsik

Motivasi intrinsik merupakan hal yang berasal dari dalam diri peserta didik sendiri yang dapat

mendorong untuk melakukan tindakan belajar. Motivasi intrinsik merupakan suatu kesenangan

materi yang menyangkut tentang kehidupan masa depan peserta didik sendiri.

 Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik merupakan suatu motivasi yang datang dari luar individu peserta didik yang

dapat mendorong untuk tekun belajar. Adanya hadiah maupun pujian merupakan contoh yang

konkrit pada motivasi ekstrinsik yang dapat mendongkrak peserta didik untuk belajar. Tidak

adanya motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik dapat berpengaruh terhadap kurang

bersemangatnya dalam melakukan proses mempelajari materi pelajaran baik di sekolah maupun

di rumah.
2.3.            Cara Menganalisis Karakteristik Peserta Didik

Reigeluth (dalam Degeng, 1999) dalam menganalisis karakteristik peserta didik dapat dilakukan

dengan mengklasifikasikan menjadi tiga cara yakni kemampuan yang berkaitan dengan:

1. Pengetahuan yang akan diajarkan

2. Pengetahuan yang berada diluar pengetahuan yang dibicarakan

3. Pengetahuan mengenai ketrampilan generik

Pada klasifikasi yang pertama ini berhubungan dengan pengetahuan yang akan diajarkan dan

meliputi berbagai tingkat pengetahuan sebagai berikut:

1. Pengetahuan tingkat yang lebih tinggi (Superordinate knowledge)

Pengetahuan tingkat yang lebih tinggi ini merupakan pengetahuan yang memiliki tingkat yang

berada diatas analogic knowledge. Jadi dalam hal ini pengetahuan tingkat lebih tinggi dapat

berfungsi sebagai tonggak atau kerangka bagi pengetahuan yang baru.

2. Coordinate knowledge (pengetahuan setingkat)

Pengetahuan setingkat ini merupakan pengetahuan yang berfungsi sebagai pengetahuan yang

komparatif.

3. Pengetahuan tingkat yang lebih rendah (Subordinate knowledge)

Pengetahuan tingkat yang lebih rendah ini merupakan pengetahuan yang berfungsi untuk

menyatakan kebenaran pengetahuan baru yang sebenarnya. Sehingga dapat dibuktikan dengan

memberikan contoh-contohnya.

4. Pengetahuan pengalaman (Experiential knowlege)


Pengetahuan berdasarkan pengalaman ini memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan

pengetahuan tingkat yang lebih rendah. Pada pengetahuan pengalaman ini juga mengkonkritkan

atau memberikan fakta dengan menyediakan bukti contoh untuk pengetahuan baru.

Sedangkan dalam klasifikasi kedua berkaitan dengan pengetahuan yang berada di luar konteks

pengetahuan yang akan dibicarakan yang meliputi berbagai identifikasi pengetahuan sebagai

berikut:

1. Pengetahuan bermakna tak terorganisasi (Arbitrarily meaningfull knowledge).

Pengetahuan ini merupakan tempat untuk mengaitkan suatu kemampuan menghafal. Hafalan

dalam hal ini merupakan hafalan yang tidak terlalu penting. Namun masih memiliki makna

penting bagi pengetahuan peserta didik. Sehingga hafalannya hanya untuk memudahkan retensi.

2. Pengetahuan analogis (Analogic knowledge)

Pengetahuan seperti ini merupakan pengetahuan baru yang mengaitkan pengetahuan dengan

kemampuan peserta didik maupun pengetahuan baru yang masih sama dan serupa serta berada

di luar topik atau isi yang sedang dibicarakan.

Adapun klasifikasi yang ketiga yang berhubungan dengan pengetahuan tentang ketrampilan

generik yakni meliputi:

1. Strategi kognitif  (Cognitive strategy)

Strategi kognitif yang dimaksud ialah suatu strategi yang menyediakan berbagai cara dalam

mengolah pengetahuan baru. Sehingga akan ada pemikiran ataupun pengungkapan kembali

terhadap pengetahuan yang telah tersimpan dalam memori ingatan

Apabila dilihat dari tingkat penguasaan, kemampuan awal peserta didik dapat diklasifikasikan

menjadi tiga antara lain:


1. Kemampuan awal siap pakai

Pada tahapan ini lebih mengacu pada kemampuan awal, sebagaimana telah diidentifikasi oleh

Reigeluth. Sehingga peserta didik juga sudah bisa menguasainya. Selain itu peserta didik juga

dapat memakainya dalam situasi apaun.

2. Kemampuan awal siap ulang

Pada tahapan ini mengacu pada kemampuan awal peserta didik, dimana peserta didik masih

belum menguasai materi yang seharusnya dipahami. Sehingga peserta didik bergantung pada

sumber sumber yang releva seperti buku untuk menggunakan kemampuan awal siap ulang ini.

3. Kemampuan awal pengenalan

Pada tahapan kemampuan awal pengenalan ini, peserta didik perlu mengulangi beberapa kali

agar lebih memahaminya. Sehingga dalam kemampuan awal ini masih tergantung pada sumber

buku yang relevan dan peserta didik juga terkadang belum menguasainya.

Pada setiap pengidentifikasian kemampuan yng telah diidentifikasi (Reigeluth, 1993)

mengungkapkan bahwa kemampuan awal peserta didik ada yang masih mencapai tingkat

pengenalan, adapula yang mencapai siap pakai. Sehingga dalam menganalisis karakteristik

peserta didik perlu memperhatikan setiap kemampuan awal yang bervariasi penguasaannya dari

peserta didik yang satu terhadap peserta didik yang lain. Pendidikpun juga perlu memperhatikan

karakteristik peserta didik. Dalam hal inikemampuan awal sangat penting berperan sebagai

pengembangan dalam pembelajaran khususnya dalam memilih strategi pembelajaran.

Kita telah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ini revolusi psikologi kognitif telah memberi

kontribusi wawasan baru tentang hakekat berpikir, baik pada guru maupun siswa. Pa
ndangan mengenai “bagaimana belajar terjadi” menjadi isu dari dekade ke dekade berikutnya.

Setidak-tidaknya ada tiga kategori pandangan mengenai belajar yang berkembang di abad 20

hingga awal abad 21 ini, yakni belajar sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan

pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan (Mayer, 1992). Proses belajar yang

terjadi dari pandangan pertama adalah menerima dan mengingat; pandangan kedua bercirikan

menerima dan memahami isi serta melihat hubungan-hubungan; dan yang ketiga, adalah

interpretasi dan konstruksi dari apa yang dialami (dilakukan, dilihat, didengar, dan dibaca)

pebelajar atau siswa (Smith, 1990).

Di sisi lain, pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.

Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa konsepsi atau pandangan tentang “bagaimana

belajar terjadi” menjadi titik tolak bagaimana upaya membelajarkan siswa ditempuh. Dalam

konteks, pandangan belajar yang pertama, dan kedua di atas, yakni belajar sebagai pemerolehan

respon, dan belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, metode pembelajaran dimaknai sebagai

cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan; dan

strategi pembelajaran dimaknai sebagai penataan cara-cara itu sehingga tersusun suatu urutan

langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.

Sedangkan, dalam konteks konsepsi atau pandangan belajar yang ketiga, yakni belajar sebagai

proses konstruksi pengetahuan, metode/strategi pembelajaran dimaknai sebagai upaya

penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendukung proses membangun pengetahuan oleh

siswa.

Dalam tulisan pendek ini, akan dipaparkan strategi pembelajaran yang dikembangkan

dengan pijakan tiga pandangan tentang “bagaimana belajar terjadi” itu. Pada bagian awal

dipaparkan tiga metafora belajar itu, dan kemudian dilanjutkan dengan paparan strategi

pembelajaran yang relevan dengan masing-masing pandangan tentang belajar.

PANDANGAN TENTANG BAGAIMANA BELAJAR TERJADI

Metafora belajar yang diungkapkan Mayer (1992) tersebut, yakni pandangan belajar

sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai

konstruksi pengetahuan, memberikan gambaran pergeseran pandangan tentang bagaimana


belajar terjadi, yang berkembang terutama setengah abad terakhir. Pandangan belajar sebagai

pemerolehan respon menganggap proses belajar terjadi secara mekanistik. Respon yang berhasil

adalah memperkuat otomatisasi, dan sebaliknya kega-galan respon dipandang sebagai lemahnya

otomatisasi. Implikasinya dalam pembelajaran, metafora belajar sebagai pemerolehan respon ini

adalah pembuatan situasi yang dapat membangkitkan respon siswa dan

pemberian reinforcement untuk setiap respon. Drill dan latihan (praktik) adalah epitome

pembelajaran dalam pandangan belajar ini, dan tujuan pembelajaran adalah menambah tingkah

laku yang benar. Hasil belajar dapat dievaluasi dengan pengukuran seberapa besar perubahan

tingkah laku itu. Pandangan ini telah menjadi dasar yang amat kuat dalam praktik dan penelitian

belajar dan mengajar lebih dari separo abad ini, dan puncaknya terjadi pada masa-masa setelah

Perang Dunia II.

Pandangan kedua, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, merupakan metafora baru

setelah revolusi kognitif tahun 1950-an dan 1960-an. Dalam pandangan ini siswa menjadi

pemroses informasi dan guru sebagai penyaji informasi. Karena pemerolehan pengetahuan

menjadi pusat perhatian para ahli psikologi, maka kurikulum menjadi fokus pembelajaran.

Implikasinya dalam pembelajaran jelas sekali, seperti penciptaan situasi yang dapat membuat

siswa memperoleh pengetahuan. Dengan metafora ini, pembelajaran berdasarkan buku teks dan

ceramah menjadi menjadi fokus, untuk tujuan pembelajaran menambah pengetahuan dalam diri

siswa, dan hasil belajar dapat dievaluasi dengan mengukur jumlah perolehan pengetahuan dan

retensi. Tes pilihan ganda dan tes-tes prestasi yang lain menjadi populer sebagai alat ukur.

Pandangan ketiga, belajar sebagai konstruksi pengetahuan, muncul setelah pertumbuhan

psikologi kognitif pada dekade 1970-1980-an. Pandangan terhadap siswa berubah dari penerima

pengetahuan ke pembangun (konstruktor) pengetahuan, suatu otonomi siswa dalam

menggunakan metakognisinya, untuk mengontrol proses kognitifnya, selama belajar

berlangsung. Seperti dikatakan Resnick dan Klopfer (1989) bahwa orang bukanlah perekam

informasi, tetapi pembangun struktur pengetahuan. Mengetahui sesuatu tidak berarti hanya telah

menerima informasi, tetapi juga telah menginterpretasikannya dan menghubungkannya dengan

pengetahuan yang lain. Terampil adalah tidak hanya mengetahui bagaimana melakukan

sejumlah tindakan, tetapi juga mengetahui kapan melakukannya dan mengadaptasi unjuk kerja
ke berbagai keadaan. Meskipun konstruktivisme dalam pendidikan tidak dimaksudkan untuk

mengembangkan strategi pembelajaran, namun para ahli pembelajaran menggunakannya sebagai

pijakan untuk mengembangkan strategi pembelajaran. Hingga sekarang, teori pembelajaran yang

bervisi pada belajar konstruktivis ini boleh dikatakan masih dalam proses kajian. Para peneliti

masih terus berusaha mengembangkan teori dan model pembelajaran baru berdasarkan

konstruktivisme, dan asumsi-asumsinya mengenai hakekat belajar (Resnick & Klopfer, 1989).

Mengenai pandangan terhadap belajar yang terakhir ini pusat perhatian pembelajaran

terletak pada pengubahan dari apa yang dikehendaki kurikulum ke kognisi siswa. Seperti

tercermin dalam lima prinsip pembelajaran konstruktivis yang diajukan Brook dan Brook

(1993): (1) penyikapan masalah-masalah yang muncul dan relevan pada belajar siswa; (2)

menstrukturkan belajar menurut konsep utama (“big ideas”); (3) menemukan dan memaknai

pandangan-pandangan siswa; (4) penyesuaian kurikulum yang diarahkan pada konsepsi siswa;

dan (5) pengukuran belajar siswa dalam konteks pembelajaran. Berhubungan dengan hal ini,

evaluasi terhadap belajar siswa lebih mengarah pada penemuan bagaimana struktur dan proses

pengetahuan siswa daripada berapa banyak yang dipelajari siswa. Pertanyaan yang lazim

diajukan bukan lagi “apakah pembelajaran lebih efektif,” tetapi “makna apa yang dapat

diperoleh siswa atau guru dari aktivitas pembelajaran itu.”

PENGEMBANGAN STRATEGI PEMBELAJARAN

Tajuk “pengembangan strategi pembelajaran” lebih sering dipakai untuk konteks

pandangan belajar yang pertama dan kedua. Sedangkan bagi pandangan belajar yang ketiga

lebih sering menyebut pengembangan strategi pembelajaran dengan tajuk “penggubahan

lingkungan belajar”. Dalam tulisan pendek ini, kedua tajuk tersebut digunakan dengan maksud

agar dapat dipakai sebagai penunjuk terminologis dalam basis teori belajar apa strategi

pembelajaran itu dikembangkan.

Menurut taksonomi variabel pembelajaran, metode pembelajaran dikategorikan menjadi

tiga ranah:

1. strategi pengorganisasian isi pembelajaran

2. strategi penyampaian pembelajaran


3. strategi pengelolaan pembelajaran

Strategi pengorganisasian isi pembelajaran lazim didasarkan pada tujuan dan

karakteristik bidang studi (dikenali dengan melakukan analisis isi dan tujuan pembelajaran),

strategi penyampaian pembelajaran didasarkan pada karakteristik bidang studi dan kendala,

sedangkan strategi pengelolaan lazim ditetapkan berdasarkan karakteristik siswa, dan secara

simultan dikelola untuk mendukung strategi penyampaian pembelajaran, dengan mengacu pada

organisasi isi.

Strategi Pengorganisasian Isi

Dua langkah yang amat penting dalam penetapan strategi pengorganisasian isi

pembelajaran adalah synthesizing dansequencing. Synthesizing dilakukan dengan cara

menunjukkan keterkaitan antarisi bidang studi secara keseluruhan, dengan maksud untuk

membuat isi-isi bidang studi menjadi lebih bermakna bagi siswa. Sequencing dilakukan untuk

menunjukkan urutan-urutan yang perlu diikuti dalam mempelajari isi bidang studi.

Pembuatan pensintesis dan pengurutan isi pembelajaran merupakan satu kegiatan yang

tak terpisahkan dengan analisis tujuan dan analisis karakteristik bidang studi. Oleh karena itu,

tepatlah jika penggarapan strategi pengorganisasian isi dilakukan segera setelah dilakukan

analisis tujuan dan isi atau karakteristik bidang studi. Pengorganisasian dapat melibatkan

keseluruhan isi bidang studi, atau hanya melibatkan sebagian kecil isi bidang studi.

Pengorganisasian yang pertama menuntut strategi makro, sedangkan pengorganisasian yang

kedua menuntut strategi mikro.

Strategi Penyampaian Pembelajaran

Penetapan strategi penyampaian isi pembelajaran menaruh perhatian pada pemilihan dan

penetapan media yang optimal untuk menyampaikan isi pembelajaran. Penetapan ini akan sangat

tergantung pada hasil analisis kondisi, terutama analisis sumber belajar yang tersedia dan dapat

digunakan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis sumber dapat ditetapkan

bentuk-bentuk interaksi siswa-media-guru.


Teknik-teknik penyampaian isi di dalam kelas yang sudah lazim digunakan guru, yang

meliputi penggunaan ceramah, tanya jawab, penjelasan, pemberian ilustrasi, pendemonstrasian,

atau mengarahkan siswa secara langsung ke sumber informasi selama pembelajaran

berlangsung, atau menggunakan bukuteks untuk pemberian tugas-tugas rumah, menjadi bagian

penting dari strategi penyampaian pembelajaran. Semua itu dirancang, dan dijalankan oleh guru.

Strategi Pengelolaan Pembelajaran

Strategi pengelolaan pembelajaran menaruh perhatian pada penataan interaksi siswa

dengan sumber belajar yang dirancang akan dipakai dalam pembelajaran. Perhatian utama

diberikan pada penjadwalan penggunaan setiap sumber belajar ini. Oleh karena fokus

perhatiannya terletak pada penataan interaksi siswa dengan sumber belajar, maka strategi

pengelolaan ini amat tergantung pada hasil analisis karakteristik siswa. Deskripsi hasil analisis

karakteristik siswa menjadi pijakan dalam memilih dan menetapkan strategi pengelolaan. Hasil

kegiatan dalam langkah ini akan berupa penjadwalan penggunaan komponen strategi

pengorganisasian dan penyampaian pembelajaran.

Strategi pembelajaran yang dikembangkan secara terstruktur tersebut, didasari

pandangan belajar yang berperspektif bihavioris-kognitivis. Bahwa, belajar dipandang sebagai

pembentukan respon, dan belajar dipandang sebagai pemerolehan belajar atau penyerapan

informasi, sehingga adagium pembelajaran yang terkenal selama ini berbunyi “peningkatan daya

serap” atau “peningkatan perolehan belajar”. Semua strategi pembelajaran dirancang untuk

meningkatkan “adaya serap” atau “perolehan belajar”. Adagium pembelajaran ini akan menjadi

lain, jika kita berpijak dari pandangan konstruktivistik.

PENGGUBAHAN LINGKUNGAN BELAJAR

Dalam pembelajaran yang berperspektif konstruktivis, mungkin beberapa strategi

pembelajaran tradisional seperti penggunaan ceramah, tanya jawab, penjelasan, pemberian

ilustrasi, pendemonstrasian, atau mengarahkan siswa secara langsung ke sumber informasi

selama pembelajaran berlangsung, atau menggunakan bukuteks untuk pemberian tugas-tugas

rumah masih berguna, meskipun hadirnya di dalam kelas-kelas konstruktivis menjadi lebih
tipikal. Strategi yang menonjol antara lain adalah strategi belajar kooperatif dengan

mengutamakan aktivitas siswa daripada aktivitas guru, mengenai kegiatan laboratorium,

pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstorming,

dan simulasi (Ajeyalemi, 1993).

Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide dan interpretasi siswa dalam

belajar, mengarahkan siswa ke dalam ide-ide alternatif dari yang diyakini sebelumnya, dan

memberikan alternatif-alternatif itu melalui aplikasi, bukti-bukti, dan argumen-argumen.

Pergeseran perspektif kelas yang seperti ini sejalan dengan pergeseran pandangan terhadap

belajar dan mengajar (dalam metafora Mayer) yang ketiga, yakni belajar sebagai pembangunan

pengetahuan.

Karakteristik lingkungan belajar dan pembelajaran yang berperspektif konstruktivis

mempertimbangkan konsepsi utama yang dibawa siswa ke dalam situasi belajar sebagai bagian

dari aktivitas pembelajaran. Belajar adalah proses aktif pada diri siswa, yang mencakup

konstruksi makna dan acapkali terbentuk melalui negosiasi interpersonal. Guru juga membawa

konsepsi mereka ke dalam situasi pembelajaran, tidak hanya konsepsi mengenai pengetahuan

mereka, tetapi juga konsepsi mereka terhadap belajar dan mengajar. Konsepsi-konsepsi itu dapat

mempengaruhi keputusan-keputusan atau cara-cara mereka berinteraksi dengan siswa di dalam

kelas (Driver & Leach, 1993).

Peranan guru dalam pembelajaran dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi mereka terhadap

belajar dan mengajar (Smith, 1990). Pendek kata, pergeseran pandangan tentang belajar dan

mengajar dari siswa sebagai perespon dan penerima informasi ke siswa sebagai

pengkonstruk/pembangun pengetahuan telah mengubah pula perspektif kehidupan kelas yang

menempatkan interaksi guru-siswa dan siswa-siswa ke dalam hubungan yang unik.

Implikasi epistemologis dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang

terkonstruksi, adalah hubungan skema konseptual dengan dunia nyata secara langsung.

Penekanan belajar tidak dalam hal hubungannya dengan otoritas eksternal, tetapi konstruksi

pengetahuan oleh siswa. Modul-modul seringkali diangkat dari pengalaman personal siswa,

mempertimbangkan isu kehidupan nyata yang dihadapi siswa, masyarakat sekitar atau

masyarakat umum (Ajeyalemi, 1993). Belajar tentang dunia tidak menempatkannya dalam
vakum sosial. Melalui bahasa dan kultur, anak memiliki cara-cara berpikir dan berimajinasi.

Pandangan terhadap pengetahuan yang demikian itu, memiliki konsekuensi yang sungguh-

sungguh terhadap konseptualisasi pengajaran dan belajar. Lebih jauh, akan menggeser

penekanan pengajaran dari apa yang disebutstudent’s “correct” replication dari apa yang

dilakukan guru, ke student’s successful organization of his or her own experiences (Driver &

Leach, 1993:104).

Kurikulum tidak dipandang sebagai kumpulan entitas keterampilan yang ditransfer

kepada siswa, tetapi lebih berguna dipandang sebagai rangkaian tugas dan strategi. Tujuan

umum dalam pengembangan kurikulum adalah membuat lingkungan kelas yang

memberikan setting sosial untuk mendukung proses pembangunan pengetahuan oleh siswa.

Lingkungan itu bukan hanya tugas belajar sebagai paket, tetapi tugas belajar seperti

diinterpretasikan oleh siswa. Lingkungan belajar juga mencakup organsiasi sosial dan interaksi

antara siswa-guru dan siswa-siswa.

Karakteristik lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis ini antara lain: (1) siswa

tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri—mereka membawa

konsepsi mereka ke dalam situasi belajar; (2) belajar mengutamakan proses aktif siswa

mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal; (3) pengetahuan

tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial; (4) guru juga

membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka,

tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat mempengaruhi cara

mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas; (5) pengajaran bukan mentransmisi

pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang

memudahkan siswa menemukan makna; dan (6) kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari

tetapi program tugas-tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan wacana dari mana

siswa mengkonstruk pengetahuan mereka (Driver & Leach, 1993; Connor, 1990).

KERANGKA TEORETIS UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI PEMBELAJARAN


Bahasan tentang konstruktivisme dalam pendidikan lekat dengan domain kognitif. Pokok

pikirannya terletak pada domain knowledge, yaitu proses membangun pengetahuan oleh orang

yang belajar. Banyak teori pembelajaran untuk domain kognitif dideskripsikan dalam berbagai

literatur—dari metode pengorganisasian bahan tercetak hingga penciptaan lingkungan belajar

terbuka. Membandingkan teori-teori itu sama halnya membandingkan apel dengan jeruk. Namun

demikian, ada gunanya membandingkan teori untuk membangun kerangka pemahaman teoretik

kita terhadap teori satu dengan teori yang lain.

Reigeluth dan Moore (1999) mendeskripsikan enam poin strategi pembelajaran, yaitu (1)

tipe belajar, (2) kontrol belajar, (3) fokus belajar, (4) pengelompokan belajar, (5) interaksi

belajar, dan (6) pendukung belajar (Tabel 1).

Tabel 1. Deskripsi elemen-elemen strategi pembelajaran

Poin/Elemen Deskripsi
Tipe Belajar Tipe belajar apa yang dikehendaki?
Kontrol belajar Siapa yang mengontrol proses belajar: guru, siswa, atau desainer

pembelajaran?
Fokus belajar Apa yang menjadi fokus aktivitas pembelajaran: topik khusus,

atau masalah, atau yang lain?


Pengelompokan belajar Bagaimana siswa dikelompkkan?
Interaksi belajar Bagaimana bentuk interaksi belajar: guru-siswa, siswa-siswa,

siswa-material?
Pendukung belajar Apa jenis dan tingkat dukungan yang diberikan kepada siswa?
 

Tipe Belajar

Tipe belajar berkaitan dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Pada hakikatnya, poin

ini merupakan aplikasi taksonomi pembelajaran (misalnya, menginginkan pengembangan

kognitif). Untuk tujuan ini Reigeluth mensintesis taksonomi belajar: mengingat informasi
(memorizing information), memahami hubungan-hubungan (understanding relationships),

menerapkan keterampilan intelektual (applying skills), dan menerapkan keterampilan intelektual

yang lebih tinggi (applying generic skills). Taksonomi ini divisualkan sbb:

Memorize Information Aplly skills

Understand Relationships Apply Generic Skills

Visualisasi tersebut menunjukkan, bahwa kita bisa melihat kategori secara terpisah,

sekaligus kita bisa melihat kategori-kategori tersebut secara overlap. Misalnya, mungkin penting

bagi siswa mengingat informasi untuk menerapkan suatu keterampilan, akan tetapi ini tidak

selalu demikian.

Penekanan tujuan belajar akan menunjukkan tipe belajar. Pembelajaran yang

menekankan keterampilan berpikir tingkat tinggi (kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi),

akan menempatkan ketegori ini pada kuadran empat, yakniapllying generic skills. Sementara itu

bagi para konstruktivis tujuan belajar untuk pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi

seperti itu, juga digunakan untuk mengembangkan level belajar yang lebih rendah, secara

simultan untuk mengembangkan keterampilan yang lebih tinggi. Di dalam perspektif

konstruktivis ini, siswa bekerja kolaboratif dengan yang lain, menggunakan bebagai sumber,

melakukan simulasi, dan eksperimen untuk memecahkan berbagai masalah yang menantang.

Melalui aktivitas pemecahan masalah, siswa mengembangkan keterampilan, pemahaman, dan

juga memperluas informasi dalam beberapa domain. jika demikian, maka tipe belajar yang

terjadi meliputi kategori kuadran 1, 3, dan 4, yakni understanding relationships, applying skills,

dan applying generic skills secara simultan.

Kontrol Belajar

Dalam paradigma pembelajaran tradisional, kontrol belajar ada pada guru atau desainer

pembelajaran. Penetapan tujuan belajar, pemilihan isi, penetapan strategi pembelajaran, dan
evaluasi dilakukan oleh guru. Kunci dalam paradigma teori pembelajaran yang baru adalah

penciptaan lingkungan yang berfokus pada siswa (learner-centered), di mana siswa lebih

berperan dalam penentuan hasil belajar dan pemilihan cara untuk mencapai hasil belajar mereka.

Pengambilan peran antara yang perpusat pada guru dan berpusat pada siswa lebih

menggambarkan sebuah kontinum (lihat gambar berikut). Satu titik ekstrem tidak selalu lebih

baik daripada yang lain, penetapan titik kontinum yang berbeda lebih tepat untuk kondisi yang

berbeda.

Teacher centered Learner centered

Ada sejumlah pertanyaan pemandu untuk menetapkan strategi pembelajaran yang tepat

pada kontinum tersebut, yakni:

1. Siapa yang menentukan tujuan pembelajaran?

2. Siapa yang menentukan bagaimana tujuan itu akan dicapai?

3. Siapa yang memilih isi?

4. Siapa yang memilih jenis dan level sumber dan bahan pendukung?

5. Siapa yang memilih kapan sumber dan bahan pendukung itu digunakan?

6. Siapa yang mengatur kegiatan apa yang akan dilakukan, dan di jenjang apa?

7. Siapa yang mengevaluasi belajar?

Bagi Gardner (1999) kontrol belajar adalah guru. Guru yang menetapkan strategi

pembelajaran, dan membimbing proses belajar. Guru pula yang memilih isi yang penting bagi

siswa. Sementara bagi yang lain menekankan peran guru sebagai pencipta lingkungan belajar

agar siswa dapat mengontrol belajarnya sendiri.

Fokus Belajar

Fokus belajar memiliki rentangan cakupan yang amat luas, dari menggunakan topik

khusus dari domain tertentu hingga pemecahan masalah yang interdisipliner. Area ini

divisualkan sbb:

 
Interdisciplinary

Topic oriented Problem oriented

Domain specific

Misalnya, Shank, Berman, dan Macpherson (1999) mengorganisasi belajar di sekitar

skenario berbasis tujuan. Skenario memiliki tujuan proses maupun tujuan isi, dan menuntut

siswa belajar isi tertentu untuk bisa mencapai misi atau tujuan. Strategi ini fleksibel, sementara

orientasi belajar pemecahan masalah tercapai, di sisi lain siswa belajar domain spesifik atau

interdisipliner yang terkait dengan tujuan belajar atau misi yang telah diplih. Oleh karena itu

fokus belajar yang demikian itu, dapat divisualkan sbb:

Interdisciplinary

Topic Oriented Problem Oriented

Domain Specific

Pengelompokan Belajar

Aspek ini mempertimbangkan jumlah siswa yang bekerjasama. Siswa bekerja individual

atau berkelompok? Untuk tujuan pembandingan biasanya dibedakan atas: individual,

berpasangan, tim (3-6), dan kelompok (7+). Setiap tipe pengelompokan memiliki pertimbangan

logis dan proses yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan pembelajaran.

 
Pengelompokan belajar

Individuals Pairs Teams (3-6) Groups (7+)

Interaksi Belajar

Biasanya kategori interaksi belajar ini dibedakan atas interaksi: manusia dan non-

manusia. Dalam setiap kategori mungkin terdapat bernacam-macam tipe interaksi yang

melibatkan siswa dalam proses belajar. Berbagai kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut:

Human Nonhuman
Student- Student- Other Student- Student- Student- Other

teacher student tools information environment/manipulatives


 

Fasilitas Pendukung Belajar

Fasilitas pendukung belajar diperlukan siswa untuk tumbuh dan berkembang. Pendukung

ini ada dua macam: pendukungkognitif dan pendkung emosional. Pendukung kognitif terdiri atas

elemen-elemen yang memberi dukungan terhadap proses siswa membangun pemahaman, dan

kompetensi, di area bidang studi. Ini bisa berbentuk bahan-bahan cetak, komputer, interaksi

manusia, akses informasi, umpnbalik, evaluasi, dsb. Sedangkan pendukung emosional terdiri

atas elemen-elemen yang mendukung sikap siswa, motivasi, dan keyakinan diri. Bentuk

dukungan ini divisualkan sbb:

Cognitive Support

0,0 Emotional Support

 
Model-model pemberian dukungan untuk belajar yang berfokus pada strategi

perencanaan pesan pembelajaran, seperti pemilihan dan pengorganisasian pesan agar bahan-

bahan mudah dipelajari siswa, merupakan bentuk cognitive support. Bagi para konstruktivis

yang memaknai strategi pembelajaran sebagai “penciptaan lingkungan belajar” berfokus pada

elemen emosional sebaik fokus pada elemen kognitif. Penggunaan penekanan tentang

pentingnya tugas, dorongan tingkat keyakinan, pengurutan atau penataan tingkat kesulitan tugas-

tugas merupakan strategi-strategi untuk emotional support. Secara kognitif, guru bisa

memberikan kasus-kasus yang terkait, sumber-sumber informasi yang relevan, pengetahuan,

perangkat konstruksi pengetahuan, perangkat kolaborasi dan percakapan antarsiswa. Guru juga

bisa memberikan umpanbalik, strategi-strategi berpikir, dan kasus-kasus yang terkait. Pemberian

dukungan belajar yang seperti ini divisualkan sbb:

Cognitive Support

Emotional Support

Model-model pembelajaran berbasis proyek atau berbasis masalah (project or problem-

based learning) merupakan model-model pembelajaran yang berorientasi pada pemberian

dukungan kognitif maupun emosional.

Kita telah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ini revolusi psikologi kognitif telah memberi

kontribusi wawasan baru tentang hakekat berpikir, baik pada guru maupun siswa. Pa

ndangan mengenai “bagaimana belajar terjadi” menjadi isu dari dekade ke dekade berikutnya.

Setidak-tidaknya ada tiga kategori pandangan mengenai belajar yang berkembang di abad 20

hingga awal abad 21 ini, yakni belajar sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan

pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan (Mayer, 1992). Proses belajar yang

terjadi dari pandangan pertama adalah menerima dan mengingat; pandangan kedua bercirikan
menerima dan memahami isi serta melihat hubungan-hubungan; dan yang ketiga, adalah

interpretasi dan konstruksi dari apa yang dialami (dilakukan, dilihat, didengar, dan dibaca)

pebelajar atau siswa (Smith, 1990).

Di sisi lain, pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.

Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa konsepsi atau pandangan tentang “bagaimana

belajar terjadi” menjadi titik tolak bagaimana upaya membelajarkan siswa ditempuh. Dalam

konteks, pandangan belajar yang pertama, dan kedua di atas, yakni belajar sebagai pemerolehan

respon, dan belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, metode pembelajaran dimaknai sebagai

cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan; dan

strategi pembelajaran dimaknai sebagai penataan cara-cara itu sehingga tersusun suatu urutan

langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.

Sedangkan, dalam konteks konsepsi atau pandangan belajar yang ketiga, yakni belajar sebagai

proses konstruksi pengetahuan, metode/strategi pembelajaran dimaknai sebagai upaya

penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendukung proses membangun pengetahuan oleh

siswa.

Dalam tulisan pendek ini, akan dipaparkan strategi pembelajaran yang dikembangkan

dengan pijakan tiga pandangan tentang “bagaimana belajar terjadi” itu. Pada bagian awal

dipaparkan tiga metafora belajar itu, dan kemudian dilanjutkan dengan paparan strategi

pembelajaran yang relevan dengan masing-masing pandangan tentang belajar.

PANDANGAN TENTANG BAGAIMANA BELAJAR TERJADI

Metafora belajar yang diungkapkan Mayer (1992) tersebut, yakni pandangan belajar

sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai

konstruksi pengetahuan, memberikan gambaran pergeseran pandangan tentang bagaimana

belajar terjadi, yang berkembang terutama setengah abad terakhir. Pandangan belajar sebagai

pemerolehan respon menganggap proses belajar terjadi secara mekanistik. Respon yang berhasil

adalah memperkuat otomatisasi, dan sebaliknya kega-galan respon dipandang sebagai lemahnya

otomatisasi. Implikasinya dalam pembelajaran, metafora belajar sebagai pemerolehan respon ini

adalah pembuatan situasi yang dapat membangkitkan respon siswa dan


pemberian reinforcement untuk setiap respon. Drill dan latihan (praktik) adalah epitome

pembelajaran dalam pandangan belajar ini, dan tujuan pembelajaran adalah menambah tingkah

laku yang benar. Hasil belajar dapat dievaluasi dengan pengukuran seberapa besar perubahan

tingkah laku itu. Pandangan ini telah menjadi dasar yang amat kuat dalam praktik dan penelitian

belajar dan mengajar lebih dari separo abad ini, dan puncaknya terjadi pada masa-masa setelah

Perang Dunia II.

Pandangan kedua, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, merupakan metafora baru

setelah revolusi kognitif tahun 1950-an dan 1960-an. Dalam pandangan ini siswa menjadi

pemroses informasi dan guru sebagai penyaji informasi. Karena pemerolehan pengetahuan

menjadi pusat perhatian para ahli psikologi, maka kurikulum menjadi fokus pembelajaran.

Implikasinya dalam pembelajaran jelas sekali, seperti penciptaan situasi yang dapat membuat

siswa memperoleh pengetahuan. Dengan metafora ini, pembelajaran berdasarkan buku teks dan

ceramah menjadi menjadi fokus, untuk tujuan pembelajaran menambah pengetahuan dalam diri

siswa, dan hasil belajar dapat dievaluasi dengan mengukur jumlah perolehan pengetahuan dan

retensi. Tes pilihan ganda dan tes-tes prestasi yang lain menjadi populer sebagai alat ukur.

Pandangan ketiga, belajar sebagai konstruksi pengetahuan, muncul setelah pertumbuhan

psikologi kognitif pada dekade 1970-1980-an. Pandangan terhadap siswa berubah dari penerima

pengetahuan ke pembangun (konstruktor) pengetahuan, suatu otonomi siswa dalam

menggunakan metakognisinya, untuk mengontrol proses kognitifnya, selama belajar

berlangsung. Seperti dikatakan Resnick dan Klopfer (1989) bahwa orang bukanlah perekam

informasi, tetapi pembangun struktur pengetahuan. Mengetahui sesuatu tidak berarti hanya telah

menerima informasi, tetapi juga telah menginterpretasikannya dan menghubungkannya dengan

pengetahuan yang lain. Terampil adalah tidak hanya mengetahui bagaimana melakukan

sejumlah tindakan, tetapi juga mengetahui kapan melakukannya dan mengadaptasi unjuk kerja

ke berbagai keadaan. Meskipun konstruktivisme dalam pendidikan tidak dimaksudkan untuk

mengembangkan strategi pembelajaran, namun para ahli pembelajaran menggunakannya sebagai

pijakan untuk mengembangkan strategi pembelajaran. Hingga sekarang, teori pembelajaran yang

bervisi pada belajar konstruktivis ini boleh dikatakan masih dalam proses kajian. Para peneliti
masih terus berusaha mengembangkan teori dan model pembelajaran baru berdasarkan

konstruktivisme, dan asumsi-asumsinya mengenai hakekat belajar (Resnick & Klopfer, 1989).

Mengenai pandangan terhadap belajar yang terakhir ini pusat perhatian pembelajaran

terletak pada pengubahan dari apa yang dikehendaki kurikulum ke kognisi siswa. Seperti

tercermin dalam lima prinsip pembelajaran konstruktivis yang diajukan Brook dan Brook

(1993): (1) penyikapan masalah-masalah yang muncul dan relevan pada belajar siswa; (2)

menstrukturkan belajar menurut konsep utama (“big ideas”); (3) menemukan dan memaknai

pandangan-pandangan siswa; (4) penyesuaian kurikulum yang diarahkan pada konsepsi siswa;

dan (5) pengukuran belajar siswa dalam konteks pembelajaran. Berhubungan dengan hal ini,

evaluasi terhadap belajar siswa lebih mengarah pada penemuan bagaimana struktur dan proses

pengetahuan siswa daripada berapa banyak yang dipelajari siswa. Pertanyaan yang lazim

diajukan bukan lagi “apakah pembelajaran lebih efektif,” tetapi “makna apa yang dapat

diperoleh siswa atau guru dari aktivitas pembelajaran itu.”

PENGEMBANGAN STRATEGI PEMBELAJARAN

Tajuk “pengembangan strategi pembelajaran” lebih sering dipakai untuk konteks

pandangan belajar yang pertama dan kedua. Sedangkan bagi pandangan belajar yang ketiga

lebih sering menyebut pengembangan strategi pembelajaran dengan tajuk “penggubahan

lingkungan belajar”. Dalam tulisan pendek ini, kedua tajuk tersebut digunakan dengan maksud

agar dapat dipakai sebagai penunjuk terminologis dalam basis teori belajar apa strategi

pembelajaran itu dikembangkan.

Menurut taksonomi variabel pembelajaran, metode pembelajaran dikategorikan menjadi

tiga ranah:

1. strategi pengorganisasian isi pembelajaran

2. strategi penyampaian pembelajaran

3. strategi pengelolaan pembelajaran

Strategi pengorganisasian isi pembelajaran lazim didasarkan pada tujuan dan

karakteristik bidang studi (dikenali dengan melakukan analisis isi dan tujuan pembelajaran),

strategi penyampaian pembelajaran didasarkan pada karakteristik bidang studi dan kendala,
sedangkan strategi pengelolaan lazim ditetapkan berdasarkan karakteristik siswa, dan secara

simultan dikelola untuk mendukung strategi penyampaian pembelajaran, dengan mengacu pada

organisasi isi.

Strategi Pengorganisasian Isi

Dua langkah yang amat penting dalam penetapan strategi pengorganisasian isi

pembelajaran adalah synthesizing dansequencing. Synthesizing dilakukan dengan cara

menunjukkan keterkaitan antarisi bidang studi secara keseluruhan, dengan maksud untuk

membuat isi-isi bidang studi menjadi lebih bermakna bagi siswa. Sequencing dilakukan untuk

menunjukkan urutan-urutan yang perlu diikuti dalam mempelajari isi bidang studi.

Pembuatan pensintesis dan pengurutan isi pembelajaran merupakan satu kegiatan yang

tak terpisahkan dengan analisis tujuan dan analisis karakteristik bidang studi. Oleh karena itu,

tepatlah jika penggarapan strategi pengorganisasian isi dilakukan segera setelah dilakukan

analisis tujuan dan isi atau karakteristik bidang studi. Pengorganisasian dapat melibatkan

keseluruhan isi bidang studi, atau hanya melibatkan sebagian kecil isi bidang studi.

Pengorganisasian yang pertama menuntut strategi makro, sedangkan pengorganisasian yang

kedua menuntut strategi mikro.

Strategi Penyampaian Pembelajaran

Penetapan strategi penyampaian isi pembelajaran menaruh perhatian pada pemilihan dan

penetapan media yang optimal untuk menyampaikan isi pembelajaran. Penetapan ini akan sangat

tergantung pada hasil analisis kondisi, terutama analisis sumber belajar yang tersedia dan dapat

digunakan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis sumber dapat ditetapkan

bentuk-bentuk interaksi siswa-media-guru.

Teknik-teknik penyampaian isi di dalam kelas yang sudah lazim digunakan guru, yang

meliputi penggunaan ceramah, tanya jawab, penjelasan, pemberian ilustrasi, pendemonstrasian,

atau mengarahkan siswa secara langsung ke sumber informasi selama pembelajaran

berlangsung, atau menggunakan bukuteks untuk pemberian tugas-tugas rumah, menjadi bagian

penting dari strategi penyampaian pembelajaran. Semua itu dirancang, dan dijalankan oleh guru.
 

Strategi Pengelolaan Pembelajaran

Strategi pengelolaan pembelajaran menaruh perhatian pada penataan interaksi siswa

dengan sumber belajar yang dirancang akan dipakai dalam pembelajaran. Perhatian utama

diberikan pada penjadwalan penggunaan setiap sumber belajar ini. Oleh karena fokus

perhatiannya terletak pada penataan interaksi siswa dengan sumber belajar, maka strategi

pengelolaan ini amat tergantung pada hasil analisis karakteristik siswa. Deskripsi hasil analisis

karakteristik siswa menjadi pijakan dalam memilih dan menetapkan strategi pengelolaan. Hasil

kegiatan dalam langkah ini akan berupa penjadwalan penggunaan komponen strategi

pengorganisasian dan penyampaian pembelajaran.

Strategi pembelajaran yang dikembangkan secara terstruktur tersebut, didasari

pandangan belajar yang berperspektif bihavioris-kognitivis. Bahwa, belajar dipandang sebagai

pembentukan respon, dan belajar dipandang sebagai pemerolehan belajar atau penyerapan

informasi, sehingga adagium pembelajaran yang terkenal selama ini berbunyi “peningkatan daya

serap” atau “peningkatan perolehan belajar”. Semua strategi pembelajaran dirancang untuk

meningkatkan “adaya serap” atau “perolehan belajar”. Adagium pembelajaran ini akan menjadi

lain, jika kita berpijak dari pandangan konstruktivistik.

PENGGUBAHAN LINGKUNGAN BELAJAR

Dalam pembelajaran yang berperspektif konstruktivis, mungkin beberapa strategi

pembelajaran tradisional seperti penggunaan ceramah, tanya jawab, penjelasan, pemberian

ilustrasi, pendemonstrasian, atau mengarahkan siswa secara langsung ke sumber informasi

selama pembelajaran berlangsung, atau menggunakan bukuteks untuk pemberian tugas-tugas

rumah masih berguna, meskipun hadirnya di dalam kelas-kelas konstruktivis menjadi lebih

tipikal. Strategi yang menonjol antara lain adalah strategi belajar kooperatif dengan

mengutamakan aktivitas siswa daripada aktivitas guru, mengenai kegiatan laboratorium,

pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstorming,

dan simulasi (Ajeyalemi, 1993).


Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide dan interpretasi siswa dalam

belajar, mengarahkan siswa ke dalam ide-ide alternatif dari yang diyakini sebelumnya, dan

memberikan alternatif-alternatif itu melalui aplikasi, bukti-bukti, dan argumen-argumen.

Pergeseran perspektif kelas yang seperti ini sejalan dengan pergeseran pandangan terhadap

belajar dan mengajar (dalam metafora Mayer) yang ketiga, yakni belajar sebagai pembangunan

pengetahuan.

Karakteristik lingkungan belajar dan pembelajaran yang berperspektif konstruktivis

mempertimbangkan konsepsi utama yang dibawa siswa ke dalam situasi belajar sebagai bagian

dari aktivitas pembelajaran. Belajar adalah proses aktif pada diri siswa, yang mencakup

konstruksi makna dan acapkali terbentuk melalui negosiasi interpersonal. Guru juga membawa

konsepsi mereka ke dalam situasi pembelajaran, tidak hanya konsepsi mengenai pengetahuan

mereka, tetapi juga konsepsi mereka terhadap belajar dan mengajar. Konsepsi-konsepsi itu dapat

mempengaruhi keputusan-keputusan atau cara-cara mereka berinteraksi dengan siswa di dalam

kelas (Driver & Leach, 1993).

Peranan guru dalam pembelajaran dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi mereka terhadap

belajar dan mengajar (Smith, 1990). Pendek kata, pergeseran pandangan tentang belajar dan

mengajar dari siswa sebagai perespon dan penerima informasi ke siswa sebagai

pengkonstruk/pembangun pengetahuan telah mengubah pula perspektif kehidupan kelas yang

menempatkan interaksi guru-siswa dan siswa-siswa ke dalam hubungan yang unik.

Implikasi epistemologis dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang

terkonstruksi, adalah hubungan skema konseptual dengan dunia nyata secara langsung.

Penekanan belajar tidak dalam hal hubungannya dengan otoritas eksternal, tetapi konstruksi

pengetahuan oleh siswa. Modul-modul seringkali diangkat dari pengalaman personal siswa,

mempertimbangkan isu kehidupan nyata yang dihadapi siswa, masyarakat sekitar atau

masyarakat umum (Ajeyalemi, 1993). Belajar tentang dunia tidak menempatkannya dalam

vakum sosial. Melalui bahasa dan kultur, anak memiliki cara-cara berpikir dan berimajinasi.

Pandangan terhadap pengetahuan yang demikian itu, memiliki konsekuensi yang sungguh-

sungguh terhadap konseptualisasi pengajaran dan belajar. Lebih jauh, akan menggeser

penekanan pengajaran dari apa yang disebutstudent’s “correct” replication dari apa yang
dilakukan guru, ke student’s successful organization of his or her own experiences (Driver &

Leach, 1993:104).

Kurikulum tidak dipandang sebagai kumpulan entitas keterampilan yang ditransfer

kepada siswa, tetapi lebih berguna dipandang sebagai rangkaian tugas dan strategi. Tujuan

umum dalam pengembangan kurikulum adalah membuat lingkungan kelas yang

memberikan setting sosial untuk mendukung proses pembangunan pengetahuan oleh siswa.

Lingkungan itu bukan hanya tugas belajar sebagai paket, tetapi tugas belajar seperti

diinterpretasikan oleh siswa. Lingkungan belajar juga mencakup organsiasi sosial dan interaksi

antara siswa-guru dan siswa-siswa.

Karakteristik lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis ini antara lain: (1) siswa

tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri—mereka membawa

konsepsi mereka ke dalam situasi belajar; (2) belajar mengutamakan proses aktif siswa

mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal; (3) pengetahuan

tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial; (4) guru juga

membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka,

tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat mempengaruhi cara

mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas; (5) pengajaran bukan mentransmisi

pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang

memudahkan siswa menemukan makna; dan (6) kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari

tetapi program tugas-tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan wacana dari mana

siswa mengkonstruk pengetahuan mereka (Driver & Leach, 1993; Connor, 1990).

KERANGKA TEORETIS UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI PEMBELAJARAN

Bahasan tentang konstruktivisme dalam pendidikan lekat dengan domain kognitif. Pokok

pikirannya terletak pada domain knowledge, yaitu proses membangun pengetahuan oleh orang

yang belajar. Banyak teori pembelajaran untuk domain kognitif dideskripsikan dalam berbagai

literatur—dari metode pengorganisasian bahan tercetak hingga penciptaan lingkungan belajar

terbuka. Membandingkan teori-teori itu sama halnya membandingkan apel dengan jeruk. Namun
demikian, ada gunanya membandingkan teori untuk membangun kerangka pemahaman teoretik

kita terhadap teori satu dengan teori yang lain.

Reigeluth dan Moore (1999) mendeskripsikan enam poin strategi pembelajaran, yaitu (1)

tipe belajar, (2) kontrol belajar, (3) fokus belajar, (4) pengelompokan belajar, (5) interaksi

belajar, dan (6) pendukung belajar (Tabel 1).

Tabel 1. Deskripsi elemen-elemen strategi pembelajaran

Poin/Elemen Deskripsi
Tipe Belajar Tipe belajar apa yang dikehendaki?
Kontrol belajar Siapa yang mengontrol proses belajar: guru, siswa, atau desainer

pembelajaran?
Fokus belajar Apa yang menjadi fokus aktivitas pembelajaran: topik khusus,

atau masalah, atau yang lain?


Pengelompokan belajar Bagaimana siswa dikelompkkan?
Interaksi belajar Bagaimana bentuk interaksi belajar: guru-siswa, siswa-siswa,

siswa-material?
Pendukung belajar Apa jenis dan tingkat dukungan yang diberikan kepada siswa?
 

Tipe Belajar

Tipe belajar berkaitan dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Pada hakikatnya, poin

ini merupakan aplikasi taksonomi pembelajaran (misalnya, menginginkan pengembangan

kognitif). Untuk tujuan ini Reigeluth mensintesis taksonomi belajar: mengingat informasi

(memorizing information), memahami hubungan-hubungan (understanding relationships),

menerapkan keterampilan intelektual (applying skills), dan menerapkan keterampilan intelektual

yang lebih tinggi (applying generic skills). Taksonomi ini divisualkan sbb:

Memorize Information Aplly skills

Understand Relationships Apply Generic Skills

 
Visualisasi tersebut menunjukkan, bahwa kita bisa melihat kategori secara terpisah,

sekaligus kita bisa melihat kategori-kategori tersebut secara overlap. Misalnya, mungkin penting

bagi siswa mengingat informasi untuk menerapkan suatu keterampilan, akan tetapi ini tidak

selalu demikian.

Penekanan tujuan belajar akan menunjukkan tipe belajar. Pembelajaran yang

menekankan keterampilan berpikir tingkat tinggi (kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi),

akan menempatkan ketegori ini pada kuadran empat, yakniapllying generic skills. Sementara itu

bagi para konstruktivis tujuan belajar untuk pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi

seperti itu, juga digunakan untuk mengembangkan level belajar yang lebih rendah, secara

simultan untuk mengembangkan keterampilan yang lebih tinggi. Di dalam perspektif

konstruktivis ini, siswa bekerja kolaboratif dengan yang lain, menggunakan bebagai sumber,

melakukan simulasi, dan eksperimen untuk memecahkan berbagai masalah yang menantang.

Melalui aktivitas pemecahan masalah, siswa mengembangkan keterampilan, pemahaman, dan

juga memperluas informasi dalam beberapa domain. jika demikian, maka tipe belajar yang

terjadi meliputi kategori kuadran 1, 3, dan 4, yakni understanding relationships, applying skills,

dan applying generic skills secara simultan.

Kontrol Belajar

Dalam paradigma pembelajaran tradisional, kontrol belajar ada pada guru atau desainer

pembelajaran. Penetapan tujuan belajar, pemilihan isi, penetapan strategi pembelajaran, dan

evaluasi dilakukan oleh guru. Kunci dalam paradigma teori pembelajaran yang baru adalah

penciptaan lingkungan yang berfokus pada siswa (learner-centered), di mana siswa lebih

berperan dalam penentuan hasil belajar dan pemilihan cara untuk mencapai hasil belajar mereka.

Pengambilan peran antara yang perpusat pada guru dan berpusat pada siswa lebih

menggambarkan sebuah kontinum (lihat gambar berikut). Satu titik ekstrem tidak selalu lebih

baik daripada yang lain, penetapan titik kontinum yang berbeda lebih tepat untuk kondisi yang

berbeda.

Teacher centered Learner centered


 

Ada sejumlah pertanyaan pemandu untuk menetapkan strategi pembelajaran yang tepat

pada kontinum tersebut, yakni:

1. Siapa yang menentukan tujuan pembelajaran?

2. Siapa yang menentukan bagaimana tujuan itu akan dicapai?

3. Siapa yang memilih isi?

4. Siapa yang memilih jenis dan level sumber dan bahan pendukung?

5. Siapa yang memilih kapan sumber dan bahan pendukung itu digunakan?

6. Siapa yang mengatur kegiatan apa yang akan dilakukan, dan di jenjang apa?

7. Siapa yang mengevaluasi belajar?

Bagi Gardner (1999) kontrol belajar adalah guru. Guru yang menetapkan strategi

pembelajaran, dan membimbing proses belajar. Guru pula yang memilih isi yang penting bagi

siswa. Sementara bagi yang lain menekankan peran guru sebagai pencipta lingkungan belajar

agar siswa dapat mengontrol belajarnya sendiri.

Fokus Belajar

Fokus belajar memiliki rentangan cakupan yang amat luas, dari menggunakan topik

khusus dari domain tertentu hingga pemecahan masalah yang interdisipliner. Area ini

divisualkan sbb:

Interdisciplinary

Topic oriented Problem oriented

Domain specific

Misalnya, Shank, Berman, dan Macpherson (1999) mengorganisasi belajar di sekitar

skenario berbasis tujuan. Skenario memiliki tujuan proses maupun tujuan isi, dan menuntut
siswa belajar isi tertentu untuk bisa mencapai misi atau tujuan. Strategi ini fleksibel, sementara

orientasi belajar pemecahan masalah tercapai, di sisi lain siswa belajar domain spesifik atau

interdisipliner yang terkait dengan tujuan belajar atau misi yang telah diplih. Oleh karena itu

fokus belajar yang demikian itu, dapat divisualkan sbb:

Interdisciplinary

Topic Oriented Problem Oriented

Domain Specific

Pengelompokan Belajar

Aspek ini mempertimbangkan jumlah siswa yang bekerjasama. Siswa bekerja individual

atau berkelompok? Untuk tujuan pembandingan biasanya dibedakan atas: individual,

berpasangan, tim (3-6), dan kelompok (7+). Setiap tipe pengelompokan memiliki pertimbangan

logis dan proses yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan pembelajaran.

Pengelompokan belajar

Individuals Pairs Teams (3-6) Groups (7+)

Interaksi Belajar

Biasanya kategori interaksi belajar ini dibedakan atas interaksi: manusia dan non-

manusia. Dalam setiap kategori mungkin terdapat bernacam-macam tipe interaksi yang

melibatkan siswa dalam proses belajar. Berbagai kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut:

 
 

Human Nonhuman
Student- Student- Other Student- Student- Student- Other

teacher student tools information environment/manipulatives


 

Fasilitas Pendukung Belajar

Fasilitas pendukung belajar diperlukan siswa untuk tumbuh dan berkembang. Pendukung

ini ada dua macam: pendukungkognitif dan pendkung emosional. Pendukung kognitif terdiri atas

elemen-elemen yang memberi dukungan terhadap proses siswa membangun pemahaman, dan

kompetensi, di area bidang studi. Ini bisa berbentuk bahan-bahan cetak, komputer, interaksi

manusia, akses informasi, umpnbalik, evaluasi, dsb. Sedangkan pendukung emosional terdiri

atas elemen-elemen yang mendukung sikap siswa, motivasi, dan keyakinan diri. Bentuk

dukungan ini divisualkan sbb:

Cognitive Support

0,0 Emotional Support

Model-model pemberian dukungan untuk belajar yang berfokus pada strategi

perencanaan pesan pembelajaran, seperti pemilihan dan pengorganisasian pesan agar bahan-

bahan mudah dipelajari siswa, merupakan bentuk cognitive support. Bagi para konstruktivis

yang memaknai strategi pembelajaran sebagai “penciptaan lingkungan belajar” berfokus pada

elemen emosional sebaik fokus pada elemen kognitif. Penggunaan penekanan tentang

pentingnya tugas, dorongan tingkat keyakinan, pengurutan atau penataan tingkat kesulitan tugas-

tugas merupakan strategi-strategi untuk emotional support. Secara kognitif, guru bisa

memberikan kasus-kasus yang terkait, sumber-sumber informasi yang relevan, pengetahuan,

perangkat konstruksi pengetahuan, perangkat kolaborasi dan percakapan antarsiswa. Guru juga
bisa memberikan umpanbalik, strategi-strategi berpikir, dan kasus-kasus yang terkait. Pemberian

dukungan belajar yang seperti ini divisualkan sbb:

Cognitive Support

Emotional Support

Model-model pembelajaran berbasis proyek atau berbasis masalah (project or problem-

based learning) merupakan model-model pembelajaran yang berorientasi pada pemberian

dukungan kognitif maupun emosional.

PENUTUP

Pengembangan strategi pembelajaran pada dasarnya tergantung pada tujuan belajar apa

yang ingin dicapai, karakteristik bidang studi, dan kondisi. Sejumlah poin strategi pembelajaran

yang disajikan di atas dimaksudkan menjadi pertimbangan-pertimbangan saat kita menetapkan

strategi pembelajaran untuk konteks pembelajaran tertentu, setidak-tidaknya sebagai starting

point untuk memulai proses analisis dan diskusi pengembangan strategi pembelajaran.

PENUTUP

Pengembangan strategi pembelajaran pada dasarnya tergantung pada tujuan belajar apa

yang ingin dicapai, karakteristik bidang studi, dan kondisi. Sejumlah poin strategi pembelajaran

yang disajikan di atas dimaksudkan menjadi pertimbangan-pertimbangan saat kita menetapkan

strategi pembelajaran untuk konteks pembelajaran tertentu, setidak-tidaknya sebagai starting

point untuk memulai proses analisis dan diskusi pengembangan strategi pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary STS Teachers. What Research

Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.: National Science Teachers

Association.

Brook, J.G. & Brook, M.G. 1993. The Case for Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD.

Connor, J.V. 1990. Naïve Conceptions and the School Scinece Curriculum. What Research Says

to the Science Teaching, VI.Washington, D.C.: National Science Teachers Association, 5-

18.

Driver, R. & Leach, J. 1993. A Constructivist View of Learning: Children’s Conceptions and the

Nature of Science. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington, D.C.:

National Science Teachers Association, 103-112.

Gardner, H. 1999. Multiple Approaches to Understanding. Dalam Charles M. Reigeluth

(Ed.), Instructional Design Theories and Models, A New Paradigm of Instructional

Theory. NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic Meeting Within Educational

Psychology. Journal of Educational Psychology, 84(4), 405-412.

Reigeluth, C.M., & Moore, J. 1999. Cognition Education and the Cognitive Domain. Dalam

Charles M. Reigeluth (Ed.),Instructional Design Theories and Models, A New Paradigm of

Instructional Theory. NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Resnick, L.B., & Klopfer, L.E. 1989. Toward the Tinking Curriculum: An Overview. Dalam

Lauren B. Resnick & Leopold. E. Klopfer (Eds.). Toward the Curriculum Thinking:

Current Cognitive Research. Alexandria, VA: ASCD.

Schank, R.C., Berman, T.R., & Macpherson, K.A. 1999. Learning by Doing. Dalam Charles M.

Reigeluth (Ed.), Instructional Design Theories and Models, A New Paradigm of

Instructional Theory. NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

 
 

DAFTAR PUSTAKA

Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary STS Teachers. What Research

Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.: National Science Teachers

Association.

Brook, J.G. & Brook, M.G. 1993. The Case for Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD.

Connor, J.V. 1990. Naïve Conceptions and the School Scinece Curriculum. What Research Says

to the Science Teaching, VI.Washington, D.C.: National Science Teachers Association, 5-

18.

Driver, R. & Leach, J. 1993. A Constructivist View of Learning: Children’s Conceptions and the

Nature of Science. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington, D.C.:

National Science Teachers Association, 103-112.

Gardner, H. 1999. Multiple Approaches to Understanding. Dalam Charles M. Reigeluth

(Ed.), Instructional Design Theories and Models, A New Paradigm of Instructional

Theory. NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic Meeting Within Educational

Psychology. Journal of Educational Psychology, 84(4), 405-412.

Reigeluth, C.M., & Moore, J. 1999. Cognition Education and the Cognitive Domain. Dalam

Charles M. Reigeluth (Ed.),Instructional Design Theories and Models, A New Paradigm of

Instructional Theory. NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Resnick, L.B., & Klopfer, L.E. 1989. Toward the Tinking Curriculum: An Overview. Dalam

Lauren B. Resnick & Leopold. E. Klopfer (Eds.). Toward the Curriculum Thinking:

Current Cognitive Research. Alexandria, VA: ASCD.

Schank, R.C., Berman, T.R., & Macpherson, K.A. 1999. Learning by Doing. Dalam Charles M.

Reigeluth (Ed.), Instructional Design Theories and Models, A New Paradigm of

Instructional Theory. NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Anda mungkin juga menyukai