Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
2021
A. Pemikiran Klasik
a) Empirisme
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulsi
eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak
tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman
yang diproleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang
berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh
orang dewasa dalam bentuk pendidikan. Tokoh perintisnya adalah John Locke filsuf
Inggris (1704-1932) yang mengungkapkan teori tabula rasa, yakni anak lahir di dunia
bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan
akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak.
Menurut pandangan empirisme (biasa pula disebut environmentalisme) pendidik
memegang peranan yang sangat penting sebab dalam perkembangan anak menjadi
manusia dewasa ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman
yang diterimanya sejak kecil. Manusia-manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah
yang baik maupun kearah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya.
Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme
pedagogis. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah
empirisme di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh
melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata,
lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai
dengan pengalaman manusia.
Aliran empirisme di pandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang di bawa
anak sejak lahir di anggap tidak menentukan, menurut kenyataan dalam kehidupan
sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya
tidak mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal
dari dalam diri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan
lingkungan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam
dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat
yang memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat diubah, umpamanya
melalui modifikasi tingkah laku. Hal itu tercermin pada pandangan scientific psycology
Skinner ataupun dengan behavioral. Behaviorisme itu menjadikan prilaku manusia
tampak keluar sebagai sasaran kajianya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu
terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Meskipun demikian, pandangan-pandangan
behavioral ini juga masih bervariasi dalam menentukan faktor apakah yang paling utama
dalam proses belajar itu adalah Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dan
imitasi, Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari sesuatu
perilaku, Pandangan yang menekankan peranan stimulus atau rangsangan terhadap
perilaku.
Seperti yang akan dikemukakan pada butir atau aliran konvergensi pada bagian ini,
beberapa pendapat dalam pandangan behavioral tersebut tidak lagi sepenuhnya ala
”Tabula Rasa” dari J. Locke, karena telah mulai diperhatikan pula faktor-faktor internal
dari manusia.
b) Nativisme
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Tokoh aliran ini adalah
Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof jerman, yang berpendapat bahwa hasil
pendidikan dan perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan yang
diperolehnya sejak anak itu dilahirkan. Anak dilahirkan kedunia sudah mempunyai
pembawaan dari orang tua maupun disekelilingnya, dan pembawaan itulah yang
menentukan perkembangan dan hasil pendidikan. Faktor lingkungan, termasuk faktor
pendidikan, kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Bayi itu
lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk.
Oleh karena itu hasil akhir pendidikan di tentukan oleh pembawaan yang sudah di
bawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan
oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa yang jahat akan menjadi jaha, dan yang
baik akan menjadi baik. Menurut kaum nativisme itu, pendidikan tidak dapat mengubah
sifat-sifat pembawaan. Jadi jika benar pendapat tersebut, percumalah kita mendidik atau
dengan kata lain pendidikan tidak perlu. Dalam ilmu pendidikan, hal ini disebut
pesimisme pedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan.
Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni
bahwa dalam diri individu terdapat sutu “inti” pribadi (G. Leibnitz: Monad) yang
mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan
pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif
yang mempunyai kemauan bebas. Pandangan-pandangan tersebut tampak antara lain
humanistic psychology dari Carl. Rogers ataupun pandangan phenomenology/
humanistik lainnya.
Faktor Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme :
1) Faktor genetik
Adalah faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu bakat
yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orangtua anak itu
adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan sebagai seorang
penyanyi yang prosentasenya besar.
2) Faktor Kemampuan Anak
Adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat
dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang
ada dalam dirinya. Contohnya adalah adanya kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang
mendorong setiap anak untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sesuai
dengan bakat dan minatnya.
3) Faktor Pertumbuhan Anak
Adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap
pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu
normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan
yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut
tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Didalam teori ini menurut G. Leibnitz: Monad “Didalam diri individu manusia
terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-
1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau
bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan untuk mampu memunculkan
bakat yang dimiliki, mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi,
mendorong manusia dalam menetukan pilihan, mendorong manusia untuk
mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang, mendorong manusia mengenali bakat
minat yang dimiliki
c) Naturalisme
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan
realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti,
mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari
fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh
sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang
mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada
(wujud) di atas atau di luar alam ( Harold H. Titus e.al. 1984).
Aliran ini sama dengan aliran nativisme. Naturalisme yang dipelopori oleh Jean
Jaquest Rousseau, bependapat bahwa pada hakekatnya semua anak manusia adalah baik
pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang pencipta. Tetapi akhirnya rusak
sewaktu berada ditangan manusia, oleh karena Jean Jaquest Rousseau menciptakan
konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang
sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat bahwa pendidik wajib
membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi dengan kata lain pendidikan tidak di
perlukan. Yang di laksanakan adalah menyerahkan anak didik kepada alam, agar
pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan
kegiatan pendidikan itu.
Jean Jaquest Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat
yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak yang di peroleh secara
alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas. Jean Jaquest
Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan pelanggaran terhadap norma-
norma, hendaklah orang tua atau pendidik tidak perlu untuk memberikan hukuman,
biarlah alam yang menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api
kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain air kemudian ia gatal-gatal atau
masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman alam. Biarlah anak itu merasakan sendiri
akibatnya yang sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan
sendirinya
Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut :
1) Segalanya berkembang dari alam
2) Perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara
bertahap.
3) Alam, berkembang tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil
mengadakan persiapan.
Dimensi filsafat pendidikan Naturalisme :
1) Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang
pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan
alam.Alam berkembang dengan teratur dan menurut aturan waktu tertentu. Tidak
pernah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang
tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan mulai dari ulat menjadi
kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga perkembangan
alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari bunga.
2) Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh
Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra.
Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke
pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak lebih dahulu, baru setelah
itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut.
3) Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian
pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui
observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam
ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman
kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi
bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari.
4) Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga
dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis
mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan
barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam
semesta.
Implikasi Naturalisme di Bidang Pendidikan :
Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model
pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya.
Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu,
tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di
dan dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta
didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana “mengekploirasi”
sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.
Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di
alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih
akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan
emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti
ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan
guru di mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.
Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan
keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan
dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada
pembelajaran di dalam kelas.
d) Konvergensi
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan
bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai
pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa
dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan
sama-sama mempunyai peranan penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan
perkembangan bakat tersebut. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat
menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang dalam dirinya tidak
terdapat bakat yang diperlukan dalam mengembangkan bakat tersebut. Sebagai contoh,
hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata adalah juga hasil
konvergensi.
Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungan,
anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik
dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula
menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa
Iggris, dan sebagainya. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu lingkungan
yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya
perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaaan situasi lingkungan, biarpun lingkungan
kedua orang anak tersebut bahasa yang sama. Oleh karena itu Stren berpendapat bahwa
hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungannya, seakan-akan dua
garis menuju satu titik pertemuan.
Karena itu teori W. Stren disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat
kesatu titik). Jadi menurut teori konvergensi, Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
Pendidikan di artikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik
untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang
kurang baik. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat
dalam memahami tumbuh kembang manusia.
William Stern mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak
lahir itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang
permainan. Dalam ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam arti yang sangat
luas. Tenaga-tenaga dari luar dapat menolong tetapi bukanlah ia yang menyebabkan
perkembangan itu, karena ini datangnya dari dalam yang mengandung dasar keaktifan
dan tenaga pendorong. Sebagai contoh : anak dalam tahun pertama belajar mengoceh,
baru kemudian becakap-cakap, dorongan dan bakat itu telah ada, di meniru suara-suara
dari ibunya dan orang disekelilingnya. Ia meniru dan mendebgarkan dari kata-kata yang
diucapkan kepadanya, bakat dan dorongan itu tidak akan berkembang jika tidak ada
bantuan dari luar yang merangsangnya. Dengan demikian jika tidak ada bantuan suara-
suara dari luar atau kata-kata yang di dengarnya tidak mungkin anak tesebut bisa
bercakap-cakap.
B. Pemikiran Baru Tentang Pendidikan
a) Pengajaran Alam Sekitar
Konsep pengajaran alam sekitar dipetik dari Emmanuel Kant, yaitu: “pengertian
tanpa pengamatan adalah kosong dan pengamatan tanpa pengertian adalah buta”.
Keuntungan pengajaran alam sekitar, yaitu: mementang verbal dan intelektualisme,
membangkitkan perhatian anak-anak untuk melakukan kegiatan, mendorong untuk aktif
dan kreatif, mempunyai nilai praktis bagi anak.
Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan
pengajaran alam sekitar,perintis gerakan ini adalah Fr. A. Finger di Jerman dengan
heimatkunde, dan J. Ligthart di Belanda dengan Het Voll Leven.
b) Pengajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat perhatian adalah hal-hal yang menarik pusat perhatian manusia
dalam menjalani perkembangan hidupnya. Declroy (1871-1932), seorang ahli pendidikan
bangsa Belgia mengaitkan dengan empat instink pokok yang ada pada diri anak, yaitu:
instink untuk makan, untuk memiliki dan mempertahankan, untuk melindungi diri dari
bahaya, dan untuk aktif.
c) Sekolah Kerja
Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-
pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J.A.
Comenius menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa, dan
tangan. J.H. Pestalozzi mengajarkan bermacam-macam mata pelajaran pertukaran di
sekolahnya.
Aliran ini memandang penting antara seorang individu dengan masyarakat, dalam
menunjang proses pendidikan. Pendidikan harus seimbang untuk kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat. Dan dibina agar dirinya dapat berkembang secara penuh.
d) Pengajaran Proyek
Pengajaran proyek biasa pula digunakan sebagai salah satu metode mengajar di
Indonesia, antara lain dengan nam pengajaran proyek, pengajaran unit, dan sebagainya.
Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk
memandang dan memecahkan persoalan secara konprehensif. Pendekatan multidisiplin
tersebut makin lama makin penting, utamanya masyarakat maju.
W.H. Kalipatrik (1871), menyatakan bahwa pengajaran itu harus aktif ilmiah dan
memasyarakat. Langkah-langkah pokok pengajaran proyek, yaitu: persiapan, kegiatan
belajar, dan penilaian.
e) Sekolah Alam
Kegagalan sistem pendidikan di Indonesia merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah
alternatif yang diyakini memiliki mutu pendidikan lebih baik dari sekolah biasa. Salah
satu sekolah alternatif yang kini banyak diminati ialah sekolah alam.
Konseptor sekolah alam Ir Lendo Novo menjelaskan, sekolah alam yang dia
pelopori merupakan suatu reaksi dari kegagalan pendidikan di Indonesia. Mutu
pendidikan Indonesia masih jauh dari negara-negara lain, bahkan masih di bawah
Vietnam. Ini berarti ada yang salah dengan sistem pendidikan di negara ini, ujar Lendo
Novo di Jakarta, baru-baru ini.
Lebih dari 1.000 sekolah alam kini telah tumbuh di Indonesia. Di kawasan Jakarta
Bogor Depok Tanggerang Bekasi (Jabodetabek) saja kini telah berdiri lebih dari 50
sekolah. Sekolah alam, menurut dia, merupakan sekolah yang mengedepankan
pembentukan akhlak dan mental siswa dengan konsep mendekatkan diri pada alam.
Metode pembelajaran yang diterapkan juga berbeda.
Kami berusaha menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan membuat
anak-anak senang dan merasa bahwa belajar adalah suatu kebutuhan dan kesenangan,
bukan sesuatu yang membosankan dan harus dipaksakan, jelas Ketua Litbang Sekolah
Alam Indonesia Ciganjur, Novi Hardian.
Hampir seluruh sekolah alam yang ada memiliki konsep utama yaitu upaya
memaksimalkan potensi anak untuk tumbuh menjadi manusia yang berkarakter,
berakhlak mulia, berwawasan ilmu pengetahuan dan siap menjadi pemimpin. Metode
pengajaran sekolah alam juga membuat bersekolah lebih menyenangkan dan anak tidak
merasa terpenjara.
Sekolah alam juga mendorong anak untuk aktif dan kreatif dan bukan semata-mata
mendapatkan materi yang diberikan oleh guru. Di Sekolah Alam Indonesia, Ciganjur,
misalnya, proses belajar lebih banyak dilakukan melalui diskusi dan permainan.
Ilmu tidak hanya dijejali oleh guru, tetapi anak juga aktif bereksplorasi. Ini melatih
keberanian mengungkapkan pendapat, jelas Novi. Konsep Tematik Hal serupa juga
dilakukan oleh Sekolah Alam Depok di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Sekolah yang
memiliki jenjang pendidikan Pre-School, TK, dan SD itu juga mendorong siswanya
untuk aktif menemukan sendiri jawaban atas berbagai hal melalui buku-buku di
perpustakaan dan sumber-sumber lain.
Menurut Pendiri Sekolah Alam Depok Edi F Rizal Darma, lahirnya sekolah alam
adalah karena ingin menciptakan hubungan belajar tanpa sekat antara guru dan murid.
Selama ini kan arah belajar di sekolah selalu dari guru ke murid, sehingga ada jarak
antara mereka. Sekolah alam ini muncul sebagai sekolah yang non-classical dan tanpa
sekat, jelas Edi.
Sekolah alam pada umumnya menggunakan konsep tematik. Setiap tema dibahas
dari berbagai sisi akhlak, seni, bahasa, kepemimpinan, dan ilmu pengetahuan. Tiap
tingkatan memiliki sejumlah tema pembahasan yang berbeda-beda.
Selain memiliki metode dan visi yang berbeda dari sekolah pada umumnya, sesuai
dengan namanya, suasana yang disuguhkan pun membuat siswa dekat dengan alam.
Rimbunnya pepohonan, lahan untuk berkebun, bahkan sejumlah hewan ternak seperti
angsa dan bebek menjadi bagian dari suasana alami yang ada di sekolah alam. Ruang
kelas berupa bangunan semen dan bersekat-sekat tidak ada di sekolah alam, yang ada
hanyalah saung-saung belajar yang terbuat dari kayu berukuran 5 x 5 meter dan beratap
rumbia.
Menurut Edi, saung sebagai tempat belajar selain dapat lebih dekat dengan alam,
juga sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Selain itu, pembuatan saung juga lebih murah
dibanding dengan membangun ruangan beton yang berpendingin udara.
Lendo Novo menjelaskan, konsep sekolah alam dengan saung memang cocok untuk
Indonesia, yang beriklim tropis. Sekolah kan tidak harus di kelas. Justru dengan belajar di
saung yang tanpa meja dan kursi akan menimbulkan suasana yang lebih bebas bagi
siswanya, katanya.
Namun, proses belajar siswa tidak hanya dilakukan di saung, tapi juga di kebun atau
belajar keluar, dengan mengunjungi sejumlah tempat yang terkait dengan tema
pembelajaran. Anak-anak belajar Fisika, Biologi, Matematika dan mata pelajaran lainnya
langsung dengan mempraktikkannya dari alam. Dengan menggunakan sistem learning by
doing, penyerapan materi oleh siswa bisa mencapai 90 persen, jelas Lendo Novo.
Hal senada juga diungkapkan Novi. Menurut dia, dengan berhubungan dekat
dengan alam, siswa akan lebih bijak karena semakin menghargai alam dan mendekatkan
diri dengan Sang Pencipta. Diharapkan lulusan sekolah kami dapat menjadi anak yang
ramah terhadap lingkungan dan tidak ada lagi yang menebang pohon sembarangan,
jelasnya.
Pelajaran di sekolah alam juga padat dengan materi keagamaan. Di Sekolah Alam
Depok, pada pagi hari dan sebelum pulang sekolah, siswa melakukan tahfidz, yaitu
melancarkan hapalan Al-Quran. Menurut Edi, berbagai keunggulan itulah yang
menyebabkan banyak orang tua yang mempercayakan anak mereka bersekolah di sekolah
alam.
Sekolah alam adalah sebuah sekolah di Indonesia yang beberapa kota memiliki
sekolah alam dengan nama sendiri. Salah satu yang terkenal adalah Sekolah Alam
Indonesia dari Jakarta.
f) Pendidikan Berasrama (Boarding School)
Boarding school adalah sistem sekolah berasrama, peserta didik dan para guru
tinggal di asrama yang berada dalam lingkungan sekolah dalam waktu tertentu. Sekolah
Berasrama adalah alternative terbaik buat para orang tua menyekolahkan anak mereka
dalam kondisi apapun. Selama 24 jam anak hidup dalam pemantauan dan control yang
total dari pengelola, guru, dan pengasuh di seklolah-sekolah berasrama. Anak betul-betul
dipersiapkan untuk masuk kedalam dunia nyata dengan modal yang cukup, tidak hanya
kompetensi akademis, tapi skill-skill lainnya dipersiapkan sehingga mereka mempunyai
senjata yang ampuh untuk memasuki dan manaklukan dunia ini. Di sekolah berasrama
anak dituntut untuk dapat menjadi manusia yang berkontribusi besar bagi kemanusiaan.
Mereka tidak hanya hidup untuk dirinya dan keluarganya tapi juga harus berbuat untuk
bangsa dan Negara. Oleh sebab itu dukungan fasilitas terbaik, tenaga pengajar
berkualitas, dan lingkungan yang kondusif harus didorong untuk dapat mencapai cita-cita
tersebut.
g) Pendidikan Inklusi
Istilah pendidikan inklusi atau inklusif , mulai mengemuka semenjak tahun 1990,
ketika konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan
pernyataan salamanca tentang pendidikan inklusif pada tahun 1994.
Konsep pendidikan inklusi muncul dimaksudkan untuk memberi solusi, adanya
perlakuan diskriminatif dalam layanan pendidikan terutama bagi anak-anak penyandang
cacat atau anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi memiliki prinsip dasar bahwa selama memungkinkan, semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan
yang mungkin ada pada mereka.
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menyertakan semua anak secara
bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan
yang layak dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan
anak yang berasal dari latar suku, kondisi sosialm kemampuan ekonomi, politik,
keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama, dan
perbedaan kondisi fisik dan mental.
Sementara itu Sapon-Shevin (O Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi
sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan
dilayani di sekolah-sekolah terdekat. Melalui pendidikan inklusi, anak berkebutuhan
khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya (Freiberg, 1995), hal ini dilandasi oleh suatu kenyataan bahwa di dalam
masyarakat terdapat anak normal dan anak tidak normal (berkebutuhan khusus) yang
tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas sosial.
Dalam rencana aksi nasional, difabel telah dicanangkan mulai tahun 2003, yang
salah satu butir dari rencana aksi nasional difabel adalah pendidikan inklusi. Yang
dimaksud dengan pendidikan inklusi atau inklusif adalah pendidikan yang dapat
dijangkau oleh semua orang dalam tanggap terhadap semua peserta didik termasuk
difabel secara individual.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Ngalim, Drs. M.. (1972). Ilmu Pendidikan, Paket Pengajaran pada Proyek
Kerjasama PT Stanvac-Indonesia, Pendopo, dengan IKIP Jakarta.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta