OLEH:
KUSDI ARIANDI (4022019049)
MUHAMMAD AQSHAL (4022019084)
MK: Ekonomi Mikro Islam
Dosen pengampu: Alfian, M.E.
A. LATAR BELAKANG
Pembahasana mengenai pengertian disrtribusi pendapatan, tidak akan lepas dari
pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut. Di samping itu, juga tidak
terlepas dari model instrumen yang diterapkan individu maupun negara, dalam menentukan
sumber-sumber maupun cara-cara pendistribusian pendapatannya. Konsep moral ekonomi
tersebut, yang berakaitan dengan kebendaan (materi) kepemilikan dan kekayaan.
Perbedaan kepemilikan harta ini merupakan bagia upaya manusia untuk memahami
nikmat dari Allah, sekaligus juga memahami kedudukan dengan sesamanya. Maka dengan
perbedaan ini ada perintah Allah yang merupakan sutu badah ketika mengamalkannya. Bagi
yang berlebih kepemilikan hartanya, maka ada perintah untuk mendistribusikan sebagian
kelebihan dari hartanya. Dan bagi yang kekurangan kepemilikannya di perintahkan Allah
untuk bersabar. Islam dengan tegas telah menggariskan kepada penguasa, untuk
meminimalkan kesenjangan dan ketidakseimbangan distribusi. Pajak diterapkan atas
kekayaan seorang untuk membantu yang miskin. Dan bentuk dari sistem perpajakan ini
berkaitan dengan salah saru prinsip pokok dalam Islam (Zakat). Dengan demikian, tidak ada
ruang bagi muslim untuk melakukan tindak kekerasan dalam upaya melancarkan proses
distribusi pendapatan. Untuk itu, untuk itu, hal yang pertama yang perku kita ketahui dan
perlu dibahas adalah konsep-konsep moral yang melartarbelakangi pembahasan apek-aspek
ekonomi dai penetuan sumber distribusi pendapatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Peranan Konsep Moral Distribusi Pendapatan Dalam Islam?
2. Bagaimanakah Penjelasan mengenai distribusi pendapatan?
3. Apa saja faktor-faktor produksi dalam islam?
4. Bagaimana penjelasan mengenai Distribusi Pendapatan dalam rumah tangga
(Household)?
5. Bagaimana peranana Negara terhadap Distribusi pendapatan?
BAB II
PEMBAHASAN
“kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha perkasa atas segala”
(Ali Imran:189)
Sedangkan manusia hanya diberi hak kepemilikan terbatas, yaitu sebagai pihak yang
diberi wewenang untuk memanfaatkan, dan inti dari kewenangan tersebut adalah tugas
(taklif) untuk menjadi seorang khalifah (agen pembangunan atau pengelola) yang beribadah
di muka bumi ini.
Namun demikian, pemanfaatannya untuk kepentingan umat dan agama Islam harus
lbih diutamakan, karena setiap milik individu dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
individu tersebut dan dapat pula digunakan untuk kepentingan umum secara tidak lansung.
Sebaliknya, setiap kepemilikan kolektif tidak dapat menggangu gugat kepemilkan pribadi,
kecuali hal yang demikian itu ditujukan untuk menjalankan perintah Allah SWT.
Para Ahli Fikih mendefiisikan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu
adalah:
Pertama, fasilitas atau sarana umum yang menjadi kebutuhan umum masyarakat seperti air,
padang rumput, jalan-jalan umum.
Kedua, barang tambang, seperti tamban minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia
lainnya, timah. Besi batu bara, dan lain sebagainya.
Ketiga, sumber daya yang bentukan materinya sulit untuk dimliliki invidu, seperti laut,
sungai, dan danau.
Pada ketiga hal tersebut, pemanfaatan akan sangat berkaitan dengan hak Allah dan
hak umum. Oleh sebab itu, otoritas negara dapat mengambil alih untuk pendistribusiannya
secara adil. Tentunya dengan memerhatikan secara ketat akan adanya tindakan-tindakan yang
merusak seperti ekploitasi habis-habisan dan konsumsi besar-besaran.
Penggambaran sistem etikonomik dalam pemanfaatan hak milik kekayaan yang dapat
diapresiasikan dari konsep di atas , telah dijelaskan oleh Manan (1993), sebagai berikut :
1. kepemilkan yang secara sah secara hukum, artinya segala bentuk hak kepemilikan
didapatkan dengan cara yang sesuai dengan cara yang sesuai dengan hukum (halal).
Kajian hukum syariat mengenal dua bentuk kepemilikan , yaitu:
a. Kepemilkan sempurna (al-milk at-tam)
b. Kepemilkan tidak sempurna (al milk an-naqis)
2. Pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan ekonomi yang berkesinambungan,
karena itu seorang muslim harus terus mengupayakan produktivitas kekayaannya.
3. Pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan non-ekonomi fisabilillah
(berfaedah di jalan Allah) . hal ini berarti cara pemanfaatan yang merupakan input
produktivitas dan hasil pemanfaatan yang merupakan output produktivitas harus berada
di jalur aturan syariah.
4. Pemanfaaan hak milik secara ekonomi dan non-ekonomi yang tidak merugikan pihak
lain. Pihak lain di sini berarti semua makhluk hidup semesta alam yang hidup
berdampingan dengan manusia.
5. Penggunaan dan pemanfaaatan secara ekonomi dan non-ekonomi yang berimbang,
dengan begitu dalam setiap pembangunan barang ataupun apa saja yang jadi milik tidak
diarahkan untuk pemborosan dan tidak boleh pula terlalu kikir.
C. DISTRIBUSI PENDAPATAN
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan (pribadi).
Makanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada kepemilikan,
pendapatan dan harta pusaka peninggalan leluhurnya masing-masing. Sedang sosialis lebih
melihat kepada kerja sebagai basic dari distribusi pendapatan.
Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Para
individu memperoleh perangsang agar mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin. Hal
tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu
diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara
mutlak apabila mereka meninggal dunia. Sedangkan sosialisme melibatkan pemilikan semua
ala-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertania oleh neara, dan menghilangkan
milik swasta. Dala maasyrakat sosialis hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa
kebersaan.untuk mewujudkan rasa kebersamaan ini, alokasi produksi dan cara
pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan
minimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup hidup yang baik (nisab) adalah hal
yang paling mendasari dalam sistem distribusi-redistribui kekayan, setelah itu baru dikaitkan
dengan kerja dan kepemilikan pribadi.
Proses redistribusi pendpaatan dalam Islam mengamini banyak hal yang berkitan
dengan moral endogeneity, signifikasi dan batasana-batasan tertentu, di antaranya:
a. Sebagaimana utilirianisme, mempromosikan “greatest good for greatest number of
people”, denga “good” dan “utility” diharmonisasiakan dengan pengertian halal-haram,
peruntungan manusia dan pengikatan utility manusia adalah tujuan utama dari tujuan
pembangunan ekonomi.
b. Sebagaimana liberatarian dan Marxism, pertobatan dan penubusan dosa adalah salah satu
hal yang mendasari diterapkannya proses redistribusi pendapatan. Dalam aturan main
Syariah akan ditemukan sejumlah instrument yang mewajibkan seorang muslim untuk
medistibusikan kekayaannya sebagai akibat melakukan kesalahan (dosa).
c. Sistem redistriusi diarahkan untuk berlaku sebagai faktor pengurang dari adanya pihak
yang merasa dalam keadaaan merugi ataupun gagal. Kondisi seperti ini hampir bisa
dipastikan berlaku di setiap komunitas.
d. Mekanisme redistribusi berlaku secara istimewa, karena walaupun pada realitasnya
distribusi adalah proses transfer kekayaan searah, namun pada hakikatnya tidak demikian.
Di sini pun terjadi mekanisme pertukaran, hanya saja objek yang menjadi alat tukar dari
kekayaan yang ditransfer berlaku di akhirat nanti (pahala).
Sedangkan standar atau indikator kebutuhan dan batasan yang mendasari sitem distribusi
pendapatan Islam adalaha maqasid syariah (kebutuhan dan batasan dalam mengkomodi
kebutuhan paling dasar bagi setiap muslim, yaitu: aspek agama, diri atau personal, akal,
keturunan dan harta). Sistematika hierarki yang mengacu kepada skala prioritas dengan
urutan:
a. Ad-daruriyayah: suatau skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kebaikan dan
kepentingan dalam menjalani hidup di dunia dan akhrat.
b. Al-Hajjiyyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kemudahan dan
penghindaran kesulitan dalam menjalani hidup didunia dan akhirat.
c. At-Tahsiniyyah : suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kelengkapan dan
kecakapan melaksanakan hidup di dunia dan akhirat.
4. Distribusi Pendapatan Dalam Konteks Rumah Tangga (HouseHold)
Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan
terminologi shadaqah. Pengertian shodaqah disini bukan berarti sedekah dalam konteks
pengertian bahasa Indonesia. Karna shodaqoh dalam kontek terminoloi Al-Qur’an dapat
dipahami dalam dua aspek, yaitu: pertama, shadaqah wajibah yang berarti bentuk-bentuk
pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distriusi pendapatn berbasis
kewajiban. Untuk kategoi ini bisa berarti kewajiban personal sesorang sebagai muslim,
seperti warisan dan bisa juga berati kewajiaban seorang muslim dengan muslim lainnya.
Seperti jiwar dan musaadah (tunjangan). Kedua, shadaqah nafilah (sunnah) yang berati
bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi
pendapatan berbasis amal karitarif, seperti sedekah.
Distribusi penapatan dalanm rumah tangga juga berkaitan dengan terminology had atau
hudud (hukuman). Hukuman ini terjadi,bilamana seorang muslim melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan aturan syariah, kemudian sebagai konsekueni hukumnya ia diharuskan
membaar dengda kafarat dan dam (diyat). Kafatrat dan dam ini merupakan satau bentujk
hukuman yang bernuansa distribusi – redistribusi pendapatan.
Pertama, macam-macam instrument Shadaqah Wajibah (wjoib an khusus dikenakann bagi
orang muslim) adalah:
a. Nafaqah : kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan semua kebutuhan pada orang-
orang terdekat, yakni anak-anak dan istri.
b. Zakat : instrumen zakat adalah kewajiban seorang muslim untuk menyisihkan sebagian
hrta miliknya, untuk di ditribusikan kepada kelompok tertentu (delapan asnaf ).
c. Udhiyah : kurban binatang ternak pada saat hari tayrik perayaan Idul Adha.
d. Warisan : pemabgian aset kepemilikan kepada orang yang ditinggalkan setelah
meninggal dunia. Ajaran islam sangat mmperhatikan keberlangsungan hidup anak cucu
adam.
e. Musaadah : yaitu memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah.
Dalam konteks ini, Islam menekankan bahwa materi yang dijadikan objek bantuan
(didistribusikan) harus dalam keadaan yang layak, baik dan bagus (proper goods).
f. Jiwar : bantuan yang diberika berkaitan dengan urusan bertetangga.
g. Diyafah : kegiatan memberikan jamuan kepada tamu yang dating.
Kedua: instrument shadaqah nafilah (sunnah dan khusus dikenakan bagi orang Muslim)
a. Infak : sedekah yang diberikan kepada pihak lain jika kondisi keuangan rumah tangga
Muslim sudah berada di atas nisab.
b. Aqiqah : memotong seeor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk
anak laki-laki yang baru dilahirkan.
c. Wakaf : memberikan bantuan atas kepemilikannya untuk kesejahteraan masyarakat
umum, aset yang diwakafkan bisa dalam bentuk aset materi kebendaan (tanah, rumah,
barang) ataupun aset keuangan.
Ketiga: instrumen term had/hudud (hukuman) adalah instrumen yang bersifat aksidental, dan
merupakan konsekuensi dari sebuah tindakan.
a. Kafarat : tembusan terhadap dosa yang dilakukan oleh seorang Muslim, semisal
melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan.
b. Dam atau Diyat : tebusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah,
seperti tidak melaksanakan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji.
c. Nudzur : perbuatan untuk menafkahkan atau mengorbankan sebagian harta yang
dimilikinya untuk mendapat keridhoan Allah SWT.
A. KESIMPULAN
Islam menyadari bahwa pengakuan akan kepemilikkan adalah hal yang sangat penting.
Setiap hasil usaha ekonomi seorang muslim, dapat menjadi hak miliknya, karena hal inilah
yang menjadi motivasi dasar atas setiap aktivitas produksi dan pembangunan. Di lain pihak
prinsip moral islam mengarahkan kepada kenyataan bahwa pengakuan hak milik harus
berfungsi sebagai pembebas manusia dari karakter materialistis. Hanya karena pembebasan
itu, manusia bisa mendapatkan kemuliananya, bukan sebaliknya. Dalam islam legitimasi hak
milik akan tergantung dan sangat terkait erat kepada pesan moral untuk menjamin
keseimbangannya, dimana hak pribadi diakui, namun hak kepemilikkan tersebut harus
berfungsi sebagai nafkah konsumtif bagi diri dan keluarga, berproduksi dan berinvestasi.
Alat untuk mengapresiasikan kepedulian sosil (zakat, infak, dan sedekah) dan jaminan
kekayaan, menjamin mekanisme kerja fisaabilillah dan semangat pembangunan serta
penataan.
DAFTAR PUSTAKA
Riyadi, Abdul Kadir & Ika Yunia Fauzia, 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif
Maqashid Al-Syari’ah. Jakarta: Prenadamedia
Muhammad, 2004. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta; BPFE-
YOGYAKARTA
Edwin, Mustafa Nasution, Dkk, 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group