Anda di halaman 1dari 3

Stigmatisasi Corona

Sekarang kita sedang menghadapi sebuah krisis kesehatan global yang disebabkan oleh virus corona.
Virus corona atau yang lebih akrab dikenal dengan COVID-19, telah ditetapkan oleh World Health
Organization (WHO) sebagai pandemik yaitu wabah baru yang menyebar dengan mudah dari orang ke
orang di seluruh dunia. Setiap jam, satu persatu korban berjatuhan. Bahkan belum terlihat adanya tanda-
tanda meyakinkan, kematian karena virus ini berhenti. Tetapi sebenarnya, ini lebih daripada krisis
kesehatan. Ini adalah krisis manusia, ekonomi dan juga sosial.
Jalan yang ditempuh masyarakat dengan bantuan pemerintah dalam memerangi virus corona antara lain
adalah penerapan isolasi atau karantina diri, menutup diri penuh, social-distancing, lockdown dan
karantina wilayah. Tetapi, tahukah Anda bahwa COVID-19 tidak hanya mempengaruhi kehidupan sosial
masyarakat dengan ditetapkannya kebijakan-kebijakan tersebut, tetapi juga melalui stigmatisasi ke dalam
interaksi antarmanusia yang terbentuk terhadap para korban yang terjangkit serta orang-orang yang
terlibat langsung?
Seperti yang dilansir pada laman VOA Indonesia, para penderita virus corona masih mengalami
stigmanisasi hingga mencapai titik yang menyedihkan yaitu ketika ada yang meninggal dunia sekalipun.
Penolakan warga terhadap pemakaman jenazah korban corona terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Para
petugas membongkar kembali makam jenazah yang ditolak warga hingga empat kali berpindah lokasi.
Padahal pengamanan jenazah yang tepat sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) sudah dilakukan.
Apalagi, peluang penyebaran virus oleh jenazah jauh lebih kecil daripada orang yang masih hidup.
Kasus lain yang ditemukan adalah pengusiran sejumlah tenaga medis saat hendak pulang ke
kediamannya. Warga setempat mengaku takut tertular apabila para tenaga medis ini membawa serta virus
corona di tubuh mereka. Maka untuk menghindari penyebaran, mereka mengusirnya. Ajnn.net
menjelaskan bahwa pada kenyataannya, petugas medis merupakan pahlawan garda terdepan yang
berkorban memerangi virus ini. Mereka bertaruh nyawa dan meninggalkan keluarga untuk melayani
setiap pasien yang terinfeksi corona. Maka, sudah sepatutnya mereka diperlakukan dengan baik dan
istimewa.
Lantas, apa yang menjadi pemicu lahirnya stigmatisasi ini? Ada beberapa faktor utama yang
melatarbelakanginya, seperti ketakutan dan paranoia yang berlebihan, pengetahuan tentang virus corona
yang masih sangat minim dan juga konten media yang terkadang menyesatkan. Sebenarnya, sikap
menghindar sebagian masyarakat bisa dipahami sebagai hal yang wajar. Namun, jika terlampau berlebih,
pada titik tertentu akan melahirkan masalah yang lebih parah. Stigmatisasi ini misalnya.
Stigmatisasi corona tentu memainkan peran yang besar pada kehidupan sosial masyarakat. Mereka yang
terjebak sebagai pelaku stigmatisasi akan kehilangan sisi kemanusiaannya. Meliputi hilangnya simpati,
empati, toleransi dan sikap menghargai manusia. Padahal, semua aspek itulah yang sangat dibutuhkan di
tengah keadaan seperti sekarang.
Dampak yang ditimbulkan pun beragam. Mulai dari permasalahan psikologis korbannya hingga kesulitan
untuk mendapat perawatan dan penanganan medis yang tepat. Kesehatan psikologis bisajadi kurang
menjadi perhatian selama ini. Padahal, kesehatan mental dan emosional manusia sama pentingnya
dengan kesehatan fisik mereka. Permasalahan psikologis dapat menyebabkan kesulitan-kesulitan lain
yang tentu berdampak pada imunitas manusia, seperti amarah, ketakutan dan ketidakbahagiaan. Hal
tersebut dapat membawa mereka ke bentuk kehancuran sosial yang lebih jauh lagi, misalnya menurunkan
kepercayaan diri untuk berinteraksi dengan orang lain, sulit menjalin hubungan dengan relasi, hingga
dikucilkan masyarakat. Stigmatisasi ini bahkan berdampak pada korban yang telah berhasil sembuh dan
mencoba kembali ke tengah masyarakat. Mereka akan tetap dicap sebagai positif corona, sehingga akan
sulit menjalankan kehidupan sosialnya.
Stigmatisasi corona yang berujung pada perlakuan tidak berkeperimanusiaan perlu segera dihentikan
apabila tidak ingin keadaan semakin kacau dan berantakan. Untuk meredam stigma, Brashers (2008)
mengajukan komunikasi yang lebih humanis dan manusiawi yakni melalui ruang dialog. Poin penting
dari dialog ini adalah usaha untuk memposisikan diri sekaligus merasakan apa yang selama ini
dikeluhkan para tenaga medis, pasien positif corona dan keluarga yang ditinggal meninggal dunia.
Lebih daripada itu, semua elemen masyarakat harus memperkuat solidaritas dan kebersamaan. Maka,
sudah sepatutnya masyarakat tetap berfikir dan bertindak rasional untuk terhindar dari stigmatisasi
tersebut. Peran pemerintah untuk melakukan penyuluhan terhadap serba-serbi virus COVID-19 juga perlu
ditingkatkan agar pengetahuan masyarakat bertambah. Dan tentunya, pengawalan dari pihak lembaga
sosial juga diharapkan agar kehidupan sosial masyarakat tetap terjaga dengan baik.

Daftar Pustaka
https://www.ajnn.net/news/dpra-menyayangkan-adanya-pengusiran-tenaga-medis/index.html (diakses
pada Jumat, 17 April 2020, pukul 16.56)
https://www.google.co.id/amp/s/m.lampost.co/amp/virus-korona-makna-pandemik-endemik-epidemik-
dan-wabah.html (diakses pada Jumat, 17 April 2020, pukul 17.05)
https://www.google.co.id/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/jenazah-korban-virus-corona-aman-warga-
jangan-menolak/5358581.html (diakses pada Jumat, 17 April 2020, pukul 17.07)
https://m.detik.com/news/kolom/d-4979149/meredam-stigma-corona (diakses pada Jumat, 17 April 2020,
pukul 17.15)

Anda mungkin juga menyukai