Anda di halaman 1dari 32

Caser Report Session

Congestive Heart Failure

Oleh:
Faiz Chalidzar 1940312053
Yolanda Erdiansari 1940312037

Preseptor:
dr. Drajad Priyono Sp.PD-KGH, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan kualitas
hidup. Seorang pasien yang menderita gagal jantung biasanya sering kembali datang ke rumah
sakit karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian yang tinggi pada
penyakit ini. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali,
15% paling tidak dua kali dalam dua belas bulan pertama.1
Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-60%, tergantung
dari studi populasi.1 Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak perawatan di rumah sakit
pada populasi Medicare di Amerika Serikat, sedangkan di Eropa dari data-data Scottish
memperlihatkan peningkatan dari perawatan gagal jantung, apakah sebagai serangan pertama
atau sebagai gejala utama atau sebagai gejala ikutan dengan gagal jantung. Peningkatan ini
sangat erat hubungannya dengan semakin bertambahnya usia seseorang.1,2
Penyebab dari gagal jantung adalah seluruh spektrum kerusakan pada jantung baik secara
struktural maupun fungsional yang tidak tertangani dengan baik yang dalam waktu tertentu akan
bermanifestasi sebagai gagal jantung pada saat jantung tidak mampu lagi mengkompensasi
kerusakan tersebut. Penyebab-penyebab ini jika diklasifikasikan bisa berupa kelainan mekanik,
kelainan miokardium, maupun kelainan irama jantung. Penyakit jantung koroner merupakan
etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien terutama pada pasien usia lanjut, sedangkan pada
usia muda, gagal jantung akut diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung
kongenital atau valvular dan miokarditis.2,4
Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan kombinasi kelainan
jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik.2,4 Boleh dikatakan bahwa gagal
jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal dari setiap penyakit jantung.3 Oleh sebab itu,
gagal jantung di satu sisi akan dapat dengan mudah dipahami sebagai suatu sindrom klinis,
namun di sisi lain gagal jantung merupakan suatu kondisi dengan patofisiologis yang sangat
bervariasi dan kompleks.5
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas prinsip tentang diabetes melitus tipe 2 secara
komprehensif.

1.3. Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai diabetes melitus tipe 2 secara komprehensif.

1.4. Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

1.5. Manfaat Penulisan


Melalui penulisan makalah ini diharapkan bermanfaat untuk informasi dan
pengetahuan tentang diabetes melitus tipe 2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala kompleks karena adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan
pengisian ventrikel kiri.6
Gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi mampu memompakan darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, padahal
aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.7

2.2 Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2 sampai 30%. Angka
prevalensi disfungsi ventrikel asimptomatik menyerupai prevalensi gagal jantung, sehingga
membuktikan dalam total populasi prevalensi gagal jantung atau disfungsi ventrikel
asimptomatik sekitar 4%. Angka prevalensi meningkat tajam pada populasi usia 75 tahun,
sehingga prevalensi pada kelompok usia 70-80 tahun sekitar 10-20%.
Gagal jantung juga ditandai dengan mortalitas yang tinggi dengan frekuensi rawat inap
di rumah sakit yang sering dan penurunan kualitas hidup. Meskipun penatalaksanaan gagal
jantung telah mengalami kemajuan, hasil penilaian menunjukkan sebagian besar kasus
kematian terjadi pada 3 bulan pertama rawat inap. Kurang dari separuh jumlah orang dengan
gagal jantung simptomatik yang dapat bertahan lebih dari 5 tahun. Bahkan pasien dengan
gagal jantung ringan – sedang pun memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan mortalitas gagal jantung ringan – sedang dalam 1 tahun adalah 20 – 30%.8
Menurut Depkes RI pada tahun 2009, proporsi kematian akibat penyakit menular di
Indonesia dalam 12 tahun telah menurun sepertigannya dari 44% menjadi 28% dan proporsi
penyakit tidak menular mengalami peningkatan cukup tinggi dari 42% menjadi 60%. Dari
sepuluh penyebab utama kematian, dua diantaranya penyakit kardiovaskuler dan stroke
merupakan penyakit tidak menular. Keadaan ini terjadi di dunia, baik di negara maju
maupun di negara ekonomi rendah menengah.
2.3 Faktor Risiko
Gagal jantung disebabkan oleh berbagai penyakit lain, diantaranya adalah8
Tabel 2.1 Faktor Risiko Gagal Jantung
Faktor yang dapat menyebabkan gagal Faktor yang memperburuk kondisi
jantung gagal jantung
- Infeksi seperti pneumonia - Gagal jantung tingkat yang lebih
- Aritmia tinggi
- Infark miokard - Diabetes mellitus
- Anemia - Penurunan left ventricular ejection
- Konsumsi alkohol yang berlebih fraction
- Penyebab yang bersifat iatrogenik, - Konsumsi puncak oksigen yang
seperti penggantian cairan pasca rendah pada kondisi exercise
operasi penggunaan obat anti maksimum
inflamasi steroid atau non steroid. - Bunyi jantung ketiga
- Ketidakpatuhan minum obat - Peningkatan tekanan pemisah
terutama pengobatan hipertensi. kapiler paru
- Gangguan tiroid seperti - Penurunan indek kardiak
tirotoksiskosis. - Peningkatan katekolamin plasma
- Emboli paru dan konsenterasi natriuretik peptida
- Kehamilan.
2.4 Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association, (NYHA)
Klasifikasi ini sering digunakan untuk mengklasifikasikan gagal jantung pada
praktik klinik. Menurut NYHA, gagal jantung dibagi menjadi 4 kelompok8:
1. NYHA kelas I: Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik
sehari-hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.
2. NYHA klas II: Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat terhadap
pembatasan ringan aktivitas fisik. merasa enak pada saat istirahat. Aktivitas fisik
sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.
3. NYHA klas III: Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pada pembatasan
berat aktivitas fisik. merasa enak pada saat istirahat. Aktivitas yang kurang dari
aktifitas fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.
4. NYHA klas IV: Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu
melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan timbul meski dalam keadaan istirahat.

2.4.2 Klasifikasi gagal jantung menurut American Heart Association/American


College of Cardiology (AHA/ACC)
Klasifikasi ini menekankan pada evolusi dan perkembangan gagal jantung kronik.
Klasifikasi melengkapi NYHA dan membantu penerapan pengobatan awal.
Tabel 2.2 Klasifikasi AHA
Tingkat Uraian
A Pasien beresiko tinggi mengalami gagal jantung, karena adanya
kondisi penyebab gagal jantung. Pasien-pasien tersebut tidak
mengalami abnormalitas structural atau fungsional perikardium,
miokardium atau katup jantung yang teridentifikasi dan tidak pernah
menunjukkan tanda-tanda atau gejala- gejala gagal jantung.
B Pasien yang telah mengalami penyakit jantung struktural, yang
menyebabkan gangguan jantung tapi belum pernah menunjukkan
tanda-tanda atau gejala- gejala gagal jantung.
C Pasien yang memiliki atau sebelumnya pernah memiliki gejala-gejala
gagal jantung, yang disebabkan penyakit jantung struktural.
D Pasien dengan penyakit jantung struktural tingkat lanjut dan gejala-
gejala gagal jantung pada istirahat, walaupun telah diberi terapi medis
maksimal dan membutuhkan intervensi khusus.

2.5 Etiologi
Penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam) kategori utama, yakni9:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh
hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch
block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.

2.6 Patofisiologi
Kegagalan pada jantung dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari beberapa mekanisme
utama di bawah ini1:
1. Kegagalan pompa
Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah, tidak adekuat, atau karena relaksasi otot
jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.
2. Obstruksi aliran
Obstruksi dapat disebabkan adanya lesi yang mencegah terbukanya katup atau keadaan
lain yang dapat menyebabkan peningkatan ventrikel jantung, seperti stenosis aorta dan
hipertensi sistemik.
3. Regurgitasi
Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik dan beban kerja ventrikel, seperti yang
terjadi pada keadaan regurgitasi aorta serta pada regurgitasi mitral.
4. Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak maksimal dan
tidak efisien.
Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume dan tekanan serta
disfungsi regional pada jantung sehingga akan meningkatkan beban kerja jantung dan
menyebabkan remodeling structural jantung. Jika beban kerja jantung semakin progresif,
maka akan semakin memperberat remodeling sehingga akan menimbulkan gagal
jantung.10,11

2.7 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung
oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi. Alur
diagnostik pada pasien gagal jantung ditampilkan pada gambar 2.1 4. Dalam alur diagnosis
di bawah ini hal pertama yang harus kita bedakan adalah onset dari gejala yang terjadi pada
pasien. Pasien dapat datang karena gagal jantung yang akut, kronik, atau episode akut pada
gagal jantung kronik.

Gambar 2.1 Skema diagnostik untuk pasien dicurigai gagal jantung4


Diagnosis gagal jantung juga dapat ditegakkan dengan kriteria Framingham.Jika
terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, maka diagnosis gagal jantung dapat
ditegakkan.11
Tabel 2.3 Kriteria Framingham
Kriteria Mayor
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea on Effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi

Setelah memastikan diagnosis gagal jantung, maka dari keseluruhan anamnesi sampai
pada pemeriksaan penunjang kita dapat menentikan derajat berat ringannya gagal jantung
pada pasien.Derajat berat ringannya gagal jantung ini sangat menentukan tatalaksana atau
rencana terapi dari seorang dokter baik di layanan primer maupun sekunder terutama pasien
dengan penyakit komplikasi atau penyakit komorbid yang berarti.
Berikut klasifikasi gagal jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung
(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA) dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.4 Klasifikasi Derajat Gagal Jantung

Klasifikasi gagal jantung menurut Klasifikasi fungsional NYHA


ACC/AHA Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas
Tingkatan gagal jantung berdasarkan fisik
struktur dan kerusakan otot jantung

Stadium A Kelas I
- Memiliki resiko tinggi untuk - Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal melakukan aktifitas fisik.
jantung. - Aktifitas fisik sehari-hari tidak
- Tidak terdapat gangguan menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
structural atau fungsional sesak napas.
jantung, tidak terdapat tanda
atau gejala

Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur - Terdapat batasan aktifitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan - Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
perkembangan gagal jantung, tidak namun aktifitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala. menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.

Stadium C Kelas III


Gagal jantung yang simptomatik - Terdapat batasan aktifitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit structural - Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
jantung yang mendasari tetapi aktifitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak

Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung structural lanjut serta - Tidak dapat melakukan aktifitas fisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan.
bermakna saat istirahat walaupun sudah - -Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
mendapat terapi medis maksimal meningkat saat melakukan aktifitas
(refrakter)

ACC = American College of Nyha =New York Hearth AssociationThe


CardiologyAHA = American Heart Criteria Committee On The New York Heart
Association Association Nomenclature And Criteria For
Hunt SA et al. Circulation. Diagnosis of Disease of the Heart and Great
2005;112:1825-1852 Vessel.9ed. Boston, Mass:Little, Brown &
Co;1994:253-256

Selain berdasarkan derajat kerusakan strukturan dan fungsionalnya, gagal jantung juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya kegagalan pompa apakah saat sistolik
atau pada fase diastolik. Terdapat beberapa kriteria yang membantu kita membedakan gagal
jantung sistolik dan diastolik seperti pada gambar tabel berikut ini:

Gambar 2.2 Karakteristik Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada gagal jantung akut antara
lain:
1. EKG
Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien diduga gagal jantung.
Pemeriksaan EKG menunjukkan irama dan konduksi listrik jantung, sehingga dapat
diketahui apakah terdapat gangguan sinoatrial, blok atrioventrikular (AV), kelainan
konduksi intraventrikular, ataupun temuan abnormal lain. Hasil EKG pada pasien dengan
gagal jantung akut dapat ditemukan kelainan seperti yang ditampilkan pada tabel 2.51,3.

Tabel 2.5 Kelainan yang paling sering ditemukan pada EKG dengan gagal jantung akut12
Abnormality Causes Clinical implications

Sinustachycardia Decompensated HF, Clinical assessment


anaemia, fever, Laboratory investigation
hyperthyroidism
Sinus bradycardia Beta-blockade, digoxin, Review drug therapy
ivabradine, verapamil, Laboratory investigation
diltiazem
Antiarrhythmics
Hypothyroidism
Sicksinussyndrome
Atrialtachycardia/ Hyperthyroidism, infection, Slow AV conduction,
flutter/ mitral valve disease anticoagulation, pharmacological
Fibrillation cardioversion, electrical
Decompensated HF, cardioversion, catheter ablation
infarction
Ventricular Ischaemia, infarction, Laboratory investigation
arrhythmias cardiomyopathy, myocarditis
hypokalaemia, Exercise test, perfusion/viability
hypomagnesaemia studies, coronary angiography,
Digitalis overdose electrophysiology testing, ICD
Myocardial Coronary artery disease Echocardiography, troponins,
ischaemia/infarcti perfusion/viability studies,
on coronary angiography,
revascularization
Q waves Infarction, hypertrophic Echocardiography, perfusion/
cardiomyopathy viability studies, coronary
LBBB, pre-excitation angiography
Lv hypertrophy Hypertension, aortic valve Echocardiography/CMR
disease, hypertrophic
cardiomyopathy
Av block Infarction, drugtoxicity, Review drug therapy, evaluate for
myocarditis, sarcoidosis, systemic disease; family history/
genetic cardiomyopathy Genetic testing ndicated. Pace
(laminopathy, maker or ICD maybe indicated.
desminopathy), Lyme
disease
Low QRS voltage Obesity, emphysema, Echocardiography/ CMR, chest
pericardial effusion, X-ray; for amyloidosis consider
amyloidosis further imaging (CMR,99mTc-
DPD scan) and endomyocardial
biopsy
QRS Electrical and mechanical Echocardiography
duration≥120msa dyssynchrony CRT-P,CRT-D
nd
LBBB
morphology
2. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi memberikan penilaian yang cepat terhadap volume
ventrikel, fungsi sistolik dan diastolik ventricular, penebalan dinding jantung, dan fungsi
katup.1,3
3. Foto Thoraks
Pemeriksaan foto toraks lebih berguna dalam mengidentifikasi dan menjelaskan gejala
yang berhubungan dengan paru. Pada pemeriksaan akan menunjukkan adanya kongesti
atau edema pulmonal13. Berikut ini beberapa kelainan foto toraks yang sering ditemui
pada pasien gagal jantung1,4:

Tabel 2.6 Kelainan Foto Toraks pada Pasien Gagal Jantung


Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel Ekokardiografi, Doppler
kanan, atria, efusi perikard
Hipertrofi Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiografi, Doppler
ventrikel kardiomiopati hipertrofi
Tampak paru Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
normal
Kongesti vena Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnosis gagal
paru ventrikel kiri jantung kiri
Edema Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnosis gagal
interstitial ventrikel kiri jantug kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan Pikirkan etiologi non-
tekanan pengisisan jika efusi kardiak (jika efusi banyak)
bilateral, infeksi paru, pasca bedah/
keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis/ gagal
jantung kronik
Area paru Emboli paru atau emfisema Pemeriksaan CT, spirometri,
hiperlusen eko
Infeksi paru Pneumonia dapat sekunder akibat Tatalaksana kedua
kongesti paru penyakit:ngagal jantung dan
infeksi paru
Infiltrate paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostic
lanjutan
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Farmakologis
Konsep terapi farmakologis ditujukan terutama pada14:
a. Menurunkan preload melalui pemberian diuretik termasuk aldosteron receptor
antagonist dan nitrat. Diuretik juga digunakan untuk mengatasi retensi cairan
badan.
b. Meningkatkan kontraktilitas janyung (pada gangguan kontraktilitas miokard)
melalui pemberian digitalis, ibopamin, β-blocker generasi ketiga atau
fosfodiesterase inhibitor.
c. Menurunkan afterload dengan ACE-inhobitor, Angiotensin Receptor Blocker
(ARB), Direct rennin inhibitor, atau Calcium Channel Blocker (CCB) golongan
dihidropiridin.
d. Mencegah myocardial remodeling dan menghambat progresivitas gagal jantung
dengan ACE-inhibitor dan ARB

2.8.1.1 Menurunkan Preload


Diuretik
Diurertik merupakan pengobatan standar untuk penderita gagal jantung kronik.
Diuretik menurunkan volume akhir diastolic danmeningkatkan stroke volume dan
cardiac output. Secara klinis, diuretik meningkatkan kapasitas kerja jantung dan
mengurangi gejala yang disebabkan edema pulmonal dan perifer.14
Diuretik yang sering digunakan ialah tiazid, furosemid dan spironolakton.
Hydro Chloro Thiazide (HCT) dan spironoloakton dianjurkan terutama pada gagal
jantung NYHA klas II. Apabila kondisi memburuk baru diberikan furosemid.
Kontra indikasi pemberian diuretik adalah: tamponade jantung, infark miokard
ventrikel kanan, hepatic failure, hipokalemia dan hipersensitif.14
Gambar 2.3 Penggunaan diuretik pada tatalaksana gagal jantung15
Nitrat
Pemberian nitrat sangat berguna bagi penderita gagal jantung yang juga
memiliki riwayat jantung koroner atau pada pasien yang telah menerima furosemid
dosis tinggi, namun belum mampu mengatasi sindrom gagal jantung. Pemberian
nitrat selalu dimulai dengan dosis rendah untuk mencegah sinkop.14

2.8.1.2 Obat Inotropik


Obat inotropik diberikan pada pasien yang terbuktu ada gangguan kontraktilitas
misalnya pada foto toraks tampak pembesaran jantung, atau hasil echocardiography
menunjukkan fraksi ejeksi <40%14
Digoksin
Menkanisme kerja digoksin yang pertama adalah menghambat aktivitas pompa
natrium yang memperlambat fase repolarisasi agar lebih banyak Ca yang masuk ke
dalam sel sehingga kontraktilitas miokard meningkat. Mekanisme kedua adalah
dengan meningkatkan tonus vagus yang menyebabkan penurunan laju jantung.14
Digoksin dapat diberikan peroral atau perintravena digoksin per intravena
diberikan pada gagal jantung yang disebabkan atrial fibrilaasi respon cepat.
Digoksin diberikan dengan loading dose 3 kali 1 tablet (0,25mg) per hari selama
tiga hari untuk orang dewasa, kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose
0,25mg per hari untuk usia di bawah 70 tahun dan 0,125 mg oer hari untuk usia di
atas 70 tahun. Untuk gagal jantung kongestif akut yang disebabkan oleh fi9brilasi
atrium respon cepat dan yang telah terjadi kardiomegali, loading dose untuk
digoksin (IV) adalah 8-12ug/kgBB setiap 6 jam (maksimal 1,5 mg/hari) sampai
tampak tanda-tanda perbaikan, kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose.14
Pemberian digoksin merupajan kontra indikasi pada semua penderita yang
pernah mengalami intoksikasi digitalis,pasien kardiomiopati hipertrofi, sindrom
Wolff-Parkinson-White, dan hati-hati pada pasien hipertiroidisme.14
β-Blocker
β-Blocker memperbaiki gejala gagal jantung sistolik serta memperlambar
progresivitas ketika ditambahkan pada teraou konvensional yang biasanya terdiri
atas ACE inhibitor, diuretik, dan digoksin. Penggunaan β-Blocker jangka panjang
secara konsisten dan sigifikan meningkatkan fungsi jantung kiri yang dinilai
melalui fraksi ejeksi dan menurunkan insiden rawat pasien dengan gejala klinis
yang beragam. Selain itu, penggunaan β-Blocker kronik memperbaiki semua klas
NYHA pada gagal jantung sistolik.14,15
Pada pemberian β-Blocker perlu diperhatikan semua pasien harus berada dalam
kondisi re;atof stanil yaitu sudah tidak terlalu sesak, tidak edema pretibial atau
asites. Dimulai dengan dosis yang sangat rendah (start low) mulai dengan dosis
yang sangat rendah yaitu 1/8 – 1/10 dosis target, misalnya carvedilol 35mg/hari
atau bisoprolol 5 mg/hari. Dosis dinaikkan pelan (go slow) dengan supervisi ketat
yaitu apabila kondisi pasien membaik, dinaikkan setiap 1-2 minggu sekali 1/8 tablet
sampai mencapai dosis target.14

2.8.1.3 Menurunkan Afterload dan Mencegah Remodeling


ACE Inhibitor
ACE Inhibitor memperbaiki hemodinamik dan status fungdional (mengurangi
gejala dan meningkatkan toleransi exercise), mengurangi rawatan untuk gagal
jantung dan memperpanjang harapan hidup. Apabila tidak ditemukan adanya
retensi cairan, ACE inhibitor harus diberikan pertama kali dalam menangani gagal
jantung sistolik. Pada kasus disertai retensi cairan, ACE inhibitor harus dimulai
bersamaan dengan diuretik. 15
ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah dan perlahan-lahan ditritasi sampai
dosis efektif. Pasien harus dimonitor secara hati-hati untuk efek samping utama
ACE inhibitor termasuk hipotensi, azotemia prerenal, hiperkalemia dan batuk. ACE
Inhibitor sebaiknya tidak segera diberikan pada pasien gagal jantung dengan batuk
karna peningkatan tekanan pengisian ventrikel sering menyebabkan batuk. Adapun
adverse effect yang jarang terjadi pada terapi ACE inhibitor adalah angiedema.15

Gambar 2.4 Penggunaan ACE Inhibitor pada gagal jantung.15


Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Angiotensin Receptor Blockers (ARB) telah menjadi pilihan terapi alternatif
untuk ACE-I atau sebagai terapi tambahan ACE-I dan β-Blocker pada gagal
jantung. ARB sangat direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung kronis
yang tidak tolenransi terhadap ACE-I. ARB juga menjadi pilihan terapi lini pertama
selain ACE-I yang memberikan efek yang serupa terutama pada pasien yang telah
menggunakan ARB sebagai indikasi lain.15
Efek samping ARB tidak jauh berbeda dengan ACE-I seperti hipotensi,
insufisensi renal dan hiperkalemia. Candesartan dan valsatran menjadi terbukti
sebagai ARB untuk mengatasi gagal jantung, obat lain yang terbukti efektif pada
tahap awal penyakit kardiovaskuler diantaranya eprosartan, irbesartan, losartan,
olmesartan, dan telmisartan.15

Aldosterone antagonist
Aldosteron menimbulkan efek yang merusak pada disfungsi jantung kiri dan
gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk rentensi natrium dan air,
elektrolit homeostasis abnormal, hipertrofi dan fibrosis miokardium, remodeling
vaskuler dan disfungsi sel endothelial. Aldosteron antagonis dapat dimulai dengan
dosis rendah dan bila dapat ditoleransi, dinaikkan menjadi dosis target yaitu 25mg
spironolactone perhari dan 10mg eplerenone per hari.15
Gambar 2.5 Mekanisme kerja obat gagal jantung

2.8.2 Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan pada penderita CHF adalah16:
a. Edukasi kepatuhan minum obat
b. Edukasi kepatuhan diet rendah garam, rehabilitasi jantung
c. Edukasi cara mengatasi bila terjadi perburukan sesak napas
d. Edukasi timbang berat badan dan lingkar perut, ukur jumlah cairan masuk dan
keluar agar seimbang
e. Edukasi kontrol tekanan darah, nadi dan pemeriksaan fisik ke Psekesmas terdekat.
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. S
No. RM : 01.08.76.15
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : PNS
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
No. HP : 08xx xxxx xxxx
Tanggal Pemeriksaan : 31 Maret 2021

3.2. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki, 57 tahun, datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal
26 Maret 2021, dengan:
a. Keluhan Utama
Sesak napas meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang

- Sesak napas meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak mulai
dirasakan sejak 1 bulan terakhir. Sesak meningkat dengan aktivitas ringan dan
hilang dengan istirahat. Sesak tidak menciut dan tidak dipengaruhi cuaca serta
makanan. Pasien mengeluhkan sesak saat berjalan dan menaiki tangga. Tidur
malam dengan 2 bantal. Terbangun karena sesak nafas pada malam hari ada.

- Awalnya pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati sejak 6 bulan yang lalu, nyeri
terasa menusuk dan disertai perut terasa tegang

- Mual dan muntah ada sejak 6 bulan yang lalu


- Kedua kaki sembab sejak lebih kurang 1 minggu sebelum masuk rumah sakit

- Lemah letih sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit

- Nafsu makan menurun ada

- Riwayat nyeri dada disangkal

- Batuk tidak ada

- Demam tidak ada

- BAK tidak ada keluhan

- BAB tidak ada keluhan

- Pasien rujukan dari RS M.Natsir Solok dan dikatakan dokter mederita gangguan
pencernaan dan jantung.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien memiliki riwayat penyakit asam lambung
- Riwayat penyakit kuning disangkal
- Riwayat DM dan Hipertensi tidak ada
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan sama seperti pasien.
- Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit menular, keturunan, dan
penyakit kejiwaan.
e. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan
- Pasien seorang guru
- Pasien sudah menikah.
- Riwayat merokok ada, sejak 20 tahun yang lalu, kurang 1 bungkus per hari dan
sudah berhenti sejak 1 tahun yang lalu
- Riwayat minum alkohol tidak ada.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Umum

- Keadaan Umum : Sakit sedang


- Kesadaran : Komposmentis kooperatif
- Tekanan Darah : 104/79 mmHg
- Nadi : 76 kali/ menit, reguler, kuat angkat
- Napas : 20 kali/ menit, tipe pernapasan thoracoabdominal
- Suhu : 36,6 0C
- TB/ BB : 167 cm/ 56 kg
- IMT : 20,1 kg/ m2 (normoweight)
- Kulit dan Kuku : Ikterik (-), turgor kulit normal
- Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
- Kepala : Normochepal, simetris, deformitas (-),
rambut hitam, ikal, tidak mudah dicabut
- Mata : Perdarahan konjungtiva (+/+)
Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
- Telinga : tidak ditemukan kelainan
- Hidung : tidak ditemukan kelainan
- Tenggorokan : tidak ditemukan kelainan
- Gigi dan Mulut : tidak ditemukan kelainan
- Leher : Pembesaran tiroid tidak ada, JVP 5+2
cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Torak : Normochest
- Paru
Inspeksi : Statis : Simetris kiri dan kanan
Dinamis : Pergerakan simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Kanan : Sonor
Kiri : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronki(+/+), wheezing
(-/-)
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 2 jari lateral linea mid
klavikula sinistra RIC VI
Perkusi : kanan : 2 jari lateral linea mid klavikula sinistra RIC VI,
kiri: linea parasternal kanan RIC V
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, bising (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), venektasi (-), spider
naevi (-), kolateral vein (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran hepar 2 jari dibawah prosesus
xyphoideus, lien tidak teraba
Perkusi : Redup, shifting dullness (+)
Auskultasi : BU (+) normal
Genitalia : tidak ditemukan kelainan
Ekstremitas : Pitting oedema pada ekstremitas bawah (+/+), CRT <2
detik

3.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Hematologi
- Hb : 14,5 gr/dl
- Leukosit : 5.170 /mm3
- Trombosit : 46.000 /mm3
- Hematokrit : 40 %
- Hitung jenis : 0/2/1/72/15/10
- GDS : 101 mg/dl
- Ureum : 73 mg/dl
- Kreatinin : 1,6 mg/dl
- Natrium : 124 mmol/L
- Kalium : 3,9 mmol/L
- Klorida Serum : 97 mmol/L
- PT/APTT : 13,6/ 30,0 detik
- SGOT/SGPT : 188 / 152 U/L
- Total protein : 4,8 g/dL
- Albumin : 2.5 g/dL
- Globulin : 2.3 g/dL
- Bilirubin total : 3,6
- Bilirubin direk : 2,6 mg/dL
- Bilirubin indirek : 1,0 mg/dL
- HbsAg : non reaktif

Kesimpulan : Trombositopenia, PT meningkat, albumin menurun, SGOT SGPT


meningkat, ureum kreatinin meningkat, natrium menurun
b. Ro Thorax

Kesimpulan :
Kardiomegali, infitrat

c. Echocardiography ( 26 Maret 2021)


Kesimpulan
• Fungsi sistolik global LV menurun, EF 23% (simpson)
• Akinetik anteroseptal, anterior, anterolateral, inferoseptaal, apical luas, inferior, segmen
lain hipokinetik
• LVH eksentrik, hipertrofi dengan disfungsi diastolic LV gangguan restriktif, LVEDP
meningkat
• AR mild ec kalsifikasi degenerative
• TR moderate, high probability PH
• MR moderate ec iskemik
• Kontraktilitas RV baik
• Efusi pericard (-)
d. Pemeriksaan Anjuran
- USG Abdomen

3.5. Diagnosis Kerja


- CHF NYHA fc III
- AKI stage I ec low cardiac output
- Gangguan faal hepar
- CAP
3.6. Tatalaksana
a. O2 3 liter per menit
b. IVFD Comafusin : Triofusin 1 : 1 /12 jam
c. Spironolakton 1 x 25 mg PO
d. Injeksi Furosemide 2x1amp
e. Lactulac syr 3x15 cc
f. Bisoprolol 1x2,5 mg
g. Ramipril 1x 2,5 mg
h. N asetil sistein 3x200 mg
i. Injeksi seftriakson 2 x 1 gram

3.7. Prognosis
a. Quo ad vitam : Dubia ad malam
b. Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
c. Quo ad functionam : Dubia ad malam
BAB 4
DISKUSI

4.1. Diskusi
Pasien laki-laki umur 57 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang meningkat sejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dapat disebabkan oleh berbagai sistem, bisa
dari kardiak maupun nonkardiak. Sesak napas kardiak dapat disebabkan oleh gagal jantung
maupun efusi perikard. Sesak napas non-kardiak dapat ditimbulkan oleh kelainan paru seperti
asma, PPOK, efusi pleura, kelainan metabolik seperti asidosis, kelainan darah seperti
anemia.
Sesak dari paru biasanya disertai batuk, adanya faktor pencetus seperti allergen, cuaca,
dan lainnya. Sedangkan pada extra paru biasanya tergantung aktivitas, waktu, dan posisi. Pada
pasien ini sesak nafas dirasakan ketika aktifitas ringan. Sesak pada malam hari hingga sering
terbangun dan tidur menggunakan 2 bantal. Tidak disertai bunyi menciut dan tidak dipengaruhi
oleh asap,debu, maupun suhu. Hal ini mengarahkan kepada penyebab ekstraparu.
Sesak yang meningkat dengan aktivitas menandakan kelainan pada jantung. Semakin
sesak saat beraktifitas karena kebutuhan jaringan akan oksigen meningkat sementara itu keadaan
jantung yang gagal memenuhi kebutuhan darah jaringan untuk metabolisme akan membuat tubuh
mengkompensasi dengan mengambil oksigen lebih banyak dengan meningkatkan frekuensi
pernafasan. Sesak yang terasa saat beraktifitas (dispneu on effort) menandakan gagal jantung
pada tahap awal.
Gagal jantung disebabkan karna peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan
vena pulmonaris dan menyebabkan kongestif paru dan akhirnya edem alveolar menimbulkan
manifestasi berupa sesak napas, batuk dan kadang hemoptysis. Pada penderita gagal jantung
yang lebih khas batuk terjadi pada malam hari. Kegagalan ventrikel menyebabkan sesak nafas
dapat berlanjut saat istirahat. Penimbunan cairan dalam alveoli akan mengganggu pertukan gas
sehingga sesak nafas saat berbaring (ortopneu). Maka dari itu pasien ini sering terbangun pada
malam hari karena sesak nafas dan lebih nyaman tidur dengan menggunakan 2 bantal saat malam
hari.
Pasien juga mengeluhkan kedua kaki sembab sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Hal ini dapat terjadi karena sudah terjadi bendungan akibat gagal jantung yang dialami oleh
pasien.

Pada pemeriksaan fisik, pada leher ditemukan JVP 5+2 cmH2O menunjukkan
peningkatan JVP. Hal ini menandakan adanya hipertensi pulmonal sebagai dekompensasi gagal
jantung. Pada pemeriksaan fisik thoraks didapatkan rhonki basah halus yang menandakan adanya
infeksi pada paru pasien kemungkinan karena pneumonia. Pada palpasi jantung ditemukan ictus
cordis teraba 2 jari lateral linea mid clavicula sinistra dan perkusi didapatkan batas jantung atas :
RIC II Linea Mid Clavicula Sinistra, kanan : RIC V linea parasternalis dextra, Kiri : RIC VI 2
jari lateral Linea Mid Clavicula Snistra. Ditemukan pergeseran batas jantung, hal ini dapat terjadi
karena terjadinya pembesaran jantung.

Pada pemeriksaan abdomen inspeksi: tidak tampak membuncit. Palpasi: Hepar teraba 2
jari di bawah processus xiphoideus, konsistensi lunak, tepi hepar tumpul, tidak berbenjol, nyeri
tekan tidak ada, perkusi: shifting dullness positif hal ini menandakan telah terjadinya asites yang
minimal dan hepatomegali. Bisa diakibatkan oleh congestive hepatopathy. Pada gagal jantung
terjadi mekanisme backward failure: (1) peningkatan tekanan vena karena disfungsi ventrikel
kanan mengganggu difusi oksigen dan nutrient ke hepatosit (2) terjadinya stagnansi aliran darah
trombosis di sinusoid, venula, dan jalur vena porta timbulnya fibroblast dan deposisi kolagen,
akhirnya terjadi fibrosis hati.

Pada ekstrimitas terdapat edem tungkai. Telah terjadi peningkatan tekanan pada atrium
kanan yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Edem biasanya baru terjadi
pada saat gagal jantung kanan terjadi. Edema lebih tampak terjadi pada tungkai bawah karena
efek gravitasi, terutama bila pasien banyak berdiri pada siang hari dan biasanya membaik pada
pagi hari karena pasien berbaring semalaman.

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil trombositopenia, PT meningkat, albumin


menurun, SGOT SGPT meningkat disebabkan gangguan faal hepar karena congestive
hepatopathy. Pada rontgen thorax didapatkan kesan kardiomegali dan juga infiltrate pada paru.
Hal tersebut sesuai dengan gagal jantung yang dialami oleh pasien, dan infiltrate disebabkan
karena infeksi pada paremkim paru menyebabkan ronkhi basah pada pemeriksaan auskultasi
paru.
Diagnosis pasien ditegakkan melalui kriteria Frammingham dan NYHA. Pada pasien
ditemukan keluhan sesak saat tidur terlentang, terbangun karna sesak ketika tidur malam hari,
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus, kardiomegali, edema tungkai bawah, dan
hepatomegali didapatkan 5 dari kriteria mayor dan 2 dari kriteria minor. Pasien sesak saat
aktivitas ringan dan hilang saat istirahat termasuk NYHA functional class III.

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan secara nonfarmakologis dan farmakologis. Pada
penatalaksanaan nonfarmakologis, pasien diberikan diet hepar II. Pada penatalaksanaan
farmakologis diberikan. Oksigen 3liter / menit untuk mengatasi sesak nafas. IVFD Comafusin :
Triofusin 1 : 1 /12 jam diberikan sebagai nutrisi parenteral essensial untuk pasien insufisensi hati
kronik. Pemberian nutrisi intravena untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dimana kandungan
pemberian kombinasi ini adalah asam amino 5% dengan karbohidrat, vitamin dan elektrolit.
Sementara itu, triofusin sendiri mengandung fruktosa, dekstrosa, dan silitol. Hal ini berguna
untuk pemberian asupan asam amino rantai cabang dan juga mencegah terjadinya keadaan
hiperamonia dalam darah. Injeksi ceftriaxone 2x1 g IV menrupakan antibiotik spektrum luas
sebagai profilaksis. Injeksi furosemide 1x 2amp sebagai diuretik untuk menurunkan preload dan
mengatasi retensi cairan. Spironolakton diberikan juga sebagai diuretic untuk menurunkan
preload.Ramipril sebagai ACE-inhibitor untuk pencegahan remodelling jantung. Bisoprolol
merupakan beta blocker sebagai tambahan ACE inhibitor.N-asetilsistein sebagai mukolitik untuk
mengatasi CAP.
Pada pasien CHF telah terjadinya gangguan struktur dan fungsi jantung akibat remodelling
sehingga mempengaruhi kemampuan jantung. Pada pasien ini juga sudah terjadi komplikasi
sehingga prognosis menjadi buruk.
BAB 5
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung (napas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas yang
terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain seperti yang
terdapat pada gejala klinis. Dari pemeriksaan fisik, bisa didapatkan peningkatan JVP,
pembesaran hepar, edema tungkai, refleks hepatojugular, pergeseran apeks jantung ke
lateral, maupun bising jantung. Dapat digunakan kriteria klinis menggunakan kriteria
klasik Framingham, paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Pemeriksaan
penunjang dapat berupa foto toraks, EKG pemerksaan laboratorium, biomarka jantung,
dan ekokardiografi.
Gagal jantung ditatalaksana secara non farmakologi dengan edukasi gaya hidup
dan ketaatan dalam berobat serta secara farmakologi dengan ACE-I, beta bloker, ARB,
dan diuretik.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistic-2004 Update. Dallas,
TX: American Heart Association: 2003
2. Sudoyo, Aru. W. et.al. (editor) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed. 5. Jakarta
Pusat : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007
3. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiology of the heart : a collaborative project of medical
students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams &Wikkins, a WolterKhower Business,
2011
4. Fox KF, Cowle MR, Wood DA et.al. Coronary artery disease as the cause incident heart
failure in the population. Eur Heart J 2001:22:228-36
5. Price SA, Wilson ML, Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit Ed.6.(Brahm
U. Pendit..., Penerj.) Editor edisi bahasa Indonesia, Hartanto H, et.al. Jakarta : ECG, 2005
6. Hess OM, Carrol JD. Clinical assessment of heart failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann
DL, Zipes DP. In: Braunwald’s heart disease. A textbook of cardiovascular medicine. 8th.
Ed.Saunders company, 2007: 561-580.
7. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of
angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.
8. Aulia Sani.Heart failure. Medya crea, Jakarta .2007: hal 1-104.
9. Parker, R.B., Patterson, H.J., Johnson, J.A., 2008, Heart Failure dalam Dipiro, J.T.,
Talbert, L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, B.G., Posey, M.L., Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 7th Ed, The McGraw-Hill Companies, New York.
10. Dewi WK. 2009. Hubungan antara Riwayat Gagal Ginjal Kronik dengan Mortalitas di
Rumah Sakit pada Pasien dengan Diagnosis Gagal Ginjal Akut di Lima Rumah Sakit di
Indonesia pada Desember 2005 – Desember 2006. Skripsi. Jakarta. Program Studi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Manurung D. 2010. Tata Laksana Gagal Jantung Akut. Dalam (Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5. Jakarta:
InternaPublishing, 1515-9.
12. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K, et al.
2012. ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. Eur Heart J, 33: 1787-847.
13. Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI,2001:531-534.
14. Rilantono, L. I 2012. Penyakit kardiovaskular. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
15. Fuster, V., Walsh, R.A., Harington, R. A. 2011. Hurt’s the Hearth. 13th ed. New York:
McGraw-Hill
16. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2016. Panduan Praktik Klinis
dan Clinical Pathway Penyakit Pembuluh Darah. Edisi Pertama.

Anda mungkin juga menyukai