ABSTRAK
Jika ditilik sejarahnya korupsi memang sudah berlangsung lama, sejak zaman
Mesir Kuno, Babilonia, Roma, abad pertengahan sampai abad sekarang. Saat ini
modus operandi korupsi pun semakin beragam. Korupsi yang dulu dilakukan secara
sederhana, sekarang ditempuh dengan beragam cara yang rumit, rapi, dan semakin
sulit dibongkar. Bahkan korupsi di Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan
terorganisir karena melibatkan para aparat penegak hukum. Permasalahan korupsi di
Indonesia sudah sangatlah dahsyat sehingga dibutuhkan usaha yang sangat
revolusioner untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejalan dengan hal itu, Adami
Chazawi mengemukakan bahwa sebagai kejahatan yang tergolong extraordinary
crime, tindak pidana korupsi jelas memerlukan extraordinary measure /
extraordinary enforcement (penanganan yang luar biasa). Bahwa tindak pidana
gratifikasi merupakan tindak pidana yang dalam pembuktiannya memiliki ciri khas
khusus. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku
saat ini khususnya delik Gratifikasi masih belum menjamin asas persamaan hak atau
kesetaraan hukum, sehingga belum bisa mewujudkan tujuan dibentuknya hukum
untuk masyarakat. Oleh karena hal tersebut Undang-Undang Tindak Pidana korupsi
terhadap delik Gratifikasi di masa mendatang harus memuat rumusan pasal yang
lebih baik, dengan menghilangkan ketentuan pemisahan jumlah nominal Gratifikasi
dan menghapuskan ketentuan minimal dari sanksi pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Kata Kunci : Gratifikasi, Korupsi, pembuktian
ABSTRACT
If we look at the history of corruption, it has been going on for a long time, since the
days of Ancient Egypt, Babylon, Rome, the Middle Ages to the present century.
Currently, the modus operandi of corruption is increasingly diverse. Corruption that
was once carried out in a simple manner, is now being accomplished in a variety of
ways that are complex, neat, and increasingly difficult to uncover. Even corruption in
1
Indonesia is now becoming more systematic and organized because it involves law
enforcement officials. The problem of corruption in Indonesia is so devastating that it
takes a very revolutionary effort to eradicate corruption in Indonesia. In line with
this, Adami Chazawi stated that as a crime that is classified as an extraordinary
crime, the criminal act of corruption clearly requires extraordinary action
(extraordinary handling). Whereas the crime of gratification is a criminal act which
in its evidence has special characteristics. Law Number 20 of 2001 Amendment to
Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption Crime which is
currently in effect, especially the Gratification offense, still does not guarantee equal
rights or legal equality, so that it cannot realize the goal of the law for the
community. Because of this, Law no.
Keywords: Gratification, Corruption, proof
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara
2
Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Indonesia sebagai negara hukum
tentu erat kaitannya dengan nilai-nilai luhur pancasila. Nilai-nilai luhur pancasila
merupakan nilai-nilai yang terbentuk berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan.
Perpaduan antara penegakan hukum yang berlandaskan nilai kebenaran dan
keadilan tersebut semestinya dapat membuat Negara Indonesia berkembang
menjadi negara yang adil dan makmur. Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia telah tercantum pada sila kelima dalam Pancasila sebagai dasar negara,
dengan harapan dan cita-cita dapat membuat rakyat Indonesia menuju rakyat yang
adil dan makmur. Namun kenyataannya, hingga saat ini hasil yang dicapai masih
jauh dari idealitas. Kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan sosial
menjadi masalah yang hingga saat ini belum bisa terselesaikan.1
Kondisi faktual ini menunjukkan masih banyak rakyat yang masih hidup
dengan kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah tumbuh suburnya Tindak
Pidana Korupsi yang semakin hari terus meraja lela, mengakibatkan Masyarakat
semakin terpuruk, sengsara, miskin, dan semakin jauh dari tercapainya tujuan
Negara Indonesia sebagaimana terdapat pada Pembukaan UUD 1945 Alinea IV (4)
yang secara jelas menyatakan:2
“Kemudian dari pada itu untuk dapat membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
serta ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang suatu Dasar Negara Indonesia yang berbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil serta beradab, Persatuan Indonesia, dan
1
Moh. Mahfud MD, Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Solusi Persoalan Bangsa.
Makalah pada ceramah umum di Universitas Merdeka Malang, 2 Februari 2012, hlm. 8.
2
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 Alinea ke-IV
3
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
3
Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 137, Tambahan Lembaran Negara No. 4250),
Penjelasan Umum Alinea 1 dan 2
4
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Tama, 1991), Hlm 34.
4
Menurut Romli Atmasasmita dalam makalahnya yang berjudul Pembuktian
Terbalik dalam Kasus Korupsi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Yusuf,
menjalarnya penyakit korupsi di berbagai negara telah menyita perhatian dunia
Internasional, sehingga United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime atau Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada
tahun 2000 menempatkan korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan
bersifat transnasional dengan pertimbangan sebagai berikut:5
1. Modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di
semua negara termasuk dan tidak terbatas di Negara-negara Asia dan
Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat
tinggi bahkan seorang presiden seperti di Filiphina, Nigeria, dan beberapa
negara Afrika lainnya;
2. Korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintah dari dalam alias
merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam
kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi;
3. Sangatlah sulit pemberantasan korupsi diperangi di dalam sistem
demokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum
yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya;
4. Korupsi tidaklah lagi merupakan masalah nasional suatu negara,
melainkan sudah merupakan masalah antar negara atau hubungan antara
dua negara atau lebih sehingga memerlukan kerja sama aktif antara
negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Hal ini
disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di
Negara yang dianggap aman oleh pelakunya;
5
Muhammad Yusuf, “Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia”. Gramedia, (Jakarta, 2003), hlm. 1-2
5
pandangan masyarakat.6 Oleh karena itu, tidak berlebihan jika korupsi digolongkan
sebagai kejahatan yang luar biasa, yang bersifat merusak seluruh lini kehidupan
bangsa dan negara. Kondisi tersebut selaras dengan apa yang telah tertuang dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.
31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada bagian
penjelasan undang-undang yang menyebutkan bahwa:
“…mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan
meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga
telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,
maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan secara luar biasa pula…”
6
Transparancy International atas Bripe Payers Index (BPI), indeks yang
menggambarkan praktik penyuapan yang dilakukan oleh dunia usaha terhadap
para penyelenggara negara atau pejabat publik di suatu negara) telah mengungkap
fakta yang cukup memalukan.8 Pada tahun 2011, BPI telah melakukan survei
terhadap 3.000 pelaku usaha yang menjalankan bisnis Internasional pada 28
Negara telah menempatkan Indonesia berada pada peringkat 25 dari 28 Negara
dengan BPI 7,1 dari rata-rata 7,8.9 Gambaran yang utuh mengenai indeks perilaku
suap itu semakin memburuk, ketika dikorelasikan dengan fakta mengenai Indeks
Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang juga dipublikasikan oleh
Transparency International,
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung sebelum tahun
1950-an, dan telah mengalami beberapa kali pergantian Undang-undang.
Pergantian Undang-undang tentang korupsi, secara umum dapat dilihat akibat dari
pergeseran atau pergantian sistem politik di Indonesia. Beberapa pergantian atau
perubahan Undang-undang dapat disebutkan secara urut sebagai berikut:10
1. Pada Tahun 1957, terdapat Peraturan Penguasa Militer Nomor:
PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi dan Peraturan
Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan
Peraturan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda. Peraturan ini
diundangkan pada situasi politik pemerintahan berdasarkan Undang-
undang Dasar Sementara 1950;
8
Transparency International adalah Non-Government Organitation (NGO) yang didirikan
untuk memantau praktk-praktik Korupsi diseluruh dunia, Organisasi ini berkantor pusat di berlin
Jerman dan mempunya bayak kantor perwakilan diberbagai Negara. Organisasi ini mengeluarkan
perception index of Corruption yaitu berupa eringkat negara dari sudut pandang praktik korupsi yang
terjadi di negara-negara tersebut, dan angka-angka indeks tersebut merupakan hasil poling dari
beberapa indeks persepsi korupsi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak lain. Ibid, hlm. 66-67;
9
Toegarisman A, Pemberantasan Korupsi dalam Paradigma Efesiensi, (Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2016), hlm. 2.
10
Muhammad Yusuf, Op.Cit. Hlm 3
7
Tahun 1960 yang disahkan dengan Undang-undang No.1 Tahun 1961
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 berada dalam rezim
dengan sistem politik dan Pemerintahan Republik Indonesia menurut
Undang-undang Dasar 1945, yang dinyatakan berlaku kembali
berdasarkan Dekrit Presiden 05 Juli 1959;
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang masalah dan perumusan masalah serta untuk
mencapai tujuan penelitian ini, maka penelitian ini merupakan penelitian yuridis-
8
normative (legal research)11, yang merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian
terhadap data sekunder, yang berupa bahan hukum. Jenis penelitian normatif dalam
arti, normatif yaitu meneliti norma-norma hukum yang berkenaan dengan masalah
penerapan pembuktian terbalik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang
mengacu pada asas-asas Hukum dan Hukum Pidana serta Hukum Acara Pidana, dan
asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan artikel ini, penulis akan menggunakan pendekatan Undang-
undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), Pendekatan
studi dokumen (document study approach) dan pendekatan perbandingan hukum atau
comparative approach12.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga (3) bahan
hukum sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama yang menjadi pokok
kajian penelitian ini. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum
positif yang diurut berdasarkan hierarki terdiri atas:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5) Undang-Undang Republik Indonesia No. 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
11
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Ketiga,
ed. Revisi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 11.
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 93.
9
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer, sehingga dapat membantu mendeskripsikan dan
menganalisis dan guna memahami bahan hukum primer. Bahan hukum
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari doktrin-doktrin, teori-teori,
pendapat para pakar ilmu hukum yang ada; dalam literatur, baik dari
buku teks, jurnal, tulisan ilmiah maupun informasi di media cetak dan
elektronik.
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan hukum yang diambil dari kamus umum Bahasa
Indonesia, kamus Bahasa Inggris-Indonesia, kamus hukum dan
ensiklopedia yang memberikan pengertian tentang putusan Hakim
pidana, sistem peradilan pidana dan hukum acara pidana, khususnya
yang berkaitan pokok permasalahan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
C. PEMBAHASAN
1. Pembuktian Terbalik Dalam Sistem Peradilan Pidana Pada Tindak Pidana
Gratifikasi
10
Secara kelembagaan, sejak tahun 1967-2000 pemerintah Indonesia telah
membentuk lembaga atau satuan tugas (Satgas) khusus dalam pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Satgas tersebut antara lain Tim Pemberantasan Korupsi
dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967.
Komisi IV dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 12 Tahun 1970 tanggal 31
Januari 1970, Komisi Anti Korupsi (KAK) Tahun 1970, OPSTIB berdasarkan
Inpres No. 8 Tahun 1977, Tim Pemberantasan Korupsi (TIK) Tahun 1982 yang
tidak pernah terwujud keppresnya dan Tim Gabungan Anti Korupsi yang mengacu
pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 kemudian disempurnakan
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai pelaksana Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejalan itu pula dibentuk Undang-undang
Khusus tentang pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-undang Nomor
46 Tahun 2009, sebagai pelaksana Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002.13
Berdasarkan kebijakan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan
yang telah ada yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi, sejak tahun
lima puluhan sampai tahun Sembilan puluhan dirasa kurang cukup memadai untuk
memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, mengacu
pada perkembangan masyarakat internasional serta belajar dari sejarah, dalam
rangka menguatkan sarana represif untuk menanggulangi dan mengatasi tindak
pidana korupsi maka saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
13
Yenti Ganarsih, “Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundring) Universitas Indonesia
Fakultas Hukum”, (Jakarta, 2003), Hlm 3.
11
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga melalui kebijakan pengaturan
dalam kedua perundang-undangan tersebut, yang lebih lengkap dan akomodatif
untuk digunakan sebagai dasar dalam menanggulangi dan mengatasi tindak pidana
korupsi, karena beberapa kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam
pengaturan perundang-undangan lama telah dilengkapi dan disempurnakan.
Mengingat kebijakan pengaturan perundang-undangan tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang saat ini berlaku dalam kaitannya
dengan proses pembuktian telah diberlakukan adanya pembuktian terbalik
(omkering van bewijslast / the reversal of the burden of proof), ketentuan
mengenai pembuktian terbalik terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana tertuang pada:
Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b, ayat (2), yang berbunyi:
“(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
12
Perumusan norma dalam ketentuan Pasal 12 B tersebut mencerminkan rasa
tidak adil, karena meskipun ada pemisahan secara jelas terhadap ketentuan jumlah
nilai nominal pada Ayat (1) huruf a dan b, namun ketentuan sanksi yang diatur
pada Ayat (2) nya sama atau dengan kata lain esensi dari pemisahan jumlah nilai
tersebut tidak ada urgensinya, selain daripada hal tersebut, norma dalam ketentuan
Pasal 12 B Ayat (1) juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-
undang Dasar 1945, yang berisi:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Hal ini berkaitan dengan asas persamaan hak. Demikian juga perumusan
Norma Pasal 12 B Ayat (1) ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 Undang-
undang Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
“Terdakawa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi”
13
Sebagai salah satu perbandingan, ketentuan Undang-undang di Negara
Malaysia sebagaimana dirumuskan dalam The Prevention of Corruption Act 1961
(Act 57) Pasal 14 yang berbunyi sebagai berikut:
“Where in any proceedings against a person for an offence under
section 3 or 4 it is proved that any gratification has been paid or given
to or received by a person in the employment of any public body, the
gratification shall be deemed to have been paidor given and received
corruptly as an inducement or reward as here in before mentioned,
unless the contrary is proved.”
14
given, or agreed to be given, promised or offered as an inducement or a
reward for or on account of the matters set out in the particulars of the
offence, unless the contrary is proved”.
(Terjemahan bebas: pada setiap proses terhadap setiap orang yang
didakwa melanggar Pasal 10,11,12,13 atau 15, telah dibuktikan bahwa
suatu pemberian (gratifikasi) telah diterima atau setuju untuk diterima,
diperoleh, atau dicoba untuk diperoleh, didapatkan, diberikan, atau
setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan oleh atau kepada
terdakwa maka pemberian itu dianggap secara korup telah diterima,
diperoleh, dicoba untuk diperoleh, didapat, diberikan atau setuju untuk
diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan, sebagai suatu bujukan atau
hadiah untuk suatu atau karena hal yang dinyatakan secara khusus
dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya).
15
BAB IV
PENUTUP
16
kurang seriusnya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi gratifikasi.
Oleh karenanya penulis berpendapat isu hukum ini dapat dilakukan penelitian
lebih lanjut, agar dalam proses implementasinya dapat dilaksanakan secara terpadu
atau terintegrasi dalam sisitem penanggulangan kejahatan/tindak pidana (politik
kriminal) korupsi, sebagai upaya melakukan kajian pembaharuan terhadap
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam menerapkan
Pembuktian terbalik (Omkering van bewijslast).
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Mahfud MD, Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Solusi Persoalan
Bangsa. Makalah pada ceramah umum di Universitas Merdeka Malang, 2
Februari 2012, hlm. 8.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 Alinea ke-IV
Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
17
(Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 137, Tambahan Lembaran Negara No. 4250),
Penjelasan Umum Alinea 1 dan 2
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Tama, 1991), Hlm 34.
Muhammad Yusuf, “Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia”. Gramedia, (Jakarta, 2003), hlm. 1-2
A. Muis, “Korupsi, Kolusi, dan Manipulasi yang Kian Membudaya”. Dalam Gema
Clipping Service Seri Hukum, Edisi Juli II, (Jakarta, 1996), hlm. VI.
Political and Ekonomic Risk Consultancy Ltd merupakan perusahaan konsultasi yang
khusu mengkaji dan mengulas persoalan tingkat ekonomi dan bisnis dari
Negara-negara di Asia. Lihat Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan
Pemberantsannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 66-67;
Transparency International adalah Non-Government Organitation (NGO) yang
didirikan untuk memantau praktk-praktik Korupsi diseluruh dunia, Organisasi
ini berkantor pusat di berlin Jerman dan mempunya bayak kantor perwakilan
diberbagai Negara. Organisasi ini mengeluarkan perception index of
Corruption yaitu berupa eringkat negara dari sudut pandang praktik korupsi
yang terjadi di negara-negara tersebut, dan angka-angka indeks tersebut
merupakan hasil poling dari beberapa indeks persepsi korupsi yang telah
dilakukan oleh pihak-pihak lain. Ibid, hlm. 66-67;
Toegarisman A, Pemberantasan Korupsi dalam Paradigma Efesiensi, (Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, 2016), hlm. 2.
Yenti Ganarsih, “Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundring) Universitas
Indonesia Fakultas Hukum”, (Jakarta, 2003), Hlm 3.
18