Anda di halaman 1dari 11

Pendekatan Diagnosis Pada Kejang

Definisi

Gangguang gerakan atau movement disorders merupakan suatu kelompok neurologis yang
dikarakteristikan dengan gerakan abnormal yang biasanya terjadi karena perubahan fungsi dari
nucleus dari bangsal ganglia atau jaringan mereka 1. Kejang didefinisikan sebagai kejadian
transient atau sementara yang memiliki tanda dan gejala yang abnormal, berlebihan atau tidak
sinkron aktivitas saraf di otak yang dikaraketeristikan dengan adanya aktivitas dari otot skeletal
yang mucul secara tiba-tiba2. Kejang merupakan kelaianan neurologi yang akan sering kita
temukan dalam praktek kita sehari-hari dan kejang merupakan suatu keadaan yang darurat dan
bahaya. Insiden kejang berkisar 3%diantara kelompok umur resiko kejang, sedangkan pada
neonatus sebanyak ±1% kemungkinan mendapat resiko kejang. Sebanya 3% dari anak golongan
umur 5-6 tahun pernah mengalami recurrent non febrile convulsion. Apabila terjadi kejang yang
lama atau kejang berulang dapat menyebabkan kerusakan sel otak dimana untuk kedepannya
dapat menyebakan kecacatan atau ganguan pertumbuhan dan perkembangan anak di kemudian
hari. Maka dari itu diperlukan penanganan yang cepat, diketahui penyebebnya dan diusahakan
agar tidak terulang kembali2. Sebelum kita memulai ke penanganan terhadap kejang, yang utama
yang harus kita lakukan pada pasien yang datang ke tempat praktek kita dengan kejang, kita
perlu membedakan apakah pasien tersebut kejang atau tidak1.

1
Gambar 1. Bagan epilepsy non epilepsy 3

Klasifikasi Kejang

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai hal, maka dari itu perlu di klasifikasikan dari jenis kejang
tersebut sehingga kita dapat menentukan penyebab, menentukan diagnosis, tatalaksana dan
prognosis dari kejang tersebut. Klasifikasi kejang :

 Kejang pada bayi baru lahir (usia 0-26 hari)


 Kejang dengan demam
 Gangguan metabolic dan elektrolit
 Epilepsy
 Gangguan perderan darah atau trauma
 Keganansan
 Bahan toksik
 Kelainan kongenital.

2
Gambar 2. Klasifikasi kejang berdasarkan penyebab kejang

Diagnosis Kejang

Berdasarkan dari tipe-tipe kejang yang dijelaskan diatas, pasien datang dengan kejang memiliki
berbagai macam diagnosis banding. Maka dari itu kita perlu melakukan anamnesis yang
mendalam mengenai kejang untuk mengetahui penyebab dari kejang tersebut agar dapat
menetukan diagnosis, tatalaksana serta prognosis dari pasien.

Diagnosis kejang dapat kita lakukan dengan melakukan anamnesis secara detail dan lengkap,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang tepat, berikut akan dibahas lebih merinci
mengenai diagnosis kejang 4.

A. Anamnesis
 Apakah bangkitan yang terjadi pada pasien apakah benar kejang atau tidak ?
Anak dengan demam tinggi terkadang terdapat gerakan gerakan yang mungkin
dinilai oleh orang tua sebagai kejang. Untuk memastikan hal tersebut kita bisa
memberikan penjelasan kepada orang tua apabila terdapat kejang kembali agar
merekam video anak tersebut dan diperlihatkan ke dokter.

3
 Apakah kejang disertai dengan demam atau tidak?
Pertanyaan ini sangat penting guna menentukan diagnosis dari kejang tersebut
atau tidak. Apakah kejang ini merukapan bagian dari proses infeksi atau tidak.
 Berapa lama kejang itu terjadi ?
Tujuan dari kita menayakan pertanyaan ini adalah salah satunya untuk
mengetahui bagaimana prognosis dari anak. Karena makin lama kejang itu terjadi
otak akan mengalami hipoksia, sehingga resiko kerusakan otak akan besar dan
akan mempengaruhi prognosis anak. Terkadang orang tua karena panik melihat
anak mengalami kejang sehingga tidak dapat memprediksikan waktu, maka dari
itu beberapa dari mereka saat ditanyakan sering mengatakan kejangnya
berlangsung sangat lama. maka dari itu kita bisa memberikan pilihan kepada
orang tua apakah kejang terjadi lebih dari 5 menit atau tidak. Kerena otak apabila
mengalami hipoksia lebih dari 5 menit dapat meyebakan kerusakan otak.
 Pola serangan
Pola serangan ini dapat kita tanyakan untuk mengetahui apakah kejang fokal atau
general 4. Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi
premature, bayi cukup bulan dan gerakan abnormal lain yang bukan kejang.
Jitteriness merupakan salah satu gejala gangguan pergerakan yang sulit dibedakan
dengan kejang. Penyebab tersering jitteriness adalah ensefalopati hipoksik-
iskemik, hipokalsemia, hipoglikemia dan gejala putus obat. Akifitas lain pada
neonatus yang menyerupai kejang
1. Pada saat sadar dan mengantuk/drowsy, tampak gerakan bola mata kearah
horizontal berupa nystagmoid jerk yang tidak menetap. Dapat dibedakan
dari gerakan bola mata pada subtle seizure yang berupa deviasi tonik
horisontal bola mata yang menetap, dengan atau tanpa jerking.
2. Pada saat tidur, sering dijumpai myoclonic jerk yang bersifat fragmenter
dan multipel. Sering disebut benign neonatal sleep myoclonus.
3. Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus (suara
atau taktil) berupa mioklonik umum seperti terkejut/kaget (startle
response)

4
4. Klonus Gerakan-gerakan tersebut dapat dibedakan dari kejang dengan
cara menahan gerakan tersebut berhenti6.

 Frekuensi kejang
Untuk mengetahui apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya ?
umur berapa kejang terjadi pertama kali ? berapa frekuensi kejang per tahun ?
Prognosis kurang bagus apabila kejang terjadi pertama kali pada usia muda dan
kejang timbulnya sering.
 Keadaan sebelum kejang
Hal ini perlu kita tanyakan untuk mengetahui apakah ada rangsangan sesuatu
yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya rasa lapar, Lelah, muntah, sakit
kepala, obat-obatan dan sebagainya.
 Selama bangkitan kejang kejang dimana kejang pada awalnya terjadi dan
bagaimana penjalarannya ?
 Setelah kejang apakah anak seperti tertidur, linglung atau segera menangis atau
kembali seperti sedia kala ?
 Pada riwayat keluarga kita juga bisa mennayakan apakah ada riwayat kejang
dalam keluarga untuk mengetahui factor herediter dan dapat ditanyakan apakah
ada yang memiliki penyakit persarafan.
 Riwayat sebelumnya dapat juga ditanyakan apabila anak sudah usia balita atau
diatasnya dapat ditanyakan saat masih bayi pernah mengalami kejang atau tidak.
Saat bayi apakah pernah mengalami penyakit peradangan pada selaput otak,
tuberculosis dan apakah pernah timbul reaksi terhadap imunisasi tertentu.
 Riwayat ibu pada masa kehamilan apakah pernah kejang atau mengkonsumsi
obat-obatan. Proses persalinan juga perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah
ada trauma saat persalinan atau apakah bayi mengalami asfiksia atau tidak 4.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan kejang pertama kali kita evaluasi status present
pasien. Yang perlu kita ketahui kesadaran pasien. Apakah pasien datang dalam keadaan
sadar atau tidak baik itu saat terjadi kejang ataupun setelah kejang. Sambil kita mengukur
laju nadi, laju pernafasan, suhu axila, saturasi oksigen dan tekanan darah pasien. Setelah

5
itu kita melakukan pemeriksaan fisik dari kepala hingga kaki. Berikut adalah beberapa
pemeriksaan yang harus ditekankan terutama pada pasien yang mengalami kejang yang
bertujuan untuk mengetahui atau memperjelas diagnosis maupun penyebab dari kejang
tersebut. Pada kepala yang pertama dapat kita lakukan adalah dengan mengukur lingkar
kepala, apakah lingkar kepala anak termasuk normal, mikrosefali atau makrosefali.
Selanjutnya kita lihat apakah terdapat disproporsi pada kepala. Pada pemeriksaan kepala
kita juga harus meraba ubun-ubun apakah terdapat ubun-ubun cembung atau tidak. Lalu
melakukan pemeriksaan nervus kranialis untuk mengetahui apakah ada kelemahan atau
tidak. Pada jantung apakah diadaptakan kelainan pada jantung tipe sianotik, pada paru
apakah terdapat sesak nafas atau tanda-tanda asidosis. Apakah didapatkan tanda-tanda
dehidrasi, hipertensi, icterus. Apakah didapatkan tes yang positif pada rangsang
meningeal seperti: kak kuduk, tanda brudzinki, tanda kernig. Apakah ada tanda risus
sardonikus, opistotonus, trismus. Apakah terdapat reflek patologis, fisiologis yang
abnormal. Pada kulit juga perlu kita lakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat hemangioma atau tidak yang dimana ini merupakan suatu tanda dari sturge
weber4-5.

C. Pemeriksaan Penunjang
Apabila dari anamnesis maupun pemeriksaan fisik belum meyakinkan untuk menetukan
diagnosis, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Terutama
pada anak-anak sulit untuk mengevaluasi rangsangan meningel, kadang beberapa anak
kurang kooperatif saat dilakukan pemeriksaan. Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat
kita lakukan guna menunjang diagnosis maupun sebagai evaluasi dari tatalaksana yang
telah diberikan, yaitu :
 Pemeriksaan laboratorium
I. Darah lengkap  pemeriksaan ini dapat dipertimabangkan apabila kita
mencurigai suatu penyebab dari kejang tersebut
 Kelainan metabolic : glukosa darah, BUN, serum kreatinin, fungsi hepar,
kelainan asam basa darah.
 Gangguan elektrolit : serum elektrolit yang dapat di cek yaitu kalsium
(Ca), Natrium (Na), Klorida (Cl), Kalium (K), Magnesium (Mg).

6
 Bahan toksik: toksikologi, kadar antikonvulsan dalam darah
 Sepsis : biakan darah

II. Urine urinalisis


 Kultur urin
 Bahan toksik dalam urin
III. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal biasanya dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
penyakit. Untuk mendapatkan cairan otak dapat dilakukan dalam beberapa cara
yaitu lumbal pungsi, pungsi sisterna, pungsi ventrikel. Dari ketiga cara ini yang
paling umum kita kerjakan adalah lumbal pungsi. Hal ini dikarenakan untuk
pemeriksaan pungsi sisterna dan pungsi ventrikel meiliki banyak resiko dan
membutuhkan operator yang berpengalaman. Lumbal pungsi dapat dipergunakan
untuk pemeriksaan radiologi mielografi dan sebagai pengobatan yang
memerlukan pengobatan intratekal serta menurunkan tekanan intracranial 4.
Walaupun pemeriksaan lumbal pungsi ini sering kita lakukan, lumbal pungsi juga
memiliki kontraindikasi yang perlu kita perhatikan:
 Terdapat infeksi yang berat yang didaerah lumbal
 Terdapat deformitas pada spinal yang berat yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan lumbal pungsi.
 Terdapat gangguan pembekuan darah, misalnya pada demam berdarah
dengue yang mengalami konvulsi.
 Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, bila lumbal pungsi
harus dilakukan makan tindakan harus dilakukan diruang operasi dibawah
pengawasan ahli bedah saraf.
 Berikan informed consent pada keluarga sebelum kita melakukan
tindakan. Jelaskan mengenai tujuan kita melakukan tindakan hingga resiko
serta komplikasi yang kemungkinan dapat terjadi pada tindakan ini.

7
Pemeriksaan cairan otak meliputi tekanan, warna, jumlah sel, jenis sel, kadar
protein, glukosa dan biakan kuman. Tetapi oleh karena begitu pemakaiannya
antibiotika di masyarakat, gambaran khas dari cairan otak untuk menegakan
diagnosis adanya infeksi sekarang sulit didapatkan 5.

 Transiluminasi
Transiluminasi kepala merupakan suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan ubun-
ubun besar yang masih terbuka (<2 tahun) di kamarv gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala. Cara ini di gunakan untuk mengetahui apakah ada kelainan dalam
kepala penderita misalnya ada cairan efusi di subdural, hidrosefalus, hidrasefali, atrofi
otak kista parensefali 4.
 Foto Rontgen Kepala
Untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk tengkorak dan isinya, foto rontgen biasa
sudah dapat memperlihatkan berbagai macam abnormalitas. Dengan proyeksi posterior-
anterior, lateral dan setengah aksial garis-garis besar kelainan pada tengkorak dan isinya
sudah dapat diketahui. Kelainan yang dapat kita temukan pada foto rontgent biasa dari
tengkorak yaitu:
 Deformitas dari kepala : malformasi kongenital, hidrosefalus, impresi
basiler.
 Trauma kepala : fraktur tulang tengkorak, defek tulang tengkorak,
hematom subdural
 Lesi tulang tengkorak : osteitis, hyperostosis, tumor tulang tengkorak
 Penyakit sistemik : xanthomatosis, osteitis deformans, hiperparatiroid,
tuberculosis sclerosis, mongolism
 Klasifikasi otak : toksoplasmosis, struge weber syndrome
 Kenaikan tekanan intracranial : tumor otak, abses otak, hidrosefalus
 Anomaly pembuluh darah : aneurisma serebral, malformasi vascular dari
otak 4-5.
 Elektro Ensefalografi (EEG)

8
EEG merupakan suatu Teknik untuk merekam aktivitas elektrik di otak melalui
tengkorak yang utuh. Pemeriksaan ini aman dan tidak menimbulkan rasa sakit. Pada
pemeriksaan EEG apabila ditemukan gambaran gelombang lambat biasanya didapatkan
pasa penderita tumor otak, trauma kepala berat, perdarahan, gangguan metabolic yang
merusak otak dan infeksi intracranial. Pada ebberapa jenis epilepsy biasanya ditemukan
gambaran EEG yang khas, seperti : hips aritmia didapatkan pada spasma infantile dan
adanya gelombang runcing lambat 3 puncak perdetik khas didapatkan pada petit mal 4.
Dengan kemajuan teknologi seperti pemakaian video-EEG monitoring kejang neonatus
dapat dibedakan menjadi epileptik dan nonepileptik. Disebut epileptik jika manifestasi
kejang berkorelasi kuat dan konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG.
Patofisiologi kejang epileptik disebabkan oleh lepas muatan listrik yang berlebihan dan
paroksismal di neuron korteks serta peningkatan eksitasi seluler, sinaps dan aktifitas
penyebaran gelombang epilepsi. Disebut non-epileptik jika manifestasi kejang tidak
berkorelasi dan atau tidak konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG.
Fokus kejang berasal dari tingkat subkortikal (sistem limbik, diensefalon dan batang
otak) dan tidak menyebar ke korteks karena imaturitas pembentukan sinaps serta proyeksi
kortikal sehingga tidak dapat atau tidak selalu terdeteksi dengan pemeriksaan EEG.
Selain itu kejang yang terjadi bukan akibat dari lepas muatan listrik yang berlebihan
tetapi karena cetusan primitif dari batang otak dan refleks spinal yang tidak mendapat
inhibisi dari korteks serebri 6.
 Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG sebagai diagnostic akhir-akhir ini berkembang sangat pesat
dibandingkan CT Scan. Terutama untuk bayi-bayi, pemeriksaan USG lebih dipilih oleh
karena : dapat dilakukan di tempat penderita dirawat, tidak memerlukan persiapan
sebelumnya, tidak menggunakan radiasi, relative lebih murah dan dengan pengalaman
yang cukup nilai diagnostiknya tinggi. Adanya perdarahan intracranial, kelaianan
intraventrikuler, hidrosefalus dan efusi subdural dapat didiagnosis dengan USG 4.
 Computerized Cranial Tomographi
Pemeriksaan CT Scan memiliki ketepatan diagnosis yang tinggi disamping pemeriksaan
dan memiliki sifat yang non invasif, relative aman dan tidak menyakiti penderita. Berikut
adalah indikasi klinis untuk penderita yang dianjurkan melakukan pemeriksaan CT Scan:

9
 Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
 Terdapat pembesaran kepala dengan cepat
 Kelaina neurologi fokal yang progresif
 Koma tanpa diketahui penyebabnya
 Dugaan perdarahan intracranial
 Follow up post operasi atau pasca radioterapi,

Selain itu adapun kontra indikasi pada pemeriksaan CT Scan kepala yaitu :

 Ensefalopati kronis yang statis


 Sakit kepala tanpa ada tanda-tanda kelainan neurologis dan tekanan intracranial
yang meningkat
 Metabolic ensefalopati
 Infeksi tanpa komplikasi
 Kelainan fokal tanpa tanda-tanda progresivitas

Beberapa kelainan yang dapat dideteksi dengan CT Scan antara lain: anomaly kongenital,
trauma, hidrosefalus, tumor serebri, kelainan vascular, proses infeksi. Kecuali gangguan
metabolic, penyebab kejang sebagian besar dapat didagnosis dengan CT Scan 4,5.

 Arteriografi Karotis dan Vertebralis


Pemeriksaan ini dilakukan untuk kelainan-kelaianan yang diduga disebabkan pada sistim
pembuluh darah seperti obstruksi, aneurisma, malformasi vascular atau gangguan ekstra
vascular yang dapat menggeser, menarik dan menekan pembuluh darah, pemeriksaan ini
sudah jarang dilakukan oleh karena invasive 4.

10
Daftar Pustaka

1. Freitas, Maria Eliza, dkk. 2019. Seizures and movement disorder: phenomenology,
diagnostic challenges and therapeutic approaches. J Neurol Neurosurg Psychiatry 90,
920-928.

2. Minardi, Carmelo, dkk. 2019. Review-Epilepsy in Children: From Diagnosis to


Treatment with Focus on Emergency. Journal of Clinical Medicine, 8(39), 2-10.

3. Schuele, Stephan dan Hans O Luders. 2008. Intractable Epilepsy: Management and
Therapeutic alternatives. Lancet Neurol 17, 514-524.

4. Endaryanto, Anang dkk. 2018. Pediatric Emergencies: Responsiveness in Diagnostic and


Management. Surabaya: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo.

5. Fisher, Robert S. 2017. The New Classification of Seizure by the International League
Against Epilepsy 2017. Curr Neurol Neurosci Rep, 17(48), 1-6.

6. Handryastuti, Setyo. 2007. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan
Tata Laksana. Sari Pediatri, 9(2), 112-120.

11

Anda mungkin juga menyukai