Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal ginjal kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan


gangguan fungsi renal yang progresif dan irefersibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga terjadi uremia (Smeltzer & Bare 2010). Sedangkan menurut
Tucker (1998) dalam Padila (2012), penyakit gagal ginjal kronis adalah penyakit
ginjal yang tidak dapat pulih ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, mengarah pada penyakit ginjal tahap akhir dan mematikan.

Berdasarkan data dari WHO, secara global lebih dari 500 juta orang
mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani
hidup bergantung pada cuci darah (hemodialisis) (Ratnawati, 2014). Menurut data
Riset Kesehatan Dasar (Riskedas, 2013), gagal ginjal kronis masuk dalam daftar
10 penyakit tidak menular. Prevalensi gagal ginjal di Indonesia sekitar 0,2%,
prevalensi pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun
(0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%) dan tertinggi pada kelompok umur >75
tahun (0,6%). Prevalnesi gagal ginjal kronis tertinggi di tiga provinsi yaitu
provinsi Sulawesi Tengah yaitu 0,5% kemudian provinsi Aceh, Sulawesi Utara,
Gorontalo yaitu 0,4% dan kemudian provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, DIY,
Jawa Timur, Banten yaitu sebesar 0,3%.

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh


Indonesia, jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50 orang per
satu juta penduduk, 60 % adalah usia dewasa dan usia lanjut. Menurut Depkes RI
2009, pada peringatan hari ginjal sedunia bahwa hingga saat ini di Indonesia
terdapat sekitar 70 ribu orang pasien gagal ginjal kronik yang memerlukan
penanganan terapi cuci darah dan hanya 7.000 pasien gagal ginjal kronik atau
10% yang dapat melakukan cuci darah yang dibiayai program Gakin (Depkes RI,
2009).

1
Prevalensi gagal ginjal tertinggi di Provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten
Klaten 0,7% (Kemenkes, 2013). Sedangkan prevalensi pada kelompok usia 15-24
tahun (0,0%), 25- 34 tahun (0,1%), 35-44 tahun (0,3%), 45-54 tahun (0,4%), 55-
64 tahun (0,4%), 65-74 tahun (0,4%), 75+ tahun (0,6%) (Kemenkes, 2013).

Gagal Ginjal Kronis atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan


penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan
tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik cairan dan elektrolit
mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia atau ginjal tidak dapat
membuang urea keluar dari tubuh sehingga urea menumpuk dalam darah. Kondisi
ini disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi
takterkontrol, lesi hereditas seperti penyakit poliskistik, kelainan vaskuler,
obstruksi saluran perkemihan, penyakit ginjal sekunder akibat penyakit sistemik
(diabete), infeksi, obat-obatan, atau preparat toksik (Diane & Joann, 2000).

Klien gagal ginjal kronis akan mengalami nyeri dada, mual, muntah, sesak
nafas, tekanan darah tinggi, gangguan elektrolit, gata-gatal, kelelahan, dan edema.
Selanjutnya muncul masalah seperti gangguan pada kardiovaskuler, gangguan
endokrin, gangguan gastrointestinal, neurologis dan psikiatrik, keseimbangan
asam basa, dan terjadi anemia (Suyono, 2008). Kerusakan fungsi ginjal yang tidak
tertangani dengan baik dapat menurukan kualitas hidup pasien , bahkan dapat
menyebabkan kematian yang disebabkan akumulasi toksin uremia yang beredar di
dalam darah (Suwitra, 2006).

Chronik Kidney Disease (CKD) menyebabkan gangguan regulasi cairan dan


elektrolit dan memicu terjadinya kondisi overload cairan pada penderita.
pemantauan TD pada pasien CKD sangat penting untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya overload pada pasien. Tanda kelebihan volume cairan
pada klien dengan chronic kidney disease adalah mengalami penurunan frekuensi
BAK (2-3 kali/hari), jumlah urin sedikit, data observasi berupa adanya edema
piting grade 3 pada kedua tungkai bawah klien serta ascites, jumlah urin dalam 24
jam (400 cc), tekanan darah 130/90 mmHg.

Pemeriksaan fisik (auskultasi paru) penting dilakukan, sehubungan dengan


adanya kelebihan cairan pada pasien CKD, tindakan keperawatan yang dapat

2
dilakukan adalah berupa pemantauan berat badan, edema atau ascites. Perubahan
berat badan secara signifikan yang terjadi dalam 24 jam menjadi salah satu
indikator status cairan dalam tubuh. Kenaikan 1 kg dalam 24 jam menunjukkan
kemungkinan adanya tambahan akumulasi cairan pada jaringan tubuh sebanyak 1
liter (Anggraini dan Putri, 2016).

Intervensi yang bisa diberikan pada klien chronic kidney disease yang
mengalami kelebihan volume cairan adalah mempertahankan diit pembatasan
cairan untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan yang beresiko timbulnya
hipertensi, edema paru akut, gagal jantung kongestif dan penyakit kardiovaskuler
lainnya. Pembatasan cairan dapat mempengaruhi beberapa aspek dalam tubuh
manusia, diantaranya adalah kekacauan hormonal, perubahan sosial, psikologi dan
rasa haus serta xerostomia atau mulut kering yang disebabkan karena produksi
saliva menurun (Guyton, 2007).

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan klien yang mengalami Chronic Kidney


Disease (CKD) dengan kelebihan volume cairan di Rumah Sakit Umum Daerah
Salatiga. 6 1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Melakukan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami Chronic


Kidney Disease (CKD) dengan kelebihan volume cairan.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada klien yang mengalami Chronic


Kidney Disease (CKD) dengan kelebihan volume cairan.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien yang
mengalami Chronic Kidney Disease (CKD) dengan kelebihan volume
cairan.
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami Chronic Kidney Disease (CKD) dengan kelebihan volume
cairan.

3
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada klien yang mengalami
Chronic Kidney Disease (CKD) dengan kelebihan volume cairan.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada klien yang mengalami Chronic
Kidney Disease (CKD) dengan kelebihan volume cairan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronik Kidney Disease ( CKD)


2.1.1 Definisi CKD
gejala yang muncul secara bertahap, biasanya tidak menimbulkan gejala awal
yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal tersebut sering dirasakan, tahu-tahu
sudah pada tahap parah dan sulit diobati. Gagal ginjal kronik atau penyakit tahap
akhir adalah penyimpangan progresif, ginjal yang tidak dapat pulih dimana
kemampuan tubuh untuk mempertahan-kan keseimbangan metabolic cairan dan
elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia (Syamsir dan Iwan,
2007).

CKD atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan penyimpangan progresif,


fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, dan cairan dan elektrolit mengalami
kegagalan, yang mengakibatkan uremia atau ginjal tidak dapat membuang urea
keluar dari tubuh sehingga urea menumpuk dalam darah. Kondisi ini mungkin
disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi takterkontrol,
lesi hereditas seperti penyakit poliskistik, kelainan vaskuler, obstruksi saluran
perkemihan, penyakit ginjal sekunder akibat penyakit sistemik (diabetes), infeksi,
obatobatan, atau preparat toksik. Preparat lingkungan dan okupasi yang telah
menunjukkan mempunyai dampak dalam gagal ginjal kronik 9 9 termasuk timah,
kadmiun, merkuri dan kromium. pada akhirnya dialisis atau transpalantasi ginjal
diperlukan untuk menyelamatkan pasien (Diane & Joann, 2000).

2.1.2 Etiologi

Gagal ginjal kronis sering sekali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya, sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness), penyebab
yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi. Selain itu ada beberapa
penyebab lainnya dari gagal ginjal kronis (Robinson, 2013) yaitu:

5
Faktor penyebab:

1. Glomerulonefritis ( penyakit glomerular kronis)


2. Pielonefritis kronis dan tuberkulosis
3. Polikistik Ginjal (Kelainan congenital)
4. Renal Nephroclerosis (Penyakit vaskuler)
5. Nephrolititis (Obstruksi saluran kemih)
6. System Lupus Erythematosus (Penyakit kolagen)

2.1.3 Klasifikasi

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang ditandai


dengan penurunan nilai laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate
(GFR) selama tiga bulan atau lebih. Menurut (Derebail, et al., 2011), klasifikasi
CKD berdasarkan nilai GFR dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD Berdasarkan Nilai GFR.

No Deskripsi GFR (ml/min per 1.73m2 )


1. Kerusakan ginjal dengan GFR normal >90 60 – 89
2. Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR 60 – 89
ringan
3. Penurunan GFR sedang 30 – 59
4. Penurunan GFR berat 15 – 20
5. Gagal ginjal <15 (atau dialisis)

2.1.4 Patofisiologi

Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa
masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi
ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik
mungkin minimal karena nefronnefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi
nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatan kecepatan filtrasi, reabsorpsi,
dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi. Seiring banyaknya nefron yang mati,

6
maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-
nefron itu ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini
tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabsorpsi protein.

Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan


parut dan aliran darah ke ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat
bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga mengakibatkan hipertensi.
hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal (Arif dan Kumala, 2008).

Nefron rusak permanen _ nefron intack hiperplasi dan hipertrofi _fungsi ginjal
tidak berjalan _ kerusakan nefron lebih dari 75% _ fungsi ginjal rusak _ ginjal
tidak mampu menjalankan fungsinya (Supratman, 2008).

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Suharyanto dan Majdid


(2009), diantaranya adalah :

1. Anemia

Anemia pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan oleh produksi


eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian
eritropoietin subkutan atau intravena. Pemberian eritropoietin subkutan atau
intravena bisa bekerja dengan baik apabila kadar besi, fosfat, dan vit B12 adekuat
dan keadaan pasien baik.

2. Hipertensi

Penyakit vaskuler merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal


kronik. Sebagian besar penyakit hipertensi pada gagal ginal kronik disebabakan
oleh hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Jika fungsi ginjal memadai,
pemberian furosemid dapat bermanfaat.

3. Dehidrasi

Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabbkan retensi natrium dan air


akibat hilangnya nefron. Ginjal tetap mempertahankan filtrasi namun kehilangan

7
fungus tubulus sehingga mengekskresikan urin yang sangat encer yang
menyebabkan dehidrasi.

4. Gastrointestinal

Gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terasa terbakan sering dirasakan
pasien gagal ginjal kronik. Esofagitis, angiodisplasia dan pancreatitis juga tinggi
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik.

5. Endokrin

Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido,


impotensi, dan penurunan jumlah serta mortilitas sperma. Pada wanita, sering
terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi dan infertilitas.

6. Peyakit jantung

Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar
ureum, fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat.
Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau
kardiomiopati dilatasi.

2.1.6 Manifestasi klinis

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronik dikarenakan gangguan yang
bersifat sistemik. Gagal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki
fungsi yang banyak (organ multifuncsion), sehingga kerusakan klinis secara
fisisologis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan
vasomotor. Berikut ini ada tanda dan gejala gagal ginjal ronik (Robinson, 2013):

1) Ginjal dan gastrointestinal

Sebagai akibat dari hiponatremia maka timbul hipotensi, mulut kering


penurunan turgor kulit, kelemahan, fatigue, dan mual. Kemudian terjadi
penurunan kedasaran (somnolen) dan nyeri kepala berat. Dampak dari
peningkatan kalium adalah peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot
mengalami kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak terkompensasi akan

8
mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda paling khas adalah terjadinya
penurunan urine output dengan sedimentasi yang tinggi.

2) Kardiovaskuler

Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremia pecarditis, effuse


pericardial (kemungkinan bisa terjadi temponade jantung), gagal jantung, odema
periorbital dan odema perifer.

3) Respiratory system

Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura,
cracles, sputum yang kental, uremia pleuritis dan uremia lung, dan sesak nafas.

4) Gastrointestinal

Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan userasi pada mukosa


gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan kemungkinan
juga disertai parotitis, caofagotis, gastritis, ulserasi, lesi pada usus halus/usus
besar, dan pancreatitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia,
nausea, dan vomiting.

5) Integument

Kulit pucat, kekuning- kuningan , kecoklatan, kering dan ada sclap. Selain itu
biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechiae, dan timbunan
urea pada kulit.

6) Neurologis

Biasanya ditunjukkan dengan adanya neurophati perifer, nyeri, gatal pada


lengan dan kaki. Selain itu juga adanya kram pada otot reflek kedutan, daya
memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, pusing, koma, kejang. Dari hasil
EEG menunjukkan adanya perubahan metabolik enchepalophaty.

7) Endokrin

Biasa terjadi infertilisasi dan penurunan libido, amenorhea dan gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi
aldosterone, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.

9
8) Hematopoitiec

Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia


(dampak dari dialisis) dan kerusakan platelet. Biasanya masalah yang serius pada
system hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis,
dan petechiae).

9) Muskuloskletal

Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis dan
klasifikasi (otak, mata, gusi, dan miokard)

2.1.7 Pentalaksanaan

Penatalaksanaan klien CKD untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada


dan mempertahankan keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang
kehidupan klien. Sebagai penyakit yang komplek, gagal ginjal kronik
membutuhkan penatalaksanaan yang terpadu dan serius, sehingga akan
meminimalisir komplikasi dan meningkatkan angka harapan hidup. Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam melakukan penatalaksanaan pada gagal ginjal
kronik (Robinson, 2013).

1. Perawatan kulit yang baik.

Perhatikan hygiene pasien dengan baik melalui personal hygiene (mandi/sex)


secara rutin. Gunakan sabun yang mengandung lemak dan lotion tanpa alcohol
untuk mengurangi rasa gatal. Jangan gunakan gliserin/sabun yang mengandung
gliserin karena akan mengakibatkan kulit menjadi tambah kering.

2. Jaga kebersihan

Lakukan perawatan oral hygiene melalui sikat gigi dengan bulu sikat yang
lembut. Kurangi konsumsi gula (bahan makan dan minum) untuk mengurangi rasa
tidak nyaman di mulut.

3. Beri dukungan nutrisi

Kolaborasi dengan nutritionist untuk menyediakan menu makanan favorit


sesuai diet. Beri dukungan intake tinggi kalori, rendah natrium dan kalium.

10
4. Pantau adanya hiperkalemia

Hiperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/ kram pada lengan


dan abdomen, dan diare. Selain itu pemantauan hiperkalemia dengan hasil ECG.
Hiperkalemia biasa diatasi dengan dialisis.

5. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia biasa diatasi dengan pemberian


antasida (kandunga alumunium/ kalsium karbonat).

6. Kaji status hidrasi dengan hati-hati

Dilakukan dengan memeriksa ada/ tindakanya disertasi vena jugularis, ada/


tidaknya crackles pada auskultasi paru. Selain itu, status hidrasi bias dilihat dari
keringat berlebih pada aksila, lidah yang kering, hipertensi dan edema perifer.
Cairan hidrasi yang berlebihan adalah 500-600 ml atau lebih dari keluaran urine
24 jam.

7. Kontrol tekanan darah

Tekanan darah diupayakan dalam kondisi normal Hipertensi dicegah dengan


mengontrol volume intravaskuler dan obat-obatan antihipertensi

8. Latih klien nafas dalam untuk mencegah terjadinya kegagalan nafas akibat
obstruksi.

9. Jaga kondisi septic dan aseptic setiap prosedur perawatan

10. Observasi ginjal adanya tanda- tanda perdarahan

Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit klien. Pemberian heparin selama


klien menjalani dialisi harus sesuai dengan kebutuhan.

11. Observasi adanya gejala neurologi

Pantau kadar kadar hemoglobin dan hematokrit klien. Pemberian heparin


selama klien menjalani dialisis harus sesuai dengan kebutuhan.

11
12. Tatalaksana dialisis/ transplantasi ginjal

Untuk membantu mengoptimalkan fungsi ginjal maka dilakukan dialisis/cuci


darah karena ginjal yang seharusnya menyaring racun-racun sisa metabolisme
tidak sanggup melakukan tugasnya. Imbasnya, racun sisa metabolisme tidak bisa
keluar dalam tubuh dan bercampur dalam darah. Jika darah yang berisi racun ini
diedarakan ke seluruh tubuh, maka akan menggangu organ lainnya. Mesin yang
digunakan untuk mencuci darah adalah hemodialisa. Cara kerjanya, yakni dengan
mengalirkan dari tubuh menuju mesin, lalu dalam mesin darah di saring, racun
dalam darah dibuang, lalu darah bersih kembali dialirkan dalam tubuh. Jika
memungkinkan koordinasikan untuk dilakukan transplantasi ginjal.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

Menurut Muttaqin dan Sari (2014) penatalaksanaan Asuhan Keperawatan


pada pasien gagal ginjal kronik adalah:

2.2.1 Pengkajian

1) Identitas

2) Riwayat Kesehatan

a) Keluhan Utama dan Riwayat Kesehatan Sekarang

 Aktivitas/ istirahat : kelelahan yang ekstrim, kelemahan, malaise.


 Sirkulasi : riwayat hipertensi lama adalah berat, palpitasi, nyeri dada.
 Integritas ego : faktor stress, contohnya finansial, hubungan dan
sebagainya, perasaan tak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada
kekuatan.
 Eliminasi : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen
kembung, diare/ konstipasi.
 Makanan/ cairan : berat badan naik (edema), berat badan turun
(malnutrisi), anorexia, nyeri ulu hati, mual/ muntah, rasa metalik pada
mulut yang tidak sedap (nafas amoniak), dan penggunaan diuretic.
 Neurosensori : sakit kepala, pengelihatan kabur, kram otot/ kejang,
sindrom kaki gelisah, kebas rasa terbakar pada telapak kaki, kebas/

12
kesemutan dan kelemahan, terutama ekstremitas bawah (neuropati
perifer).
 Nyeri/ kenyamanan : nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaki
(memburuk pada malam hari).
 Pernafasan : nafas pendek, dipsnoe nokturnal paraksismal, batuk
dengan/tanpa sputum kental dan banyak.
 Keamanan : kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi

b) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Kaji adanya riwayat penyakit chronik kidney disease, infeksi saluran kemih,
payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
dan prostatektomi, kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi
saluran perkemihan berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi
pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebabnya. Penting untuk
dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat
alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.

c) Psikososial

Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialisis akan
menyebabkan klien mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan klien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran
keluarga (self esteem).

3) Pengkajian Fokus

Menurut Muttaqin dan Sari (2014) pengkajian fokus pada pasien gagal ginjal
kronik adalah sebagai berikut:

 B1 (Breathing) : klien bernafas dengan bau urine (Fetor Uremik) sering


didapatkan pada fase ini. Respon uremia didapatkan adanya pernafasan
kusmaul. Pola nafas cepat dan dalam, merupakan pembuangan
karbondioksida yang menumpuk di sirkulasi.

13
 B2 (blood) : Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi perawat akan
menemukan adanya Friction Rub yang merupakan tanda khas efusi
pericardial. Didapatkan tanda gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral
dingin, CRT >3 detik, palpitasi, nyeri dada/ angina dan sesak nafas,
gangguan irama jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder dari
penurunan curah jantung akibat hiperkalemia, dan gangguan konduksi
elektrikal otot ventrikel.
 B3 (Brain) : Didapatkak penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral
( perubahan proses pikir dan disorientasi), klien sering kejang, adanya
neuropati perifer, burning feet perifer,restless leg syndrome, kram otot, dan
nyeri otot.
 B4 (Bladder) : Penurunan urine output <400mL/ hari terjadi penurunan
libido berat.
 B5 (Bowel) : Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare
sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus
saluran cerna sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari
kebutuhan.
 B6 (Bone) : Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala,kram otot, nyeri
kaki, kulit gatal, pruritas, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area ekimosis
pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium pada kulit, dan terjadi
keterbatasan gerak sendi.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon manusia


terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau kerentanan respon dari
seorang individu.

Menurut Herdman dan Kamitsuru (2015), diagnosa yang muncul pada pasien
chronic kidney disease (CKD) adalah :

1) Kelebihan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi (00026)

a) Tujuan :

14
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan volume cairan dalam
rentan normal.

b) kriteria hasil :

 Terbebas dari odema, efusi, anaskara.


 Bunyi nafas bersih, tidak ada dypsneu/ ortopneu.
 Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jatung dan
vital sign dalam batas normal.
 Terbebas dari kelelahan , kecemasan atau kebingungan.
 Menjelaskan indikator kelebihan cairan.

c) Intervensi :

 Monitor cairan
 Pemasangan infus
 Manajemen elektrolit atau cairan
 Monitor tanda-tanda vial
 Manajemen edema serebral

d) Rasional :

 Untuk mengetahuan berapa banyak cairan yang masuk atau keluar dai
tubuh.
 Mempermudah memasukkan terapi cairan.
 Mengurangi resiko penumoukan cairan dalam tubuh.
 Untuk mengetahuan keadaan umum klien.
 Untuk mengetahuai seberapa parah edema yang terjadi pada klien.

e) Implementasi

 Memonitor cairan
 Memasang infus
 Melakukan menejemen elektrolit atau cairan
 Memonitor tanda-tanda vital
 Melakukan menejemen edema serebral.

15
f) Evaluasi : Volume cairan klien dalam rentan normal.

2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d factor biologis


(00002)

a) Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan kebutuhan nutrisi dapat


terpenuhi.

b) Kriteria hasil :

 Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.


 Berat badan ideal sesuai berat badan.
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
 Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.

c) Intervensi :

 Monitor nutrisi
 Konseling nutrisi
 Monitor tanda-tanda vital
 Manajemen gangguan makan
 Penahapan diet

d) Rasional :

 Menegtahuai makana apa yang dikonsumsi


 Agar klien lebih paham makanan apa yang baik untuk kesehatanya.
 Mengetahui keadaan umum klien.
 Mengetahui apa penyebab klien tidak mau makan.
 Agar kesehatan klien tetap terkontrol.

e) Implementasi :

 Memonitor nutrisi
 Memberikan konseling nutrisi

16
 Memonitor tanda-tanda vital
 Memenejemen gangguan makan
 Meberikan penahapan diet.
 Evaluasi : kebutuhan nutrisi dapat teratasi.

3) Intoleransi aktifitas b.d ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan


oksigen (00092)

a) Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien bisa aktivitas


secara mandiri dan normal.

b) Kriteria Hasil :

 Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa ada peningkatan tekanan darah,


nadi dan RR.
 Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
 Tanda-tanda vital normal
 Mampu berpindah dengan atau tanpa bantuan alat.
 Status kardiopulmonari adekuat.

c) Intervensi :

 Bantu perawatan diri : IADL


 Manajemen nyeri
 Terapi oksigen
 Manajemen lingkungan : nyaman.
 Peningkatan tidur

d) Rasional :

 Memandirikan klien untuk aktivitas


 Mengetahui nyerinya skala berapa.
 Memaksimalkan oksigenasi klien.
 Agar klien merasa nyaman dan cepat sembuh
 Agar tenaga klien cepat pulih.

17
e) Implementasi :

 Membantu IADL klien.


 Memenejemen nyeri
 Memberikan terapi oksigen.
 Memberikan klien lingkungan nyaman.
 Meningkatkan tidur klien.

f) Evaluasi : Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri.

4) Gangguan Pertukaran Gas b.d status pernafasan (00030)

a) Tujuan :

Pola nafas klien dalam rentan normal

b) Kriteria Hasil :

 Mendemontrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.


 Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari distress pernafasan.
 Memdemontrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih tidak ada
sianosis dan dypsneu
 Tanda-tanda vital dalam rentang normal.

c) Intervensi :

 Monitor tanda-tanda vital


 Terapi oksigen
 Manajemen jalan nafas
 Manajemen jalan nafas buatan
 Manajemen alergi.

d) Rasional :

 Mengetahuai keadaan umum klien


 Memaksimalkan oksigenasi klien
 Melihat apakah ada masalah dijalan nafas klien.

18
 Membantu pernafasan bila klien membutuhkan dalam keadaan darurat
 Mengetahui akibat sesak nafas karena alergi atau bukan.

e) Implementasi :

 Memonitor tanda-tanda vital


 Memberikan Terapi oksigen
 Memenajemen jalan nafas
 Memajemen jalan nafas buatan
 Memenajemen alergi.

f) Evaluasi : Pola nafas klien dalam rentan normal.

5) Kerusakan integritas kulit b.d gangguan metabolisme (00046)

a) Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak ada gangguan kulit


klien dapat teratasi.

b) Kriteria Hasil :

 Integritas kulit yang baik bisa dipertahanka


 Tidak ada luka/ lesi pada kulit.
 Mampu melindungi kulit dan mempetahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami
 Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang.

c) Intervensi :

 Monitor elektrolit
 Monitor tanda-tanda vital
 Pengecekan kulit
 Menejemen pengobatan
 Manajemen elektrolit atau cairan.

d) Rasional :

19
 Mengetahui kekurangan kelebihan atau kekurang elektrolit atau caairan.
 Mengetahui keadaan umum klien.
 Mengetahui seberapa parah kerusakan kulit klien.
 Mempercepat pengobatan
 Mengetahui berapa cairan dan apa cairan yang sudah masuk ketubuh
klien.

e) Implementasi ;

 Memonitor elektrolit
 Memonitor tanda-tanda vital
 Melakukan Pengecekan kulit
 Memanejemen pengobatan
 Mamenajemen elektrolit atau cairan.

f) Evaluasi :

kulit klien tidak mengalami kerusakan yang parah.

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Resume Kasus


Tn.T berusia 54 tahun, agama Kristen, suku batak, pekerjaan supir angkot,
kewarganegaraan Indonesia, alamat Dusun II jl. H. Abbas Kampung Lalang.
Penanggung jawab dari klien adalah Ny.M yang berusia 48 tahun, pekerjaan ibu
rumah tangga, hubungan dengan keluarga adalah Ny.M istri dari klien. Klien
masuk IGD umum Rumah Sakit Imelda Pekerja Indonesia pada tanggal 10 Januari
2021 pukul 01.30 IB, no.RM 263350 dengan diagnosa medis CKD stage V ec.
DM + Anemia berat + Pneumonia + Hipertensi + susp. Stroke Iskemiks. Klien
datang dengan keluhan mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, nyeri
dibagian ulu hati. Dari hasil pengkajian di IGD umum, keadaan umum Tn.T
lemah, pucat (+), tidak ada demam dan tidak ada sesak napas, BAK 150 cc, intake
250 cc. Dilakukan pemeriksaan TTV: TD 160/90 mmHg, HR 90 x/i, RR 20 x/i,
Temp 36ºC dan hasil pemeriksaan darah lengkap: Hb 6,1 g/dl, leukosit 18.300/uL,
Hematokrit 16,7%. Pemeriksaan FAAL ginjal Ureum 182 mg/dl, kreatinin 5,71
mg/dl dan pemeriksaan analisa urine protein (++) positif, reduksi (+) positif.
Pemeriksaan analisa gas darah: pH 7,39, PCO2 21,6 mmHg, PO2 182 mmHg,
HCO3 13,3 mmHg. Hasil torax (AP) dengan kesimpulan pneumonia. Terapi yang
diberikan pada saat di IGD IVFD NaCl 0,9% 16 tts/i, inj. Ranitidine 1 amp/IGD,
inj. Furosemide 1 amp/IGD, inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam, inj. Ondansentron 1
amp/12 jam, Valsartan tab 160 mg/24 jam, Omeprazole 1 vial/12 jam. Kemudian
klien dipindahkan ke ruangan anggrek jam 07.50.
Dilakukan pengkajian di ruangan anggrek, keadaan umum klien lemah,
mual (+), muntah (-), pucat (+), nafsu makan menurun. Pemeriksaan TTV: TD
160/90 mmHg, HR 90 x/i, RR 20 x/i, Temp 36ºC. Dilakukan transfusi darah
sebanyak 3 bag PRC golongan darah O Rh(+) dan USG kidney + bladder di RO

21
dengan hasil proses cronis parenkim kedua ginjal (GGK). Terapi yang diberikan
di ruangan anggrek inj. Kidmin 1 fls/24 jam, Valsartan tab 80 mg/24 jam, inj.
Ceftriaxone 1 gr/12 jam, inj. Ondansentron 8 mg/12 jam, Omeprazole 1 vial/12
jam. Kemudian klien dipindahkan ke ruangan ICU tanggal 11 Januari 2021 karena
mengalami penurunan kesadaran, sesak napas dan dilakukan pemeriksaan TTV:
TD 150/90 mmHg, HR 96 x/i, RR 32 x/i, Temp 36,7ºC. diagnosa medis saat klien
di transfer ke ICU CKD stage V ec. DM + Anemia berat + Pneumonia + Susp.
Stroke Iskemik + Asidosis Metabolik.
Riwayat kesehatan klien, Ny.M mengatakan klien memiliki riwayat
penyakit DM 10 tahun yang lalu, Pneumonia, Kolesterol, dan asam urat, tetapi
klien belum pernah dirawat di rumah sakit hanya rawat jalan di rumah sakit
Advent. Istri klien tidak mengingat mengobatan yang telah diberikan saat rawat
jalan. Ayah klien memiliki riwayat DM dan abang klien memiliki riwayat
penyakit jantung.
Hasil pengkajian tanggal 13 Januari 2021 di ruangan ICU, keadaan umum
klien lemah, klien tampak sesak (+), batuk (+), secret (+) tetapi tertahan dan tidak
keluar, napas dibantu dengan alat bantu napas menggunakan NRM 10 liter, bunyi
napas ronkhi, CRT > 3 detik, ekstremitas bawah tampak edema (+) dengan pitting
edema 2+, sianosis (+), kesadaran tidak stabil dengan GCS 6, konjungtiva anemis,
akral teraba dingin, turgor kulit kering, mukosa bibir kering. Dilakukan
pemeriksaan TTV: TD 139/88 mmHg, HR 94 x/i, RR 24 x/i, Temp 37ºC, SpO2
98%. BB klien sebelum sakit 90 kg, pada saat sakit 60 kg, TB 165 cm.
Pemeriksaan darah lengkap: Hb 8 g/dl, leukosit 14.300/uL, hematokrit 22,8%.
Pemeriksaan analisa gas darah: pH 7,18, PCO2 18 mmHg, PO2 180 mmHg,
HCO3 8,4 mmHg dengan kesimpulan asidosis metabolik. Radiologi report: USG
kidney dan bladder dengan kesimpulan proses cronis parenkim kedua ginjal
(GGK).
Pola eliminasi, sebelum masuk rumah sakit Buang Air Besar (BAB) klien
normal 1 kali/hari, pada saat di rawat di rumah sakit BAB klien 3 kali/hari dengan
konsistensi feses lunak dan berwarna hitam. Buang Air Kecil (BAK) klien
sebelum masuk rumah sakit, sering BAK tengah malam. Pada saat di rawat di
rumah sakit BAK klien berwarna kuning kehijauan dan dibantu dengan

22
terpasangnya kateter foley, produksi urine 990ml/hari. Balance cairan = intake
(1935 ml) – output (1590ml) maka + 345 dengan nilai GFR 13%.
Pola nutrisi, sebelum sakit klien makan seperti biasa dengan porsi yang
sesuai dengan kebutuhan tubuhnya, 3 hari sebelum masuk rumah sakit nafsu
makan klien menurun. Pada saat sakit klien diet sonde DM dan ginjal, dibantu
dengan NGT.

23
3.2. Analisa Data
Nama Klien : (Alm) Tn. T Hari/Tanggal : Rabu / 13 Januari
2021
No. RM : 26 33 50 Ruang Rawatan : ICU
No Analisa Data Etiologi Masalah
.
1 DS : - Infeksi pada paru Bersihan jalan napas
DO : tidak efektif
 Klien tampak sesak Hiperekresi lendir +
 Batuk (+) inflamasi

 Sekret (+) tetapi tertahan dan


tidak keluar Fungsi silia menurun

 Napas dibantu dengan alat


bantu napas NRM 10 liter Produksi sekret

 Bunyi napas ronchi meningkat

 TTV : TD 139/88 mmHg, HR:


Batuk berdahak
94 x/i, RR 24x/i, Temp 37 ºC,
SPO2 98%
Bersihan jalan napas
tidak aktif
2 DO : - Perubahan penampang Gangguan pertukaran
DS : membran alveolar gas
 Klien tampak sesak
 Batuk (+), Sekret (+) Penurunan ekspansi

 Napas di bantu dengan alat paru

bantu napas menggunakan


NRM 10 liter Gangguan pertukaran

 TTV : TD 139/88 mmHg, HR: gas

94 x/i, RR 24x/i, Temp 37 ºC,


SPO2 98%
 Bunyi napas ronchi
 Irama napas tidak teratur

24
 Pemeriksaan analisa gas darah:
pH 7,18, PCO2 18 mmHg,
PO2 180 mmHg, HCO3 8,4
mmHg Asidosis metabolic
3 DO : - Stimulus kronis pada Perfusi
DS : ginjal (CKD) perifer tidak
 Akral teraba dingin efektif
 Konjungtiva anemis Hormon eritropoetin

 Turgor kulit kering menurun

 CRT >3 detik


Jumlah sel darah merah
 Membran mukosa kering
menurun
 TTV : TD 139/88 mmHg, HR:
94 x/i, RR 24x/i, Temp 37 ºC,
Suplai oksigen menurun
SPO2 98%
pada jaringan perifer
 Ureum : 182 mg/dl (Normal :
13-50 mg/dl)
Perfusi perifer tidak
 Kreatinin : 5,71 mg/dl (Normal
efektif
: 0,7 – 1,4 mg/dl)
 Hb 8 g/dl

25
3.3. Prioritas Masalah
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
ditandai dengan Klien tampak sesak, batuk (+), sekret (+) tetapi tertahan
dan tidak keluar napas dibantu dengan alat bantu napas NRM 10 liter,
bunyi napas ronchi, TTV : TD 139/88 mmHg, HR: 94 x/i, RR 24x/i, Temp
37 ºC, SPO2 98%
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
ditandai dengan klien tampak sesak, batuk (+), napas dibantu dengan
NRM 10 liter, bunyi napas ronchi, analisa gas darah: pH 7,18, PCO2 18
mmHg, PO2 180 mmHg, HCO3 8,4 mmHg, asidosis metabolik
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan suplai oksigen menurun
ditandai dengan akral teraba dingin, konjungtiva anemis, turgor kulit
kering, ureum 182 mg/dl, kreatinin 5,71 mg/dl, Hb 8 g/dl

26
3.4. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Rencana Asuhan Keperawatan
Keperawatan Tujuan/kriteria Intervensi
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan Observasi
napas tidak efektif tindakan keperawatan 1 1. Monitor adanya produksi sputum
berhubungan × 24 jam masalah 2. Monitor suara nafas
dengan bersihan jalan napas 3. Monitor kecepatan aliran oksigen
penumpukan ecret dapat teratasi dengan 4. Monitor status oksigenisasi
ditandai dengan kriteria: sebelum dan sesudah mengubah
Klien tampak sesak,  Bersihan jalan napas posisi.
batuk (+), ecret (+)  Kontrol gejala Terapeutik
tetapi tertahan dan 1. Atur posisi semifowler
tidak keluar napas 2. Buang secret pada tempat sputum
dibantu dengan alat 3. Pertahankan kepatenan jalan napas
bantu napas NRM Kolaborasi
10 liter, bunyi napas 1. Kolaborasi dengan dokter dalam
ronchi, TTV : TD pemberian terapi
139/88 mmHg, HR:
94 x/i, RR 24x/i,
Temp 37 ºC, SPO2
98%

2 Gangguan Setelah dilakukan Observasi


pertukaran gas tindakan keperawatan 1 1. Auskultasi bunyi napas
berhubungan × 24 jam masalah 2. Monitor saturasi oksigen
dengan penurunan gangguan pertukaran 3. Monitor kecepatan aliran oksigen
ekspansi paru gas dapat teratasi 4. Monitor efektifitas terapi oksigen
ditandai dengan dengan kriteria: 5. Monitor nilai AGDA
klien tampak sesak,  Pertukaran gas 6. Monitor hasil radiologi report
batuk (+), napas  Keseimbangan asam Terapeutik
dibantu dengan basa 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
NRM 10 liter, bunyi  Perfusi paru 2. Berikan posisi semifowler pada
napas ronchi,  Respon ventilasi pasien
analisa gas darah: mekanik 3. Berikan oksigenasi sesuai
pH 7,18, PCO2 18 kebutuhan
mmHg, PO2 180 4. Tetap berikan oksigen saat pasien
mmHg, HCO3 8,4 di transportasi
mmHg, asidosis Kolaborasi
metabolik 1. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
2. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi

3 Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan Observasi


efektif berhubungan tindakan keperawatan 1 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi
dengan suplai × 24 jam masalah perifer, edema, warna, suhu kulit)
oksigen menurun perfusi perifer tidak 2. Monitor panas, kemerahan, nyeri,

27
ditandai dengan efektif dapat teratasi atau bengkak pada ekstremitas
akral teraba dingin, dengan kriteria: 3. Monitor perubahan kulit
konjungtiva anemis,  Perfusi perifer 4. Monitor status hidrasi
turgor kulit kering,  Perfusi sensori (mis.frekuensi nadi, kekuatan nadi,
ureum 182 mg/dl,  Status sirkulasi akral, kelembaban mukosa, turgor
kreatinin 5,71 kulit)
mg/dl, Hb 8 g/dl 5. Monitor TTV
Terapeutik
1. Hindari pemasangan infus atau
mengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
2. Hindari pemakaian benda-benda
yang berlebihan suhunya (terlalu
panas atau dingin)
Edukasi
1. Edukasi kepada keluarga klien
dalam program diet untuk
memperbaiki sirkulasi (rendah
lemak jenuh, minyak ikan omega
3)
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi nalgesic

3.5. Implementasi dan Evaluasi


Tangga Diagnosa Implementasi Evaluasi
l Keperawatan
14 Bersihan jalan Observasi S:-
januari napas tidak efektif 1. Mengidentifikasi O:
2021 kemampuan batuk  Klien tampak sesak
2. Memonitor adanya retensi  Batuk (+)
sputum  Sekret tertahan
3. Memonitor suara napas  Napas dibantu dengan
4. Memonitor kecepan aliran NRM 10 liter
oksigen  Bunyi napas ronchi
5. Memonitor status  TTV : TD 150/97
oksigenisasi sebleum dan mmHg, HR 100 x/I, RR
sesudah mengubah posisi. 24 x/I, Temp 37ºC,
Terapeutik SPO2 96%
1. Mengatur posisi semifowler A:
2. Buang secret pada tempat Masalah belum teratasi
sputum P:
3. Mempertahankan kepatenan Intervensi dilanjutkan:
jalan napas 1. Identifikasi
Kolaborasi

28
Berkolaborasi dengan dokter kemampuan batuk
dalam pemberian acetylcistein 2. Monitor adanya retensi
dan nebulizer ventoline + sputum
fluimucyl 3. Monitor suara napas
4. Monitor kecepatan
aliran oksigen
5. Monitor status
oksigenisasi sebelum
dan sesudah mengubah
posisi
6. Buang secret pada
tempat sputum
7. Mempertahankan
kepatenan jalan napas
8. Lakukan suction
9. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian terapi
14 Gangguan Observasi S:-
Januari pertukaran gas 1. Mengauskultasi bunyi napas O :
2021 2. Memonitor saturasi oksigen  Klien tampak sesak
3. Memonitor kecepatan aliran  Batuk (+)
oksigen  Sekret tertahan
4. Memonitor efektifitas terapi  Napas dibantu dengan
oksigen NRM 10 liter
5. Memonitor nilai AGDA  Bunyi napas ronchi
6. Memonitor hasil radiologi  TTV : TD 150/97
report mmHg, HR 100 x/I, RR
Terapeutik 24 x/I, Temp 37ºC,
1. Mempertahankan kepatenan SPO2 96%
jalan napas
2. Memberikan posisi A :
semifowler pada pasien Masalah belum teratasi
3. Memberikan oksigenasi P :
sesuai kebutuhan Intervensi dilanjutkan:
4. Tetap memberikan oksigen 1. Auskultasi bunyi napas
saat pasien di transportasi 2. Monitor saturasi
Kolaborasi oksigen
1. Berkolaborasi penentuan 3. Monitor kecepatan
dosis oksigen NRM aliran oksigen
sebanyak 10 liter 4. Monitor efektifitas
2. Berkolaborasi dengan dokter terapi oksigen
dalam pemberian terapi inj. 5. Mempertahankan
Meropenem 1 gr/24 jam kepatenan jalan napas
6. Memberikan posisi
semifowler pada pasien

29
7. Tetap berikan
oksigenasi saat pasien
di transportasi
8. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
9. Kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian
terapi
14 Perfusi perifer Observasi S:-
januari tidak efektif 1. Memeriksa sirkulasi perifer O:
2021 (mis. Nadi perifer, edema,  Akral teraba dingin
warna, suhu kulit)  Turgor kulit kering
2. Memonitor panas,  CRT > 3 detik
kemerahan, nyeri, atau  Membran mukosa kering
bengkak pada ekstremitas  TTV : TD 150/97
3. Memonitor perubahan kulit mmHg, HR 100 x/I, RR
4. Memonitor status hidrasi 24 x/I, Temp 37ºC,
(mis.frekuensi nadi, kekuatan SPO2 96%
nadi, akral, kelembaban A:
mukosa, turgor kulit) Masalah belum teratasi
5. Memonitor TTV P:
Terapeutik Intervensi dilanjutkan:
1. Menghindari pemasangan 1. Periksa sirkulasi perifer
infus atau mengambilan (mis. Nadi perifer,
darah di area keterbatasan edema, warna, suhu
perfusi kulit)
2. Menghindari pemakaian 2. Monitor panas,
benda-benda yang berlebihan kemerahan, nyeri, atau
suhunya (terlalu panas atau bengkak pada
dingin) ekstremitas
Edukasi 3. Monitor perubahan kulit
1. Mengedukasi kepada 4. Monitor status hidrasi
keluarga klien dalam program (mis.frekuensi nadi,
diet untuk memperbaiki kekuatan nadi, akral,
sirkulasi (rendah lemak kelembaban mukosa,
jenuh, minyak ikan omega turgor kulit)
Kolaborasi 5. Monitor TTV
1. Berkolaborasi dengan dokter 6. Hindari pemakaian
dalam pemberian terapi benda-benda yang
furosemide 2 amp extra berlebihan suhunya
(terlalu panas atau
dingin)
7. Kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian
terapi

30
3.6. Catatan Perkembangan
1. Jumat, 15 Januari 2021
Diagnosa Implementasi Evaluasi
Keperawatan
Bersihan jalan 1. Mengidentifikasi S:-
napas tidak efektif kemampuan batuk O:
2. Memonitor adanya  Klien tampak sesak
retensi sputum  Batuk (+)
3. Memonitor suara
 Sekret masih ada
napas tetapi klien sulit
4. Memonitor mengeluarkan
kecepatan aliran
 Napas dibantu dengan
oksigen NRM 10 liter
5. Memonitor status
 Bunyi napas ronchi
oksigenisasi sebelum TTV: TD 152/90
dan sesudah mmHg, HR 140 x/I,
mengubah posisi RR 28 x/I, Temp
6. Buang secret pada 37ºC, SPO2 98%
tempat sputum A:
7. Mempertahankan Masalah belum teratasi
kepatenan jalan
P:
napas Intervensi dilanjutkan:
8. Melakukan suction 1. Identifikasi
9. Kolaborasi dengan kemampuan batuk
dokter dalam2. Monitor adanya
pemberian terapi retensi sputum
Acetylcistein dan
3. Monitor suara napas
nebulizer ventoline +4. Monitor kecepatan
Fluimucyl aliran oksigen
5. Monitor status
oksigenisasi sebelum
dan sesudah
mengubah posisi
6. Buang secret pada
tempat sputum
7. Mempertahankan
kepatenan jalan napas
8. Lakukan suction
9. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian terapi
Gangguan 1. Menguskultasi bunyi S : -
pertukaran gas napas O:
2. Memonitor saturasi  Klien tampak sesak
oksigen  Batuk (+)
3. Memonitor kecepatan  Napas dibantu dengan
aliran oksigen

31
4. Memonitor efektifitas NRM 10 liter
terapi oksigen  Bunyi napas ronchi
5. Mempertahankan  TTV: TD 152/90
kepatenan jalan napas mmHg, HR 140 x/I,
6. Memberikan posisi RR 28 x/I, Temp
semifowler pada 37ºC, SPO2 98%
pasien A:
7. Tetap memberikan Masalah belum teratasi
oksigenasi saat pasien P:
di transportasi Intervensi dilanjutkan:
8. Berkolaborasi 1. Auskultasi bunyi
penentuan dosis napas
oksigen NRM 10 liter 2. Monitor saturasi
9. Berkolaborasi dengan oksigen
dokter dalam 3. Monitor kecepatan
pemberian terapi inj. aliran oksigen
Meropenem 1 gr/24 4. Monitor efektifitas
jam terapi oksigen
5. Mempertahankan
kepatenan jalan napas
6. Memberikan posisi
semifowler pada
pasien
7. Tetap berikan
oksigenasi saat pasien
di transportasi
8. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
9. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian terapi
Perfusi perifer 1. Memeriksa sirkulasi S:-
tidak efektif perifer (mis. Nadi O:
perifer, edema,  Akral teraba dingin
warna, suhu kulit)  Turgor kulit kering
2. Memonitor panas,  CRT < 3 detik
kemerahan, nyeri,  Membran mukosa
atau bengkak pada kering
ekstremitas  TTV: TD 152/90
3. Memonitor mmHg, HR 140 x/i,
perubahan kulit RR 28 x/i, Temp
4. Memonitor status 37ºC, SPO2 98%
hidrasi (mis.frekuensi A:
nadi, kekuatan nadi, Masalah teratasi sebagian
akral, kelembaban P:
mukosa, turgor kulit) Intervensi dilanjutkan:
5. Memonitor TTV 1. Periksa sirkulasi
6. Menghindari perifer (mis. Nadi

32
pemakaian benda- perifer, edema, warna,
benda yang suhu kulit)
berlebihan suhunya 2. Monitor panas,
(terlalu panas atau kemerahan, nyeri, atau
dingin) bengkak pada
2. Berkolaborasi dengan ekstremitas
dokter dalam 3. Monitor perubahan
pemberian terapi kulit
terapi furosemide 2 4. Monitor status hidrasi
amp extra (mis.frekuensi nadi,
kekuatan nadi, akral,
kelembaban mukosa,
turgor kulit)
5. Monitor TTV
6. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian terapi

2. Sabtu, 16 Januari 2021


Diagnosa Implementasi Evaluasi
Keperawatan
Bersihan jalan 1. Mengidentifikasi S:-
napas tidak efektif kemampuan batuk O:
2. Memonitor adanya  Klien tampak sesak
retensi sputum  Batuk (+)
3. Memonitor suara  Sekret masih ada
napas tetapi klien sulit
4. Memonitor kecepatan mengeluarkan
aliran oksigen  Napas dibantu dengan
5. Memonitor status NRM 10 liter
oksigenisasi sebelum  Bunyi napas ronchi
dan sesudah  TTV: TD 133/90
mengubah posisi mmHg, HR 126 x/i,
6. Buang secret pada RR 30 x/i, Temp
tempat sputum 37ºC, SPO2 99%
7. Mempertahankan A:
kepatenan jalan napas Masalah belum teratasi
8. Melakukan suction P:
9. Berkolaborasi dengan Intervensi dilanjutkan:
dokter dalam 1. Identifikasi
pemberian terapi kemampuan batuk
Acetylcistein dan 2. Monitor adanya
nebulizer ventoline + retensi sputum
Fluimucyl 3. Monitor suara napas
4. Monitor kecepatan
aliran oksigen
5. Monitor status

33
oksigenisasi sebelum
dan sesudah
mengubah posisi
6. Buang secret pada
tempat sputum
7. Mempertahankan
kepatenan jalan napas
8. Lakukan suction
9. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian terapi
Gangguan 1. Mengauskultasi S:-
pertukaran gas bunyi napas O:
2. Memonitor saturasi  Klien tampak sesak
oksigen  Batuk (+)
3. Memonitor kecepatan  Napas dibantu dengan
aliran oksigen NRM 10 liter
4. Memonitor efektifitas  Bunyi napas ronchi
terapi oksigen  TTV: TD 133/90
5. Mempertahankan mmHg, HR 126 x/i,
kepatenan jalan napas RR 30 x/i, Temp
6. Memberikan posisi 37ºC, SPO2 99%
semifowler pada A:
pasien Masalah belum teratasi
7. Tetap memberikan P:
oksigenasi saat pasien Intervensi dilanjutkan:
di transportasi 1. Auskultasi bunyi
8. Berkolaborasi napas
penentuan dosis 2. Monitor saturasi
oksigen oksigen
9. Berkolaborasi dengan 3. Monitor kecepatan
dokter dalam aliran oksigen
pemberian terapi inj. 4. Monitor efektifitas
Meropenem 1 gr/24 terapi oksigen
jam. 5. Mempertahankan
kepatenan jalan napas
6. Memberikan posisi
semifowler pada
pasien
7. Tetap berikan
oksigenasi saat pasien
di transportasi
8. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
9. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian terapi
Perfusi perifer 1. Memeriksa sirkulasi S :-

34
tidak efektif perifer (mis. Nadi O:
perifer, edema,  Akral teraba dingin
warna, suhu kulit)  Turgor kulit kering
2. Memonitor panas,  CRT < 3 detik
kemerahan, nyeri,  Membran mukosa
atau bengkak pada kering
ekstremitas  TTV: TD 133/90
3. Memonitor mmHg, HR 126 x/i,
perubahan kulit RR 30 x/i, Temp
4. Memonitor status 37ºC, SPO2 99%
hidrasi (mis.frekuensi A:
nadi, kekuatan nadi, Masalah teratasi sebagian
akral, kelembaban P:
mukosa, turgor kulit) Intervensi dilanjutkan:
5. Memonitor TTV 1. Periksa sirkulasi
6. Berkolaborasi dengan perifer (mis. Nadi
dokter dalam perifer, edema, warna,
pemberian terapi suhu kulit)
2. Monitor panas,
kemerahan, nyeri, atau
bengkak pada
ekstremitas
3. Monitor perubahan
kulit
4. Monitor status hidrasi
(mis.frekuensi nadi,
kekuatan nadi, akral,
kelembaban mukosa,
turgor kulit)
5. Monitor TTV
6. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian terapi

3. Senin, 18 Januari 2021


Diagnosa Implementasi Evaluasi
Keperawatan
Bersihan jalan napas 1. Mengidentifikasi S:-
tidak efektif kemampuan batuk O:
2. Memonitor adanya  Klien tampak sesak
retensi sputum  Batuk (+)
3. Memonitor suara napas  Sekret masih ada tetapi
4. Memonitor kecepatan klien sulit mengeluarkan
aliran oksigen  Napas dibantu dengan
5. Memonitor status NRM 10 liter
oksigenisasi sebelum

35
dan sesudah mengubah  Bunyi napas ronchi
posisi  TTV : TD 120/68
6. Buang secret pada mmHg, HR 85 x/i, Temp
tempat sputum 37ºC, SPO2 98%
7. Mempertahankan A:
kepatenan jalan napas Masalah tidak teratasi
8. Melakukan suction karena pasien meninggal
9. Berkolaborasi dengan P:
dokter dalam pemberian Intervensi dihentikan
terapi Acetylcistein dan
nebulizer ventoline +
Fluimucyl
Gangguan pertukaran 1. Mengauskultasi bunyi S:-
gas napas O:
2. Memonitor saturasi  Klien tampak sesak
oksigen  Batuk (+)
3. Memonitor kecepatan  Napas dibantu dengan
aliran oksigen NRM 10 liter
4. Memonitor efektifitas  Bunyi napas ronchi
terapi oksigen  TTV : TD 120/68
5. Mempertahankan mmHg, HR 85 x/i, Temp
kepatenan jalan napas 37ºC, SPO2 98%
6. Memberikan posisi A:
semifowler pada pasien Masalah tidak teratasi
7. Tetap memberikan karena pasien meninggal
oksigenasi saat pasien di P:
transportasi Intervensi dihentikan
8. Berkolaborasi
penentuan dosis oksigen
9. Berkolaborasi dengan
dokter dalam pemberian
terapi inj. Meropenem 1
gr/24 jam.
Perfusi perifer tidak 1. Memeriksa sirkulasi S:-
efektif perifer (mis. Nadi O:
perifer, edema, warna,  Akral teraba dingin
suhu kulit)  Klien tampak pucat
2. Memonitor panas,  Turgor kulit kering
kemerahan, nyeri, atau  CRT < 3 detik
bengkak pada  Membran mukosa kering
ekstremitas  TTV : TD 120/68
3. Memonitor perubahan mmHg, HR 85 x/i, Temp
kulit 37ºC, SPO2 98%
4. Memonitor status A:
hidrasi (mis.frekuensi Masalah tidak teratasi
nadi, kekuatan nadi, karena pasien meninggal
akral, kelembaban P:
mukosa, turgor kulit) Intervensi dihentikan

36
5. Memonitor TTV
6. Berkolaborasi dengan
dokter dalam pemberian
terapi

37
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Defenisi gejala yang muncul secara bertahap, biasanya tidak menimbulkan
gejala awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal tersebut sering dirasakan,
tahu-tahu sudah pada tahap parah dan sulit diobati. Gagal ginjal kronik atau
penyakit tahap akhir adalah penyimpangan progresif, ginjal yang tidak dapat pulih
dimana kemampuan tubuh untuk mempertahan-kan keseimbangan metabolic
cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia (Syamsir
dan Iwan, 2007).

Gagal ginjal kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan


gangguan fungsi renal yang progresif dan irefersibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga terjadi uremia (Smeltzer & Bare 2010). Sedangkan menurut
Tucker (1998) dalam Padila (2012), penyakit gagal ginjal kronis adalah penyakit
ginjal yang tidak dapat pulih ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, mengarah pada penyakit ginjal tahap akhir dan mematikan.

4.2. Saran

Pada laporan stase keperawatan gawat darurat ini penulis menyarankan


kepada halayak pembaca agar memberikan saran yang bersifat membangun dan
positif agar penulis dan rekan-rekan lebih giat dalam pembuatan makalah laporan
ini.

38

Anda mungkin juga menyukai