Di susun oleh:
Saripun
Ali Sobri
SEMESTER II
PROGRAM PASCASARJANA
MALANG
2021
SEKAPUR SIRIH
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kami semua
kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi
yang berjudul “Karakteristik Peserta Didik” dapat selesai seperti waktu yang telah kami
rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu kami
1. Ibu Dr. Nurul Umamah, M.Pd. dan Ibu Rully Putri Nirmala Puji, S.Pd, M.Ed. selaku
dosen mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi Universitas Jember
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami sehingga makalah
3. Teman-teman Kelas A Prodi Pendidikan Sejarah yang telah membantu dan memberikan
Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan, makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi. Materi dalam makalah ini
membahas tentang karakteristik peserta didik. Tidak ada kata sempurna selain milik-Nya,
penyusun menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Kritik yang
DAFTAR ISI
PRAKATA.. II
BAB1. PENDAHULUAN.. 1
1.3. Tujuan Penulisan. 21.4. Manfaat Penulisan. 2BAB 2. PEMBAHASAN.. 32.1.
Definisi karakteristik Peserta Didik. 32.2. Karakteristik peserta didik. 62.3. Cara
15DAFTAR PUSTAKA.. 16
BAB I
PENDAHULUAN
Adanya berbagai aspek yang berupa pengetahuan, gaya belajar, minat, dan motivasi yang
dimiliki oleh peserta didik dapat mempengaruhi dalam strategi pengelolaan yang berhubungan
dengan tatanan pembelajaran. Hal ini diwujudkan agar sesuai dengan setiap karakteristik peserta
didik. Pada indikator kemampuan awal peseta didik meliputi berbagai tingkat ketrampilan
maupun pengetahuan.
interview, observasi, dan tes. Teknik yang digunakan seperti itu juga dapat mengidentifikasi
perilaku awal pada peserta didik. Selain itu juga dapat dilakukan dengan tes bakat.
Karakteristik peserta didik dapat didefinisikan sebagai aspek maupun kualitas seorang peserta
didik. Berbagai aspek yang yang ada dalam diri peserta didik dapat dikaitkan dengan penataan
Seorang ilmuan pembelajaran yang menetapkan bahwa kedudukan karakteristik peserta didik
Secara umum karakteristik peserta didik yang disebut sebagai karakter individu ini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor usia, latar belakang, dan keturunan (gender).
Faktor – faktor tersebut telah dibawa sejak peserta didik lahir. Tetapi faktor tersebut juga
dipengaruhi oleh keadaan dari lingkungan sosial yang menjadi titik awal menentukan kualitas
hidup. Teori pembelajaran dijadikan sebagai acuan pada saat pengoptimalan proses
pembelajaran. Sehingga teori tersebut dapat dikatakan sebagai teori yang komprehensif.
Dari rumusan masalah di atas dapat ditarik tujuan penulisan sebagai berikut.
Dari tujuan penulisan di atas dapat ditarik manfaat penulisan sebagai berikut.
Dapat menambah wawasan tentang mengetahui definisi dari karakteristik peserta didik.
PEMBAHASAN
Karakteristik merupakan suatu gaya hidup seseorang maupun nilai yang berkembang secara
teratur setiap hari yang mengacu kepada tingkah laku yang mengarah pada kepribadian yang
lebih konsisten dan mudah dipahami. Dimana karakteristik dapat diartikan sebagai ciri yang
lebih ditonjolkan dalam berbagai aspek tingkah laku ( Daryanto & Rachmawati, 2015: 15)
Peserta didik merupakan orang yang mendapatkan pengaruh dari berbagai kelompok yang
sedang melaksanakan pendidikan. Peserta didik merupakan unsur yang sangat penting dalam
kegiatan pembelajaran. Karena peserta didik dijadikan sebagai titik persoalan dalam berbagai
aktifitas kegiatan belajar mengajar. Dalam aspek psikologis, peserta didik merupakan titik
penentu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan baik dalam artian bentuk fisik maupun
psikis. Namun, peserta didik juga berhak mendapatkan bimbingan yang terarah dan konsisten
dalam menentukan kemampuan yang sebenarnya. Peserta didik disebut sebagai insan yang
menarik. Karena memiliki fisik dan psikis yang unik. Berbagai potensi yang dimiliki oleh
peserta didik masih memerlukan perkembangan guna mencapai kebutuhan untuk perkembangan
Menurut Reigeluth (1993) seorang ilmuan pembelajaran yang menetapkan bahwa kedudukan
strategi pembelajaran. Dalam hal ini, proses pembelajaran yang didalamnya terdapat dimensi,
metode, dan strategi yang telah dikembangkan dalam pembelajaran. Sehingga menganalisis
karakteristik peserta didik merupakan suatu langkah awal yang harus dikembangkan. Strategi
dan model dikembangkan dengan tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal. Oleh
didik. Berbagai aspek yang yang ada dalam diri peserta didik dapat dikaitkan dengan penataan
Kemampuan yang dimiliki oleh setiap peserta didik merupakan tonggak untuk memilih strategi
pembelajaran yang cocok. Kemampuan peserta didik yang dijadikan sebagai kemampuan awal
atau tonggak ini berperan untuk meningkatkan pelaksanaan pembelajaran. Hal ini menyebabkan
perubahan besar yang membantu memudahkan proses internal yang terjadi pada peserta didik
Secara umum karakteristik peserta didik yang disebut sebagai karakter individu ini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor usia, latar belakang, dan keturunan (gender).
Faktor – faktor tersebut telah dibawa sejak peserta didik lahir. Tetapi faktor tersebut juga
dipengaruhi oleh keadaan dari lingkungan sosial yang menjadi titik awal menentukan kualitas
hidup. Teori pembelajaran dijadikan sebagai acuan pada saat pengoptimalan proses
pembelajaran. Sehingga teori tersebut dapat dikatakan sebagai teori yang komprehensif.
Memasuki tahun 1960, Ausabel mengemukakan bahwa dalam mengoptimalkan perolehan hasil
belajar, pengorganisasian, dan mengungkapkan adanya pengetahuan baru yang bertujuan untuk
menciptakan dan mempuat pengetahuan baru yang sangat bermakna bagi peserta didik. Hal – hal
yang perlu dilakukan adalah dengan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh
Dalam perkembangannya, peserta didik juga memiliki suatu hambatan dalam proses
pembelajaran. Sehingga banyak berbagai faktor yang mempengaruhi karakteristik peserta didik
antara lain:
1. Bakat
Setiap bakat yang dimiliki oleh peserta didik dapat tumbuh dengan sendirinya dan tergantung
pada peserta didik itu sendiri mau atau tidak dalam mengembangkan potensi bakat yang
dimiliki.
1. Sifat keturunan
Berdasarkan fakta yang dimiliki oleh manusia, maka besar kemungkinan bagi peserta didik
untuk memiliki sifat yang berdasarkan garis keturunan yang dimiliki oleh orang tua mereka.
Dorongan dan instik yang dimiliki oleh peserta didik berasala dari batin mereka masing –
masing. Sehingga dorongan disini merupakan ambisi dari peserta didik untuk terus maju dalam
Faktor selanjutnya yakni berdasarkan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya yang dapat
1. Makanan
Makanan maupun minuman dapat mempengaruhi dan menghambat perkembangan peserta didik
karena setiap makanan dan minuman yang dikonsumsui dapat menjadi gizi dan racun bagi
1. Iklim
Iklim yang dimiliki oleh suatu negara juga dapat memperuhi karakteristik peserta didi. Karena
bila iklim di sekitar mereka baik dan tidak buruk. Maka sedikit kemungkinan untuk menghambat
1. Ekonomi
Ekonomi yang yang dimiki oleh pserta didik juga mampu menghambat perkembangan
karakteristik peserta didik. Karena semakin tinggi ataupun semakin rendah suatu ekonomi yang
dimiliki maka akan besar pengaruhnya terhadap karakteristik yang dimiliki oleh peserta didik.
3. Umum
4. Intelegensi
Kemampuan intelegensi ataupun intelektual yang dimiliki oleh peserta didik dapat
1. Jenis kelamin
Jenis kelamin juga bisa disebut sebagai penghambat karakteristik peserta didik. Karena setiap
laki – laki maupun wanita memilki perbedaan yang signifikan untuk diketahui oleh peserta didik
Menurut Reigeluth (1993) mengungkapkan bahwa karakteristik peserta didik terbagi menjadi
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu intelektual yang dimiliki oleh peserta didik. Pengetahuan inilah
yang disebut dengan intelegensi siswa yang harus tetap dipertahankan untuk kemampuan peserta
didik.
Menurut Reigeluth (dalam Degeng, 1999) pengetahuan peserta didik diidentifikasi menjadi tujuh
jenis yang termasuk kedalam kemampuan awal peserta didik. Kemampuan awal peserta didik ini
antara lain:
Pengetahuan ini merupakan tempat untuk mengaitkan suatu kemampuan menghafal. Hafalan
dalam hal ini merupakan hafalan yang tidak terlalu penting. Namun masih memiliki makna
penting bagi pengetahuan peserta didik. Sehingga hafalannya hanya untuk memudahkan retensi.
Pengetahuan seperti ini merupakan pengetahuan baru yang mengaitkan pengetahuan dengan
kemampuan peserta didik maupun pengetahuan baru yang masih sama dan serupa serta berada
Pengetahuan tingkat yang lebih tinggi ini merupakan pengetahuan yang memiliki tingkat yang
berada diatas analogic knowledge. Jadi dalam hal ini pengetahuan tingkat lebih tinggi dapat
Pengetahuan setingkat ini merupakan pengetahuan yang berfungsi sebagai pengetahuan yang
komparatif.
Pengetahuan tingkat yang lebih rendah ini merupakan pengetahuan yang berfungsi untuk
menyatakan kebenaran pengetahuan baru yang sebenarnya. Sehingga dapat dibuktikan dengan
memberikan contoh-contohnya.
1. Experiential knowlege (pengetahuan pengalaman)
Pengetahuan berdasarkan pengalaman ini memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan
pengetahuan tingkat yang lebih rendah. Pada pengetahuan pengalaman ini juga mengkonkritkan
atau memberikan fakta dengan menyediakan bukti contoh untuk pengetahuan baru.
Strategi kognitif yang dimaksud ialah suatu strategi yang menyediakan berbagai cara dalam
mengolah pengetahuan baru. Sehingga akan ada pemikiran ataupun pengungkapan kembali
2. Gaya
Reigeluth mengidentifikasi gaya belajar peserta didik menjadi tiga tipe yakni gaya belajar visual,
gaya belajar auditori, dan gaya belajar kinestetik. Gaya belajar pada peserta didik merupakan
suatu tipe dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar mereka. Sehingga peserta didik akan
selalu menggali potensinya dengan cara gaya belajar mereka sendiri. Setiap peserta didik yang
memiliki gaya belajar visual mereka akan belajar memahami dengan apa yang mereka lihat.
Sedangkan peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori lebih memahami pembelajaran
dengan cara mendengar apa yang mereka dengar. Sementara gaya belajar kinestetik memahami
dengan cara menggerakkan tubuhnya, entah itu sentuhan ataupun pada rabaan. Namun dalam
kenyataannya setiap peserta didik pasti memiliki ketiga gaya belajar tersebut. Tetapi hanya salah
satu yang mendominasi dalam gaya belajar mereka. Mengenai tentang gaya belajar peserta didik
Dalam gaya belajar visual yang terjadi pada peserta didik dapat diketahui melalui ciri – ciri
utama yakni dengan menggunakan indera penglihatan. Reigeluth (1999) menjelaskan bahwa
gaya belajar dengan visual ini lebih suka berbicara cepat, suka mencoret-coret saat menelpon,
dan lebih suka melihat gambar peta beserta penjelasannya.pada umumnya peserta didik dengan
gaya visual ini biasanya menerapkan suatu strategi visual yang sangat kuat dengan menyerap
suatu informasi dengan ungkapan gambar. Ciri-ciri gaya belajar visual yakni antara lain:
1. Bicara cepat
Bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori dapt dikenal dan diketahui dengan ciri-
ciri yang lebih dominan yakni dengan menggunakan kekuatan indera pendengaran. Reigeluth
(1993) menjelaskan bahwa peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori lebih suka
berbicara daripada membaca maupun menulis. Reigeluth (1999) juga menyatakan bahwa “aku
mendengar apa yang kau katakan”. Kecepatan dalam berbicara juga sedang. Pada saat menyerap
informasi umumnya orang bergaya belajar auditori juga menerapkan adanya strategi
pendengaran yang sangat kuat. Sehingga pendidik yakni guru juga harus menerapkan
pembelajaran yang memberikan suatu variasi pengajaran yang dapat diterima dan dimengerti
oleh peserta didik dengan gaya belajar auditori. Ciri ciri gaya belajar auditorial yakni:
lain
10. Bila berbicara dengan orang lain selalu memalingkan penglihatannya dan tidka
Reigeluth (1993) menjelaskan bahwa peserta didik yang menggunakan gaya belajar kinestetik
lebih suka menggerakkan anggota tubuhnya saat berbicar dan sulit untuk diam. Pada umumnya
peserta didik yang menggunakan gaya belajar kinestetik memahami informasi dengan
menggunakan strategi fisik dan mampu berekspresi dengan fisik mereka. Adapun ciri-ciri yang
dapat melihat peserta didik dengan menggunakan gaya belajar kinestetik antara lain:
7. Minat
Minat merupakan suatu hal yang berpengaruh besar tehadap belajar peserta didik. Apabila
materi pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik maka, peserta didik
akan bersemangat dan tidak berambisi dalam mempelajarinya. Karena bagi mereka, tidak akan
ada daya tarik yang membuat mereka untuk berambisi dalam mempelajarinya. Sehingga tidak
akan ada kepuasan bagi peserta didik. Tapi jika materi pelajarannya diminati dan dan menarik
peserta didik maka akan menumbuhkan minat dan menambah semangat terhadap kegitan
pembelajaran. Peserta didik yang kurang meminati materi pembelajaran, maka dapat diusahakan
untuk mempunyai minat yang cukup besar dengan cara menjelaskan menggunakan metode yang
menarik dan hal yang berguna bagi peserta didik. Serta dapat dilakukan dengan mendongkrak
semngat peserta didik untuk menjelaskan materi yang berhubungan dengan cita-cita yang
4. Motivasi belajar
Motivasi dalam proses pembelajaran sangat diperlukan. Karena pendidik harus mampu
mendorong dan mendongkrak peserta didik agar dapat belajar dengan tekun dan bersemangat
dalam merencanakan maupun melaksanakan sesuatu yang selalu ada hubungannya dengan
kegiatan belajar. Menurut Reigeluth (dalam Degeng, 1999) motivasi dapat dibedakan menjadi
Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan hal yang berasal dari dalam diri peserta didik sendiri yang dapat
mendorong untuk melakukan tindakan belajar. Motivasi intrinsik merupakan suatu kesenangan
materi yang menyangkut tentang kehidupan masa depan peserta didik sendiri.
Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik merupakan suatu motivasi yang datang dari luar individu peserta didik yang
dapat mendorong untuk tekun belajar. Adanya hadiah maupun pujian merupakan contoh yang
konkrit pada motivasi ekstrinsik yang dapat mendongkrak peserta didik untuk belajar. Tidak
adanya motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik dapat berpengaruh terhadap kurang
bersemangatnya dalam melakukan proses mempelajari materi pelajaran baik di sekolah maupun
di rumah.
2.3. Cara Menganalisis Karakteristik Peserta Didik
Reigeluth (dalam Degeng, 1999) dalam menganalisis karakteristik peserta didik dapat dilakukan
dengan mengklasifikasikan menjadi tiga cara yakni kemampuan yang berkaitan dengan:
Pada klasifikasi yang pertama ini berhubungan dengan pengetahuan yang akan diajarkan dan
Pengetahuan tingkat yang lebih tinggi ini merupakan pengetahuan yang memiliki tingkat yang
berada diatas analogic knowledge. Jadi dalam hal ini pengetahuan tingkat lebih tinggi dapat
Pengetahuan setingkat ini merupakan pengetahuan yang berfungsi sebagai pengetahuan yang
komparatif.
Pengetahuan tingkat yang lebih rendah ini merupakan pengetahuan yang berfungsi untuk
menyatakan kebenaran pengetahuan baru yang sebenarnya. Sehingga dapat dibuktikan dengan
memberikan contoh-contohnya.
pengetahuan tingkat yang lebih rendah. Pada pengetahuan pengalaman ini juga mengkonkritkan
atau memberikan fakta dengan menyediakan bukti contoh untuk pengetahuan baru.
Sedangkan dalam klasifikasi kedua berkaitan dengan pengetahuan yang berada di luar konteks
pengetahuan yang akan dibicarakan yang meliputi berbagai identifikasi pengetahuan sebagai
berikut:
Pengetahuan ini merupakan tempat untuk mengaitkan suatu kemampuan menghafal. Hafalan
dalam hal ini merupakan hafalan yang tidak terlalu penting. Namun masih memiliki makna
penting bagi pengetahuan peserta didik. Sehingga hafalannya hanya untuk memudahkan retensi.
Pengetahuan seperti ini merupakan pengetahuan baru yang mengaitkan pengetahuan dengan
kemampuan peserta didik maupun pengetahuan baru yang masih sama dan serupa serta berada
Adapun klasifikasi yang ketiga yang berhubungan dengan pengetahuan tentang ketrampilan
Strategi kognitif yang dimaksud ialah suatu strategi yang menyediakan berbagai cara dalam
mengolah pengetahuan baru. Sehingga akan ada pemikiran ataupun pengungkapan kembali
Apabila dilihat dari tingkat penguasaan, kemampuan awal peserta didik dapat diklasifikasikan
Pada tahapan ini lebih mengacu pada kemampuan awal, sebagaimana telah diidentifikasi oleh
Reigeluth. Sehingga peserta didik juga sudah bisa menguasainya. Selain itu peserta didik juga
Pada tahapan ini mengacu pada kemampuan awal peserta didik, dimana peserta didik masih
belum menguasai materi yang seharusnya dipahami. Sehingga peserta didik bergantung pada
sumber sumber yang releva seperti buku untuk menggunakan kemampuan awal siap ulang ini.
Pada tahapan kemampuan awal pengenalan ini, peserta didik perlu mengulangi beberapa kali
agar lebih memahaminya. Sehingga dalam kemampuan awal ini masih tergantung pada sumber
buku yang relevan dan peserta didik juga terkadang belum menguasainya.
mengungkapkan bahwa kemampuan awal peserta didik ada yang masih mencapai tingkat
pengenalan, adapula yang mencapai siap pakai. Sehingga dalam menganalisis karakteristik
peserta didik perlu memperhatikan setiap kemampuan awal yang bervariasi penguasaannya dari
peserta didik yang satu terhadap peserta didik yang lain. Pendidikpun juga perlu memperhatikan
karakteristik peserta didik. Dalam hal inikemampuan awal sangat penting berperan sebagai
Kita telah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ini revolusi psikologi kognitif telah memberi
kontribusi wawasan baru tentang hakekat berpikir, baik pada guru maupun siswa. Pa
ndangan mengenai “bagaimana belajar terjadi” menjadi isu dari dekade ke dekade berikutnya.
Setidak-tidaknya ada tiga kategori pandangan mengenai belajar yang berkembang di abad 20
hingga awal abad 21 ini, yakni belajar sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan
pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan (Mayer, 1992). Proses belajar yang
terjadi dari pandangan pertama adalah menerima dan mengingat; pandangan kedua bercirikan
menerima dan memahami isi serta melihat hubungan-hubungan; dan yang ketiga, adalah
interpretasi dan konstruksi dari apa yang dialami (dilakukan, dilihat, didengar, dan dibaca)
Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa konsepsi atau pandangan tentang “bagaimana
belajar terjadi” menjadi titik tolak bagaimana upaya membelajarkan siswa ditempuh. Dalam
konteks, pandangan belajar yang pertama, dan kedua di atas, yakni belajar sebagai pemerolehan
respon, dan belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, metode pembelajaran dimaknai sebagai
cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan; dan
Sedangkan, dalam konteks konsepsi atau pandangan belajar yang ketiga, yakni belajar sebagai
siswa.
Dalam tulisan pendek ini, akan dipaparkan strategi pembelajaran yang dikembangkan
dengan pijakan tiga pandangan tentang “bagaimana belajar terjadi” itu. Pada bagian awal
dipaparkan tiga metafora belajar itu, dan kemudian dilanjutkan dengan paparan strategi
Metafora belajar yang diungkapkan Mayer (1992) tersebut, yakni pandangan belajar
sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai
pemerolehan respon menganggap proses belajar terjadi secara mekanistik. Respon yang berhasil
adalah memperkuat otomatisasi, dan sebaliknya kega-galan respon dipandang sebagai lemahnya
otomatisasi. Implikasinya dalam pembelajaran, metafora belajar sebagai pemerolehan respon ini
pembelajaran dalam pandangan belajar ini, dan tujuan pembelajaran adalah menambah tingkah
laku yang benar. Hasil belajar dapat dievaluasi dengan pengukuran seberapa besar perubahan
tingkah laku itu. Pandangan ini telah menjadi dasar yang amat kuat dalam praktik dan penelitian
belajar dan mengajar lebih dari separo abad ini, dan puncaknya terjadi pada masa-masa setelah
setelah revolusi kognitif tahun 1950-an dan 1960-an. Dalam pandangan ini siswa menjadi
pemroses informasi dan guru sebagai penyaji informasi. Karena pemerolehan pengetahuan
menjadi pusat perhatian para ahli psikologi, maka kurikulum menjadi fokus pembelajaran.
Implikasinya dalam pembelajaran jelas sekali, seperti penciptaan situasi yang dapat membuat
siswa memperoleh pengetahuan. Dengan metafora ini, pembelajaran berdasarkan buku teks dan
ceramah menjadi menjadi fokus, untuk tujuan pembelajaran menambah pengetahuan dalam diri
siswa, dan hasil belajar dapat dievaluasi dengan mengukur jumlah perolehan pengetahuan dan
retensi. Tes pilihan ganda dan tes-tes prestasi yang lain menjadi populer sebagai alat ukur.
psikologi kognitif pada dekade 1970-1980-an. Pandangan terhadap siswa berubah dari penerima
berlangsung. Seperti dikatakan Resnick dan Klopfer (1989) bahwa orang bukanlah perekam
informasi, tetapi pembangun struktur pengetahuan. Mengetahui sesuatu tidak berarti hanya telah
pengetahuan yang lain. Terampil adalah tidak hanya mengetahui bagaimana melakukan
sejumlah tindakan, tetapi juga mengetahui kapan melakukannya dan mengadaptasi unjuk kerja
ke berbagai keadaan. Meskipun konstruktivisme dalam pendidikan tidak dimaksudkan untuk
pijakan untuk mengembangkan strategi pembelajaran. Hingga sekarang, teori pembelajaran yang
bervisi pada belajar konstruktivis ini boleh dikatakan masih dalam proses kajian. Para peneliti
masih terus berusaha mengembangkan teori dan model pembelajaran baru berdasarkan
konstruktivisme, dan asumsi-asumsinya mengenai hakekat belajar (Resnick & Klopfer, 1989).
Mengenai pandangan terhadap belajar yang terakhir ini pusat perhatian pembelajaran
terletak pada pengubahan dari apa yang dikehendaki kurikulum ke kognisi siswa. Seperti
tercermin dalam lima prinsip pembelajaran konstruktivis yang diajukan Brook dan Brook
(1993): (1) penyikapan masalah-masalah yang muncul dan relevan pada belajar siswa; (2)
menstrukturkan belajar menurut konsep utama (“big ideas”); (3) menemukan dan memaknai
pandangan-pandangan siswa; (4) penyesuaian kurikulum yang diarahkan pada konsepsi siswa;
dan (5) pengukuran belajar siswa dalam konteks pembelajaran. Berhubungan dengan hal ini,
evaluasi terhadap belajar siswa lebih mengarah pada penemuan bagaimana struktur dan proses
pengetahuan siswa daripada berapa banyak yang dipelajari siswa. Pertanyaan yang lazim
diajukan bukan lagi “apakah pembelajaran lebih efektif,” tetapi “makna apa yang dapat
pandangan belajar yang pertama dan kedua. Sedangkan bagi pandangan belajar yang ketiga
lingkungan belajar”. Dalam tulisan pendek ini, kedua tajuk tersebut digunakan dengan maksud
agar dapat dipakai sebagai penunjuk terminologis dalam basis teori belajar apa strategi
tiga ranah:
karakteristik bidang studi (dikenali dengan melakukan analisis isi dan tujuan pembelajaran),
strategi penyampaian pembelajaran didasarkan pada karakteristik bidang studi dan kendala,
sedangkan strategi pengelolaan lazim ditetapkan berdasarkan karakteristik siswa, dan secara
simultan dikelola untuk mendukung strategi penyampaian pembelajaran, dengan mengacu pada
organisasi isi.
Dua langkah yang amat penting dalam penetapan strategi pengorganisasian isi
menunjukkan keterkaitan antarisi bidang studi secara keseluruhan, dengan maksud untuk
membuat isi-isi bidang studi menjadi lebih bermakna bagi siswa. Sequencing dilakukan untuk
menunjukkan urutan-urutan yang perlu diikuti dalam mempelajari isi bidang studi.
Pembuatan pensintesis dan pengurutan isi pembelajaran merupakan satu kegiatan yang
tak terpisahkan dengan analisis tujuan dan analisis karakteristik bidang studi. Oleh karena itu,
tepatlah jika penggarapan strategi pengorganisasian isi dilakukan segera setelah dilakukan
analisis tujuan dan isi atau karakteristik bidang studi. Pengorganisasian dapat melibatkan
keseluruhan isi bidang studi, atau hanya melibatkan sebagian kecil isi bidang studi.
Penetapan strategi penyampaian isi pembelajaran menaruh perhatian pada pemilihan dan
penetapan media yang optimal untuk menyampaikan isi pembelajaran. Penetapan ini akan sangat
tergantung pada hasil analisis kondisi, terutama analisis sumber belajar yang tersedia dan dapat
digunakan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis sumber dapat ditetapkan
berlangsung, atau menggunakan bukuteks untuk pemberian tugas-tugas rumah, menjadi bagian
penting dari strategi penyampaian pembelajaran. Semua itu dirancang, dan dijalankan oleh guru.
dengan sumber belajar yang dirancang akan dipakai dalam pembelajaran. Perhatian utama
diberikan pada penjadwalan penggunaan setiap sumber belajar ini. Oleh karena fokus
perhatiannya terletak pada penataan interaksi siswa dengan sumber belajar, maka strategi
pengelolaan ini amat tergantung pada hasil analisis karakteristik siswa. Deskripsi hasil analisis
karakteristik siswa menjadi pijakan dalam memilih dan menetapkan strategi pengelolaan. Hasil
kegiatan dalam langkah ini akan berupa penjadwalan penggunaan komponen strategi
pembentukan respon, dan belajar dipandang sebagai pemerolehan belajar atau penyerapan
informasi, sehingga adagium pembelajaran yang terkenal selama ini berbunyi “peningkatan daya
serap” atau “peningkatan perolehan belajar”. Semua strategi pembelajaran dirancang untuk
meningkatkan “adaya serap” atau “perolehan belajar”. Adagium pembelajaran ini akan menjadi
rumah masih berguna, meskipun hadirnya di dalam kelas-kelas konstruktivis menjadi lebih
tipikal. Strategi yang menonjol antara lain adalah strategi belajar kooperatif dengan
pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstorming,
Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide dan interpretasi siswa dalam
belajar, mengarahkan siswa ke dalam ide-ide alternatif dari yang diyakini sebelumnya, dan
Pergeseran perspektif kelas yang seperti ini sejalan dengan pergeseran pandangan terhadap
belajar dan mengajar (dalam metafora Mayer) yang ketiga, yakni belajar sebagai pembangunan
pengetahuan.
mempertimbangkan konsepsi utama yang dibawa siswa ke dalam situasi belajar sebagai bagian
dari aktivitas pembelajaran. Belajar adalah proses aktif pada diri siswa, yang mencakup
konstruksi makna dan acapkali terbentuk melalui negosiasi interpersonal. Guru juga membawa
konsepsi mereka ke dalam situasi pembelajaran, tidak hanya konsepsi mengenai pengetahuan
mereka, tetapi juga konsepsi mereka terhadap belajar dan mengajar. Konsepsi-konsepsi itu dapat
belajar dan mengajar (Smith, 1990). Pendek kata, pergeseran pandangan tentang belajar dan
mengajar dari siswa sebagai perespon dan penerima informasi ke siswa sebagai
Implikasi epistemologis dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
terkonstruksi, adalah hubungan skema konseptual dengan dunia nyata secara langsung.
Penekanan belajar tidak dalam hal hubungannya dengan otoritas eksternal, tetapi konstruksi
pengetahuan oleh siswa. Modul-modul seringkali diangkat dari pengalaman personal siswa,
mempertimbangkan isu kehidupan nyata yang dihadapi siswa, masyarakat sekitar atau
masyarakat umum (Ajeyalemi, 1993). Belajar tentang dunia tidak menempatkannya dalam
vakum sosial. Melalui bahasa dan kultur, anak memiliki cara-cara berpikir dan berimajinasi.
Pandangan terhadap pengetahuan yang demikian itu, memiliki konsekuensi yang sungguh-
sungguh terhadap konseptualisasi pengajaran dan belajar. Lebih jauh, akan menggeser
penekanan pengajaran dari apa yang disebutstudent’s “correct” replication dari apa yang
dilakukan guru, ke student’s successful organization of his or her own experiences (Driver &
Leach, 1993:104).
kepada siswa, tetapi lebih berguna dipandang sebagai rangkaian tugas dan strategi. Tujuan
Lingkungan itu bukan hanya tugas belajar sebagai paket, tetapi tugas belajar seperti
diinterpretasikan oleh siswa. Lingkungan belajar juga mencakup organsiasi sosial dan interaksi
Karakteristik lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis ini antara lain: (1) siswa
tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri—mereka membawa
konsepsi mereka ke dalam situasi belajar; (2) belajar mengutamakan proses aktif siswa
mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal; (3) pengetahuan
tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial; (4) guru juga
membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka,
tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat mempengaruhi cara
mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas; (5) pengajaran bukan mentransmisi
pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang
memudahkan siswa menemukan makna; dan (6) kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari
tetapi program tugas-tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan wacana dari mana
siswa mengkonstruk pengetahuan mereka (Driver & Leach, 1993; Connor, 1990).
pikirannya terletak pada domain knowledge, yaitu proses membangun pengetahuan oleh orang
yang belajar. Banyak teori pembelajaran untuk domain kognitif dideskripsikan dalam berbagai
terbuka. Membandingkan teori-teori itu sama halnya membandingkan apel dengan jeruk. Namun
demikian, ada gunanya membandingkan teori untuk membangun kerangka pemahaman teoretik
Reigeluth dan Moore (1999) mendeskripsikan enam poin strategi pembelajaran, yaitu (1)
tipe belajar, (2) kontrol belajar, (3) fokus belajar, (4) pengelompokan belajar, (5) interaksi
Poin/Elemen Deskripsi
Tipe Belajar Tipe belajar apa yang dikehendaki?
Kontrol belajar Siapa yang mengontrol proses belajar: guru, siswa, atau desainer
pembelajaran?
Fokus belajar Apa yang menjadi fokus aktivitas pembelajaran: topik khusus,
siswa-material?
Pendukung belajar Apa jenis dan tingkat dukungan yang diberikan kepada siswa?
Tipe Belajar
Tipe belajar berkaitan dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Pada hakikatnya, poin
kognitif). Untuk tujuan ini Reigeluth mensintesis taksonomi belajar: mengingat informasi
(memorizing information), memahami hubungan-hubungan (understanding relationships),
yang lebih tinggi (applying generic skills). Taksonomi ini divisualkan sbb:
Visualisasi tersebut menunjukkan, bahwa kita bisa melihat kategori secara terpisah,
sekaligus kita bisa melihat kategori-kategori tersebut secara overlap. Misalnya, mungkin penting
bagi siswa mengingat informasi untuk menerapkan suatu keterampilan, akan tetapi ini tidak
selalu demikian.
menekankan keterampilan berpikir tingkat tinggi (kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi),
akan menempatkan ketegori ini pada kuadran empat, yakniapllying generic skills. Sementara itu
bagi para konstruktivis tujuan belajar untuk pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi
seperti itu, juga digunakan untuk mengembangkan level belajar yang lebih rendah, secara
konstruktivis ini, siswa bekerja kolaboratif dengan yang lain, menggunakan bebagai sumber,
melakukan simulasi, dan eksperimen untuk memecahkan berbagai masalah yang menantang.
juga memperluas informasi dalam beberapa domain. jika demikian, maka tipe belajar yang
terjadi meliputi kategori kuadran 1, 3, dan 4, yakni understanding relationships, applying skills,
Kontrol Belajar
Dalam paradigma pembelajaran tradisional, kontrol belajar ada pada guru atau desainer
pembelajaran. Penetapan tujuan belajar, pemilihan isi, penetapan strategi pembelajaran, dan
evaluasi dilakukan oleh guru. Kunci dalam paradigma teori pembelajaran yang baru adalah
penciptaan lingkungan yang berfokus pada siswa (learner-centered), di mana siswa lebih
berperan dalam penentuan hasil belajar dan pemilihan cara untuk mencapai hasil belajar mereka.
Pengambilan peran antara yang perpusat pada guru dan berpusat pada siswa lebih
menggambarkan sebuah kontinum (lihat gambar berikut). Satu titik ekstrem tidak selalu lebih
baik daripada yang lain, penetapan titik kontinum yang berbeda lebih tepat untuk kondisi yang
berbeda.
Ada sejumlah pertanyaan pemandu untuk menetapkan strategi pembelajaran yang tepat
4. Siapa yang memilih jenis dan level sumber dan bahan pendukung?
5. Siapa yang memilih kapan sumber dan bahan pendukung itu digunakan?
6. Siapa yang mengatur kegiatan apa yang akan dilakukan, dan di jenjang apa?
Bagi Gardner (1999) kontrol belajar adalah guru. Guru yang menetapkan strategi
pembelajaran, dan membimbing proses belajar. Guru pula yang memilih isi yang penting bagi
siswa. Sementara bagi yang lain menekankan peran guru sebagai pencipta lingkungan belajar
Fokus Belajar
Fokus belajar memiliki rentangan cakupan yang amat luas, dari menggunakan topik
khusus dari domain tertentu hingga pemecahan masalah yang interdisipliner. Area ini
divisualkan sbb:
Interdisciplinary
Domain specific
skenario berbasis tujuan. Skenario memiliki tujuan proses maupun tujuan isi, dan menuntut
siswa belajar isi tertentu untuk bisa mencapai misi atau tujuan. Strategi ini fleksibel, sementara
orientasi belajar pemecahan masalah tercapai, di sisi lain siswa belajar domain spesifik atau
interdisipliner yang terkait dengan tujuan belajar atau misi yang telah diplih. Oleh karena itu
Interdisciplinary
Domain Specific
Pengelompokan Belajar
Aspek ini mempertimbangkan jumlah siswa yang bekerjasama. Siswa bekerja individual
berpasangan, tim (3-6), dan kelompok (7+). Setiap tipe pengelompokan memiliki pertimbangan
Pengelompokan belajar
Interaksi Belajar
Biasanya kategori interaksi belajar ini dibedakan atas interaksi: manusia dan non-
manusia. Dalam setiap kategori mungkin terdapat bernacam-macam tipe interaksi yang
melibatkan siswa dalam proses belajar. Berbagai kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut:
Human Nonhuman
Student- Student- Other Student- Student- Student- Other
Fasilitas pendukung belajar diperlukan siswa untuk tumbuh dan berkembang. Pendukung
ini ada dua macam: pendukungkognitif dan pendkung emosional. Pendukung kognitif terdiri atas
elemen-elemen yang memberi dukungan terhadap proses siswa membangun pemahaman, dan
kompetensi, di area bidang studi. Ini bisa berbentuk bahan-bahan cetak, komputer, interaksi
manusia, akses informasi, umpnbalik, evaluasi, dsb. Sedangkan pendukung emosional terdiri
atas elemen-elemen yang mendukung sikap siswa, motivasi, dan keyakinan diri. Bentuk
Cognitive Support
Model-model pemberian dukungan untuk belajar yang berfokus pada strategi
perencanaan pesan pembelajaran, seperti pemilihan dan pengorganisasian pesan agar bahan-
bahan mudah dipelajari siswa, merupakan bentuk cognitive support. Bagi para konstruktivis
yang memaknai strategi pembelajaran sebagai “penciptaan lingkungan belajar” berfokus pada
elemen emosional sebaik fokus pada elemen kognitif. Penggunaan penekanan tentang
pentingnya tugas, dorongan tingkat keyakinan, pengurutan atau penataan tingkat kesulitan tugas-
tugas merupakan strategi-strategi untuk emotional support. Secara kognitif, guru bisa
perangkat konstruksi pengetahuan, perangkat kolaborasi dan percakapan antarsiswa. Guru juga
bisa memberikan umpanbalik, strategi-strategi berpikir, dan kasus-kasus yang terkait. Pemberian
Cognitive Support
Emotional Support
Kita telah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ini revolusi psikologi kognitif telah memberi
kontribusi wawasan baru tentang hakekat berpikir, baik pada guru maupun siswa. Pa
ndangan mengenai “bagaimana belajar terjadi” menjadi isu dari dekade ke dekade berikutnya.
Setidak-tidaknya ada tiga kategori pandangan mengenai belajar yang berkembang di abad 20
hingga awal abad 21 ini, yakni belajar sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan
pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan (Mayer, 1992). Proses belajar yang
terjadi dari pandangan pertama adalah menerima dan mengingat; pandangan kedua bercirikan
menerima dan memahami isi serta melihat hubungan-hubungan; dan yang ketiga, adalah
interpretasi dan konstruksi dari apa yang dialami (dilakukan, dilihat, didengar, dan dibaca)
Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa konsepsi atau pandangan tentang “bagaimana
belajar terjadi” menjadi titik tolak bagaimana upaya membelajarkan siswa ditempuh. Dalam
konteks, pandangan belajar yang pertama, dan kedua di atas, yakni belajar sebagai pemerolehan
respon, dan belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, metode pembelajaran dimaknai sebagai
cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan; dan
Sedangkan, dalam konteks konsepsi atau pandangan belajar yang ketiga, yakni belajar sebagai
siswa.
Dalam tulisan pendek ini, akan dipaparkan strategi pembelajaran yang dikembangkan
dengan pijakan tiga pandangan tentang “bagaimana belajar terjadi” itu. Pada bagian awal
dipaparkan tiga metafora belajar itu, dan kemudian dilanjutkan dengan paparan strategi
Metafora belajar yang diungkapkan Mayer (1992) tersebut, yakni pandangan belajar
sebagai pemerolehan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai
belajar terjadi, yang berkembang terutama setengah abad terakhir. Pandangan belajar sebagai
pemerolehan respon menganggap proses belajar terjadi secara mekanistik. Respon yang berhasil
adalah memperkuat otomatisasi, dan sebaliknya kega-galan respon dipandang sebagai lemahnya
otomatisasi. Implikasinya dalam pembelajaran, metafora belajar sebagai pemerolehan respon ini
pembelajaran dalam pandangan belajar ini, dan tujuan pembelajaran adalah menambah tingkah
laku yang benar. Hasil belajar dapat dievaluasi dengan pengukuran seberapa besar perubahan
tingkah laku itu. Pandangan ini telah menjadi dasar yang amat kuat dalam praktik dan penelitian
belajar dan mengajar lebih dari separo abad ini, dan puncaknya terjadi pada masa-masa setelah
setelah revolusi kognitif tahun 1950-an dan 1960-an. Dalam pandangan ini siswa menjadi
pemroses informasi dan guru sebagai penyaji informasi. Karena pemerolehan pengetahuan
menjadi pusat perhatian para ahli psikologi, maka kurikulum menjadi fokus pembelajaran.
Implikasinya dalam pembelajaran jelas sekali, seperti penciptaan situasi yang dapat membuat
siswa memperoleh pengetahuan. Dengan metafora ini, pembelajaran berdasarkan buku teks dan
ceramah menjadi menjadi fokus, untuk tujuan pembelajaran menambah pengetahuan dalam diri
siswa, dan hasil belajar dapat dievaluasi dengan mengukur jumlah perolehan pengetahuan dan
retensi. Tes pilihan ganda dan tes-tes prestasi yang lain menjadi populer sebagai alat ukur.
psikologi kognitif pada dekade 1970-1980-an. Pandangan terhadap siswa berubah dari penerima
berlangsung. Seperti dikatakan Resnick dan Klopfer (1989) bahwa orang bukanlah perekam
informasi, tetapi pembangun struktur pengetahuan. Mengetahui sesuatu tidak berarti hanya telah
pengetahuan yang lain. Terampil adalah tidak hanya mengetahui bagaimana melakukan
sejumlah tindakan, tetapi juga mengetahui kapan melakukannya dan mengadaptasi unjuk kerja
pijakan untuk mengembangkan strategi pembelajaran. Hingga sekarang, teori pembelajaran yang
bervisi pada belajar konstruktivis ini boleh dikatakan masih dalam proses kajian. Para peneliti
masih terus berusaha mengembangkan teori dan model pembelajaran baru berdasarkan
konstruktivisme, dan asumsi-asumsinya mengenai hakekat belajar (Resnick & Klopfer, 1989).
Mengenai pandangan terhadap belajar yang terakhir ini pusat perhatian pembelajaran
terletak pada pengubahan dari apa yang dikehendaki kurikulum ke kognisi siswa. Seperti
tercermin dalam lima prinsip pembelajaran konstruktivis yang diajukan Brook dan Brook
(1993): (1) penyikapan masalah-masalah yang muncul dan relevan pada belajar siswa; (2)
menstrukturkan belajar menurut konsep utama (“big ideas”); (3) menemukan dan memaknai
pandangan-pandangan siswa; (4) penyesuaian kurikulum yang diarahkan pada konsepsi siswa;
dan (5) pengukuran belajar siswa dalam konteks pembelajaran. Berhubungan dengan hal ini,
evaluasi terhadap belajar siswa lebih mengarah pada penemuan bagaimana struktur dan proses
pengetahuan siswa daripada berapa banyak yang dipelajari siswa. Pertanyaan yang lazim
diajukan bukan lagi “apakah pembelajaran lebih efektif,” tetapi “makna apa yang dapat
pandangan belajar yang pertama dan kedua. Sedangkan bagi pandangan belajar yang ketiga
lingkungan belajar”. Dalam tulisan pendek ini, kedua tajuk tersebut digunakan dengan maksud
agar dapat dipakai sebagai penunjuk terminologis dalam basis teori belajar apa strategi
tiga ranah:
karakteristik bidang studi (dikenali dengan melakukan analisis isi dan tujuan pembelajaran),
strategi penyampaian pembelajaran didasarkan pada karakteristik bidang studi dan kendala,
sedangkan strategi pengelolaan lazim ditetapkan berdasarkan karakteristik siswa, dan secara
simultan dikelola untuk mendukung strategi penyampaian pembelajaran, dengan mengacu pada
organisasi isi.
Dua langkah yang amat penting dalam penetapan strategi pengorganisasian isi
menunjukkan keterkaitan antarisi bidang studi secara keseluruhan, dengan maksud untuk
membuat isi-isi bidang studi menjadi lebih bermakna bagi siswa. Sequencing dilakukan untuk
menunjukkan urutan-urutan yang perlu diikuti dalam mempelajari isi bidang studi.
Pembuatan pensintesis dan pengurutan isi pembelajaran merupakan satu kegiatan yang
tak terpisahkan dengan analisis tujuan dan analisis karakteristik bidang studi. Oleh karena itu,
tepatlah jika penggarapan strategi pengorganisasian isi dilakukan segera setelah dilakukan
analisis tujuan dan isi atau karakteristik bidang studi. Pengorganisasian dapat melibatkan
keseluruhan isi bidang studi, atau hanya melibatkan sebagian kecil isi bidang studi.
Penetapan strategi penyampaian isi pembelajaran menaruh perhatian pada pemilihan dan
penetapan media yang optimal untuk menyampaikan isi pembelajaran. Penetapan ini akan sangat
tergantung pada hasil analisis kondisi, terutama analisis sumber belajar yang tersedia dan dapat
digunakan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis sumber dapat ditetapkan
Teknik-teknik penyampaian isi di dalam kelas yang sudah lazim digunakan guru, yang
berlangsung, atau menggunakan bukuteks untuk pemberian tugas-tugas rumah, menjadi bagian
penting dari strategi penyampaian pembelajaran. Semua itu dirancang, dan dijalankan oleh guru.
dengan sumber belajar yang dirancang akan dipakai dalam pembelajaran. Perhatian utama
diberikan pada penjadwalan penggunaan setiap sumber belajar ini. Oleh karena fokus
perhatiannya terletak pada penataan interaksi siswa dengan sumber belajar, maka strategi
pengelolaan ini amat tergantung pada hasil analisis karakteristik siswa. Deskripsi hasil analisis
karakteristik siswa menjadi pijakan dalam memilih dan menetapkan strategi pengelolaan. Hasil
kegiatan dalam langkah ini akan berupa penjadwalan penggunaan komponen strategi
pembentukan respon, dan belajar dipandang sebagai pemerolehan belajar atau penyerapan
informasi, sehingga adagium pembelajaran yang terkenal selama ini berbunyi “peningkatan daya
serap” atau “peningkatan perolehan belajar”. Semua strategi pembelajaran dirancang untuk
meningkatkan “adaya serap” atau “perolehan belajar”. Adagium pembelajaran ini akan menjadi
rumah masih berguna, meskipun hadirnya di dalam kelas-kelas konstruktivis menjadi lebih
tipikal. Strategi yang menonjol antara lain adalah strategi belajar kooperatif dengan
pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstorming,
belajar, mengarahkan siswa ke dalam ide-ide alternatif dari yang diyakini sebelumnya, dan
Pergeseran perspektif kelas yang seperti ini sejalan dengan pergeseran pandangan terhadap
belajar dan mengajar (dalam metafora Mayer) yang ketiga, yakni belajar sebagai pembangunan
pengetahuan.
mempertimbangkan konsepsi utama yang dibawa siswa ke dalam situasi belajar sebagai bagian
dari aktivitas pembelajaran. Belajar adalah proses aktif pada diri siswa, yang mencakup
konstruksi makna dan acapkali terbentuk melalui negosiasi interpersonal. Guru juga membawa
konsepsi mereka ke dalam situasi pembelajaran, tidak hanya konsepsi mengenai pengetahuan
mereka, tetapi juga konsepsi mereka terhadap belajar dan mengajar. Konsepsi-konsepsi itu dapat
belajar dan mengajar (Smith, 1990). Pendek kata, pergeseran pandangan tentang belajar dan
mengajar dari siswa sebagai perespon dan penerima informasi ke siswa sebagai
Implikasi epistemologis dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
terkonstruksi, adalah hubungan skema konseptual dengan dunia nyata secara langsung.
Penekanan belajar tidak dalam hal hubungannya dengan otoritas eksternal, tetapi konstruksi
pengetahuan oleh siswa. Modul-modul seringkali diangkat dari pengalaman personal siswa,
mempertimbangkan isu kehidupan nyata yang dihadapi siswa, masyarakat sekitar atau
masyarakat umum (Ajeyalemi, 1993). Belajar tentang dunia tidak menempatkannya dalam
vakum sosial. Melalui bahasa dan kultur, anak memiliki cara-cara berpikir dan berimajinasi.
Pandangan terhadap pengetahuan yang demikian itu, memiliki konsekuensi yang sungguh-
sungguh terhadap konseptualisasi pengajaran dan belajar. Lebih jauh, akan menggeser
penekanan pengajaran dari apa yang disebutstudent’s “correct” replication dari apa yang
dilakukan guru, ke student’s successful organization of his or her own experiences (Driver &
Leach, 1993:104).
kepada siswa, tetapi lebih berguna dipandang sebagai rangkaian tugas dan strategi. Tujuan
Lingkungan itu bukan hanya tugas belajar sebagai paket, tetapi tugas belajar seperti
diinterpretasikan oleh siswa. Lingkungan belajar juga mencakup organsiasi sosial dan interaksi
Karakteristik lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis ini antara lain: (1) siswa
tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri—mereka membawa
konsepsi mereka ke dalam situasi belajar; (2) belajar mengutamakan proses aktif siswa
mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal; (3) pengetahuan
tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial; (4) guru juga
membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka,
tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat mempengaruhi cara
mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas; (5) pengajaran bukan mentransmisi
pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang
memudahkan siswa menemukan makna; dan (6) kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari
tetapi program tugas-tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan wacana dari mana
siswa mengkonstruk pengetahuan mereka (Driver & Leach, 1993; Connor, 1990).
Bahasan tentang konstruktivisme dalam pendidikan lekat dengan domain kognitif. Pokok
pikirannya terletak pada domain knowledge, yaitu proses membangun pengetahuan oleh orang
yang belajar. Banyak teori pembelajaran untuk domain kognitif dideskripsikan dalam berbagai
terbuka. Membandingkan teori-teori itu sama halnya membandingkan apel dengan jeruk. Namun
demikian, ada gunanya membandingkan teori untuk membangun kerangka pemahaman teoretik
Reigeluth dan Moore (1999) mendeskripsikan enam poin strategi pembelajaran, yaitu (1)
tipe belajar, (2) kontrol belajar, (3) fokus belajar, (4) pengelompokan belajar, (5) interaksi
Poin/Elemen Deskripsi
Tipe Belajar Tipe belajar apa yang dikehendaki?
Kontrol belajar Siapa yang mengontrol proses belajar: guru, siswa, atau desainer
pembelajaran?
Fokus belajar Apa yang menjadi fokus aktivitas pembelajaran: topik khusus,
siswa-material?
Pendukung belajar Apa jenis dan tingkat dukungan yang diberikan kepada siswa?
Tipe Belajar
Tipe belajar berkaitan dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Pada hakikatnya, poin
kognitif). Untuk tujuan ini Reigeluth mensintesis taksonomi belajar: mengingat informasi
yang lebih tinggi (applying generic skills). Taksonomi ini divisualkan sbb:
Visualisasi tersebut menunjukkan, bahwa kita bisa melihat kategori secara terpisah,
sekaligus kita bisa melihat kategori-kategori tersebut secara overlap. Misalnya, mungkin penting
bagi siswa mengingat informasi untuk menerapkan suatu keterampilan, akan tetapi ini tidak
selalu demikian.
menekankan keterampilan berpikir tingkat tinggi (kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi),
akan menempatkan ketegori ini pada kuadran empat, yakniapllying generic skills. Sementara itu
bagi para konstruktivis tujuan belajar untuk pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi
seperti itu, juga digunakan untuk mengembangkan level belajar yang lebih rendah, secara
konstruktivis ini, siswa bekerja kolaboratif dengan yang lain, menggunakan bebagai sumber,
melakukan simulasi, dan eksperimen untuk memecahkan berbagai masalah yang menantang.
juga memperluas informasi dalam beberapa domain. jika demikian, maka tipe belajar yang
terjadi meliputi kategori kuadran 1, 3, dan 4, yakni understanding relationships, applying skills,
Kontrol Belajar
Dalam paradigma pembelajaran tradisional, kontrol belajar ada pada guru atau desainer
pembelajaran. Penetapan tujuan belajar, pemilihan isi, penetapan strategi pembelajaran, dan
evaluasi dilakukan oleh guru. Kunci dalam paradigma teori pembelajaran yang baru adalah
penciptaan lingkungan yang berfokus pada siswa (learner-centered), di mana siswa lebih
berperan dalam penentuan hasil belajar dan pemilihan cara untuk mencapai hasil belajar mereka.
Pengambilan peran antara yang perpusat pada guru dan berpusat pada siswa lebih
menggambarkan sebuah kontinum (lihat gambar berikut). Satu titik ekstrem tidak selalu lebih
baik daripada yang lain, penetapan titik kontinum yang berbeda lebih tepat untuk kondisi yang
berbeda.
Ada sejumlah pertanyaan pemandu untuk menetapkan strategi pembelajaran yang tepat
4. Siapa yang memilih jenis dan level sumber dan bahan pendukung?
5. Siapa yang memilih kapan sumber dan bahan pendukung itu digunakan?
6. Siapa yang mengatur kegiatan apa yang akan dilakukan, dan di jenjang apa?
Bagi Gardner (1999) kontrol belajar adalah guru. Guru yang menetapkan strategi
pembelajaran, dan membimbing proses belajar. Guru pula yang memilih isi yang penting bagi
siswa. Sementara bagi yang lain menekankan peran guru sebagai pencipta lingkungan belajar
Fokus Belajar
Fokus belajar memiliki rentangan cakupan yang amat luas, dari menggunakan topik
khusus dari domain tertentu hingga pemecahan masalah yang interdisipliner. Area ini
divisualkan sbb:
Interdisciplinary
Domain specific
skenario berbasis tujuan. Skenario memiliki tujuan proses maupun tujuan isi, dan menuntut
siswa belajar isi tertentu untuk bisa mencapai misi atau tujuan. Strategi ini fleksibel, sementara
orientasi belajar pemecahan masalah tercapai, di sisi lain siswa belajar domain spesifik atau
interdisipliner yang terkait dengan tujuan belajar atau misi yang telah diplih. Oleh karena itu
Interdisciplinary
Domain Specific
Pengelompokan Belajar
Aspek ini mempertimbangkan jumlah siswa yang bekerjasama. Siswa bekerja individual
berpasangan, tim (3-6), dan kelompok (7+). Setiap tipe pengelompokan memiliki pertimbangan
Pengelompokan belajar
Interaksi Belajar
Biasanya kategori interaksi belajar ini dibedakan atas interaksi: manusia dan non-
manusia. Dalam setiap kategori mungkin terdapat bernacam-macam tipe interaksi yang
melibatkan siswa dalam proses belajar. Berbagai kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut:
Human Nonhuman
Student- Student- Other Student- Student- Student- Other
Fasilitas pendukung belajar diperlukan siswa untuk tumbuh dan berkembang. Pendukung
ini ada dua macam: pendukungkognitif dan pendkung emosional. Pendukung kognitif terdiri atas
elemen-elemen yang memberi dukungan terhadap proses siswa membangun pemahaman, dan
kompetensi, di area bidang studi. Ini bisa berbentuk bahan-bahan cetak, komputer, interaksi
manusia, akses informasi, umpnbalik, evaluasi, dsb. Sedangkan pendukung emosional terdiri
atas elemen-elemen yang mendukung sikap siswa, motivasi, dan keyakinan diri. Bentuk
Cognitive Support
perencanaan pesan pembelajaran, seperti pemilihan dan pengorganisasian pesan agar bahan-
bahan mudah dipelajari siswa, merupakan bentuk cognitive support. Bagi para konstruktivis
yang memaknai strategi pembelajaran sebagai “penciptaan lingkungan belajar” berfokus pada
elemen emosional sebaik fokus pada elemen kognitif. Penggunaan penekanan tentang
pentingnya tugas, dorongan tingkat keyakinan, pengurutan atau penataan tingkat kesulitan tugas-
tugas merupakan strategi-strategi untuk emotional support. Secara kognitif, guru bisa
perangkat konstruksi pengetahuan, perangkat kolaborasi dan percakapan antarsiswa. Guru juga
bisa memberikan umpanbalik, strategi-strategi berpikir, dan kasus-kasus yang terkait. Pemberian
Cognitive Support
Emotional Support
PENUTUP
Pengembangan strategi pembelajaran pada dasarnya tergantung pada tujuan belajar apa
yang ingin dicapai, karakteristik bidang studi, dan kondisi. Sejumlah poin strategi pembelajaran
point untuk memulai proses analisis dan diskusi pengembangan strategi pembelajaran.
PENUTUP
Pengembangan strategi pembelajaran pada dasarnya tergantung pada tujuan belajar apa
yang ingin dicapai, karakteristik bidang studi, dan kondisi. Sejumlah poin strategi pembelajaran
point untuk memulai proses analisis dan diskusi pengembangan strategi pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary STS Teachers. What Research
Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.: National Science Teachers
Association.
Brook, J.G. & Brook, M.G. 1993. The Case for Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD.
Connor, J.V. 1990. Naïve Conceptions and the School Scinece Curriculum. What Research Says
18.
Driver, R. & Leach, J. 1993. A Constructivist View of Learning: Children’s Conceptions and the
Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic Meeting Within Educational
Reigeluth, C.M., & Moore, J. 1999. Cognition Education and the Cognitive Domain. Dalam
Resnick, L.B., & Klopfer, L.E. 1989. Toward the Tinking Curriculum: An Overview. Dalam
Schank, R.C., Berman, T.R., & Macpherson, K.A. 1999. Learning by Doing. Dalam Charles M.
DAFTAR PUSTAKA
Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary STS Teachers. What Research
Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.: National Science Teachers
Association.
Brook, J.G. & Brook, M.G. 1993. The Case for Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD.
Connor, J.V. 1990. Naïve Conceptions and the School Scinece Curriculum. What Research Says
18.
Driver, R. & Leach, J. 1993. A Constructivist View of Learning: Children’s Conceptions and the
Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic Meeting Within Educational
Reigeluth, C.M., & Moore, J. 1999. Cognition Education and the Cognitive Domain. Dalam
Resnick, L.B., & Klopfer, L.E. 1989. Toward the Tinking Curriculum: An Overview. Dalam
Schank, R.C., Berman, T.R., & Macpherson, K.A. 1999. Learning by Doing. Dalam Charles M.