Anda di halaman 1dari 7

2.

3 Asma Bronkial

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik,
batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Ciri-ciri klinis yang dominan pada asma
adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari 1,2 yang sering disertai batuk. Asma
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan. Mengingat patogenesisnya tidak jelas,
asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk,
sesak napas, mengi, dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. 1

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma
meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan, terutama
polusi baik indoor maupun outdoor. Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan
mengancam kehidupan. Berbagai faktor menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara lain
adalah olahraga, alergen, infeksi, perubahan suhu yang mendadak, atau pajanan terhadap iritan
respiratorik seperti asap rokok, debu polusi, dan lain-lain. Selain itu, berbagai faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma suatu tempat, misalnya usia, jenis kelamin, ras,
sosioekonomi, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi prevalensi asma,
derajat penyakit asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, dan kematian akibat
penyakit asma.3,4

2.3.1 Etiologi Asma

Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal kehidupan.
Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan sepertiga bagian
lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak- anak, terdapat perbandingan 2:1
untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi sama pada umur 30
tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang
sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %. 5,6

Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma alergi
sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga seperti rinitis,
urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit terhadap injeksi
intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi yang
melibatkan inhalasi antigen spesifik.6

Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus tersering dari
eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat merusak struktur daripada
saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang selanjutnya menghancurkan integritas dari
tight junction antara sel-sel epitel. Sekali fungsi dari epitel ini dihancurkan, maka alergen dan
partikel lain dapat dengan mudah masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina
propia. Penyusun daripada tungau-tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas
protease ini dapat memasuki daerah epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih dalam di
saluran pernafasan.3

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga merupakan
pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira 25% sampai 30% dari
penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini menyimpulkan bahwa merokok ataupun
terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan keparahan penyakit dari penderita
asma. Terpapar asap rokok yang lama pada pasien asma akan berkontribusi terhadap
kerusakan dari fungsi paru, yaitu penurunan kira-kira 18% dari FEV 1 selama 10
tahun.Pasien asma yang memiliki kebiasaan merokok akan mempercepat terjadinya
emfisema. Mekanisme yang mendasari daripada efek rokok pada pasien asma dijelaskan pada
tabel 1.1
2.3.2 Patofisiologi Asma

Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau lebih
dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang menyempitkan jalan nafas, atau
pembengkakan membran yang melapisi bronkhi, atau penghisap bronkhi dengan mukus yang
kental. Selain itu, otot-otot bronkhial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental,
banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam
jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum diketahui, tetapi ada yang
paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sisitem otonom.5

Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru.
Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi,
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan
mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak.5
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal
melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik, ketika ujung saraf pada jalan
nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan,
jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang
dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.6

Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki.
Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi
ketika reseptor β- adregenik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-
adregenik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor
alfa mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor beta adrenergik mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyababkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada
individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos.6

2.3.3 Gambaran Klinis

Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya dapat
berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan
pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi
menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan
juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus
seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau
aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma,
seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah,
tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.5

2.3.4 Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :7,8
 bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

 gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.

 gejala timbul/memburuk di malam hari.

 respons terhadap pemberian bronkodilator.

Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi), riwayat
alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan.
Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan terhadap asma
adalah :7,8

1. Di dengarkan suara mengi (wheezing)sering pada anak-anak


Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi
diagnosis sama, apabila terdapat :

1. Memiliki riwayat dari:

a. Batuk, yang memburuk dimalam hari

b. Mengi yang berulang

c. Kesulitan bernafas

d. Sesak nafas yang berulang

2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam

3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu

4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi

5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :

a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia

c. Perubahan temperatur

d. Debu tungau

e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)

f. Beraktivitas

g. Serbuk tepung sari

h. Infeksi saluran pernafasan

i. Rokok

j. Ekspresi emosi yang kuat

6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian
penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun
pada pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.7,8

Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti
kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-
responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan
spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan
lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan
pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini
tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.7,8
1. National Institure of Health. Global strategy for asthma management and prevention.
USA: National Institutes of Health; 2007.
2. Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott
Williams & Wilkins; 2003.
3. Lenfant C, Khaltaev N. Global initiative for asthma. Geneva: NHLBI/WHO; 2002.
4. Fordiastiko. Asma dan seluk-beluknya. Semarang: PDPI; 2005.
5. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2010),
Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, Ontario Canada.
6. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi,
I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
7. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E.
et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
8. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract downregulates
C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur Respir J 2011; 38: 50–58

Anda mungkin juga menyukai