Oleh:
Faiz Chalidzar 1940312053
Yolanda Erdiansari 1940312037
Preseptor:
dr. Drajad Priyono Sp.PD-KGH, FINASIM
1.1.Latar Belakang
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan kualitas
hidup. Seorang pasien yang menderita gagal jantung biasanya sering kembali datang ke rumah
sakit karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian yang tinggi pada
penyakit ini. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali,
15% paling tidak dua kali dalam dua belas bulan pertama.1
Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-60%, tergantung
dari studi populasi.1 Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak perawatan di rumah sakit
pada populasi Medicare di Amerika Serikat, sedangkan di Eropa dari data-data Scottish
memperlihatkan peningkatan dari perawatan gagal jantung, apakah sebagai serangan pertama
atau sebagai gejala utama atau sebagai gejala ikutan dengan gagal jantung. Peningkatan ini
sangat erat hubungannya dengan semakin bertambahnya usia seseorang.1,2
Penyebab dari gagal jantung adalah seluruh spektrum kerusakan pada jantung baik secara
struktural maupun fungsional yang tidak tertangani dengan baik yang dalam waktu tertentu akan
bermanifestasi sebagai gagal jantung pada saat jantung tidak mampu lagi mengkompensasi
kerusakan tersebut. Penyebab-penyebab ini jika diklasifikasikan bisa berupa kelainan mekanik,
kelainan miokardium, maupun kelainan irama jantung. Penyakit jantung koroner merupakan
etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien terutama pada pasien usia lanjut, sedangkan pada
usia muda, gagal jantung akut diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung
kongenital atau valvular dan miokarditis.2,4
Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan kombinasi kelainan
jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik.2,4 Boleh dikatakan bahwa gagal
jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal dari setiap penyakit jantung.3 Oleh sebab itu,
gagal jantung di satu sisi akan dapat dengan mudah dipahami sebagai suatu sindrom klinis,
namun di sisi lain gagal jantung merupakan suatu kondisi dengan patofisiologis yang sangat
bervariasi dan kompleks.5
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas prinsip tentang diabetes melitus tipe 2 secara
komprehensif.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2 sampai 30%. Angka
prevalensi disfungsi ventrikel asimptomatik menyerupai prevalensi gagal jantung, sehingga
membuktikan dalam total populasi prevalensi gagal jantung atau disfungsi ventrikel
asimptomatik sekitar 4%. Angka prevalensi meningkat tajam pada populasi usia 75 tahun,
sehingga prevalensi pada kelompok usia 70-80 tahun sekitar 10-20%.
Gagal jantung juga ditandai dengan mortalitas yang tinggi dengan frekuensi rawat inap
di rumah sakit yang sering dan penurunan kualitas hidup. Meskipun penatalaksanaan gagal
jantung telah mengalami kemajuan, hasil penilaian menunjukkan sebagian besar kasus
kematian terjadi pada 3 bulan pertama rawat inap. Kurang dari separuh jumlah orang dengan
gagal jantung simptomatik yang dapat bertahan lebih dari 5 tahun. Bahkan pasien dengan
gagal jantung ringan – sedang pun memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan mortalitas gagal jantung ringan – sedang dalam 1 tahun adalah 20 – 30%.8
Menurut Depkes RI pada tahun 2009, proporsi kematian akibat penyakit menular di
Indonesia dalam 12 tahun telah menurun sepertigannya dari 44% menjadi 28% dan proporsi
penyakit tidak menular mengalami peningkatan cukup tinggi dari 42% menjadi 60%. Dari
sepuluh penyebab utama kematian, dua diantaranya penyakit kardiovaskuler dan stroke
merupakan penyakit tidak menular. Keadaan ini terjadi di dunia, baik di negara maju
maupun di negara ekonomi rendah menengah.
2.3 Faktor Risiko
Gagal jantung disebabkan oleh berbagai penyakit lain, diantaranya adalah8
Tabel 2.1 Faktor Risiko Gagal Jantung
Faktor yang dapat menyebabkan gagal Faktor yang memperburuk kondisi
jantung gagal jantung
- Infeksi seperti pneumonia - Gagal jantung tingkat yang lebih
- Aritmia tinggi
- Infark miokard - Diabetes mellitus
- Anemia - Penurunan left ventricular ejection
- Konsumsi alkohol yang berlebih fraction
- Penyebab yang bersifat iatrogenik, - Konsumsi puncak oksigen yang
seperti penggantian cairan pasca rendah pada kondisi exercise
operasi penggunaan obat anti maksimum
inflamasi steroid atau non steroid. - Bunyi jantung ketiga
- Ketidakpatuhan minum obat - Peningkatan tekanan pemisah
terutama pengobatan hipertensi. kapiler paru
- Gangguan tiroid seperti - Penurunan indek kardiak
tirotoksiskosis. - Peningkatan katekolamin plasma
- Emboli paru dan konsenterasi natriuretik peptida
- Kehamilan.
2.4 Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association, (NYHA)
Klasifikasi ini sering digunakan untuk mengklasifikasikan gagal jantung pada
praktik klinik. Menurut NYHA, gagal jantung dibagi menjadi 4 kelompok8:
1. NYHA kelas I: Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik
sehari-hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.
2. NYHA klas II: Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat terhadap
pembatasan ringan aktivitas fisik. merasa enak pada saat istirahat. Aktivitas fisik
sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.
3. NYHA klas III: Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pada pembatasan
berat aktivitas fisik. merasa enak pada saat istirahat. Aktivitas yang kurang dari
aktifitas fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea, atau angina.
4. NYHA klas IV: Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu
melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan timbul meski dalam keadaan istirahat.
2.5 Etiologi
Penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam) kategori utama, yakni9:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh
hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch
block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.
2.6 Patofisiologi
Kegagalan pada jantung dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari beberapa mekanisme
utama di bawah ini1:
1. Kegagalan pompa
Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah, tidak adekuat, atau karena relaksasi otot
jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.
2. Obstruksi aliran
Obstruksi dapat disebabkan adanya lesi yang mencegah terbukanya katup atau keadaan
lain yang dapat menyebabkan peningkatan ventrikel jantung, seperti stenosis aorta dan
hipertensi sistemik.
3. Regurgitasi
Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik dan beban kerja ventrikel, seperti yang
terjadi pada keadaan regurgitasi aorta serta pada regurgitasi mitral.
4. Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak maksimal dan
tidak efisien.
Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume dan tekanan serta
disfungsi regional pada jantung sehingga akan meningkatkan beban kerja jantung dan
menyebabkan remodeling structural jantung. Jika beban kerja jantung semakin progresif,
maka akan semakin memperberat remodeling sehingga akan menimbulkan gagal
jantung.10,11
2.7 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung
oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi. Alur
diagnostik pada pasien gagal jantung ditampilkan pada gambar 2.1 4. Dalam alur diagnosis
di bawah ini hal pertama yang harus kita bedakan adalah onset dari gejala yang terjadi pada
pasien. Pasien dapat datang karena gagal jantung yang akut, kronik, atau episode akut pada
gagal jantung kronik.
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea on Effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi
Setelah memastikan diagnosis gagal jantung, maka dari keseluruhan anamnesi sampai
pada pemeriksaan penunjang kita dapat menentikan derajat berat ringannya gagal jantung
pada pasien.Derajat berat ringannya gagal jantung ini sangat menentukan tatalaksana atau
rencana terapi dari seorang dokter baik di layanan primer maupun sekunder terutama pasien
dengan penyakit komplikasi atau penyakit komorbid yang berarti.
Berikut klasifikasi gagal jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung
(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA) dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.4 Klasifikasi Derajat Gagal Jantung
Stadium A Kelas I
- Memiliki resiko tinggi untuk - Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal melakukan aktifitas fisik.
jantung. - Aktifitas fisik sehari-hari tidak
- Tidak terdapat gangguan menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
structural atau fungsional sesak napas.
jantung, tidak terdapat tanda
atau gejala
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur - Terdapat batasan aktifitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan - Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
perkembangan gagal jantung, tidak namun aktifitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala. menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung structural lanjut serta - Tidak dapat melakukan aktifitas fisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan.
bermakna saat istirahat walaupun sudah - -Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
mendapat terapi medis maksimal meningkat saat melakukan aktifitas
(refrakter)
Selain berdasarkan derajat kerusakan strukturan dan fungsionalnya, gagal jantung juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya kegagalan pompa apakah saat sistolik
atau pada fase diastolik. Terdapat beberapa kriteria yang membantu kita membedakan gagal
jantung sistolik dan diastolik seperti pada gambar tabel berikut ini:
Tabel 2.5 Kelainan yang paling sering ditemukan pada EKG dengan gagal jantung akut12
Abnormality Causes Clinical implications
Aldosterone antagonist
Aldosteron menimbulkan efek yang merusak pada disfungsi jantung kiri dan
gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk rentensi natrium dan air,
elektrolit homeostasis abnormal, hipertrofi dan fibrosis miokardium, remodeling
vaskuler dan disfungsi sel endothelial. Aldosteron antagonis dapat dimulai dengan
dosis rendah dan bila dapat ditoleransi, dinaikkan menjadi dosis target yaitu 25mg
spironolactone perhari dan 10mg eplerenone per hari.15
Gambar 2.5 Mekanisme kerja obat gagal jantung
2.8.2 Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan pada penderita CHF adalah16:
a. Edukasi kepatuhan minum obat
b. Edukasi kepatuhan diet rendah garam, rehabilitasi jantung
c. Edukasi cara mengatasi bila terjadi perburukan sesak napas
d. Edukasi timbang berat badan dan lingkar perut, ukur jumlah cairan masuk dan
keluar agar seimbang
e. Edukasi kontrol tekanan darah, nadi dan pemeriksaan fisik ke Psekesmas terdekat.
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki, 57 tahun, datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal
26 Maret 2021, dengan:
a. Keluhan Utama
Sesak napas meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
- Sesak napas meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak mulai
dirasakan sejak 1 bulan terakhir. Sesak meningkat dengan aktivitas ringan dan
hilang dengan istirahat. Sesak tidak menciut dan tidak dipengaruhi cuaca serta
makanan. Pasien mengeluhkan sesak saat berjalan dan menaiki tangga. Tidur
malam dengan 2 bantal. Terbangun karena sesak nafas pada malam hari ada.
- Awalnya pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati sejak 6 bulan yang lalu, nyeri
terasa menusuk dan disertai perut terasa tegang
- Lemah letih sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit
- Pasien rujukan dari RS M.Natsir Solok dan dikatakan dokter mederita gangguan
pencernaan dan jantung.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien memiliki riwayat penyakit asam lambung
- Riwayat penyakit kuning disangkal
- Riwayat DM dan Hipertensi tidak ada
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan sama seperti pasien.
- Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit menular, keturunan, dan
penyakit kejiwaan.
e. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan
- Pasien seorang guru
- Pasien sudah menikah.
- Riwayat merokok ada, sejak 20 tahun yang lalu, kurang 1 bungkus per hari dan
sudah berhenti sejak 1 tahun yang lalu
- Riwayat minum alkohol tidak ada.
Kesimpulan :
Kardiomegali, infitrat
3.7. Prognosis
a. Quo ad vitam : Dubia ad malam
b. Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
c. Quo ad functionam : Dubia ad malam
BAB 4
DISKUSI
4.1. Diskusi
Pasien laki-laki umur 57 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang meningkat sejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dapat disebabkan oleh berbagai sistem, bisa
dari kardiak maupun nonkardiak. Sesak napas kardiak dapat disebabkan oleh gagal jantung
maupun efusi perikard. Sesak napas non-kardiak dapat ditimbulkan oleh kelainan paru seperti
asma, PPOK, efusi pleura, kelainan metabolik seperti asidosis, kelainan darah seperti
anemia.
Sesak dari paru biasanya disertai batuk, adanya faktor pencetus seperti allergen, cuaca,
dan lainnya. Sedangkan pada extra paru biasanya tergantung aktivitas, waktu, dan posisi. Pada
pasien ini sesak nafas dirasakan ketika aktifitas ringan. Sesak pada malam hari hingga sering
terbangun dan tidur menggunakan 2 bantal. Tidak disertai bunyi menciut dan tidak dipengaruhi
oleh asap,debu, maupun suhu. Hal ini mengarahkan kepada penyebab ekstraparu.
Sesak yang meningkat dengan aktivitas menandakan kelainan pada jantung. Semakin
sesak saat beraktifitas karena kebutuhan jaringan akan oksigen meningkat sementara itu keadaan
jantung yang gagal memenuhi kebutuhan darah jaringan untuk metabolisme akan membuat tubuh
mengkompensasi dengan mengambil oksigen lebih banyak dengan meningkatkan frekuensi
pernafasan. Sesak yang terasa saat beraktifitas (dispneu on effort) menandakan gagal jantung
pada tahap awal.
Gagal jantung disebabkan karna peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan
vena pulmonaris dan menyebabkan kongestif paru dan akhirnya edem alveolar menimbulkan
manifestasi berupa sesak napas, batuk dan kadang hemoptysis. Pada penderita gagal jantung
yang lebih khas batuk terjadi pada malam hari. Kegagalan ventrikel menyebabkan sesak nafas
dapat berlanjut saat istirahat. Penimbunan cairan dalam alveoli akan mengganggu pertukan gas
sehingga sesak nafas saat berbaring (ortopneu). Maka dari itu pasien ini sering terbangun pada
malam hari karena sesak nafas dan lebih nyaman tidur dengan menggunakan 2 bantal saat malam
hari.
Pasien juga mengeluhkan kedua kaki sembab sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Hal ini dapat terjadi karena sudah terjadi bendungan akibat gagal jantung yang dialami oleh
pasien.
Pada pemeriksaan fisik, pada leher ditemukan JVP 5+2 cmH2O menunjukkan
peningkatan JVP. Hal ini menandakan adanya hipertensi pulmonal sebagai dekompensasi gagal
jantung. Pada pemeriksaan fisik thoraks didapatkan rhonki basah halus yang menandakan adanya
infeksi pada paru pasien kemungkinan karena pneumonia. Pada palpasi jantung ditemukan ictus
cordis teraba 2 jari lateral linea mid clavicula sinistra dan perkusi didapatkan batas jantung atas :
RIC II Linea Mid Clavicula Sinistra, kanan : RIC V linea parasternalis dextra, Kiri : RIC VI 2
jari lateral Linea Mid Clavicula Snistra. Ditemukan pergeseran batas jantung, hal ini dapat terjadi
karena terjadinya pembesaran jantung.
Pada pemeriksaan abdomen inspeksi: tidak tampak membuncit. Palpasi: Hepar teraba 2
jari di bawah processus xiphoideus, konsistensi lunak, tepi hepar tumpul, tidak berbenjol, nyeri
tekan tidak ada, perkusi: shifting dullness positif hal ini menandakan telah terjadinya asites yang
minimal dan hepatomegali. Bisa diakibatkan oleh congestive hepatopathy. Pada gagal jantung
terjadi mekanisme backward failure: (1) peningkatan tekanan vena karena disfungsi ventrikel
kanan mengganggu difusi oksigen dan nutrient ke hepatosit (2) terjadinya stagnansi aliran darah
trombosis di sinusoid, venula, dan jalur vena porta timbulnya fibroblast dan deposisi kolagen,
akhirnya terjadi fibrosis hati.
Pada ekstrimitas terdapat edem tungkai. Telah terjadi peningkatan tekanan pada atrium
kanan yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Edem biasanya baru terjadi
pada saat gagal jantung kanan terjadi. Edema lebih tampak terjadi pada tungkai bawah karena
efek gravitasi, terutama bila pasien banyak berdiri pada siang hari dan biasanya membaik pada
pagi hari karena pasien berbaring semalaman.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan secara nonfarmakologis dan farmakologis. Pada
penatalaksanaan nonfarmakologis, pasien diberikan diet hepar II. Pada penatalaksanaan
farmakologis diberikan. Oksigen 3liter / menit untuk mengatasi sesak nafas. IVFD Comafusin :
Triofusin 1 : 1 /12 jam diberikan sebagai nutrisi parenteral essensial untuk pasien insufisensi hati
kronik. Pemberian nutrisi intravena untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dimana kandungan
pemberian kombinasi ini adalah asam amino 5% dengan karbohidrat, vitamin dan elektrolit.
Sementara itu, triofusin sendiri mengandung fruktosa, dekstrosa, dan silitol. Hal ini berguna
untuk pemberian asupan asam amino rantai cabang dan juga mencegah terjadinya keadaan
hiperamonia dalam darah. Injeksi ceftriaxone 2x1 g IV menrupakan antibiotik spektrum luas
sebagai profilaksis. Injeksi furosemide 1x 2amp sebagai diuretik untuk menurunkan preload dan
mengatasi retensi cairan. Spironolakton diberikan juga sebagai diuretic untuk menurunkan
preload.Ramipril sebagai ACE-inhibitor untuk pencegahan remodelling jantung. Bisoprolol
merupakan beta blocker sebagai tambahan ACE inhibitor.N-asetilsistein sebagai mukolitik untuk
mengatasi CAP.
Pada pasien CHF telah terjadinya gangguan struktur dan fungsi jantung akibat remodelling
sehingga mempengaruhi kemampuan jantung. Pada pasien ini juga sudah terjadi komplikasi
sehingga prognosis menjadi buruk.
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung (napas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas yang
terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain seperti yang
terdapat pada gejala klinis. Dari pemeriksaan fisik, bisa didapatkan peningkatan JVP,
pembesaran hepar, edema tungkai, refleks hepatojugular, pergeseran apeks jantung ke
lateral, maupun bising jantung. Dapat digunakan kriteria klinis menggunakan kriteria
klasik Framingham, paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Pemeriksaan
penunjang dapat berupa foto toraks, EKG pemerksaan laboratorium, biomarka jantung,
dan ekokardiografi.
Gagal jantung ditatalaksana secara non farmakologi dengan edukasi gaya hidup
dan ketaatan dalam berobat serta secara farmakologi dengan ACE-I, beta bloker, ARB,
dan diuretik.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistic-2004 Update. Dallas,
TX: American Heart Association: 2003
2. Sudoyo, Aru. W. et.al. (editor) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed. 5. Jakarta
Pusat : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007
3. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiology of the heart : a collaborative project of medical
students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams &Wikkins, a WolterKhower Business,
2011
4. Fox KF, Cowle MR, Wood DA et.al. Coronary artery disease as the cause incident heart
failure in the population. Eur Heart J 2001:22:228-36
5. Price SA, Wilson ML, Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit Ed.6.(Brahm
U. Pendit..., Penerj.) Editor edisi bahasa Indonesia, Hartanto H, et.al. Jakarta : ECG, 2005
6. Hess OM, Carrol JD. Clinical assessment of heart failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann
DL, Zipes DP. In: Braunwald’s heart disease. A textbook of cardiovascular medicine. 8th.
Ed.Saunders company, 2007: 561-580.
7. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of
angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.
8. Aulia Sani.Heart failure. Medya crea, Jakarta .2007: hal 1-104.
9. Parker, R.B., Patterson, H.J., Johnson, J.A., 2008, Heart Failure dalam Dipiro, J.T.,
Talbert, L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, B.G., Posey, M.L., Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 7th Ed, The McGraw-Hill Companies, New York.
10. Dewi WK. 2009. Hubungan antara Riwayat Gagal Ginjal Kronik dengan Mortalitas di
Rumah Sakit pada Pasien dengan Diagnosis Gagal Ginjal Akut di Lima Rumah Sakit di
Indonesia pada Desember 2005 – Desember 2006. Skripsi. Jakarta. Program Studi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Manurung D. 2010. Tata Laksana Gagal Jantung Akut. Dalam (Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5. Jakarta:
InternaPublishing, 1515-9.
12. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K, et al.
2012. ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. Eur Heart J, 33: 1787-847.
13. Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI,2001:531-534.
14. Rilantono, L. I 2012. Penyakit kardiovaskular. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
15. Fuster, V., Walsh, R.A., Harington, R. A. 2011. Hurt’s the Hearth. 13th ed. New York:
McGraw-Hill
16. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2016. Panduan Praktik Klinis
dan Clinical Pathway Penyakit Pembuluh Darah. Edisi Pertama.