Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PRINSIP DISTRIBUSI PENDAPATAN PADA FAKTOR PRODUKSI


MENURUT ISLAM
DI

OLEH:
KUSDI ARIANDI (4022019049)
MUHAMMAD AQSHAL (4022019084)
MK: Ekonomi Mikro Islam
Dosen pengampu: Alfian, M.E.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA


TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembahasana mengenai pengertian disrtribusi pendapatan, tidak akan lepas dari
pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut. Di samping itu, juga tidak
terlepas dari model instrumen yang diterapkan individu maupun negara, dalam menentukan
sumber-sumber maupun cara-cara pendistribusian pendapatannya. Konsep moral ekonomi
tersebut, yang berakaitan dengan kebendaan (materi) kepemilikan dan kekayaan.
Perbedaan kepemilikan harta ini merupakan bagia upaya manusia untuk memahami
nikmat dari Allah, sekaligus juga memahami kedudukan dengan sesamanya. Maka dengan
perbedaan ini ada perintah Allah yang merupakan sutu badah ketika mengamalkannya. Bagi
yang berlebih kepemilikan hartanya, maka ada perintah untuk mendistribusikan sebagian
kelebihan dari hartanya. Dan bagi yang kekurangan kepemilikannya di perintahkan Allah
untuk bersabar. Islam dengan tegas telah menggariskan kepada penguasa, untuk
meminimalkan kesenjangan dan ketidakseimbangan distribusi. Pajak diterapkan atas
kekayaan seorang untuk membantu yang miskin. Dan bentuk dari sistem perpajakan ini
berkaitan dengan salah saru prinsip pokok dalam Islam (Zakat). Dengan demikian, tidak ada
ruang bagi muslim untuk melakukan tindak kekerasan dalam upaya melancarkan proses
distribusi pendapatan. Untuk itu, untuk itu, hal yang pertama yang perku kita ketahui dan
perlu dibahas adalah konsep-konsep moral yang melartarbelakangi pembahasan apek-aspek
ekonomi dai penetuan sumber distribusi pendapatan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Peranan Konsep Moral Distribusi Pendapatan Dalam Islam?
2. Bagaimanakah Penjelasan mengenai distribusi pendapatan?
3. Apa saja faktor-faktor produksi dalam islam?
4. Bagaimana penjelasan mengenai Distribusi Pendapatan dalam rumah tangga
(Household)?
5. Bagaimana peranana Negara terhadap Distribusi pendapatan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Moral Islam Dalam Sistem Distribusi Pendapatan


Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme berbasis moral spiritual dalam
pemeliharaan keadialan sosial pada setiap aktivitas ekonomi. Upaya pencapaian manusia
akan kebahagian, membimbing manusia untuk menerapkan keadilan ekonomi yang dapat
menyudahi kesengsaraan di muka bumi ini. Hal tersebut akan sulit di capai tanpa adanya
keyakinan pada prinsip moral tersebut . ini adalah fungsi dari menerjemahkan konsep moral
sebagai faktor endogen dalam perekonomian, sehingga etika ekonomi menjadi hal yang
sangat membumi untuk dapat mengalahkan setiap kepentingan pribadi.
Untuk itu dalam merespon laju perkembangan pemikiran ini, yang harus diperhatikan
adalah: Pertama, mengubah pola pikir. dan pembelajaran mengenai nilai islam dari fokus
perhatiannnya bertujuan materialistis kepada tujuan yang mengarahkan kesejahteraan umum
berbasis pembagian sumber daya dan resiko yang berkeadilan untuk mencapai kemanfaatan
yang lebih besar bagi komunitas sosial. Kedua, keluar dari ketergantungan pihak lain. Hidup
diatas kemampuan pribadi sebagai personal maupun bangsa, melaksanakan kewajiban
finansial sebagimana yang ditunjukan oleh ajaran Islam dan meyakini dengan sungguh-
sungguh bahwa dunia saat ini bukanlah akhir cerita kita. Akan ada meyakini kehidupan baru
setelah kehidupan di dunia fana ini.
Islam menyadari bahwa pengakuan akan kepemilikkan adalah hal yang sangat penting.
Setiap hasil usaha ekonomi seorang muslim, dapat menjadi hak miliknya, karena hal inilah
yang menjadi motivasi dasar atas setiap aktivitas produksi dan pembangunan.
Di lain pihak prinsip moral islam mengarahkan kepada kenyataan bahwa pengakuan hak
milik harus berfungsi sebagai pembebas manusia dari karakter materialistis. Hanya karena
pembebasan itu, manusia bisa mendapatkan kemuliananya, bukan sebaliknya. Dalam islam
legitimasi hak milik akan tergantung dan sangat terkait erat kepada pesan moral untuk
menjamin keseimbangannya, dimana hak pribadi diakui, namun hak kepemilikkan tersebut
harus berfungsi sebagai nafkah konsumtif bagi diri dan keluarga, berproduksi dan
berinvestasi. Alat untuk mengapresiasikan kepedulian sosil (zakat, infak, dan sedekah) dan
jaminan kekayaan, menjamin mekanisme kerja fisaabilillah dan semangat pembangunan
serta penataan.
Dari sini, pengertian etimologis dari kepemilikan seseorang akan materi berarti
penguasaan terhadap suatu benda. Sedangkan secara terminologis berarti spesialisasi
seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk melakukan tindakan hukum
sesuai dengan keinginnya atas benda tersebut, selama tidak ada halangan syara’ atau selama
orang lain tidak terhalangi untuk melakukan tindakan hukum atas benda tersebut. Hal ini
berarti dapat dipahami dengan jelas bahwa konsep kepemilikan dalam perspektif Islam
memasukkan muatan nilai moral etika sebagai faktor endogen, dan konsep etika tersebut
sangat terkait dengan hukum Allah SWT. Karena bersentuhan dengan area halal haram.
Pemahaman ini bermuara pada pengakuan bahwa sang pemilik dan absolut hanyalah
Allah SWT. Tuhan Semesta Alam, dalam firman-Nya:

“kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha perkasa atas segala”
(Ali Imran:189)

Sedangkan manusia hanya diberi hak kepemilikan terbatas, yaitu sebagai pihak yang
diberi wewenang untuk memanfaatkan, dan inti dari kewenangan tersebut adalah tugas
(taklif) untuk menjadi seorang khalifah (agen pembangunan atau pengelola) yang beribadah
di muka bumi ini.
Namun demikian, pemanfaatannya untuk kepentingan umat dan agama Islam harus
lbih diutamakan, karena setiap milik individu dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
individu tersebut dan dapat pula digunakan untuk kepentingan umum secara tidak lansung.
Sebaliknya, setiap kepemilikan kolektif tidak dapat menggangu gugat kepemilkan pribadi,
kecuali hal yang demikian itu ditujukan untuk menjalankan perintah Allah SWT.
Para Ahli Fikih mendefiisikan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu
adalah:
Pertama, fasilitas atau sarana umum yang menjadi kebutuhan umum masyarakat seperti air,
padang rumput, jalan-jalan umum.
Kedua, barang tambang, seperti tamban minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia
lainnya, timah. Besi batu bara, dan lain sebagainya.
Ketiga, sumber daya yang bentukan materinya sulit untuk dimliliki invidu, seperti laut,
sungai, dan danau.

Pada ketiga hal tersebut, pemanfaatan akan sangat berkaitan dengan hak Allah dan
hak umum. Oleh sebab itu, otoritas negara dapat mengambil alih untuk pendistribusiannya
secara adil. Tentunya dengan memerhatikan secara ketat akan adanya tindakan-tindakan yang
merusak seperti ekploitasi habis-habisan dan konsumsi besar-besaran.
Penggambaran sistem etikonomik dalam pemanfaatan hak milik kekayaan yang dapat
diapresiasikan dari konsep di atas , telah dijelaskan oleh Manan (1993), sebagai berikut :
1. kepemilkan yang secara sah secara hukum, artinya segala bentuk hak kepemilikan
didapatkan dengan cara yang sesuai dengan cara yang sesuai dengan hukum (halal).
Kajian hukum syariat mengenal dua bentuk kepemilikan , yaitu:
a. Kepemilkan sempurna (al-milk at-tam)
b. Kepemilkan tidak sempurna (al milk an-naqis)
2. Pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan ekonomi yang berkesinambungan,
karena itu seorang muslim harus terus mengupayakan produktivitas kekayaannya.
3. Pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan non-ekonomi fisabilillah
(berfaedah di jalan Allah) . hal ini berarti cara pemanfaatan yang merupakan input
produktivitas dan hasil pemanfaatan yang merupakan output produktivitas harus berada
di jalur aturan syariah.
4. Pemanfaaan hak milik secara ekonomi dan non-ekonomi yang tidak merugikan pihak
lain. Pihak lain di sini berarti semua makhluk hidup semesta alam yang hidup
berdampingan dengan manusia.
5. Penggunaan dan pemanfaaatan secara ekonomi dan non-ekonomi yang berimbang,
dengan begitu dalam setiap pembangunan barang ataupun apa saja yang jadi milik tidak
diarahkan untuk pemborosan dan tidak boleh pula terlalu kikir.

B. FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI DALAM ISLAM


Dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi menjadi
barang/jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat produksi tetap (fixed input) dan
variabel tetap (variabel input).
Ghazali menyebutkan bahwa beberapa faktor produksi antara lain:
1. Tanah
Tanah telah menjadi suatu faktor terpenting sejak dahulu kala. Penekanan pada
penggunaan tanah-tanah mati (ihya’ al-mawat) menunjukan perhatian Rasulullah SAW
dalam penggunaan sumber daya bagi kemakmuran rakyat. Islam mempunyai komitmen
untuk melaksanakan keadilan dalam hal pertanahan.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan human capital bagi suatu perusahaan. Di berbagai
macam jenis produksi, tenaga kerja merupakan aset bagi keberhasilan suatu perusahaan.
Kesuksesan suatu produksi terletak pada kinerja sumber daya manusia yang ada
didalamnya, termasuk diantaranya kinerja para tenaga kerja.
3. Modal
Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu produksi. Tanpa
adanya modal, perusahaan tidak akan bisa menghasilkan suatu barang dan jasa. Modal
adalah jumlah kekayaan yang bisa saja berupa assets, yang bisa digunakan untuk
menghasilkan suatu kekayaan. Dalam islam modal suatu usaha haruslah bebas dari riba.
Beberapa cara perolehan modal, islam mengatur suatu sistem yang lebih baik, dengan
cara kerja sama mudharabah atau musharakah.
4. Manajemen Produksi
Beberapa faktor produksi diatas tidak akan menghasilkan suatu profit yang baik
ketika tidak ada manajemen yang baik. Karena tanah, tenaga kerja, modal dan lain
sebagainya tidak akan bisa berdiri dengan sendirinya. Semua memerlukan suatu
pengaturan yang baik, berupa suatu organisasi, ataupun manajemen yang bisa
menertbitkan, mengatur, merencanakan, dan mengevaluasi segala kinerja.
5. Teknologi
Di era kemajuan produksi yang ada pada saat ini, teknologi mempunyai peran
yang sangat besar dalam sektor ini. Berapa banyak produsen yang kemudian tidak bisa
survive karena adanya kompetitor lainnya dan lebih banyak yang bisa menghasilkan
barang atau jasa jauh lebih baik, karena didukung oleh faktor produksi.
6. Bahan Baku
Bahan baku terbagi menjadi dua macam, adakalanya bahan baku tersebut
merupakan sesuatu yang harus dapat didapat ataupun dihasilkan oleh alam, tanpa adanya
penggantinya. Ada juga yang memang dari alam akan tetapi, bisa dicarikan bahan lain
untuk mengganti bahan yang telah ada. Ketika seseorang produsen akan memproduksi
suatu barang/jasa, maka salah satu hal yang harus dipikirkan yaitu bahan baku. Karena
jika bahan baku tersedia dengan baik, maka produksi akan berjalan dengan lancar, jika
sebaliknya, maka akan menghambat jalannya suatu produksi.

C. DISTRIBUSI PENDAPATAN
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan (pribadi).
Makanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada kepemilikan,
pendapatan dan harta pusaka peninggalan leluhurnya masing-masing. Sedang sosialis lebih
melihat kepada kerja sebagai basic dari distribusi pendapatan.
Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Para
individu memperoleh perangsang agar mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin. Hal
tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu
diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara
mutlak apabila mereka meninggal dunia. Sedangkan sosialisme melibatkan pemilikan semua
ala-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertania oleh neara, dan menghilangkan
milik swasta. Dala maasyrakat sosialis hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa
kebersaan.untuk mewujudkan rasa kebersamaan ini, alokasi produksi dan cara
pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan
minimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup hidup yang baik (nisab) adalah hal
yang paling mendasari dalam sistem distribusi-redistribui kekayan, setelah itu baru dikaitkan
dengan kerja dan kepemilikan pribadi.
Proses redistribusi pendpaatan dalam Islam mengamini banyak hal yang berkitan
dengan moral endogeneity, signifikasi dan batasana-batasan tertentu, di antaranya:
a. Sebagaimana utilirianisme, mempromosikan “greatest good for greatest number of
people”, denga “good” dan “utility” diharmonisasiakan dengan pengertian halal-haram,
peruntungan manusia dan pengikatan utility manusia adalah tujuan utama dari tujuan
pembangunan ekonomi.
b. Sebagaimana liberatarian dan Marxism, pertobatan dan penubusan dosa adalah salah satu
hal yang mendasari diterapkannya proses redistribusi pendapatan. Dalam aturan main
Syariah akan ditemukan sejumlah instrument yang mewajibkan seorang muslim untuk
medistibusikan kekayaannya sebagai akibat melakukan kesalahan (dosa).
c. Sistem redistriusi diarahkan untuk berlaku sebagai faktor pengurang dari adanya pihak
yang merasa dalam keadaaan merugi ataupun gagal. Kondisi seperti ini hampir bisa
dipastikan berlaku di setiap komunitas.
d. Mekanisme redistribusi berlaku secara istimewa, karena walaupun pada realitasnya
distribusi adalah proses transfer kekayaan searah, namun pada hakikatnya tidak demikian.
Di sini pun terjadi mekanisme pertukaran, hanya saja objek yang menjadi alat tukar dari
kekayaan yang ditransfer berlaku di akhirat nanti (pahala).

Sedangkan standar atau indikator kebutuhan dan batasan yang mendasari sitem distribusi
pendapatan Islam adalaha maqasid syariah (kebutuhan dan batasan dalam mengkomodi
kebutuhan paling dasar bagi setiap muslim, yaitu: aspek agama, diri atau personal, akal,
keturunan dan harta). Sistematika hierarki yang mengacu kepada skala prioritas dengan
urutan:
a. Ad-daruriyayah: suatau skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kebaikan dan
kepentingan dalam menjalani hidup di dunia dan akhrat.
b. Al-Hajjiyyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kemudahan dan
penghindaran kesulitan dalam menjalani hidup didunia dan akhirat.
c. At-Tahsiniyyah : suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kelengkapan dan
kecakapan melaksanakan hidup di dunia dan akhirat.
4. Distribusi Pendapatan Dalam Konteks Rumah Tangga (HouseHold)

Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan
terminologi shadaqah. Pengertian shodaqah disini bukan berarti sedekah dalam konteks
pengertian bahasa Indonesia. Karna shodaqoh dalam kontek terminoloi Al-Qur’an dapat
dipahami dalam dua aspek, yaitu: pertama, shadaqah wajibah yang berarti bentuk-bentuk
pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distriusi pendapatn berbasis
kewajiban. Untuk kategoi ini bisa berarti kewajiban personal sesorang sebagai muslim,
seperti warisan dan bisa juga berati kewajiaban seorang muslim dengan muslim lainnya.
Seperti jiwar dan musaadah (tunjangan). Kedua, shadaqah nafilah (sunnah) yang berati
bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi
pendapatan berbasis amal karitarif, seperti sedekah.
Distribusi penapatan dalanm rumah tangga juga berkaitan dengan terminology had atau
hudud (hukuman). Hukuman ini terjadi,bilamana seorang muslim melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan aturan syariah, kemudian sebagai konsekueni hukumnya ia diharuskan
membaar dengda kafarat dan dam (diyat). Kafatrat dan dam ini merupakan satau bentujk
hukuman yang bernuansa distribusi – redistribusi pendapatan.
Pertama, macam-macam instrument Shadaqah Wajibah (wjoib an khusus dikenakann bagi
orang muslim) adalah:
a. Nafaqah : kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan semua kebutuhan pada orang-
orang terdekat, yakni anak-anak dan istri.
b. Zakat : instrumen zakat adalah kewajiban seorang muslim untuk menyisihkan sebagian
hrta miliknya, untuk di ditribusikan kepada kelompok tertentu (delapan asnaf ).
c. Udhiyah : kurban binatang ternak pada saat hari tayrik perayaan Idul Adha.
d. Warisan : pemabgian aset kepemilikan kepada orang yang ditinggalkan setelah
meninggal dunia. Ajaran islam sangat mmperhatikan keberlangsungan hidup anak cucu
adam.
e. Musaadah : yaitu memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah.
Dalam konteks ini, Islam menekankan bahwa materi yang dijadikan objek bantuan
(didistribusikan) harus dalam keadaan yang layak, baik dan bagus (proper goods).
f. Jiwar : bantuan yang diberika berkaitan dengan urusan bertetangga.
g. Diyafah : kegiatan memberikan jamuan kepada tamu yang dating.

Kedua: instrument shadaqah nafilah (sunnah dan khusus dikenakan bagi orang Muslim)
a. Infak : sedekah yang diberikan kepada pihak lain jika kondisi keuangan rumah tangga
Muslim sudah berada di atas nisab.
b. Aqiqah : memotong seeor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk
anak laki-laki yang baru dilahirkan.
c. Wakaf : memberikan bantuan atas kepemilikannya untuk kesejahteraan masyarakat
umum, aset yang diwakafkan bisa dalam bentuk aset materi kebendaan (tanah, rumah,
barang) ataupun aset keuangan.

Ketiga: instrumen term had/hudud (hukuman) adalah instrumen yang bersifat aksidental, dan
merupakan konsekuensi dari sebuah tindakan.
a. Kafarat : tembusan terhadap dosa yang dilakukan oleh seorang Muslim, semisal
melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan.
b. Dam atau Diyat : tebusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah,
seperti tidak melaksanakan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji.
c. Nudzur : perbuatan untuk menafkahkan atau mengorbankan sebagian harta yang
dimilikinya untuk mendapat keridhoan Allah SWT.

5. Peran Negara dalam Distribusi Pendapatan


Islam mengakui adanya kepemilikan individu dan setiap orang bebas
mengoptimalkan kreativitasnya serta memberi otoritas kepada pemiliknya sesuai dengan
batasan yang ditetapkan Allah. Namun kebebasan yang diberikan itu terkadang
disalahgunakan oleh sebagian orang misalnya dalam bentuk: pengambilan riba, perilaku
monopoli, dan aktivitas yang sejenisnya. Jika aktivitas seperti ini terjadi maka pemimpin
negara diperbolekan melakukan investasi seperlunya. Tujuannya adalah untuk menghentikan
perilaku yang mengancam hak dan kesejahteraan hidup masyarakat. Menutut An-Nabahani
dikatakan bahwa tugas-tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi menjadi tiga, yaitu:(1)
Mengawasi faktor utama penggerak ekonomi; (2) Menghentikan mu’amallah yang
diharamkan; dan (3) mematok harga kalau diperbolehkan.
Pemerintah harus mengawasi gerak perekonomian seperti dalam aktivitas produksi
dan distribusi barang, praktek yang tidak benar seperti : penimbunan terhadap bahan pokok
yang sangat diperlukan masyarakat, monopoli dan tindakan mempermainkan harga untuk
menjaga kemaslahatan bersama. Pematokan harga pada mulanya diharamkan. Karena kondisi
penjual saat itru pada posisi lemah yang berbeda dengan keadaan saat ini. Dimana seorang
penjual dapat berbuat apa saja. Oleh karena itu peran pemerintah untuk mematok harga suatu
komoditas tertentu diperbolehkan atau bahkan menjadi wajib. Sebab untuk menciptakan
keadilan dan kemaslahatan bersama.
Dalam kaitan ini Qardhawi menegaskan bahwa tugas negara adalah berupaya untuk
menegakkan kewajiban dan keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan
khususnya doa besar, seperti : riba, perampasan hak, pencurian dan kedzaliman kaum kuat
terhadap kaum lemah. Pernyataan ini mengandung maksud, bahwa negara bertugas untuk
menetapkan aturan atu undang-undang berdasarkan nilai dan moral ke dalam praktek nyata
serta mendirikan ntitusi (lembaga) untuk menjaga serta memantau pelaksaan kewajiban
masyarakat dan menghukum orang yang melanggar dan melalaikan kewajibannya.
Pemerintah harus dapat menghapuskan kemiskinan minimal mengurangi jumlah penduduk
yang miskin.
Demikian pula negara harus dapat meningkatkan aktivitas bisnis dan mencegah
terjadinya eksploitasi terhadap pihak tertentu dalam masyarakat. Kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan distribusi pendapatan adalah kebijakan fiskal dan anggaran belanja.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan pada
distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada
tingkat yang sama.
Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mencapai pemerataan kekayaan negara
yang mekanismenya harus berdasarkan nilai dan prinsip hukum dalam Al-Qur’an. Kegiatan
yang menambah penghasilan negara harus digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan
sosial tertentu berdasarkan hukum Allah yang melarang penumpukan kakayaan diantara
segolongan kecil masyarakat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung fungsi
alokasi, distribusi dan stabilitasi dalam suatu negara.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Islam menyadari bahwa pengakuan akan kepemilikkan adalah hal yang sangat penting.
Setiap hasil usaha ekonomi seorang muslim, dapat menjadi hak miliknya, karena hal inilah
yang menjadi motivasi dasar atas setiap aktivitas produksi dan pembangunan. Di lain pihak
prinsip moral islam mengarahkan kepada kenyataan bahwa pengakuan hak milik harus
berfungsi sebagai pembebas manusia dari karakter materialistis. Hanya karena pembebasan
itu, manusia bisa mendapatkan kemuliananya, bukan sebaliknya. Dalam islam legitimasi hak
milik akan tergantung dan sangat terkait erat kepada pesan moral untuk menjamin
keseimbangannya, dimana hak pribadi diakui, namun hak kepemilikkan tersebut harus
berfungsi sebagai nafkah konsumtif bagi diri dan keluarga, berproduksi dan berinvestasi.
Alat untuk mengapresiasikan kepedulian sosil (zakat, infak, dan sedekah) dan jaminan
kekayaan, menjamin mekanisme kerja fisaabilillah dan semangat pembangunan serta
penataan.
DAFTAR PUSTAKA

Riyadi, Abdul Kadir & Ika Yunia Fauzia, 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif
Maqashid Al-Syari’ah. Jakarta: Prenadamedia
Muhammad, 2004. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta; BPFE-
YOGYAKARTA
Edwin, Mustafa Nasution, Dkk, 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group

Anda mungkin juga menyukai