Anda di halaman 1dari 55

USULAN PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN CURCUMA TERHADAP SEL RAMBUT LUAR


KOKLEA AKIBAT DARI PEMAKAIAN OTOTOKSIK GENTAMICIN
DITINJAU DENGAN PEMERIKSAAN DPOAE

Oleh:
Nurul Haerani Sukindar

Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K)
Dr. dr. Nova A L Pieter, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1(Sp-1)


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

0
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Fungsi pendengaran memegang peran sangat penting dalam kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial. Pendengaran tidak hanya diperlukan untuk
proses komunikasi sosial tetapi juga untuk orientasi lingkungan. Gangguan
terhadap organ pendengaran selain akan menyebabkan cacat fisik juga
menimbulkan masalah psikososial (Espmark AK, 2002). Gangguan pendengaran
di Indonesia sering disebabkan oleh tingginya tingkat paparan suara bising di
tempat kerja juga di lingkungan tempat tinggal, serta kebiasaan mendengarkan
musik dan menonton film dengan suara yang lebih dari 85dB selama lebih dari 2
jam. Gangguan pendengaran biasanya menjadi keluhan seiring dengan
bertambahnya usia. Dalam dunia kesehatan juga sering disebabkan pemakaian
obat yang mempunyai dampak ototoksik. Kelainan-kelainan yang diakibatkan
keadaan tersebut bersifat tuli sensorineural (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Ototoksisitas adalah gangguan pada fungsi pendengaran dan
keseimbangan akibat dari paparan obat atau bahan kimia yang merusak telinga
bagian dalam atau saraf vestibulokoklea, saraf mengirimkan keseimbangan dan
mendengar informasi dari telinga bagian dalam ke otak karena telinga bagian
dalam berfungsi untuk pendengaran dan keseimbangan (Rybak L, 2006).
Ciri khas ototoksik dihubungkan dengan gangguan pendengaran
sensorineural frekuensi tinggi, karena temuan patologis yang terjadi bahwa
kerusakan terutama pada bagian basal koklea, walaupun dapat juga meluas ke
frekuensi menengah, dapat bersifat sementara tetapi umumnya bersifat ireversibel
(Redemaker et al, 2006; Riggs at al, 1998).
Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit
terbanyak (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Peresepan antibiotik di Indonesia
yang cukup tinggi, kurang bijak dan tanpa monitoring akan meningkatkan
kejadian toksisitas dan resistensi (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Berdasarkan

1
World Health Organization (WHO) pada tahun 1994, penyebab gangguan
pendengaran pada obat ototoksik adalah penggunaan aminoglikosida baik secara
sistemik maupun topikal. Penggunaannya yang luas dan berlebihan menjadi
kekhawatiran utama dalam kasus ini. Gangguan pendengaran yang berhubungan
dengan ototoksisitas sangat sering ditemukan oleh karena pemberian gentamisin
dan streptomisin. Gangguan pendengaran akibat ototoksik dapat menetap dalam
hitungan hari, minggu, bulan, bahkan dapat ireversibel (Kementerian Kesehatan
RI, 2014)
Gentamisin merupakan senyawa yang efektif untuk pengobatan
berbagai infeksi akibat basilus gram negatif yang berat. Senyawa ini adalah
aminoglikosida pilihan pertama karena harganya murah dan aktivitasnya yang
terandalkan terhadap semua infeksi kecuali terhadap bakteri aerob gram negatif
yang paling resisten (Hardman JG, 2012). Aminoglikosida diyakini menyebabkan
ototoksisitas dengan meningkatkan berbagai spesies radikal bebas diantaranya
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) serta
menekan jumlah antioksidan yang berakibat pada kerusakan sel dan apoptosis.
Oleh karena itu antioksidan memiliki kemampuan untuk mengurangi efek radikal
bebas yang disebabkan oleh pemberian gentamisin (Forge A, 2000).
Curcumin [1,7-bis(4-hydroxy-3methoxyphenyl)-1,6-heptadiene-3,5-
dione] merupakan bahan aktif dari kunyit (Curcuma longa) (Setyaningsih, et al.,
2016). Tanaman medis memiliki kegunaan yang penting dalam pemeliharaan
Kesehatan primer di Indonesia. Banyak orang yang menggunakannya sebagai
obat tradisional selama bertahun-tahun (Sari, Nurrochmad dan Rahayu, 2016).
Kunyit (Curcuma longa) adalah salah satu tanaman hasil pertanian dan rempah-
rempah Indonesia yang terkenal sejak dahulu, memiliki manfaat yang besar dalam
kehidupan sehari-hari, di samping sebagai bahan pewarna makanan, kunyit
(Curcuma longa) juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Kunyit (Curcuma
longa) memiliki kandungan curcumin dan minyak atsiri (Zhou H, 2012). Studi
menunjukkan bahwa curcumin memiliki berbagai manfaat farmakologi

2
diantaranya sebagai antioksidan (Feinstein DL, 2005), antiinflamasi, dan
antikanker (Dutta S, 2005).
Haryuna et al. (2016), membuktikan bahwa curcumin terbukti
berpotensi efektif dalam pencegahan dan pengobatan kerusakan fibroblast di
dalam jaringan pendukung koklea dan dinding lateral terhadap penurunan
ekspresi kalsineurin, NFATc1, dan indeks apoptosis fibroblast koklea.
Berdasarkan penelitian tersebut, curcumin terbukti efektif dalam pencegahan dan
pengobatan kerusakan oksidatif dengan menilai efek molekular pada fibroblas
koklea dan dinding lateral koklea. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian manfaat curcumin dengan menilai efek klinis terhadap
pencegahan dan pengobatan kerusakan sel rambut luar koklea pada hewan coba
dengan pemberian ototoksik (gentamisin) yang dinilai dengan pemeriksaan
Distortion Product Otoacoustic Emmisions (DPOAEs).
Penelitian eksperimental ini menggunakan marmut sebagai hewan coba.
Marmut juga mempunyai kemiripan struktur telinga dalam dengan manusia dan
telah digunakan sebagai model hewan coba untuk penelitian penyakit ketulian
genetik manusia dan yang berperan dalam perkembangan system auditorius
melalui identifikasi genetik dan sekuensnya (Vazques, et al., 2001;Haryuna,
2013).
Otoacoustic emmision (OAE) mengukur mikroskopis kegiatan biokimia
sel rambut luar yang sehat. OAE memberikan ransangan mekanik dikoklea yang
bergerak dari timpanum ke telinga luar melalui meatus akustikus eksternus
(Nassiri et al., 2016). Dalam penelitian ini, otoacoustic emmision yang digunakan
adalah Distortion Product Otoacoustic Emmisions (DPOAEs). DPOAEs dapat
digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
TEOAE yang hanya menilai fungsi sel rambut luar secara kualitatif sementara,
DPOAEs dapat memberikan informasi secara kuantitatif pada tingkat dan
karakteristik fungsi sel rambut luar koklea (Campbell, 2006 ; Hall & Janssen, et
al., 2006).

3
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat
dirumuskan masalah penelitian yaitu:
1. Berapa lama antibiotic gentamisin berefek ototoksisitas pada hewan coba
ditinjau dengan pengukuran DPOAE?
2. Bagaimana pengaruh curcumin terhadap efek gentamisin sebagai pencegah
ototoksisitas ditinjau dengan pengukuran DPOAE?

I.3 Tujuan Penelitian


I. 3. 1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh efek gentamisin terhadap kejadian ototoksisitas
yang dinilai dengan DPOAE
I. 3. 2 Tujuan Khusus
a. Menilai fungsi sel rambut luar koklea dengan pemeriksaan DPOAE
sebelum mendapat pengobatan gentamisin.
b. Menilai fungsi sel rambut luar koklea dengan pemeriksaan DPOAE
setelah mendapat pengobatan gentamicin dalam beberapa waktu
tertentu.
c. Mengetahui efek curcumin sebagai preventif ototoksik gentamisin
dengan menilai fungsi sel rambut luar koklea melalui pemeriksaan
DPOAE.
I.4 Hipotesis
Curcumin sebagai preventif untuk efek ototoksisitas dari penggunaan
gentamisin dengan menilai fungsi sel rambut luar koklea melalui pemeriksaan
DPOAE.

I.5 Manfaat Penelitian

4
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai efek klinis
curcumin dalam mencegah dan mengobati kerusakan sel rambut luar koklea
akibat ototoksisitas gentamisin dengan pemeriksaan DPOAE.
2. Jika sudah terbukti pada hewan coba, diharapkan curcumin ini mampu
mencegah dan berpotensi dalam perbaikan kerusakan sel rambut luar koklea
penderita gangguan pendengaran akibat ototoksisitas gentamisin, sehingga
curcumin dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai fitofarmaka untuk
mencegah dan memperbaiki derajat gangguan pendengaran akibat ototoksik.
3. Memberikan informasi kepada pengampu kebijakan dan masyarakat untuk
memanfaatkan curcumin sebagai fitofarmaka yang berpotensi mengobati dan
mencegah kerusakan koklea yang diharapkan kelak dapat mencegah dan
memperbaiki derajat gangguan pendengaran akibat ototoksik.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Telinga


Telinga merupakan organ penerima gelombang suara atau udara dan
kemudiannya nanti gelombang mekanik ini diubah menjadi tenaga listrik
seterusnya diteruskan ke korteks pendengaran oleh saraf pendengaran. Selain itu,
fungsi umum dari telinga juga adalah sebagai organ pendengaran dan
keseimbangan tubuh. Untuk memahami tentang gangguan pendengaran, perlu
diketahui dan dipelajari terlebih dahulu mengenai anatomi telinga, fisiologi
pendengaran dan cara pemeriksaan pendengaran. Secara umum telinga dapat
dibahagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Bansal M, 2013)
Telinga manusia terbagi atas telinga luar, telinga tengah serta telinga
dalam. Telinga bagian luar terdiri dari daun dan liang telinga. Telinga bagian
tengah terdiri atas membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan sel-sel
mastoid (Oghalai dan Brownell, 2008).
Penyakit klasik pada telinga dalam meliputi keseluruhan labirin membran
dan memiliki karakter dengan trias gangguan pendengaran sensorineural, tinitus,
dan vertigo. Patologi yang mendasarinya dapat mengenai sel rambut dalam, sel-
sel pendukung, atau sebuah penyimpangan homeostatis pada telinga dalam akibat
perubahan komposisi dari endo dan perilimfe yang memberikan efek langsung
terhadap integritas dan fungsi dari sel rambut. Perubahan jaras afferent dan
efferen pendengaran dapat terjadi bersamaan dengan penyakit telinga bagian
dalam ataupun menjadi penyebab utama dari ganguan telinga bagian dalam
(Ciuman, 2013).

6
Gambar: Tortora, GJ., Principles of Anatomy and Physiology, Edisi ke-13,
2012. Hlm 658-664
II.1.1 Telinga Luar

Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis
auditorius eksternus, dipisahkan dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram
yang dinamakan membrana timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada
kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Aurikulus melekat ke sisi kepala
oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali lemak dan jaringan
bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang
suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus.( Bashiruddin J
dan Indro S, 2012)
Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi
temporomandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan
ujung jari di meatus auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut.
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua
pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius
eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung
kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin
yang disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel
kulit tua dan serumen ke bagian luar tetinga. Serumen nampaknya mempunyai
sifat anti bakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Eryani YM, 2017).

7
II.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di
sebelah lateral dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di
antara kedua membrana timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus
dan menandai batas lateral telinga. Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis
normalnya berwarna kelabu mutiara dan translulen. Telinga tengah merupakan
rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli (tulang telinga tengah)
dihubungan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan dengan beberapa
sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal .( Bashiruddin J dan Indro S,
2012)
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus,
inkus dan stapes. Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendi, otot, dan
ligamen, yang membantu hantaran suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval
dan dinding medial telinga tengah, yang memisahkan telinga tengah dengan teli
nga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela oval, di mana suara
dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara.
Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes
ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela
bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan
dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan
fistula perilimfe .( Bashiruddin J dan Indro S, 2012)
Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1 mm panjangnya sekitar 35 mm,
menghubungkan telinga ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup,
namun dapat terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver
Valsalva atau menguap atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk
sekresi dan menyeimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan
atmosfer .( Bashiruddin J dan Indro S, 2012)

II.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam mengandung organ vestibulocochlear yang berperan
untuk menerima suara dan menjaga keseimbangan. Terletak di dalam pars

8
petrosa dari os temporal, telinga dalam terdiri atas kantung dan duktus dari
labyrinth membranosa. Struktur ini mengandung endolimfe yang dikelilingi
cairan perilimfe yang terletak dalam struktur labirin tulang melalui filamen
halus. Cairan ini berperan dalam dalam menstimulasi organ akhir dari
keseimbangan dan pendengaran serta mencipta perbedan ion untuk organ
sensori (Moore, 2015).
Telinga dalam disebut sebagai labirin karena kompleksitasnya. Derivat
vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang
berisi endolimfe. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe yang
terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran terdiri atas
bagian vestibuler dan koklear, dimana bagian vestibular berkoneksi dengan
keseimbangan, sementara bagian koklearis berkoneksi dengan pendengaran
(Liston dan Duvall, 1997).
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan yang
merupakan bagian pendengaran yang disebut koklea dan bagian belakang
adalah vestibulum dan kanalis semisirkularis yang merupakan organ
keseimbangan. Koklea merupakan suatu tabung tulang berbentuk kumparan
dengan panjang 35 mm, terdiri dari skala vestibuli, skala media, dan skala
timpani. Skala media atau koklearis mempunyai penampang segitiga. Dasar
segitiga tersebut dikenal dengan nama membran basilaris yang menjadi dasar
dari organ korti seperti gambar dibawah ini (Moller, 2006).
Terletak diatas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ korti
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ korti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000) dan
tiga baris sel rambut luar (12.000). Ujung saraf aferen dan eferen menempel
pada ujung bawah sel rambut (Sherwood L, 2006).

9
Gambar: Anatomi Koklea (Moller AR, 2006)

Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe, yaitu cairan
yang menyerupai cairan ekstraseluler dengan konsentrasi K+ 4 mEq/L dan
konsentrasi Na+ 139 mEq/L. Skala media dibungkus oleh membrane Reissner,
membran basilaris lamina osseous spiralis, dan dinding lateralnya. Daerah ini
mengandung cairan endolimfe yang menyerupai cairan intraseluler dengan
konsentrasi K+ 144 mEq/L dan konsentrasi Na+ 13 mEq/L. Skala media
mempunyai ambang potensial istirahat sekitar 80 mV dengan arus positif searah
(direct current), kemudian menurun perlahan dari basis ke apeks. Potensial
endokoklear ini diproduksi oleh stria vaskularis yang menempel pada dinding
lateral koklea dan menuju pompa Na+/K+ (Moller, 2006).
Perilimfe dari skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe di skala
timpani melalui saluran terbuka yang terletak di apeks yang disebut
helikotrema. Organ korti terletak melekat pada membran basilaris dan lamina
osseous spiralis. Ukuran membran basilaris sekitar 0,12 mm di bagian basal
(nada tinggi) dan mengecil di bagian apeks menjadi 0,15 mm (nada rendah).
Komponen utama organ korti adalah sel rambut luar, sel rambut dalam, sel
penunjang (Dieters, Hensen, dan Claudius), membrane tektorial dan kompleks
lamina retikular. Sel penunjang membentuk struktur dan penunjang

10
metabolisme untuk organ korti. Organ korti terdiri dari satu baris sel rambut
dalam (3000-3500 sel rambut) dan tiga baris sel rambut luar (12000 sel rambut)
seperti pada gambar di bawah ini (Moller, 2006).

Gambar Sel rambut luar dan sel rambut dalam (Moller, 2006)

Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu


jungkat jungkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan
eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut
terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung
datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membran tektoria.
Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di
medial disebut sebagai limbus (Moller, 2006).
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput dan
bergulung 2 putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan pusatnya yang
disebut modiolus seperti pada gambar di bawah ini (Moller, 2003; Pawlowsky,
2004; Shier, 2005).

11
Gambar Koklea (Shier, 2005)

Terbentuknya segitiga dari duktus koklearis dengan sisi dasarnya


membentuk batas antara skala media dan skala timpani yaitu membrane basilaris
dan lamina spiralis pars osseus termasuk didalamnya sel-sel Claudius, sel-sel
Boettcher dan organ Korti. Ligamen Spiralis, stria vaskularis, prominensia
spiralis dan sulkus eksternal sebagai sisi lateralnya dan sisi miringnya adalah
membran Reissner dan membrane basilaris. Koklea terbagi menjadi tiga ruang
yaitu skala vestibuli (atas), skala media (tengah) dan skala timpani (bawah)
(Moller, 2003; Guyton & Hall 2006, Gillespie, 2006).
Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan terhadap
persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana dalamnya terdapat
struktur selular yang membentuk labirin membran. Termasuk di dalam labirin
tulang adalah kapsul otik yang merupakan batas luar dari koklea dan modiolus,
tabung tulang yang membentuk sumbu pusat koklea dan mengandung serat
syaraf auditori dan sel-sel ganglionnya. Di dalam koklea ada tiga ruang berisi
cairan, yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media dan dipisahkan oleh
membrane basilaris dan membran Reissner. Stria vaskularis dan ligamentum
spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang dinding lateral koklea. Alat
Korti, yang mengandung sel rambut (3 sel rambut luar dan 1 sel rambut dalam)

12
sebagai sel sensori dan sel penyokong, berbentuk spiral pada membrane basilaris
(Nagashima, et al, 2005).
Koklea terdiri dari berbagai tipe sel spesialisasi, seperti sel rambut
sensori, sel pendukung, sel sulkus, fibroblas ligamentum spiralis (SLF), yang
merupakan tipe sel yang jumlahnya paling banyak di perilimfe. Karena SLF
dianggap salah satu tipe sel di dalam koklea yang jumlahnya paling banyak, dan
mereka mengeluarkan sitokin dan kemokin setelah stimulasi proinflamasi, maka
dianggap SLF adalah responder terbesar terhadap sinyal-sinyal sitokin dan
kemokin tersebut (Moon et al, 2007).
Struktur yang terdapat dalam organ Korti adalah sel-sel Hensen, selsel
Deiters, sel-sel Pillar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar dan selsel rambut
dalam, sulkus dalam dan limbus spiralis, yang berisi sel-sel interdental dan
membran tektorial. Medial dari lamina spiralis pars osseus terdapat kanalis
Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan dengan modiolus
(Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang
berisi cairan perilimfe. Skala vestibuli dan skala timpani saling berhubungan di
helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea skala vestibuli berakhir
di foramen ovale dan skala timpani pada foramen rotundum. Skala media yang
berisikan cairan endolimfe berada di antara skala vestibuli dan skala timpani
seperti gambar di bawah ini (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Moller, 2003;
Guyton & Hall, 2006).

Gambar Skala Vestibuli dan skala timpani di koklea (Moller, 2003)

13
Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan
cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan
konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Sedangkan pada
endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan intraseluler
yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan kalium (K+) yang tinggi (Lonsbury,
Martin & Luebke, 2003; Gillespie, 2006).

Tabel Komposisi Cairan Koklea (Gillespie, 2006)

KOMPONEN ENDOLIMFE SKALA SKALA


VESTIBULI TIMPANI
Na (mM) 1,3 141 148
K (mM) 157 6 4,2
Ca (mM) 0,023 0,6 1,3

HCO3(mM) 31 21 21
Cl (mM) 132 121 119
Protein 38 242 178
(miligram/dl)
pH 7,4 7,3 7,3

Stria vaskularis terdiri dari tiga lapisan sel yaitu sel marginal, sel
intermediet, dan sel basal (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Sel-sel stria
vaskularis merupakan satu-satunya sel yang berhubungan dengan pembuluh
darah di koklea. Stria vaskularis bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi
ion kalium dalam cairan endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe
skala media positif tetap tinggi (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari lamina
spiral pars osseus ke ligamentum spiralis (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Elastistitas membran basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan
kelebarannya. Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea

14
dan tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea seperti gambar di
bawah ini (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).

Gambar Lebar membran basilaris dari basal ke apeks (Moller, 2003)

Alat Korti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran (Pawlowsky,


2004). Organ Korti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari
basis ke apeks koklea. Ukuran organ Korti bervariasi secara bertahap dari basis
koklea ke apeks koklea. Organ Korti di basal lebih kecil sedangkan organ Korti
di apeks koklea lebih besar (Guyton, 2006). Organ Korti terdapat sel-sel yang
terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), sel pendukung
(sel Deiter, sel Phalangeal dalam), ujung syarat aferen (ganglion spiral tipe 1 dan
2) dan eferen (olivokoklear medial dan lateral), sel pilar dalam dan luar, dan sel
Hensen (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).

15
Gambar Model membran basilaris dengan alat korti (Lonsbury,
Martin & Luebke, 2003)
Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf
dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Korti terdapat 1 deret sel
rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4000 sel rambut dalam dan
12000 sel rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Bentuk dari sel
rambut dalam seperti botol dan ujung syarafnya berbentuk piala yang
menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan
ujung syarafnya hanya pada basis sel seperti gambar berikut (Moller, 2003;
Pawlowsky, 2004).

Gambar 2.8 Sel Rambut Dalam dan Sel Rambut Luar (Gillespie, 2006)

Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan
mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membrane

16
yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel
rambut luar terdapat reticulum endoplasma (ER) yang terorganisasi dan khusus
di sepanjang dinding lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body, subsurface
cistern, dan subsynaptic cistern (Moller, 2003; Gillespie. 2006; Probst, Greves
& Iro, 2006).
Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada
perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam
sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal syaraf ke neuron
pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel
rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang
berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi
tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut koklear amplifier yang memberikan
kemampuan sangat baik pada telinga untuk menyeleksi frekuensi, telinga
menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang lemah (Gillespie, 2006).
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk
pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia) (Pawlowsky,
2004).Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membrane tektorial
dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar kuat melekat
pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W (Pawlowsky, 2004).
Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin,
filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie, 2006). Tip
link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia yang lain.
Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron ganglionik
spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gillespie, 2006).

17
Gambar Tip Link (Gillespie, 2006)

Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Korti yang
lain adalah tiga lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Cludius). Membran
tektorial, dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky,
2004). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel Deiters
dan sel pilar luar.Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel rambut luar baris
pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama dengan kedua. Sel Deiters
berada diantara sel rambut luar baris dua dengan tiga dan di sisi lateral dari sel
rambut luar baris tiga. Gabungan dari sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel
pilar luar menciptakan sebuah penghalang yang kuat antara endolimfe dan
perilimfe (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Moller, 2006; Gillespie, 2006).
Membran tektorial adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen,
protein, dan glukosaminoglikan. Membran tektorial terletak di dekat permukaan
lamina retikuler dari organ Korti. Membran tektorial kontak langsung dengan
sel rambut luar.Sedangkan untuk sel rambut dalam tidak berkontak secara
langsung dengan membran tektorial (Moller, 2003).

II.1.4 Vaskularisasi Telinga


Telinga dalam memperoleh pendarahan dari arteri auditori interna (arteri
labirintin) yang berasal dari arteri serebelli anterior atau langsung dari arteri
basilaris yang merupakan suatu end arteri dan tidak mempunyai pembuluh
darah anastomosis. Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini
bercabang tiga, yaitu :
- Arteri vestibularis anterior yang memperdarahi makula utrikuli,
sebagian makula sakuli, krista ampularis, kanalis semisirkularis superior
dan lateral serta sebagian dari utrikulus dan sakulus
- Arteri vestibulokokhlearis yang memperdarahi makula sakuli, kanalis
semisirkularis posterior, bagian inferior utrikulus dan sakulus serta
putaran berasal dari kokhlea.

18
- Arteri kokhlearis yang memasuki mediolus dan menjadi pembuluh-
pembuluh arteri spiral yang memperdarahi organ korti, skala vestibuli,
skala timpani sebelum berakhir pada stria vaskularis.

Aliran vena pada telinga dalam melalui tiga jalur utama. Vena
auditori interna berasal dari putaran tengah dan apikal kokhlea. Vena
aquaduktus kokhlearis berasal dari putaran basiler kokhlea, sakulus, dan
utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akquaduktus
vestibularis berasal dari kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena ini
mengikuti duktus dan masuk ke sinus sigmoid. (Sherwood L, 2006)

Gambar . Vaskularisasi telinga dalam (http://heritance.me/vascular-


anatomy-of-cochlea/vascular-anatomy-of-cochlea-vestibular-neuronitis)

II.1.5 Innervasi Telinga


Inervasi telinga terdiri dari nervus akustikus bersama nervus fasialis
masuk ke dalam porus dari meatus akustikus internus dan bercabang dua sebagai
nervus vestibularis dan nervus kokhlearis. Pada dasar meatus akustikus internus
terletak ganglion vestibularis dan pada mediolus terletak ganglion spiralis.
(Sherwood L, 2006)

19
Gambar 7. Inervasi Telinga (Gray, H. Gray's Anatomy: With original
illustrations by Henry Carter. Arcturus Publishing. 2009)

II.2 Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan di tangkapnya energi bunyi oleh dan
telinga dalam bentuk gelombang yang di alirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran tympani di teruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi
getaran melalui daya ungkit tulang pendegaran dan perkalian perbandingan luas
mmebran tympani dan tingkap lonjong.enegi getar yang telah di amplifikasi ini
akan di teruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibuli bergerak.getaran di teruskan melalui membrana
Reissner yang mendorong endo limfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basillaris dan membran tektoria.proses ini merupakan
rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut,sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik
dari badan sel.keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,sehingga
melepaskan neuro transmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan

20
potensial aksi pada saraf auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus
temporalis. (Bashiruddin J dan Indro S, 2012)

21
Gambar 8 Sel rambut pada Organ Corti (Tortora J, 2017)

Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif sedangkan
gangguan telinga dalam dapat menyebabkan tuli sensorineural yang terbagi atas tuli koklea
dan tuli retrokoklea. (Indro Soetirto dkk, 2012)
Suara yang dihantarkan ke dalam telinga mengalami perubahan transfer energi dari
medium udara, padat dan cair pada telinga dalam sehingga memerlukan adanya pengumpul
suara yang dilakukan oleh telinga luar, dan amplifikasi mekanik suara. Amplifikasi mekanik
diperoleh dari daya ungkit malleus dan incus sebesar 1,3 kali dan perbandingan luas
permukaan membrana timpani dan foramen ovale sebesar 17:1 sehingga diperoleh
amplifikasi suara sebesar 22 kali (Oghalai JS & Brownell WE, 2008; Dhingra P, 2008).
Gambar Jalur pendengaran (Dhingra P, 2008)

II.5 Gentamicin
Antimikroba merupakan salah satu jenis obat yang paling sering digunakan.
Salah satu masalah yang menjadi hambatan terbesar dalam kesuksesan penggunaan
antimikroba adalah berkembangnya mikroba-mikroba resisten. Sejak awal era antibiotik,
penggunaan antibiotik pada pasien dan hewan menyebabkan peningkatan kemunculan
patogen resisten. Kini mikroba Gram-negatif dengan mekanisme resistensi yang baru
semakin sering dilaporkan. Resistensi antibiotik mengakibatkan dampak negati, seperti
mening-katkan penggunaan antibiotik yang besifat spektrum-luas, kurang efektif, atau
antibiotika yang bersifat toksik (Katzung, Bertram G, 2018). Salah satu jenis antibiotik
yang bersifat toksik adalah antibiotik jenis aminoglikosida. Aminoglikosida merupakan
salah satu jenis antibiotik tertua yang digunakan untuk menangani berbagai infeksi serius
yang diakibatkan oleh bakteri gram negatif dan beberapa bakteri jenis gram-positif.
Aminoglikosida adalah antibakteri yang bersifat bakterisidal. Beberapa contoh obat-
obatan yang masuk ke dalam golongan aminoglikosida antara lain streptomisin,
neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, dan netilmisin.
Antibiotika golongan aminoglikosida umumnya digunakan dalam kombinasi bersama
antibiotika beta-laktam untuk menangani infeksi serius yang diakibatkan bakteri Gram-
negatif, dikombinasikan dengan vancomycin atau antibiotika beta-laktam untuk
endokarditis gram-positif, dan untuk terapi tuberkulosis Obat-obatan aminoglikosida
menjadi pilihan karena memiliki efek bakterisidal yang cepat, stabil secara kimia,
sinergis dengan antibiotika golongan beta-laktam, insiden resistensi yang rendah, dan
biaya yang murah. Meskipun demikian aminoglikosida memiliki efek samping yang
sangat terkenal, yaitu nefrotoksik dan ototoksik. (Katzung, Bertram G, 2018; Wargo,
2014).
Secara umum, insiden dan tingkat keparahan toksisitas obat secara proporsional
berkaitan dengan konsentrasi obat dan lama penggunaan obat tersebut. Kejadian
overdosis obat merupakan contoh yang jelas dari toksisitas yang dipengaruhi oleh dosis.
Untuk golongan aminoglikosida, kelompok obat ini memiliki sifat concentration
dependent killing, yang berarti konsentrasi obat yang lebih tinggi mampu membunuh
jumlah bakteri yang lebih banyak dan lebih cepat, dan sifat postantibiotic effect, yang
berarti kelompok obat ini memiliki efek antibakteri yang bertahan lama setelah
konsentrasi obat berkurang di bawah konsentrasi yang bisa diukur. Karena sifat-sifat
tersebut, jumlah total aminoglikosida lebih efektif jika diberikan dalam satu dosis besar
dibandingkan jika diberikan dalam beberapa dosis kecil. Selain itu efek toksik juga
bersifat terikat dengan lama penggunaan dan konsentrasi obat (time-dependent dan
concentration-dependent). (Awdishu, L dan Mehta, RL, 2017)
Klinisi perlu menyadari terdapat sejumlah obat yang dapat menyebabkan
kerusakan seluler telinga bagian dalam. Penurunan pendengaran yang disebabkan
ototoksisitas membuat ketidakmampuan dan memengaruhi kualitas hidup penderita.
Pengaruh ototoksik pada system vestibular dapat menghasilkan gangguan keseimbangan
yang mengganggu aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Pengenalan terhadap tanda dini
ototoksisitas akan menghentikan pemakaian obat penyebab dan pada akhirnya
meminimalkan penurunan pendengaran permanen dan gangguan keseimbangan (Chang
KW,2014)
Aminoglikosida termasuk salah satu kelas antimikroba yang konvensional.
Therapeutic window yang sempit, sifat nefrotoksik, ototoksik dan kehadiran antibiotika
spektrum luas seperti sefalosporin, karbapenem, dan fluoroquinolon membuat
penggunaan aminoglikosida dibatasi dalam dua dekade terakhir ini. Keunggulan
melawan patogen gram negatif yang resisten terhadap banyak obat seperti Pseudomonas
aeruginosa dan Acinetobacter spp, harga yang murah, dan resistensi yang rendah
merupakan alasan obat ini tetap dipakai. Aktivitas sinergis ditunjukkan aminoglikosida
bila dikombinasikan dengan antibiotik β laktam tertentu (Pagkalis S, 2011; Blakley BW,
2004)
Toksisitas aminoglikosida meliputi nefrotoksik dan ototoksik. Nefrotoksisitas
terjadi pada 5%-25% penderita yang menerima aminoglikosida dalam dosis terbagi.
Insiden ototoksisitas aminoglikosida masih merupakan kontroversi, peneliti menyebut
angka 3%-41% untuk gangguan pendengaran, sedangkan gangguan vestibuler terjadi
1%-11% (Chang KW,2014; Blakley BW, 2004; Ghodsian NF, 2004). Aminoglikosida
memiliki kecenderungan ke arah kokleotoksik atau vestibulotoksik. Kokleotoksik
berkaitan dengan jumlah grup amino bebas (-NH2), sedangkan vestibulotoksik sesuai
dengan jumlah grup metilamin yang bebas (-NHCH3) (Roland NJ, 2001).
Aminoglikosida adalah produk fermentasi atau turunan semisintetik dari spesies
Streptomyces atau Micromonospora. Aminoglikosida dengan akhiran “mycin”
(streptomycin, neomycin, kanamycin, paromomycin, spectinomycin dan tobramycin)
berasal dari Streptomyces, sedangkan yang berakhiran “micin” (gentamicin, netilmicin
dan amikacin) berasal dari Micromonospora (Chang KW,2014; Blakley BW, 2004).
Seluruh kelas aminoglikosida memiliki karakteristik umum yang sama dalam struktur
kimia dan aktivitas biologi, tetapi berbeda dalam potensi toksisitas. Obat yang termasuk
dalam kelas aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea dan vestibuler secara
bersamaan, tetapi tiap obat memiliki efek dominan di salah satu fungsi telinga bagian
dalam (Iurato S, 2010).
Aminoglikosida merupakan antibiotik yang sering diresepkan dengan efek
samping yang berbahaya pada telinga dalam. Aminoglikosida populer karena aktivitas
antimikroba yang poten, banyak usaha telah dilakukan untuk mencegah ototoksisitas
akibat aminoglikosida. Sepanjang tahun, pemahaman mengenai antimikroba serta
mekanisme ototoksisitas akibat aminoglikosida telah meningkat (Huth, Ricci dan Cheng;
2011).
Aminoglikosida (AG) merupakan kelas antibiotik yang dikenal baik dan sukses.
Isolasi awal streptomisin dari Streptomyces griseus memberi pengobatan untuk
tuberkulosis dan antibiotik efektif terhadap bakteri gram negatif. Pada tahun berikutnya,
AG lain diisolasi dari Streptomycesspp., yang sering menggabungkan akhiran “-misin”
pada nomenklaturnya. Dengan isolasi gentamisin dari Micromonospora purpurea,
akhiran “-misin” diimplementasikan untuk menentukan asal bakteri dari AG individu.
Berlawanan dengan derivative organik ini dari bakteri yang tinggal di tanah, AG sintetik
seperti amikasin dapat terbentuk secara in vitro. Saat ini, Sembilan AG (streptomisin,
neomisin, tobramisin, kanamisin, paromomoisin, spektinomisin, gentamisin, netilmisin,
dan amikasin) disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) (Huth, Ricci dan
Cheng; 2011).
Selain efikasi antimikroba poten, semua AG dapat menyebabkan efek samping
toksik terhadap ginjal dan telinga dalam. Sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh AG
pada ginjal biasanya bersifat reversibel, kerusakan pada telinga dalam bersifat permanen.
Biasanya, setiap AG mampu merusakan organ auditorik dan vestibulus secara
irreversibel, tetapi “khususnya mempengaruhi satu lebih dari yang lain”. Gentamisin dan
tobramisin terutama vestibulotoksik, sedangkan neomisin, kanamisin, dan amikasin
terutama kokleotoksik. Efek samping ototoksik terjadi dalam hitungan hari atau minggu
setelah penggunaan sistemik dan sering bilateral. Vestibulotoksisitas terjadi sampai
hampir 15% pasien setelah pemberian AG, sedangkan kokleotoksisitas 2% sampai 25%
pasien. Rejimen pemberian AG yang berbeda dan definisi kerusakan ototoksik yang
berbeda mungkin telah berkontribusi terhadap variasi insidensi (Huth, Ricci dan Cheng;
2011).
Manifestasi klinis kokleotoksisitas termasuk hilangnya pendengaran dan/atau
tinitus, sedangkan vestibulotoksisitas tersebut terdiri dari disekuilibrium dan pusing.
Sayangnya, gejala ini mungkin tidak terdeteksi sampai setelah fase akut infeksi berat
sehingga diagnosis telat terbentuk. Kokleotoksisitas AG khasnya pertama kali
mempengaruhi dalam frekuensi tinggi dan kemudian meluas dengan frekuensi yang lebih
rendah dan berubah-ubah seiring dengan waktu. Karena frekuensi pendengaran ultrahigh
tidak rutin diperiksa (>8kHz), insidensi nyata berkurnagnya pendengaran yang diinduksi
oleh AG sering diabaikan. Malahan, ketika dilakukan pemeriksaan frekuensi ultra-high,
hilangnya pendengaran dilaporkan pada 47% pasien dengan riwayat pengobatan AG
(Huth, Ricci dan Cheng; 2011).
Secara umum, aminoglikosida dipakai sebagai terapi febris karena neutropenia,
infeksi berat di ICU, sepsis atau syok sepsis, tuberkulosis, profilaksis bedah, pencegahan
terhadap infeksi sekunder pada kondisi kronis seperti cystic fibrosis, endokarditis
bakterial, osteomyelitis dan komplikasi infeksi abdomen yang disebabkan bakteri gram
negative (Pagkalis S, 2011; Roland PS, 2009). Infeksi pada kepala dan leher yang
menggunakan kelas obat ini adalah sinusitis akut dan kronik, otitis media akut, abses
leher dalam dan kolesteatoma yang terinfeksi (Fairbanks DNF, 2007).
Aminoglikosida mempunyai kemampuan yang sangat baik menghadapi
Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan Enterobacter spp dan angka resistensi
aminoglikosida terhadap patogen tersebut sangat rendah di berbagai bagian dunia.
Aminoglikosida (terutama amikasin) bersama dengan karbapenem dan polimiksin
memiliki aktivitas yang sangat baik dalam melawan organisme yang resisten terhadap
banyak obat seperti Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter spp (Pagkalis S, 2011;
Roland PS, 2009; Fairbanks DNF, 2007).
Gentamisin adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Micromonosphora purpurea. Obat ini aktif terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif. Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5 ml;
80 mg/2ml; 120 mg/3ml; dan 280 mg/2ml (Gan, 2005).
Bila gentamisin dikombinasi dengan antibiotika beta laktam akan menghasilkan
efek sinergis terhadap pseudomonas, proteus, enterobacter, klebsiella, serratia,
stenotrophomonas, dan strain-strain gram negatif lain yang kemungkinan resisten dengan
antibiotik lainnya. Gentamisin tidak memiliki aktifitas terhadap organisme anaerob
(Katzung, 2004). Saat ini gentamisin terutama diterapkan pada infeksi berat (misalnya
sepsis dan pneumonia) yang disebabkan bakteria gram negatif yang cenderung kebal
terhadap obat lain, khususnya pseudomonas, enterobacter, serratia, proteus,
acinetobacter, dan klebsiella (Bartlett, 2001).
Reaksi hipersensitifitas, alergi berupa rash dan demam dapat terjadi namun
jarang pada penderita yang tidak pernah menggunakan gentamisin sebelumnya.
Sensitivitas silang (cross resistence) di antara aminoglikosida juga dapat terjadi. Syok
anafilaktik pernah terjadi namun sangat jarang (AHFS, 2005; Stockley, 1994). Beberapa
reaksi hipersensitivitas terjadi karena adanya sulfat dalam formula sediaan parenteral
(Zairina, 1999).
Efek yang tidak diinginkan yang terjadi pada penggunaan gentamisin adalah
pengaruhnya terhadap vestibular auditori cabang dari nervus ke delapan.
Ototoksisitasnya mempengaruhi kokhlea, manifestasinya adalah hilangnya pendengaran
dan tinnitus yang mungkin permanen, kadang-kadang berupa rasa sakit pada telinga.
Hilangnya pendengaran yang terdeteksi secara klinis hanya terjadi pada < 0,5% penderita
yang mendapat aminoglikosida, namun pada studi audiometrik ditemukan penderita yang
mengalami hilang pendengaran sebanyak 2-12%. Pemantauan audiometrik
direkomendasikan pada penderita yang menerima aminoglikosida lebih dari 7-10 hari.
Pada sistim vestibular, manifestasinya berupa dizziness atau vertigo, ataxia atau
nystagmus. Kerusakan vestibular lebih sering terjadi daripada hilangnya pendengaran
(AHFS., 2005).
Telah diketahui bahwa penggunaan antibiotik untuk penanganan infeksi akan
lebih efektif bila dosis ditentukan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum.
Kemampuan aminoglikosida (kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dan
netilmisin) untuk mengobati infeksi berhubungan dengan level puncak optimum
konsentrasi obat dalam serum. Contoh, lebih dari 90% pasien pneumonia sembuh dengan
pemberian gentamisin pada konsentrasi serum puncak > 8 μg/ml tetapi kurang dari 40%
pasien dapat memberi respons bila konsentrasi obat dalam serum berada di bawah 8
μg/ml (Robinson dan Taylor, 1986). Ini menggambarkan bahwa tidak ada korelasi baik
antara dosis dan efektifitas obat ini tetapi ada korelasi antara kadar dalam darah dengan
efektifitas. Jadi, bila hasil pengobatan dengan dosis standar tidak efektif, perlu dilakukan
pemantauan kadar dalam darah (Gan, 2005).
Ototoksisitas adalah suatu kerusakan pada koklea atau bagian vestibularis yang
diakibatkan oleh paparan bahan kimia (Riggs,1998). Obat-obatan yang berpotensi
menyebabkan reaksi toksisitas terhadap struktur telinga dalam, termasuk kokhlea,
vestibular, kanalis semisirkularis, dan otolit disebut bersifat ototoksik.
Ototoksisitas didefInisikan oleh American Speech-Language-Hearing
Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria
for Adverse Events (CTCAE). ASHA mendefinisikan:

a. Penurunan sebesar 20 dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu
frekuensi
b. Penurunan sebesar 10 dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan.
c. Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali
pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.
CTCAE menentukan derajat ototoksisitas sebagai berikut:
a. Derajat 1 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
15-25 dB dibandingkan nilai dasar, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan,
setidaknya pada satu telinga.
b. Derajat 2 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi
>25-90 dB, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan, setidaknya pada satu telinga
c. Derajat 3 – kehilangan fungsi pendengaran yang memerlukan intervensi terapeutik,
termasuk alat bantu (misalnya, tuli frekuensi > 20 dB bilateral; tuli frekuensi > 30 dB
unilateral)
d. Derajat 4 - indikasi untuk implan koklea. (Edmunds AL, 2006)
II. 5. 1 Farmakokinetik
Aminoglikosida memasuki telinga bagian dalam dengan cepat setelah
pemberian melalui suntikan. Obat ditemukan di telinga bagian dalam beberapa menit
setelah injeksi dan mencapai plateau 30 menit sampai 3 jam setelah pemberian. T½
aminoglikosida di pembuluh darah dicapai sekitar 3–5 jam kemudian, tetapi di cairan
telinga bagian dalam tetap ditemukan berbulan-bulan setelah terapi dihentikan
(Schacht J, 2004). Aminoglikosida tidak mudah diabsorsi dalam pemberian oral,
sangat larut dalam air dan sulit menembus lapisan lipid pada membran sel.
Keadaan basa meningkatkan aktivitas antibakteri, sebaliknya lingkungan asam
(misalnya di lambung) menurunkan aktivitasnya (Chang KW, 2014; Blakley BW,
2004). Aminoglikosida diekskresi melalui ginjal sehingga pada penurunan fungsi
ginjal dosis harus dikurangi atau sebaiknya dihentikan. Golongan obat ini tidak
menembus sawar otak. Aminoglikosida memiliki daya bunuh tergantung konsentrasi
dimana obat membunuh bakteri lebih cepat dan efisien bila diberikan dengan
konsentrasi tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan 1 kali dosis dibanding 2 kali atau 3
kali pemberian dalam sehari (Roland NJ, 2001)
Interaksi aminoglikosida dengan loop diuretic mampu meningkatkan potensi
ototoksisitas dari golongan obat tersebut karena meningkatkan permeabilitas dari
pembuluh darah striae sehingga konsentrasi obat di dalam skala media meningkat.
Dosis tunggal asam etakrinik atau manitol yang diberikan bersamaan dengan
pemberian kanamysin dapat menghasilkan penurunan pendengaran permanen yang
berat (Roland PS, 2009). Toksisitas pada ginjal umumnya reversible karena sel
tubular ginjal dapat berproliferasi dan mengganti sel yang rusak karena
aminoglikosida, tetapi ototoksisitas umumnya terjadi permanen karena sel rambut
telinga bagian dalam tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan sel tubular
ginjal (Pagkalis S,2011). Sifat nefrotoksik dan ototoksik membuat antibiotik yang
termasuk dalam kelas aminoglikosida tidak dianjurkan untuk diberikan kepada ibu
hamil (Mylonas I, 2011)
II. 5. 2 Farmakodinamik
Aminoglikosida merupakan bakterisidal yang bekerja di beberapa bagian sel
bakteri. Pertama, pada bagian kation antibiotik ini berikatan dengan anion di bagian
luar membrane organisme gram negatif sehingga mengganggu integritas dinding sel
bakteri dan menyebabkan fungsi permeabilitas dari dinding sel bakteri menjadi
terganggu. Kedua, aminoglikosida menginhibisi sintesis protein bakteri dengan cara
mengikat subunit ribosom 30S, selanjutnya terjadi kesalahan pembacaan dari kode
genetik dan penghambatan translokasi. Pemanjangan rantai asam amino gagal
terbentuk sehingga bakteri mati (Blakley BW, 2004; Mylonas I, 2011). Kemampuan
antibakteri ini tergantung dari kemampuan aminoglikosida mengganggu sintesis
protein di sel bakteri. Gangguan sintesis protein mempengaruhi turnover protein dan
akhirnya membuat bakteri mati (O’leary S, 2008).

II. 5. 3 Ototoksisitas Aminoglikosida


Ototoksisitas aminoglikosida adalah suatu kecenderungan aminoglikosida, baik
pemberian secara sistemik maupun topikal, yang menyebabkan penurunan fungsi dan
kerusakan seluler di telinga bagian dalam, yaitu koklea, vestibulum atau nervus
vestibulokoklearis (Roland NJ,2001; Iurato S, 2010; Zarandy MM, 2010). Pengaruh
ototoksisitas umumnya terjadi simetris, kecuali pada pemakaian topikal tetes telinga
aminoglikosida ke dalam kavum timpani dimana ototoksisitas yang terjadi unilateral
(Probst R, 2006). Sejumlah faktor yang mempengaruhi ototoksisitas adalah penurunan
fungsi ginjal, dosis tinggi, penggunaan jangka panjang (lebih dari 10 atau 14 hari),
pemberian bersamaan dengan obat ototoksik lainnya, peningkatan serum
aminoglikosida, penderita berumur lebih dari 60 tahun, tuli sensorineural sebelumnya
dan Riwayat ototoksisitas sebelumnya (Iurato S. , 2010; Tange RA, 2007; Fairbanks
DNF, 2007; Zarandy MM, 2010; Shin JJ, 2008; Kisilevsky VE, 2004). Hal ini lebih
jelas terlihat di Tabel 3 di bawah ini yang diolah dari beberapa sumber.

Tabel 3 Faktor Risiko Ototoksisitas Aminoglikosida (Iurato S. , 2010; Tange RA,


2007; Fairbanks DNF, 2007; Zarandy MM, 2010; Shin JJ, 2008; Kisilevsky VE,
2004).
Faktor Resiko Ototoksisitas
Berhubungan dengan obat Pemakaian aminoglikosida > 10 hari
Berhubungan dengan pasien Umur > 60 tahun
Penurunan fungsi ginjal
Genetik
Tuli sensorineural sebelumnya
Riwayat ototoksisitas sebelumnya
Berhubungan dengan dokter Pemakaian bersamaan dengan diuretik atau ototoksik
yang lain
Gagal mendeteksi tanda awal ototoksik
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa pemberian asam etakrinik
bersamaan dengan kanamysin menyebabkan penurunan pendengaran dengan cepat,
sesuai dengan kerusakan ireversibel dari sel rambut di koklea tikus (Liu H, 2011).
Individu dengan defek atau mutasi pada gen di mitokondria 12S rRNA yaitu di
A1555G memiliki kerentanan terhadap ototoksisitas aminoglikosida. Ahli genetika
menemukan bahwa hal ini diturunkan secara eksklusif oleh wanita (Roland NJ, 2001;
Roland PS, , 2009; Tange RA, 2007; O’leary S, 2008; Zarandy MM, 2010; Shen Z, ,
2011). Aminoglikosida menyebabkan disfungsi dari mitokondria penderita yang
memiliki kerentanan sehingga terjadi inhibisi pada translasi, selanjutnya sintesis
protein mitokondria terganggu. Hal ini menyebabkan pengurangan produksi ATP
intraseluler dan penumpukan ion kalsium dan kalium di sitoplasma yang berakhir
dengan kematian sel di koklea (Zarandy MM, 2010). Mutasi ini banyak dilaporkan
terjadi pada keturunan Asia, Arab – Israel, tetapi belum ditemukan pada keturunan
Amerika dan Swiss (Roland PS, 2009; O’leary S, 2008 ; Shen Z, , 2011 )
II. 5. 4 Mekanisme ototoksisistas.
Ototoksisitas yang terjadi pada koklea, vestibuler dan Nervus Auditorius dapat
terjadi karena pemakaian sistemik dan topical (O’leary S, 2008; Zarandy MM, 2010).
Aminoglikosida membentuk kompleks dengan logam transisi seperti besi dan
tembaga, kompleks ini merupakan aktif redoks yang bila bereaksi dengan donor
elektron seperti asam arakidonat akan membentuk reactive oxygen species (ROS) atau
radikal bebas seperti superoksida, radikal hidroksi dan hidrogen peroksida. Reactive
oxygen species bertanggung jawab terhadap kerusakan sel yang disebabkan oleh
Aminoglikosida (Schacht J, 2004; Van de water TR, 2004).
Reactive oxygen species menyebabkan pertahanan antioksidan melemah dan
mengubah keseimbangan glutation. Reactive oxygen species akan mengaktifkan c Jun
N terminal kinase (JNK). C Jun N terminal kinase mempengaruhi transkripsi gen pada
nukleus dan mengaktifkan apoptosis dan nekrosis dari sel rambut koklea. Sel rambut
luar dari koklea lebih sensitif terhadap radikal bebas dibandingkan sel rambut dalam
dan sel penyangga. Sel rambut luar di bagian basal lebih sensitif bila dibandingkan
bagian apex (Schacht J, 2004 ; Wang Q, 2009).
Mekanisme yang terjadi di vestibuler kurang dieksplorasi oleh peneliti, tetapi
diasumsikan mekanisme yang sama terjadi di kedua organ telinga bagian dalam
kurang lebih sama ((Schacht J, 2004). Tetes telinga yang mengandung aminoglikosida
lebih sering dilaporkan menyebabkan toksisitas vestibuler (Roland PS, 2004). Tetes
telinga mencapai telinga bagian dalam melalui beberapa cara, yaitu melewati
membran foramen rotundum, ligamen anular dari stapes, mikrofraktur kongenital atau
didapat, lubang pada kapsul otik dan yang terakhir kemungkinan berasal dari
pengambilan sistemik oleh mukosa telinga tengah ( (Zarandy MM, 2010 ; Prepageran
N, 2004). Tetes telinga topikal yang mengandung neomysin dan gentamisin pada
keadaan membran timpani yang perforasi akan membuat obat tersebut melewati
membran foramen rotundum, yang merupakan point potensial antara telinga tengah
dan telinga dalam dan akhirnya mencapai labirin membranosa (Chang KW., 2014;
Iurato S. , 2010)
Terapi topikal kulit dapat menyebabkan penurunan pendengaran bila bagian
yang diterapi sangat luas karena memungkinkan terjadinya absorbsi sistemik yang
tinggi, misalnya pada luka bakar yang luas dan irigasi luka peritoneal (Fairbanks
DNF, 2007).
II. 5. 5 Patologi.
Penelitian dengan mikroskop membuktikan bahwa kerusakan yang diakibatkan
oleh aminoglikosida terjadi pada sel sensoris organ Corti, krista ampularis dan makula
dari sakulus dan utrikulus. Mikroskop elektron memperlihatkan bahwa kerusakan
terjadi pada barisan pertama dari sel rambut, terutama bagian basal dari koklea dan
neuron ganglion spiral (Roland NJ,2001). Sel rambut luar merupakan bagian yang
paling rentan terkena ototoksisitas, tetapi sel rambut dalam dapat terkena dampak bila
pemberian aminoglikosida dalam dosis tinggi dan pemberian dalam jangka panjang.
Kelompok obat ini terkonsentrasi secara selektif di sel rambut bila berada di ruang
perilimfatik (O’leary S, 2008)
Sel rambut luar organ Corti umumnya yang pertama kali menunjukkan tanda
intoksikasi. Kerusakan bervariasi mulai dari stereosilia yang rusak di permukaan sel
rambut sampai kehilangan seluruh sel rambut, sehingga yang tertinggal hanya sedikit
sel penunjang. Kerusakan parah ditandai dengan menghilangnya sel rambut bagian
dalam dan sel spiral ganglion. Kehilangan sel rambut koklea akan berakibat
degenerasi pada Nervus Auditorius (Roland PS,, 2009).
Neomysin, kanamysin, amikasin, sisomysin dan dihidrostreptomysin merusak
koklea dengan cara merusak sel rambut luar dimulai dari bagian basal dan berlanjut ke
arah apeks koklea (Tange RA, 2007; Zarandy MM, 2010)
Proses ototoksisitas vestibuler dimulai dari kerusakan sel rambut di bagian
apeks krista ampularis. Bila berlanjut maka kehilangan sel rambut menuju reseptor
vestibuler perifer, membran otokonia dan permukaan otolit tidak luput dari kerusakan
(Prepageran N,, 2004). Streptomysin, gentamisin dan tobramysin secara selektif
merusak sel rambut di krista ampularis, tetapi bila diberi dalam dosis tinggi juga
memungkinkan terjadinya kerusakan pada koklea. Sel rambut tipe I di vestibulum
lebih rentan daripada tipe II, krista ampularis lebih sensitif terhadap toksisitas
dibandingkan makula utrikulus dan sakulus (Roland PS,2009).

Gambar A. Normal kupula. B. Kupula, sel rambut tipe I dan II menghilang akibat
ototoksisitas gentamisin pada ampula (Zarandy MM, 2010).

Pada anamnesis didapatkan suara berdenging yang dapat terjadi hilang timbul
pada saat terapi atau bahkan menjadi intens dan persisten pada saat terapi dihentikan.
Penurunan pendengaran mungkin terjadi asimtomatik dan selanjutnya disadari setelah
mengganggu frekuensi percakapan. Hal ini semakin memberat bila obat diteruskan.
Pada pemakaian topikal telinga yang mengandung aminoglikosida, penurunan
pendengaran unilateral lebih mungkin terjadi dan gejala ini tidak seberat pada
manifestasi ototoksisitas vestibuler pada telinga tersebut. Obat yang memengaruhi
fungsi keseimbangan akan menyebabkan gangguan keseimbangan dengan gejala
kepala terasa ringan dan bila melihat obyek jauh terlihat berlompatan pada saat kepala
digerakkan (Roland NJ,2001; Iurato S. , 2010; Roland PS,2009; O’leary S, 2008 ).
Bila aminoglikosida direncanakan untuk diberikan maka fungsi koklea penderita
harus diperiksa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi audiometri nada murni,
otoacoustic emission, tes fungsi vestibuler dan brainstem evoked response audiometry
(BERA) (Probst R, 2006). Pemeriksaan dilakukan terutama pada penderita dengan
risiko tinggi dan penderita yang pekerjaannya sangat terganggu bila terjadi penurunan
fungsi telinga bagian dalam (Roland NJ,2001; Roland PS,2009) Usaha dalam
mendeteksi ototoksisitas aminoglikosida secara dini sangat penting sehingga
kerusakan lebih lanjut dapat dicegah untuk kebaikan penderita (Roland PS,2009)

II. 6 Curcumin
Kunyit adalah tanaman herbal tahunan monokotil yang endemik dan banyak
dijumpai di wilayah tropis dan subtropis termasuk daratan India, Cina bagian Selatan,
Asia Tenggara, Papua Nugini dan Australia bagian Utara. Beberapa spesies kunyit lain
juga ditemukan pada daerah Afrika, Amerika Tengah, dan berbagai pula di daerah
Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. India telah dikenal sebagai
negara penghasil sekaligus pemakai dan pengekspor penting dari kunyit. Nama latin
dari kunyit adalah Curcuma, yang berasal dari bahasa Arab Kourkoum, sebutan untuk
kuma-kuma (saffron) atau rempah kering yang didapat dari putik bunga Crocus sativus
(Trujillo, et al., 2013).
Curcumin ditemukan sekitar dua abad yang lalu oleh Vogel dan Pelletier yang
menggambarkannya sebagai serbuk kristal kuning yang tidak larut pada air. Curcumin
pertama kali diekstrak pada tahun 1815 oleh Vogel. Struktur kimia curcumin dengan
rumus molekul C12H20O6 dilaporkan dan mulai disintesis oleh Milobedeska dan
Lampe dalam beberapa dekade berikutnya dan disebut sebagai diferuloylmethane
(1910). Srinivasan, pada tahun 1953 untuk pertama kalinya menggunakan kromatografi
untuk memisahkan dan mengukur komponen curcumin (Trujillo, et al., 2013; Prasad, et
al., 2014).
Penelitian yang luas terhadap curcumin selama beberapa dekade telah
mengungkapkan manfaat kesehatan dari bahan ini pada era modern. Karakteristik
biologis curcumin mulai diidentifikasi secara ilmiah pada pertengahan abad ke-20.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam Nature pada tahun 1949, Schraufstatter
dan rekannya melaporkan bahwa curcumin adalah senyawa biologis aktif yang
memiliki sifat antibakteri. Para penulis ini menemukan bahwa curcumin berperan aktif
terhadap Staphylococcus aureus, Salmonella paratyphi, Trichophyton gypseum, dan
Mycobacterium tuberculosis. Curcumin juga dilaporkan memiliki aktivitas antijamur
terhadap Candida albicans, Cryptococcus neoformans, Sporothrixschenckii,
Paracoccidioidesbrasiliensis dan Aspergillus spp. (Prasad, et al., 2014).
Curcumin kembali menjadi subyek penelitian ilmiah pada tahun 1970-an.
Selama dekade ini, tiga kelompok independen menemukan beragam karakteristik
curcumin, termasuk aktivitas penurun kolesterol (Patil dan Srinivasan, 1971),
antidiabetik (Srinivasan, 1972), anti-inflamasi (Srimal dan Dhawan, 1973), dan
antioksidan (Sharma, 1976). Ghatak dan Basu (1972) berhasil menunjukkan curcumin
lebih kuat bila dibandingkan dengan hidrokortison dalam menghambat artritis yang
diinduksi formalin pada tikus. Studi ini menunjukkan potensi curcumin sebagai agen
anti-inflamasi (Prasad, et al., 2014).
Pada tingkat molekular, curcumin tidak hanya menginhibisi proliferasi dan
metastasis sel kanker, tapi juga menginduksi apoptosis dengan memodulasi faktor-
faktor pro-inflamasi (seperti, IL-1, IL-1β, IL-12, TNF-α dan INF-γ), faktor-faktor
pertumbuhan (seperti, EGF, HGF dan PDGF), reseptor-reseptor (seperti, EGFR, HER-
2, IL-8R dan FasR), faktor-faktor transkripsi (seperti, STAT3, NF-κB, WT-1, PPAR γ)
dan protein-protein kinase (seperti, ERK, MAPK, PKA, PKB dan PKC) (Trujillo, et al.,
2013; Naksuriya, et al., 2014).
Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Banyak uji
preklinik yang telah berhasil menunjukkan aktivitas anti-inflamasi dan antikanker
curcumin. Curcumin yang tersedia secara komersial terutama terdiri dari campuran
curcumin, yang secara kolektif disebut curcuminoid. Campuran curcumin ini digunakan
dalam penelitian dan uji klinis in vitro dan in vivo (Prasad, et al., 2014).
Dosis optimum curcumin untuk pengobatan suatu penyakit belum jelas. Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah (Aggarwal, et al.,
2012). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa curcumin aman dan tidak toksik
bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah curcumin yang aman dikonsumsi oleh manusia
adalah 100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari (Commandeur dan Vermeulen,
1996).
Curcuminoid pada penelitan oleh Haryuna et al (2013) mampu menurunkan
ekspresi Hsp70, NF-κB, TLR2, TLR4, dan MMP-9 pada fibroblast koklea Rattus
norvegicus. Protein-protein ini dijumpai pada suatu jalur yang mendasari terjadinya
GPAB, melalui degradasi kolagen tipe IV. Melalui studi in vitro diketahui curcumin
juga mampu menginhibisi NFAT melalui penghambatan pensinyalan Ca2+ hingga
menghambat translokasinya ke inti sel pada limfosit T dan otot jantung (Ghosh, et al.,
2010).

Haryuna et al (2015), dalam penelitiaannya menunjukkan bahwa curcumin


adalah agen terapeutik yang aman dan efektif dalam pencegahan dan pengobatan
mampu untuk pencegahan dan pengobatan kerusakan oksidatif pada fibroblas di dalam
jaringan pendukung koklea dan dinding lateral dari paparan kebisingan dengan
memodulasi ungkapan kadar SOD dan CAT Penelitian Haryuna et al (2015), terhadap
efek molekuler curcumionoid, mengindikasikan curcuminoid sebagai agen terapeutik
yang aman dan efektif di dalam pencegahan dan pengobatan kerusakan oksidatif
fibroblast jaringan penyangga dan dinding lateral koklea akibat pajanan bising melalui
penurunan konsentrasi H2O2 dan ekspresi MDA. Serta ditahun 2016, Haryuna et al,
membuktikan bahwa curcumin terbukti berpotensi efektif dalam pencegahan dan
pengobatan kerusakan fibroblas di dalam jaringan pendukung koklea dan lateral
dinding tentang penurunan ekspresi kalsineurin, NFATc1, dan indeks apoptosis
fibroblas koklea.( Haryuna et al, 2015)

II. 7 Otoacoustic Emissions (OAE)


Otoacoustic Emissions (OAE) merupakan skrining pendengaran yang dilakukan
untuk mengetahui fungsi koklea di telinga dalam dan hasilnya merupakan respons
koklea yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Fungsi koklea selain menerima
suara, juga menghasilkan energi akustik. Energi akustik yang dihasilkan berupa suara
dengan intensitas rendah, dapat timbul secara spontan atau merupakan respons terhadap
rangsangan akustik (Campbell et al., 2006 ; Bashirudin et al., 2007).
OAE adalah suatu teknik pemeriksaan koklea yang relatif baru, berdasarkan
prinsip elektrofisiologik yang obyektif, cepat, mudah, otomatis, non invasif, dengan
sensitivitas mendekati 100%. Pemeriksaan OAE dikatakan objektif karena dapat
langsung mengetahui fungsi koklea. Keuntungan lain OAE tidak terbatas pada umur,
bahkan dapat dilakukan pada neonatus, tidak memerlukan waktu lama, tersedia alat
portable. Kelemahannya dipengaruhi oleh bising lingkungan, kondisi telinga luar dan
tengah, kegagalannya pada 24 jam pertama kelahiran cukup tinggi, serta harga alat
relatif mahal (Campbell et al., 2006).
OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar
yang tiba di sel-sel rambut luar (outer hair cells/ OHC’s ) koklea. Telah diketahui
bahwa koklea berperan sebagai organ sensor bunyi dari dunia luar. Di dalam koklea
bunyi akan dipilah-pilah berdasarkan frekuensi masingmasing, setelah proses ini maka
bunyi akan diteruskan ke sistem saraf pendengaran dan batang otak untuk selanjutnya
dikirim ke otak sehingga bunyi tersebut dapat dipersepsikan (Doosti, et al., 2014).
Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan probe ke dalam liang
telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara (loudspeaker)
yang berfungsi memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi menangkap suara yang
dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Sumbat telinga dihubungkan dengan
komputer untuk mencatat respon yang timbul dari koklea (Hall & James, 2009).
Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke liang
telinga melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip)
yang ukurannya dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga, menggetarkan gendang
telinga, selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi
mencapai sel-sel rambut luar koklea yang sehat, sel-sel rambut luar akan memberikan
respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke arah luar (echo)
menuju telinga tengah dan liang telinga (gambar 5). Emisi akustik yang tiba di liang
telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang juga berada dalam insert probe,
selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya dapat ditampilkan pada layar
monitor mesin OAE (Hall & James, 2009 ; Rundjan et al., 2005).

Gambar 2.5 Ilustrasi Pengukuran DPOAE (Hall & James, 2009)

Analisa gelombang OAE dilakukan berdasarkan perhitungan statistic yang


menggunakan program komputer. Hasil pemeriksaan disajikan berdasarkan ketentuan
pass-refer kriteria, maksudnya pass bila terdapat gelombang OAE dan refer bila tidak
ditemukan gelombang OAE. Pemeriksaan OAE dapat dilakukan di ruang biasa yang
cukup tenang sehingga tidak memerlukan ruang kedap suara (sound proof room). Juga
tidak memerlukan obat penenang (sedatif) asalkan bayi/ anak tidakterlalu banyak
bergerak (Rundjan, et al., 2005 ; Suwento, et al.,2007)
Distortion product otoacoustic emmisions (DPOAEs) adalah jenis emisi yang
dapat digunakan untuk menilai kelainan sel rambut luar pada koklea dengan frekuensi
yang spesifik. DPOAEs merupakan reaksi telinga dalam terhadap dua ransangan nada
murni (primer f1 dan f2) yang menyebabkan serangkaian produk distorsi yang umum.
Dua komponen dari DPOAEs adalah (1) komponen distorsi yang dihasilkan di tempat
f2 dan (2) komponen refleksi yang dihasilkan di tempat 2f1-f2 (Attias, et al., 2001 ;
Doosti, et al., 2014).
Otoacoustic emission (OAE) merupakan produk akustik dari gerakan sel
rambut luar koklea. Otoacoustic emission lebih sensitif dalam mendeteksi disfungsi
auditori daripada audiometri nada murni frekuensi tinggi selama terapi. Ada dua
macam OAE yaitu transient evoked otoacoustic emission (TEOAE) dan distortion
product otoacoustic emission (DPOAE). Distortion product otoacoustic emission lebih
sensitif daripada TEOAE, karena DPOAE dapat mendeteksi lesi kecil di sepanjang
organ Corti atau mendeteksi perubahan aktivitas sel rambut luar sebelum lesi cukup
besar untuk dideteksi dengan audiometric (Roland PS, 2009; O’leary S, 2008;
Campbell KCM, 2004). Tes ini relative terjangkau, cepat, objektif, praktis dan tidak
membutuhkan ruang kedap suara, sehingga menjadikan tes ini sangat berguna, bahkan
dalam mendeteksi ototoksisitas pada pasien yang tidak dapat memberikan respon
subjektif yang dapat dipercaya (O’leary S, 2008).
DPOAEs dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat digunakan
untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi daripada TEOAE. DPOAEs dapat
digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat obat-obat ototoksik dan akibat
bising (Campbell, 2006).
II.8 Kerangka Teori

ROS
INJEKSI Mitochondria Stress Kinases
GENTAMICIN

Cyto C
Bcl-2
Bcl-Xl

Bax
Bak
BCL-Xs Caspase-9
FIBROBLAS Bid
Bam
Bim
Caspase-3

FIBROBLAS
(APOPTOSIS Sel
II. 9 Kerangka Konsep Rambut Luar
Kokhlea)

Ototoksisitas
Kerusakan Sel Gentamicin dapat
Injeksi
Rambut Luar Kokhlea
Gentamicin dicegah dan
(ototoksik)
diobati

Curcumin DPOAE

Keterangan :
Variabel bebas

Variabel kontrol

Variabel terikat

Variabel antara
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental, yang dipilih
karena baik sampel maupun perlakuan lebih terkendali, terukur dan pengaruh perlakuan
dapat lebih dipercaya. Rancangan penelitian menggunakan randomized pre dan post
test experimental design untuk mengetahui efek curcumin dalam mencegah dan
mengobati kerusakan sel rambut luar koklea terhadap efek ototoksik dari gentamicin
dengan menilai dan membandingkan fungsi sel rambut luar kokhlea melalui
pemeriksaan Distortion Product Otoacoustic Emmisions (DPOAEs) pada unit
eksperimen dengan pengukuran variabel yang dilakukan sebelum dan setelah
pemberian perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dan ada kontrol
sebagai pembanding.
Pengelompokan subyek penelitian digambarkan sebagai berikut:

P0 (Tanpa perlakuan =
K1 (Kelompok 1)
kontrol )

R P1 (Perlakuan 1) K2 (Kelompok 2)

SUBJEK
P2 (Perlakuan 2) K3 (Kelompok 3)

P3 (Perlakuan 3) K4 (Kelompok 4)

Keterangan :
R : Randomisasi.
K1 : Kelompok kontrol tanpa pajanan bising dan tanpa curcumin.
K2 : Kelompok dengan pemberian gentamicin dan tanpa pemberian curcumin.
K3 : Kelompok dengan pemberian gentamicin sekaligus pemberian curcumin selama 5
hari
K4 : Kelompok dengan pemberian gentamicin sekaligus pemberian curcumin selama 7
hari

III.2 Tempat dan Waktu Penelitian


III.2.1 Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium terstandarisasi dan mempunyai
peralatan lengkap serta pengalaman yang memadai dalam pemeliharaan hewan
coba. Pemeliharaan, perlakuan dan pengukuran pada hewan coba dilakukan di
Laboratorium hewan coba
III.2.3 Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan April 2021 – September 2021.

III.3 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel


Sampel penelitian dipilih marmut karena mempunyai kemiripan struktur telinga
dalam dengan manusia. Marmut telah digunakan sebagai model hewan coba untuk
penelitian penyakit ketulian genetik manusia dan terbukti bermanfaat dalam membantu
mengidentifikasi gen yang sesuai pada manusia yang berperan dalam perkembangan
sistem auditorius. Melalui identifikasi genetik dan sekuensnya, tikus dikatakan
homolog >70% dengan manusia (Vazques, et al., 2001; Haryuna, 2013).
Marmut jenis kelamin jantan, kondisi sehat, umur dewasa (2-3 bulan). Diambil
dengan berat badan antara 150-250 gram dengan alasan perubahan berat selama
penelitian relatif kecil (Hume, et al.,1977).
Sampel diambil dengan cara simple random sampling dan dibagi menjadi
kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan. Pada penelitian ini terdapat
tiga kelompok perlakuan yang masing-masing menggunakan enam ekor marmut,
sehingga jumlah total marmut yang digunakan adalah 24. Kelompok kontrol negatif
hanya diberi pakan dan minum ad libitum selama 14 hari, kelompok kontrol positif
diberikan gentamisin 120mg/kgBB intraperitoneal 14 hari dengan pakan dan minum ad
libitum sedangkan kelompok perlakuan diberikan gentamisin intraperitoneal
120mg/kgBB 5 hari disertain pemberian ekstrak kunyit 100mg/kgBB peroral dimulai
dari hari ke-5 selama 14 hari.

III.4 Perkiraan Besar Sampel


Besar sampel ditentukan berdasarkan jumlah ulangan yang dianggap telah
cukup baik (Federer, 1955), dengan rumus sebagai berikut:
(k-1) (r-1) ≥ 15

Keterangan:
k = jumlah kelompok subyek penelitian (k = 4)
r = jumlah ulangan
Perhitungan:
(4-1) (r-1) ≥ 15
3r – 3 ≥ 15
3r ≥ 18
r≥6
Berdasarkan hasil penghitungan r (ulangan) minimal sama dengan 6 kali, maka
ditetapkan ulangan tiap kelompok 6.
r = 6; n = r x k; n = 6 x 4 = 24
ditetapkan besar sampel secara keseluruhan yaitu minimal 24 ekor marmut.

III.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Sebelum mendapatkan perlakuan penelitian, dilakukan skrining dengan
beberapa kriteria, yaitu:
III.5.1 Kriteria inklusi:
a. Hewan coba berusia 2-3 bulan
b. Jenis kelamin jantan
c. Berat badan 150-250 gram.
III.5.2 Kriteria eksklusi:
a. Hewan dinyatakan oleh dokter hewan konsultan terbukti berpenyakit, baik
penyakit menular atau tidak menular atau cedera fisik atau berpotensi
menularkan penyakit dalam kurun waktu evaluasi klinis di dalam kondisi
lingkungan yang sesuai (selama 14 x 24 jam).
b. Hewan terdeteksi memiliki kelainan bawaan yang dinyatakan oleh dokter
hewan konsultan.
c. Hewan berperilaku agresif, dalam pengamatan sering menyerang anggota
kelompok lain.

Setelah didapatkan sampel yang homogen melalui skrining dengan kriteria


inklusi dan eksklusi di atas, dilakukan pembagian kelompok sampel yang homogen
secara alokasi random sehingga setiap anggota sampel mempunyai kesempatan sama
untuk menempati kelompoknya.
Penelitian berlangsung dengan prosedur perlakuan hewan secara benar ditinjau
dari prinsip 3R (Reduction, Replacement, Refinement) serta prinsip 5F (Freedom from
Hunger and Thirst, Freedom from Discomfort, Freedom from Pain, Injury or Disease,
Freedom to Express Normal Behaviour, Freedom from Fear and Distress) (FAO, 2011)
dan diberlakukan kriteria Putus Uji apabila subyek penelitian mengalami sakit atau
kematian sehingga tidak bisa memenuhi prosedur penelitian yang membutuhkan waktu
selama 2 minggu.
Selanjutnya hewan coba dianestesi untuk dilakukan pengukuran DPOAE, yang
kemudian dianalisis efek pemberian curcumin terhadap kerusakan sel rambut luar
koklea.

III.6 Izin Penelitian dan Ethical Clearance


Dalam pelaksanaan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan atas izin dan
sepengetahuan Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

III.7 Alat dan Bahan Penelitian


III.7.1 Hewan coba yang dikenai perlakuan
Marmut yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan dibagi dalam
beberapa kelompok sesuai hasil randomisasi. Selama proses percobaan akan
dilakukan:
1. Pengawasan dan pengamatan yang meliputi:
a. Perilaku makan/minum, kondisi mental dan psikis, kewaspadaan dan
tanda klinis penting (berat badan, suhu tubuh, pola nafas, perdarahan,
diare, mual, muntah dan sebagainya) yang dapat digunakan untuk
memantau kesehatan tikus.
b. Masing-masing kelompok perlakuan dipelihara dalam kandang yang
berbeda.
c. Kondisi lingkungan: suhu, kelembaban dan kondisi kandang yang lain
seperti: ventilasi, kebisingan, polusi, banjir dan sebagainya.
d. Persediaan makanan: kecukupan makanan sesuai standar untuk marmot.
Minuman diberikan ad libitum (secukupnya) berupa air dalam kemasan
(aqua).
e. Pengamatan efek samping dan komplikasi setelah pemberian materi
penelitian pada marmut meliputi perilaku hewan (perilaku makan/minum,
kondisi mental dan psikis, kewaspadaan dan sebagainya).

2. Pengamatan hewan agar tidak mengganggu lingkungan sekitar:


a. Lokasi kandang: kandang ditempatkan pada kondisi yang tidak akan
mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.
b. Limbah hewan: limbah hewan (sisa makanan, kotoran, jasad hewan
setelah dilakukan terminasi dan sisa jaringan) dikelola sesuai dengan
standar yang berlaku (dilakukan dekontaminasi dan insinerasi) agar tidak
menimbulkan polusi.
c. Pengawas: pengelolaan kandang dan limbah hewan dilakukan oleh tenaga
yang berpengalaman dan terlatih dari Laboratorium hewan coba.
III.7.2 Bahan perlakuan
a. Gentamisin
Dosis 40mg/ml sebanyak 0,1 cc hanya untuk satu kali pemberian.
b. Curcuminoid
Curcuminoid diberikan dengan dosis 100mg/kgbb.
c. Ketamine 100mg/kg.
III.7.3 Alat yang digunakan
Alat yang digunakan adalah alat Otoread, merk GSI, Grason Stadler Tipe Corti
made in USA.
III.8 Cara Kerja Penelitian
III.8.1 Tahap persiapan
Untuk menjamin bahwa semua prosedur yang dilakukan pada penelitian
ini laik etik, maka sebelum dilakukan penelitian proposal diajukan terlebih
dahulu pada komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin untuk
mendapatkan penilaian dan pengesahan kelaikan etik.
III.8.2 Prosedur Pengukuran Gentamisin
Gentamisin 40mg/ml diambil sebanyak 0,1 cc menggunakan spuit 28G
berukuran 1 cc.
III.8.3 Prosedur penyuntikan gentamisin
Marmut dianastesi terlebih dahulu memakai xylazine 7,5 mg/kg
(Interchemie, Holland) dan ketamine 100 mg/kg (Pfizer) yang diinjeksikan
intraperitoneal yang durasinya sekitar 60-80 menit. Setelah tenang, gentamisin
sebanyak 0,1 cc diinjeksikan ke intraperitoneal.

III.8.4 Prosedur pemberian curcuminoid


Curcuminoid sebanyak 100mg/kg berat badan disuspensikan dalam
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 0.5% (CMC dibuat dengan mensuspensikan
0.5 gram CMC dalam 100 cc larutan akuades). Setelah disuspensikan, diberikan
langsung ke lambung tikus dengan menggunakan Naso Gastric Tube (NGT).
III.8.5 Perlakuan pada marmut
Setelah marmut beradaptasi terhadap lingkungan kandang di
laboratorium selama 2 minggu, selanjutnya perlakuan diberikan sesuai dengan
kelompok yang direncanakan.
III.8.6 Prosedur pemeriksaan DPOAEs
Pemeriksaan DPOAEs dilakukan pada setiap kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan, baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan.
Sebelumnya pemeriksaan liang telinga hewan coba dipastikan bersih dan tidak
ada kelainan lainnya, probe dibuat dan dimodifikasi sesuai dengan ukuran liang
telinga Marmut. Sebelum pemeriksaan DPOAEs, marmut di anestesi dengan
Ketamine hydrochloride dengan dosis 50 mg/kg yang dinjeksikan peritoneal.
III.9 Identifikasi Variabel
a. Variabel bebas: Injeksi gentamicin dan Curcumin
b. Variabel terikat: Ototoksisitas gentamicin
c. Variabel control: DPOAE
d. Variabel antara: Kerusakan sel rambut luar kokhlea
III.10 Definisi Operasional
a. Gentamisin adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Micromonosphora purpurea. Obat ini aktif terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif. Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5
ml; 80 mg/2ml; 120 mg/3ml; dan 280 mg/2ml
b. Ototoksisitas adalah suatu kerusakan pada koklea atau bagian vestibularis yang
diakibatkan oleh paparan bahan kimia
c. Curcumin adalah agen terapeutik yang aman dan efektif dalam pencegahan dan
pengobatan mampu untuk pencegahan dan pengobatan kerusakan oksidatif pada
fibroblas di dalam jaringan pendukung koklea dan dinding lateral
d. Otoacoustic Emissions (OAE) merupakan skrining pendengaran yang dilakukan
untuk mengetahui fungsi koklea di telinga dalam dan hasilnya merupakan respons
koklea yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik
III.11 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian, dikelompokkan sesuai dengan tujuan
dan jenis data, kemudian dipilih metode statistik yang sesuai, dan diolah dengan
menggunakan program statistik kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
yang disertai penjelasan.

III.12 Alur Penelitian


Populasi Hewan

Randomisasi

Kelompok 2
Injeksi Kelompok 4
Kelompok 3 Injeksi
Kelompok 1 Gentamicin Injeksi Gentamicin
kontrol 120mg/kgBB Gentamicin
120mg/kgBB 120mg/kgBB
intraperitoneal intraperitoneal
tanpa curcuma intraperitoneal
dengan curcuma dengan curcuma
20mg/hari selama 20mg/hari selama
5 hari 7 hari
DPOAE hari 1 DPOAE hari 1
DPOAE hari 5 DPOAE hari 5
DPOAE hari 7 DPOAE hari 7
DPOAE hari 14 DPOAE hari 14
DPOAE hari 1 DPOAE hari 1
DPOAE hari 5 DPOAE hari 5
DPOAE hari 7 DPOAE hari 7
DPOAE hari 14 DPOAE hari 14

DAFTAR PUSTAKA

1. Aggarwal, B.B, Bhatt I.D, Ichikawa H., Ahn KS, Sethi G., Sandur S.K., Natarajan, C.,
Seeram, N., Shishodia, S.. Curcumin biological and medicinal properties. In :
Ravindran, P.N. , Sivaraman, K. And Babu, K.N., eds. Tumeric : The Genus
Curcuma. Medicinal and Aromatic Plants – Industrial Profiles. CRC Press, Boca
Raton, 2012; 297-368.
2. Attias, J. et al., 1998. Evaluating noise induced hearing loss with distortion product
otoacoustic emissions. British journal of audiology, 32(1), pp. 39–46. doi:
10.3109/03005364000000049.
3. Awdishu, L dan Mehta, RL. The 6R’s of Drug Induced Nephrotoxicity. Biomed
Central Nephrology. 2017,Vol 18:124
4. Bansal M., Diseases of Ear, Nose and Throat, Edisi Pertama, 2013.
5. Bartlett, J.G. (2001). Pedoman Terapi Penyakit Infeksi. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran. Hal: 291-300
6. Bashiruddin J dan Indro S. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced
Hearing Loss). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan
Leher Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
7. Bashiruddin, J. 2009. Program konservasi pendengaran pada pekerja yang terpajan
bising industri. Dalam: Maj ked okt indon, pp.14-19.
8. Blakley BW. Intratympanic gentamicin in the treatment of meniere’s disease. In:
Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 191-
5.
9. Campbell KCM. Audiologic monitoring for ototoxicity. In: Roland PS, Rutka JA, eds.
Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 153-7.
10. Campbell, K.C.M., 2016. Otoacoustic Emissions Diakses
melalui :http://www.emedicine.medscape.com/article/835943-overview
11. Chang KW. Ototoxicity. In: Johnson JT, Rosen CA, Newlands S, Amin M,
Branstetter B, Casselbrant M, et al, eds. Bailey’s head and neck surgery–
otolaryngology. 5th ed. Vol 2. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2014. p.
2542-8.
12. Ciuman Raphael R, 2013. Inner ear symptoms and disease: otorhinolaryngology head
and neck surgery. 17th ed. Connecticut: BC decker Inc; 2009. p. 273-6.
13.
14. Commandeur, J.N. and Vermeulen, N.P. 1996.Cytotoxicity and
cytoprotectiveactivities of natural compounds.The case of curcumin. Xenobiotica,
26,pp.667-80.
15. Dhingra, P. (2008) Anatomy of ear in diseases of ear, nose, and throat, Reed Elsevier
India.
16. Doosti, A. et al., 2014. Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) as an
Appropriate Tool in Assessment of Otoprotective Effects of Antioxidants in Noise-
Induced Hearing Loss (NIHL), Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck
Surgery, 66(3), pp. 325–329. doi: 10.1007/s12070-014-0721-7.
17. Dutta S, Padhye S, Priyadarsini K, Newton C. Antioxidant and antiproliferative
activity of curcumin semicarbazone. Bioorg Med Chem Lett. 2005;2738–44.
18. Edmunds AL. 2006. Inner Ear Ototoxicity. Available at:
http://www/emedicine.com/emedicine_specialities.html.
19. Eryani YM, et al. Faktor Risiko Terjadinya Gangguan Pendengaran Akibat Bising.
Lampung : Medula, Volume 7, No. 4. 2017.
20. Espmark AK, Rosenhall U, Erlandsson S SB. The two faces of presbyacusis: hearing
impairment and psychosocial consequences. Int J Audiol. 2002;4:125–35.
21. Fairbanks DNF. Ototoxicity, prevention and monitoring. In: Fairbanks DNF, ed.
Pocket guide to antimicrobial therapy in otolaryngology – head and neck surgery.
13th ed. Alexandria: American Academy of Otolaryngology-Neck Surgery
Foundation; 2007. p. 73- 6.
22. Feinstein DL, Spagnolo A, Akar C, Weinberg G, Murphy P G V. Receptor-
independent actions of PPAR thiazolidinedione agonists: is mito- chondrial function
the key? Biochem Pharmacol. 2005;177–88.
23. Forge A, Schacht J. Aminoglycoside Antibiotics. Audiol Neurotol. 2000;5(1):3–22.
24. Ganiswara, S.G. (2005). Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK UI. Edisi
4. Jakarta. Hal: 661-674
25. Ghodsian NF. Genetic factors in aminoglycoside ototoxicity. In: Roland PS, Rutka
JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 144-9.
26. Ghosh, S.S., Salloum, F.N., Abbate, A., Krieg, R., Sica, D.A., Gehr, T.W. and
Kukreja, R.C., 2010. Curcumin prevents cardiac remodeling secondary to chronic
renal failure. Am J Physiol Heart Circ Physiol, 299, pp.975–84.
27. Gillespie, P.G., 2006. Hair cell function. In: Water TRVD, Staecker H, eds., 2006.
Otolaryngology basic science and clinical review. New York : Thieme, pp.332-338.
28. Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2006. The sense of hearing. In Guyton AC, Hall JE, eds.
Textbook of medical physiology. 11th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders, pp. 652-
657.
29. Hall J. W. 2009. A Guide to Otoacoustic Emissions (OAE) for Physicians.
Minnesota : Maico Diagnostics.
30. Hardman JG, Limbird LE. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi. 10th ed.
Jakarta: EGC; 2012.
31. Haryuna, T.S.H., 2013. Pengaruh Curcuminoid terhadap Pajanan Bising yang
Ditinjau dari Ekspresi HSP-70, NF-κB, TLR-2, TLR-4, MMP-9 dan Kolagen Tipe IV
pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus (Studi Eksprerimental Laboratorik Ex
Vivo). [Disertasi] Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran. Universitas Sumatera
Utara.
32. Huth, M. E., Ricci, A. J. andCheng, A.G. 2011. Mechanisms of aminoglycoside
ototoxicity and targets of hair cell Protection. International Journal of
Otolaryngology, pp.1-19.
33. Indro Soetirto dkk, Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Teling, Hidung, Tenggorok, Kepala dan leher. Edisi 7 Jakarta: FKUI ;
2012
34. Iurato S. Ototoxicity. In: European manual of medicine in otorhinolaryngology-head
and neck surgery. 1st ed. Berlin: Springer; 2010. p. 129-30
35. Katzung, Bertram G. Basic & Clinical Pharmacology 14th Edition. McGraw Hill
Education. New York. 2018.
36. Katzung, G.B. (2004). Basic and Clinical Pharmacology. Edisi 9. Singapore:
Mc.Graw Hill. Hal: 635-640, 686-693
37. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik.. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 1 p.
38. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan : Situasi
Penyandang Disabilitas. Jakarta; 2014. 8-17 p.
39. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan : Penyakit
Tidak Menular. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2012. p. 14.
40. Kisilevsky VE, Tomlinson RD, Ranalli PJ, Prepageran N. Monitoring vestibular
toxicity. In: Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc;
2004: p. 161-8.
41. Liston S.L. dan Duvall A.J. 1997. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. Dalam:
Adams, GL, Boeis, LR dan Highler, PA. Boeis Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta:
EGC, pp.27-45.
42. Liu H, Ding D, Jiang H, Wu X, Salvi R, Sun H. Ototoxic destruction by co-
administration of kanamycin and ethacrynic acid in rats. Journal of Zhejiang
University-Science b (biomedicine & biotechnology) 2011; 12(10):853-61.
43. Lonsbury, M., Martin, B.L. and Luebke, G.K., 2003. Physiology of the auditory and
vestibular systems. In: Snow JB, Ballenger JJ, eds. Ballenger otorhinolaryngology
head & neck Surgery.16th ed. Hamilton : BC Decker, pp. 75-81.
44. Moller, A.R., 2006. Physiology of the ear and the auditory nervous system. In:
Jackler, R.K., Brackmann, D.E., eds. Neurootology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier
Mosby, pp. 52-57.
45. Moon, S.K., Woo, J.I., Lee, H.Y., Park, R., Shimada, J., Pan, H., Gellibolian, R. and
Lim, D.J., 2007, Toll-like receptor-2 dependent NF-kB activation is involved non
typeable Haemophilua influenzainduced monocyte chemotactic protein-1 up-
regulation in the spiral ligament fibrocyte in the inner ear. Infection and Immunity,
vol.75, no.7, pp. 3361-72.
46. Moore et al. Essential Clinical Anatomy, 5th Edition, 2015 Wolters Kluwer Health
47. Mylonas I. Antibiotic chemotherapy during pregnancy and lactation period: aspects
for consideration. Archieve Gynecology Obstetric 2011: 287:7-18.
48. Nagashima, R., Sugiyama, C., Yoneyama, M. and Ogita, K., 2005. Transcriptional
factors in the kokhlea within the inner ear. Journal of Pharmacological Science, 99,
pp. 301-306.
49. Naksuriya, O., Okonogi, S., Schiffelers, R.M. and Hennink, W.E., (2014). Curcumin
nanoformulations: A review of pharmaceutical properties and preclinical studies and
clinical data related to cancer treatment. Biomaterials, 35, pp.3365-83.
50. Nassiri, P., Zare S., Esmail M.R.M., Pourbakhti A, Azam K, Golmohammadi T 2016.
„Assessment of the Effects of Different Sound Pressure Levels on Distortion Product
Otoacoustic Emissions ( DPOAEs ) in Rats, pp. 93–99.
51. O’leary S. Ototoxicity. In: Gleeson M, Browning G, Burha MJ, Clarke R, Hibbert J,
Jones NS, et al, eds. Scott-brown’s otorhinolaryngology head & neck surgery. 7th ed.
London: Edward Arnold Ltd; 2008. p. 3567-73.
52. Oghalai J.S. and Brownell W.E. 2008. Anatomy and physiology of the ear. In:
Lalwani, A.K. Current Diagnosis dan Treatment in Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. New York: McGraw-Hill Company, pp.577-95.
53. Pagkalis S, Mantadakis E, Mavros MN, Ammari C, Falagas ME. Pharmacological
considerations for the proper clinical use of aminoglycosides. Drugs 2011; 71
(17):2277-94.
54. Pawlowsky, K.S., 2004. Anatomy and physiology of the cochlea. In: Roland PS,
Rutka JA,eds. Ototoxicity. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 1-15.
55. Prasad, S., Gupta, S.C., Tyagi, A.K. and Aggarwal, B.B. 2014. Curcumin, a
component of golden spice: Frombedside to bench and back. Biotechnology
Advances, 32, pp.1053-64.
56. Prepageran N, Kisilevsky V, Rutka JA. Topical aminoglycoside vestibular toxicity.
In: Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p.
121-6
57. Probst R. Inner ear and retrocochlear disorder. In: Probst R, Grevers G, Iro H, eds.
Basic otorhinolaryngology, a step-by-step learning guide. New York: Thieme; 2006.
p. 2634.
58. Probst, R., Grevers, G. and Iro, H., 2006. Basic Otorhinolaryngology. Newyork :
Georg Thieme Verlagg Stuttgart, pp.172-176 ; 260-262.
59. Purba ER, Martosupono M. Kurkumin sebagai antioksidan. Pros Semin Nas Sains dan
Pendidik Sains IV. 2009;(3):607–21.
60. Redemaker JM, et al, 2006, Relationship Between Cisplatin Administration and the
Development of Ototoxicity. In Journal of Clinical Oncology. Vol 24. No. 6.pp. 918-
924.
61. Riggs LC, 1998, Ototoxicity. In Bailey BJ. Head & Neck surgery-Otolaryngology.
Second Edition. Philadelphia. Lippincott Raven. Pp 2165-2168.
62. Robinson, D. and Taylor, W. (1986). Interpretation of Serum Drug Concentrations.
Dalam: A Text Book For The Clinical Application of Therapeutic Drug Monitoring.
ed Taylor W.J. Texas: Abbott Laboratories. Hal: 32
63. Roland NJ, Mcrae RDR, Mccombe AW. Ototoxicity. In: Roland NJ, Mcrae RDR,
Mccombe AW, eds. Key topics in otolaryngology and head and neck surgery. 2nd ed.
Oxford: Bios scientific publishers Ltd; 2001. p. 229-30.
64. Roland PS, Pawlowski KS. Ototoxicity. In: Wackym PA, Snow JBS, eds. Ballenger’s
Otorhin olaryngology head and neck surgery. 17th ed. Connecticut: BC decker Inc;
2009. p. 273-6.
65. Roland PS, Wright CG. Topical aminoglycoside cochlear ototoxicity. In: Roland PS,
Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 114-9.
66. Rundjan, L., Amir, I., Suwento, R. dan Mangunatmadja, I., 2005. Skrining Gangguan
Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri, 6(4), pp.149-54.
67. Rybak L. Annual Review of Pharmacology and Toxicology. 2006;(Drug
Ototoxicity):79–99.
68. Sari I P, Nurrochmad A and Rahayu S, 2016. Evaluation of Anti-Fertility Effect of
Aqueous Extract of Costus speciosus (Koen) J.E Smith Rhizome in Mice.
International Conference on Phatmacy and Advanced Pharmaceutical Sciences. 8(5),
pp. 440-444.
69. Schacht J. Mechanisms for aminoglycoside ototoxicity: basic science research. In:
Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 93-8.
70. Setyaningsih D, et al., 2016. A Novel Reversed Phase high Performance Liquid
Chromatography Method to Accurately Determine Low Concentrations of Curcumin
in Rat Plasma. International Conference on Pharmacy and Advanced Pharmaceutical
Sciences. 8(5), pp. 377-386.
71. Shen Z, Zheng J, Peng G, Zhang T, Gong S, Zhu Y, et al. Frequency and spectrum of
mitochondrial 12S rRNA variants in 440 han chinese hearing impaired pediatric
subjects from two otology clinics. Journal of Translational Medicine 2011; 9:15-21.
72. Sherwood L. 2006. Telinga : Pendengaran dan Keseimbangan. Dalam Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC.
73. Shier, D., 2005. Somatic and special senses. In: Shier D, Butler J, Lewis R, eds.
Hole’s essential of human antomy and physiology. 9th ed . Columbus : Mc Graw Hill,
pp. 468-478.
74. Shin JJ, Lin MY, Rauch SD. Ototopical neomycin: impact on post- treament hearing.
In: Shin JJ, Hartnick CJ, Randolph GW, eds. Evidence-based otolaryngology. 1st ed.
New York: Springer; 2008. p. 259-61.
75. Stockley, I.H. (1994). Drug Interactions a Source Book of Adverse Interaction, Their
Mechanisms, Clinical Importance and Management Adverse Interaction, third edition,
England
76. Suwento, R. 2007. Standar pelayanan kesehatan indera pendengaran di
puskesmas.Tersedia http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=
77. Tange RA. Ototoxicity. In: Dhingra PL, ed. Disease of ear, nose and throat. 4th ed.
India: Elsevier; 2007. p. 34-5.
78. Tortora J. Principles of Anatomy and Physiology 15th Edition 2017. Wiley
79. Tortora, GJ., Principles of Anatomy and Physiology, Edisi ke-13, 2012. Hlm 658-664
80. Trujillo, J, Chirino, Y, I, Moliana-Jijon, E, Anderica-Romero, A C, Tapia, E T,
Pedraza-Chaverri, J. 2013. Renoprotective effect of the antioxidant curcumin: recent
findings. Redox Biology. 1(1):448- 456
81. Van de water TR, Rybak LP. Ototoxic damage to hearing: otoprotective therapies. In:
Roland PS, Rutka JA, eds. Ototoxicity. 1st ed. London: BC Decker Inc; 2004. p. 170
8.
82. Vazquez, A.E., Luebke, A.E., Martin, G.K., 2001. Temporary and Permanent Noise
Induced Changes in Distortion Product Otoacoustic Emissions in CBA/CaJ mice,
Elsevier Hearing Research, 156(3), pp. 31-43
83. Wang Q, Steyger PS. Trafficking of systemic fluorescent gentamicin into the cochlea
and hair cells. Journal of the Association for Research in Otolaryngology 2009;
10:205-19.
84. Wargo, Kurt A dan Edwards, Jonathan D. Aminoglycosides-Induced Nephrotoxicity.
Journal of Pharmacy Practice. 2014, Vol 27:573-577.
85. Zairina, N. (1999). Pemantauan Efektivitas Profilaksis dengan Pemberian Gentamisin
Intra Vena Bolus Multiple Dose. Tesis. Program Pendidikan Apoteker Spesialis-1
Farmasi Rumah Sakit. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
86. Zarandy MM, Rutka J. Ototoxicity. In: Zarandy MM, Rutka J, eds. Diseases of the
inner ear: a clinical, radiologic & pathologic atlas. 1st ed. Berlin: Springer; 2010. p.
85-8.
87. Zhou Hongyu, Beevers Christopher S and Huang Shile, 2011. Targets of curcumin.
Curr Drug Targets. 12(3), pp. 332-347.

Anda mungkin juga menyukai