Oleh:
Nurul Haerani Sukindar
Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K)
Dr. dr. Nova A L Pieter, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
World Health Organization (WHO) pada tahun 1994, penyebab gangguan
pendengaran pada obat ototoksik adalah penggunaan aminoglikosida baik secara
sistemik maupun topikal. Penggunaannya yang luas dan berlebihan menjadi
kekhawatiran utama dalam kasus ini. Gangguan pendengaran yang berhubungan
dengan ototoksisitas sangat sering ditemukan oleh karena pemberian gentamisin
dan streptomisin. Gangguan pendengaran akibat ototoksik dapat menetap dalam
hitungan hari, minggu, bulan, bahkan dapat ireversibel (Kementerian Kesehatan
RI, 2014)
Gentamisin merupakan senyawa yang efektif untuk pengobatan
berbagai infeksi akibat basilus gram negatif yang berat. Senyawa ini adalah
aminoglikosida pilihan pertama karena harganya murah dan aktivitasnya yang
terandalkan terhadap semua infeksi kecuali terhadap bakteri aerob gram negatif
yang paling resisten (Hardman JG, 2012). Aminoglikosida diyakini menyebabkan
ototoksisitas dengan meningkatkan berbagai spesies radikal bebas diantaranya
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) serta
menekan jumlah antioksidan yang berakibat pada kerusakan sel dan apoptosis.
Oleh karena itu antioksidan memiliki kemampuan untuk mengurangi efek radikal
bebas yang disebabkan oleh pemberian gentamisin (Forge A, 2000).
Curcumin [1,7-bis(4-hydroxy-3methoxyphenyl)-1,6-heptadiene-3,5-
dione] merupakan bahan aktif dari kunyit (Curcuma longa) (Setyaningsih, et al.,
2016). Tanaman medis memiliki kegunaan yang penting dalam pemeliharaan
Kesehatan primer di Indonesia. Banyak orang yang menggunakannya sebagai
obat tradisional selama bertahun-tahun (Sari, Nurrochmad dan Rahayu, 2016).
Kunyit (Curcuma longa) adalah salah satu tanaman hasil pertanian dan rempah-
rempah Indonesia yang terkenal sejak dahulu, memiliki manfaat yang besar dalam
kehidupan sehari-hari, di samping sebagai bahan pewarna makanan, kunyit
(Curcuma longa) juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Kunyit (Curcuma
longa) memiliki kandungan curcumin dan minyak atsiri (Zhou H, 2012). Studi
menunjukkan bahwa curcumin memiliki berbagai manfaat farmakologi
2
diantaranya sebagai antioksidan (Feinstein DL, 2005), antiinflamasi, dan
antikanker (Dutta S, 2005).
Haryuna et al. (2016), membuktikan bahwa curcumin terbukti
berpotensi efektif dalam pencegahan dan pengobatan kerusakan fibroblast di
dalam jaringan pendukung koklea dan dinding lateral terhadap penurunan
ekspresi kalsineurin, NFATc1, dan indeks apoptosis fibroblast koklea.
Berdasarkan penelitian tersebut, curcumin terbukti efektif dalam pencegahan dan
pengobatan kerusakan oksidatif dengan menilai efek molekular pada fibroblas
koklea dan dinding lateral koklea. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian manfaat curcumin dengan menilai efek klinis terhadap
pencegahan dan pengobatan kerusakan sel rambut luar koklea pada hewan coba
dengan pemberian ototoksik (gentamisin) yang dinilai dengan pemeriksaan
Distortion Product Otoacoustic Emmisions (DPOAEs).
Penelitian eksperimental ini menggunakan marmut sebagai hewan coba.
Marmut juga mempunyai kemiripan struktur telinga dalam dengan manusia dan
telah digunakan sebagai model hewan coba untuk penelitian penyakit ketulian
genetik manusia dan yang berperan dalam perkembangan system auditorius
melalui identifikasi genetik dan sekuensnya (Vazques, et al., 2001;Haryuna,
2013).
Otoacoustic emmision (OAE) mengukur mikroskopis kegiatan biokimia
sel rambut luar yang sehat. OAE memberikan ransangan mekanik dikoklea yang
bergerak dari timpanum ke telinga luar melalui meatus akustikus eksternus
(Nassiri et al., 2016). Dalam penelitian ini, otoacoustic emmision yang digunakan
adalah Distortion Product Otoacoustic Emmisions (DPOAEs). DPOAEs dapat
digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
TEOAE yang hanya menilai fungsi sel rambut luar secara kualitatif sementara,
DPOAEs dapat memberikan informasi secara kuantitatif pada tingkat dan
karakteristik fungsi sel rambut luar koklea (Campbell, 2006 ; Hall & Janssen, et
al., 2006).
3
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat
dirumuskan masalah penelitian yaitu:
1. Berapa lama antibiotic gentamisin berefek ototoksisitas pada hewan coba
ditinjau dengan pengukuran DPOAE?
2. Bagaimana pengaruh curcumin terhadap efek gentamisin sebagai pencegah
ototoksisitas ditinjau dengan pengukuran DPOAE?
4
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai efek klinis
curcumin dalam mencegah dan mengobati kerusakan sel rambut luar koklea
akibat ototoksisitas gentamisin dengan pemeriksaan DPOAE.
2. Jika sudah terbukti pada hewan coba, diharapkan curcumin ini mampu
mencegah dan berpotensi dalam perbaikan kerusakan sel rambut luar koklea
penderita gangguan pendengaran akibat ototoksisitas gentamisin, sehingga
curcumin dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai fitofarmaka untuk
mencegah dan memperbaiki derajat gangguan pendengaran akibat ototoksik.
3. Memberikan informasi kepada pengampu kebijakan dan masyarakat untuk
memanfaatkan curcumin sebagai fitofarmaka yang berpotensi mengobati dan
mencegah kerusakan koklea yang diharapkan kelak dapat mencegah dan
memperbaiki derajat gangguan pendengaran akibat ototoksik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Gambar: Tortora, GJ., Principles of Anatomy and Physiology, Edisi ke-13,
2012. Hlm 658-664
II.1.1 Telinga Luar
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis
auditorius eksternus, dipisahkan dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram
yang dinamakan membrana timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada
kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Aurikulus melekat ke sisi kepala
oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali lemak dan jaringan
bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang
suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus.( Bashiruddin J
dan Indro S, 2012)
Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi
temporomandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan
ujung jari di meatus auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut.
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua
pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius
eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung
kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin
yang disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel
kulit tua dan serumen ke bagian luar tetinga. Serumen nampaknya mempunyai
sifat anti bakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Eryani YM, 2017).
7
II.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di
sebelah lateral dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di
antara kedua membrana timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus
dan menandai batas lateral telinga. Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis
normalnya berwarna kelabu mutiara dan translulen. Telinga tengah merupakan
rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli (tulang telinga tengah)
dihubungan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan dengan beberapa
sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal .( Bashiruddin J dan Indro S,
2012)
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus,
inkus dan stapes. Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendi, otot, dan
ligamen, yang membantu hantaran suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval
dan dinding medial telinga tengah, yang memisahkan telinga tengah dengan teli
nga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela oval, di mana suara
dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara.
Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes
ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela
bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan
dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan
fistula perilimfe .( Bashiruddin J dan Indro S, 2012)
Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1 mm panjangnya sekitar 35 mm,
menghubungkan telinga ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup,
namun dapat terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver
Valsalva atau menguap atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk
sekresi dan menyeimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan
atmosfer .( Bashiruddin J dan Indro S, 2012)
8
petrosa dari os temporal, telinga dalam terdiri atas kantung dan duktus dari
labyrinth membranosa. Struktur ini mengandung endolimfe yang dikelilingi
cairan perilimfe yang terletak dalam struktur labirin tulang melalui filamen
halus. Cairan ini berperan dalam dalam menstimulasi organ akhir dari
keseimbangan dan pendengaran serta mencipta perbedan ion untuk organ
sensori (Moore, 2015).
Telinga dalam disebut sebagai labirin karena kompleksitasnya. Derivat
vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang
berisi endolimfe. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe yang
terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran terdiri atas
bagian vestibuler dan koklear, dimana bagian vestibular berkoneksi dengan
keseimbangan, sementara bagian koklearis berkoneksi dengan pendengaran
(Liston dan Duvall, 1997).
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan yang
merupakan bagian pendengaran yang disebut koklea dan bagian belakang
adalah vestibulum dan kanalis semisirkularis yang merupakan organ
keseimbangan. Koklea merupakan suatu tabung tulang berbentuk kumparan
dengan panjang 35 mm, terdiri dari skala vestibuli, skala media, dan skala
timpani. Skala media atau koklearis mempunyai penampang segitiga. Dasar
segitiga tersebut dikenal dengan nama membran basilaris yang menjadi dasar
dari organ korti seperti gambar dibawah ini (Moller, 2006).
Terletak diatas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ korti
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ korti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000) dan
tiga baris sel rambut luar (12.000). Ujung saraf aferen dan eferen menempel
pada ujung bawah sel rambut (Sherwood L, 2006).
9
Gambar: Anatomi Koklea (Moller AR, 2006)
Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe, yaitu cairan
yang menyerupai cairan ekstraseluler dengan konsentrasi K+ 4 mEq/L dan
konsentrasi Na+ 139 mEq/L. Skala media dibungkus oleh membrane Reissner,
membran basilaris lamina osseous spiralis, dan dinding lateralnya. Daerah ini
mengandung cairan endolimfe yang menyerupai cairan intraseluler dengan
konsentrasi K+ 144 mEq/L dan konsentrasi Na+ 13 mEq/L. Skala media
mempunyai ambang potensial istirahat sekitar 80 mV dengan arus positif searah
(direct current), kemudian menurun perlahan dari basis ke apeks. Potensial
endokoklear ini diproduksi oleh stria vaskularis yang menempel pada dinding
lateral koklea dan menuju pompa Na+/K+ (Moller, 2006).
Perilimfe dari skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe di skala
timpani melalui saluran terbuka yang terletak di apeks yang disebut
helikotrema. Organ korti terletak melekat pada membran basilaris dan lamina
osseous spiralis. Ukuran membran basilaris sekitar 0,12 mm di bagian basal
(nada tinggi) dan mengecil di bagian apeks menjadi 0,15 mm (nada rendah).
Komponen utama organ korti adalah sel rambut luar, sel rambut dalam, sel
penunjang (Dieters, Hensen, dan Claudius), membrane tektorial dan kompleks
lamina retikular. Sel penunjang membentuk struktur dan penunjang
10
metabolisme untuk organ korti. Organ korti terdiri dari satu baris sel rambut
dalam (3000-3500 sel rambut) dan tiga baris sel rambut luar (12000 sel rambut)
seperti pada gambar di bawah ini (Moller, 2006).
Gambar Sel rambut luar dan sel rambut dalam (Moller, 2006)
11
Gambar Koklea (Shier, 2005)
12
sebagai sel sensori dan sel penyokong, berbentuk spiral pada membrane basilaris
(Nagashima, et al, 2005).
Koklea terdiri dari berbagai tipe sel spesialisasi, seperti sel rambut
sensori, sel pendukung, sel sulkus, fibroblas ligamentum spiralis (SLF), yang
merupakan tipe sel yang jumlahnya paling banyak di perilimfe. Karena SLF
dianggap salah satu tipe sel di dalam koklea yang jumlahnya paling banyak, dan
mereka mengeluarkan sitokin dan kemokin setelah stimulasi proinflamasi, maka
dianggap SLF adalah responder terbesar terhadap sinyal-sinyal sitokin dan
kemokin tersebut (Moon et al, 2007).
Struktur yang terdapat dalam organ Korti adalah sel-sel Hensen, selsel
Deiters, sel-sel Pillar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar dan selsel rambut
dalam, sulkus dalam dan limbus spiralis, yang berisi sel-sel interdental dan
membran tektorial. Medial dari lamina spiralis pars osseus terdapat kanalis
Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan dengan modiolus
(Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang
berisi cairan perilimfe. Skala vestibuli dan skala timpani saling berhubungan di
helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea skala vestibuli berakhir
di foramen ovale dan skala timpani pada foramen rotundum. Skala media yang
berisikan cairan endolimfe berada di antara skala vestibuli dan skala timpani
seperti gambar di bawah ini (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Moller, 2003;
Guyton & Hall, 2006).
13
Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan
cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan
konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Sedangkan pada
endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan intraseluler
yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan kalium (K+) yang tinggi (Lonsbury,
Martin & Luebke, 2003; Gillespie, 2006).
HCO3(mM) 31 21 21
Cl (mM) 132 121 119
Protein 38 242 178
(miligram/dl)
pH 7,4 7,3 7,3
Stria vaskularis terdiri dari tiga lapisan sel yaitu sel marginal, sel
intermediet, dan sel basal (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Sel-sel stria
vaskularis merupakan satu-satunya sel yang berhubungan dengan pembuluh
darah di koklea. Stria vaskularis bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi
ion kalium dalam cairan endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe
skala media positif tetap tinggi (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari lamina
spiral pars osseus ke ligamentum spiralis (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Elastistitas membran basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan
kelebarannya. Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea
14
dan tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea seperti gambar di
bawah ini (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
15
Gambar Model membran basilaris dengan alat korti (Lonsbury,
Martin & Luebke, 2003)
Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf
dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Korti terdapat 1 deret sel
rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4000 sel rambut dalam dan
12000 sel rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Bentuk dari sel
rambut dalam seperti botol dan ujung syarafnya berbentuk piala yang
menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan
ujung syarafnya hanya pada basis sel seperti gambar berikut (Moller, 2003;
Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.8 Sel Rambut Dalam dan Sel Rambut Luar (Gillespie, 2006)
Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan
mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membrane
16
yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel
rambut luar terdapat reticulum endoplasma (ER) yang terorganisasi dan khusus
di sepanjang dinding lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body, subsurface
cistern, dan subsynaptic cistern (Moller, 2003; Gillespie. 2006; Probst, Greves
& Iro, 2006).
Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada
perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam
sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal syaraf ke neuron
pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel
rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang
berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi
tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut koklear amplifier yang memberikan
kemampuan sangat baik pada telinga untuk menyeleksi frekuensi, telinga
menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang lemah (Gillespie, 2006).
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk
pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia) (Pawlowsky,
2004).Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membrane tektorial
dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar kuat melekat
pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W (Pawlowsky, 2004).
Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin,
filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie, 2006). Tip
link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia yang lain.
Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron ganglionik
spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gillespie, 2006).
17
Gambar Tip Link (Gillespie, 2006)
Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Korti yang
lain adalah tiga lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Cludius). Membran
tektorial, dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky,
2004). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel Deiters
dan sel pilar luar.Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel rambut luar baris
pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama dengan kedua. Sel Deiters
berada diantara sel rambut luar baris dua dengan tiga dan di sisi lateral dari sel
rambut luar baris tiga. Gabungan dari sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel
pilar luar menciptakan sebuah penghalang yang kuat antara endolimfe dan
perilimfe (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Moller, 2006; Gillespie, 2006).
Membran tektorial adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen,
protein, dan glukosaminoglikan. Membran tektorial terletak di dekat permukaan
lamina retikuler dari organ Korti. Membran tektorial kontak langsung dengan
sel rambut luar.Sedangkan untuk sel rambut dalam tidak berkontak secara
langsung dengan membran tektorial (Moller, 2003).
18
- Arteri kokhlearis yang memasuki mediolus dan menjadi pembuluh-
pembuluh arteri spiral yang memperdarahi organ korti, skala vestibuli,
skala timpani sebelum berakhir pada stria vaskularis.
Aliran vena pada telinga dalam melalui tiga jalur utama. Vena
auditori interna berasal dari putaran tengah dan apikal kokhlea. Vena
aquaduktus kokhlearis berasal dari putaran basiler kokhlea, sakulus, dan
utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akquaduktus
vestibularis berasal dari kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena ini
mengikuti duktus dan masuk ke sinus sigmoid. (Sherwood L, 2006)
19
Gambar 7. Inervasi Telinga (Gray, H. Gray's Anatomy: With original
illustrations by Henry Carter. Arcturus Publishing. 2009)
20
potensial aksi pada saraf auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus
temporalis. (Bashiruddin J dan Indro S, 2012)
21
Gambar 8 Sel rambut pada Organ Corti (Tortora J, 2017)
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif sedangkan
gangguan telinga dalam dapat menyebabkan tuli sensorineural yang terbagi atas tuli koklea
dan tuli retrokoklea. (Indro Soetirto dkk, 2012)
Suara yang dihantarkan ke dalam telinga mengalami perubahan transfer energi dari
medium udara, padat dan cair pada telinga dalam sehingga memerlukan adanya pengumpul
suara yang dilakukan oleh telinga luar, dan amplifikasi mekanik suara. Amplifikasi mekanik
diperoleh dari daya ungkit malleus dan incus sebesar 1,3 kali dan perbandingan luas
permukaan membrana timpani dan foramen ovale sebesar 17:1 sehingga diperoleh
amplifikasi suara sebesar 22 kali (Oghalai JS & Brownell WE, 2008; Dhingra P, 2008).
Gambar Jalur pendengaran (Dhingra P, 2008)
II.5 Gentamicin
Antimikroba merupakan salah satu jenis obat yang paling sering digunakan.
Salah satu masalah yang menjadi hambatan terbesar dalam kesuksesan penggunaan
antimikroba adalah berkembangnya mikroba-mikroba resisten. Sejak awal era antibiotik,
penggunaan antibiotik pada pasien dan hewan menyebabkan peningkatan kemunculan
patogen resisten. Kini mikroba Gram-negatif dengan mekanisme resistensi yang baru
semakin sering dilaporkan. Resistensi antibiotik mengakibatkan dampak negati, seperti
mening-katkan penggunaan antibiotik yang besifat spektrum-luas, kurang efektif, atau
antibiotika yang bersifat toksik (Katzung, Bertram G, 2018). Salah satu jenis antibiotik
yang bersifat toksik adalah antibiotik jenis aminoglikosida. Aminoglikosida merupakan
salah satu jenis antibiotik tertua yang digunakan untuk menangani berbagai infeksi serius
yang diakibatkan oleh bakteri gram negatif dan beberapa bakteri jenis gram-positif.
Aminoglikosida adalah antibakteri yang bersifat bakterisidal. Beberapa contoh obat-
obatan yang masuk ke dalam golongan aminoglikosida antara lain streptomisin,
neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, dan netilmisin.
Antibiotika golongan aminoglikosida umumnya digunakan dalam kombinasi bersama
antibiotika beta-laktam untuk menangani infeksi serius yang diakibatkan bakteri Gram-
negatif, dikombinasikan dengan vancomycin atau antibiotika beta-laktam untuk
endokarditis gram-positif, dan untuk terapi tuberkulosis Obat-obatan aminoglikosida
menjadi pilihan karena memiliki efek bakterisidal yang cepat, stabil secara kimia,
sinergis dengan antibiotika golongan beta-laktam, insiden resistensi yang rendah, dan
biaya yang murah. Meskipun demikian aminoglikosida memiliki efek samping yang
sangat terkenal, yaitu nefrotoksik dan ototoksik. (Katzung, Bertram G, 2018; Wargo,
2014).
Secara umum, insiden dan tingkat keparahan toksisitas obat secara proporsional
berkaitan dengan konsentrasi obat dan lama penggunaan obat tersebut. Kejadian
overdosis obat merupakan contoh yang jelas dari toksisitas yang dipengaruhi oleh dosis.
Untuk golongan aminoglikosida, kelompok obat ini memiliki sifat concentration
dependent killing, yang berarti konsentrasi obat yang lebih tinggi mampu membunuh
jumlah bakteri yang lebih banyak dan lebih cepat, dan sifat postantibiotic effect, yang
berarti kelompok obat ini memiliki efek antibakteri yang bertahan lama setelah
konsentrasi obat berkurang di bawah konsentrasi yang bisa diukur. Karena sifat-sifat
tersebut, jumlah total aminoglikosida lebih efektif jika diberikan dalam satu dosis besar
dibandingkan jika diberikan dalam beberapa dosis kecil. Selain itu efek toksik juga
bersifat terikat dengan lama penggunaan dan konsentrasi obat (time-dependent dan
concentration-dependent). (Awdishu, L dan Mehta, RL, 2017)
Klinisi perlu menyadari terdapat sejumlah obat yang dapat menyebabkan
kerusakan seluler telinga bagian dalam. Penurunan pendengaran yang disebabkan
ototoksisitas membuat ketidakmampuan dan memengaruhi kualitas hidup penderita.
Pengaruh ototoksik pada system vestibular dapat menghasilkan gangguan keseimbangan
yang mengganggu aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Pengenalan terhadap tanda dini
ototoksisitas akan menghentikan pemakaian obat penyebab dan pada akhirnya
meminimalkan penurunan pendengaran permanen dan gangguan keseimbangan (Chang
KW,2014)
Aminoglikosida termasuk salah satu kelas antimikroba yang konvensional.
Therapeutic window yang sempit, sifat nefrotoksik, ototoksik dan kehadiran antibiotika
spektrum luas seperti sefalosporin, karbapenem, dan fluoroquinolon membuat
penggunaan aminoglikosida dibatasi dalam dua dekade terakhir ini. Keunggulan
melawan patogen gram negatif yang resisten terhadap banyak obat seperti Pseudomonas
aeruginosa dan Acinetobacter spp, harga yang murah, dan resistensi yang rendah
merupakan alasan obat ini tetap dipakai. Aktivitas sinergis ditunjukkan aminoglikosida
bila dikombinasikan dengan antibiotik β laktam tertentu (Pagkalis S, 2011; Blakley BW,
2004)
Toksisitas aminoglikosida meliputi nefrotoksik dan ototoksik. Nefrotoksisitas
terjadi pada 5%-25% penderita yang menerima aminoglikosida dalam dosis terbagi.
Insiden ototoksisitas aminoglikosida masih merupakan kontroversi, peneliti menyebut
angka 3%-41% untuk gangguan pendengaran, sedangkan gangguan vestibuler terjadi
1%-11% (Chang KW,2014; Blakley BW, 2004; Ghodsian NF, 2004). Aminoglikosida
memiliki kecenderungan ke arah kokleotoksik atau vestibulotoksik. Kokleotoksik
berkaitan dengan jumlah grup amino bebas (-NH2), sedangkan vestibulotoksik sesuai
dengan jumlah grup metilamin yang bebas (-NHCH3) (Roland NJ, 2001).
Aminoglikosida adalah produk fermentasi atau turunan semisintetik dari spesies
Streptomyces atau Micromonospora. Aminoglikosida dengan akhiran “mycin”
(streptomycin, neomycin, kanamycin, paromomycin, spectinomycin dan tobramycin)
berasal dari Streptomyces, sedangkan yang berakhiran “micin” (gentamicin, netilmicin
dan amikacin) berasal dari Micromonospora (Chang KW,2014; Blakley BW, 2004).
Seluruh kelas aminoglikosida memiliki karakteristik umum yang sama dalam struktur
kimia dan aktivitas biologi, tetapi berbeda dalam potensi toksisitas. Obat yang termasuk
dalam kelas aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea dan vestibuler secara
bersamaan, tetapi tiap obat memiliki efek dominan di salah satu fungsi telinga bagian
dalam (Iurato S, 2010).
Aminoglikosida merupakan antibiotik yang sering diresepkan dengan efek
samping yang berbahaya pada telinga dalam. Aminoglikosida populer karena aktivitas
antimikroba yang poten, banyak usaha telah dilakukan untuk mencegah ototoksisitas
akibat aminoglikosida. Sepanjang tahun, pemahaman mengenai antimikroba serta
mekanisme ototoksisitas akibat aminoglikosida telah meningkat (Huth, Ricci dan Cheng;
2011).
Aminoglikosida (AG) merupakan kelas antibiotik yang dikenal baik dan sukses.
Isolasi awal streptomisin dari Streptomyces griseus memberi pengobatan untuk
tuberkulosis dan antibiotik efektif terhadap bakteri gram negatif. Pada tahun berikutnya,
AG lain diisolasi dari Streptomycesspp., yang sering menggabungkan akhiran “-misin”
pada nomenklaturnya. Dengan isolasi gentamisin dari Micromonospora purpurea,
akhiran “-misin” diimplementasikan untuk menentukan asal bakteri dari AG individu.
Berlawanan dengan derivative organik ini dari bakteri yang tinggal di tanah, AG sintetik
seperti amikasin dapat terbentuk secara in vitro. Saat ini, Sembilan AG (streptomisin,
neomisin, tobramisin, kanamisin, paromomoisin, spektinomisin, gentamisin, netilmisin,
dan amikasin) disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) (Huth, Ricci dan
Cheng; 2011).
Selain efikasi antimikroba poten, semua AG dapat menyebabkan efek samping
toksik terhadap ginjal dan telinga dalam. Sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh AG
pada ginjal biasanya bersifat reversibel, kerusakan pada telinga dalam bersifat permanen.
Biasanya, setiap AG mampu merusakan organ auditorik dan vestibulus secara
irreversibel, tetapi “khususnya mempengaruhi satu lebih dari yang lain”. Gentamisin dan
tobramisin terutama vestibulotoksik, sedangkan neomisin, kanamisin, dan amikasin
terutama kokleotoksik. Efek samping ototoksik terjadi dalam hitungan hari atau minggu
setelah penggunaan sistemik dan sering bilateral. Vestibulotoksisitas terjadi sampai
hampir 15% pasien setelah pemberian AG, sedangkan kokleotoksisitas 2% sampai 25%
pasien. Rejimen pemberian AG yang berbeda dan definisi kerusakan ototoksik yang
berbeda mungkin telah berkontribusi terhadap variasi insidensi (Huth, Ricci dan Cheng;
2011).
Manifestasi klinis kokleotoksisitas termasuk hilangnya pendengaran dan/atau
tinitus, sedangkan vestibulotoksisitas tersebut terdiri dari disekuilibrium dan pusing.
Sayangnya, gejala ini mungkin tidak terdeteksi sampai setelah fase akut infeksi berat
sehingga diagnosis telat terbentuk. Kokleotoksisitas AG khasnya pertama kali
mempengaruhi dalam frekuensi tinggi dan kemudian meluas dengan frekuensi yang lebih
rendah dan berubah-ubah seiring dengan waktu. Karena frekuensi pendengaran ultrahigh
tidak rutin diperiksa (>8kHz), insidensi nyata berkurnagnya pendengaran yang diinduksi
oleh AG sering diabaikan. Malahan, ketika dilakukan pemeriksaan frekuensi ultra-high,
hilangnya pendengaran dilaporkan pada 47% pasien dengan riwayat pengobatan AG
(Huth, Ricci dan Cheng; 2011).
Secara umum, aminoglikosida dipakai sebagai terapi febris karena neutropenia,
infeksi berat di ICU, sepsis atau syok sepsis, tuberkulosis, profilaksis bedah, pencegahan
terhadap infeksi sekunder pada kondisi kronis seperti cystic fibrosis, endokarditis
bakterial, osteomyelitis dan komplikasi infeksi abdomen yang disebabkan bakteri gram
negative (Pagkalis S, 2011; Roland PS, 2009). Infeksi pada kepala dan leher yang
menggunakan kelas obat ini adalah sinusitis akut dan kronik, otitis media akut, abses
leher dalam dan kolesteatoma yang terinfeksi (Fairbanks DNF, 2007).
Aminoglikosida mempunyai kemampuan yang sangat baik menghadapi
Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan Enterobacter spp dan angka resistensi
aminoglikosida terhadap patogen tersebut sangat rendah di berbagai bagian dunia.
Aminoglikosida (terutama amikasin) bersama dengan karbapenem dan polimiksin
memiliki aktivitas yang sangat baik dalam melawan organisme yang resisten terhadap
banyak obat seperti Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter spp (Pagkalis S, 2011;
Roland PS, 2009; Fairbanks DNF, 2007).
Gentamisin adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Micromonosphora purpurea. Obat ini aktif terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif. Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5 ml;
80 mg/2ml; 120 mg/3ml; dan 280 mg/2ml (Gan, 2005).
Bila gentamisin dikombinasi dengan antibiotika beta laktam akan menghasilkan
efek sinergis terhadap pseudomonas, proteus, enterobacter, klebsiella, serratia,
stenotrophomonas, dan strain-strain gram negatif lain yang kemungkinan resisten dengan
antibiotik lainnya. Gentamisin tidak memiliki aktifitas terhadap organisme anaerob
(Katzung, 2004). Saat ini gentamisin terutama diterapkan pada infeksi berat (misalnya
sepsis dan pneumonia) yang disebabkan bakteria gram negatif yang cenderung kebal
terhadap obat lain, khususnya pseudomonas, enterobacter, serratia, proteus,
acinetobacter, dan klebsiella (Bartlett, 2001).
Reaksi hipersensitifitas, alergi berupa rash dan demam dapat terjadi namun
jarang pada penderita yang tidak pernah menggunakan gentamisin sebelumnya.
Sensitivitas silang (cross resistence) di antara aminoglikosida juga dapat terjadi. Syok
anafilaktik pernah terjadi namun sangat jarang (AHFS, 2005; Stockley, 1994). Beberapa
reaksi hipersensitivitas terjadi karena adanya sulfat dalam formula sediaan parenteral
(Zairina, 1999).
Efek yang tidak diinginkan yang terjadi pada penggunaan gentamisin adalah
pengaruhnya terhadap vestibular auditori cabang dari nervus ke delapan.
Ototoksisitasnya mempengaruhi kokhlea, manifestasinya adalah hilangnya pendengaran
dan tinnitus yang mungkin permanen, kadang-kadang berupa rasa sakit pada telinga.
Hilangnya pendengaran yang terdeteksi secara klinis hanya terjadi pada < 0,5% penderita
yang mendapat aminoglikosida, namun pada studi audiometrik ditemukan penderita yang
mengalami hilang pendengaran sebanyak 2-12%. Pemantauan audiometrik
direkomendasikan pada penderita yang menerima aminoglikosida lebih dari 7-10 hari.
Pada sistim vestibular, manifestasinya berupa dizziness atau vertigo, ataxia atau
nystagmus. Kerusakan vestibular lebih sering terjadi daripada hilangnya pendengaran
(AHFS., 2005).
Telah diketahui bahwa penggunaan antibiotik untuk penanganan infeksi akan
lebih efektif bila dosis ditentukan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum.
Kemampuan aminoglikosida (kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dan
netilmisin) untuk mengobati infeksi berhubungan dengan level puncak optimum
konsentrasi obat dalam serum. Contoh, lebih dari 90% pasien pneumonia sembuh dengan
pemberian gentamisin pada konsentrasi serum puncak > 8 μg/ml tetapi kurang dari 40%
pasien dapat memberi respons bila konsentrasi obat dalam serum berada di bawah 8
μg/ml (Robinson dan Taylor, 1986). Ini menggambarkan bahwa tidak ada korelasi baik
antara dosis dan efektifitas obat ini tetapi ada korelasi antara kadar dalam darah dengan
efektifitas. Jadi, bila hasil pengobatan dengan dosis standar tidak efektif, perlu dilakukan
pemantauan kadar dalam darah (Gan, 2005).
Ototoksisitas adalah suatu kerusakan pada koklea atau bagian vestibularis yang
diakibatkan oleh paparan bahan kimia (Riggs,1998). Obat-obatan yang berpotensi
menyebabkan reaksi toksisitas terhadap struktur telinga dalam, termasuk kokhlea,
vestibular, kanalis semisirkularis, dan otolit disebut bersifat ototoksik.
Ototoksisitas didefInisikan oleh American Speech-Language-Hearing
Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria
for Adverse Events (CTCAE). ASHA mendefinisikan:
a. Penurunan sebesar 20 dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu
frekuensi
b. Penurunan sebesar 10 dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan.
c. Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali
pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.
CTCAE menentukan derajat ototoksisitas sebagai berikut:
a. Derajat 1 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
15-25 dB dibandingkan nilai dasar, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan,
setidaknya pada satu telinga.
b. Derajat 2 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
>25-90 dB, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan, setidaknya pada satu telinga
c. Derajat 3 – kehilangan fungsi pendengaran yang memerlukan intervensi terapeutik,
termasuk alat bantu (misalnya, tuli frekuensi > 20 dB bilateral; tuli frekuensi > 30 dB
unilateral)
d. Derajat 4 - indikasi untuk implan koklea. (Edmunds AL, 2006)
II. 5. 1 Farmakokinetik
Aminoglikosida memasuki telinga bagian dalam dengan cepat setelah
pemberian melalui suntikan. Obat ditemukan di telinga bagian dalam beberapa menit
setelah injeksi dan mencapai plateau 30 menit sampai 3 jam setelah pemberian. T½
aminoglikosida di pembuluh darah dicapai sekitar 3–5 jam kemudian, tetapi di cairan
telinga bagian dalam tetap ditemukan berbulan-bulan setelah terapi dihentikan
(Schacht J, 2004). Aminoglikosida tidak mudah diabsorsi dalam pemberian oral,
sangat larut dalam air dan sulit menembus lapisan lipid pada membran sel.
Keadaan basa meningkatkan aktivitas antibakteri, sebaliknya lingkungan asam
(misalnya di lambung) menurunkan aktivitasnya (Chang KW, 2014; Blakley BW,
2004). Aminoglikosida diekskresi melalui ginjal sehingga pada penurunan fungsi
ginjal dosis harus dikurangi atau sebaiknya dihentikan. Golongan obat ini tidak
menembus sawar otak. Aminoglikosida memiliki daya bunuh tergantung konsentrasi
dimana obat membunuh bakteri lebih cepat dan efisien bila diberikan dengan
konsentrasi tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan 1 kali dosis dibanding 2 kali atau 3
kali pemberian dalam sehari (Roland NJ, 2001)
Interaksi aminoglikosida dengan loop diuretic mampu meningkatkan potensi
ototoksisitas dari golongan obat tersebut karena meningkatkan permeabilitas dari
pembuluh darah striae sehingga konsentrasi obat di dalam skala media meningkat.
Dosis tunggal asam etakrinik atau manitol yang diberikan bersamaan dengan
pemberian kanamysin dapat menghasilkan penurunan pendengaran permanen yang
berat (Roland PS, 2009). Toksisitas pada ginjal umumnya reversible karena sel
tubular ginjal dapat berproliferasi dan mengganti sel yang rusak karena
aminoglikosida, tetapi ototoksisitas umumnya terjadi permanen karena sel rambut
telinga bagian dalam tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan sel tubular
ginjal (Pagkalis S,2011). Sifat nefrotoksik dan ototoksik membuat antibiotik yang
termasuk dalam kelas aminoglikosida tidak dianjurkan untuk diberikan kepada ibu
hamil (Mylonas I, 2011)
II. 5. 2 Farmakodinamik
Aminoglikosida merupakan bakterisidal yang bekerja di beberapa bagian sel
bakteri. Pertama, pada bagian kation antibiotik ini berikatan dengan anion di bagian
luar membrane organisme gram negatif sehingga mengganggu integritas dinding sel
bakteri dan menyebabkan fungsi permeabilitas dari dinding sel bakteri menjadi
terganggu. Kedua, aminoglikosida menginhibisi sintesis protein bakteri dengan cara
mengikat subunit ribosom 30S, selanjutnya terjadi kesalahan pembacaan dari kode
genetik dan penghambatan translokasi. Pemanjangan rantai asam amino gagal
terbentuk sehingga bakteri mati (Blakley BW, 2004; Mylonas I, 2011). Kemampuan
antibakteri ini tergantung dari kemampuan aminoglikosida mengganggu sintesis
protein di sel bakteri. Gangguan sintesis protein mempengaruhi turnover protein dan
akhirnya membuat bakteri mati (O’leary S, 2008).
Gambar A. Normal kupula. B. Kupula, sel rambut tipe I dan II menghilang akibat
ototoksisitas gentamisin pada ampula (Zarandy MM, 2010).
Pada anamnesis didapatkan suara berdenging yang dapat terjadi hilang timbul
pada saat terapi atau bahkan menjadi intens dan persisten pada saat terapi dihentikan.
Penurunan pendengaran mungkin terjadi asimtomatik dan selanjutnya disadari setelah
mengganggu frekuensi percakapan. Hal ini semakin memberat bila obat diteruskan.
Pada pemakaian topikal telinga yang mengandung aminoglikosida, penurunan
pendengaran unilateral lebih mungkin terjadi dan gejala ini tidak seberat pada
manifestasi ototoksisitas vestibuler pada telinga tersebut. Obat yang memengaruhi
fungsi keseimbangan akan menyebabkan gangguan keseimbangan dengan gejala
kepala terasa ringan dan bila melihat obyek jauh terlihat berlompatan pada saat kepala
digerakkan (Roland NJ,2001; Iurato S. , 2010; Roland PS,2009; O’leary S, 2008 ).
Bila aminoglikosida direncanakan untuk diberikan maka fungsi koklea penderita
harus diperiksa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi audiometri nada murni,
otoacoustic emission, tes fungsi vestibuler dan brainstem evoked response audiometry
(BERA) (Probst R, 2006). Pemeriksaan dilakukan terutama pada penderita dengan
risiko tinggi dan penderita yang pekerjaannya sangat terganggu bila terjadi penurunan
fungsi telinga bagian dalam (Roland NJ,2001; Roland PS,2009) Usaha dalam
mendeteksi ototoksisitas aminoglikosida secara dini sangat penting sehingga
kerusakan lebih lanjut dapat dicegah untuk kebaikan penderita (Roland PS,2009)
II. 6 Curcumin
Kunyit adalah tanaman herbal tahunan monokotil yang endemik dan banyak
dijumpai di wilayah tropis dan subtropis termasuk daratan India, Cina bagian Selatan,
Asia Tenggara, Papua Nugini dan Australia bagian Utara. Beberapa spesies kunyit lain
juga ditemukan pada daerah Afrika, Amerika Tengah, dan berbagai pula di daerah
Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. India telah dikenal sebagai
negara penghasil sekaligus pemakai dan pengekspor penting dari kunyit. Nama latin
dari kunyit adalah Curcuma, yang berasal dari bahasa Arab Kourkoum, sebutan untuk
kuma-kuma (saffron) atau rempah kering yang didapat dari putik bunga Crocus sativus
(Trujillo, et al., 2013).
Curcumin ditemukan sekitar dua abad yang lalu oleh Vogel dan Pelletier yang
menggambarkannya sebagai serbuk kristal kuning yang tidak larut pada air. Curcumin
pertama kali diekstrak pada tahun 1815 oleh Vogel. Struktur kimia curcumin dengan
rumus molekul C12H20O6 dilaporkan dan mulai disintesis oleh Milobedeska dan
Lampe dalam beberapa dekade berikutnya dan disebut sebagai diferuloylmethane
(1910). Srinivasan, pada tahun 1953 untuk pertama kalinya menggunakan kromatografi
untuk memisahkan dan mengukur komponen curcumin (Trujillo, et al., 2013; Prasad, et
al., 2014).
Penelitian yang luas terhadap curcumin selama beberapa dekade telah
mengungkapkan manfaat kesehatan dari bahan ini pada era modern. Karakteristik
biologis curcumin mulai diidentifikasi secara ilmiah pada pertengahan abad ke-20.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam Nature pada tahun 1949, Schraufstatter
dan rekannya melaporkan bahwa curcumin adalah senyawa biologis aktif yang
memiliki sifat antibakteri. Para penulis ini menemukan bahwa curcumin berperan aktif
terhadap Staphylococcus aureus, Salmonella paratyphi, Trichophyton gypseum, dan
Mycobacterium tuberculosis. Curcumin juga dilaporkan memiliki aktivitas antijamur
terhadap Candida albicans, Cryptococcus neoformans, Sporothrixschenckii,
Paracoccidioidesbrasiliensis dan Aspergillus spp. (Prasad, et al., 2014).
Curcumin kembali menjadi subyek penelitian ilmiah pada tahun 1970-an.
Selama dekade ini, tiga kelompok independen menemukan beragam karakteristik
curcumin, termasuk aktivitas penurun kolesterol (Patil dan Srinivasan, 1971),
antidiabetik (Srinivasan, 1972), anti-inflamasi (Srimal dan Dhawan, 1973), dan
antioksidan (Sharma, 1976). Ghatak dan Basu (1972) berhasil menunjukkan curcumin
lebih kuat bila dibandingkan dengan hidrokortison dalam menghambat artritis yang
diinduksi formalin pada tikus. Studi ini menunjukkan potensi curcumin sebagai agen
anti-inflamasi (Prasad, et al., 2014).
Pada tingkat molekular, curcumin tidak hanya menginhibisi proliferasi dan
metastasis sel kanker, tapi juga menginduksi apoptosis dengan memodulasi faktor-
faktor pro-inflamasi (seperti, IL-1, IL-1β, IL-12, TNF-α dan INF-γ), faktor-faktor
pertumbuhan (seperti, EGF, HGF dan PDGF), reseptor-reseptor (seperti, EGFR, HER-
2, IL-8R dan FasR), faktor-faktor transkripsi (seperti, STAT3, NF-κB, WT-1, PPAR γ)
dan protein-protein kinase (seperti, ERK, MAPK, PKA, PKB dan PKC) (Trujillo, et al.,
2013; Naksuriya, et al., 2014).
Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Banyak uji
preklinik yang telah berhasil menunjukkan aktivitas anti-inflamasi dan antikanker
curcumin. Curcumin yang tersedia secara komersial terutama terdiri dari campuran
curcumin, yang secara kolektif disebut curcuminoid. Campuran curcumin ini digunakan
dalam penelitian dan uji klinis in vitro dan in vivo (Prasad, et al., 2014).
Dosis optimum curcumin untuk pengobatan suatu penyakit belum jelas. Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah (Aggarwal, et al.,
2012). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa curcumin aman dan tidak toksik
bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah curcumin yang aman dikonsumsi oleh manusia
adalah 100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari (Commandeur dan Vermeulen,
1996).
Curcuminoid pada penelitan oleh Haryuna et al (2013) mampu menurunkan
ekspresi Hsp70, NF-κB, TLR2, TLR4, dan MMP-9 pada fibroblast koklea Rattus
norvegicus. Protein-protein ini dijumpai pada suatu jalur yang mendasari terjadinya
GPAB, melalui degradasi kolagen tipe IV. Melalui studi in vitro diketahui curcumin
juga mampu menginhibisi NFAT melalui penghambatan pensinyalan Ca2+ hingga
menghambat translokasinya ke inti sel pada limfosit T dan otot jantung (Ghosh, et al.,
2010).
ROS
INJEKSI Mitochondria Stress Kinases
GENTAMICIN
Cyto C
Bcl-2
Bcl-Xl
Bax
Bak
BCL-Xs Caspase-9
FIBROBLAS Bid
Bam
Bim
Caspase-3
FIBROBLAS
(APOPTOSIS Sel
II. 9 Kerangka Konsep Rambut Luar
Kokhlea)
Ototoksisitas
Kerusakan Sel Gentamicin dapat
Injeksi
Rambut Luar Kokhlea
Gentamicin dicegah dan
(ototoksik)
diobati
Curcumin DPOAE
Keterangan :
Variabel bebas
Variabel kontrol
Variabel terikat
Variabel antara
BAB III
METODE PENELITIAN
P0 (Tanpa perlakuan =
K1 (Kelompok 1)
kontrol )
R P1 (Perlakuan 1) K2 (Kelompok 2)
SUBJEK
P2 (Perlakuan 2) K3 (Kelompok 3)
P3 (Perlakuan 3) K4 (Kelompok 4)
Keterangan :
R : Randomisasi.
K1 : Kelompok kontrol tanpa pajanan bising dan tanpa curcumin.
K2 : Kelompok dengan pemberian gentamicin dan tanpa pemberian curcumin.
K3 : Kelompok dengan pemberian gentamicin sekaligus pemberian curcumin selama 5
hari
K4 : Kelompok dengan pemberian gentamicin sekaligus pemberian curcumin selama 7
hari
Keterangan:
k = jumlah kelompok subyek penelitian (k = 4)
r = jumlah ulangan
Perhitungan:
(4-1) (r-1) ≥ 15
3r – 3 ≥ 15
3r ≥ 18
r≥6
Berdasarkan hasil penghitungan r (ulangan) minimal sama dengan 6 kali, maka
ditetapkan ulangan tiap kelompok 6.
r = 6; n = r x k; n = 6 x 4 = 24
ditetapkan besar sampel secara keseluruhan yaitu minimal 24 ekor marmut.
Randomisasi
Kelompok 2
Injeksi Kelompok 4
Kelompok 3 Injeksi
Kelompok 1 Gentamicin Injeksi Gentamicin
kontrol 120mg/kgBB Gentamicin
120mg/kgBB 120mg/kgBB
intraperitoneal intraperitoneal
tanpa curcuma intraperitoneal
dengan curcuma dengan curcuma
20mg/hari selama 20mg/hari selama
5 hari 7 hari
DPOAE hari 1 DPOAE hari 1
DPOAE hari 5 DPOAE hari 5
DPOAE hari 7 DPOAE hari 7
DPOAE hari 14 DPOAE hari 14
DPOAE hari 1 DPOAE hari 1
DPOAE hari 5 DPOAE hari 5
DPOAE hari 7 DPOAE hari 7
DPOAE hari 14 DPOAE hari 14
DAFTAR PUSTAKA
1. Aggarwal, B.B, Bhatt I.D, Ichikawa H., Ahn KS, Sethi G., Sandur S.K., Natarajan, C.,
Seeram, N., Shishodia, S.. Curcumin biological and medicinal properties. In :
Ravindran, P.N. , Sivaraman, K. And Babu, K.N., eds. Tumeric : The Genus
Curcuma. Medicinal and Aromatic Plants – Industrial Profiles. CRC Press, Boca
Raton, 2012; 297-368.
2. Attias, J. et al., 1998. Evaluating noise induced hearing loss with distortion product
otoacoustic emissions. British journal of audiology, 32(1), pp. 39–46. doi:
10.3109/03005364000000049.
3. Awdishu, L dan Mehta, RL. The 6R’s of Drug Induced Nephrotoxicity. Biomed
Central Nephrology. 2017,Vol 18:124
4. Bansal M., Diseases of Ear, Nose and Throat, Edisi Pertama, 2013.
5. Bartlett, J.G. (2001). Pedoman Terapi Penyakit Infeksi. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran. Hal: 291-300
6. Bashiruddin J dan Indro S. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced
Hearing Loss). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan
Leher Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
7. Bashiruddin, J. 2009. Program konservasi pendengaran pada pekerja yang terpajan
bising industri. Dalam: Maj ked okt indon, pp.14-19.
8. Blakley BW. Intratympanic gentamicin in the treatment of meniere’s disease. In:
Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 191-
5.
9. Campbell KCM. Audiologic monitoring for ototoxicity. In: Roland PS, Rutka JA, eds.
Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 153-7.
10. Campbell, K.C.M., 2016. Otoacoustic Emissions Diakses
melalui :http://www.emedicine.medscape.com/article/835943-overview
11. Chang KW. Ototoxicity. In: Johnson JT, Rosen CA, Newlands S, Amin M,
Branstetter B, Casselbrant M, et al, eds. Bailey’s head and neck surgery–
otolaryngology. 5th ed. Vol 2. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2014. p.
2542-8.
12. Ciuman Raphael R, 2013. Inner ear symptoms and disease: otorhinolaryngology head
and neck surgery. 17th ed. Connecticut: BC decker Inc; 2009. p. 273-6.
13.
14. Commandeur, J.N. and Vermeulen, N.P. 1996.Cytotoxicity and
cytoprotectiveactivities of natural compounds.The case of curcumin. Xenobiotica,
26,pp.667-80.
15. Dhingra, P. (2008) Anatomy of ear in diseases of ear, nose, and throat, Reed Elsevier
India.
16. Doosti, A. et al., 2014. Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) as an
Appropriate Tool in Assessment of Otoprotective Effects of Antioxidants in Noise-
Induced Hearing Loss (NIHL), Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck
Surgery, 66(3), pp. 325–329. doi: 10.1007/s12070-014-0721-7.
17. Dutta S, Padhye S, Priyadarsini K, Newton C. Antioxidant and antiproliferative
activity of curcumin semicarbazone. Bioorg Med Chem Lett. 2005;2738–44.
18. Edmunds AL. 2006. Inner Ear Ototoxicity. Available at:
http://www/emedicine.com/emedicine_specialities.html.
19. Eryani YM, et al. Faktor Risiko Terjadinya Gangguan Pendengaran Akibat Bising.
Lampung : Medula, Volume 7, No. 4. 2017.
20. Espmark AK, Rosenhall U, Erlandsson S SB. The two faces of presbyacusis: hearing
impairment and psychosocial consequences. Int J Audiol. 2002;4:125–35.
21. Fairbanks DNF. Ototoxicity, prevention and monitoring. In: Fairbanks DNF, ed.
Pocket guide to antimicrobial therapy in otolaryngology – head and neck surgery.
13th ed. Alexandria: American Academy of Otolaryngology-Neck Surgery
Foundation; 2007. p. 73- 6.
22. Feinstein DL, Spagnolo A, Akar C, Weinberg G, Murphy P G V. Receptor-
independent actions of PPAR thiazolidinedione agonists: is mito- chondrial function
the key? Biochem Pharmacol. 2005;177–88.
23. Forge A, Schacht J. Aminoglycoside Antibiotics. Audiol Neurotol. 2000;5(1):3–22.
24. Ganiswara, S.G. (2005). Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK UI. Edisi
4. Jakarta. Hal: 661-674
25. Ghodsian NF. Genetic factors in aminoglycoside ototoxicity. In: Roland PS, Rutka
JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 144-9.
26. Ghosh, S.S., Salloum, F.N., Abbate, A., Krieg, R., Sica, D.A., Gehr, T.W. and
Kukreja, R.C., 2010. Curcumin prevents cardiac remodeling secondary to chronic
renal failure. Am J Physiol Heart Circ Physiol, 299, pp.975–84.
27. Gillespie, P.G., 2006. Hair cell function. In: Water TRVD, Staecker H, eds., 2006.
Otolaryngology basic science and clinical review. New York : Thieme, pp.332-338.
28. Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2006. The sense of hearing. In Guyton AC, Hall JE, eds.
Textbook of medical physiology. 11th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders, pp. 652-
657.
29. Hall J. W. 2009. A Guide to Otoacoustic Emissions (OAE) for Physicians.
Minnesota : Maico Diagnostics.
30. Hardman JG, Limbird LE. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi. 10th ed.
Jakarta: EGC; 2012.
31. Haryuna, T.S.H., 2013. Pengaruh Curcuminoid terhadap Pajanan Bising yang
Ditinjau dari Ekspresi HSP-70, NF-κB, TLR-2, TLR-4, MMP-9 dan Kolagen Tipe IV
pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus (Studi Eksprerimental Laboratorik Ex
Vivo). [Disertasi] Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran. Universitas Sumatera
Utara.
32. Huth, M. E., Ricci, A. J. andCheng, A.G. 2011. Mechanisms of aminoglycoside
ototoxicity and targets of hair cell Protection. International Journal of
Otolaryngology, pp.1-19.
33. Indro Soetirto dkk, Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Teling, Hidung, Tenggorok, Kepala dan leher. Edisi 7 Jakarta: FKUI ;
2012
34. Iurato S. Ototoxicity. In: European manual of medicine in otorhinolaryngology-head
and neck surgery. 1st ed. Berlin: Springer; 2010. p. 129-30
35. Katzung, Bertram G. Basic & Clinical Pharmacology 14th Edition. McGraw Hill
Education. New York. 2018.
36. Katzung, G.B. (2004). Basic and Clinical Pharmacology. Edisi 9. Singapore:
Mc.Graw Hill. Hal: 635-640, 686-693
37. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik.. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 1 p.
38. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan : Situasi
Penyandang Disabilitas. Jakarta; 2014. 8-17 p.
39. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan : Penyakit
Tidak Menular. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2012. p. 14.
40. Kisilevsky VE, Tomlinson RD, Ranalli PJ, Prepageran N. Monitoring vestibular
toxicity. In: Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc;
2004: p. 161-8.
41. Liston S.L. dan Duvall A.J. 1997. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. Dalam:
Adams, GL, Boeis, LR dan Highler, PA. Boeis Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta:
EGC, pp.27-45.
42. Liu H, Ding D, Jiang H, Wu X, Salvi R, Sun H. Ototoxic destruction by co-
administration of kanamycin and ethacrynic acid in rats. Journal of Zhejiang
University-Science b (biomedicine & biotechnology) 2011; 12(10):853-61.
43. Lonsbury, M., Martin, B.L. and Luebke, G.K., 2003. Physiology of the auditory and
vestibular systems. In: Snow JB, Ballenger JJ, eds. Ballenger otorhinolaryngology
head & neck Surgery.16th ed. Hamilton : BC Decker, pp. 75-81.
44. Moller, A.R., 2006. Physiology of the ear and the auditory nervous system. In:
Jackler, R.K., Brackmann, D.E., eds. Neurootology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier
Mosby, pp. 52-57.
45. Moon, S.K., Woo, J.I., Lee, H.Y., Park, R., Shimada, J., Pan, H., Gellibolian, R. and
Lim, D.J., 2007, Toll-like receptor-2 dependent NF-kB activation is involved non
typeable Haemophilua influenzainduced monocyte chemotactic protein-1 up-
regulation in the spiral ligament fibrocyte in the inner ear. Infection and Immunity,
vol.75, no.7, pp. 3361-72.
46. Moore et al. Essential Clinical Anatomy, 5th Edition, 2015 Wolters Kluwer Health
47. Mylonas I. Antibiotic chemotherapy during pregnancy and lactation period: aspects
for consideration. Archieve Gynecology Obstetric 2011: 287:7-18.
48. Nagashima, R., Sugiyama, C., Yoneyama, M. and Ogita, K., 2005. Transcriptional
factors in the kokhlea within the inner ear. Journal of Pharmacological Science, 99,
pp. 301-306.
49. Naksuriya, O., Okonogi, S., Schiffelers, R.M. and Hennink, W.E., (2014). Curcumin
nanoformulations: A review of pharmaceutical properties and preclinical studies and
clinical data related to cancer treatment. Biomaterials, 35, pp.3365-83.
50. Nassiri, P., Zare S., Esmail M.R.M., Pourbakhti A, Azam K, Golmohammadi T 2016.
„Assessment of the Effects of Different Sound Pressure Levels on Distortion Product
Otoacoustic Emissions ( DPOAEs ) in Rats, pp. 93–99.
51. O’leary S. Ototoxicity. In: Gleeson M, Browning G, Burha MJ, Clarke R, Hibbert J,
Jones NS, et al, eds. Scott-brown’s otorhinolaryngology head & neck surgery. 7th ed.
London: Edward Arnold Ltd; 2008. p. 3567-73.
52. Oghalai J.S. and Brownell W.E. 2008. Anatomy and physiology of the ear. In:
Lalwani, A.K. Current Diagnosis dan Treatment in Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. New York: McGraw-Hill Company, pp.577-95.
53. Pagkalis S, Mantadakis E, Mavros MN, Ammari C, Falagas ME. Pharmacological
considerations for the proper clinical use of aminoglycosides. Drugs 2011; 71
(17):2277-94.
54. Pawlowsky, K.S., 2004. Anatomy and physiology of the cochlea. In: Roland PS,
Rutka JA,eds. Ototoxicity. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 1-15.
55. Prasad, S., Gupta, S.C., Tyagi, A.K. and Aggarwal, B.B. 2014. Curcumin, a
component of golden spice: Frombedside to bench and back. Biotechnology
Advances, 32, pp.1053-64.
56. Prepageran N, Kisilevsky V, Rutka JA. Topical aminoglycoside vestibular toxicity.
In: Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p.
121-6
57. Probst R. Inner ear and retrocochlear disorder. In: Probst R, Grevers G, Iro H, eds.
Basic otorhinolaryngology, a step-by-step learning guide. New York: Thieme; 2006.
p. 2634.
58. Probst, R., Grevers, G. and Iro, H., 2006. Basic Otorhinolaryngology. Newyork :
Georg Thieme Verlagg Stuttgart, pp.172-176 ; 260-262.
59. Purba ER, Martosupono M. Kurkumin sebagai antioksidan. Pros Semin Nas Sains dan
Pendidik Sains IV. 2009;(3):607–21.
60. Redemaker JM, et al, 2006, Relationship Between Cisplatin Administration and the
Development of Ototoxicity. In Journal of Clinical Oncology. Vol 24. No. 6.pp. 918-
924.
61. Riggs LC, 1998, Ototoxicity. In Bailey BJ. Head & Neck surgery-Otolaryngology.
Second Edition. Philadelphia. Lippincott Raven. Pp 2165-2168.
62. Robinson, D. and Taylor, W. (1986). Interpretation of Serum Drug Concentrations.
Dalam: A Text Book For The Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring.
ed Taylor W.J. Texas: Abbott Laboratories. Hal: 32
63. Roland NJ, Mcrae RDR, Mccombe AW. Ototoxicity. In: Roland NJ, Mcrae RDR,
Mccombe AW, eds. Key topics in otolaryngology and head and neck surgery. 2nd ed.
Oxford: Bios scientific publishers Ltd; 2001. p. 229-30.
64. Roland PS, Pawlowski KS. Ototoxicity. In: Wackym PA, Snow JBS, eds. Ballenger’s
Otorhin olaryngology head and neck surgery. 17th ed. Connecticut: BC decker Inc;
2009. p. 273-6.
65. Roland PS, Wright CG. Topical aminoglycoside cochlear ototoxicity. In: Roland PS,
Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 114-9.
66. Rundjan, L., Amir, I., Suwento, R. dan Mangunatmadja, I., 2005. Skrining Gangguan
Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri, 6(4), pp.149-54.
67. Rybak L. Annual Review of Pharmacology and Toxicology. 2006;(Drug
Ototoxicity):79–99.
68. Sari I P, Nurrochmad A and Rahayu S, 2016. Evaluation of Anti-Fertility Effect of
Aqueous Extract of Costus speciosus (Koen) J.E Smith Rhizome in Mice.
International Conference on Phatmacy and Advanced Pharmaceutical Sciences. 8(5),
pp. 440-444.
69. Schacht J. Mechanisms for aminoglycoside ototoxicity: basic science research. In:
Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 93-8.
70. Setyaningsih D, et al., 2016. A Novel Reversed Phase high Performance Liquid
Chromatography Method to Accurately Determine Low Concentrations of Curcumin
in Rat Plasma. International Conference on Pharmacy and Advanced Pharmaceutical
Sciences. 8(5), pp. 377-386.
71. Shen Z, Zheng J, Peng G, Zhang T, Gong S, Zhu Y, et al. Frequency and spectrum of
mitochondrial 12S rRNA variants in 440 han chinese hearing impaired pediatric
subjects from two otology clinics. Journal of Translational Medicine 2011; 9:15-21.
72. Sherwood L. 2006. Telinga : Pendengaran dan Keseimbangan. Dalam Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC.
73. Shier, D., 2005. Somatic and special senses. In: Shier D, Butler J, Lewis R, eds.
Hole’s essential of human antomy and physiology. 9th ed . Columbus : Mc Graw Hill,
pp. 468-478.
74. Shin JJ, Lin MY, Rauch SD. Ototopical neomycin: impact on post- treament hearing.
In: Shin JJ, Hartnick CJ, Randolph GW, eds. Evidence-based otolaryngology. 1st ed.
New York: Springer; 2008. p. 259-61.
75. Stockley, I.H. (1994). Drug Interactions a Source Book of Adverse Interaction, Their
Mechanisms, Clinical Importance and Management Adverse Interaction, third edition,
England
76. Suwento, R. 2007. Standar pelayanan kesehatan indera pendengaran di
puskesmas.Tersedia http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=
77. Tange RA. Ototoxicity. In: Dhingra PL, ed. Disease of ear, nose and throat. 4th ed.
India: Elsevier; 2007. p. 34-5.
78. Tortora J. Principles of Anatomy and Physiology 15th Edition 2017. Wiley
79. Tortora, GJ., Principles of Anatomy and Physiology, Edisi ke-13, 2012. Hlm 658-664
80. Trujillo, J, Chirino, Y, I, Moliana-Jijon, E, Anderica-Romero, A C, Tapia, E T,
Pedraza-Chaverri, J. 2013. Renoprotective effect of the antioxidant curcumin: recent
findings. Redox Biology. 1(1):448- 456
81. Van de water TR, Rybak LP. Ototoxic damage to hearing: otoprotective therapies. In:
Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 170
8.
82. Vazquez, A.E., Luebke, A.E., Martin, G.K., 2001. Temporary and Permanent Noise
Induced Changes in Distortion Product Otoacoustic Emissions in CBA/CaJ mice,
Elsevier Hearing Research, 156(3), pp. 31-43
83. Wang Q, Steyger PS. Trafficking of systemic fluorescent gentamicin into the cochlea
and hair cells. Journal of the Association for Research in Otolaryngology 2009;
10:205-19.
84. Wargo, Kurt A dan Edwards, Jonathan D. Aminoglycosides-Induced Nephrotoxicity.
Journal of Pharmacy Practice. 2014, Vol 27:573-577.
85. Zairina, N. (1999). Pemantauan Efektivitas Profilaksis dengan Pemberian Gentamisin
Intra Vena Bolus Multiple Dose. Tesis. Program Pendidikan Apoteker Spesialis-1
Farmasi Rumah Sakit. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
86. Zarandy MM, Rutka J. Ototoxicity. In: Zarandy MM, Rutka J, eds. Diseases of the
inner ear: a clinical, radiologic & pathologic atlas. 1st ed. Berlin: Springer; 2010. p.
85-8.
87. Zhou Hongyu, Beevers Christopher S and Huang Shile, 2011. Targets of curcumin.
Curr Drug Targets. 12(3), pp. 332-347.