Anda di halaman 1dari 356

AQIDAH

Agama Islam

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan
agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi
hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Allah
hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab itu tidak ada suatu
agama pun yang diterima selain Islam.
Allah ta’ala berfirman,
ً ‫مَّا َكانَ مُحَ َّم ٌد أَبَا أَحَ ٍد مِّن رِّ جَ الِ ُك ْم َولَكِن رَّ سُو َل هَّللا ِ َو َخا َت َم ال َّن ِبيِّينَ َو َكانَ هَّللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء عَ لِيما‬
“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki diantara kalian, akan tetapi dia
adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)
Allah ta’ala juga berfirman,
ً ‫اإلسْ الَ َم دِينا‬
ِ ‫يت لَ ُك ُم‬ ُ ‫ت َل ُك ْم دِي َن ُك ْم َوأَ ْتم‬
ُ ِ‫َمْت عَ لَ ْي ُك ْم نِعْ َمتِي َورَ ض‬ ُ ‫ْالي َْو َم أَ ْكم َْل‬
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku
atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
ِ ِ ‫إِنَّ ال ِّدينَ عِ ندَ هّللا‬
‫اإلسْ الَ ُم‬
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Allah ta’ala berfirman,
َ‫اإلسْ الَ ِم دِينا ً َفلَن ُي ْق َب َل ِم ْن ُه َوه َُو فِي اآلخِرَ ِة مِنَ ْال َخاسِ ِرين‬
ِ َ‫َومَن َي ْب َت ِغ غَ ْير‬
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya dan di
akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk beragama demi Allah dengan memeluk
agama ini. Allah berfirman kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ِيت َفآ ِم ُنو ْا ِباهّلل ِ َورَ سُولِ ِه ال َّن ِبيِّ األُمِّيِّ الَّذِي‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬
gُ ‫ض ال إِلَـ َه إِالَّ ه َُو يُحْ ِيـي َو ُيم‬ ِ ‫َاوا‬ ُ ‫ الَّذِي لَ ُه م ُْل‬gً‫قُ ْل يَا أَ ُّيهَا ال َّناسُ إِ ِّني رَ سُو ُل هّللا ِ إِلَ ْي ُك ْم جَ مِيعا‬
َ ‫ك ال َّسم‬
َ‫ َلعَ لَّ ُك ْم َت ْه َت ُدون‬gُ‫ي ُْؤمِنُ ِباهّلل ِ َو َكلِمَا ِت ِه َوا َّت ِبعُوه‬
“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi kalian semua,
Dialah Dzat yang memiliki kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia,
Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya
seorang Nabi yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta kalimat-kalimat-Nya,
dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang artinya, “Demi Zat yang jiwa
Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia dari umat ini yang mendengar
kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas dia meninggal dalam keadaan tidak
mau beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk salah seorang penghuni
neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan apa yang beliau bawa dengan
disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka Abu
Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallamwalaupun dia membenarkan ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi bahwasanya
Islam adalah agama yang terbaik.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama
sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu
karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat
manapun. Allah ta’ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ َ‫َوأ‬
gِ ‫نز ْل َنا إِلَ ْيكَ ْال ِك َتابَ ِب ْالحَ ِّق مُصَ دِّقا ً لِّمَا َب ْينَ يَدَ ْي ِه مِنَ ْال ِك َتا‬
gً‫ب َو ُم َه ْيمِنا‬
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar sebagai pembenar kitab-kitab yang
terdahulu serta batu ujian atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)
Maksud dari pernyataan Islam itu cocok diterapkan di setiap masa, tempat dan masyarakat adalah
dengan berpegang teguh dengannya tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan umat tersebut
di masa kapan pun dan di tempat manapun. Bahkan dengan Islamlah keadaan umat itu akan menjadi
baik. Akan tetapi bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan Islam itu cocok bagi setiap masa,
tempat dan masyarakat adalah Islam tunduk kepada kemauan setiap masa, tempat dan masyarakat,
sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.
Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah mendapatkan jaminan
pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala bagi siapa saja yang berpegang teguh dengannya
dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman,
ِ ‫ِين ْالحَ ِّق ِلي ُْظ ِهرَ هُ عَ لَى الد‬
َ‫ِّين ُكلِّ ِه َولَ ْو َك ِر َه ْال ُم ْش ِر ُكون‬ ِ ‫ه َُو الَّذِي أَرْ سَ َل رَ سُولَ ُه ِب ْالهُدَ ى َود‬
“Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama yang benar
untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik tidak
menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)
Allah ta’ala berfirman,
ِ ْ‫ فِي اأْل َر‬g‫ت َل َيسْ َت ْخلِ َف َّن ُهم‬
‫ض َكمَا اسْ َت ْخلَفَ الَّذِينَ مِن َق ْبل ِِه ْم َولَ ُي َم ِّك َننَّ لَ ُه ْم دِي َن ُه ُم الَّذِي ارْ َتضَ ى لَ ُه ْم َولَ ُي َب ِّدلَ َّنهُم مِّن‬ ِ ‫َوعَ دَ هَّللا ُ الَّذِينَ آ َم ُنوا مِن ُك ْم َوعَ مِلُوا الصَّالِحَ ا‬
ُ
َ‫ اَل ُي ْش ِر ُكونَ ِبي َشيْئا ً َومَن َك َفرَ َبعْ دَ َذلِكَ َفأ ْو َلئِكَ ُه ُم ْال َفاسِ ُقون‬g‫َبعْ ِد َخ ْوف ِِه ْم أَمْنا ً َيعْ ُبدُو َن ِني‬
“Allah benar-benar telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman serta beramal salih diantara
kalian untuk menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana orang-orang sebelum
mereka telah dijadikan berkuasa di atasnya. Dan Allah pasti akan meneguhkan bagi mereka agama
mereka, sebuah agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka peluk. Dan Allah pasti akan
menggantikan rasa takut yang sebelumnya menghinggapi mereka dengan rasa tenteram, mereka
menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Dan barangsiapa yang
ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan dan syariat/hukum. Islam adalah
ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya:
1. Islam memerintahkan untuk menauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan.
2. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta.
3. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya.
4. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat.
5. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji.
6. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan
durhaka kepada mereka.
7. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus)
dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap
buruk kepada mereka.
Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan
melarang akhlak yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal salih dan
melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala berfirman,
ُ ‫عَن ْال َفحْ َشاء َو ْالمُن َكر َو ْالب َْغي َيع‬ ْ
َ‫ِظ ُك ْم لَعَ لَّ ُك ْم َت َذ َّكرُون‬ ِ ِ ِ ‫ان َوإِي َتاء ذِي ْالقُرْ بَى َو َي ْنهَى‬ ِ ‫إِنَّ هّللا َ يَأ ُم ُر ِب ْالعَ ْد ِل َو‬
ِ َ‫اإلحْ س‬
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan memberikan nafkah kepada sanak
kerabat. Dan Allah melarang semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta tindakan melanggar
batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)
Inilah Pilar Agamamu: Rukun dan Makna
Islam (1)

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena dengan
Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak
akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada. Sebuah
kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia sebesar
apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti
dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.
Inilah Pilar Itu
Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita
pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah
memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada kehancuran dan
kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan bagi orang-orang
yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi
kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
gَ ‫َل َق ْد جَ اء ُك ْم رَ سُو ٌل مِّنْ أَنفُسِ ُك ْم عَ ِزي ٌز عَ لَ ْي ِه مَا عَ ِن ُّت ْم حَ ِريصٌ عَ لَ ْي ُكم ِب ْالم ُْؤ ِمن‬
‫ِين رَ ؤُ وفٌ رَّ حِي ٌم‬
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda
yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat, (3)
menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari
Muslim)
Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau, “Wahai
Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam adalah
Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau menunaikan zakat,
kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.”
Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad! Beri tahukan
kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-
Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang
buruk.” (HR. Muslim)
Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang
seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat
kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah sedangkan iman
adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam
maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir yang
dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun perbuatan
tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika
ada orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka
inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.
Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:
1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.
Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya
agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji
Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.
Makna Islam
Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam
yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan
tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri
dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan
Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak
nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan
Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara
umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para pengikut Nabi dan
Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan pengertian di atas,
pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh
kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan
Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik.
Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam,
agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi
Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
َ‫مَا َكانَ إِ ْبرَ اهِي ُم َيهُو ِد ّيا ً َوالَ َنصْ رَ ا ِن ّيا ً َولَكِن َكانَ حَ نِيفا ً مُّسْ لِما ً َومَا َكانَ مِنَ ْال ُم ْش ِركِين‬
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-
orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Allah juga berfirman,
‫ه َُو سَ مَّا ُك ُم ْالمُسْ لِمينَ مِن َق ْب ُل‬
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)
Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya syariat
dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah
makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-
macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih mengikuti ajaran
nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam. Di samping itu,
ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang berarti berserah diri.
Inilah Pilar Agamamu: Penjelasan
Ringkas Rukun Islam (2)

Pilar Islam Pertama: Dua Kalimat Syahadat


Inilah pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan Islam dari diri seseorang. Demikian pula jika
pilar ini hancur, maka akan ikut hancur pula bangunan Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu
sudah seharusnya seorang muslim memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini
dalam seluruh waktu dan kehidupannya.
Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala
dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di lisan saja,
namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui dan meyakini hal yang dia saksikan
serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya tersebut. Jika ada seorang saksi yang berbicara
dengan lisannya bahwa dia telah melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia
hanya berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu. Demikian juga, jika ada orang yang
mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata hatinya tidak meyakininya,
maka orang ini adalah seorang pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai orang
munafik ketika mereka mengatakan bahwa mereka bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah utusan Allah, namun Allah mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak muncul
keyakinan tersebut. Allah berfirman:
َ‫إِ َذا جَ اءكَ ْال ُم َنافِقُونَ َقالُوا َن ْش َه ُد إِ َّنكَ لَرَ سُو ُل هَّللا ِ َوهَّللا ُ َيعْ لَ ُم إِ َّنكَ َلرَ سُول ُ ُه َوهَّللا ُ َي ْش َه ُد إِنَّ ْال ُم َنافِقِينَ لَ َكا ِذبُون‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-
benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiquun: 1)
Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah bukanlah kalimat
yang ringan dan sepele. Ada makna yang sangat dalam dan konsekuensi yang sangat besar di balik
kedua kalimat ini. Bahkan Allah pun menjadi saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
‫َش ِهدَ هّللا ُ أَ َّن ُه الَ إِلَـ َه إِالَّ ه َُو َو ْال َمالَ ِئ َك ُة َوأ ُ ْولُو ْا ْالع ِْل ِم َقآ ِئ َما ً ِب ْالقِسْ طِ الَ إِلَـ َه إِالَّ ه َُو ْالعَ ِزي ُز ْالحَ كِي ُم‬
“Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian
itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Ali Imran: 18)
Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna:
ُ‫د حَ ٌق إِاَل هللا‬gَ ‫اَل َمعْ ب ُْو‬
“Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‫َذلِكَ ِبأَنَّ هَّللا َ ه َُو ْالحَ ُّق َوأَنَّ مَا ي َْدعُونَ مِن دُو ِن ِه ه َُو ْالبَاطِ ُل َوأَنَّ هَّللا َ ه َُو ْالعَ لِيُّ ْال َك ِبي ُر‬
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala yang
disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang shalih dan lain
sebagainya. Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk disembah
dan diibadahi karena yang berhak disembah dan diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.
ٍ ‫ُون هّللا ِ مِن َشيْ ٍء لِّمَّا جَ اء أَمْ ُر رَ بِّكَ َومَا َزادُو ُه ْم غَ ْيرَ َت ْت ِبي‬
‫ب‬ ْ ‫َفمَا أَ ْغ َن‬
ِ ‫ت عَ ْن ُه ْم آلِ َه ُت ُه ُم الَّتِي ي َْدعُونَ مِن د‬
“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru
selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah
kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki sesembahan selain Allah.
Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat memberikan manfaat pada mereka ketika datang
azab Allah.
Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali ketika kita melihat ada
seorang muslim yang sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, namun dia masih melakukan
berbagai macam bentuk peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik itu kepada orang
shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya. Di antara penyebab terjadinya hal ini adalah
ketidaktahuan terhadap agama Islam yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih
lagi tidak tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Dalam kalimat ‫ ال اله إال هللا‬terkandung dua aspek yang sangat penting. Yang pertama yaitu aspek
peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada kata-kata ‫( ال اله‬Tidak ada sesembahan yang berhak
disembah) yang berarti meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan pada selain Allah,
apapun bentuknya. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah An Nafyu (‫)النفي‬.
Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata ‫( إال هللا‬kecuali
Allah) yang berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan hanyalah untuk Allah
semata. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah Al Itsbat (‫)اإلثبات‬.
Kedua aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh seorang muslim yang ingin
merealisasikan dua kalimat syahadat ini. Karena, jika seorang muslim salah dalam memahaminya,
maka ia akan salah pula dalam merealisasikannya. Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang yang
sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal), sebagian mereka (baca: Nurcholis
Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq) menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan
makna “tidak ada tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”. Dengan tafsiran yang salah
ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang ada yang disembah manusia. Ujung kesimpulan
mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam
penyebutannya. Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini dan menjauhkan kaum
muslimin dari pemikiran seperti ini.
Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam Imam orang-orang yang
bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman ketika menceritakan perkataan
Ibrahim ‘alaihi salam,
َ
ِ ‫َوإِ ْذ َقا َل إِ ْبرَ اهِي ُم أِل ِبي ِه َو َق ْو ِم ِه إِ َّننِي بَرَ اء ِّممَّا َتعْ ُب ُدونَ إِاَّل الَّذِي َف َطرَ نِي َفإِ َّن ُه سَ َي ْهد‬
َ‫ِين َوجَ عَ لَهَا َك ِلم ًَة بَا ِقي ًَة فِي عَ ق ِِب ِه َلعَ لَّ ُه ْم َيرْ ِجعُون‬
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas
diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena
sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu
kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az
Zukhruf: 26-28)
Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh sesembahan yang disembah oleh kaumnya dengan
mengatakan bahwa beliau berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa
peribadatan beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau yaitu Allah subhanahu wa
ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat ‫ ال اله إال هللا‬tersebut kekal untuk keturunannya.
Kemudian bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada seorang Rasul di antara
manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita, teladan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
gَ ‫َل َق ْد جَ اء ُك ْم رَ سُو ٌل مِّنْ أَنفُسِ ُك ْم عَ ِزي ٌز عَ لَ ْي ِه مَا عَ ِن ُّت ْم حَ ِريصٌ عَ لَ ْي ُكم ِب ْالم ُْؤ ِمن‬
‫ِين رَ ؤُ وفٌ رَّ حِي ٌم‬
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
ُ
ٍ ‫يه ْم َويُعَ لِّ ُم ُه ُم ْال ِك َتابَ َو ْالح ِْك َم َة َوإِن َكا ُنوا مِن َق ْب ُل لَفِي ضَ اَل ٍل م ُِّب‬
‫ين‬ ِ ‫َعَث فِي اأْل ِّميِّينَ رَ سُوالً ِّم ْن ُه ْم َي ْتلُو عَ لَي ِْه ْم آيَا ِت ِه َوي َُز ِّك‬
َ ‫ه َُو الَّذِي ب‬
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab
dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.”(QS. Al Jumuah: 2)
Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi
wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta beliau adalah penutup
para Nabi (Syarah Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu Syaikh: hadits kedua). Oleh karena itu,
barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau tidaklah diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala
maka persaksiannya tidaklah sah. Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada orang-orang
yang meragukan agama Islam. Mereka mengatakan bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep
yang disusun oleh Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
yang kemudian konsep tersebut dijalankan oleh para sahabatnya, wal’iyadzubillah.
Barang siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu yang telah
diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah sah. Demikian juga barang siapa yang
menganggap adanya Rasul dan utusan Allah setelah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka persaksiannya tersebut tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh sebagian orang yang
mengatakan bahwa ada di antara kelompoknya yang menjadi Nabi seperti Mirza Ghulam Ahmad
(jazaahullahu bimaa yastahiq) atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin (kafaanallahu ‘an
syarrihaa) dan lain sebagainya.
Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki konsekuensi yaitu taat terhadap
perintah beliau, membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi seluruh larangan beliau dan
kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa. Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim
Al Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah taat
pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya
memerintahkan kita dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan
berita yang beliau bawa karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena perkataan
beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau adalah
benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan beliau. Menjauhi seluruh larangan beliau
karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya melarang kita dari hal yang
tidak bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang
beliau bawa karena orang yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah
melakukan bid’ah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang beramal
dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR.
Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).
-bersambung insya Allah-
Inilah Pilar Agamamu: Penjelasan
Ringkas Rukun Islam (3)

Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat


Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan sholat lima waktu. Bahkan
sholat ini adalah pembeda antara seorang yang beriman dan yang tidak beriman, sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang memisahkan antara seseorang
dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim). Oleh karena itu
seorang muslim haruslah memperhatikan sholatnya. Namun sungguh suatu hal yang sangat
memprihatinkan, banyak kaum muslimin di zaman ini yang meremehkan masalah sholat bahkan
terkadang lalai dari mengerjakannya.
Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat Magrib, Sholat Isya dan Sholat
Subuh. Inilah sholat lima waktu yang wajib dilakukan oleh seorang muslim. Mari kita simak sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata, “Sholat lima waktu diwajibkan pada
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra Mi’raj sebanyak 50 waktu, kemudian berkurang
sampai menjadi 5 waktu kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya perkataan-Ku
tidak akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50 waktu bagimu.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
ً‫غَسَق اللَّي ِْل َوقُرْ آنَ ْال َفجْ ِر إِنَّ ُقرْ آنَ ْال َفجْ ِر َكانَ َم ْشهُودا‬
ِ َّ ‫أَق ِِم ال‬
ِ ‫صالَ َة لِدُلُوكِ ال َّش‬
‫مْس إِلَى‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat)
subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)
Pada firman Allah,
‫سَق اللَّي ِْل‬
ِ َ‫مْس إِلَى غ‬ َّ ‫أَق ِِم ال‬
ِ ‫صالَ َة ِلدُلُوكِ ال َّش‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”
Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai dengan Isya kemudian pada
firman-Nya,
ً‫َوقُرْ آنَ ْال َفجْ ِر إِنَّ قُرْ آنَ ْال َفجْ ِر َكانَ َم ْشهُودا‬
“Dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” terkandung di dalamnya perintah mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah Aqidah al
Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh dan berakal. Adapun seorang
muslim yang hilang kesadarannya, maka ia tidak diwajibkan mengerjakan sholat berdasarkan hadits
dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata, “Pena diangkat dari
tiga golongan, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia mimpi dan dari
orang gila sampai dia sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih Jami’us
Shaghir 3513 ).
Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh anaknya untuk sholat agar melatih sang
anak menjaga sholat lima waktu. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah
anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat, dan pukullah mereka agar
mereka mau mengerjakan sholat saat mereka berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur
mereka.” (Hasan, Shahih Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)
Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat
Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‫الز َكا َة َو َذلِكَ دِينُ ْال َق ِّي َم ِة‬ َّ ‫َومَا أُ ِمرُوا إِاَّل لِ َيعْ ُبدُوا هَّللا َ م ُْخلِصِ ينَ لَ ُه ال ِّدينَ ُح َن َفاء َو ُيقِيمُوا ال‬
َّ ‫صاَل َة َوي ُْؤ ُتوا‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-orang yang tidak mau membayar
zakatnya,
‫ض‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫َاوا‬
َ ‫اث ال َّسم‬ ُ َ‫َوالَ َيحْ سَ بَنَّ الَّذِينَ َيب َْخلُونَ ِبمَا آ َتا ُه ُم هّللا ُ مِن َفضْ لِ ِه ه َُو َخيْراً لَّ ُه ْم َب ْل ه َُو َشرٌّ لَّ ُه ْم سَ ي َُطوَّ قُونَ مَا َبخِلُو ْا ِب ِه ي َْو َم ْالقِيَا َم ِة َوهّلِل ِ مِير‬
‫َوهّللا ُ ِبمَا َتعْ مَلُونَ َخ ِبي ٌر‬
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah
buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari
kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh dari
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barang siapa yang diberikan harta oleh Allah
namun dia tidak menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia akan menghadapi ular jantan yang botak
kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua taring yang akan mengalunginya pada hari
kiamat. Kemudian ular tersebut menggigit dua mulutnya dan berkata, aku adalah harta simpananmu,
aku adalah hartamu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,
‫ض‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫َاوا‬
َ ‫اث ال َّسم‬ ُ َ‫َوالَ َيحْ سَ بَنَّ الَّذِينَ َيب َْخلُونَ ِبمَا آ َتا ُه ُم هّللا ُ مِن َفضْ لِ ِه ه َُو َخيْراً لَّ ُه ْم َب ْل ه َُو َشرٌّ لَّ ُه ْم سَ ي َُطوَّ ُقونَ مَا َبخِلُو ْا ِب ِه ي َْو َم ْالقِيَا َم ِة َوهّلِل ِ مِير‬
‫َوهّللا ُ ِبمَا َتعْ مَلُونَ َخ ِبي ٌر‬
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah
buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari
kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yaitu berpuasa selama satu
bulan penuh pada bulan Ramadhan dengan menahan makan, minum dan berhubungan suami istri
serta pembatal lain dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
َ َ ٍ ‫صيَا ُم َكمَا ُكتِبَ عَ لَى الَّذِينَ مِن َق ْبلِ ُك ْم لَعَ لَّ ُك ْم َت َّتقُونَ أَيَّاما ً مَّعْ دُودَ ا‬
ِّ ‫يَا أَ ُّيهَا الَّذِينَ آ َم ُنو ْا ُكتِبَ عَ لَ ْي ُك ُم ال‬
ٍ ‫ت َفمَن َكانَ مِن ُكم م َِّريضا ً أ ْو عَ لَى سَ َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِّنْ أي‬
‫َّام‬
ُ َ ُ
‫نز َل فِي ِه‬ ِ ‫ِين َفمَن َت َطوَّ عَ َخيْراً َفه َُو َخ ْي ٌر لَّ ُه َوأن َتصُومُو ْا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم إِن ُكن ُت ْم َتعْ لَمُونَ َش ْه ُر رَ مَضَانَ الَّذِيَ أ‬ ٍ ‫أ َخرَ َوعَ لَى الَّذِينَ يُطِ يقُو َن ُه ف ِْدي ٌَة َطعَ ا ُم مِسْ ك‬
‫ان َفمَن َش ِهدَ مِن ُك ُم ال َّش ْهرَ َف ْل َيصُمْ ُه‬
ِ ‫ت مِّنَ ْالهُدَ ى َو ْال ُفرْ َق‬ ِ ‫ْال ُقرْ آنُ ه ًُدى ِّلل َّن‬
gٍ ‫اس َو َب ِّي َنا‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan ,
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena beriman dengan
kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, seluruh
amal anak cucu Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang
akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Jika kalian berpuasa, maka janganlah kalian berbicara
kotor atau dengan berteriak-teriak. Jika ada yang menghina kalian atau memukul kalian, maka
katakanlah “aku sedang berpuasa” sebanyak dua kali. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan bau minyak
kesturi pada hari kiamat nanti. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, bahagia ketika
berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika bertemu dengan
Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga
terdapat sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-orang yang sering
berpuasa yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil, “Mana orang-orang yang
berpuasa?” kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain mereka tidak bisa masuk.
Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk selain
mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu
Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu sekali seumur hidup. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
ِ ‫َن اسْ َت َطاعَ إِلَ ْي ِه‬
‫سَبي‬ ِ ‫تم‬ ِ ‫َوهّلِل ِ عَ لَى ال َّن‬
ِ ‫اس ِح ُّج ْال َب ْي‬
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairoh, “Umroh yang satu dengan yang selanjutnya menjadi pelebur dosa di antara keduanya dan
tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan pada kalian ibadah
haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata, “Apakah pada setiap tahun
wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam sampai-sampai laki-laki itu bertanya sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda, “Seandainya aku katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian padahal
kalian tidak mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena sesungguhnya sebab kebinasaan orang
setelah kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi nabinya. Jika aku perintahkan satu hal maka
lakukan semampu kalian dan jika aku melarang sesuatu maka jauhilah.” (HR. Muslim).
Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji? Syaikh Abdul ‘Azhim bin
Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji terkait dengan 3 hal yaitu:
Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Ja’tsam
yang mengadu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah sesungguhnya
ayahku terkena kewajiban haji ketika umurnya sudah tua dan ia tidak mampu menaiki
tunggangannya, apakah aku boleh berhaji untuknya?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki bekal untuk kebutuhan orang-
orang yang wajib dia beri nafkah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia
nafkahi.”(HR. Abu Daud)
Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan. Karena menunaikan haji padahal kondisi tidak aman
adalah sebuah bahaya dan bahaya merupakan salah satu penghalang yang disyariatkan.
Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita kenal dengan rukun Islam. Semoga
apa yang kami sampaikan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya mujibbas Saailiin…
Rujukan:
1. Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziiz Alu Syaikh
2. Taisir Wushul Ilaa Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul, Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim Al
Watr
3. Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz Syaikh Abdul ‘azhim Badawi
4. Syarah Aqidah al Wasithiyyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)
Islam, Iman dan Ihsan

Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi
3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat
sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas
melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar
pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?
Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud
seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia
menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai
pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh
bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang
bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun
bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama
kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits
ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq
Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan
Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah
utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika
engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara
faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah
Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi
syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada
Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap
qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup
perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara
faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila
kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-
amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila
sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang
lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al
Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm.
17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh
seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya
dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga
diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila
dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu:
menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-
Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’inhlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup
perkara lahir maupun batin.
Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka
Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila
ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila
ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai
derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga
orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang
yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil
awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
Muslim, Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim,
karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti
akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min,
karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan
sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga
statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana
Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’.
Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al
Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-
tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam,
kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan
iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Kesimpulan
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini
menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan
sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah
sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di
atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu.
Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang
mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah
bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka
amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun
harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang
yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at.Wallohu a’lam.
Agama Islam untuk Seluruh Manusia

Nabi Muhammad memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah beliau diutus oleh Allah untuk
seluruh manusia dan jin. Adapun seluruh Nabi sebelum beliau hanyalah diutus untuk umatnya
masing-masing.
Allah Ta’ala berfirman:

ِ‫ض آل إِ َل َه إِالَّ ه َُو يُحْ ي‬ ِ ْ‫ت َو ْاألَر‬ ِ ‫ك ال َّس َم َاوا‬ ِ ‫قُ ْل َياأَ ُّي َها ال َّناسُ إِ ِّني َرسُو ُل‬
ُ ‫هللا إِ َل ْي ُك ْم َجمِيعًا الَّذِي َل ُه م ُْل‬
‫ون‬ ِ ‫هلل َو َرسُولِ ِه ال َّن ِبيِّ ْاألُمِّيِّ الَّذِي ي ُْؤمِنُ ِبا‬
َ ‫هلل َو َكلِ َما ِت ِه َوا َّت ِبعُوهُ َل َعلَّ ُك ْم َت ْه َت ُد‬ ِ ‫ِيت َف َئا ِم ُنوا ِبا‬
ُ ‫َو ُيم‬
Katakanlah: “Hai manusia, sesung-guhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu semua, yaitu Alloh
yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang
menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Alloh dan RosulNya, Nabi yang
ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk. [QS. Al-A’rof (7): 158]
Perintah Allah dalam ayat ini “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua”, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia,
sebagaimana firman Allah,

ِ ‫اس بَشِ يرً ا َو َن ِذيرً ا َو َلكِنَّ أَ ْك َث َر ال َّن‬


َ ‫اس الَ َيعْ َلم‬
‫ُون‬ َ ‫َو َمآ أَرْ َس ْل َن‬
ِ ‫اك إِالَّ َكآ َّف ًة لِل َّن‬
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui.  [QS. Saba’
(34): 28]
Oleh karena itulah siapa saja yang telah mendengar dakwah agama Islam, agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad , yang membawa kitab suci Al-Qur’an, kemudian tidak beriman, tidak percaya dan
tidak tunduk, maka dia adalah orang kafir dan di akhirat menjadi penghuni neraka, kekal selamanya.
Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫ِّك َو َلكِنَّ أَ ْك َث َر ال َّن‬


‫اس‬ َ ‫ك فِي ِمرْ َي ٍة ِّم ْن ُه إِ َّن ُه ْال َح ُّق مِن رَّ ب‬ ِ ‫َو َمن َي ْكفُرْ ِب ِه م َِن ْاألَحْ َزا‬
ُ ‫ب َفال َّنا ُر َم ْوعِ ُدهُ َفالَ َت‬
َ ‫الَ ي ُْؤ ِم ُن‬
‫ون‬
Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada
al-Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancam-kan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu
terhadap al-Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari Robbmu, tetapi kebanyakan
manusia tidak beriman”. [QS. Hud (11): 17]
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ُ ‫َوالَّذِي َن ْفسُ م َُح َّم ٍد ِب َي ِد ِه الَ َيسْ َم ُع ِبي أَ َح ٌد ِمنْ َه ِذ ِه ْاأل ُ َّم ِة َيهُودِيٌّ َوالَ َنصْ َرانِيٌّ ُث َّم َيم‬
ْ‫ُوت َو َل ْم ي ُْؤ ِمن‬
ِ ‫ان ِمنْ أَصْ َحا‬
ِ ‫ب ال َّن‬
‫ار‬ َ ‫ت ِب ِه إِالَّ َك‬ ُ ‫ِبالَّذِي أُرْ سِ ْل‬
Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun di kalangan umat ini, Yahudi
atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati, dan tidak beriman kepada apa yang aku
diutus dengan-nya, kecuali dia termasuk para peng-huni neraka. [Hadits Shohih Riwayat Muslim, no:
153, dari Abu Huroiroh]
NABI-NABI DAHULU KHUSUS UNTUK KAUMNYA
Adapun seluruh Nabi sebelum Nabi Muhammad , maka mereka semua di utus khusus kepada
umatnya masing-masing. Perkara ini merupakan perkara yang telah pasti di dalam agama Islam,
sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini,
ُ ْ‫يت َخمْ سًا َل ْم يُعْ َطهُنَّ أَ َح ٌد َق ْبلِي ُنصِ ر‬
‫ت‬ ُ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل أُعْ ط‬
َ َّ‫ْن َع ْب ِد هَّللا ِ أَنَّ ال َّن ِبي‬ِ ‫َعنْ َج ِاب ِر ب‬
ُ‫صاَل ة‬َّ ‫ت لِي اأْل َرْ ضُ َمسْ ِج ًدا َو َطهُورً ا َفأ َ ُّي َما َرج ٍُل ِمنْ أ ُ َّمتِي أَ ْد َر َك ْت ُه ال‬ ْ ‫ير َة َشه ٍْر َو ُج ِع َل‬ َ ِ‫ب مَس‬ ِ ْ‫ِبالرُّ ع‬
‫ث إِ َلى َق ْو ِم ِه‬ ُ ‫ان ال َّن ِبيُّ ُيب َْع‬
َ ‫اع َة َو َك‬
َ ‫يت ال َّش َف‬ ُ ِ‫ت لِي ْال َم َغا ِن ُم َو َل ْم َت ِح َّل أِل َ َح ٍد َق ْبلِي َوأُعْ ط‬ ْ َّ‫ُص ِّل َوأ ُ ِحل‬
َ ‫َف ْلي‬
‫اس َعام ًَّة‬ ُ ‫َخاص ًَّة َو ُبع ِْث‬
ِ ‫ت إِ َلى ال َّن‬
Dari Jabir bin Abdulloh, bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Aku diberi (oleh Allah) lima perkara,
yang itu semua tidak diberikan kepada seorang-pun sebelumku.
Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum kedata-nganku) sejauh perjalanan
sebulan;
Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sholat) dan alat bersuci (untuk tayammum-
pen). Maka siapa saja dari umatku yang (waktu) sholat menemuinya, hendaklah dia sholat.
Ghonimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk seorangpun
sebelumku.
Aku diberi syafa’at (oleh Allah).
Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada
manusia semuanya.
[Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 335]
Di zaman ini banyak orang-orang Kristen menyebarkan agama mereka ke berbagai pelosok dunia.
Mereka menisbatkan agama mereka kepada Nabi Isa bin Maryam , yang mereka menyebutnya
dengan Yesus. Padahal Nabi Isa bin Maryam hanya diutus kepada Bani Isroil. Allah Ta’ala berfirman,

‫ُّص ِّد ًقا لِّ َما َبي َْن َيدَ يَّ م َِن ال َّت ْو َرا ِة‬
َ ‫هللا إِ َل ْي ُكم م‬ َ ِ‫َوإِ ْذ َقا َل ع‬
ِ ‫يسى ابْنُ َمرْ َي َم َيا َبنِي إِسْ َرا ِءي َل إِ ِّني َرسُو ُل‬
‫ُول َيأْتِي مِن َبعْ دِي اسْ ُم ُه أَحْ َم ُد‬
ٍ ‫َو ُم َب ِّشرً ا ِب َرس‬
Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan
Alloh kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurot dan memberi khabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rosul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)”. Maka tatkala Rosul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shoff (61): 6]
KESAKSIAN AYAT BIBEL
Dan ternyata kita masih menda-patkan di antara ayat-ayat Bibel (Kitab yang dianggap suci oleh
orang-orang Nashoro) menjelaskan dengan tegas bahwa Nabi Isa (yang mereka sebut Yesus) hanya
diutus kepada Bani Isroil saja. Marilah kita perhatikan ayat-ayat di dalam kitab mereka:
1-Disebutkan di dalam Bibel: “Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang
dari umat Israel”. (Matius 15: 24)
2-Disebutkan di dalam Bibel: “Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada
mereka: “Janganlah kamu menyim-pang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang
Samaria, melain-kan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”. (Matius 10: 6)
Walaupun ayat-ayat Bibel di atas begitu jelas menyatakan bahwa ajaran Kristen hanya untuk Bani
Israel, namun pengikut-pengikut Kristen begitu giat menyebarkan agamanya kepada semua bangsa,
termasuk di Indonesia. Bahkan sampai ke ber-bagai pelosok yang tidak ada orang Bani Israel di
sana! Maka apakah manfaat bangsa selain Bani Israel yang mengikuti agama Kristen, yang pembawa
agama itu telah mene-gaskan bahwa agamanya hanya untuk umat Israel?!
Atau mungkin mereka berpegang ayat lain pada kitab mereka yang memerintahkan untuk
menyebarkan agama Kristen kepada seluruh bangsa. Ayat itu berbunyi: “Karena itu pergi-lah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptiskan mereka dalam nama Bapa dan anak dan Roh
Kudus”. (Matius 28:19)
Ini berarti ayat ini bertentangan dengan ayat-ayat di atasnya! Maka manakah yang benar? Yang pasti
bahwa tidak ada jaminan kebenaran terhadap semua isi kitab Bibel, bahkan bukti-bukti menunjukkan
banyak ayat yang dipalsukan. Maha benar Allah Ta’ala yang telah berfirman di dalam kitab suci Al-
Qur’an,

‫ُون َكالَ َم هَّللا ِ ُث َّم ي َُحرِّ فُو َن ُه مِن َبعْ ِد َما َع َقلُوهُ َو ُه ْم‬
َ ‫يق ِم ْن ُه ْم َيسْ َمع‬ َ ‫ُون أَن ي ُْؤ ِم ُنوا َل ُك ْم َو َق ْد َك‬
ٌ ‫ان َف ِر‬ َ ‫أَ َف َت ْط َمع‬
َ ‫َيعْ َلم‬
‫ُون‬
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari
mereka (Ahli Kitab) mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka menge-tahui? [QS. Al-Baqoroh (2): 75]
Dan Allah mengancam dengan keras terhadap orang-orang yang mengada-adakan kedustaan
terhadap Allah dengan firmanNya,

‫ون َه َذا ِمنْ عِ ن ِد هَّللا ِ لِ َي ْش َترُوا ِب ِه َث َم ًنا َقلِيالً َف َو ْي ٌل لَّهُم ِّممَّا‬َ ُ‫ِيه ْم ُث َّم َيقُول‬ِ ‫اب ِبأ َ ْيد‬
َ ‫ُون ْال ِك َت‬ َ ‫َف َو ْي ٌل لِّلَّذ‬
َ ‫ِين َي ْك ُتب‬
َ ‫ِيه ْم َو َو ْيلُُلَّهُم ِّممَّا َي ْكسِ ب‬
‫ُون‬ ِ ‫ت أَ ْيد‬ْ ‫َك َت َب‬
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka
sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang
sedikit (yakni kesenangan duniawi-pen) dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi
mereka akibat dari apa yang telah mereka tulis dengan tangan-tangan mereka, dan kecelakaan
besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan. [QS. Al-Baqoroh (2): 79]
Syarat Syahadat Laa Ilaaha Illallah

Setiap ibadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadah tersebut sah. Seseorang
yang hendak sholat tentu akan berwudhu terlebih dahulu, karena suci adalah syarat sah sholat.
Begitu pula ibadah yang lain seperti haji, puasa dan zakat juga memiliki rukun-rukun dan syarat yang
tidak boleh tidak harus dipenuhi. Segala sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan sesuatu
yang lain disebut syarat. Lalu bagaimana pula dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illalloh?
Tidak diragukan lagi bahwa syahadat adalah setinggi-tingginya derajat keimanan dan rukun islam
yang paling utama. Di sana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kalimat Laa Ilaaha
Illalloh yang kita ucapkan dianggap sah.
Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha Illalloh memiliki delapan syarat:
1. Ilmu
Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk
mengucapkan kalimat syahadat ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut. Alloh
berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memberi
syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak
(tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86). Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk
surga.” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang benar dari kalimat Laa Ilaaha
Illalloh yaitu tidak ada sesembahan yang haq melainkan Alloh Ta’ala.
2. Yakin
Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga tidak mudah terombang-ambing
oleh berbagai cobaan. Alloh berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh. Mereka itulah orang-
orang yang benar.” (Al Hujurat: 15)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau jumpai dari balik dinding ini
dia bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dengan keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira untuknya
bahwa dia masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Menerima
Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima dakwah Nabi Muhammad
dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha
Illalloh’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh) mereka menyombongkan diri. Dan
mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami
karena seorang penyair gila?’.” (As Shoffat: 35-36)
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah sifat orang kafir, tidak
menerima kebenaran kalimat Laa ilaaha Illalloh. Sungguh hanya Alloh lah yang berhak disembah dan
diibadahi.
4. Tunduk
Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Alloh berfirman, “Dan barangsiapa
yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Alloh-lah
kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)
Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti
ajaranku.” (HR. Thabrani)
5. Jujur
Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami
telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar (jujur) dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan
Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Alloh mengharamkan neraka
untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik
ditolak oleh Alloh karena tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh.’
Dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Alloh mengetahui
bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Al Munafiqun: 1)
6. Ikhlas
Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak kepada selain-Nya. Alloh
berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan mengikhlaskan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh mengharamkan bagi neraka menyentuh
orang yang mengatakan Laa Ilaaha Illalloh  karena semata-mata mencari wajah Alloh.” (HR. Al
Bukhori dan Muslim)
7. Cinta
Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh
semuanya dan bahwa Alloh amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqoroh: 165)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa memilikinya pasti akan
merasakan kelezatan iman: Alloh dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding selain keduanya, dia
mencintai seseorang karena Alloh, dan dia benci untuk kembali kafir sebagaimana kebenciannya jika
dilempar ke dalam api.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
8. Mengingkari peribadatan kepada Thoghut.
Thoghut adalah segala sesuatu selain Alloh yang ridho disembah/diibadahi. Alloh berfirman, “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Alloh,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Al Baqoroh: 256)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh dan
mengingkari sesembahan selain Alloh, haramlah harta dan darahnya sedang perhitungannya adalah
terserah kepada Alloh Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim)
Perlu diperhatikan, syarat-syarat ini tidak bermanfaat sama sekali jika sekedar dihafalkan, tanpa
diamalkan. apakah kita sudah mengevaluasi syahadat kita? Sudahkah terpenuhi delapan syarat ini
dalam syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ikrarkan? Belum terlambat. Berbenahlah! Semoga kita
bertemu dengan Alloh sebagai seorang yang bertauhid, bukan sebagai seorang musyrik. Wal
‘iyaadzu billah.
3 Pokok Ajaran Islam

Sejauh Mana Pemahaman Kita?


Tak terasa, sudah sejak lama sekali (mungkin sudah 20-an tahun atau bahkan lebih) kita menjadi
sebagai seorang muslim. Nikmat yang besar ini patutlah kita syukuri, karena banyak diantara
manusia yang tidak memperoleh nikmat ini. Dan nikmat inilah yang sangat menentukan bahagia atau
sengsaranya kita di hari akhir nanti.
Pada kesempatan ini, tidaklah kami ingin menanyakan ‘Sejak kapan kita masuk
islam?’ atau ‘Bagaimana ceritanya kita masuk islam?’ karena jawaban pertanyaan ini bukanlah suatu
yang paling mendasar dan paling penting. Namun pertanyaan paling penting yang harus kita
renungkan dan kita jawab pada setiap diri kita adalah: ‘Sudah sejauh manakah kita telah memahami
dan mengamalkan ajaran kita ini?’ Pertanyaan inilah yang paling penting yang harus direnungkan dan
dijawab, karena jawaban pertanyaan inilah yang nantinya sangat menentukan kualitas keislaman dan
ketakwaan seseorang.
Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati di dalam
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al Ashr: 1-3)
Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu.” (Al Hujurot: 13)
Pokok Ajaran Islam
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling sempurna,
karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan
negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh berfirman, “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi
kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman,
‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini menunjukkan sempurnanya agama Islam dan
luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk
selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa
pun juga.
Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah kembali pada tiga
hal yaitu tauhid, taat dan baro’ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rosul yang diutus oleh
Alloh kepada ummat manusia. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan ketiga hal ini pada
hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para Nabi. Keadaan orang semacam ini tidak ubahnya
seperti orang yang digambarkan oleh seorang penyair,
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,
namun laila tidak mengakui perkataan mereka
Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan Tauhid
Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh dalam setiap
peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-Nya. Karena
memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki
kita dan mengatur alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang tidak
berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?
Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri
mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-
berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu sendiri yang
diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya,
bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al
-A’rof: 191-192)
Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta ini. Alloh
berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka
mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan
mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang
diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)
Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh Ketaatan
Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Alloh. Dan
inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan
perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Alloh
dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat kepada Alloh
dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut
akan adzab-Nya.
Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan kebenaran
pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)
Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan
keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan
yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka
sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi mereka
mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman,“Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, bila
mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul menghukum di antara mereka ialah ucapan.
‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya
Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Alloh, maka konsekuensi
dari benarnya keimanannya maka ia juga harus berlepas diri dan membenci perbuatan syirik dan
pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya sebelum ia mencintai apa
yang dicintai Alloh dan membenci apa yang dibenci Alloh. Padahal syirik adalah sesuatu yang paling
dibenci oleh Alloh. Karena syirik adalah dosa yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan
sikap kurang ajar yang paling bejat terhadap Alloh, padahal Allohlah Robb yang telah menciptakan,
memelihara dan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua.
Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis
salam agar berlepas diri dan memusuhi para pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh
berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami
berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Alloh, kami mengingkari
kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Alloh saja.’”(Al-Mumtahanah: 4)
Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada persatuan agama-agama
sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah
memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus! Demikian pula Nabi
Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan peperangan terhadap segala
bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga pokok ajaran Islam yang harus kita
ketahui dan pahami bersama untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang yakin
dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan syari’ah ini dibangun. Maka kita mohon kepada
Alloh semoga Alloh memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami agama ini, serta
diteguhkan di atas meniti din ini. Wallohu a’lam…
Empat Kaidah Utama Dalam Memahami
Tauhid

Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung semoga Dia melindungimu di
dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di
manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di
antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan
meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak
kebahagiaan.
Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al Hanifiyah yaitu agama yang
diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama (amal)
untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan hikmah penciptaan
mereka.
Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56). Apabila kamu
telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid.
Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak disertai
dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila syirik menyusupi suatu
ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana apabila ada hadats yang muncul pada diri
orang yang sudah bersuci.
Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan menghancurkan
ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi tergolong
penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara terpenting bagimu adalah
memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari jebakan perangkap ini;
yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’alaberfirman tentang syirik ini (yang artinya), “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik
yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu
mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-
Nya:
Kaidah Pertama
Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Sedangkan
pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam. Dalilnya adalah firman
Allahta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit
dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan siapakah yang
mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan
siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka
katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)
Kaidah Kedua
Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan
selain Allah, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya
dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong
(sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud
agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti
akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu.
Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan suka
berbuat kekafiran.”(QS. Az Zumar [39]: 3)
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan yang
mereka perbuat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain
Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula
menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi syafa’at
bagi kami di sisi Allah kelak.’.”  (QS. Yunus [10]: 18)
Syafa’at ada dua macam:
Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.
1. Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah dalam urusan yang
hanya dikuasai oleh Allah. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wahai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian
sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at.
Sedangkan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2]:
254)
2. Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah. Orang yang
diperkenankan memberikan syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan
syafa’at tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan dan
perbuatannya diridhai Allah, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allah, pen).
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Lalu siapakah yang bisa
memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al Baqarah [2]: 255)
Kaidah Ketiga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki peribadatan
yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang
beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang beribadah
kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Mereka semua
sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-
bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya
diperuntukkan kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya (yang
artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka
janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allah yang
menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]:
37)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai
sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya yang
artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan
kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa
berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan
menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di
dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al Maa’idah [5]:
116)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih adalah firman-Nya Yang
Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb
mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan
curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang Maha
Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu
sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh hadits Abu
Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami berangkat bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari
agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan
sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu
disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai
Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka
miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad dalam Musnadnya [5/218]. Tirmidzi mengatakan: hadits hasan
sahih)
Kaidah Keempat
Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang musyrik
zaman dahulu. Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan beribadah
(berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita melakukan
syirik secara terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit. Dalil yang menunjukkan
hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa
ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa) kepada Allah dengan penuh ikhlas
mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka
kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)
Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muhammad, segenap
pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.
Agar Ibadah Diterima di Sisi Alloh

Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang agung.
Alloh berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena sering kita dengar,
tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada
seorang pun yang dapat menjamin hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk
beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia mendapat ridho Alloh serta janji-
janji yang sudah ditetapkan Alloh dalam Al Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima.
Dan janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya pasti
diterima.
Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103,
104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah
sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.
Apakah Makna Ibadah?
Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk. Sedang secara istilah, ulama banyak
memberikan makna. Namun makna yang paling lengkap adalah seperti yang didefinisikan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi segala perbuatan dan perkataan; zhohir
maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh Ta’ala. Dengan demikian ibadah terbagi menjadi
tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan.
Syarat Diterimanya Amal Ibadah
Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi dua syarat,
yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini
terangkum dalam firman Alloh, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah
sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah
maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.
Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang
menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi
Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-
Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti mengikhlashkan seluruh ibadah hanya kepada
Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam.
Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama (persaksian tiada
sesembahan yang benar kecuali Alloh semata). Sebab persaksian ini menuntut kita untuk
mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Alloh saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah
konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).
Ikhlash dalam Ibadah
Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh semata. Walaupun seseorang
beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut. Alloh
berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan sholat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, kemanakah maksud hati
tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh, ataukah untuk selain Alloh. Perhatikanlah jenis amal-amal
berikut:
Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya dilihat makhluk atau karena
tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya pantas mendapat
murka Alloh. Amalan yang ditujukan kepada Alloh dan disertai riya’ dari sejak awalnya, maka nash-
nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini bathil dan terhapus. Amalan yang ditujukan bagi
Alloh dan disertai niat lain selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh dan karena
menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang pahalanya dan tidak sampai batal
dan tidak sampai terhapus amalnya.
Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian terbesit riya’ di tengah-tengah, maka amalan
ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera dihalau maka riya’ tersebut
tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’ tersebut selalu menyertai amalannya maka pendapat
terkuat diantara ulama salaf menyatakan bahwa amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya
sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri. Namun dia tetap berdosa karena riya’nya tersebut dan
tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’) terhapus. Sedang amal yang ikhlash karena Alloh
kemudian mendapat pujian sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak
berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.
Beribadah Hanya Dengan Syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu yang
diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh
kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh kebaikan telah
diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak tersisa sedikit pun. Tidak ada dalam kamus
ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, “Mengapa engkau
melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau melarang aku
dari melakukan yang baik?” Saudaraku, bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik
buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam
beberapa hal:
Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut
adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada malam dua
puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’roj Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ibadah tetapi karena dikaitkan
dengan sebab yang tidak ditetapkan syari’at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.
Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang
menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam jenisnya. Jenis
binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.
Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at sholat zhuhur
menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan
syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan orang-orang yang berdzikir
dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu, baik dalam hitungan ribuan,
ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Alloh.
Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan dan muka
saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.
Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan
Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari
tasyriq saja.
Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab
tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.
Wahai saudaraku… Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat ini, yaitu kita menjadikan
ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya untuk Alloh dan kita beribadah hanya dengan syari’at
yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam setiap tarikan nafas dan detik-
detik kehidupan kita, semoga dengan demikian kita semua menjadi hamba-Nya yang bersyukur,
bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu a’lam bish showaab.
Awas Syirik!!! (1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Amma ba’du, sesungguhnya
sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah jalan Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.
Para pembaca yang budiman, Allah ta’ala berfirman di dalam kitabnya yang mulia,
‫إِنَّ هّللا َ الَ ي َْغفِ ُر أَن ُي ْشرَ كَ ِب ِه َوي َْغفِ ُر مَا ُدونَ َذلِكَ لِمَن َي َشا ُء‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan Dia akan mengampuni
dosa lainnya yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya.” (QS.
An Nisaa’: 116)
Pengertian dan Ruang lingkup Syirik
Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam perkara yang termasuk
kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja. Kekhususan Allah itu meliputi tiga hal
utama, Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta, mengatur alam, menguasainya, mengabulkan
do’a dan lain-lain. Kedua; hak uluhiyah, seperti berhak untuk diibadahi, menjadi tujuan do’a,
permintaan tolong, permintaan perlindungan, tujuan dalam melaksanakan persembahan atau
sembelihan, menjadi tujuan harapan, rasa takut dan kecintaan yang disertai dengan ketundukkan.
Ketiga, hak kesempurnaan Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti menyandang nama Allah, Ar
Rabb dan Ar Rahman, atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib, Maha Mendengar, Maha Melihat,
Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Jadi kesyirikan itu bisa terjadi
dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-Nya.
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang bisa membersihkan diri dari ketiga
macam syirik ini dalam penghambaaan dan tauhidnya kepada Allah, dia mengesakan Zat-Nya,
beribadah hanya kepada-Nya dan mengesakan sifat-sifatNya, maka dialah muwahhid sejati. Dialah
pemilik berbagai keutamaan khusus yang dimiliki oleh kaum yang bertauhid. Dan barangsiapa yang
kehilangan salah satu bagian darinya maka kepadanyalah tertuju ancaman yang terdapat dalam
firman Allah ta’ala, semacam, “Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya akan terhapus seluruh
amalmu dan kamu benar-benar termasuk orang yang merugi”. Camkanlah perkara ini, sebab inilah
perkara terpenting dalam masalah akidah…” (Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, Syarh wa Ta’liq, hal. 17-18)
Adapun yang sering disebut dengan syirik saja oleh para ulama maka yang dimaksud adalah syirik
dalam hal uluhiyah/ibadah, dan inilah yang akan kita bicarakan sekarang. Yaitu syirik dalam hal
ibadah.
Dahsyatnya Bahaya Kesyirikan
Berikut ini beberapa dalil dari Al Quran maupun As Sunnah yang hendaknya kita perhatikan dengan
seksama. Dalil-dalil itu akan menggambarkan kepada kita sebuah gambaran mengerikan dan sangat
menakutkan tentang dahsyatnya bahaya kesyirikan. Semoga Allah menyelamatkan diri kita darinya.
Pertama, Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,
‫إِنَّ هّللا َ الَ ي َْغفِ ُر أَن ُي ْشرَ كَ ِب ِه َوي َْغفِ ُر مَا ُدونَ َذلِكَ لِمَن َي َشا ُء‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni
dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehndaki oleh-Nya.” (QS. An
Nisaa’: 48 dan 116)
Kedua, Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang berbuat syirik. Allah ta’ala berfirman,
‫نصَار‬
ٍ َّ ‫إِ َّن ُه مَن ُي ْش ِركْ ِباهّلل ِ َف َق ْد حَ رَّ َم هّللا ُ عَ لَي ِه ْالجَ َّن َة َومَأْ َواهُ ال َّنا ُر َومَا ل‬
َ‫ِلظالِمِينَ مِنْ أ‬
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sesungguhnya Allah telah
mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tiada seorang
penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al Maa’idah: 72)
Ketiga, seorang musyrik akan kekal berada di dalam siksa neraka. Allah ta’ala berfirman,
‫ار جَ َه َّن َم َخالِدِينَ فِيهَا أ ُ ْولَئِكَ ُه ْم َشرُّ ْالب َِر َّي ِة‬ ِ ‫إِنَّ الَّذِينَ َك َفرُوا مِنْ أَهْ ِل ْال ِك َتا‬
ِ ‫ب َو ْال ُم ْش ِركِينَ فِي َن‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di
dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al
Bayyinah: 6)
Keempat, dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala amal shalih, betapapun banyak amal
tersebut. Allah ta’ala berfirman,
َ ‫َولَ َق ْد أُوحِيَ إِلَ ْيكَ َوإِلَى الَّذِينَ مِنْ َق ْبلِكَ لَئِنْ أَ ْشرَ ْكتَ لَ َيحْ ب‬
َ‫َطنَّ عَ مَلُكَ َولَ َت ُكو َننَّ مِنَ ْال َخاسِ ِرين‬
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi sebelum engkau, ‘Jika kamu
berbuat syirik maka pastilah seluruh amalmu akan lenyap terhapus dan kamu benar-benar akan
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Kelima, syirik adalah kezhaliman yang paling zalim. Allah ta’ala berfirman,
ُ َ‫ِظ ُه يَا ُب َنيَّ اَل ُت ْشركْ ِباهَّلل ِ إِنَّ ال ِّشرْ كَ ل‬
‫ظ ْل ٌم عَظِ ي ٌم‬ ُ ‫َوإِ ْذ َقا َل لُ ْقمَانُ اِل ْب ِن ِه َوه َُو َيع‬
ِ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Allah ta’ala juga berfirman,
ِ‫ِيزانَ لِ َيقُو َم ال َّناسُ ِب ْالقِسْ ط‬ َ َ‫ت َوأ‬
َ ‫نز ْل َنا مَعَ ُه ُم ْال ِك َتابَ َو ْالم‬ gِ ‫َل َق ْد أَرْ سَ ْل َنا ُر ُسلَ َنا ِب ْال َب ِّي َنا‬
“Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan Kami
turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al
Hadiid: 25)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa Dia mengutus para
Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitabNya agar manusia menegakkan yaitu keadilan. Salah satu di
antara keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok terbesar dan pilar penegak
keadilan. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga syirik merupakan
kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid merupakan keadilan yang paling adil…” (Ad Daa’
wad Dawaa’, hal. 145)
Keenam, syirik merupakan dosa terbesar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya
kepada para sahabatnya yang artinya, “Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa-dosa yang paling
besar?” (beliau ulangi pertanyaan itu tiga kali) Maka para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.”
Lalu beliau bersabda, “Berbuat syirik terhadap Allah dan durhaka kepada kedua orang tua…” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ketujuh, orang yang berbuat syirik sehingga murtad maka menurut ketetapan syariat Islam dia berhak
dihukum bunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak halal
menumpahkan darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga penyebab: seorang yang
sudah menikah tapi berzina, seorang muslim yang membunuh saudaranya (seagama) atau orang
yang meninggalkan agamanya sengaja memisahkan diri dari jama’ah (murtad dari Islam).” (HR.
Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Barang siapa yang mengganti agamanya maka
bunuhlah dia.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Kedelapan, amal yang tercampur dengan syirik akan sia-sia dan sirna sebagaimana debu-debu yang
beterbangan disapu oleh angin. Allah ta’ala berfirman,
ُ ‫َو َقدِمْ َنا إِلَى مَا عَ مِلُوا مِنْ عَ م ٍَل َفجَ عَ ْل َناهُ َهبَاء م‬
ً‫َّنثورا‬
“Dan Kami akan hadapi semua amal yang pernah mereka amalkan (sewaktu di dunia) kemudian
Kami jadikan amal-amal itu sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23)
Kesembilan, orang yang berbuat syirik dalam beramal maka dia akan ditelantarkan oleh Allah. Allah
ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, “Aku adalah Zat yang Maha Kaya dan
paling tidak membutuhkan sekutu, oleh sebab itu barang siapa yang beramal dengan suatu amalan
yang dia mempersekutukan sesuatu dengan-Ku di dalam amalnya itu maka pasti Aku akan
telantarkan dia bersama kesyirikannya itu.” (HR. Muslim)
Kesepuluh, bahaya syirik lebih dikhawatirkan oleh Nabi daripada bahaya Dajjal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Maukah kalian aku beritahukan
tentang sesuatu yang paling aku khawatirkan mengancam kalian dalam pandanganku dan lebih
menakutkan daripada Al Masih Ad Dajjal?” Maka para sahabat menjawab, “Mau (ya Rasulullah).”
Beliau pun bersabda, “Yaitu syirik yang samar. Apabila seseorang mendirikan shalat sambil
membagus-baguskan shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang memperhatikan
shalatnya.” (HR. Ahmad)
Kesebelas, syirik kecil adalah dosa yang sangat dikhawatirkan terjadi pada generasi terbaik yaitu
para sahabat radhiallahu ‘anhum. Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang
artinya,  “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Maka beliau pun
ditanya tentangnya. Sehingga beliau menjawab, “Yaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji orang.” (HR.
Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no. 951 danShahihul Jami’ no. 1551)
Kedua belas, Syirik adalah bahaya yang sangat dikhawatirkan oleh bapak para Nabi yaitu
Ibrahim ‘alaihis salam akan menimpa pada dirinya dan pada anak keturunannya. Allah ta’ala
mengisahkan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim di dalam ayat-Nya,
‫َـذا ْال َبلَدَ آمِنا ً َواجْ ُن ْبنِي َو َبنِيَّ َأن َّنعْ بُدَ األَصْ َنا َم‬
َ ‫رَ بِّ اجْ عَ ْل ه‬
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS. Ibrahim: 35)
Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah orang selain Ibrahim yang bisa merasa aman dari
ancaman bencana (syirik)?!” Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Maka tidak ada
lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan kecuali orang yang bodoh tentangnya dan juga
tidak memahami sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu
tentang ajaran Rasul-Nya yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik
terhadapnya.” (Fathul Majid, hal. 72).
Ketiga belas, orang yang mati dalam keadaan masih musyrik maka pasti masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,“Barang siapa yang menjumpai Allah
(mati) dalam keadaan mempersekutukan sesuatu dengan-Nya maka pasti masuk neraka.” (HR.
Muslim)
Keempat belas, orang yang berbuat syirik maka amalnya tidak akan diterima. Allah ta’ala berfirman,
ً‫َفمَن َكانَ َيرْ جُو لِ َقاء رَ ِّب ِه َف ْل َيعْ َم ْل عَ َمالً صَ الِحا ً َواَل ُي ْش ِركْ ِب ِعبَادَ ِة رَ ِّب ِه أَحَ دا‬
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal
shalih dan tidak mempersekutukan apapun dengan Allah dalam beribadah kepada tuhannya itu.” (QS.
Al Kahfi: 110)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata sembari menukilkan ayat, “[Maka barangsiapa yang
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya] artinya barangsiapa yang menginginkan pahala dan
balasan kebaikan dari-Nya, [maka hendaklah dia beramal shalih], yaitu amal yang sesuai dengan
syariat Allah. [dan dia tidak mempersekutukan apapun dalam beribadah kepada kepada Tuhannya]
Artinya dia adalah orang yang hanya mengharapkan wajah Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Inilah dua buah rukun diterimanya amalan. Suatu amal itu harus ikhlas untuk Allah dan benar yaitu
berada di atas tuntunan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/154).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Barang siapa yang mendatangi
paranormal kemudian menanyakan sesuatu kepadanya maka shalatnya tidak akan diterima selama
40 malam.”(HR. Muslim dan Ahmad)
Kelima belas, seorang mujahid, da’i atau ahli baca Quran serta dermawan yang terjangkiti kesyirikan
maka akan diadili pertama kali pada hari kiamat dan kemudian dibongkar kedustaannya lalu
dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan wajahnya tertelungkup dan diseret oleh Malaikat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya orang pertama kali
diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan kemudian
ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah
bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai
aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut
sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian ada
seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan ditunjukkan
kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah
yang sudah kamu perbuat dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan
untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman,
“Engkau dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan,
dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian seorang yang
menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Quran. Dia didatangkan kemudian
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah
bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu,
mengajarkannya dan membaca Al Quran karena-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya
engkau menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya disebut sebagai
Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya
hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Keenam belas, orang yang berbuat syirik akan merasa kecanduan dengan sesembahannya dan
ditelantarkan oleh Allah. Abdullah bin ‘Ukaim meriwayatkan secara marfu’ (sampai kepada Nabi)
bahwasanya beliau bersabda, “Barang siapa yang menggantungkan sesuatu (jimat dan
semacamnya, red) maka dia akan dibuat bersandar dan tergantung kepadanya.” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi, dinilai hasan Al Arna’uth dalam Takhrij Jami’ul Ushul 7/575)
Ketujuh belas, orang yang menyembah selain Allah adalah orang paling sesat sejagad raya. Allah
ta’ala berfirman,
‫م‬gْ ‫َوم ْالقِيَا َم ِة َو ُه ْم عَن ُدعَ ائ ِِه ْم غَ افِ ُل َوإِ َذا حُشِ رَ ال َّناسُ َكا ُنوا لَ ُه ْم َأعْ دَاء َو َكا ُنوا ِب ِعبَادَ ت ِِه‬ ‫َو َمنْ أَضَ ُّل ِممَّن ي َْدعُو مِن د ِ هَّللا‬
ِ ‫ُون ِ مَن اَّل َيسْ َت ِجيبُ لَ ُه إِلَى ي‬
َ‫َكاف ِِرين‬
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru kepada sesembahan-sesembahan
selain Allah, sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat mengabulkan doa hingga hari kiamat, dan
sesembahan itu juga lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan apabila umat manusia nanti
dikumupulkan (pada hari kiamat) maka sesembahan-sesembahan itu justru akan menjadi musuh
serta mengingkari peribadatan yang dilakukan oleh para pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)
Kedelapan belas, orang yang berbuat syirik adalah sosok-sosok manusia yang sangat dungu lagi
tidak mau mengambil pelajaran. Allah ta’ala berfirman,
َ‫ َل َيقُولُنَّ هَّللا ُ قُ ِل ْالحَ مْ ُد هَّلِل ِ َب ْل أَ ْك َث ُر ُه ْم اَل َيعْ قِلُون‬g‫َولَئِن سَ أ َ ْل َتهُم مَّن َّن َّز َل مِنَ ال َّسمَا ِء مَا ًء َفأَحْ يَا ِب ِه اأْل َرْ ضَ مِن َبعْ ِد م َْو ِت َها‬
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka; Siapakah yang menurunkan air dari langit
lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”,
Katakanlah, “Segala puji bagi Allah.” tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya.” (QS. Al
‘Ankabut: 63)
Allah juga berfirman,
ُ ‫ُون لَ ُه ْم َنصْ راً َوالَ أَن ُفسَ ُه ْم يَن‬
َ‫صرُون‬ gَ ‫أَ ُي ْش ِر ُكونَ مَا الَ ي َْخلُ ُق َشيْئا ً َو ُه ْم ي ُْخلَقُونَ َوالَ َيسْ َتطِ يع‬
“Apakah mereka itu mau mempersekutukan (dengan Allah) sesuatu yang tidak bisa menciptakan
apa-apa dan mereka sendiri pun sebenarnya diciptakan, mereka juga tidak sanggup memberikan
sedikitpun pertolongan dan tidak bisa pula menolong diri mereka sendiri.” (QS. Al A’raaf: 191-192)
Allah jalla wa ‘ala juga berfirman,
ٍ ‫َوالَّذِينَ َت ْدعُونَ مِن دُو ِن ِه مَا َيمْ لِ ُكونَ مِن ق ِْطم‬
َ‫ِير إِن َت ْدعُو ُه ْم اَل َيسْ َمعُوا ُدعَ اء ُك ْم َولَ ْو سَ ِمعُوا مَا اسْ َتجَ ابُوا لَ ُك ْم َوي َْو َم ْالقِيَا َم ِة ي َْكفُرُونَ ِبشِ رْ ِك ُك ْم َواَل ُي َن ِّب ُئك‬
ٍ ‫م ِْث ُل َخ ِب‬
‫ير‬
“Dan sesembahan-sesembahan selain-Nya yang kalian seru itu tidak bisa menguasai setipis kulit ari
sekalipun. Jika kalian menyeru mereka (berhala), maka mereka itu tidak bisa mendengar doa kalian.
Dan seandainya mereka itu bisa mendengar maka mereka juga tidak akan bisa mengabulkan
permintaan kalian, dan pada hari kiamat nanti mereka akan mengingkari perbuatan syirik kalian, dan
tiada yang bisa menyampaikan kepadamu tentang hakikat segala hal sebagaimana (Allah) Zat yang
maha mengetahui.” (QS Faathir: 13-14)
Kesembilan belas, orang yang berbuat syirik adalah orang yang berkepribadian rendah dan tidak
yakin dengan kemahakuasaan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Thiyarah (menganggap sial karena melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu) adalah
syirik. Thiyarah adalah syirik…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih, lihat Al Jadid,
hal. 259)
Kedua puluh, amalan orang yang berbuat syirik atau mengangkat thaghut (sesuatu yang disembah,
ditaati atau diikuti sehingga menjadi sosok tandingan bagi Allah) akan berubah menjadi penyesalan
abadi di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman,
ِ ‫عَت ِب ِه ُم األَسْ بَابُ َو َقا َل الَّذِينَ ا َّت َبعُو ْا لَ ْو أَنَّ لَ َنا َكرَّ ًة َف َن َتبَرَّ أَ ِم ْن ُه ْم َكمَا َتبَرَّ ؤُ و ْا ِم َّنا َك َذلِكَ ي ُِر‬
‫يه ُم‬ gْ ‫إِ ْذ َتبَرَّ أَ الَّذِينَ ا ُّت ِبعُو ْا مِنَ الَّذِينَ ا َّت َبعُو ْا َورَ أَوُ ْا ْالعَ َذابَ َو َت َق َّط‬
ِ ‫ار ِجينَ مِنَ ال َّن‬
‫ار‬ ِ ‫ت عَ لَي ِْه ْم َومَا هُم ِب َخ‬ ٍ ‫هّللا ُ أَعْ مَالَ ُه ْم حَ سَ رَ ا‬
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan
mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan
berkatalah orang-orang yang mengikuti; “Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami akan
berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali
mereka tidak akan keluardari api neraka.” (QS. Al Baqarah: 166-167)
Kedua puluh satu, orang yang berbuat syirik sehingga mencintai sesembahan atau pujaannya
sebagai sekutu dalam hal cinta ibadah maka dia tidak akan bisa merasakan manisnya iman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ada tiga ciri, barang siapa yang
memilikinya maka dia akan bisa merasakan manisnya iman: (1) Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintai olehnya daripada segala sesuatu selain keduanya. (2) Apabila dia bisa mencintai seseorang
hanya karena Allah saja. (3) Apabila dia merasa begitu benci untuk kembali dalam kekafiran setelah
Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak mau dilemparkan ke dalam kobaran
api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua puluh dua, orang yang berbuat syirik maka tidak akan diberikan kecukupan oleh Allah. Allah
ta’ala berfirman,
ً‫َومَن َي َت َو َّك ْل عَ لَى هَّللا ِ َفه َُو حَ سْ ُب ُه إِنَّ هَّللا َ بَالِ ُغ أَمْ ِر ِه َق ْد جَ عَ َل هَّللا ُ ِل ُك ِّل َشيْ ٍء َق ْدرا‬
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah (bertauhid dan tidak menyandarkan hatinya kepada
selain Allah) maka Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyelesaikan urusannya,
dan Allah telah menentukan takdir dan ketentuan waktu bagi segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 3)
Kedua puluh tiga, celakalah budak harta benda dan pemuja mode busana. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Binasalah hamba dinar, hamba dirham, hamba Khamishah,
hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang tapi kalau tidak diberi maka dia murka. Binasalah
dan rugilah dia…” (HR. Bukhari)
Khamishah adalah kain dari bahan sutera atau wol yang bercorak, sedangkan Khamilah adalah kain
beludru (lihat Al Jadid, hal. 330 dan Fathul Majid, hal. 365).
Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Hadits itu menunjukkan bahwasanya
barang siapa yang menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan akhir kehidupan serta puncak cita-
citanya maka sesungguhnya dia telah menyembahnya dan mengangkatnya sebagai sekutu selain
Allah.” (Al Jadid, hal. 332).
Kedua puluh empat, orang yang berbuat syirik pasti akan tertimpa bencana atau siksa yang sangat
pedih dan menyakitkan. Allah ta’ala berfirman,
‫َف ْل َيحْ َذ ِر الَّذِينَ ي َُخالِفُونَ عَ نْ أَمْ ِر ِه أَن ُتصِ ي َب ُه ْم فِ ْت َن ٌة أَ ْو يُصِ ي َب ُه ْم عَ َذابٌ أَلِي ٌم‬
“Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul kalau-kalau mereka itu
akan tertimpa fitnah (bala/bencana) atau siksa yang sangat pedih.” (QS. An Nuur: 63)
Memperkokoh Keimanan pada Allah

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting kedudukannya
dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan
akidah yang benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon pertolongan Allah kami mencoba
mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang pertama ini. Semoga ulasan berikut dapat
memperkokoh iman kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Makna Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti bahwa
Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala
sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua
sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah
kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ِ ِ ‫َن ماي ْدعو َن ِمن دونِِه هو الْب‬
َّ ‫اط ُل َوأ‬ َّ ‫ك بِأ‬ ِ
ُ‫َن اهللَ ُه َو الْ َعل ُّي الْ َكبري‬ َ َُ ُ ُ َ َ َّ ‫َن اهللَ ُه َو احْلَ ُّق َوأ‬ َ ‫ذَل‬
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan  mulia, tersucikan dari segala kekurangan
dan  cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna
iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah Ta’ala dalam rububiyah,
uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholeh al
Fauzan).
Cakupan Iman  Kepada Allah
Iman kepada Allah mencakup empat perkara :
1. Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
2. Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
3. Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
4. Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.
Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang tidak beriman kepada
salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin.(Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dalil Tentang Keberadaan Allah
Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dalil
akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.
Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik yang sudah
ada maupun yang akan datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu
mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh makhluk telah diciptakan untuk
beriman kepada penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang berpaling dari
fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari fitrah itu. Hal ini 
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam,
ed), lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah. Kita semua bisa
menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-orang
yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qath’i (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula ayat-ayat
(tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau yang mereka
dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Ta’ala.
Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya, yang memang
sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala untuk mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.
Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab kitab-kitab samawi
seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa hukum-
hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang dari Rabb yang
Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita yang berkenaan
dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan bukti bahwa kitab-kitab itu berasal
dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu. (Simak pembahasan lengkap
masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah dan Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin).
Iman terhadap Rububiyah
Maksudnya adalah beriman bahwa  Allah adalah satu-satunya Rabb yang tidak mempunyai
sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada yang dapat
mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak memerintahkan
kecuali Allah. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ٍ ِ ِ َ ‫ات واْألَر‬ ِ َّ ‫إِ َّن ربَّ ُكم اهلل الَّ ِذي خلَق‬
َ ‫اسَت َوى َعلَى الْ َع ْر ِش يُ ْغشى الَّْي َل الن‬
ُ‫َّه َار يَطْلُبُه‬ ْ َّ‫ض يِف ستَّة أَيَّام مُث‬ ْ َ ‫الس َم َاو‬ َ َ ُ ُ َ
‫ني‬ ِ ُّ ‫ات بِأَم ِر ِه أَالَلَه اخْلَْلق واْألَمر َتبار َك اهلل ر‬ ٍ ‫حثِيثًا والشَّمس والْ َقمر والنُّجوم مس َّخر‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬ َ ُ َ َ ُْ َ ُ ُ ْ َ َ ُ َ ُ َ ََ َ َ ْ َ َ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk
kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).
Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah Allah Ta’ala kecuali  karena sombong.
Namun sebenarnya ia tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat pada diri
Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,
ْ ‫ال أَنَا َربُّ ُك ُم اْأل‬
‫َعلَى‬ َ ‫َف َق‬
“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An Nazi’at: 24)
ِ ٍ ِ ‫ال فِرعو ُن يآأَيُّها الْمألُ م‬
‫ص ْر ًحا لَّ َعلِّي‬
َ ‫اج َعل يِّل‬
ْ َ‫ني ف‬ َ َ‫ت لَ ُكم ِّم ْن إِلَه َغرْيِ ي فَأ َْوق ْد يِل ي‬
ِ ِّ‫اه َاما ُن َعلَى الط‬ ُ ‫اعل ْم‬
َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ‫َوق‬
ِ ِ ِِ ِ ِ
َ ِ‫وسى َوإِيِّن ألَظُنُّهُ م َن الْ َكاذب‬
‫ني‬ َ ‫أَطَّل ُع إىَل إلَه ُم‬
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka
bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya
aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk
orang-orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)
Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,
‫ين‬ ِِ ِ ‫هِب‬
َ ‫ف َكا َن َعاقبَةُ الْ ُم ْفسد‬
َ ‫اسَتْي َقنَْت َهآ أَن ُف ُس ُه ْم ظُْل ًما َوعُلًُّوا فَانظُْر َكْي‬
ْ ‫َو َج َح ُدوا َا َو‬
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka
meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat
kebinasaan.” (QS. An Naml: 14).
Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengakui
rububiyah Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Ta’ala berfirman,
‫َولَئِن َسأَلَْت ُهم َّم ْن َخلَ َق ُه ْم لََي ُقولُ َّن اهللُ فَأَىَّن يُ ْؤفَ ُكو َن‬
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya
mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”
(QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap diperangi
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang rububiyah Allah.
Iman Kepada Uluhiyah
Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena
penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk.
Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena hanya Allah
satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫َن ماي ْدعو َن ِمن دونِِه الْب‬ َّ ‫ك بِأ‬ ِ
‫اط ُل‬َ ُ ُ َ َ َّ ‫َن اهللَ ُه َو احْلَ ُّق َوأ‬ َ ‫َذل‬
” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru
selain Alloh, itulah yang batil”  (QS. Luqman: 30).
Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah Allah mengutus para rasul
dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,
ِ ‫اعب ُد‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ ِ َ ِ‫ومآأَرس ْلنَا ِمن َقبل‬
‫ون‬ ُ ْ َ‫ك من َّر ُسول إالَّنُوحي إلَْيه أَنَّهُ آل إلَهَ إآل أَنَا ف‬ ْ َ ْ ََ
” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:
“Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin
Sholih al ’Utsaimin)
Antara  Rububiyah dan Uluhiyah
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap
tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah
mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka
ini mengharuskan baginya untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, jika seseorang
mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid rububiya. Barangsiapa yang beribadah kepada
Allah semata dan tidak menyekutukan-Bya, pasti ia akan meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan
penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
{ ‫ني‬ ِ َّ ‫} فَِإنَّهم ع ُد ٌّو يِّل إِالَّر‬76{ ‫} أَنتُم وءابآ ُؤ ُكم اْألَقْ َدمو َن‬75{ ‫ال أََفرءيتُم َّما ُكنتُم َتعب ُدو َن‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬ َ َ ُْ ُ ُ َََ ْ ُْ ْ ْ َ َ َ َ‫ق‬
ِ ‫ت َف ُهو يَ ْش ِف‬
{ ‫ني‬ ِ ‫} والَّ ِذي ُهو يُطْعِميِن ويَس ِق‬78{ ‫} الَّ ِذي َخلَ َقيِن َف ُهو َي ْه ِدي ِن‬77
ْ ‫} َوإِذَ َام ِر‬79{ ‫ني‬
َ ُ‫ض‬ ْ َ ُ َ َ َ
}82{ ‫} َوالذي أَطْ َم ُع أَن َي ْغفَر يِل َخطيئَيِت َي ْو َم الدِّي ِن‬81{ ‫} َوالَّ ِذي مُيِيتُيِن مُثَّ حُيْيني‬80
ِ ِ ِ َّ ِ ِ
“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah(75),
kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu
adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka
Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku(79),
dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian
akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku
pada hari kiamat(82).”  (QS. Asy Syu’aroo’:75-82)
Tauhid rububyah dan uluhiyah  terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya
berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan
kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,
ِ ‫} إِلَِه الن‬2{ ‫َّاس‬
}3{ ‫َّاس‬ ِ ِ‫} مل‬1{ ‫َّاس‬
ِ ‫ك الن‬ ِّ ‫قُ ْل أَعُوذُ بَِر‬
ِ ‫ب الن‬
َ
“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan menguasai) manusia(1). Raja
manusia(2). Sesembahan manusia(3).”  (QS. An Naas :1-3).Makna Robb dalam ayat ini adalah Raja
yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak
untuk disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika
disebutkan salah satunya, maka sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana ucapan
malaikat maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?” Maka maknanya, “Siapakah penciptamu dan
sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,
}40{ ُ‫ُخ ِر ُجوا ِمن ِديَا ِر ِهم بِغَرْيِ َح ٍّق إِآلَّ أَن َي ُقولُوا َربُّنَا اهلل‬
ْ ‫ين أ‬
ِ َّ
َ ‫ا لذ‬
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata :”Tuhan kami hanyalah Alloh”  (QS. Al Hajj:40)
}164{ ‫اهلل أَبْغِي َربًّا‬
ِ ‫قُل أَ َغير‬
َْ ْ
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS. Al An’am :164)
ِ َّ ِ
}30{ ‫اسَت َق ُاموا‬ َ ‫إ َّن الذ‬
ْ َّ‫ين قَالُوا َربُّنَا اهللُ مُث‬
“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas
mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili i’tiqood,  Syaikh Sholeh al Fauzan)
Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah
Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya
adalah  pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini
mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh asma’ dan
shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya,
dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam asma’ dan shifat-Nya. Hal ini
ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
ِ ‫الس ِميع الْب‬
}11{ ُ‫صري‬ ِِ ِ
َ ُ َّ ‫س َكمثْله َش ْىءُُ َو ُه َو‬
َ ‫لَْي‬
” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11)  . (Al  Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad
bin Sholih al ’Utsaimin).
Cabang Keimanan yang Tertinggi
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang.
Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang keimanan.” (HR.
Muslim). Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan, “Cabang keimanan yang paling tinggi dan
merupakan pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan yang jujur dari hati
disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali Allah semata. Dialah
Tuhan yang memelihara seluruh alam dengan keutamaan dan ihsan. Semua butuh kepada-Nya
sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia Maha Perkasa. Ucapan ini
harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam setiap keadaan dan mengikhlaskan agama kepada-
Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan adalah cabang dan buah dari asas ini (yakni
iman kepada uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa Qurrotu ‘Uyuunil Akhyaar, Syaikh
Abdurrahman As Sa’di)
Faedah Iman yang Benar
Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung bagi orang-orang yang
beriman, di antaranya:
1. Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak ada tempat bergantung selain
Allah dalam rasa harap dan takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
2. Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan pengagungan terhadap-Nya sesuai dengan
nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
3. 3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Semoga Allah Ta’ala meneguhkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah dan memberikan
kita istiqomah di atas iman yang benar.  Wa shalallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa  sallaam.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Iman Kepada Malaikat

Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam. AllahTa`ala berfirman yang
artinya: “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis
salam tentang iman, beliau menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan buruk.”
(Muttafaq `alaih)
Barangsiapa yang ingkar dengan keberadaan malaikat, maka dia telah kafir, keluar dari Islam.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa`: 136)
Batasan Minimal Iman kepada Malaikat
Syaikh Shalih bin `Abdul `Aziz Alu Syaikh hafidzahullah mengatakan: “Batas minimal (iman kepada
malaikat) adalah keimanan bahwasanya Allah menciptakan makhluk yang bernama malaikat. Mereka
adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa taat kepada-Nya. Mereka merupakan makhluk yang
diatur sehingga tidak berhak diibadahi sama sekali. Diantara mereka ada malaikat yang ditugasi
untuk menyampaikan wahyu kepada para Nabi.” (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh)
Bertambah Iman Seiring dengan Bertambahnya Ilmu
Setelah itu, setiap kali bertambah ilmu seseorang tentang rincian hal tersebut (malaikat), wajib
baginya mengimaninya. Dengan begitu, maka imannya akan bertambah. Allah Ta`ala berfirman yang
artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang
berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?’ Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS.
At-Taubah: 124)
Hakikat malaikat
Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-dalil dari al-Qur`an, as-
Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin (tentang malaikat) menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:
 Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah.
 Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah menciptakan jin
dan manusia juga untuk beribadah kepada-Nya semata.
 Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.
 Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia. Mereka hidup di alam
yang mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat tersebut di dunia karena kedekatannya, dan
untuk melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang yang bersifat kauniyyah,
maupun syar`iyyah.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah
mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-
hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka
(malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang
yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Dan barangsiapa di
antara mereka, mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang itu
Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang
zalim.” (QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29)
(Lihat Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil
Muqarrabiin hal. 15)
Asal Penciptaan Malaikat
Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam hadits dari
Ummul Mu`minin `Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya.” (HR. Muslim)
Jumlah Malaikat
Jumlah mereka sangat banyak. Hanya Allah saja yang tahu berapa banyak jumlah mereka.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan
Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir: 31) Ketika Rasulullah  shallallahu `alaihi wa sallammelakukan Isra`
Mi`raj, berkata Jibril `alaihis salam kepada beliau: “Ini adalah Baitul Ma`mur. Setiap hari shalat di
dalamnya 70 ribu malaikat. Jika mereka telah keluar, maka mereka tidak kembali lagi…. ”
(Muttafaqun `alaihi)
Sifat Fisik Malaikat
Berikut ini kami sampaikan sebagian sifat fisik malaikat:
 Kuatnya fisik mereka
Allah Ta`ala berfirman tentang keadaan neraka (yang artinya), “Penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. Tahrim: 6)
Panas api neraka, yang membuat besi dan batu meleleh, tidak membahayakan
mereka.Demikian juga dengan Malakul jibal (Malaikat gunung), dimana dia menawarkan
kepada Rasulullah  shallallahu `alaihi wa sallam  untuk menabrakkan dua gunung kepada
sebuah kaum yang mendurhakai beliau. Kemudian beliau menolak tawaran tersebut. (Hadits
yang menceritakan kisah ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
 Mempunyai sayap
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Fathiir: 1)
 Tidak membutuhkan makan dan minum
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-
malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab: “Selamatlah,” maka tidak lama kemudian
Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan
mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut
kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah
(malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth.’” (QS. Huud: 69 –
70)As Suyuthi rahimahullah berkata: “Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa para ulama
sepakat bahwasanya malaikat tidak makan, tidak minum, dan juga tidak menikah.”
Ke-ma`shum-an Malaikat
Allah Ta`ala telah manjadikan malaikat sebagai makhluk yang ma`shum, dimana  mereka tidak akan
pernah bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta`alaberfirman: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha
Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah….”  (lihat QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29 di
atas)
Buah Iman kepada Malaikat
Diantara buah dari beriman kepada malaikat adalah:
 Mengetahui keagungan Allah Ta`ala yang telah menciptakan makhluk-makhluk yang mulia,
yaitu malaikat.
 Kecintaan kepada malaikat karena ibadah-ibadah yang mereka lakukan. (lihat Syarh
Tsalatsatul Ushul Syaikh `Utsaimin)
Demikialah sedikit bahasan tentang malaikat. Untuk mendapatkan pembahasan yang lebih rinci
tentang Malaikat, silahkan merujuk ke kitabMu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal
Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin  karya DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-
`Aqiil. Wallahu Ta`ala a`lam.
Penulis : Abu Ka’ab Prasetyo
Iman Terhadap Kitab-kitab Suci

Iman terhadap kitab suci merupakan salah satu landasan agama kita. AllahTa`ala berfirman yang
artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi,
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman dengan Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi….” (QS. Al-Baqarah: 177) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis salam tentang
iman, beliau menjawab:“(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para Malaikat, kitab-kitab-Nya,
para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan buruk.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Kitab (biasa disebut dengan Kitab suci)
adalah kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya sebagai rahmat untuk para makhluk-Nya, dan
petunjuk bagi mereka, supaya mereka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” (lihat kitab Rasaail
fil `Aqiidah karya Syaikh Utsaimin)
Cakupan Iman dengan Kitab Suci
Masih dalam kitab yang sama, beliau juga mengatakan: “Iman dengan kitab suci mencakup 4
perkara:
1.Iman bahwasanya kitab-kitab tersebut turun dari Allah Ta`ala.
2.Iman dengan nama-nama yang kita ketahui dari kitab-kitab tersebut, seperti al-Qur`an yang Allah
turunkan kepada Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, Taurat kepada Musa, Injil kepada Isa, dan
lain sebagainya.
3.Pembenaran terhadap berita-berita yang shahih, seperti berita-berita yang ada dalam al-Qur`an dan
kitab-kitab suci sebelumnya selama kitab-kitab tersebut belum diganti atau diselewengkan.
4.Pengamalan terhadap apa -apa yang belum di-nasakh dari kitab-kitab tersebut, rida terhadapnya,
dan berserah diri dengannya, baik yang diketahui hikmahnya, maupun yang tidak diketahui.” (Rasaail
fil `Aqiidah)
Sumber dan Tujuan Penurunan Kitab Suci
Seluruh kitab-kitab suci sumbernya adalah satu, yaitu dari Allah Jalla wa `Alaa. Allah Ta`ala berfirman
yang artinya: “ Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi
terus menerus mengurus makhluk-Nya.  Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan
sebenarnya; membenarkan Kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil, sebelum (al-Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan dia menurunkan al-Furqaan.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat;
dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” (QS. Ali Imran: 2-4)
Tujuan penurunan kitab-kitab suci juga satu, yaitu tercapainya peribadatan hanya kepada Allah
semata, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta`ala dalam surat al-Maidah ayat 44 – 50. (Untuk
pembahasan lebih rinci, lihat kitab ar-Rusul war Risaalaat karya `Umar bin Sulaiman al-Asyqar, hal
231 – 235)
Kedudukan al-Qur`an di antara Kitab-kitab Suci Lainnya
Al-Qur`an merupakan kitab suci terakhir dan penutup dari kitab-kitab suci sebelumnya. Selain itu, al-
Qur`an juga merupakan hakim atas kitab-kitab suci sebelumnya. Allah Ta`ala berfirman yang
artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian)
terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu…. ” (QS. Al-Maidah: 48)
Al-Qur`an merupakan kitab suci paling panjang dan paling luas cakupannya. Rasulullah shallallahu
`alahi wa sallam bersabda: “Saya diberi ganti dari Taurat dengan as-sab`ut thiwaal (tujuh surat dalam
al-Qur`an yang panjang-panjang). Saya diberi ganti dari Zabur dengan al-mi`iin (surat yang jumlah
ayatnya lebih dari seratus). Saya diberi ganti dari Injil dengan al-matsani (surat yang terulang-ulang
pembacaannya dalam setiap rekaat shalat) dan saya diberi tambahan dengan al-mufashshal (surat
yang dimulai dari Qaf sampai surat an-Naas).”  (HR. Thabarani dan selainnya, dishahihkan sanadnya
oleh al-Albani)
Di antara perkara lain yang menjadi kekhususan al-Qur`an dari kitab-kitab suci lainnya adalah
penjagaan Allah terhadapnya. Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”  (QS. Al-Hijr: 9)
Sekilas Tentang Taurat
Taurat adalah kitab yang Allah turunkan kepada Musa `alahis salam. Taurat merupakan kitab yang
mulia yang tercakup didalamnya cahaya dan petunjuk. Allah Ta`ala berfirman yang
artinya: “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi)….” (QS. Al-Maidah: 44)
Taurat yang ada saat ini – biasa disebut dengan kitab perjanjian lama – , setiap orang yang berakal
tentu mengetahui bahwa taurat tersebut bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada
Musa `alaihis salam. Hal itu bisa diketahui dari beberapa bukti berikut:.
 Ketidakmampuan mereka (baik Yahudi maupun Nashrani) dalam menunjukkan sanad ilmiah
yang sampai kepada Musa `alaihis salam, bahkan mereka mengakui bahwa Taurat pernah
hilang selama beberapa kali.
 Terjadi banyak kontradiksi di dalamnya, yang menunjukkan bahwa sudah banyak terjadi
campur tangan para ulama yahudi dalam merubah isi Taurat.
 Banyak terdapat kesalahan ilmiah.
 Dan masih banyak bukti lainnya.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis
al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk
memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang besarlah bagi
mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan yang besarlah bagi
mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)
Sekilas Tentang Injil
Sedangkan Injil, dia adalah kitab yang Allah turunkan kepada Isa `alaihis salam sebagai
penyempurna dan penguat bagi Taurat, mencocoki dangannya dalam sebagian besar syariatnya,
petunjuk kepada jalan yang lurus, membedakan kebenaran dan kebatilan, dan menyeru kepada
peribadatan kepada Allah Ta`ala semata.
Sebagaimana taurat yang ada sekarang bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada Musa,
demikian juga injil yang ada sekarang, juga bukan injil yang diturunkan kepada Isa `alaihimas salam.
Di antara bukti dari penyataan tersebut:
 Penulisan injil terjadi jauh beberapa tahun setelah diangkatnya Isa`alaihis salam.
 Terputusnya sanad dalam penisbatan penulisan injil-injil tersebut kepada penulisnya.
 Banyak terdapat kontradiksi dan kesalahan ilmiah di dalamnya
 Dan masih banyak bukti lainnya.
(untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci tentang keberadaan Taurat dan Injil yang ada sekarang,
silahkan merujuk ke kitab Izhaarul Haq karya Rahmatullah al-Hindy)
Bolehkah mengikuti Taurat dan Injil setelah Turunnya al-Qur`an?
Jawabnya: Tidak boleh. Bahkan, kalau seandainya kitab-kitab tersebut (Taurat atau Injil yang ada
sekarang) adalah benar berasal dari para Nabi  mereka, maka kita tetap tidak boleh mengikutinya
karena kitab-kitab tersebut diturunkan khusus kepada umat nabi tersebut dan dalam tempo yang
terbatas, dan kitab-kitab tersebut sudah di-nasakh oleh al-Qur`an. Allah Ta`ala berfirman yang
artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian)
terhadap kitab-kitab yang lain itu;…. ” (QS. Al-Maidah: 48)
Bahkan wajib bagi Yahudi dan Nashrani saat ini untuk mengikuti al-Qur`an. Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! Tidaklah
seorang pun dari Yahudi dan Nasrani yang mendengar akan diutusnya aku, kemudian mati dalam
keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni
neraka.” (HR. Bukahri dan Muslim)
Demikianlah sedikit bahasan tentang Iman dengan kitab suci. “Wahai Rabb kami, tambahkan kepada
kami keimanan, keyakinan, kefakihan, dan ilmu.”
Rujukan utama:
Al-Iman bil Kutub, karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

Penulis : Abu Ka’ab Prasetyo
Mengimani Para Utusan Allah

Rukun Iman keempat yang harus diimani oleh setiap mukmin adalah beriman kepada para Nabi dan
Rasul utusan Allah. Diutusnya Rasul merupakan nikmat yang sangat agung. Kebutuhan manusia 
terhadap diutusnya Rasul melebihi kebutuhan manusia terhadap hal-hal lain. Untuk itu, kita tidak
boleh salah dalam meyakini keimanan kita kepada utusan Allah yang mulia ini. Berikut adalah
penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan iman kepada Nabi dan Rasul.
Dalil-Dalil Kewajiban Beriman Kepada Para Rasul
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada para Rasul, di antaranya adalah
firman Allah Ta’ala,
ِ ‫هلل َو ْالي َْو ِم ْاألَخ ِِر َو ْال َملَ ِئ َك ِة َو ْال ِك َتا‬
َ‫ب َوال َّن ِبيِّن‬ ِ ‫َولَكِنَّ ْال ِبرَّ َمنْ ءَامَنَ ب ِا‬
“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, dan nabi-nabi” (QS. Al Baqarah: 177)
‫هلل َو َمالَ ِئ َك ِت ِه َو ُك ُت ِب ِه َو ُر ُسلِ ِه الَ ُن َفرِّ ُق َب ْينَ أَحَ ٍد مِّن رُّ ُسلِ ِه َو َقالُوا سَ مِعْ َنا َوأَ َطعْ َنا‬
ِ ‫ُك ٌّل ءَامَنَ ِبا‬
“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya
(mereka mengatakan):’ Kita tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang  lain) dan
rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan “Kami dengar dan kami taat…” (QS. Al Baqarah: 285)
Pada ayat-ayat di atas Allah menggandengkan antara keimanan kepada para Rasul dengan
keimanan terhadap diri-Nya, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Allah menghukumi kafir
orang yang membedakan antara keimanan kepada Allah dan para Rasul. Mereka beriman terhadap
sebagian namun kafir tehadap sebagian yang lain  (Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqaad, hal 146)
Pokok-Pokok Keimanan Terhadap Para Rasul
Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah harus mengandung empat unsur pokok yaitu:
1. Beriman bahwasanya risalah yang mereka bawa benar-benar risalah yang berasal dari
wahyu Allah Ta’ala.
2. Beriman terhadap nama-nama mereka yang kita ketahui.
3. Membenarkan berita-berita yang shahih dari mereka.
4. Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita, yaitu penutup para Nabi,
Muhammad  shalallahu ‘alaihi wa sallaam.  (Syarhu Ushuuill Iman, hal 34-35)
Antara Nabi dan Rasul
Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi sama dengan rasul. Namun pendapat yang benar adalah
nabi berbeda dengan rasul, walaupun terdapat beberapa persamaan. Nabi adalah seseorang yang
Allah beri wahyu kepadanya dengan syariat untuk dirinya sendiri atau diperintahkan untuk
menyampaikan kepada kaum yang sudah bertauhid. Sedangkan rasul adalah seorang yang Allah beri
wahyu kepadanya dengan syariat dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum yang
menyelisihnya. Nabi dan rasul memiliki beberapa persamaan dan perbedaan.
Persamaan Nabi dan Rasul adalah :
 Nabi dan Rasul sama-sama utusan Allah  yang diberi wahyu oleh Allah, berdasarkan firman
Allah,
ٍ ‫َومَآأَرْ سَ ْل َنا مِن َق ْبلِكَ مِن رَّ س‬
ٍّ‫ُول َوالَ َن ِبي‬
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi…” (QS. Al
Hajj:52). Dalam ayat ini Allah membedakan antara nabi dan rasul, namun menjelasakan kalau
keduanya merupakan utusan Allah.
 Nabi dan rasul sama-sama diutus untuk menyampaikan syariat.
 Nabi dan rasul ada yang  diturunkan kepadanya kitab, ada pula yang tidak.
Perbedaan Nabi dan Rasul :
 Nabi diberi wahyu untuk disampaikan kepada kaum yang sudah bertauhid atau untuk
diamalkan bagi dirinya sendiri, sebagaimana dalam sebuah hadist, ”Dan akan datang Nabi
yang tidak memiliki satu pun pengikut”. Sedangkan rasul diutus untuk menyampaikan syariat
kepada kaum yang menyelisihinya.
 Nabi mengikuti syariat  sebelumnya yang sudah ada, sedangkan Rasul terkadang mengikuti
syariat sebelumnya -seperti Yusuf yang diutus untuk  kaumnya dengan syariat yang dibawa
oleh Ibrahim dan Ya’qub- dan terkadang membawa syariat baru. (Diringkas dari Syarh al
‘Aqidah Ath Thahawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal 227-234)
Para Nabi dan Rasul Mengajarkan Agama yang Satu
Seluruh Nabi mengajarkan agama yang satu, walaupun mereka memiliki syariat-syariat yang
berbeda. Allah Ta’ala berfirman,
‫ فِي ِه‬g‫ص ْي َنا ِب ِه إِ ْبرَ اهِي َم َومُوسَ ى َوعِ يسَ ى أَنْ أَقِيمُوا ال ِّدينَ َوالَ َت َت َفرَّ ُقوا‬ َ ‫َاوصَّى ِب ِه ُنوحً ا َوالَّذِي أَ ْوحَ ْي َنآ إِلَ ْيكَ َوم‬
َّ ‫َاو‬ ِ ‫َشرَ عَ لَ ُكم مِّنَ الد‬
َ ‫ِّين م‬
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…. ”(QS.
Asy Syuuraa:13)
}52{ َ‫} َوإِنَّ َه ِذ ِه أ ُ َّم ُت ُك ْم أُم ًَّة َواحِدَ ًة َوأَ َنا رَ ُّب ُك ْم َفا َّتقُون‬51{ ‫ت َواعْ مَلُوا صَ الِحً ا إِ ِّني ِبمَا َتعْ مَلُونَ عَ لِي ٌم‬ َّ َ‫يَآأَ ُّيهَا الرُّ ُس ُل ُكلُوا مِن‬
ِ ‫الط ِّيبَا‬
“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama tauhid) ini,
adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-
Ku” (QS. Al Mu’minun:51-52)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda,  “Sesungguhnya seluruh nabi memiliki agama yang satu,
dan para nabi adalah saudara” (Muttafaqun ‘alaih).
Agama seluruh para Nabi adalah satu, yaitu agama Islam. Allah tidak akan menerima agama selain
Islam. Yang dimaksud dengan islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya,
tunduk kepada Allah dengan mentaatinya, dan menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang
musyrik. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 159-160).
Mendustakan Satu = Mendustakan Semuanya
Kewajiban seorang mukmin adalah beriman bahwa risalah para Rasul adalah benar-benar dari Allah.
Barangsiapa mendustakan risalah mereka, sekalipun hanya salah seorang di antara mereka, berarti
ia telah mendustakan seluruh para rasul. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
َ‫وح ْالمُرْ سَ لِين‬ ْ ‫َك َّذب‬
ٍ ‫َت َق ْو ُم ُن‬
“Kaum Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul” (QS. Asy Syu’araa’:105)
Dalam ayat in Allah menilai tindakan kaum Nuh sebagai pendustaan kepada para rasul yang diutus
oleh Allah, padahal ketika diutusnya Nuh belum ada seorang Rasulpun selain Nabi Nuh ‘alaihis
salaam. Berdasarkan hal ini maka orang-orang Nasrani yang mendustakan Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tidak mau mengikuti beliau berarti mereka telah mendustakan Al Masih bin
Maryam (Nab Isa ‘alaihis salaam) dan tidak mengikuti ajarannya. (Syarhu Ushuulil Iman hal 34-35)
Mengimani Nama Para Rasul
Termasuk pokok keimanan adalah kita beriman bahwa para Rasul Allah memiliki nama. Sebagiannya
diberitakan kepada kita dan sebagiannya tdak diberitakan kepada kita. Yang diberikan kepada kita 
seperti Muhanmad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh ‘alahimus shalatu wa salaam. Kelima nama tersebut
adalah para Rasul ‘Ulul Azmi. Allah Ta’ala telah menyebut mereka pada dua (tempat) surat di dalam
Al Quran yakni surat Al Ahzaab dan As Syuraa,
‫ْن َمرْ َي َم‬
ِ ‫وح َوإِ ْبرَ اهِي َم َومُوسَ ى َوعِ يسَ ى اب‬ gَ ‫َوإِ ْذ َأ َخ ْذ َنا مِنَ ال َّن ِبي‬
ٍ ‫ِّين مِي َثا َق ُه ْم َومِنكَ َومِن ُّن‬
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh,
Ibrahim, Musa, dan Isa bin Maryam…” (QS. Al Ahzab:7)
…ِ‫ فِيه‬g‫ص ْي َنا ِب ِه إِ ْبرَ اهِي َم َومُوسَ ى َوعِ يسَ ى أَنْ أَقِيمُوا ال ِّدينَ َوالَ َت َت َفرَّ قُوا‬ َ ‫َاوصَّى ِب ِه ُنوحً ا َوالَّذِي أَ ْوحَ ْي َنآ إِلَ ْيكَ َوم‬
َّ ‫َاو‬ ِ ‫َشرَ عَ لَ ُكم مِّنَ الد‬
َ ‫ِّين م‬
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa,
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya” (QS. Asy
Syuraa:13)
Adapun terhadap para Rasul yang tidak kita ketahui nama-namanya, kita beriman secara global.
Allah Ta’ala berfirman,
َ‫َولَ َق ْد أَرْ سَ ْل َنا ُر ُسالً مِّن َق ْبلِكَ ِم ْنهُم مَّن َقصَ صْ َنا عَ لَ ْيكَ َو ِم ْنهُم مَّن لَّ ْم َن ْقصُصْ عَ لَ ْيك‬
“Dan sesungguhnya telah Kami utus bebrapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang
Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu”
(QS. Al Mukmin:78). (Syarhu Ushuulil Iman,hal 35)
Para Rasul Pemberi Kabar Gembira Sekaligus Pemberi Peringatan
Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan kabar gembira sekaligus memberikan peringatan.
Ini merupakan salah satu dari hikmah diutusnya para rasul kepada manusia. Maksud menyampaikan
kabar gembira adalah menyebutkan pahala bagi orang yang taat, sekaligus memberikan peringatan
kemudian mengancam orang yang durhaka dan orang kafir dengan kemurkaan dan siksa Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
ً ‫هللا حُجَّ ُ ُة َبعْ دَ الرُّ س ُِل َو َكانَ هللاُ عَ ِز‬
‫يزا حَ كِيمًا‬ ِ ‫رُّ ُسالً ُّم َب ِّش ِرينَ َومُنذ ِِرينَ لِ َئالَّ َي ُكونَ لِل َّن‬
ِ ‫اس عَ لَى‬
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak
ada lagi alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (QS. An Nisaa’
165).
Ayat ini merupakan dalil bahwa tugas para Rasul ialah memberikan kabar gembira bagi siapa saja
yang mentaati Allah dan mengikuti keridhaan-Nya dengan melakukan kebaikan. Dan bagi siapa yang
menentang perintah-Nya dan mendustakan para rasul-Nya akan diancam dengan hukum dan
siksaan. (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 195-196)
Nuh yang Pertama, Muhammad Penutupnya
Termasuk keyakinan Ahlus sunnah adalah beriman bahwasanya Rasul yang petama diutus adalah
Nuh ‘alaihis salaam dan yang terkhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil yang
menunjukkan bahwa Nuh adalah Rasul pertama adalah firman Allah,
َ َ
ٍ ‫إِ َّنآأ ْوحَ ْي َنآإِلَ ْيكَ َكمَآأ ْوحَ ْي َنآإِلَى ُن‬
‫وح َوال َّن ِبيِّينَ مِن َبعْ ِد ِه‬
“Sesungguhnya Kami telah memberkan wahyu kepadamu sebagaman Kami telah memberikan
wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya…” (An Nisaa’:163)
Para ulama berdalil dengan ayat ini bahwa Nuh adalah rasul pertama. Sisi pendalilannya adalah dari
kalimat “dan nabi-nabi yang kemudiannya”. Jika ada rasul sebelum Nuh tentunya akan dikatakan
dalam ayat ini.
Adapun dalil dari sunnah adalah sebuah hadist shahih tentang syafa’at, ketika manusia mendatangi
Nabi Adam untuk meminta syafaat, beliau berkata kepada mereka, “Pergilah kalian kepada Nuh,
karena ia adalah rasul pertama yang diutus ke muka bumi”. Maka mereka pun mendatangi Nuh dan
berkata: “engkau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi…” (Muttafaqun ‘alaihi). Hadist ini
merupakan dalil yang paling kuat menunjukkan bahwa Nuh adalah rasul pertama. Dan Nabi Adam
sendiri menyebutkan bahwa Nuh sebagai Rasul pertama di atas muka bumi. (Husuulul Ma’muul bi
Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 196-197)
Sedangkan Rasul yang terakhir adalah Muhammad sholallahu ‘alaihi wa salaam. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala.
ِ ‫مَّا َكانَ مُحَ َّم ٌد أَبَآ أَحَ ٍد مِّن رِّ جَ الِ ُك ْم َولَكِن رَّ سُو َل‬
‫هللا َو َخا َت َم ال َّن ِبيِّينَ َو َكانَ هللا ُ ِب ُك ِّل َشىْ ٍء عَ لِيمًا‬
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup para Nabi. Dia adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al
Ahzab:40).
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Aku adalah penutup para Nabi, dan beliau berkata
:’ Tidak ada Nabi sesudahku”. Hal ini melazimkan berakhirnya diutusnya para Rasul, karena
berakhirnya yang lebih umum (yakni diutusnya Nabi) melazimkan berakhirnya yang lebih khusus
(yakni diutusnya Rasul). Makna berakhirnya kenabian dengan kenabian Muhammad yakni  tidak
adanya pensyariatan baru setelah kenabian dan syariat yang dibawa oleh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 173).
Buah Manis Iman yang Benar Terhadap Para Rasul
Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah akan memberikan faedah yang berharga, di
antaranya adalah:
1. Mengetahui akan rahmat Allah dan perhatian-Nya kepada manusia dengan mengutus kepada
mereka para Rasul untuk memberi petunjuk kepada merka kepada jalan Allah dan
memberikan penjelasan kepada mereka bagaimana beribadah kepada Allah  karena akal
manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut.
2. Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini.
3. Mencintai para Rasul,, mengagungkan mereka , serta memberikan pujian yang layak bagi
mereka. Karena mereka adalah utusan Allah Ta’ala dan senantiasa menegakkan ibadah
kepada-Nya serta menyampaikan risalah dan memberikan nasehat kepada para hamba.
(Syarhu Ushuuill Imanhal 36)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menetapkan hati kita kepada keimanan yang benar. Washolallahu
‘alaa Nabiyyina Muhammad.
Sumber Rujukan:
1. Syarhu Ushuulil Iman. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim.
Cetakan pertama 1419 H
2. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad. Syaikh Sholih Al Fauzan Penerbit Maktabah Salsabiil
Cetakan pertama tahun 2006.
3. Jaami’us Syuruuh al ‘Aqidah at Thahawiyah. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi cetakan pertama
tahun 2006.
4. Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul.Penerbit Maktabah ar Rusyd, Riyadh.
Cetakan pertama 1422H/2001M.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Pokok-Pokok Keimanan Kepada Hari
Akhir

Iman kepada hari akhir hukumnya wajib dan kedudukannya dalam agama merupakan salah satu di
antara rukun iman yang enam. Banyak sekali AllahTa’ala menggandengkan antara iman kepada Allah
dan iman kepada hari akhir, karena barangsiapa yang tidak beriman kepada hari akhir, tidak mungkin
akan beriman kepada Allah. Orang yang tidak beriman dengan hari akhir tidak akan beramal, karena
seseorang tidak akan beramal kecuali dia mengharapkan kenikmatan di hari akhir dan takut terhadap
adzab di hari akhir.[1]
Disebut hari akhir karena pada hari itu tidak ada hari lagi setelahnya, saat itu merupakan tahapan
yang terakhir[2]. Keimanan yang benar  terhadap hari akhir mancakup tiga hal pokok yaitu mengimani
adanya hari kebangkitan, mengimani adanya hisaab (perhitungan) dan  jazaa’ (balasan), serta
mengimani tentang surga dan neraka. Termasuk juga keimanan kepada hari akhir adalah mengimani
segala peristiwa yang akan terjadi setelah kematian seperti  fitnah kubur, adzab kubur, dan nikmat
kubur.
Mengimani Adanya Hari Kebangkitan
Hari kebangkitan adalah hari dihidupkannya kembali orang yang sudah mati ketika ditiupkannya
sangkakala yang kedua. Kemudian manusia akan berdiri menghadap Rabb semesta alam dalam
keadaan telanjang tanpa alas kaki, telanjang tanpa pakaian, dan dalam keadaan tidak disunat.
Allah Ta’alaberfirman,

َ ‫ب َك َما َبدَ ْأ َنآ أَ َّو َل َخ ْل ٍق ُّنعِي ُدهُ َوعْ ًدا َع َل ْي َنآ إِ َّنا ُك َّنا َفاعِ ل‬
‫ِين‬ ِ ‫َي ْو َم َن ْط ِوي ال َّس َمآ َء َك َطيِّ ال ِّس ِج ِّل ل ِْل ُك ُت‬

}104{
“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran – lembaran kertas. Sebagaimana
Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang
pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiyaa’:104)
Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti. Ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah
dan Ijmaa’  (konsensus) kaum muslimin. Allah Ta’alaberfirman,

َ ‫} ُث َّم إِ َّن ُك ْم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة ُتب َْع ُث‬15{ ‫ون‬


}16{ ‫ون‬ َ ‫ُث َّم إِ َّن ُكم َبعْ دَ َذل َِك َل َم ِّي ُت‬
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati(15). Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al
Mukminun:15-16)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda :
‫يحشر الناس يوم القيامة حفاة عراة غرال‬
“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang, dan
tidak disunat”[3]
Kaum muslimin juga telah sepakat mengenai kepastian adanya hari kebangkitan ini. [4]
Mengimani Adanya Hari Perhitungan dan Pembalasan
Termasuk perkara yang harus diimani berkenaan dengan hari akhir adalah mengimani adanya hari 
perhitungan dan pembalasan. Seluruh amal perbuatan setiap hamba akan dihisab dan diberi balasan.
Hal ini juga telah ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan ijmaa’ kaum muslimin.
Allah Ta’ala berifrman,

}26{ ‫} ُث َّم إِنَّ َع َل ْي َنا ح َِسا َبهُم‬25{ ‫إِنَّ إِ َل ْي َنآ إِيَّا َب ُه ْم‬
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah
menghisab mereka.” (QS. Al Ghasiyah:25-26)

‫ان م ِْث َقا َل َح َّب ٍة مِّنْ َخرْ دَ ٍل‬


َ ‫ين ْالقِسْ َط لِ َي ْو ِم ْالقِ َيا َم ِة َفالَ ُت ْظ َل ُم َن ْفسٌ َش ْي ًئا َوإِن َك‬ ِ ‫ض ُع ْال َم َو‬
َ ‫از‬ َ ‫َو َن‬

}47{ ‫ين‬ َ ‫أَ َت ْي َنا ِب َها َو َك َفى ِب َن‬


َ ‫احاسِ ِب‬
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang
barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan
(pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al Anbiyaa’:47)
Telah shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam, beliau bersabda,

‫ومن هم بحسنة فلم يعملها كتبت له حسنة فإن عملها كتبت له عشرا ومن هم بسيئة فلم‬

‫يعملها لم تكتب شيئا فإن عملها كتبت سيئة واحدة‬


“Barangsiapa yang berniat melakukam suatu kebaikan, lalu mengerjakannya, maka Allah telah
menulisnya sepuluh hingga tujuh ratus kebaikan, bahkan sampai kelipatan yang lebih banyak lagi.
Sedangkan barangsiapa yang berniat melakukan keburukan, lalu mengerjakannya, maka Allah hanya
akan menulisnya satu keburukan saja“ [5].
Kaum muslimin juga telah bersepakat tentang adanya hari perhitungan dan pembalasan. Dan ini
sesuai dengan  tuntutan hikmah Allah Ta’ala.[6]
Mengimanai Adanya Surga dan Neraka
Hal lain yang harus diimani seorang muslim adalah tentang surga dan neraka. Keduanya merupakan
tempat kembali yang abadi bagi makhluk. Surga adalah kampung kenikmatan yang dipersiapkan oleh
Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan neraka adalah hunian yang penuh dengan
adzab yang dipersiapkan oleh Allah Ta’ala untuk orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman :
َ َّ‫} َوإِنَّ ْالفُج‬13{ ‫ِيم‬
ٍ ‫ار َلفِي َجح‬
}14{ ‫ِيم‬ َ ‫إِنَّ ْاألَب َْر‬
ٍ ‫ار َلفِي َنع‬
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh
keni’matan. dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Al
Infithaar:13-14)
Berkaitan dengan surga dan neraka, ada beberapa hal penting yang merupakan keyakinan ahlus
sunnah yang membedakannya dengan ahlul bid’ah :
Pertama: Surga dan Neraka Benar Adanya
Keberadaan surga dan nereka adalah haq (benar adanya). Tidak ada keraguan di dalamnya. Neraka
disediakan bagi musuh-musuh Allah, sedangkan surga dijanjikan bagi wali-wali Allah. Penyebutan
tentang surga dan neraka dalam Al Quran dan As Sunnah sangatlah banyak. Terkadang disebutkan
tentang kondisi penduduk surga dan neraka. Terkadang disebutkan tentang janji kenikmatan surga
dan adzab di neraka. Terkadang disebutkan dorongan agar bersemangat meraih surga dan ancaman
dari neraka. Demikian pula As Sunnah banyak menyebutkan tentang surga dan neraka. Itu semua
menunjukkan bahwa keberadaan surga dan neraka adalah benar adanya. [7]
Kedua: Surga dan Neraka Sekarang Sudah Ada
Ahlus sunnah telah sepakat bahwa keduanya merupakan makhluk Allah yang telah ada sekarang.
Hal ini bertentangan dengan keyakinan mu’tazilahdan qodariyah yang lebih mengedepankan akal
mereka. Adapun dalilnya adalah firman Allah,

}133 { ‫ِين‬ ْ ‫ات َو ْاألَرْ ضُ أُعِ َّد‬


َ ‫ت ل ِْل ُم َّتق‬ ُ ْ‫ارعُوا إِ َلى َم ْغف َِر ٍة مِّن رَّ ِّب ُك ْم َو َج َّن ٍة َعر‬
ُ ‫ض َها ال َّس َم َاو‬ ِ ‫َو َس‬
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang telah   disediakan  untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran:133)
Tentang neraka Allah berfirman,

}131{ ‫ين‬ ْ ‫ار الَّتِي أُعِ َّد‬


َ ‫ت ل ِْل َكاف ِِر‬ َ ‫َوا َّتقُوا ال َّن‬
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir” (QS.
Ali Imran:131)
Diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Sidratul Muntaha,
kemudian melihat dan masuk ke dalam surga. Hal ini terjadi ketika beliau Isra’ Mi’raj.[8]
Ketiga: Penciptaan Surga  dan Neraka Sebelum Penciptaan Makhluk
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ُ ‫ُك ْال َج َّن َة َف ُكالَ ِمنْ َحي‬


‫ْث شِ ْئ ُت َما َوالَ َت ْق َر َبا َه ِذ ِه ال َّش َج َر َة َف َت ُكو َنا م َِن‬ َ َ‫َو َيا َئادَ ُم اسْ ُكنْ أ‬
َ ‫نت َو َز ْوج‬

}19{ ‫ِين‬ َّ
َ ‫الظالِم‬
“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah
olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.”” (QS. Al A’raf:
19)
Surga ada setelah ditiupkannya ruh pada diri Adam. Hal ini menunjukkan surga sudah ada sebelum
penciptaan Adam. [9].
Keempat: Surga dan Neraka  Sudah Ditentukan Siapakah Yang Akan Menjadi Penghuninya

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ْ
‫نس‬ِ ‫َو َل َق ْد َذ َرأ َنا ل َِج َه َّن َم َك ِثيرً ا م َِن ْال ِجنِّ َو ْا‬
ِ ‫إل‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia …
”(QS. Al A’raf: 179)
Dari ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

‫إن هللا خلق للجنة أهال خلقهم لها وهم في أصالب آبائهم وخلق للنار أهال خلقهم لها وهم‬

‫في أصالب آبائهم‬


“… Sesungguhnya Allah telah menciptakan para penghuni untuk jannah. Allah telah menentukan
mereka sebagai penghuninya, sedangkan mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka.
Allah juga telah menciptakan para penghuni bagi neraka. Allah telah menentukan mereka sebagai
penghuninya, padahal mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka” [10].[11]
Kelima: Surga dan Neraka Kekal Abadi
Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ات َو ْاألَرْ ضُ إِالَّ َما َشآ َء َرب‬


‫ُّك‬ ُ ‫ت ال َّس َم َاو‬
ِ ‫ِين فِي َها َمادَ ا َم‬ َ ‫َوأَمَّا الَّذ‬
َ ‫ِين ُس ِع ُدوا َففِي ْال َج َّن ِة َخالِد‬

}108{ ‫َع َطآ ًء َغي َْر َمجْ ُذو ٍذ‬


“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga,  mereka kekal di
dalamnya  selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (Huud:108)
Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ أبدا وإن لكم‬g‫ فال تموتوا‬g‫ينادي مناد إن لكم أن تصحوا فال تسقموا أبدا وإن لكم أن تحيوا‬

g‫أن تشبوا فال تهرموا أبدا وإن لكم أن تنعموا فال تبأسوا أبدا فذلك قوله عز وجل { ونودوا‬

} ‫أن تلكم الجنة أورثتموها بما كنتم تعملون‬


“Datanglah suara berkumandang :Wahai ahli surga, sesungguhnya kamu sekalian akan sehat dan
tak pernah sakit. Kamu sekalian akan menjadi muda belia dan tak pernah tua lagi. Dan kalian pun
akan  hidup dan tak akan pernah mati.”[12].
Keyakinan tentang surga dan neraka di atas, terangkum dalam perkataan yang disampaikan oleh
Imam Abu Ja’far At Thahawy rahimahullah dalam kitab beliau al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, beliau
menjelaskan,
َ ‫الج َّن َة َوال َّن‬
‫ار َق ْب َل‬ َ ‫هللا َت َعا َلى َخ َل َق‬ ِ َ‫ان أَ َب ًدا َوال َت ِبيْد‬
َ َّ‫ َفإِن‬،‫ان‬ ِ ‫ة َوال َّنا ُر َم ْخل ُ ْو َق َت‬gُ ‫الج َّن‬
ِ ‫ الَ َت ْف َن َي‬،‫ان‬ َ ‫َو‬

،ً‫ َو َخ َل َق َل ُه َما أَهْ ال‬،‫الخ ْل ِق‬


َ
“Surga dan neraka merupakan  dua makhluk yang  tidak akan punah dan binasa. Sesungguhnya
Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lainnya dan Allah juga
telah  menentukan siapakah penghuninya…”[13].
Mengimanai Fitnah, Adzab, dan Nikmat Kubur
Dalil perkara ini sangat gamblang dan jelas. Allah Ta’ala menerangkannya di banyak tempat dalam Al
Quran. Demikian pula penjabaran dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini
sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir. Allah Ta’ala berfirman,

‫ِيه ْم أَ ْخ ِرجُوا أَنفُ َس ُك ُم ْال َي ْو َم‬


ِ ‫طوا أَ ْيد‬
ُ ِ‫ت َو ْال َمالَ ِئ َك ُة بَاس‬
ِ ‫ت ْال َم ْو‬
ِ ‫ُون فِي َغ َم َرا‬ َّ ‫َو َل ْو َت َرى إِ ِذ‬
َ ‫الظالِم‬

َ ‫هللا َغي َْر ْال َح ِّق َو ُكن ُت ْم َعنْ َءا َيا ِت ِه َتسْ َت ْك ِبر‬
{ ‫ُون‬ ِ ‫ون َع َلى‬ ِ ‫اب ْاله‬
َ ُ ‫ُون ِب َما ُكن ُت ْم َتقُول‬ َ ‫ُتجْ َز ْو َن َع َذ‬

}93
“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam
tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
“Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena
kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu
menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am: 93). [14]
Adapun dalil tentang adanya siksa kubur adalah tentang kisah pertanyaan malaikat di alam kubur
kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu meneguhkan orang-orang
yang beriman dengan kata-kata yang mantap, sehingga dengan kemantapannya ia menjawab,
”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Nabi Muhammad”. Sebaliknya Allah
menyesatkan orang-orang yang dzalim. Orang yang kafir hanya bisa menjawab, ”Hah…hah!Aku tidak
tahu” sementara itu orang munafik atau orang yang ragu menjawab :”  Aku tidak tahu. Aku dengar
orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku ikut pula mengaatkannya”[15].
Faedah Iman yang Benar
Keimanan yang benar akan memberikan faedah yang bermanfaat. Demikian pula keimanan yang
benar terhadap hari akhir akan memberikan manfaat yang besar, di antaranya :
1. Merasa senang dan bersemangat dalam melakukan kataatan dengan mengharapkan
pahalanya kelak di ahri akhir.
2. Merasa takut ketika melakukan kemaksiatan dan tidak suka kembali pada maksiat karena
khawatir mendapat siksa di hari akhir.
3. Hiburan bagi orang-orang yang beriman terhadap apa yang tidak mereka dapatkan di dunia
dengan mengharapkan kenikmatan dan pahala di akhirat. [16].
Demikian penjelasan singkat tentang pokok-pokok keimanan kepada hari akhir. Terdapat banyak
perincian yang harus kita imani dari hal-hal yang pokok tersebut. Insya Allah akan dijelaskan lebih
rinci dalam kesempatan lain. Semoga Allah meneguhkan iman kita hingga ajal menjemput
kita.Wallahul muwafiq.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal

Memahami Takdir Ilahi


Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib
diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan:
1. Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya
seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah
sebelum dia melakukannya.
2. Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
3. Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena
kehendak-Nya.
4. Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-
satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allahmengetahui apa saja  yang ada di langit dan di
bumi?; bahwasanya yang demikian itu  terdapat dalam sebuah kitab  (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya
yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga
di atas adalah firman Allah (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk
tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Allah menciptakan kamu dan apa
saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’ (dan apa saja
yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Macam-Macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam:
[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah
mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah
adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata,
“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang
terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari:
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang
sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1) rizki, (2) ajal, (3)
amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam
setahun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis
pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.”
(Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang
mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah
mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Salah Dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan
dalam menetapkannya.
Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok
pertama adalah yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan
mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah
memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan berbuat maksiat.
Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti
ini sudah musnah dan tidak ada lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan
hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri
sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga
hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka
mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini
dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam
banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya), “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 28-29). Ayat ini secara tegas
membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada
ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan
mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan
untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh
dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat
tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan
terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang
baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap
yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.
As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus
Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan
perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki.
Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At
Takwir [81]: 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan
bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang
dipilih oleh Ahlus Sunnah.”
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa
seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali.
Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota.
Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia
mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah
suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga
memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah
mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus
asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu.
Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah
kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi
katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa
yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
Buah Beriman Kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak
pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir
Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman
kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus
mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput
darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan
masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala
musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada
takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi
musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang
merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami
kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat
mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang
Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
Sumber Rujukan Utama: 
[1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan
[2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
***
Akhlak
Lalai untuk Belajar Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut generasi muda untuk bisa melek akan
hal itu. Sehingga orang tua pun berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar
komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English. Namun sayangnya karena porsi yang berlebih
terhadap ilmu dunia sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari, kegiatan
belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari generasi muda saat ini yang tidak bisa baca
Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu.
Merenungkan Ayat
Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,
َ‫َيعْ لَمُونَ َظاهِرً ا مِنَ ْالحَ يَا ِة ال ُّد ْنيَا َو ُه ْم عَ ِن اآْل َخِرَ ِة ُه ْم غَ افِلُون‬
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan
mengenai maksud ayat di atas. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka
benar-benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-
benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas
pada dunia saja. Namun mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya
mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada.
Mereka tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan tidak tahu
kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak
mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja
dari kehidupan dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui
perdagangan, pertanian,  pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka
terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat di atas, “Mereka mengetahui
kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari
pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka
sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian
ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.”
(Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat tersebut, “Kebanyakan manusia tidak
mengetahui hal-hal yang akan membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak mengetahui
aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna
dan tidak akan mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut. Kebanyakan manusia
mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok tanam, industri dan
perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap dunia yang batin atau tidak
tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula mereka benar-benar lalai dari kehidupan
akhirat. Mereka tidak membahas apa saja yang dapat membahagiakan dan mencelakakan mereka
kelak di akhirat. Kita berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan
negeri yang kekal abadi di mana di sana ditentukan siapakah yang bahagia dan akan sengsara.”
(Aysarut Tafasir, 4/125)
Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai kondisi orang kafir. Namun
keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu
dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di
sekitar kita, orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai membaca Iqro’ dan Al
Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu diberi porsi lebih pada
ilmu dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang menyedihkan.
Bahaya Jahil akan Ilmu Agama
Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya, maka tentu saja akan membawa
bahaya bagi pasiennya. Begitu pula jika seseorang jahil atau tidak paham akan ilmu agama, tentu itu
akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain yang mencontoh dirinya.
Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan dengan mengetahui ilmunya terlebih
dahulu. Ingin melaksanakan shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin terjun
dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk hukum dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang
benar harus dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫َفاعْ لَ ْم أَ َّن ُه اَل إِلَ َه إِاَّل هَّللا ُ َواسْ َت ْغفِرْ ل َِذ ْن ِبك‬
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan
‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk
berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu
hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini
sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyahketika menjelaskan biografi Sufyan dari
jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau
mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah  mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih
dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap
ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan
ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat
dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat-buat ibadah tanpa tuntunan atau
amalannya jadi tidak sah. Jika seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata cara
ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu pula mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat
Kliwon dianjurkan baca surat Yasin, padahal nyatanya tidak ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka. Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau
mempelajari fiqih berdagang terlebih dahulu. Ia pun mengutangkan kepada pembeli lalu utangan
tersebut diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan dirinya dan malas belajar agama, ia
tidak tahu kalau telah terjerumus dalam transaksi riba. Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum 
beramal. Mu’adz bin Jabal berkata,
‫الع ِْل ُم إِمَا ُم العَ م َِل َوالعَ َم ُل َت ِاب ُع ُه‬
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil
Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar,  hal. 15)
Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمنْ عَ ِم َل عَ َمالً َل ْيسَ عَ لَ ْي ِه َأمْ ُر َنا َفه َُو رَ ٌّد‬
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718)
Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz berkata,
‫َمنْ عَ بَدَ هللاَ ِبغَ ي ِْر عِ ْل ٍم َكانَ مَا ُي ْفسِ ُد أَ ْك َثرَ ِممَّا يُصْ لِ ُح‬
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan
daripada mendatangkan kebaikan.”  (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15)
Beri Porsi yang Adil
Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu kondisi mempelajari ilmu dunia bisa
menjadi wajib jika memang belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu tersebut. Misalnya di
suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent sehingga masyarakat bisa mudah berobat. Maka
masih ada kewajiban bagi sebagian orang di desa tersebut untuk mempelajari ilmu kedokteran
sehingga terpenuhilah kebutuhan masyarakat.
Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua hanya memperhatikan sisi dunia
saja apalagi jika melihat anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua lebih senang
menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3, menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan,
namun sisi agama anaknya tidak ortu perhatikan. Mereka lebih pakar menghitung, namun
bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan mereka jalani sehari-hari, mereka tidak paham.
Untuk mengerti bahwa menggantungkan jimat dalam rangka melariskan dagangan atau
menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu syirik. Inilah yang sangat
disayangkan. Ada porsi wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak mengetahuinya, ia
bisa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib
yang harus dipelajari setiap muslim. Walaupun anak itu menjadi seorang dokter atau seorang
insinyur, ia harus paham bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu, tata cara
shalat yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mesti setiap anak kelak menjadi
ustadz. Jika memang anak itu cerdas dan tertarik mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat baik 
baik sekali jika ortu mengerahkan si anak ke sana. Karena mempelajari Islam juga butuh orang-orang
yang ber-IQ tinggi dan cerdas sebagaimana keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy Syafi’i sehingga
tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk umat. Namun jika memang si anak cenderung pada ilmu
dunia, jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia pelajari.
Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah dokter,
engineer, pakar IT dan lainnya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫َمنْ ي ُِر ِد هَّللا ُ ِب ِه َخيْرً ا ُي َف ِّق ْه ُه فِى الد‬
‫ِّين‬
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan
dia tentang agama.”  (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta, namun ilmu diin. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍّ َ‫إِنَّ األَ ْن ِبيَا َء لَ ْم ي َُورِّ ُثوا دِي َنارً ا َوالَ دِرْ َهمًا إِ َّنمَا َورَّ ُثوا ْالع ِْل َم َف َمنْ أَ َخ َذ ِب ِه أَ َخ َذ ِبح‬
‫ظ َواف ٍِر‬
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR
Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682, Shahih)
Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada
anak-anak kita, jangan lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal amalan
keseharian  mereka. Wallahu waiyyut taufiq. (*)
Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar
Islam

Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh
sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,  “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena
mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling
mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada
orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya
adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).”
Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada
setelah berbagai hal yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.”
Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk
mendengar para ulama menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar.
Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka
tidak pernah putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja. Ada yang sudah berusia
26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai
belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul
himmah(semangat yang kuat dalam belajar).
Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat
dalam mempelajari Islam.
Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam baru ketika usia senja”.
Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok
Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan
engkau menuntut ilmu?” “Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.
Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’
Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu
terbaik untuk belajar bagi seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.
Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil
Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai
hilang lisanku untuk berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih
saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada
yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar ketika
aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 30 tahun”.
Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika
usianya 80 tahun. Dan selama 40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.
Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi
Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia
berusia 80 tahun.”
Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal
Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.
Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm
Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal
dia mulai menimba ilmu diin (agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari
saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak
mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil berisyarat, “Ayo
berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-
orang yang bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu
Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.
Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit.
Setelah itu ia kembali memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian
ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).
Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas
menanyakan di mana guru tempat ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin
Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas.
* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah
sunnah. Sedangkan menurut ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.
** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk
shalat seperti selepas shalat Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun
di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah shalat yang ada sebab.
Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al
‘Izz sangat miskin ilmu dan beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.
Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah
Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala
itu, namun panca indera yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu
dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.
Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya
kita lebih semangat lagi untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun
muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah yang penulis sendiri saksikan di tengah-
tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk dengan ulama-
ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf
terdepan.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
‫َمنْ اَل ُيحِبُّ ْالع ِْل َم اَل َخ ْيرَ فِي ِه‬
“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”
Ya Allah berkahilah umur kami dalam ilmu, amal dan dakwah. Wabillahit taufiq.
 
Referensi:
 ‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi,
hal. 202-206.
 Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib
Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.
Kemuliaan Ilmu dan Ulama

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli
ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas seluruh bintang-gemintang. Sesungguhnya
para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan uang dinar ataupun
dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia
memperoleh jatah warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 22)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Zur bin Hubaisy. Dia berkata: Shofwan bin ‘Asal
al-Muradi mengabarkan kepada kami. Dia berkata: Aku pernah datang menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk
menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya
penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka.
Kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia, karena kecintaan
mereka terhadap apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata: Aku mendengar Zaid bin Aslam
-gurunya- menafsirkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan orang-
orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh
Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-Bari [1/172])
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid mengenai makna firman Allah (yang
artinya), “Allah berikan hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan,  “Yaitu
ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 19)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid tentang maksud firman Allah ‘azza wa
jalla (yang artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan
ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud
Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para ulama di tengah-tengah umat manusia
bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama,
hal. 29)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu
Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang yang
mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan di dalam lautan
sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)
Petaka Lenyapnya Ilmu
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebagian di
antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak,
dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671])
Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan didahului dengan hancurnya pilar-pilar
penegak kemaslahatan hidup manusia yang menopang urusan dunia dan akherat mereka. Di antara
pilar tersebut adalah; agama, akal, dan garis keturunan/nasab. Rusaknya agama akibat hilangnya
ilmu. Rusaknya akal akibat khamr. Adapun rusaknya nasab adalah karena praktek perzinaan yang
merajalela di mana-mana (lihat Fath al-Bari[1/218])
Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada
manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang
mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).
Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-
Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari
dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-
sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin
dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan
menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani dari jalan Abu Umamah radhiyallahu’anhudisebutkan bahwa
ketika Hajjatul Wada’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ambillah ilmu sebelum sebelum ia
dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang Badui yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”. Maka
beliau menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya (meninggalnya) orang-orang
yang mengembannya.” (lihat Fath al-Bari [1/237-238])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan,
bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa
bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya
kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata
sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada
keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun
yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya
laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa
menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah
yang tandus sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya.
Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman.
Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan
tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian
ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan
mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau
menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama.
Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula
ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan
bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka
demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa
Fadhluhu, hal. 227). Wallahu a’lam.

Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah


sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
‫َطلَبُ ْالع ِْل ِم َف ِريضَ ٌة عَ لَى ُك ِّل مُسْ ل ٍِم‬
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari
Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan
disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat
berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah
agama tanpa ilmu:
1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
ِ ‫هلل مَا لَ ْم ُي َن ِّز ْل ِب ِه س ُْل َطا ًنا َوأَنْ َتقُولُوا عَ لَى‬
َ‫هللا مَا ال‬ ِ ‫َطنَ َو ْاإلِ ْث َم َو ْالب َْغىَ ِبغَ ي ِْر ْالحَ ِّق َوأَن ُت ْش ِر ُكوا ِبا‬
َ ‫قُ ْل إِ َّنمَا حَ رَّ َم رَ بِّيَ ْال َف َواحِشَ مَا َظهَرَ ِم ْنهَا َومَا ب‬
َ‫َتعْ َلمُون‬
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui
(berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu
termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi
daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang
diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya,
syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal
ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki
kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh
Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
َ‫هللا ْال َكذِبَ الَ ُي ْفلِحُون‬ ِ ‫َوالَ َت ُقولُوا لِمَا َتصِ فُ أَ ْلسِ َن ُت ُك ُم ْال َكذِبَ ه ََذا حَ الَ ٌل َوه ََذا حَ رَ ا ٌم لِّ َت ْف َترُوا عَ لَى‬
ِ ‫هللا ْال َكذِبَ إِنَّ الَّذِينَ َي ْف َترُونَ عَ لَى‬
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini
halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)
3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
‫ْر‬gِ ‫ْق عَ الِمًا ا َّت َخ َذ ال َّناسُ ُرءُوسً ا ُجهَّاالً َف ُسئِلُوا َفأ َ ْف َت ْوا ِبغَ ي‬ ِ ‫إِنَّ هَّللا َ اَل َي ْق ِبضُ ْالع ِْل َم ا ْنت َِزاعً ا َي ْن َت ِز ُع ُه مِنَ ْال ِعبَا ِد َولَكِنْ َي ْق ِبضُ ْالع ِْل َم ِب َقب‬
ِ ‫ْض ْال ُعلَمَا ِء حَ َّتى إِ َذا لَ ْم ُيب‬
‫عِ ْل ٍم َفضَ لُّوا َوأَضَ لُّوا‬
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan
mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang
‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu
ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan
orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga
mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah
haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia
sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr,
diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka
sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
ِ ‫َو َمنْ أَضَ ُّل ِمم‬
ِ َ‫َّن ا َّتبَعَ ه ََواهُ ِبغَ ي ِْر ه ًُدى مِّن‬
‫هللا‬
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak
mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun  (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh
Ath-Thahawiyah, hal: 393)
5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
ِ ِ‫يَاأَ ُّيهَا الَّذِينَ ءَا َم ُنوا الَ ُت َق ِّدمُوا َب ْينَ يَدَ ي‬
ُ‫هللا َورَ سُولِ ِه َوا َّتقُوا هللاَ إِنَّ هللاَ سَ مِي ٌع عَ لِي ُم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh
dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah
memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap
Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya.
Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh
perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka
berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir
Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang
dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan,
oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah
sholallohu ‘alaihi wassallam:
‫إل ْث ِم م ِْث ُل آ َث ِام َمنْ َت ِبعَ ُه‬ ُ ُ ْ َ
ِ ‫ُور َمنْ َت ِبعَ ُه الَ َي ْنقُصُ َذلِكَ مِنْ أج‬
ِ ‫ُور ِه ْم َش ْي ًئا َو َمنْ دَ عَا إِلَى ضَ الَلَ ٍة َكانَ عَ لَ ْي ِه مِنَ ْا‬ ِ ‫َمنْ دَعَ ا إِلَى ه ًُدى َكانَ لَ ُه مِنَ ْاألجْ ِر مِث ُل أج‬
‫الَ َي ْنقُصُ َذلِكَ مِنْ آ َثام ِِه ْم َش ْي ًئا‬
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala
orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu
Hurairah)
7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
ً‫َوالَ َت ْقفُ مَا َل ْيسَ َلكَ ِب ِه عِ ْل ٌم إِنَّ السَّمْ عَ َو ْالبَصَ رَ َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل أ ُ ْوالَئِكَ َكانَ عَ ْن ُه َمسْ ُئوال‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:
“Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa
ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir
Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang
Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-
nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di
bawah ini:
gَ ‫نز َل هللا ُ َفأ ُ ْوالَئ‬
َ‫ِك ُه ُم ْال َكافِرُون‬ َ َ‫َومَن لَّ ْم َيحْ ُكم ِبمَآ أ‬
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang
masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara
yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
ِ ‫إِ َّنمَا يَأْ ُم ُر ُكم ِبالسُّو ِء َو ْال َفحْ َشآ ِء َوأَن َتقُولُوا عَ لَى‬
َ‫هللا مَا الَ َتعْ لَمُون‬
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada
Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama
hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu.
Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Tahapan Dalam Menuntut Ilmu

Fadhilatus Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah ditanya pertanyaan berikut:


“Bagaimana metode yang benar dalam belajar agama secara bertahap? Dan bagaimana metode
yang benar dalam belajar ilmu aqidah, tafsir, fiqih dan hadits. Dari mana kita memulainya?”
Beliau lalu menjawab:
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya sedang mencari metode yang benar untuk
mendapatkan ilmu agama. Namun yang benar, pertama-tama, seorang penuntut ilmu hendaknya
mencari dulu guru yang menguasai ilmu syar’i yang berjalan di atas manhaj salafus shalih. Karena
memilih guru dan memilih kitab yang tepat adalah metode yang benar untuk menuntut ilmu syar’i.
Memilih mata pelajaran dalam ilmu syar’i baik aqidah, tafsir, hadits, fiqih, ilmu bahasa, sirah,
semuanya ini tidak diragukan lagi butuh tahapan dan butuh pula kebijaksanaan dalam berpindah dari
satu tahapan ke tahapan yang lain atau dari satu kitab ke kitab yang lain.
Ketika belajar aqidah dan ingin melalui tahapan yang benar, maka seorang penuntut ilmu hendaknya
memulai dengan belajar kitab Al Ushul Ats Tsalatsah milik Imam Mujaddid Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab (wafat 1206 H) rahimahullah. Dalam kitab ini terdapat ilmu yang melimpah dalam
permasalahan aqidah yang tidak akan membuat penuntut ilmu menyimpang dari manhaj salafus
shalih dalam memahami agama.
Setelah itu lanjutkan mempelajari Al Qawaid Al Arba’, Kasyfus Syubhat dan Risalah Ushulil Iman.
Tulisan-tulisan ini merupakan panduan dalam bidang aqidah dan merupakan pelajaran pokok dalam
mempelajari ilmu-ilmu syariah yang lain. Ketika seseorang telah mempelajari kitab-kitab ini, ia akan
memiliki akidah yang benar dan berjalan di atas manhaj salafiy, serta mendapatkan pencerahan
darinya. Kemudian setelah mempelajari kitab-kitab ini, hendaknya berpindah ke tahapan yang lebih
tinggi semisal Kitab At Tauhid, lalu setelah menyelesaikan kitab ini berpindah lagi ke kitab Al
Aqidah Al Washithiyyah milik Imam Mujaddin Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat
728H) rahimahullah. Lalu melanjutkan ke kitab Al Hamawiyyahdan At Tadmuriyyah lalu Al Aqidah
Ath Thahawiyyah.
Setelah itu, dapat melanjutkan membaca kitab-kitab Sunan yang berkaitan dengan pembahasan
sunnah dan tahdzir terhadap bid’ah. Yang terkenal diantaranya Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah milik Al
Laalikaa-i (wafat 418H), Kitab As Sunnah milik Al Khallal (wafat 311H), Kitab As Sunnah milik
Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat 290H), Al Ibanah milik Ibnu Bathah Al’Akbari (wafat 387H),
dan Kitab At Tauhid milik Ibnu Khuzaimah (wafat 311H) dan kitab-kitab lain yang termasuk dalam
bidang ini.
Adapun yang berkaitan dengan ilmu tafsir, yang aku pilih untuk para penuntut ilmu adalah kitab Tafsir
Ibni Katsir (774H) rahimahullah, dan Kitab Tafsir As Sa’di (1376H) rahimahullah. Lebih khusus lagi,
aku menyarankan Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik Muhammad Nasib Ar Rafi’i karena
-sepengetahuan kami- beliau telah meringkas Tafsir Ibni Katsir hingga sejalan dengan manhaj salaf.
Jika mampu menyelesaikan kitab-kitab tadi, maka pelajarilah Tafsir Al Baghawi (516H) juga kitab-
kitab tafsir selain yang disebutkan yang bila seorang penuntut ilmu membacanya lalu menelaahnya ia
bisa menyadari jika menemukan ta’wil-ta’wil yang tercela, semisal kitab Tafsir Al Qurthubi (wafat
671H). Dan dapat juga mempelajari kitab tafsir lainnya seperti Tafsir Ibnul Jauzi (wafat 597H),
dan Tafsir Asy Syaukani (wafat 1250H).
Namun dengan catatan, dalam sebagian kitab-kitab tafsir yang bagus dan mengandung limpahan
ilmu tersebut, penulisnya -rahimahullah ‘alaihim- terkadang men-ta’wil ayat-ayat tentang sifat Allah.
Tapi sedikit sekali ta’wil yang disepakati oleh mereka yang men-ta’wil nash Qur’an dan Sunnah
dengan ta’wilan yang tercela. Penyebab terjadinya hal tersebut, -sepengatahuan kami- ada tiga:
1. Pengaruh lingkungan tempat sang mufassir hidup
2. Pengaruh guru tempat sang mufassir menuntut ilmu
3. Pengaruh telaah kitab-kitab. Sebagian mufassir menelaah kitab-kitab yang memuat berbagai
pemikiran manusia, lalu ia terpengaruh
Sedangkan dalam ilmu hadits, seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari Al Arba’in An
Nawawiyah untuk dihafal dan dipahami, juga membaca penjelasan yang terkandung di dalamnya.
Lalu hendaknya secara bertahap mempelajari Umdatul Ahkam kemudian Bulughul Maram, juga
dengansyarah-nya. Kemudian, setelah itu barulah ia mampu untuk mempelajari Shahihain (Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim) dan Kutubus Sittah. Akal dan keilmuan manusia itu senantiasa
berkembang sejalan dengan kelurusan niatnya serta keberlanjutannya dalam menuntut ilmu tanpa
terputus.
Begitu juga dalam ilmu fiqih. Andai seorang penuntut ilmu sekedar membaca hadits-hadits saja ia
akan mendapat banyak pemahaman dari apa yang ia baca. Namun hendaknya mereka juga
mempelajari kitab-kitab fiqih seperti Umdatul Fiqhi yang merinci permasalahan-
permasalahan furu’ atau juga kitab Zaadul Mustaqni. Allah telah memuliakan umat ini dengan
adanya banyak kitab syarah dari Zaadul Mustaqni, baik dari ulama terdahulu maupun ulama di masa
ini. Di antara syarah yang mudah dipelajari adalah yang ditulis oleh ulama masa ini, Syaikh Al
Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dalam kitab As Syarh Al Mumthi’. Kitab ini memang
benar-benar memuaskan (mumthi’) karena di dalamnya terdapat bahasan-bahasan yang bermanfaat
dan penjelasan-penjelasan yang langka. Semoga Allah memberikan ganjaran kepada beliau,
menjadikan manfaat yang besar dari ilmu beliau, dan menambah keutamaan beliau.
Sedangkan dalam Sirah Nabawiyyah, mulailah dengan mempelajari Mukhtashar Sirah
Nabawiyyah karya Imam Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Kemudian setelah itu
mempelajari Sirah Nabawiyyah miliki Ibnu Hisyam (wafat 183H). Dan di zaman ini, walhamdulillah,
kitab-kitab sirah sudah banyak yang diringkas.
Namun juga, semua ilmu ini dalam mempelajarinya membutuhkan ilmu-ilmu alat seperti ilmu ushul
fiqih, qawa’id, musthalah, serta butuh perhatian terhadap ilmu bahasa arab dan qawaidul fiqhiyyah.
Sehingga barulah seseorang memiliki kemampuan untuk mengambil ilmu dari dalil-dalil Qur’an dan
Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Semua ini, tidak cukup hanya dengan membaca kitab secara otodidak, bahkan jika perlu seseorang
menempuh perjalanan untuk mencari guru ke daerah lain jika memang di daerahnya tidak ada,
sebagaimana yang dilakukan para salafus shalih dalam menuntut ilmu. Ini jika memang mampu untuk
menempuh perjalanan tersebut. Jika tidak mampu menempuh perjalanan tersebut, maka bacalah
kitab-kitab lalu kumpulkan hal-hal yang membingungkanmu, kemudian tempuhlah sekedar perjalanan
pendek (untuk menanyakanya kepada ulama, pent). Apalagi di zaman ini berhubungan dengan ulama
melalui telepon telah mencukupi kebutuhan tersebut tanpa harus bersusah payah. Walhamdulillah.
Wallahu’alam.
Sumber: http://www.ajurry.com/taseel.htm
Catatan:
Urutan dan jenis kitab dalam menuntut ilmu sebagaimana yang disebutkan di atas bukanlah suatu
yang saklek harus demikian. Setiap orang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda-beda
sehingga sangat mungkin berbeda pula tahapan belajarnya. Dan akan sangat mungkin berbeda
jawabannya jika ditanyakan kepada ulama yang lain. Namun yang pasti, seorang penuntut ilmu
hendaknya belajar kepada seorang guru yang mapan ilmunya, sehingga sang guru dapat
mengarahkan tahapan belajar yang cocok baginya.

Penyusun: Yulian Purnama
Pengaruh Teman Bergaul

Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab-adab serta
batasan-batasan dalam pergaulan. Pergaulan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Dampak
buruk akan menimpa seseorang akibat bergaul dengan teman-teman yang jelek, sebaliknya manfaat
yang besar akan didapatkan dengan bergaul dengan orang-orang yang baik.
Pengaruh Teman Bagi Seseorang
Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan kesesatan karena pengaruh teman
bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan
disebabkan bergaul dengan teman-teman yang shalih.
Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak
seorang teman dalam sabda beliau :
‫ َو َنافِ ُخ‬، ‫ َوإِمَّا أَنْ َت ِجدَ ِم ْن ُه ِريحً ا َط ِّيب ًَة‬، ‫ َوإِمَّا أَنْ َت ْب َتاعَ ِم ْن ُه‬، َ‫ َفحَ ا ِم ُل ْالمِسْ كِ إِمَّا أَنْ يُحْ ِذيَك‬، ‫ِير‬
ِ ‫ِيس الصَّال ِِح َوالس َّْو ِء َكحَ ام ِِل ْالمِسْ كِ َو َناف ِِخ ْالك‬
ِ ‫َم َث ُل ْالجَ ل‬
‫ َوإِمَّا َأنْ َت ِجدَ ِريحً ا َخ ِبي َثة‬، َ‫ِير إِمَّا أَنْ يُحْ ِرقَ ِثيَابَك‬ ِ ‫ْالك‬
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan
seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau
bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum
darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun
tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Perintah Untuk Mencari Teman yang Baik dan Menjauhi Teman yang Jelek
Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam Bab : Anjuran Untuk Berteman
dengan Orang Shalih dan Menjauhi Teman yang Buruk”. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan
bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman yang shalih dengan seorang penjual minyak wangi
dan teman yang jelek dengan seorang pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul
dengan teman shalih dan orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab.
Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang
yang mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 4/227)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan : “Hadits di ini menunjukkan larangan berteman
dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong
seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan
dunia.”( Fathul Bari 4/324)
Manfaat Berteman dengan Orang yang Baik
Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua
kemungkinan yang kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh
kebaikan dari yang dilakukan teman kita.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua contoh (yakni penjual minyak wangi dan
seorang pandai besi). Bergaul bersama dengan teman yang shalih akan mendatangkan banyak
kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memeberikan manfaat dengan bau harum minyak
wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk
bersanding dengannya , engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut.
Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan orang yang shalih lebih
banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu
hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga
akan mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa memotivasi dirimu
untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua orangtua, menyambung silaturahmi, dan bersabar
dengan kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan,
perbuatan, maupun bersikap. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman
dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan
maupun dalam kondisi sebaliknya.
Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang penting jika
berteman dengan orang yang shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatn buruk
dan maksiat. Teman yang shalih akan senantiasa menjaga dari maksiat, dan mengajak berlomba-
lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu baik
ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya
kepadamu, baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu
menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan kecintaanya kepadamu.
(Bahjatu Quluubil Abrar,  148)
Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk.
Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita. Syaikh
As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk memberikan
dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang
berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul
bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan
mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik
mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar
bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik.
Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk.
(Bahjatu Qulubil Abrar, 185)
Kebaikan Seseorang Bisa Dilihat Dari Temannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadapa baik dan
buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
‫المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل‬
“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang
menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
Jangan Sampai Menyesal di Akhirat
Memilih teman yang jelek akan menyebakan rusak agama seseorang. Jangan sampai kita menyesal
pada hari kiamat nanti karena pengaruh teman yang jelek sehingga tergelincir dari jalan kebenaran
dan terjerumus dalam kemaksiatan. Renungkanlah firman Allah berikut :
َ‫الذ ْك ِر َبعْ دَ إِ ْذ جَ اءنِي َو َكان‬
ِّ ‫سَبيالً يَا َو ْيلَ َتى لَ ْي َتنِي َل ْم أَ َّتخ ِْذ ُفاَل نا ً َخلِيالً لَ َق ْد أَضَ لَّنِي عَ ِن‬
ِ ‫ُول‬ ُ ‫الظالِ ُم عَ لَى يَدَ ْي ِه َيقُو ُل يَا لَ ْي َتنِي ا َّت َخ ْذ‬
ِ ‫ت مَعَ الرَّ س‬ َّ ُّ‫َوي َْو َم يَعَ ض‬
ً‫ان َخ ُذوال‬ِ َ‫ْطانُ لِإْل ِ نس‬
َ ‫ال َّشي‬
“ Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata : “Aduhai kiranya
aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak
mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an
sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia” (Al Furqan:27-
29)
Lihatlah bagiamana Allah menggambarkan seseorang yang teah menjadikan orang-orang yang jelek
sebagai teman-temannya di dunia sehingga di akhirat menyebabkan penyesalan yang sudah tidak
berguna lagi.
Sifat Teman yang Baik
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata :
‫ وال حريص على الدنيا‬g‫ أن يكون عاقالً حسن الخلق غير فاسق وال مبتدع‬: ‫ فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خصال‬،‫وفى جملة‬
“ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut :
orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang
yang rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).
Kemudian beliau menjelaskan : “Akal merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan
orang yang bodoh. Karena orang yang bodoh, dia ingin menolongmu tapi justru dia malah
mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang memamahai
segala sesuatu sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia menjelaskan kepada
orang ain. Teman yang baik juga harus memiliki akhlak yang mulia. Karena betapa banyak orang
yang berakal dikuasai oleh rasa marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan
berteman dengannya. Sedangkan orang yang fasik, dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Orang
yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan engkau tidak aman dari
tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu
dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)
Hendaknya Orang Tua Memantau Pergaulan Anaknya
Kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya. Termasuk dalam hal ini memantau
pergaulan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang sudah mendapat pendidikan yang bagus dari
orang tuanya, namun dirusak oleh pergaulan yang buruk dari teman-temannya. Hendaknya orangtua
memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak-anaknya, karena setap orang tua adalah pemimpin
bagikeluarganya, dan setiap pemimpin kan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang
dipimpinnya. Allah Ta’ala juga berfirman :
ٌ ‫يَا أَ ُّيهَا الَّذِينَ آ َم ُنوا قُوا أَ ْنفُسَ ُك ْم َوأَهْ لِي ُك ْم َنارً ا َوقُو ُدهَا ال َّناسُ َو ْالحِجَ ارَ ةُ عَ لَ ْيهَا َماَل ِئ َك ٌة غِ اَل‬
‫ظ شِ دَا ٌد اَل َيعْ صُونَ هَّللا َ مَا أَمَرَ ُه ْم َو َي ْفعَ لُونَ مَا ي ُْؤ َمرُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan keluaraga kita dari pengaruh teman-teman yang
buruk dan mengumpulkan kita bersama teman-teman yang baik. Wallahul musta’an.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Penulis: Adika Mianoki
Menebar Kasih Sayang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :


‫إِ َّنمَا َيرْ حَ ُم هللا ُ مِنْ عِ بَا ِد ِه الرُّ حَ مَا َء‬
Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang (HR At-Thobrooni dalam
al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
ِ ْ‫ اِرْ حَ مُوا َمنْ فِي األَر‬، ُ‫الرَّ ا ِحم ُْونَ َيرْ حَ ُم ُه ُم الرَّ حْ مَان‬
‫ض َيرْ حَ مْ ُك ْم َمنْ فِي ال َّسمَا ِء‬
“Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih
lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat
yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh
Albani dalam as-Shahihah no 925)
Kata dalam ْ‫ َمن‬sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah isim maushuul, yang dalam kadiah
ilmu ushuul fiqh memberikan faedah keumuman. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam  tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang yang sholeh saja… bahkan Nabi
memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia… dan bukan hanya manusia.. bahkan hewan-
hewanpun termasuk di dalamnya.
Al-Munaawi rahimahullah berkata,
َّ ‫وال ُم ْب َه ُم َو ْال َوحْ شُ َو‬
‫الط ْي ُر‬ َ ِ‫ِبصِ يْغَ ِة ْال ُعم ُْو ِم َي ْش َم ُل جَ ِم ْيعَ أَصْ َناف‬
ْ ‫الخالَئ ِِق َفيُرْ حَ ُم البَرّ َوال َفا ِج ُر َوال َّناطِ ُق‬
“Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada di bumi)) dengan konteks keumuman, mencakup seluruh jenis
makhluk, maka mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara, orang yang
bisu, hewan dan burung” (Faidhul Qodiir 1/605)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita diperintahkan oleh Allah bukan hanya untuk
merahmati manusia… bahkan kita diperintahkan untuk merahmati hewan…!!!
ِ ‫ رَ ِحمَكَ هللاُ” مَرَّ َتي‬،‫ ” وال َّشاة إِنْ رَ حِمْ َتهَا‬:‫ قال‬،‫ يا رسول هللا! إني ألذبح الشاة فأرحمُها‬: ‫قال رج ٌل‬
‫ْن‬
“Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku
merahmatinya”, Rasulullah berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah
akan merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod
dan dishahihkan oleh Syaikh Albani di as-Shahihah no 26)
Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa rahmat dengan mengasah parangnya di
hadapan kambing tersebut misalnya, atau menyembelihnya dengan parang yang tidak tajam
sehingga menyakiti kambing tersebut misalnya… tentu tidak sama dengan seseorang yang
menyembelih kambing namun dengan rasa rahmat kepada sang kambing, sehingga ia berusaha
menyembelih kambing tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang yang merahmati kambing maka Allah
akan merahmati orang tersebut, bahkan Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak dua kali.
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
‫ رَ ِح َم ُه هللا ُ ي َْو َم ْالقِيَا َم ِة‬،‫َمنْ رَ ِح َم َولَ ْو َذ ِب ْيحَ ًة‬
“Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada
hari kiamat” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan oleh Syaikh Albani)
Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya dirahmati oleh Allah di dunia, bahkan
dirahmati oleh Allah pada hari kiamat kelak, hari dimana setiap kita membutuhkan kasih sayang Allah.
Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing… renungkanlah hadits ini
ْ ‫عَطشُ إِ ْذ رَ أَ ْت ُه َبغِيٌّ مِنْ َبغَ ايَا َبنِي إِسْ رَ ائِي َل َف َن َز‬
‫عَت مُو َقهَا َفسَ َق ْت ُه َف ُغفِرَ لَهَا ِب ِه‬ َ ‫ َك ْلبٌ يُطِ يفُ ِبرَ ِك َّي ٍة َكادَ َي ْق ُتل ُ ُه ْال‬g‫َب ْي َن َما‬
“Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah
sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani
Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke
sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni
wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)
Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat Allah dan kasih sayang Allah maka
bagaimana lagi jika kita merahmati sesama manusia ???
Merahmati seorang fajir
Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum bahkan mencakup seorang pelaku
kemaksiatan –sebagaimana perkataan Al-Munaawi di atas-. Bukankah kita kasihan tatkala melihat
seseroang yang terjerumus dalam kemaksiatan… kasihan kehidupannya yang pernuh dengan
kegelapan di dunia, terlebih-lebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam neraka jahannam. Bagaimana
hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan merahmatinya…??
Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah kepadanya…??
Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..?? bukankah sering kita menanti-nanti ada yang
mendakwahi kita tatkala itu..?? sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang sholeh
malah menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa mencemooh tanpa berusaha
mendakwahi mereka…!!!
Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang remaja yang saya dengar di Idzaa’atul Qur’aan
Al-Kariim (Radio dakwah Arab Saudi). Remaja tersebut bercerita bahwa ia dahulunya adalah seorang
pecandu morfin selama bertahun-tahun, dan ibunya selalu melarangnya untuk mengkonsumsi morfin,
akan tetapi teguran sang ibu tidak pernah ia hiraukan. Hingga bertahun-tahun berlalu sang ibu tidak
bosan-bosannya menasehati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang adapun ia juga tidak
bosan-bosannya tidak menghiraukan teguran sang ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari jum’at
setelah ashar (yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana pendapat sebagian
ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa Allah sadarkanlah putraku atau cabutlah nyawanya agar ia
berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah mengabulkan doa sang ibu dan menyadarkannya dari
kemaksiatan ini, hingga akhirnya iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang pemuda.
Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang pemuda berkata, “Saya sering lewat di
depan mesjid tatkala adzan dikumandangkan… dan saya tidak sholat, akan tetapi tidak seorang pun
dari jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-tahun lamanya.. tidak seorang pun dari mereka
yang menegurku..!!”
Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga semestinya berusaha untuk menebarkan
rahmat dan kasih sayang meskipun kepada pelaku kemaksiatan dengan mendekatinya dan
mendakwahinya semampu kita dengan cara yang selembut-lembutnya.
Merahmati pelaku bid’ah
Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bid’ah. Ketahuilah
kebanyakan para pelaku bid’ah di zaman kita –terutama di tanah air kita- adalah orang-orang yang
bodoh dan tidak paham dengan sunnah dan al-haq. Bahkan banyak diantara mereka yang sama
sekali tidak mengenal dakwah sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara turun
temurun.
Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang mengikuti hawa nafsu mereka sehingga
nekad menolak atau mempelintir dalil-dalil demi melarisakan bid’ah mereka. Akan tetapi saya
berbicara tentang mayoritas saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan
dan ketidak tahuan mereka. Bukankah banyak diantara kita –bahkan sebagian besar kita- tidak
mengenal sunnah sejak kecil?, akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah
sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terjerumus dalam praktek-praktek bida’h. Bukankah kita
mendapatkan hidayah dengan adanya seseorang salafy yang kemudian mendekat kepada kita
sehingga kemudian menjelaskan sunnah kepada kita…??.
Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah dengan menyebarkan dakwah sunnah
kepada mereka.
Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah:
‫ْن ال َّشرْ ِع؛ َفإِ َّن َنا َي ِجبُ أَنْ ُن َن ِاب َذ ُه ْم‬ َ ‫ َو َنسْ أ َ ُل‬،‫ْن ْال َق ْد ِر؛ َف َنرَ َّق لَ ُه ْم‬
ِ ‫ َوإِنْ َن َظرْ َنا إِلَي ِْه ْم ِبعَ ي‬،‫هللا لَ ُه ُم ال َّسالَ َم َة‬ ِ ‫ إِنْ َن َظرْ َنا إِلَي ِْه ْم ِبعَ ي‬، ُ‫َوهؤالء ْالم َُخرِّ فُ ْونَ مَسَ ا ِكيْن‬
‫ْم‬gِ ‫ِب ْالحُجَّ ِة حَ تىَّ َيع ُْودُوا إِلَى الصِّرَ اطِ ْالمُسْ َت ِقي‬
“Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka, jika kita memandang mereka dengan pandangan
taqdir (bahwasanya semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan mereka, dan kita
memohon kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan
syari’at mak wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah agara mereka kembali kepada jalan yang
lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)
Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
‫الَ ي ُْؤمِنُ أَحَ ُد ُك ْم حَ َّتى ُيحِبَّ ألَ ِخ ْي ِه مَا ُيحِبُّ لِ َن ْف ِس ِه‬
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang dia sukai
untuk dirinya”
Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah…??, maka hendaknya kita juga
senang jika saudara kita juga demikian dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah
seorang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau bid’ah juga masih merupakan saudara kita
sesama muslim???
Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pelaku bid’ah
Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah, bukan
bergerak dengan kehendak hawa nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana
praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika mudah marah karena mengikuti hawa
nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng membela
agama.. wallahul musta’aan.
Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-musuhnya para pelaku bid’ah.. sungguh
pelajaran yang sangat luar biasa.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan membantah berbagai macam model
bid’ah. Oleh karenanya kita dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap bid’ah-
bid’ah terutama bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan aqidah. Sehingga banyak ahlul bid’ah yang
memusuhi beliau… bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Bahkan
mereka berfatwa kepada Raja untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi… apakah Ibnu
Taimiyyah pernah berfikir untuk membalas dendam jika ia mendapatkan kesempatan..???
perhatikanlah tiga kisah berikut ini:
Kisah pertama : Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn Qolawuun
Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu
Taimiyyah.
Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama bid’ah yang
memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar membunuh Ibnu
Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu Taimiyyah dan tidak membunuhnya.
Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan
sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi tersebut berkhianat dan membelot meninggalkan sang
sulthoon dan membai’at Al-Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang
sulthoon akhirnya berusaha merebut kembali kekuasaannya dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para
petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang hal ini membuat sang sulthoon marah dan
mengetahui bahwasanya mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun mengeluarkan Ibnu
Taimiyyah dari penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan
para petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas sang sulthoon
mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya yang ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa para
petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan
dendam yang sangat besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh
para petinggi tersebut.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon, dan aku tahu bahwasanya ia
menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat dalam terhadap para ptinggi tersebut, karena
mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-Jasyinkir…, maka akupun mulai memuji para
ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi
maka sang sulthoon tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon
berkata, “Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang-ulang ingin agar
engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang menyakitiku maka aku telah
memafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan RasulNya maka Allah akan membalasnya,
aku tidak akan membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon. (Lihat kisah ini
Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-’Uquud Ad-Durriyyah hal 221)
Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih mengumpulkan
sifat-sifat tersebut dari pada Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat ihsan kepada
orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah berkata,
‫ت أَ ِّني ألَصْ حَ ِابي م ِْثل ُ ُه ألَعْ دِا ِئ ِه َو ُخص ُْو ِم ِه‬
ُ ‫َود ِْد‬
“Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada
musuh-musuh beliau”
Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada seorangpun dari musuh-musuhnya,
bahkan beliau mendoakan mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau member kabar gembira tentang
meninggalnya musuh besarnya dan yang paling keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah,
maka beliaupun membentak aku dan mengingkari sikapku dan mengucapkan inaa lillahi wa inaa ilaihi
rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut
menyatkan turut berduka cita dan menghibur mereka dan berkata : “Sesungguhnya aku
menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan maka
aku akan membantu kalian” atau semisal perkataan ini, maka merekapun gembira dan mendoakan
Ibnu Taimiyyah dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah” (Lihat
perkataan Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140)
Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh besarnya yang sangat menentang dan
paling menyakiti beliau tatkala meninggal maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur keluarganya yang
ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah membentak Ibnul Qoyyim yang bergembira dengan kematian
musuhnya tersebut.
Kisah ketiga : Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri
Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan beristighotsah
kepada Nabi setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pemikirannya telah dibantah
oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah
menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu
Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah.
Tatkala orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut maka Al-Bakry pun
kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah
meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi Ibnu
Taimiyyah berkata, “Aku tidak mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar
menghukumi perbuatan Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak
menghukuminya merupakan hak saya, atau merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika
hak tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak menghukum adalah
hak kalian maka jika kalian tidak mendengar nsehatku maka jangan meminta fatwa kepadaku, dan
silahkan kalian melakukan apa yang kalian kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka Allah
akan mengambil hakNya sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.
Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi
di rumah Ibnu Taimiyyah –tatkala beliau bermukim di Mesir- hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah member
syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy, dan akhirnya iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di
Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits Al-Qoohiroh)
dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)
Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat mulia dari Syaikul Islam Ibnu
Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk membalas dendam justru ia malah memaafkan
musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah dipersaksikan dan diakui oleh
musuh-musuhnya. Diantaranya ada yang berkata,
ِ ‫مَا رَ أَ ْي َنا م ِْث َل اب‬
‫ َوحَ اجَ جَ عَ َّنا‬،‫ و َقدِرَ عَ لَي َنا َفصَ َفحَ عَ َّنا‬،ِ‫ حرَّ ض َنا عَ لَ ْي ِه َفلَ ْم َن ْقدِرْ عَ لَ ْيه‬،‫ْن َت ْي ِم َّي َة‬
“Kami tidak pernah melihat seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk
mengganggunya namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu untuk
menjatuhkan kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini merupakan perkataan
Ibnu Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki)
Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan
tetapi dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh
seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan janji Allah dan kesabaran. Karena
dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar) maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam
agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat emasnya;
ِ ‫اإلمَام َُة فِي ال ِّدي‬
‫ْن‬ ِ ‫صب ِْر َو ْال َيقِي‬
ِ ‫ْن ُت َنا ُل‬ َّ ‫ِبال‬
“Dengan kesabaran dan keyakinan maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok
‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145)
Allah telah berfirman
َ‫ يُوقِ ُنون‬g‫َوجَ عَ ْل َنا ِم ْن ُه ْم أَ ِئم ًَّة َي ْه ُدونَ ِبأَمْ ِر َنا لَمَّا صَ َبرُوا َو َكا ُنوا ِبآيَا ِت َنا‬
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami (As-Sajdah ayat 24)
Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala kita
melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini yaitu
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia korbankan demi menegakkan aqidah dan
manhaj salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita mencela dan
menghabisi sebagian yang lain diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul
bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap
beliau terhadap Ahlul Bid’ah, bagaimana lagi sikap terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau
Maha Tahu bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka ampunilah kami
Yaa Gofuur Yaa Rohiim.
Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktek hajr terhadap pelaku maksiat
ataupun kepada ahlul bid’ah… semuanya tetap berlaku dengan menimbang antara maslahat dan
mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu. Allahul Musta’aan
(Silahkan lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97-salah-kaprah-tentang-hajr-
boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-
wasilah)
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, MA
Tawakkal

Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan
kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya
jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal
kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)
Makna Bertawakkal Kepada Allah
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya adalah Al
Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta
penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” (Faidhul Qadir, 5/311). Ibnu
‘Abbas radhiyAllahu’anhuma mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada
Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-
asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau
menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah
bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan
menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al
Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab
disiapkan.”
Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan
Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang
ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta memusuhinya.
Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah
menjadikan Allah sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang
menjadikan Allah sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak
akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat dalam kitab shohih
beliau, dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma, bahwa ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke
tengah-tengah api yang membara beliau mengatakan, “HasbunAllahu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah
Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Perkataan ini pulalah yang
diungkapkan oleh Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau,
Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk memerangimu, maka waspadalah engkau
terhadap mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir. Lihat Fathul Bari VIII/77)
Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke
tengah bara api adalah: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik
pelindung’.” (HR. Bukhori)
Bertawakkal Kepada Allah Adalah Kunci Rizki
Rosululloh ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada
Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-burung.
Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan
kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang bertawakkal kepada Allah
dengan sebenar-benarnya, pastilah dia akan diberi rizki. Bagaimana tidak, karena dia telah
bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati. Abu Hatim Ar Razy
berkata, “Hadist ini merupakan tonggak tawakkal. Tawakkal kepada Allah itulah faktor terbesar dalam
mencari riqzi.” Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala
akan mencukupinya. Allah berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-
Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya dari segala
sesuatu yang membuat sempit manusia.”
Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha
Mewujudkan Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya
untuk berusaha sekaligus bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakkal
dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah Ta’ala.
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan
diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup
duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?” Perkataan itu sungguh
menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah
menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari
untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun,
baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada
Allah Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.
Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan
masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak ada
isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang
menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka
bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui
bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan
mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid
seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri”. Maka beliau
berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak
perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah
dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada
burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam
keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “Para sahabat
juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan
kita.” (Fathul Bari, 11/305-306)
Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal itu tampak dalam
gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya. Imam Abul Qasim Al-
Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak
lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seseorang
meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena
takdir-Nya. Dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.” (Murqatul
Mafatih, 5/157)
Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha
adalah sebuah hadits. Seseorang berkata kepada NabiShollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Aku lepaskan
untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakkallah kepada
Allah.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani dalam Shohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat Imam
Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai
Rosululloh!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku berTawakkal kepada Allah, ataukah
aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu
bertawakkallah kepada Allah.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633, 1/368)
Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan
berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada
kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik
Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
***
Sumber: Buletin At-Tauhid
Penulis: R. Indra Pratomo P.
Jangan Marah…

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada seorang lelaki berkata kepada
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Berilah saya nasihat.” Beliaushollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jangan marah.” Lelaki itu terus mengulang-ulang permintaannya dan beliau tetap
menjawab, “Jangan marah.”(HR. Bukhari). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan, “Makna jangan
marah yaitu janganlah kamu tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa
marah itu sendiri. Karena pada hakikatnya marah adalah tabi’at manusia, yang tidak mungkin bisa
dihilangkan dari perasaan manusia.”
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam juga pernah menasihatkan, “Apabila salah seorang dari kalian
marah dalam kondisi berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka
hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad, Shohih)
Dahulu ada juga seorang lelaki yang datang menemui Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan
mengatakan, “Wahai Rosululloh, ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa mendekatkan saya
ke surga dan menjauhkan dari neraka.” Maka beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan
tumpahkan kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR. Thobrani, Shohih)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan, “Bukanlah maksud beliau
adalah melarang memiliki rasa marah. Karena rasa marah itu bagian dari tabi’at manusia yang pasti
ada. Akan tetapi maksudnya ialah kuasailah dirimu ketika muncul rasa marah. Supaya kemarahanmu
itu tidak menimbulkan dampak yang tidak baik. Sesungguhnya kemarahan adalah bara api yang
dilemparkan oleh syaithan ke dalam lubuk hati bani Adam. Oleh sebab itulah anda bisa melihat kalau
orang sedang marah maka kedua matanya pun menjadi merah dan urat lehernya menonjol dan
menegang. Bahkan terkadang rambutnya ikut rontok dan berjatuhan akibat luapan marah. Dan
berbagai hal lain yang tidak terpuji timbul di belakangnya. Sehingga terkadang pelakunya merasa
sangat menyesal atas perbuatan yang telah dia lakukan.”
Tips Menanggulangi Kemarahan
Syaikh Wahiid Baali hafizhohulloh menyebutkan beberapa tips untuk menanggulangi marah.
Diantaranya ialah:
1. Membaca ta’awudz yaitu, “A’udzubillahi minasy syaithanir rajiim”.
2. Mengingat besarnya pahala orang yang bisa menahan luapan marahnya.
3. Mengambil sikap diam, tidak berbicara.
4. Duduk atau berbaring.
5. Memikirkan betapa jelek penampilannya apabila sedang dalam keadaan marah.
6. Mengingat agungnya balasan bagi orang yang mau memaafkan kesalahan orang yang
bodoh.
7. Meninggalkan berbagai bentuk celaan, makian, tuduhan, laknat dan cercaan karena itu
semua termasuk perangai orang-orang bodoh.
Syaikh As Sa’di rohimahulloh mengatakan, “Sebaik-baik orang ialah yang keinginannya tunduk
mengikuti ajaran Rasul shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang menjadikan murka dan pembelaannya
dilakukan demi mempertahankan kebenaran dari rongrongan kebatilan. Sedangkan sejelek-jelek
orang ialah yang suka melampiaskan hawa nafsu dan kemarahannya. Laa haula wa laa quwwata illa
billaah” (lihat Durrah Salafiyah).
***
Sumber: Buletin At-Tauhid
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Bahaya Lisan

Lisan merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian kita. Oleh karena itu,
sangat penting untuk menjaga lisan kita. Apakah banyak kebaikannya dengan menyampaikan yang
haq ataupun malah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat.
Pada berbagai pertemuan, seringkali kita mendapati pembicaraan berupa gunjingan (ghibah),
mengadu domba (namimah) atau maksiat lainnya. Padahal, Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang hal
tersebut. Alloh menggambarkan ghibah dengan suatu yang amat kotor dan menjijikkan. Alloh
berfirman yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah
salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik dengannya.” (Al-Hujurat: 12)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan makna ghibah (menggunjing) ini. Beliau
bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Mereka menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih
mengetahui” Beliau bersabda, “Engkau mengabarkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang
dibencinya.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu memang terdapat pada
saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka
engkau telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau
telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim)
Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, baik tentang
agama, kekayaan, akhlak, atau bentuk lahiriyahnya, sedang ia tidak suka jika hal itu disebutkan,
dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang
dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok. Banyak orang meremehkan masalah ghibah,
padahal dalam pandangan Alloh ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama
dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah
pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya.” (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)
Wajib bagi orang yang hadir dalam majelis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah
kemunkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam sangat menganjurkan hal itu, sebagaimana dalam sabdanya, “Barangsiapa membela (ghibah
atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Alloh akan menghindarkan api Neraka dari
wajahnya.” (HR. Ahmad)
Demikian pula halnya dalam mengadu domba (namimah). Mengadukan ucapan seseorang kepada
orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara keduanya adalah salah satu faktor yang
menyebabkan terputusnya ikatan, serta menyulut api kebencian dan permusuhan antar manusia.
Alloh mencela pelaku perbuatan tersebut dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang
yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kesana kemari menghambur
fitnah.” (Al-Qalam: 10-11). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk
surga al-qattat (tukang adu domba).” (HR. Bukhari). Ibnu Atsir menjelaskan, “Al-Qattat adalah orang
yang menguping (mencuri dengar pembicaraan), tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa
pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.” (An-Nihayah 4/11)
Oleh karena itu ada beberapa hal penting perlu kita perhatikan dalam menjaga lisan. Pertama,
hendaknya pembicaraan kita selalu diarahkan ke dalam kebaikan. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia.” (An-Nisa: 114)
Kedua, tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagi diri kita maupun orang lain yang akan
mendengarkan. Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk kebaikan Islam
seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Ketiga, tidak membicarakan semua yang kita dengar. Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata,
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu
apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar.” (HR. Muslim)
Keempat, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kita berada di pihak yang benar
dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang
menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah
surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda.”(HR. Abu Daud dan dihasankan
oleh Al-Albani)
Kelima, Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah rodhiallohu
‘anha berkata, “Sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu hal,
dan ada orang yang mau menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga diri kita, sehingga diri kita senantiasa
berada dalam kebaikan. Wallohu’alam.
Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Di zaman ini, akhlak baik kepada orang tua seakan semakin sirna. Apalagi sudah disibukkan dengan
anak dan istri. Atau barangkali ada kesibukan yang sebenarnya tidaklah urgent, namun ketika ortu
memanggil, jawaban sang anak, “Aduh Mama, ini lagi asyik nih. Trus saja Oci (panggilan akrabnya)
diganggu.” Gitulah anak muda. Karena terpengaruh TV, lingkungan dan lainnya.
Tak tahukah kita bahwa bermuamalah baik dengan ortu adalah jalan menuju surga?
Coba kita lihat hadits berikut ini yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah dalam kitab Al
Adabul Mufrod.
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
‫ُ َك َذا‬:‫ت‬ ْ ُ‫ِى؟ قل‬ َ ‫ َما ه‬:‫ قا َ َل‬.‫ْن ُع َم َر‬ ِ ‫ت َذال َِك ِالب‬ ُ ْ‫ َف َذ َكر‬،‫ْت َذ ُن ْوبًا الَ أَ َرا َها إِالَّ م َِن ْال َك َبائ ِِر‬ ُ ‫صب‬َ َ ‫ َفأ‬، ‫ت‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫ت َم َع ال َّن َجدَ ا‬
ُ‫ َو َق ْذف‬، ِ‫الزحْ ف‬ َّ ‫ َو ْالف َِرا ُر م َِن‬،ٍ‫ َو َق ْت ُل نِسْ َمة‬،‫هلل‬ ِ ‫ك ِبا‬ ُ ‫إل ْش َرا‬ ِ ‫ ْا‬:‫ هُنَّ تِسْ ٌع‬،‫ت َه ِذ ِه م َِن ْال َك َبائ ِِر‬ ْ ‫ْس‬َ ‫ لَي‬:‫ َقا َل‬.‫َو َك َذا‬
،‫ْن م َِن ْال ُعقُ ْو ِق‬ ِ ‫ َو ُب َكا ُء ْال َوالِدَ ي‬، ‫ َوالَّذِيْ َيسْ َتسْ ِخ ُر‬،ِ‫ َوإِ ْل َحا ُد فِي ْال َمسْ ِجد‬،‫ال ْال َي ِتي ِْم‬ ِ ‫ َوأَ ْك ُل َم‬،‫ َوأَ ْك ُل الرِّ َبا‬،ِ‫ص َنة‬ َ ْ‫ْالمُح‬
ْ‫ عِ ْندِي‬:‫ت‬ ُ ‫اك؟ قُ ْل‬ َ َ‫ أَ َحيٌّ َوالِد‬:‫هللا! َقا َل‬ ِ ‫ َو‬، ْ‫ إِي‬:‫ت‬ ُ ‫ َو ُتحِبُّ أَنْ َت ْد ُخ َل ْال َج َّن َة؟ قُ ْل‬، ‫ار‬ َ ‫ أَ َت َفرَّ ُق ال َّن‬:‫ لِي ابْنُ ُع َم َر‬:‫قا َ َل‬
‫ْت ْال َك َبائ َِر‬ َّ ‫ َوأَ ْط َعمْ َت َها‬،‫ت لَ َها ْال َكالَ َم‬
َ ‫ لَ َت ْد ُخلَنَّ ْال َج َّن َة َما اجْ َت َنب‬،‫الط َعا َم‬ ِ ‫ َف َو‬:‫ َقا َل‬. ْ‫أُمِّى‬.
َ ‫هللا! لَ ْو أَلَ ْن‬
“Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap termasuk
dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya,
”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau
menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu
mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita
mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berbuat maksiat di
dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan] tangisnya kedua orang tua karena   durhaka [kepada
keduanya].” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?”
”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih
memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut
dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk
surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8,
shahih. Lihat Ash Shahihah 2898)
Lihatlah  akhi … saksikanlah ukhti …  bagaimana dengan sikap lemah lembut pada orang tua yang
mengandung dan membesarkan kita bisa memasukkan dalam surga! Subhanallah … Ternyata begitu
ringan amalan tersebut bagi siapa yang Allah mudahkan.
Disebutkan oleh Imam Al Bukhari pula dalam kitab yang sama, dari Urwah, ia berkata mengucapkan
firman Allah,
ُّ ‫اح‬
‫الذ ِّل م َِن الرَّ حْ َم ِة‬ ْ ‫َو‬
َ ‫اخفِضْ لَ ُه َما َج َن‬
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isro’: 24)
َ ‫ “الَ َتمْ َتنِعْ مِنْ َشيْ ٍء‬:‫قا َ َل‬
ُ‫أحبَّاه‬
Lalu ia berkata, “Janganlah engkau menolak sesuatu yang diinginkan oleh keduanya.” (HR. Bukhari
dalam Adabul Mufrod no. 9, shahih secara sanad)
Cobalah renungkan kedua hadits di atas. Berlemah lembut pada ortu sungguh luar biasa. Amalan
sederhana. Namun memang butuh dilatih. Apalagi kita mesti menghadapi orang tua yang mudah
emosi, sedikit-sedikit marah. Memang butuh kesabaran. Kalau kita mengingat balasan lemah lembut,
sungguh itu akan membuat kita berakhlak baik pada mereka. Cobalah membalas keburukan dengan
kebaikan. Moga saja kita dimudahkan oleh untuk bisa melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
‫) َو َما‬34( ‫ِي أَحْ َسنُ َفإِ َذا الَّذِي َب ْي َن َك َو َب ْي َن ُه َعدَ َاوةٌ َكأ َ َّن ُه َولِيٌّ َحمِي ٌم‬
َ ‫َواَل َتسْ َت ِوي ْال َح َس َن ُة َواَل ال َّس ِّي َئ ُة ْاد َفعْ ِبالَّتِي ه‬
)35( ‫ص َبرُوا َو َما ُيلَ َّقا َها إِاَّل ُذو َح ٍّظ َعظِ ٍيم‬ َ ‫ُيلَ َّقا َها إِاَّل الَّذ‬
َ ‫ِين‬
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan
yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada
orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada
yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam
ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah
yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang
memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang
berat bagi setiap jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243)
Semoga kita kembali teringat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ قِي َل َمنْ َيا َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل « َمنْ أَ ْد َر َك َوالِدَ ْي ِه عِ ْندَ ْال ِك َب ِر أَ َحدَ ُه َما أَ ْو‬.» ‫َرغِ َم أَ ْنفُ ُه ُث َّم َرغِ َم أَ ْنفُ ُه ُث َّم َرغِ َم أَ ْنفُ ُه‬
‫ِكلَي ِْه َما ُث َّم لَ ْم َي ْد ُخ ِل ْال َج َّن َة‬
“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup
atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.” (HR.
Muslim no. 2551)
Jadikanlah bakti pada orang tua, berlemah lembut pada mereka sebagai jalan menuju surga yang
penuh kenikmatan yang tiada tara.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
ُ ‫ضا ْال َوالِ ِد َو َس َخ‬
‫ط الرَّ بِّ فِي َس َخطِ ْال َوالِ ِد‬ َ ‫ضا الرَّ بِّ فِي ِر‬
َ ‫ِر‬
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan jika
sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)
Semoga kita mengingat perkataan amat bagus dari Ka’ab Al Ahbar. Beliau pernah ditanyakan
mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,
‫ العقوق كله‬g‫إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما‬
“Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat, pen)
namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan
terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul Jauziy)
Semoga Allah beri taufik dan kemudahan bagi kita sekalian untuk berlemah lembut dan berakhlak
pada orang tua kita yang amat kita kasihi. Wallahu waliyyut taufiq.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat -
Hakikat Sabar (1)

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai
macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana
kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam
tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta
menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul
Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga
macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang
menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari
orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk
menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa
meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya
adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak
berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah
pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua
urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga.
Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran
kalian.”(QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi
(di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi
yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di
antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena
mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil
Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang
berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh
dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan
cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-
ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan
didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam
Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya,
apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak
ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.”
(Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar
dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada
Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang
menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali
ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik,
bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang
yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka
cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah
harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia
tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi
kitashallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran
sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di
hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan
cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para
pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai
kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-
orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi
mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal.
13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-
Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar
menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan
Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan
bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja
sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan
itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat
manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu
termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam
menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang
didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang
menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga
disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang
sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang
gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami
menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al
Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…”
(Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan
Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir
yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak
berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa
dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah.
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk
meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpahmogok makan dan minum bahkan tidak mau
mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai
Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun
ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah
akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh
berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa
kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush
shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan.
Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara,
namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah
berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-
sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti
akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di
dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala
Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari
kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia,
alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat
terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan
oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena
disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara
mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di
rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah
ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada
yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara
mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan
tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa
ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah
merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta
mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah
bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada
Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah.
Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan.
Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan
menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu
akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)
…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam
kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang
terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak
ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus.
Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak,
harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam
semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat
sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala
aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya
tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung
(di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-
relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang
sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa
larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk
musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika
menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at
dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh
Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana
ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman
Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat
Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda“Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan
Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan
adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan
diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah
sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar
dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka
Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan
dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar
termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung
ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala
mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat
bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang
terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam
rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si
polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu
dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang
dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh
kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak
mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan
semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan
hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-
robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat
lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang
tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat
serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian
keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik
iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai
cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar
termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga
termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan
cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan
sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid,
hal.389-391)
-bersambung insya Allah-
Hakikat Sabar (2)

Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah


Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Hukum merasa ridha dengan adanya
musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan
membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai
berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus
ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak
terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.
Adapun ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan:
Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa
ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan
puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa
ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridha terhadap
perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu
hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).
Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri.
Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk
merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha
dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab
kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab(disunnahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat ini
berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu
berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan
ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla
jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393)
Sabar dan Syukur
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua
urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia
tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa kesulitan
maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.”(HR. Muslim)
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir Allah yang berupa
kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak beriman.
Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa
kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta
mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia memperoleh pahala orang-
orang yang sabar. Maka ini baik baginya.
Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia
bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan saja mencakup
ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan melaksanakan berbagai ketaatan
kepada Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika mengalami kesenangan yaitu
nikmat dunia dengan merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik
bagi dirinya.
Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu billaah. Apabila
tertimpa kesulitan mereka tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima, memprotes takdir,
mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.
Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan
yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat akan berubah menjadi siksaan.
Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan atau menikmati minuman kecuali dia pasti
mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain
halnya bagi orang kafir.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah: Siapakah yang
mengharamkan perhiasan Allah dan rezeki yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-
hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-orang yang beriman di dalam kehidupan
dunia yang akan diperuntukkan untuk mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf [7]: 32).
Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti.
Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka. Mereka
memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti mereka akan disiksa
karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun kesulitan adalah sama-sama
buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/107-108)
Hikmah di Balik Musibah
Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas
dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di
dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan
gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum
dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220)
Syaikhul Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia menjadi
sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya
justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di
hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai
maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai
sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh
musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila
musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang
lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia
menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.”
“Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit
atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan
penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan
malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin
membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila
ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu
sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan
tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya
adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan perbuatan Rabb ‘azza wa jalla sekaligus
sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang
siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar
itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya
rahmat (kasih sayang dari Allah).
Dan apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh
pujian-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan
memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqarah [2]: 156) Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga
akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan
sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut” Selesai
perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid, hal. 353-354)
Doa Apabila Tertimpa Musibah
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii fii mushiibatii wa ahklif lii khairan minhaa
Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ya Allah,
berikanlah ganjaran pahala atas musibah hamba. Dan gantikanlah ia dengan sesuatu yang lebih baik
darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul Muslim, hal. 96-97)
Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana yang
berakibat buruk bagi diri atau hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa bencana itu
merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Allah ‘azza wa jalla menguji
hamba-hamba-Nya dengan bentuk kesenangan dan kesulitan, dengan kesempitan dan kelapangan.
Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa menaikkan derajat mereka serta
meninggikan sebutan mereka dan juga demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang
demikian itu sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam,
dan juga para hamba Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang
lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”
Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat dan
dosa-dosa (yang mereka lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu merupakan
hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Yang Mahasuci yang
artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah perbuatan tangan-
tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan orang.”(QS. Asy Syura [42]: 30).
Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena taqshir/meremehkan dan
tidak menunaikan kewajiban yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa dirinya
maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang diperbuatnya serta kekurangannya
sendiri dalam menjalankan perintah Allah.
Sedangkan apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan hamba Allah yang shalih,
entah berupa penyakit tertentu ataupun musibah yang lainnya, maka sesungguhnya hal ini termasuk
kategori ujian yang diberikan kepada kalangan para Nabi dan Rasul dalam rangka mengangkat
derajat serta membesarkan balasan pahalanya. Dan juga dia bisa menjadi contoh untuk orang lain
dalam hal kesabaran dan keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin diraih
dengan sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan pahala, sebagaimana
halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah menimpa para Nabi dan sebagian orang yang baik/shalih.
Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan, sebagaimana tercantum
dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang melakukan kejelekan pasti akan
dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah kesusahan, kekalutan, keletihan,
penyakit, kesedihan maupun gangguan yang menimpa seorang mukmin melainkan Allah pasti
menghapuskan sebagian dosa kesalahan-kesalahannnya, bahkan sampai duri yang menusuk bagian
tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang diinginkan baik oleh
Allah maka pasti Dia timpakan musibah kepadanya.”
Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan perbuatan-
perbuatan maksiat yang dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu sebagaimana
diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila
Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Allah segerakan hukuman baginya di alam
dunia. Sedangkan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah menahan
hukuman atas dosa itu hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya hasan).
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4, diterjemahkan dari website beliau)
Marah Saat Tertimpa Musibah ?
Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa musibah ?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab, “Orang ketika menghadapi
musibah terbagi dalam empat tingkatan :
Tingkatan Pertama: Marah
Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan:
Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun
menjadi marah terhadap apa yang sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan terkadang
bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara
manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa kebaikan dia pun
merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia
dunia dan akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).
Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan ucapan. Seperti dengan mendoakan
kecelakaan dan kebinasaan atau ucapan semacamnya, ini juga haram.
Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota
badan. Seperti dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut dan
perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang
wajib ada.
Tingkatan Kedua: Bersabar
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam syairnya,
Sabar itu memang seperti namanya
Pahit kalau baru dirasa
Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih manis daripada madu
Dia melihat bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat akan tetapi dia tetap bisa tabah
dalam menanggungnya. Dia merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih bisa
menjaganya untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya musibah itu masih terasa berbeda
baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan untuk
bersabar. Allah berfirman yang artinya, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-
orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal [8]: 46).
Tingkatan Ketiga: Merasa Ridha
Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan musibah yang menimpanya. Sehingga ada dan tidaknya
musibah adalah sama saja baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban yang sangat
berat. Ini adalah tingkatan yang sangat dianjurkan/mustahab, dan bukan hal yang wajib menurut
pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya cukup jelas. Yaitu
karena dalam tingkatan ini ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal keridhaan
terhadapnya. Adapun dalam tingkatan sebelumnya terjadinya musibah itu masih dirasakan sebagai
sesuatu yang sukar baginya, namun dia masih tetap bersabar.
Tingkatan Keempat: Bersyukur
Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur kepada Allah atas musibah yang
menimpanya. Dia sadar bahwa pada hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya dosa-
dosanya, bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambahan amal kebaikannya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali pasti
Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri yang
menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim (2572)). (Diterjemahkan dengan penyesuaian
redaksional dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 126-127)
Balasan Bagi Orang yang Sabar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut,
kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira
bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan,
“Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya”. Mereka itulah
orang-orang yang akan mendapatkan ucapan shalawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka
itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS. Al Baqarah [2]: 155-157).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini
menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya,
berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan antara kedua
golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila
dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes
dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76)
Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar
adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar [39]: 10).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya,”Ayat ini
berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa
menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu
dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya.
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya
tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa
diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan
sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir
Rahman, hal. 721)
Surga Bagi Orang yang Sabar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-
sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang
malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan):
“Salamun ‘alaikum bima shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai balasan atas kesabaran
kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan
itu.” (QS. Ar Ra’d: 23-24).
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Tebarkan Salam

Syariat Islam yang sempurna mengajarkan kaum muslimin untuk selalu meningkatkan kecintaan
terhadap saudara semuslim, merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk mewujudkan
hubungan persaudaraan dan kasih sayang ini, maka syariat Islam memerintahkan untuk
menyebarkan salam.
Syiar Islam yang satu ini adalah termasuk syiar Islam yang sangat besar dan penting. Namun begitu,
sekarang ini salam sering sekali ditinggalkan dan diganti dengan salam salam yang lain, entah itu
dengan good morning, selamat pagi, selamat siang, salam sejahtera atau sejenisnya. Tentunya
seorang muslim tidak akan rela apabila syariat yang penuh berkah lagi manfaat ini kemudian diganti
dengan ucapan-ucapan lain. Allah berfirman, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al Baqarah: 61). Dan sungguh apa yang ditetapkan Allah untuk
manusia, itulah yang terbaik.
Perintah dari Allah
Allah berfirman, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah
kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri,
salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (Qs. An Nur: 61)
Syaikh Nashir As Sa’di berkata, “Firman-Nya: Salam dari sisi Allah, maksudnya Allah telah
mensyari’atkan salam bagi kalian dan menjadikannya sebagai penghormatan dan keberkahan yang
terus berkembang dan bertambah. Adapun firman-Nya: yang diberi berkat lagi baik, maka hal
tersebut karena salam termasuk kalimat yang baik dan dicintai Allah. Dengan salam maka jiwa akan
menjadi baik serta dapat mendatangkan rasa cinta.” (Lihat Taisir Karimir Rohman)
Perintah dari Nabi
Baro’ bin Azib berkata, “Rasulullah melarang dan memerintahkan kami dalam tujuh perkara: Kami
diperintah untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan menolong orang
yang dizholimi, memperbagus pembagian, menjawab salam dan mendoakan orang yang
bersin…”(HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Perintah menjawab salam
maksudnya yaitu menyebarkan salam di antara manusia agar mereka menghidupkan
syariatnya.” (Lihat Fathul Bari 11/23)
Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian masuk surga
hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Maukah kalian aku
tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah
salam di antara kalian.” (HR. Muslim). Dari Abdulloh bin Salam, Rasulullah bersabda, “Wahai
sekalian manusia, tebarkanlah salam di antara kalian, berilah makan sambunglah tali silaturahmi dan
shalatlah ketika manusia tidur malam, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (Shohih.
Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Etika Salam
Imron bin Husain berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi seraya
mengucapkan Assalamu ‘alaikum. Maka nabi menjawabnya dan orang itu kemudian duduk. Nabi
berkata, “Dia mendapat sepuluh pahala.” Kemudian datang orang yang lain mengucapkan Assalamu
‘alaikum warahmatullah. Maka Nabi menjawabnya dan berkata, “Dua puluh pahala
baginya.” Kemudian ada yang datang lagi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullahi
wa barakatuh. Nabi pun menjawabnya dan berkata, “Dia mendapat tiga puluh pahala.” (Shohih.
Riwayat Abu dawud, Tirmidzi dan Ahmad)
Dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Memulai salam hukumnya sunnah bagi setiap individu, berdasar pendapat terkuat.
2. Menjawab salam hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan para ulama.
3. Salam yang paling utama yaitu dengan mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wa
barakatuh, kemudian Assalamu’alaikum warahmatullah dan yang terakhir Assalamu’alaikum.
4. Menjawab salam hendaknya dengan jawaban yang lebih baik, atau minimal serupa dengan
yang mengucapkan. Allah berfirman “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu.” (Qs. An Nisa: 86)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Hendaknya orang yang berkendaraan memberi salam
kepada yang berjalan. Yang berjalan kepada yang dduk yang sedikit kepada yang banyak.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh Bukhari, “Hendaklah yang muda kepada yag lebih
tua.” Demikianlah pengajaran Rosul tentang salam. Namun orang yang meninggalkan tatacara salam
seperti pada hadits ini tidaklah mendapat dosa, hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang
utama.
Salam Kepada Orang yang Dikenal dan Tidak Dikenal
Termasuk mulianya syariat ini ialah diperintahkannya kaum muslimin untuk member salam baik pada
orang yang dikenal maupun orang yang belum dikenal. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
termasuk tanda-tanda hari kiamat apabila salam hanya ditujukan kepada orang yang telah
dikenal.”(Shohih. Riwayat Ahmad dan Thobroni)
(Disadur dari majalah Al Furqon edisi 9 th III)
Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya
Musibah

Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji
manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus Rasul-Nya
dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada.
Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta
keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam
semesta. Amma ba’du.
Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan
dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan.
Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu
luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan membawamu berputus
asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ وأن مع العسر يسرا‬، ‫ وأن الفرج مع الكرب‬، ‫واعلم أن النصر مع الصبر‬
“Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar
beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits riwayat
Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu
bak sebuah cahaya yang panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan tetapi memang
terasa panas menyengat di dalam dada.
Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala membuat
sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala
aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah).
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya
tentang bab yang sangat berfaedah ini:
“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah
satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan
tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa
kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau
berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk
musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika
menghadapinya.
Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat serta menjauhi larangan
syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh
Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana
ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan ajaran agama sebagaimana
tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam
rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan
Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas
membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai
rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah
sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar
dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka
Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan
dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar
termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung
ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam
diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan
itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan
tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan
penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan
hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si
Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu
dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang
dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan
lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota
badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-
robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar artinya: “Menahan lisan dari
mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan
dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata sabar disebutkan dalam 90 tempat
lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang
tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat
serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian
keimanan.”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik
iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai
cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan perkataan“Minal
imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang
keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran.
Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat
adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu
bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).
Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
ِ ‫مَا أَصَ ابَ مِن مُّصِ ي َب ٍة إِاَّل ِبإِ ْذ ِن هَّللا ِ َومَن ي ُْؤمِن ِباهَّلل‬‫َي ْه ِد َق ْل َب ُه َوهَّللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء عَ لِي ٌم‬
“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya. Allahlah
yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)
Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa
ta’ala menginformasikan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu di antara umat
manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa terjadi dengan
sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa dielakkan.
Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan
ketetapan dan takdir Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya sehingga mampu untuk
merasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena yakin terhadap kebijaksanaan
Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat membuat hamba-hambaNya menjadi
baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).
Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki
yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun
merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya
tentang perkataan Alqamah ini:
“Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini
merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang
beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ disebutkan dalam
konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada
Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi
larangan-Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni supaya
bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa marah dan tidak
terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan berbagai macam
ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang
tertimpa musibah dan karena dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun
merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan
pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).
Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:
1. Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana
halnya kebaikan.
2. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi sebab hati dapat meraih
hidayah dan merasakan ketenteraman diri.
3. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
4. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
5. Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.
(Al Jadiid, hal. 314).
Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:
“Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh
karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridho dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya
wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar
terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah. Adapun
ridho memiliki dua sudut pandang yang berlainan:
Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridho
terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho dan puas
dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridho
terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho terhadap perbuatan
Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya
haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).
Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri.
Maka hukum merasa ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk
merasa ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho
dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sebab
kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini
berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu
berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha’ yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah ‘dan
ia bersikap pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla
jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).
Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan
Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas
dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di
dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan
gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum
dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).
Syaikhul Islam mengatakan:
“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa.
Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah
yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan
ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang muncul
karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan.
Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan
rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang
tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang
dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila
ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.
Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit
atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan
penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan
malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin
membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila
ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu
sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan
tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya
adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb ‘azza wa jalla
sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya
tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh
Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka
muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia memuji Robbnya
atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya.
َ‫ات مِّن رَّ ب ِِّه ْم َورَ حْ م ٌَة َوأُولَـئِكَ ُه ُم ْال ُم ْه َت ُدون‬
ٌ ‫أُولَـئِكَ عَ لَي ِْه ْم صَ لَ َو‬
“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh
curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)
Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan
terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan
memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan ringkas
(lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).
Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:
1. Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), tentunya yang sesuai dengan
kemuliaan dan keagungan-Nya.
2. Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari Allah ta’ala.
3. Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama hal itu tidak
menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
4. Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat dan kesehatan yang selama ini
senantiasa kita rasakan.
5. Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang telah
diputuskan-Nya terjadi pada diri kita.
6. Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti Allah meridhoi orang tersebut.
(Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional).
Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar
Allah ta’ala berfirman,
ِ ‫} الَّذِينَ إِ َذآ أَصَ ا َب ْتهُم مُّصِ يب ٌَة َقالُوا إِ َّنا‬155{ َ‫َّاب ِرين‬ َّ ‫س َو‬ َ َ َ‫ص مِّنَ ْاأل‬
ٍ ‫ُوع َو َن ْق‬ ْ ْ ُ
‫هلل َوإِ َّنآ إِلَ ْي ِه‬ ِ ‫ت َو َب ِّش ِر الص‬
ِ ‫الثمَرَ ا‬ ِ ُ‫ال َو ْاألنف‬
ِ ‫مْو‬ ِ ‫م ِب َشيْ ٍء مِنَ ال َخ ْوفِ َوالج‬gْ ‫َولَ َنبْل َو َّن ُك‬
ُُ ‫} أ ُ ْوآلئِكَ عَ لَيْه ْم صَ لَ َو‬156{ َ‫رَ اجعُون‬
َ‫ات مِّن رَّ ب ِِّه ْم َورَ حْ م ٌَة َوأ ُ ْوآلئِكَ ُه ُم ْال ُم ْه َت ُدون‬ ِ ِ
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta
benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu
orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini berasal
dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang akan
mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
memperoleh hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini
menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya,
berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan antara kedua
golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila
dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes
dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).
Allah ta’ala juga berfirman,
ٍ ‫َّابرُونَ أَجْ رَ هُم ِبغَ ي ِْر حِسَ ا‬
‫ب‬ ِ ‫إِ َّنمَا ي َُو َّفى الص‬
“Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar:
10)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini
berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa
menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu
dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun angka
tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu
besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula
bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).
Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar.
Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
***
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi (Staf Pengajar Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Saad
Sombong vs Tawadhu

Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al Qur’an dan As Sunah mencelanya dan
mengajak kita untuk meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak masuk
ke dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati
dan tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman,
َ ُ‫اط َب ُه ُم ْال َجا ِهل‬
‫ون َقالُوا َساَل مًا‬ ِ ْ‫ون َعلَى اأْل َر‬
َ ‫ض َه ْو ًنا َوإِ َذا َخ‬ َ ‫ش‬ َ ‫َوعِ َبا ُد الرَّ حْ َم ِن الَّذ‬
ُ ْ‫ِين َيم‬
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi
dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik.” (QS. Al Furqaan: 63)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ْ‫ْال ِك ْب ُر َب َط ُر ْال َح ِّق َو َغم‬
ِ ‫ط ال َّن‬
‫اس‬
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya
Allah ta’ala berfirman,
َ ‫إِ َّن ُه اَل ُيحِبُّ ْالمُسْ َت ْك ِب ِر‬
‫ين‬
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Allah ta’ala juga berfirman,
ِ ْ‫ون ُعلُ ًّوا فِي اأْل َر‬
‫ض َواَل َف َسا ًدا‬ َ ‫ت ِْل َك ال َّدا ُر اآْل َخ َِرةُ َنجْ َعلُ َها لِلَّذ‬
َ ‫ِين اَل ي ُِري ُد‬
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk
menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)
Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang
menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia
miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Karena barang siapa yang
menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan
kehusyu’an hati serta ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus
memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan meluruskannya. Apabila
dia lalai dari hal itu, dia pasti akan terlempar keluar dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa
yang menuntut ilmu untuk berbangga-banggaan dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum
muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, sungguh ini
tergolongkesombongan yang paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya
terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah (anak semut), la haula wa la quwwata illa
billah.” (lihat Al Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 75-76 cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah. Sayangnya di
dalam kitab ini saya menemukan kesalahan cetak, seperti ketika menyebutkan ayat dalam surat An
Nahl di atas, di sana tertulis An Nahl ayat 27 padahal yang benar ayat 23. Wallahul muwaffiq)
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah
tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’
dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut
dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya.
Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk
membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat
pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta
bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka
bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka
bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada
dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali
bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap
kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan
dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga
akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula
halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda.
Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di
sisinya,
‫َه َذا مِنْ َفضْ ِل َربِّي لِ َي ْبلُ َونِي أَأَ ْش ُك ُر أَ ْم أَ ْكفُ ُر‬
“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru
kufur.” (QS. An Naml: 40).”
Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan
ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih
dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai
bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah
menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan
berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman,
‫ل‬gُ ‫ َوأَمَّا إِ َذا َما ا ْب َتاَل هُ َف َقدَ َر َعلَ ْي ِه ِر ْز َق ُه َف َيقُو‬. ‫َفأَمَّا اإْل ِ ْن َسانُ إِ َذا َما ا ْب َتاَل هُ َر ُّب ُه َفأ َ ْك َر َم ُه َو َن َّع َم ُه َف َيقُو ُل َربِّي أَ ْك َر َم ِن‬
‫ َكاَّل‬. ‫… َربِّي أَ َها َن ِن‬
“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan
mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan
diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku
telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17)
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-
nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku.
Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu
berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)
Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar
Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada
seorang lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia
dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan kemuliaan
derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam
mimpiku, ‘Karena faktor apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?”
Dia berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan
orang yang mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun selama
dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada keesokan harinya, laki-laki itu datang dan ternyata di
situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu
kepada mereka berdua. Ketika dia selesai bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya
berkata kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi orang tidur!” Lelaki itupun bangkit
meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang urusan
pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar
berkata kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab,
“Bukankah anda telah menolak cerita saya dahulu?!” Umar mengatakan, “Tidakkah kamu merasa
malu menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu dia
sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu
‘anhu tidak merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu
Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah
itu. walaupun sebenarnya dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan
tetapi inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq
Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Masa Muda, Waktu Utama Beramal
Sholeh

Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-
senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati
masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa
amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil.
Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu.
Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat
memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar
dan berserah diri.

Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia
muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An
Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang
pundaknya lalu bersabda,
ِ ‫ َأ ْو عَ ِاب ُر‬, ٌ‫ُكنْ فِي ال ُّد ْنيَا َكأ َ َّنكَ غَ ِريْب‬
‫سَبي ٍْل‬
“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no.
6416)
Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat
yang masih berusia belia.
Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di
dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan
pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara
yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui
tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga
terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.”
(Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri
tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan
berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri
akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ب اسْ َت َظ َّل َتحْ تَ َشجَ رَ ٍة ُث َّم رَ احَ َو َترَ َكهَا‬
ٍ ‫مَا لِى َومَا لِل ُّد ْنيَا مَا أَ َنا فِى ال ُّد ْنيَا إِالَّ َكرَ ا ِك‬
“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh
di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,
‫ َفإِنَّ ْالي َْو َم عَ َم ٌل‬، ‫ َوالَ َت ُكو ُنوا مِنْ أَ ْب َنا ِء ال ُّد ْنيَا‬، ‫ َف ُكو ُنوا مِنْ أَ ْب َنا ِء اآلخِرَ ِة‬، َ‫ َولِ ُك ِّل َواحِدَ ٍة ِم ْن ُهمَا َب ُنون‬، ‫ت اآلخِرَ ةُ ُم ْق ِبلَ ًة‬
ِ َ‫ َوارْ َتحَ ل‬، ‫ت ال ُّد ْنيَا م ُْد ِبرَ ًة‬
ِ َ‫ارْ َتحَ ل‬
‫ َوغَ ًدا حِسَ ابٌ َوالَ عَ َم َل‬، َ‫َوالَ حِسَ اب‬
“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut
memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia)
adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari
perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)
Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu
Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ‫ َشبَابَكَ َق ْب َل هَرَ مِكَ َو صِ حَّ َتكَ َق ْب َل سَ َقمِكَ َو غِ َناكَ َق ْب َل َف ْق ِركَ َو َفرَ اغَ كَ َق ْب َل َش ْغلِكَ َو حَ يَا َتكَ َق ْب َل م َْوتِك‬: ‫مْس‬
ٍ ‫ا ِْغ َت ِن ْم َخمْسً ا َق ْب َل َخ‬
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa
kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang
kematianmu.”(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At
Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani
dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam
kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum
datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu
luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat
adalah di alam kubur.”
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: “Bersedekahlah dengan kelebihan
hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau
menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”
Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk
kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”
Al Munawi mengatakan,
‫الخمْ سَ ُة اَل َيعْ ِرفُ َق ْدرَ هَا إِالَّ َبعْ دَ َز َوالِهَا‬
َ ‫َف ِه ِذ ِه‬
“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah
seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al
Jami’ Ash Shogir, 1/356)
Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan
sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu
semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal.
Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.
Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya
Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu
[1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2]
Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah
yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,
ٍ ‫ت َفلَ ُه ْم أَجْ ٌر غَ ْي ُر َممْ ُن‬
‫ون‬ ِ ‫) إِاَّل الَّذِينَ آَ َم ُنوا َوعَ مِلُوا الصَّالِحَ ا‬5( َ‫) ُث َّم رَ دَ ْد َناهُ أَسْ َف َل سَ افِلِين‬4( ‫سَن َت ْق ِو ٍيم‬
ِ ْ‫لَ َق ْد َخلَ ْق َنا اإْل ِ ْنسَ انَ فِي أَح‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-
6)
Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya,” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.”
Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas,
‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah
“dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak
semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa tua
adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan
masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.
An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit
untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat
muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.”
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman”
adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk
beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka
tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui,
seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan
berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua
renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)
Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.
‫هَّللا ُ الَّذِي َخلَ َق ُكم مِّن ضَ عْ فٍ ُث َّم جَ عَ َل مِن َبعْ ِد ضَ عْ فٍ قُوَّ ًة ُث َّم جَ عَ َل مِن َبعْ ِد قُوَّ ٍة ضَ عْ فا ً َو َش ْيب ًَة ي َْخل ُ ُق مَا َي َشا ُء َوه َُو ْالعَ لِي ُم ْال َقدِي ُر‬
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah
(kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan,
tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh
(segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang
dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan
lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga
menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase
kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase
dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh
uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya
semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu,
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah
(kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan
sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.
Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan
beramal.
Daud Ath Tho’i mengatakan,
‫ فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين‬، ‫إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم‬
‫ فكأنك باألمر قد‬، ‫ واقض ما أنت قاض من أمرك‬، ‫ فتزوّ د لسفرك‬، ‫ واألمر أعجل من ذلك‬، ‫ فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو‬، ‫يديها فافعل‬
‫َبغَ ـتـَـك‬
Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir
perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka
lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera
daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau
lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh
Abdurrahman As Suhaim)
Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
ُ‫ت َوإِلَ ْي ِه أُنِيب‬ ُ ْ‫إِنْ أ ُ ِري ُد إِاَّل اإْل ِصْ اَل حَ مَا اسْ َت َطع‬
ُ ‫ت َومَا َت ْوفِيقِي إِاَّل ِباهَّلل ِ عَ لَ ْي ِه َت َو َّك ْل‬
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal
dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)
Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah
memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Sabtu Pagi, 17 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal

Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu

Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan
hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai
dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫هلل َو ْالي َْو ِم ْاألخ ِِر َف ْلي ُْك ِر ْم ضَ ْي َف ُه‬
ِ ‫َمنْ َكانَ ي ُْؤمِنُ ِبا‬
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya.” (HR. Bukhari)

Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan
ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
Adab Bagi Tuan Rumah
1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang
yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ٌّ‫والَ يَأْ ُك ُل َطعَ امَك َإِالَّ َتقِي‬,‫ا‬
َ ‫الَ ُتصَ احِبْ إِالَّ م ُْؤ ِم ًن‬
“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan
makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُ َ‫ َو ُي ْتر‬، ‫الطعَ ِام َطعَ ا ُم ْال َولِي َم ِة ي ُْدعَ ى لَهَا األَ ْغ ِنيَا ُء‬
‫ك ْال ُف َقرَ ا ُء‬ َّ ُّ‫َشر‬
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan
orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
‫َمرْ حَ بًا ِب ْال َو ْف ِد الَّذِينَ جَ اءُوا غَ ْيرَ َخ َزايَا َوالَ َندَ امَى‬
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR.
Bukhari)
5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan
tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah
berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:
َ‫ َف َقرَّ َب ُه إِلَي ِْه ْم َقا َل آالَ َتأْ ُكلُ ْون‬. ‫ْن‬
ٍ ‫اغ إِلىَ أَهْ لِ ِه َفجَ ا َء ِبعِجْ ٍل سَ ِمي‬
َ َ‫َفر‬
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia
mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah
kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi
bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau,
seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa
mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama
muslim.
8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para
tamu duduk dengan tertib.
9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫َمنْ لَ ْم َيرْ حَ ْم صَ ِغ ْيرَ َنا َو ُي ِج َّل َك ِب ْيرَ َنا َفلَ ْيسَ ِم َّنا‬
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua
dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan
perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.
10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang
dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan
kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan
pulang.
12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya
sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
‫َف َقرَّ َب ُه إِلَي ِْه ْم‬
“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan
penghormatan bagi mereka.
14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan
menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan
berseri-seri.
15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
ِ ‫ْيلَ ٌة َوالَ َي ِح ُّل لِرَ ج ٍُل مُسْ ل ٍِم أَنْ يُق ْي َم عِ ْندَ أَ ِخ ْي ِه حَ َّتى ي ُْؤ ِث َم ُه قاَل ُ ْوا يَارَ س ُْو َل‬gََْ َ‫َّام َوجَ ائ َِز ُت ُه ي َْو ٌم َول‬
‫ ُيقِ ْي ُم عِ ْندَ هُ َوالَ َش ْيئَ لَ ُه‬: ‫هللا َو َك ْيفَ ي ُْؤ ِث َمهُ؟ َقا َل‬ َ
ٍ ‫ضيَا َف ُة َثالَ َث ُة أي‬
ِّ ‫ال‬
‫ي ْق ِر ْي ِه ِب ِه‬
“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi
seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata:
“Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang
tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.
Adab Bagi Tamu
1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur,
seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ْ‫َمنْ ُدعِ ىَ َف ْل ُي ِجب‬
“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
‫َو َمنْ َترَ كَ الدَّعْ َـو َة َف َق ْد عَ صَ ى هللاَ َورَ س ُْولَ ُه‬
“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-
Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
 Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
 Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
 Orang yang mengundang adalah muslim.
 Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada
sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya
berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
 Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
 Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun
orang yang miskin.
3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana
hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung
niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan,
kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala
dalam firman-Nya:
‫ْن‬gَ ‫ـر ْينَ إِن ُه َولِكنْ إِ َذا ُدعِ ْي ُت ْم َف ْاد ُخلُ ْوا َفإِ َذا َطعِمْ ُت ْم َفا ْن َتشِ ـر ُْوا َوالَ مُسْ َت ْئنِسِ ي‬ َ َ
ِ ِ‫يَاأ ُّيهَا الَّ ِذ ْينَ آ َم ُن ْوا الَ َت ْد ُخـل ُ ْوا ُبي ُْـوتَ ال َّن ِبي ِّإِالَّ أنْ ي ُْؤ َذنَ َل ُك ْم إِلَى َطـعَ ٍام غَ ْيرَ َناظ‬
‫ث إَنَّ ذلِ ُك ْم َكانَ ي ُْؤذِى ال َّن ِبيَّ َف َيسْ َتحِي ِم ْن ُك ْم َوهللاُ الَ َيسْ َتحِي مِنَ ْالحَ ِّق‬ ٍ ‫لِحَ ِد ْي‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu
diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika
kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang
percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu
untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena
menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi
seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ُص ِّل ِوإِنْ َكانَ ُم ْفـطِ رً ا َف ْلي ُْط ِع ْم‬
َ ِ ‫َإذا ُدعِ ىَ أَحَ ُد ُك ْم َف ْل ُي ِجبْ َفإِنْ َكانَ صَ اِئمًا َف ْلي‬
“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila
tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat
keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.
7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang
makan.
8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah,
sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al
Ahzab: 53)
9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat
mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian
akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada
tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
‫هللا صَ لىَّ هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َخامِسَ َخمْ سَ ٍة َفدَ عَ ا رَ س ُْو َل‬
ِ ‫ْب َو َكانَ لَ ُه ُغالَ ٌم لِحَ ا ٌم َف َقا َل اِصْ َنعْ لِي َطعَ امًا ا ُ ْد ُع رَ س ُْو َل‬ ُ ‫ار رَ جـ ُ ٌل ُي َقا ُل ل ُ ُه أَب ُْو‬ َ
gُ ‫شعَ ي‬ ِ َ‫َكانَ مِنَ ْاأل ْنص‬
َ‫هذا رَ ُج ٌل َق ْد َت ِبعَ َنا َفإِنْ شِ ْئت‬ َ ‫عَو َت َنا َخامِسَ َخمْ سَ ٍة َو‬
ْ َ‫هللا صَلىَّ هللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم إِ َّنكَ د‬
ِ ‫هللا صَ لىَّ هللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َخامِسَ َخمْ سَ ٍة َف َت ِبعَ ُه ْم رَ ُج ٌل َف َقا َل رَ س ُْو َل‬
ِ
َ‫ت ل ُه‬ُ ‫ْا َذنْ لَ ُه َوإِنْ شِ ْئتَ َترَ ْك ُت ُه َقا َل َب ْل أَ ْذ ْن‬
“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang
anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku
bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau.
Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho,
izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah
mengizinkannya.”" (HR. Bukhari)
11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai
mencicipi makanan tersebut dengan doa:
ْ َّ‫وصَ ل‬,َ َ‫م ْاألَ ْبرَ ار‬gُ ‫ َوأَ َك َل َطعَ ا َم ُك‬, َ‫أَ ْف َطرَ عِ ْندَ ُك ُم الصَّا ِئم ُْون‬
‫ت عَ لَ ْي ُك ُم ْال َمالَ ِئ َك ُة‬
“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan
makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al
Albani)
ِ ‫ َو ْا‬,‫اَللّهُـ َّم أَ ْط ِع ْم َمنْ أَ ْطعَ َمنِي‬
‫سق َمنْ سَ َقانِي‬
“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan
berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)
‫َاركْ لَ ُه ْم فِ ْيمَا رَ َز ْق َت ُه ْم‬ ْ ‫اَللّهُـ َّم‬
ِ ‫اغـفِرْ لَ ُه ْم َوارْ حَ مْ ُه ْم َوب‬
“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR.
Muslim)
12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan
budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.
***
Penulis: Abu Sa’id Satria Buana

Miskin Tapi Kaya

Imam As-Syafii rahimahullah berkata :


ُ ِ‫ َفأ َ ْنتَ َومَال‬..… ‫ب َق ُن ْو ٍع‬
َ ‫ك ال ُّد ْنيَا‬
‫سَوا ُء‬ ٍ ‫إِ َذا مَا ُك ْنتَ َذا َق ْل‬

Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah …


maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia
Sekitar tujuh tahun yang lalu saya berkunjung di kamar seorang teman saya di Universitas Madinah
yang berasal dari negara Libia, dan kamar tersebut dihuni oleh tiga mahasiswa yang saling dibatasi
dengan sitar (kain) sehingga membagi kamar tersebut menjadi tiga petak ruangan kecil berukuran
sekitar dua kali tiga meter. Ternyata… ia sekamar dengan seorang mahasiswa yang berasal dari
negeri China yang bernama Ahmad. Beberapa kali aku dapati ternyata Ahmad sering dikunjungi
teman-temannya para mahasiswa yang lain yang juga berasal dari China. Rupanya mereka sering
makan bersama di kamar Ahmad, sementara Ahmad tetap setia memasakkan makanan buat mereka.
Akupun tertarik melihat sikap Ahmad yang penuh rendah diri melayani teman-temannya dengan
wajah yang penuh senyum semerbak. Ahmad adalah seorang mahasiswa yang telah berkeluarga dan
telah dianugerahi seorang anak. Akan tetapi jauhnya ia dari istri dan anaknya tidaklah menjadikan ia
selalu dipenuhi kesedihan…, hal ini berbeda dengan kondisi sebagian mahasiswa yang selalu
bersedih hati karena memikirkan anak dan istrinya yang jauh ia tinggalkan.
Suatu saat akupun menginap di kamar temanku tersebut, maka aku dapati ternyata Ahmad bangun
sebelum sholat subuh dan melaksanakan sholat witir, entah berapa rakaat ia sholat. Tatkala ia
hendak berangkat ke mesjid maka akupun menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai akhi
Ahmad, aku lihat engkau senantiasa ceria dan tersenyum, ada apakah gerangan”, Maka Ahmadpun
dengan serta merta berkata dengan polos, “Wahai akhi… sesungguhnya Imam As-Syafi’i pernah
berkata bahwa jika hatimu penuh dengan rasa qonaa’h maka sesungguhnya engkau dan
seorang raja di dunia ini sama saja”.
Aku pun tercengang… sungguh perkataan yang indah dari Imam As-Syafii… rupanya inilah rahasia
kenapa Ahmad senantiasa tersenyum.
Para pembaca yang budiman Qona’ah dalam bahasa kita adalah “nerimo” dengan apa yang ada.
Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang
Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup, maka sesungguhnya apa bedanya
kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh
dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona’ah.
Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang
berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan “Jika Anda memiliki hati yang senantiasa
qona’ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang raja di dunia”.
Kalimat qona’ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang
begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi’i tatkala mengucapkan bait sya’ir diatas sungguh-sungguh
dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.
Seseorang yang qona’ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan
bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.
Ibnu Batthool berkata
َ َ ِ َ‫ عَ لِ َم أَنَّ مَا عِ ْند‬،ِ‫هللا َتعَ الىَ َوال َّتسْ لِيْم ألَمْ ِره‬
ِ ‫ألولِيَا ِئ ِه األ ْخي‬
‫َار‬ ْ ‫ َوفِى َقضَ ا ِئ ِه‬،‫ار‬
ِ َ‫هللا َخ ْي ٌر لأل ْبر‬ ِ ‫َوغِ َنى ال َّن ْف‬
ِ ‫س ه َُو بَابُ الرِّ ضَ ا ِب َقضَ ا ِء‬
“Dan kaya jiwa (qona’ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah)
terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-
orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik” (Syarh shahih Al-
Bukhari)
Orang yang qona’ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat
tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan
baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan menyerahkan segala
urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal kepada
Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan
matanya.
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;
ِ ‫ِك أَنْ َت ُك ْونَ ِبمَا فِي َيدِكَ أَ ْو َث ُق ِم ْنكَ ِبمَا فِي َي ِد‬
‫هللا‬ gَ ‫إِنَّ مِنْ ضَ عْ فِ َيقِ ْين‬
“Sesungguhnya di antara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di
tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah” (Jami’ul ‘Uluum wal hikam 2/147)
Orang yang qona’ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada
orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona’ah… ia menerima semua
keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!
Allah berfirman,
َ‫َمنْ عَ ِم َل صَالِحً ا مِنْ َذ َك ٍر أَ ْو أ ُ ْن َثى َوه َُو م ُْؤمِنٌ َفلَ ُنحْ ِي َي َّن ُه حَ يَا ًة َط ِّيب ًَة َولَ َنجْ ِز َي َّن ُه ْم أَجْ رَ ُه ْم ِبأَحْ سَ ِن مَا َكا ُنوا َيعْ مَلُون‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan. (An-Nahl : 97)
َّ ‫الحَ يَا ُة‬
Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata : ‫الط ِّيب َُة‬
‫اعَة‬ ْ
ُ ‫ال َق َن‬ Kehidupan yang baik adalah qona’ah (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya
17/290)
Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu ‘alahi wa
sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa,
ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ت رَ س‬ ِ ‫ِدَت فِي أَ ْبيَا‬ ْ ‫ْن َومَا أُوق‬ ِ ‫ظ ُر إِلَى ْال ِهاَل ِل ُث َّم ْال ِهاَل ِل ثَاَل َث َة أَ ِهلَّ ٍة فِي َش ْهرَ ي‬ ُ ‫ت لِعُرْ َو َة ا ْبنَ أ ُ ْختِي إِنْ ُك َّنا لَ َن ْن‬ ْ َ‫عَ نْ عَ ا ِئ َش َة رَ ضِ يَ هَّللا ُ عَ ْنهَا أَ َّنهَا َقال‬
ْ‫ُول هَّللا ِ صَ لَّى هَّللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم ِجيرَ انٌ مِن‬ ِ ‫ان ال َّتمْ ُر َو ْالمَا ُء إِاَّل أَ َّن ُه َق ْد َكانَ لِرَ س‬ َ ْ َ‫ش ُك ْم َقال‬ ُ ‫صَ لَّى هَّللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َنا ٌر َفقُ ْل‬
ِ َ‫ت اأْل سْ َود‬ ُ ‫ت يَا َخالَ ُة مَا َكانَ ُيعِي‬
‫ت لَ ُه ْم َم َنا ِئ ُح َو َكا ُنوا َيمْ َنحُونَ رَ سُو َل هَّللا ِ صَ لَّى هَّللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم مِنْ َأ ْلبَان ِِه ْم َف َيسْ قِي َنا‬ َ
gْ ‫ار َكا َن‬ِ َ‫اأْل ْنص‬
Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian
kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak
dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka aku (Urwah) berkata,
“Wahai bibiku, apakah makanan kalian?”, Aisyah berkata, “Kurma dan air”, hanya saja Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau
kambing-kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut” (HR
Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972)
Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.
Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. ‘Athoo’ Al-Khurosaani
rahimahullah berkata : “Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di
pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin
Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-
orang menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan
dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid-pen). Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata
pada hari itu,
ِ ‫ت أَ َّن ُه ْم َترَ ُك ْوهَا عَ لَى حَ الِهَا َي ْن َشأ ُ َناشِ ي ٌء مِنْ أَهْ ِل ْال َم ِد ْي َن ِة َو َي ْق ُد ُم ْال َقا ِد ُم مِنَ األُفُ ِق َفيَرَ ى مَا ْاك َت َفى ِب ِه رَ س ُْو ُل‬
‫هللا فِي حَ يَا ِت ِه َف َي ُك ْونُ َذلِكَ ِممَّا‬ ُ ‫هللا لَ َود ِْد‬
ِ ‫و‬
ُ َّ ُ َّ
‫ي َُز ِّه ُد الناسَ فِي الت َكاث ِر َوالت َفاخ ِر‬َّ
“Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah
sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang
orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah.
Hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan
harta dan sikap saling bangga-banggaan” (At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa’ad 1/499)
Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona’ah yang
berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi
sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س‬ ِ َ‫لَ ْيسَ ْال ِغ َنى عَ نْ َك ْثرَ ِة ْالعَ ر‬
ِ ‫ض َولَكِنَّ ْال ِغ َنى غِ َنى ال َّن ْف‬
“Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi adalah kaya
jiwa (hati)” (HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050)
Ibnu Battool rahimahullah berkata, “Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah
ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia
senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka
seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk
mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa
seseorang yang merasa cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk
menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang
yang kaya dan selalu mendapatkan harta” (Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkata kepadanya,
‫ إِ َّنمَا ْال ِغ َنى غِ َنى‬: ‫ قال‬.ِ‫ َنعَ ْم يَا رَ س ُْو َل هللا‬: ‫ت‬ ِ ‫ أَ َف َترَ ى قِلَّ ِة ْالم‬: ‫ َقا َل‬،ِ‫ َنعَ ْم يَا رَ س ُْو َل هللا‬: ‫ت‬
ُ ‫َال ه َُو ْال َف ْقرُ؟ ُق ْل‬ ِ ‫ أَ َترَ ى َك ْثرَ َة ْالم‬،‫يَا أَبَا َذر‬
ُ ‫َال ه َُو ْال ِغ َنى؟ قُ ْل‬
ِ ‫ب َو ْال َف ْق ُر َف ْق ُر ْال َق ْل‬
‫ب‬ ِ ‫ْال َق ْل‬
“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?”. Aku (Abu
Dzar) berkata : “Iya Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya
harta merupakan kemiskinan?”, Aku (Abu Dzar ) berkata, “Benar Rasulullah”. Rasulullahpun berkata :
“Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen)
adalah miskinnya hati” (HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib
wa At-Tarhiib no 827)
Maka orang yang qona’ah meskipun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang
kaya.
Madinah, 10 04 1432 H / 15 03 2011 M
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA
MANHAJ
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat
Islam (1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
masa. Amma ba’du.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal.
Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang
yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka
membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah
akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)
Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al
Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas
daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan
termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat
yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi
Maktumradhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits,
hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat
Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As
Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan banyak menyebutkan berbagai kebaikan
mereka. Mereka juga mendoakan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka
demi melaksanakan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
mengatakan; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului
kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada
orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al
Hasyr [59]: 10)
Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri
untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red)
dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar
penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong
beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka
adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan
pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi
mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat.
Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141). Barang
siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As
Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)
Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat
1. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang
yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi
sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa mengharapkan karunia
dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath: 29)
2. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang
diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan
keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut
(Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada
mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka
berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun
mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr [59]: 8-9)
3. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang
beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu
Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan
ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al
Fath [48]: 18)
4. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada
Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. dan Allah
telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At
Taubah [9]: 100)
5. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari di mana Allah tidak akan menghinakan Nabi
dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim [66]: 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)
Dalil-dalil Dari As Sunnah Tentang Keutamaan Para Sahabat
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di
antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara
kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi
infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan
setengahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian
orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit.
Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa
langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka
tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para
sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka
akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan
terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencela para sahabatku
maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh
umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para
sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Dalil Ijma’ Tentang Keutamaan Para Sahabat
1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya
umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para sahabat,
begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini
sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat
mereka diakui dalam hal ijma’.”
2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang
yang adil, baik yang terlibat dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan
para ulama yang dapat diperhitungkan.”
3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk
menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal
itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka
adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang
diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi
dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari
kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak
untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi
orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Dalil Akal tentang keutamaan para Sahabat
Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum Rafidhah (Syi’ah) menganggap
bahwasanya semua sahabat adalah kafir kecuali sebagian saja di antara mereka. Sedangkan kaum
Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para sahabat yang terlibat dalam kancah fitnah. Duhai,
sungguh mengherankan apa yang mereka perbuat !!
Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya, “Maka Allah telah menurunkan
ketenangan dari-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman (para sahabat) serta Allah
telah menetapkan kalimat takwa kepada mereka. Mereka itulah (Rasul dan para sahabat) orang-
orang yang memang berhak dan layak untuk menerimanya. Dan Allah Maha mengetahui atas segala
sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)
(Di dalam ayat ini) Allah telah menjadikan mereka (para sahabat) sebagai orang-orang yang berhak
dan pantas mendapatkan predikat takwa, sedangkan mereka (Rafidhah dan Mu’tazilah) justru
mencela mereka!! Kemudian (dalil yang lainnya, red) Pada suatu saat Allah ta’ala memerintahkan
kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berangkat ke Baqi’ dalam rangka memintakan
ampunan bagi para sahabat yang sudah meninggal di antara mereka dan agar beliau mendoakan
mereka. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah meninggal dalam keadaan ridha kepada
mereka, kemudian orang-orang itu justru mencela mereka !!
Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu banyaknya pujian dari Allah dalam Kitab-Nya
yang mulia dan juga pujian yang keluar dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka
dalam keadaan Allah Maha tahu tentang perbuatan mereka serta apa yang akan muncul dari mereka
sesudah Nabi meninggal, sementara orang-orang itu berani mencela mereka dengan seenaknya ….
Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan mereka sebagai para da’i yang
menyampaikan agama-Nya serta menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan mereka sebagi guru
umat manusia setelah Rasul-Nya sedangkan orang-orang ini justru berani mencaci maki mereka…
Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal. 79)
-bersambung insya Allah-
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat
Islam (2)

Jasa Besar Para Sahabat Terhadap Umat Islam


Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum kepada
umat Islam adalah sebagai berikut.
1. Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih hidup dan sesudahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang
yang ummi/buta huruf. Oleh sebab itu maka beliau memilih beberapa orang sahabatnya untuk
mencatat wahyu, di antara mereka ialah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ubai
bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Sehingga apabila wahyu turun merekalah yang diperintahkan
untuk mencatat dan di samping juga untuk dihafalkan di dalam ingatan mereka. Di antara para
sahabat ada pula yang berinisiatif untuk menulisnya untuk mereka pribadi tanpa perintah dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyetorkan hafalan Qur’annya kepada malaikat Jibril setiap tahun pada setiap malam
bulan Ramadhan, maka para sahabat pun menyetorkan hafalan dan catatan wahyu yang
mereka miliki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tatkala Rasul wafat al-
Qur’an itu sudah terpelihara di dalam dada-dada para sahabat serta tertulis di dalam shuhuf,
kayu, dan lain sebagainya. Kemudian tibalah masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq.
Ketika itu tahun 12 hijriyah terjadi perang Yamamah antara kaum muslimin melawan orang-
orang yang murtad. Dalam peperangan ini 70 orang sahabat penghafal al-Qur’an gugur.
Karena itulah Umar bin Khaththab datang menemui Abu Bakar mendesaknya untuk berupaya
mengumpulkan al-Qur’an yang masih terpisah-pisah. Hingga akhirnya Abu Bakar pun
menerima saran tersebut. Maka Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
mencatatnya dengan mengurutkan ayat dan surat-suratnya. Sehingga berkat jasa Abu Bakar
dan para sahabat lainnya inilah terwujud sebuah kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah
berbentuk mushaf. Kemudian upaya penertiban berikutnya dilakukan di masa khalifah ‘Utsman
bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu (lihat Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 118-134)
2. Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits Nabi. Memang pada awalnya hadits-hadits Nabi
belum boleh dicatat karena ketika itu kaum muslimin masih di awal-awal turunnya al-Qur’an
dan khawatir akan tercampur dengan catatan ayat. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang mereka untuk mencatat selain al-Qur’an. Akan tetapi kemudian larangan itu
beliau hapus sesudah al-Qur’an banyak dihafal dan dicatat dengan baik oleh para sahabat
sehingga tidak dikhawatirkan lagi catatan atau hafalan hadits tercampur dengan al-Qur’an.
Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwasanya pencatatan hadits itu memang sudah
terjadi di jaman Nabi bahkan beliau sendiri yang memerintahkannya. Di antara dalilnya ialah
sabda beliau pada saat khutbah di tahun pembukaan kota Mekkah ketika Abu Syah meminta
kepada beliau untuk dituliskan ceramah yang beliau sampaikan, “Tuliskanlah bagi Abu
Syah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits Abu Hurairah. Beliau menceritakan,
“Sesungguhnya dia (Abdullah bin Amr) dahulu mencatat (hadits) sedangkan aku tidak
mencatat.” (HR. Bukhari) Begitu pula ketika Nabi ditanya oleh Abdullah bin Amr, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar sabdamu dan akupun mencatatnya.” Maka beliau
mengatakan, “Ya, (silakan).” Abdullah berkata, “Baik pada saat marah maupun ridha?” Beliau
menjawab, “Iya, karena sesungguhnya aku tidak berkata kecuali haq.”(HR. Ahmad, sanadnya
shahih kata Syaikh Ahmad Syakir) (lihat Al Hadits An Nabawi, Mushthalahuhu, Balaghatuhu,
Kutubuhu, hal. 40-49)
Dan cukuplah kiranya dua buah jasa besar ini menjadi sumbangan paling berharga yang mereka
berikan bagi pemeliharaan ajaran Islam yang murni. Sehingga Islam yang diturunkan Allah melalui
malaikat Jibril kepada Nabi dan kemudian diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
para sahabat bisa sampai di tangan kita melalui ribuan ayat al-Qur’an dan puluhan ribu hadits Nabi
yang tertulis dengan sanad-sanad yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di dalam kitab-
kitab hadits. Yang dari ayat-ayat dan hadits-hadits itulah umat manusia bisa mengetahui apa yang
harus mereka yakini, apa yang harus mereka ucapkan dan apa yang harus mereka perbuat. Dari ayat
dan hadits itulah para ulama menarik berbagai prinsip dan kesimpulan hukum dalam bidang akidah,
akhlak, muamalah, ibadah dan lain sebagainya. Sehingga seorang muslim yang hidup di abad 15
Hijriyah bisa mengetahui secara gamblang dengan tangan yang manakah seharusnya dia makan,
dan dengan tangan yang manakah seharusnya dia mencuci duburnya..!! Sebagaimana kaum
muslimin pada masa sahabat pun mengetahuinya.
Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai muslim akan tetapi rela
menghinakan dirinya dengan mencurahkan energi dan pikirannya demi mendiskreditkan dan mencaci
maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu mencatat, dan kejahatan mereka sangat layak untuk
dibalas dan dijatuhi hukuman berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka tunggulah wahai
orang-orang yang tidak tahu terima kasih ! Atau segeralah bertaubat, jika kalian memang masih ingin
selamat !!
Hukum Mencela Sahabat
Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi menjadi beberapa
tingkatan:
1. Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya itu melahirkan konsekuensi
kafirnya semua sahabat atau sebagian besar di antara mereka, atau mendudukkan mayoritas
mereka ke dalam golongan orang-orang fasik, maka tindakan semacam ini tidak diragukan lagi
tentang kekafirannya. Karena dia telah berani mendustakan Allah, Rasul-Nya dan berdusta
atas nama agama.
2. Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan mereka. Dalam hal ini ada dua
pendapat ulama tentang status kekafirannya. Perbedaan ini muncul disebabkan adanya
perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat yang muncul karena kemarahan temporal
dengan laknat yang muncul akibat kemarahan permanen yang bersumber dari keyakinan hati
3. Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak sampai merusak citra keadilan dan
agama mereka, seperti dengan menyebut mereka sebagai orang yang pengecut, pelit, tidak
zuhud dan semacamnya, maka orang yang melakukan perbuatan seperti itu berhak menerima
ta’zir (hukuman khusus) yang keras, ditahan dan dibatasi aktifitasnya oleh pemerintahan Islam.
(lihat Al Is’aad, hal. 79)
Urutan Keutamaan Para Sahabat
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang
bertingkat-tingkat.
1. Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar,
‘Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan
oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah
khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
2. Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk
surga selain mereka, yaitu: Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin
Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu
‘anhum.
3. Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu
4. Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada
orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di
bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan
kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48] : 18)
5. Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka
itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al
Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi
daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing
Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid [57]: 10) Sedangkan yang
dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah.
6. Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
7. Kemudian kaum Anshar.
Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam al-Qur’an,
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin
yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan
keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr [59]: 8) Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah
berfirman tantang kaum Anshar, “Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar)
dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin)
dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih
mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada
dalam kesulitan. Dan barang siapa yang dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr [59] : 9)
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang
menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri
tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu
menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah
‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat
para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam
memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti
oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi,
kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin)
memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka
(terhadap dakwah Nabi di Mekkah, red).
Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu
berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah
yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal
pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman
kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada
pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang
berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada
sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah,
hal. 77)
Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah)
dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan
(perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak
Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia
benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia
berhak mendapatkan satu pahala.
Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi
yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para
sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling
tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di
jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita
memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka
dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak
memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)
Keterjagaan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah
orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam
maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah
orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut:
1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih
2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik
generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka,
seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang
dilakukan sebelumnya.
5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa
orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas
dosa.
7. Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka
8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia
yang paling berhak untuk memperolehnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari
(karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Itu dikarenakan
mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat
ini, yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang
serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)
-bersambung insya Allah-
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat
Islam (3)

Fatwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa dengan menggunakan atsar/riwayat dari
para ulama Salaf dan fatwa para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk diambil
daripada pendapat-pendapat ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka. Karena
sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung dengan kedekatan masa
mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi. Sehingga fatwa-
fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para tabi’in.
Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi’ut tabi’in, demikianlah
seterusnya. Oleh karena itu setiap kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun juga semakin mendominasi. Inilah hukum yang
berlaku bila ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan perindividu…” (dinukil dari Al
Bayyinaat As Salafiyah ‘ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya Ahmad Salam, hal. 11)
Macam-Macam Perkataan Sahabat
Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:
1. Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum ucapan mereka adalah marfu’
(bersumber dari Nabi). Ucapan itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan
hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits yang marfu’ dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamnamun dari sisi periwayatan makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika
sisi ini yang diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh disandarkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan secara tegas dinyatakan bahwa ucapan itu
adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Maka perkataan sebagian
mereka tidak bisa dijadikan sebagai argumen untuk memaksa sahabat yang lain untuk
mengikutinya. Dan mujtahid sesudah mereka tidak boleh taklid kepada sebagian mereka saja.
Akan tetapi yang harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat yang lebih
kuat berdasarkan dalil yang ada.
3. Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat lainnya,
maka ini termasuk sesuatu yang dihukumi sebagai ijma’ menurut mayoritas para ulama.
4. Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu
apabila ada perkataan sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya, tidak populer,
atau tidak diketahui apakah ucapannya itu populer atau tidak, sedangkan hal yang
disampaikan adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan
mayoritas umat Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda dengan pendapat
kaum filsafat yang menyimpang.
Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan beberapa
syarat yaitu:
1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad
maka ia dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)
2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan
sahabat tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa
yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya.
Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus
berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-
Qur’an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah pasti akan ada
sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.
4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat
lain yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong
ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.
5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya
ucapan sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah tidak
mungkin bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!) memang ada ucapan
mereka yang bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk
tawaquf/diam. Karena tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad
dirinya sendiri. Walaupun begitu, menurut mereka perkataan sahabat yang bertentangan
dengan analogi itu tetap harus didahulukan daripada analogi. Karena ucapan sahabat adalah
nash/dalil tegas. Sedangkan dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihatMa’alim
Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al
Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)
Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan seorang sahabat yang bertentangan
dengan analogi daripada pendapat yang dibangun di atas analogi semata !! Itu adalah bukti bahwa
mereka benar-benar menghormati dan memuliakan para sahabat.
Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat para
sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para sahabat saja
sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang
mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan
laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) Duhai
para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah
yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!
Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk menimba ilmu
sebelum ilmu itu diangkat. Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya ulama. Dan
berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat ajaran baru dan bersikap melampaui
batas. Kalian wajib mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para sahabat).”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu
beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan
ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para
ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka
teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu
mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang
telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran
agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena
sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan,
karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah cukup. Wajib bagi kalian mengikuti urusan kaum
tua/para sahabat.”
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di
atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau
juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu tetap konsisten
dengan atsar.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu dibangun di atas pikiran semata
niscaya bagian bawah dari terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun
karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap permukaan atas kedua
terompahnya (maka itulah ajaran yang harus diikuti).”
Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu
‘anhu tatkala mencium hajar aswad berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya sekedar
batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat bahwa
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Berhentilah di mana kaum itu (para
sahabat) berhenti. Karena mereka diam dan berhenti dengan landasan ilmu. Mereka menahan diri
dengan bekal pandangan yang cermat dan tajam. Padahal sebenarnya mereka adalah orang yang
paling mampu untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka jauh lebih dahulu
melakukannya jika hal itu memang sesuatu yang lebih utama. Seandainya ada di antara kalian yang
berkata: ada ajaran baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya tidak ada yang menciptakannya
kecuali orang yang menentang petunjuk mereka serta membenci sunnah mereka. Sesungguhnya
mereka telah membicarakannya dan sudah cukup memberikan jalan pemecahan. Dan apa yang
mereka bicarakan sebenarnya sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu siapapun yang melampaui
mereka maka dia adalah orang yang nekat melanggar batasan. Dan siapapun yang sengaja
mengurang-ngurangi ajaran mereka maka dia adalah orang yang melecehkan. Sungguh telah ada
suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi petunjuk mereka sehingga akhirnya mereka pun
celaka. Dan ada pula yang nekat melanggar batas hingga akhirnya mereka pun menjadi ekstrem.
Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di
atas petunjuk yang lurus.”
Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama salaf. Meskipun
risikonya orang-orang menjadi menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat orang, meskipun
mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-ucapan yang indah. Karena sesungguhnya urusan
agama ini sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”
Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah semakin menambah
kesungguhannya melainkan dia pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”
Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan kebid’ahan melainkan
akan dicabut sunnah yang sepadan dengannya.”
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan: Selama seseorang
meniti atsar maka itu berarti dia masih berada di atas jalan yang benar.”
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat.
Karena maksiat masih bisa diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan taubatnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau ikuti adalah atsar
(hadits), dan boleh saja kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal menafsirkan hadits.”
Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah, “Apa
pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan tentang
‘ardh (badan) dan jism (jasad, maksudnya Apakah Allah itu memiliki tubuh, red) ?” Maka beliau pun
menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan atsar/riwayat dan
mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang
menaikinya niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan tenggelam.”
Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu kalam/filsafat itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat
sudah membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah berbicara dalam masalah
hukum-hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke dalam
kebatilan.”
Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata: Barang siapa yang
menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka
pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi
kerasulan. Sebab Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi
kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu
maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami
adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah
sesat.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk sebagai kaum
Ash-habul hadits (pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah seorang sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika
kamu melihat ada seorang yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin
Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga menyebutkan nama-nama yang lain.
“Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka maka
ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”
Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung dan merangkum
wasiat para imam di atas. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki generasi akhir
umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab
itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk agama pada
hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish
shalih, hal. 197-206)
Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah
mengatakan dengan tegas di dalam kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di
antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci
orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan
cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka
adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)
Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci Sahabat berarti
membenci Islam. Wallahu ta’ala a’lam bish shawaab.
Yogyakarta, Kamis 27 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah
Meneladani Sahabat Nabi, Jalan
Kebenaran

Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama Islam, klaim kebenaran begitu larisnya
bak kacang goreng. Setiap kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai yang lebih benar
pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya.
Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan relatif. Karena
Allah Ta’ala  telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan Nabi-
Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam
Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al
Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al
Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-
sabda Shallallahu’alaihi Wasallam  itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
Yang menjadi masalah sekarang, mengapa ketika semua kelompok dan jama’ah mengaku telah
berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda keyakinan, berpecah-belah dan
masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Setidaknya ini menunjukkan Al Qur’an dan
sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami
berbeda-beda oleh masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah
sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum
ajma’in.
Pengertian Sahabat Nabi
Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah:
ً ‫ وإن لم يرو عنه شيئا‬،‫ وإن لم تطل صحبته له‬،‫من رأى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في حال إسالم الراوي‬
“Orang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  dalam keadaan Islam, yang
meriwayatkan sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang lama, atau
Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali” [1]
Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman
bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang jumlah orang yang tergolong
sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan:
‫ وقبض عليه الصالة والسالم عن مائة ألف وأربعة عشر ألفا ً من الصحابة‬،ً ‫ وكان معه بتبوك سبعون ألفا‬،ً‫شهد معه حجة الوداع أربعون ألفا‬
“Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah. Pada masa sebelumnya
70.000 orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah wafat, ada
sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi”[2]
Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan
sahabat Nabi:
‫ وبما نطقت به السنة النبوية في المدح لهم في جميع أخالقهم‬،‫ لما أثنى هللا عليهم في كتابه العزيز‬،‫والصحابة كلهم عدول عند أهل السنة والجماعة‬
‫ وما بذلوه من األموال واألرواح بين يدي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫وأفعالهم‬
“Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena
Allah Ta’ala  telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang
diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga
dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]
Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
َ‫ت َتجْ ِري َتحْ َتهَا اأْل َ ْنهَا ُر َخالِدِين‬
ٍ ‫ان رَ ضِ يَ هَّللا ُ عَ ْن ُه ْم َورَ ضُوا عَ ْن ُه َوأَعَ َّد لَ ُه ْم جَ َّنا‬ َ َ
ِ َ‫َّابقُونَ اأْل وَّ لُونَ مِنَ ْال ُمهَا ِج ِرينَ َواأْل ْنص‬
ٍ َ‫ار َوالَّذِينَ ا َّت َبعُو ُه ْم ِبإِحْ س‬ ِ ‫َوالس‬
ٰ
‫ۚ َذلِكَ ْال َف ْو ُز ْالعَظِ ي ُم‬ ‫فِيهَا أَب ًَدا‬
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar” (QS. At Taubah: 100)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau
bersabda:
‫ال تزالون بخير ما دام فيكم من رآني وصاحبني ومن رأى من رآني ومن رأى من رأى من رآني‬
“Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan para
sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah melihat
orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
‫ ثم الذين يلونه‬، ‫ ثم الذين يلونهم‬، ‫قرني‬ ‫الناس‬ ‫خير‬
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah
mereka”[5]
Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap
para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik,
masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu
mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan
dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah
memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka. Imam Abu Hanifah berkata:
‫ ثم نكف عن جميع أصحاب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إال‬, ‫ أبوبكر وعمر وعثمان وعلي‬: ‫أفضل الناس بعد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫بذكر جميل‬
“Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar,
lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-
sebutan yang indah”[6]
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  bersabda:
‫ ما بلغ مد أحدهم وال نصيف‬، ‫ فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا‬، ‫ أصحابي‬ ‫تسبوا‬ ‫ال‬
“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung
Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu genggam),
bahkan tidak menyamai setengahnya”[7]
Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu paham
bahwa tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para
sahabat Nabi,  maka tentu pemahaman yang paling benar terhadap agama Islam ada para mereka.
Karena merekalah yang mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam  hingga akhirnya sampai kepada kita,walhamdulillah. Merekalah
‘penghubung’ antara umat Islam dengan Nabinya.
Oleh karena ini sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang sama sekali
tidak diyakini dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia mendapatkan keyakinan itu?
Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya? Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan
tidak ada lagi Nabi sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita perlu menyadari
bahwa mengambil metode beragama Islam yang selain metode beragama para sahabat, akan
menjerumuskan kita kepada jalan yang menyimpang dan semakin jauh dari ridha Allah Ta’ala.
Sedangkan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi. Setiap hari kita
membaca ayat:
َ‫ب عَ لَي ِْه ْم َواَل الضَّالِّين‬ gَ ‫اط الَّذِينَ أَ ْن‬
ِ ‫عَمْت عَ لَي ِْه ْم غَ ي ِْر ْالم َْغضُو‬ َ َ‫اط ْالمُسْ َتقِي َم صِ ر‬
َ َ‫اهْ ِد َنا الصِّر‬
“Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat‘ adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman:
‫صدِّيقِينَ َوال ُّشهَدَ ا ِء َوالصَّا ِلحِينَ َوحَ سُنَ أُولَئِكَ رَ فِي ًقا‬
ِّ ‫َو َمنْ يُطِ ِع هَّللا َ َوالرَّ سُو َل َفأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَ ْنعَ َم هَّللا ُ عَ لَي ِْه ْم مِنَ ال َّن ِبيِّينَ َوال‬
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang
mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”[8]
Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa
yang dimaksud dalam ayat ini adalah NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya[9].
Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu  berkata:
،‫ وأقومُها هَديَا‬،‫ وأقلـُّهَا تكلـ ُّ َفا‬،ً‫ وأعمقـُها عِ لما‬،ً‫ فإنهم كانوا أبرَّ هذ ِه األم ِة قلوبا‬,‫هللا صلى هللاُ علي ِه وسل َم‬ ِ ‫مُتأسيا ً فليتأسَّ بأصحا‬ ‫منكم‬  َ‫من كان‬
ِ ِ ‫رسول‬ ‫ب‬
ِ ‫ واتـَّبـِعُوهم في‬،‫ فاعرفوا لهم فضلـَهُم‬،ِ‫ اختارَ ُه ُم هللا ُ لِصُحب ِة نب ِّي ِه صلى هللا ُ علي ِه وسل َم وإقا َم ِة دي ِنه‬،ً‫وأحسنـُها حاال‬
‫ فإنهم كانوا على الهُدى‬،‫آثارهِم‬
‫المُستقيم‬
“Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu
agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik
keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka
semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)”[10]
Beliau juga berkata:
‫اخ َتارَ أَصْ حَ ا َب ُه‬ ْ ‫اس َف‬ ِ ‫ب ال َّن‬ ِ ‫ ُث َّم َن َظرَ فِي ُقلُو‬،ِ‫ َوا ْن َت َخ َب ُه ِبع ِْل ِمه‬،ِ‫اخ َتارَ مُحَ م ًَّدا صَ لَّى هَّللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َفبَعَ َث ُه ِب ِرسَ الَ ِته‬ ِ ‫إِنَّ هَّللا َ َتعَ الَى َن َظرَ فِي قُلُو‬
ْ ‫ب ْال ِعبَا ِد َف‬
‫ َومَا رَ آهُ ْالم ُْؤ ِم ُنونَ َق ِبيحً ا َفه َُو عِ ْندَ هَّللا ِ َق ِبي ٌح‬، ٌ‫ َفمَا رَ آهُ ْالم ُْؤ ِم ُنونَ حَ سَ ًنا َفه َُو عِ ْندَ هَّللا ِ حَ سَ ن‬،ِ‫ َوأَ ْنصَ ارَ دِي ِنه‬،‫َفجَ عَ لَ ُه ْم وُ َزرَ ا َء َن ِب ِّي ِه صَ لَّى هَّللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم‬
“Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam  dan mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’alamemperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia
memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan
pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu
Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang dipandang
buruk oleh kaum Mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah”[11]
Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
‫…أصول السنة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب رسول هللا صلى هللا عليه و سلم واالقتداء بهم‬
“Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut kami adalah berpegang teguh dengan pemahaman para
sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka… dst.”
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari
perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan mengikuti
sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam  bersabda:
‫ قال من هي يا رسول هللا ؟‬، ‫ أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة واحدة‬g‫ وتفترق‬، ‫إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة‬
‫وأصحابي‬ ‫عليه‬ ‫أنا‬ ‫ما‬ : ‫قال‬
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.
Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”
Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”[12]
Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya:
‫ فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين‬، ‫ وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم فسيرى اختالفا كثيرا‬، ‫أوصيكم بتقوى هللا والسمع والطاعة‬
‫ وإياكم ومحدثات األمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة‬، ‫ فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ‬، ‫) المهديين‬
“Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah. Lalu mendengar dan taat kepada pemimpin,
walaupun ia dari kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup sepeninggalku akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnnahku dan sunnah khulafa ar
raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi
geraham. Serta jauhilah perkara yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu
sesat” (HR. Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)
Jika Sahabat Berselisih Pendapat
Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan dari para
sahabat, lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka kekeliruan dan
penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika dalam sebuah permasalahan, terdapat
beberapa pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari beberapa
pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
: ‫قد سمعت قولك في اإلجماع والقياس بعد قولك في حكم كتاب هللا وسنة رسوله أرأيت أقاويل أصحاب رسول هللا إذا تفرقوا فيها ؟‬
[ ‫ نصير منها إلى ما وافق الكتاب أو السنة أو اإلجماع أو كان أص َّح في القياس‬: ‫فقلت‬
“Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi'i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah
Al Qur'an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan perkataan para
sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat?
Imam Asy Syafi'i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para
sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu'an atau Sunnah atau
Ijma' atau Qiyas yang paling shahih”[13]
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya

Penulis: Yulian Purnama
Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at,
Bukan Hadits Dha’if

Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan
hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya
sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih
wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan untuk
menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad
hadits tersebut shahih ataukah tidak?
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
‫سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول هللا صلى هللا عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث‬
‫الضعيف المتروك وال االسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال ال يعمل حتى يسأل ما يؤخذ به‬
‫منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم‬
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang
memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia
tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits
yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam
kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh
mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab
tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada
ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).
Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-,
bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi
spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh
periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi
landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali  rahimahullah berkata,
‫فأما األئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان‬
“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.”  (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
‫ال يجوز أن يعتمد فى الشريعة على األحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة وال حسنة‬
“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid
berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa1/250).
Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat
dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu
untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil
dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya
apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan.
Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil
dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).
Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya bin Ghulam
Qadir al-Bakistani.
Gedong Kuning, Yogyakarta, 5 Rabi’ ats Tsani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru
dalam agama ini (baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan tidak pernah pula dilakukan oleh para
sahabatnya. Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di
tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin
sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah, “Bacakanlah surat
yasin untuk orang mati di antara kalian“. (Hadits ini dho’if (lemah) diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu
Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul (tidak
dikenal)).
Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu
mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan
kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini semakin tersebar -di zaman yang penuh kebodohan
mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun menjadi
suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran
hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.
Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa
berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang demikian dengan neraka. Sebagaimana
sabda beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barang siapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari &
Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk
neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Cukuplah seseorang dikatakan
berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR. Muslim). Imam Malik -semoga Allah
merahmati beliau- mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia
menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi
panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal
Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).
Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta
secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak hadits
lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang disampaikan dho’if atau dusta. (LihatMuntahal
Amani)
Hukum Memakai Hadits Dho’if
Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak
boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui
pula hukum menggunakan hadits dho’if dengan melihat perkataan Imam Muslim -semoga Allah
merahmati beliau- berikut ini.
Imam Muslim -rahimahullah- berkata, “Ketahuilah -semoga Allah memberikan taufiq padamu-
bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat
yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta,
pen); agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan
periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang
berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah (yang sengit permusuhannya terhadap
ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini adalah firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu  orang fasikmembawa suatu berita, maka  periksalah dengan
teliti  agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak diterima
dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak.” (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari
Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran
hukum karena periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.
Bolehkah Hadits Dho’if Digunakan Dalam Fadho’il A’mal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan sangat dho’if/lemah)
tentang fadha’il a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa
para ulama telah sepakat bolehnya menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahala di
pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak
meskipun di dalam masalah fadha’il a’mal.
Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan
hadits dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan begitu
saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk
menjelaskan fadha’il a’mal (keutamana amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dalam syari’at
dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan shalat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa
manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk
melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar’i dengan
hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti
yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok
dalam penetapan hukum.
Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalam fadho’il a’mal juga
memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut
adalah: (1) Hendaknya hadits tersebut bukanlah hadits yang sangat dho’if/lemah, (2). Hendaknya
hadits tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau hasan, pen) yang umum, (3) Di dalam
mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya, (4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.
Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin.
Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho’if dengan hadits yang dho’if
jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki landasan dari hadits yang shohih
dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)
Maka pendapat terkuat dalam hal ini adalah bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan secara mutlak
termasuk juga dalam fadha’il a’mal. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Mengapa Harus Manhaj Salaf ?

Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al
Fatihah : 6), bagaimana jalan yang lurus itu? Itulah jalan yang telah Allah jelaskan pada ayat
berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka
…” Begitu pula dalam surat lain, “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para
nabi, para shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya” (QS. An Nisaa’: 69)

Siapakah Salaf Itu?
Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang dimaksud dengan salaf itu adalah
Rasulullah dan para sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat di atas, yang
dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah
dan para sahabatnya, generasi salaf. Nabi yang paling utama ialah Nabi Muhammad, imamnya
shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al
Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang saleh yang paling saleh adalah
seluruh sahabat Nabi. Merekalah salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama itulah
yang seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah maupun dakwah.
Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya. dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruknya tempat kembali” (QS. An Nisaa’: 115)
Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang mu’min yang dimaksud adalah para sahabat Nabi. Bahkan
Allah telah meridhai mereka dan orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka serta menjanjikan
untuk mereka balasan yang besar. “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara  orang-orang Muhajirin dan Anshar  dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah telah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100).
Demikianlah, Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari pengaruh-pengaruh peradaban lama
dan warisan berbagai kelompok sesat. Islam yang sesuai dengan pemahaman salaf telah banyak
dipuji oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah
Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan Rasulullah telah menegaskan saat beliau
sakit mendekati wafatnya, di mana beliau bersabda kepada putrinya, Fathimah, “Bertakwalah kepada
Allah dan bersabarlah, dan sesungguhnya aku adalah sebaik-baik  salaf bagimu” (HR. Muslim). Para
ulama ahlus sunnah dulu dan sekarang banyak menggunakan istilah salaf  dalam ucapan dan kitab-
kitab mereka. Seperti contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka mengatakan, “Dan
setiap kebaikan itu dengan mengikuti kaum salaf, sedangkan semua keburukan berasal dari
bid’ahnya kaum kholaf (belakangan)”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’
fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang menampakkan madzhab salaf dan bernasab padanya,
bahkan wajib menerimanya secara ijma’, karena madzhab salaf itulah kebenaran.
Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat
Sungguh, kehinaan dan ketertindasan umat ini akan tercabut dengan kembalinya umat pada agama
Islam yang murni, yaitu dengan meniti manhajsalaf. Di tengah maraknya perpecahan umat ini di
mana banyak dijumpai cara beragama yang berbeda-beda dan saling bertentangan, maka hanya ada
satu jalan yang benar yaitu jalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Inilah yang kemudian disebut dengan kembali kepada pemahaman yang
benar, pemahamannya Rasulullah dan tiga generasi awal umat ini, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’
tabi’in, serta para pengikut mereka yang setia dari kalangan para imam dan ulama. Tidak ada jalan
lain untuk mencari kebenaran dan ishlah (perbaikan) yang hakiki melainkan harus kembali kepada
pemahaman salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik, “Tidak akan baik keadaan umat
terakhir ini kecuali dengan apa yang menjadi baik dengannya generasi pertama.”
Wallahu a’lam.
Mari Mengenal Manhaj Salaf

Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga
akhir masa.  Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-
Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka
mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai
persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat
bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada
kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan
ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering
disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah
kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk
diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut
berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk
mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al
Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza
Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,
Lc. hafizhahullah dengan judulMengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari,
Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca
langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik
Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi
mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu kesalah
pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang
benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada
hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar
tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba
bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu
orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang
sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang
memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul
Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).
Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk
memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk
mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita
saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat
suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam
ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar
akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah
termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak
melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian
da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas
Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah
ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat cum laude di
sana, namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan
larut dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan
jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.
Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk memecahkan
segala macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih
tentang suatu urusan maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-
benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih
bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah
mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan
bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul
adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam
rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam
perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih
dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut maknanya
adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan
para ulama salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala
sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok
agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus dikembalikan
kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja
yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10). Maka
segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh
keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…”
(lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).
Kata Salaf Secara Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa
kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang
mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur
dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan
salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna
semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala
mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka
semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang
kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran
pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang
sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur
dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata
ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah
aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7).
Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun,
Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari
kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan
tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau
begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami
maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila
ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya
sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah
supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek
penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-
istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan
sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih
atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun
menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara
terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya
keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal.
38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud
adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu
mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal.
21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti
sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun
para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka
yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu
para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan
keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan
di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap
mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush
shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih
mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa
ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka
kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka.
Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat),
kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang
menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh
manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun
pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan
yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan
tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan
As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia
sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak
dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan
sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan
mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam
Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan.
Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf
tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan,
“Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad
adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para
sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri
mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para
ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut.
Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan
salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.”
(lihatLimadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya
Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan:
Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di
hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci
kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.”
(Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya
sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy
Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah
sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah
dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih.
Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini
karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga
bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren
yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap
bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem
belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika
mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari
dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian
kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari
tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada
kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan
bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang
menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia
dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama).
Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa,
4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang
menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang
‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran
yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di
benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai
aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa
salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama
Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa
mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut
menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-
usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu
sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang
mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhumdalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang
salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di
dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad
Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi
pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam
ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela)
dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah
seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz
Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728
H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca
bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan
Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk
disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan
menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin
Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud
meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti,
bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak
digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang
belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada
saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga
tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa
perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang
fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama
yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena
itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka
muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga
keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum
muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan
pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok
yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan
As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman
yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits
dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami akan katakan
kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan
lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi
(pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan,
“Oo, kalau ini berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan
istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai
daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah
penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga
secara umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah
penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta
tidak terjamin dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima
penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru
menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa
billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa
Nashr hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh dengan
manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April
2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan
diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau
madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka
beliaurahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab.
Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan
syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit
menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik
salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan
ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami
bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka
memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap
mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf
(belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku
dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada
dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk
mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak
boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.”
Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian-
memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh
para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku
(sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu
maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya
kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas
diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di
antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As
Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66
karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita
cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang
telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak
sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada
para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab
‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di
antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci
orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan
cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah
termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan
pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini
adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan
belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan
seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab
Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau
membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah
membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di
dalam Kitabul Iman dengan lafazh,“Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang
beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar(Keutamaan kaum
Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang
beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan
hari akhir lantas membenci kaum Anshar.”(Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah
mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik.
Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci
mereka maka Allah juga membencinya.”(Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan
hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah
keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim,
2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna
hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka
dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan
melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan
tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam
mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap
semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini
semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…”
(Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para
sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al
Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda
Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang
yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka
mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish
shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah
kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci
dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam
adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa
jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka.
Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan
timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah
mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
(Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang
bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh
Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul
quruun(sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya.
Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia,
red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat
dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath:
29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan
marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat
inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah
satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para
sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat)
membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para
sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok
ulamaradhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya
konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada
sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang
diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah
memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-
sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan
Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan
pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan
anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik.
Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi
sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam
Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.
Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik.
Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi
dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al
Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan
fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun
V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar
kepada ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih
dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini
yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha
kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan
Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya
menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung
Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga
tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al
Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam
ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi
salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut
sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini
merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada
para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat
dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang
yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim
sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak
mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan
mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa
keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya
kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta
kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani,
Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang
yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari
kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri
mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa
berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan
mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di
dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir
Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka
dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam
dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang
menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka
maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani
membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada
orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan
congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks
penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan
membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang
yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau
mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi,
membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam
Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau
Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu
dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela
orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-
telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik
yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada
mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar
dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah
ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan
wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa
bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang
memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku
niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah
para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta
jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang
diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi)
menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat
hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al
Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul
Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet.
Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah
solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat:
yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi
menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201). Imam
Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut
berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini
(yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh
dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya
(dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna
kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup
akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah
(ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang
artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65). Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari
berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang
teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur
Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah
dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).
Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau
mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak
dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan
kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan
suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi,
3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud
dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan
sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian
dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al
Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali
jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…”
(dinukil dariLimadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al
Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa
Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap
agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam
yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan
keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala
kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh
Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para
Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti
manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti
pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan
maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi
fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan
berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah
Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun
sunnah!! (silakan bacaLau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan
Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara.
Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu
jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak
mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu
seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al
Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al
Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah
jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu
Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini
telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73
golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits
perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan
umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al
Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204
karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits
perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang
mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan
amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan
menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan
pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah
hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah
‘salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga
definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya
Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan
bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun
bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau
Kaana Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah
sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah
secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar
seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:
1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang
melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang
yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan
sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi
masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil
dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil
Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-
orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di
atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan
ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus
Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati
keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan
amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan
kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau
Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti
Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al
Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan
yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang
mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata
praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para
ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila
para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau
sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan
bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun
Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca
buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan
menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan
dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat
mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As
Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642),
Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)). Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum
Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi
72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di
neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan
ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An
Najiyah(kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan
mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al
Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga
datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan
agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di
atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya
menjadi lima aliran utama ahlul bida’  (kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi
menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini
sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan
hanyafirqah-firqah yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang
tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah
baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa
bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya
kecuali nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita
sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 firqah,
semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang
menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
adalah termasuk dalamfirqah-firqah ini. Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang
ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya
terkandung cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun
ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam
beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah
mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat
penting untuk kita cermati. Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang
baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan
tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat
Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama
Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa
menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu
orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang
sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang
memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul
Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa
menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus
adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam
Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi
penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di
antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang menggabung-
gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan
kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat
dengan nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas
dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran
orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga
yang sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan
ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa
memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka
pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk ceramah maupun
tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni
pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka
yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani
mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. Subhaanallaah…!!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan
dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya:
Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan
juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-
kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi
Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah
salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga menjelaskan firqah Khawarij. Silakan
bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan
perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan,
“Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah:
1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah
yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun
keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun
tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi
mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah
Lum’atul I’tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara
singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu
adalah:
1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait
(keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari
kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para
Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini
pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani
mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah
kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta
begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal.
49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan
yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat
Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah.
Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak
memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah
keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman
itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga
konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang
sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka
ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa
besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan
baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir.
Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat
yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan
pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di
antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini
menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan
ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu
dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar
termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan
meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab
Khawarij.
6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari
majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar
itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina
manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin
‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil)
sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham
Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi
juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan
dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa
tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang
bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa.
Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat
QS. Al Hasyr: 14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada
madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah,
mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah
yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal.
Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa
ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul
Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun.
Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab
Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat
memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja
yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat.
Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus
Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas
pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara
firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah
dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga
kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan
berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran
Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya
pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red),Jama’ah Tabligh dari India yang
menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij
tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat
internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan
Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara
mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah
Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih
banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih
dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca
buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah
dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite
Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam,
dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?” Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum
muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena
sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela
orang yang menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah
telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali
‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah
belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan
bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga
berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun
menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am
: 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya
pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau
keduniaan (bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No.
1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah yang
membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al
Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian mereka
(pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al
Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan
perintah Allah, bahkan ia juga bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman
Allah ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan
Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah
Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang
untuk khuruj (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama
Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak
memiliki bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak
diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu
dan bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah
wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh
No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan
sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini
para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya
berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota
Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
(mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri
Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah
sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan
ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik mendengung-
dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos
dan beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk
mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah salah satu
keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha ‘menegakkan benang
basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepadaDemokrasi demi mendapatkan jatah kursi. Wallahul
musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-
orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi
atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di
akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath
Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al
Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama
sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab
Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang
adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan
petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang
tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat
sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita
ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah
keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat,
jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru saudara akan
bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat
ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan:
‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot
membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau
pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua
menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak,
berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari
Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti
apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah
ini kuat-kuat!!
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang
kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju
Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan
mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya
untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi
seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa
mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan
dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku)
tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian.
[dan] begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana
ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu
yang disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-
Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah
Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh
dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari kami dan
dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami memohon ampun
kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami
harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah
dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat beriring salam
semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga,
para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian
alam.
Jogjakarta, Jum’at 23 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriyah
Catatan:
Mohon kepada ikhwah sekalian untuk menyebarluaskan risalah ini secara utuh tanpa merubah
content dan memenggal tulisan di dalamnya, serta jangan lupa untuk tetap mencantumkan
sumbernya (muslim.or.id). Jazaakumullahu khoiron…
Mengenal Salaf dan Salafi

Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita kepada kebenaran-. Salaf dan salafi
mungkin merupakan kata yang masih asing bagi sebagian orang atau kalau toh sudah dikenal namun
masih banyak yang beranggapan bahwa istilah ini adalah sebutan bagi suatu kelompok baru dalam
Islam. Lalu apa itu sebenarnya salaf? Dan apa itu salafi? Semoga tulisan berikut ini dapat
memberikan jawabannya.
Pengertian Salaf
Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang
artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami
tenggelamkan mereka semuanya (di laut).  Dan Kami jadikan mereka sebagai SALAF dan contoh
bagi orang-orang yang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan mereka sebagai
SALAF -yaitu orang yang terdahulu- agar orang-orang sesudah mereka dapat mengambil pelajaran
dari mereka (salaf). Oleh karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al Muhith mengatakan, “Salaf juga
berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang dan orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan denganmu.” (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani, ‘Amr Abdul
Mun’im Salim dan Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary)
Kata ‘Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama
Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf, namun kata ini tidaklah asing di
kalangan ulama. Imam Bukhari -ahli hadits terkemuka- menuturkan, “Rasyid bin Sa’ad mengatakan,
‘Dulu para SALAF menyukai kuda jantan, karena kuda seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.”
Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut adalah para sahabat dan
orang setelah mereka.
Imam Nawawi -ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab beliau Al Adzkar, “Sangat
bagus sekali doa para SALAF sebagaimana dikatakan Al Auza’i rahimahullah Ta’ala, ‘Orang-orang
keluar untuk melaksanakan shalat istisqo’ (minta hujan), kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia
memuji Allah …’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin Sa’ad, dan Bilal
adalah seorang tabi’in. (Lihat  Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani)
Siapakah Salaf?
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut
tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush
sholih (orang-orang terdahulu yang sholih). Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu
Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan ‘kebaikan’
tiga generasi awal umat ini yang menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka, semangat
mereka dalam melakukan kebaikan, luasnya ilmu mereka tentang syari’at Allah, semangat mereka
berpegang teguh pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Wajiz fii Aqidah Salafish
Sholih dan Mu’taqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)
Wajib Mengikuti Jalan Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka apakah kita wajib
mengikuti jalan hidup salaf?
Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan anshor serta kepada orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ta’alaberfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100). Untuk
mendapatkan keridhaan yang mutlak ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan mengikuti salafush
sholih.
Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang mukmin.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). Yang dimaksudkan dengan
orang-orang mukmin ketika ayat ini turun adalah para sahabat (para salaf). Barangsiapa yang
menyelisihi jalan mereka akan terancam kesesatan dan jahannam. Oleh karena itu, mengikuti jalan
salaf adalah wajib.
Menyandarkan Diri Pada Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah wajib, maka bolehkan
kita menyandarkan diri pada salaf sehingga disebutsalafi (pengikut salaf)? Tidakkah ini termasuk
golongan/kelompok baru dalam Islam?
Jawabannya kami ringkas sebagai berikut: [1] Istilah salaf bukanlah suatu yang asing di kalangan
para ulama, [2] Keengganan untuk menyandarkan diri pada salaf berarti berlepas diri dari Islam yang
benar yang dianut oleh salafush sholih, [3] Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham
dan pribadi tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut Abul Hasan Al Asy’ari)
tidak dipersoalkan?! Padahal itu adalah penyandaran kepada orang yang tidak luput dari kesalahan
dan dosa!! [4] Salafi adalah penyandaran kepada kema’shuman secara umum (keterbebasan dari
kesalahan) sehingga memuliakan seseorang, [5] Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk
membedakan dengan kelompok lainnya yang semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As
Sunnah, namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu para sahabat dan
pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh al-Albani).
Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali, “Penamaan salafi adalah bentuk
penyandaran kepada salaf. Penyandaran seperti ini adalah penyandaran yang terpuji dan cara
beragama (bermanhaj) yang tepat. Dan bukan penyandaran yang diada-adakan sebagai
madzhab baru.” (Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salaf)
Solusi Perpecahan Umat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi mengenai perpecahan umat Islam
saat ini untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa’ur rasyidin -yang
merupakan salaf  umat ini-. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan
sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak,
maka berpegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidinyang mendapat
petunjuk. Maka berpegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.”  (Hasan Shohih, HR.
Abu Daud dan Tirmidzi)
Jalan Salaf Adalah Jalan yang Selamat
Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya (salafush sholih)
inilah yang selamat dari neraka. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan; satu golongan masuk surga, 70 golongan masuk
neraka. Nashrani terpecah menjadi 72 golongan; satu golongan masuk surga, 71 golongan masuk
neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73
golongan; satu golongan masuk surga dan 72 golongan masuk neraka.  Ada sahabat yang
bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa mereka yang masuk surga itu?’  Beliau menjawab, ‘Mereka adalah
Al-Jama’ah‘.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al Albani). Dalam riwayat lain para
sahabat bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘ Beliau menjawab,‘Orang yang mengikuti
jalan hidupku dan para sahabatku.‘ (HR. Tirmidzi)
Sebagai nasihat terakhir, ‘Ingatlah, kata salafi -yaitu pengikut salafush sholih- bukanlah sekedar
pengakuan (kleim) semata, tetapi harus dibuktikan dengan beraqidah, berakhlak, beragama
(bermanhaj), dan beribadah sebagaimana yang dilakukan salafush sholih.’
Ya Allah, tunjukilah kami pada kebenaran dengan izin-Mu dari jalan-jalan yang menyimpang dan
teguhkan kami di atasnya. Alhamdulillahillazi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala
Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Beginilah Seharusnya Seorang Salafy

Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah di
negeri kita ini terkesan sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar bikin ribut dan tidak pernah
akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka saling menjatuhkan. Kelompok yang satu
mencela dan mendiskreditkan kelompok yang lain. Padahal mereka sama-sama mengaku Salafi
(pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan
juga sama. Namun ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah seratus
persen benar. Akan tetapi itulah sebagian fakta yang ada di dalam pandangan masyarakat.
Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah penisbatan yang
sangat mulia. Salaf bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang dengan mudah pihak atasan
memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan (suka ngotot dan membantah). Oleh sebab
itulah pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah seorang Imam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah pada masa kini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah sebagai pelajaran dan koreksi bagi kita semua. Semoga Allah memberikan
taufik kepada kita untuk menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik paling
menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan
(yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang
tersebut dari Golongan Yang Selamat?”
Jawaban:
Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat
adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah
(keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam
keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:
Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan
dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini tauhid yang murni
dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang
begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya,
waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan
menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-
orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan
Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diijinkan oleh Allah.
Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka tampil
istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya: mencintai
kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah,
pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.
Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia
dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih
selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa
adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan
(cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari
keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan
mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid
terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya
keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang
diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat.
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari Golongan
Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini, meskipun hal itu
menyebabkan kedudukannya menjadi turun.
Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah
terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala
kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama
yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di
dalamnya.” (QS. Asy Syura: 13)
Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab
dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi
bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang
memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (QS. Al An’am:
159). Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol
yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila
muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah
maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka.
Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan
ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam
yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih
punya status wudhu.
Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja
memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan si
makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa
shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang
shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud
karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang
diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-
masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus
diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat
saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil
maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk
mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan
dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah
bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu
keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat
tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada
yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang
kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah
membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para
sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim),
maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka
waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar
sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada
juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke
sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang
benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras
terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka
memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami
dalil ini.
Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan
dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah
terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang
lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang
mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang
menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang
diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap
kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik
kejelasan perkaranya.
Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan
meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu
memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini
(perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang,
dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan
kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya
musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah
mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan
pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya
mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah
karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu
kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26)
Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu dan
ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau
gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik isi nasihat beliau di
atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana
para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan saudaranya
menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di
negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima dakwah, karena mereka bisa
menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh dan terlalu
cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak
lain di luar kelompok kita? Apa salahnya jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita?
Bukankah hikmah itu adalah barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata karena
kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak. Lalu apakah
bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-kyainya?
Renungkanlah saudaraku… Terkadang musuh yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita
daripada teman-teman yang bungkam dari ketergelinciran kita.
Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas pangkuan manhaj Salaf
sementara kita sendiri justru memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam saudara-
saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida’
wal ahwa’? Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi
terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba
memohon kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran. Engkau lah
Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami mengakuinya dan kami mohon ampunan
kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran dan
bimbingan para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan
do’a. Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi
Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum Salafiyin yang ada di
sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian
alam.
Cinta Sejati Kepada Sang Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau
cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai
daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang
dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya
dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim
dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga
keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan
seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia
kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari
perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui
kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka
kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang
sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu:
Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat
Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan
oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah
posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau
kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali
tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku
berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku
mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada
Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula
oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah
berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah.
Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia
diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di
medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad
yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan
anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka
perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya
berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku)
selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia
berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan
aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar
pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu
menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja
aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan
engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada
mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau
cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan
Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada
mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya di surga kelak??
Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa
potret cinta para sahabat kepada Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih
oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting
untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan
rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus
direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri
mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah
merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut
darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita
ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
1. Golongan yang berlebih-lebihan.
2. Golongan yang meremehkan.
3. Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah
sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam
mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah
generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi
sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-
259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa
ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga
beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para
nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-
Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,
‫َومَا آ َتا ُك ُم الرَّ سُو ُل َف ُخ ُذوهُ َومَا َنهَا ُك ْم عَ ْن ُه َفان َتهُوا‬
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi
maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu
wa ta’ala.
‫َومَا يَنطِ ُق عَ ِن ْاله ََوى إِنْ ه َُو إِاَّل َوحْ يٌ يُوحَ ى‬
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‫ُول هَّللا ِ أُسْ َوةٌ حَ سَ َن ٌة‬
ِ ‫لَ َق ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي رَ س‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab:
21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu
amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim
dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan
syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya,
karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al
Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
َ ‫مَّنْ يُطِ ِع الرَّ سُو َل َف َق ْد أَ َطاعَ هّللا‬
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela
ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di
masyarakat.
g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh
Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga
mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan
kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-
ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia
persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta
pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara
yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji
(Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba
Allah dan rasul-Nya.”(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang
yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-
Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah
[III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab
wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang
yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang
memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi
Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala
Ummatihi [I/359-361]).
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai
dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak
memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini
kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah cukup untuk merealisasikan cinta
kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an
(dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamdari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan
wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL,
Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji
dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-
aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus
diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar
Abdalla dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa
diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru,
yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung
perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih
Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran
Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat
karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a
aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya
kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan
cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada
penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam
mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam
mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka
mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush
shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut
merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak
prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah
al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
‫ث العَ م ِِم‬ ِ ‫… يَا أَ ْكرَ َم ْال َخ ْل ِق مَا لِي َمنْ أَل ُ ْو ُذ ِب ِه سِ َواكَ عِ ْندَ حُلُ ْو ِل ْالحَ ا ِد‬
‫َفإِنَّ مِنْ ج ُْودِكَ ال ُّد ْنيَا َوضَ رَّ َتهَا َومِنْ عُل ُ ْومِكَ عِ ْل ُم اللَّ ْو ِح َو ْال َقلَ ِم‬
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang
besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya
kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At
Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan
kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus
kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi
wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral
diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut
menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari
generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu
untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan
bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi
merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para
ulama kita yang menegaskan hal ini.
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
dikerjakan pada masa-masa itu:
1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-
Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa(I/302).
2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-
Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad (I/439).
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami
‘ala al-Maulid, hal: 8.
6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-
Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-
Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama
Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-
Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada
abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi,
salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat
Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid
al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana
yang dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:
1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-
Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar(I/490).
2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami
‘ala al-Maulid, hal: 8.
3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi
Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima
Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid
Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan
pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang
mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku
mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu
(Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati
rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain
dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para
ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima
dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan
seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke
penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk
melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan
kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid
an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan
perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani
Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama
dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu
dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para
ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga
keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan
mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan
menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah
asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka
dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum
muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang
lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka
(Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-
Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur
dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?
Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita
kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana
itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama
lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa
berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha
untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya
setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul
fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Mana Bukti Cintamu pada Nabi?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada
keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya
pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun
punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana
cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan
memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫ضَو َنهَا أَحَ بَّ إِلَ ْي ُك ْم مِنَ هَّللا‬
ْ ْ‫مْوا ٌل ا ْق َترَ ْف ُتمُوهَا َوتِجَ ارَ ةٌ َت ْخ َش ْونَ َكسَ ادَ هَا َومَسَ اكِنُ َتر‬ َ َ‫قُ ْل إِنْ َكانَ آَبَاؤُ ُك ْم َوأَ ْب َناؤُ ُك ْم َوإِ ْخ َوا ُن ُك ْم َوأَ ْز َوا ُج ُك ْم َوعَشِ يرَ ُت ُك ْم َوأ‬
َ‫سَبيلِ ِه َف َترَ َّبصُوا حَ َّتى يَأْتِيَ هَّللا ُ ِبأَمْ ِر ِه َوهَّللا ُ اَل َي ْهدِي ْال َق ْو َم ْال َفاسِ قِين‬
ِ ‫َورَ سُولِ ِه َو ِجهَا ٍد فِي‬
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal
yang kamu sukai, adalah  lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,  “Jika
semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka
tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang
menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya
adalah wajib.
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala
berfirman,
‫ال َّن ِبيُّ أَ ْولَى ِب ْالم ُْؤ ِمنِينَ مِنْ أَ ْنفُسِ ِه ْم َوأَ ْز َوا ُج ُه أ ُ َّمهَا ُت ُه ْم‬
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab:
6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidaklah
memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan
keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada
keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri
sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai  Rasulullah,
sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian
Nabishallallahu ’alaihi wa sallam  berkata,
َ‫الَ َوالَّذِى َن ْفسِ ى ِب َي ِد ِه حَ َّتى أَ ُكونَ أَحَ بَّ إِلَ ْيكَ مِنْ َن ْفسِ ك‬
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih
engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau
(Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam  berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :
Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai
Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam
akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya,
begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam
firman-Nya,
gَ ‫َل َق ْد جَ ا َء ُك ْم رَ سُو ٌل مِنْ أَ ْنفُسِ ُك ْم عَ ِزي ٌز عَ لَ ْي ِه مَا عَ ِن ُّت ْم حَ ِريصٌ عَ لَ ْي ُك ْم ِب ْالم ُْؤ ِمن‬
‫ِين رَ ءُوفٌ رَ حِي ٌم‬
”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai
nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Di antara faedah tersebut adalah:
[1] Mendapatkan manisnya iman
Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
‫َان أَنْ َي ُكونَ هَّللا ُ َورَ سُول ُ ُه أَحَ بَّ إِلَ ْي ِه ِممَّا سِ َوا ُهمَا َوأَنْ ُيحِبَّ ْال َمرْ َء اَل ُي ِح ُّب ُه إِاَّل هَّلِل ِ َوأَنْ ي َْكرَ َه َأنْ َيعُودَ فِي ْال ُك ْف ِر َكمَا‬ ٌ ‫ثَاَل‬
ِ ‫ث َمنْ ُكنَّ فِي ِه َوجَ دَ حَ اَل َو َة اإْل ِيم‬
َ
ِ ‫ي َْكرَ هُ أنْ ُي ْق َذفَ فِي ال َّن‬
‫ار‬
“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-
Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya  hanya  karena Allah;  dan benci
kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”[4]
[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah
mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak
sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata,
َ‫أَ ْنتَ مَعَ َمنْ أَحْ َببْت‬
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa
gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man
ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau
begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa
bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti
amalan mereka.”[6]
[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ‫اس أَجْ َمعِين‬
ِ ‫اَل ي ُْؤمِنُ أَحَ ُد ُك ْم حَ َّتى أَ ُكونَ أَحَ بَّ إِلَ ْي ِه مِنْ َولَ ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوال َّن‬
“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang
tuanya serta manusia seluruhnya.” [7]

Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. [8]

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍ ‫إِنَّ هَّللا َ اصْ َط َفى ِك َنا َن َة مِنْ َولَ ِد إِسْ مَاعِ ي َل َواصْ َط َفى ُقرَ ْي ًشا مِنْ ِك َنا َن َة َواصْ َط َفى مِنْ قُرَ ي‬
‫ْش َبنِى هَاشِ ٍم َواصْ َط َفانِى مِنْ َبنِى هَاشِ ٍم‬
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih
Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu
Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]
Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun
yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah
sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau
tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
)4( ‫) إِنْ ه َُو إِاَّل َوحْ يٌ يُوحَ ى‬3( ‫عَن ْاله ََوى‬ َ ‫) مَا ضَ َّل صَ ا ِح ُب ُك ْم َومَا‬1( ‫َوال َّنجْ ِم إِ َذا ه ََوى‬
ِ ‫) َومَا َي ْنطِ ُق‬2( ‫غَوى‬
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian
yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan
pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada
beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ْ‫ْال َبخِي ُل الَّذِي َمنْ ُذكِر‬
َّ‫ت عِ ْندَ هُ َفلَ ْم يُصَ ِّل عَ لَي‬
“Orang yang bakhil (pelit)  adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak
bershalawat kepadaku.”[11]
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َوي َْغفِرْ َل ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم‬g‫قُ ْل إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحبُّونَ هَّللا َ َفا َّت ِبعُو ِني‬
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
‫ ُك ُّل ِب ْدعَ ٍة ضَ اللَ ٌة‬،‫ َوال َت ْب َت ِدعُوا َف َق ْد ُكفِي ُت ْم‬،‫ا َّت ِبعُوا‬
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran
Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah
sesat .”[12]
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu
prinsip mahabbah  (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabishallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman
bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya.
Allah Ta’ala berfirman,
‫فَاَل َورَ بِّكَ اَل ي ُْؤ ِم ُنونَ حَ َّتى يُحَ ِّكمُوكَ فِيمَا َشجَ رَ َب ْي َن ُه ْم ُث َّم اَل َي ِجدُوا فِي أَ ْنفُسِ ِه ْم حَ رَ جً ا ِممَّا َقضَ يْتَ َويُسَ لِّمُوا َتسْ لِيمًا‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan,
bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada
dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan
dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫صرُونَ هَّللا َ َورَ سُولَ ُه أُولَئِكَ ُه ُم الصَّا ِد ُقون‬ َ َ‫َار ِه ْم َوأ‬
ُ ‫مْوال ِِه ْم َي ْب َت ُغونَ َفضْ اًل مِنَ هَّللا ِ َو ِرضْ َوا ًنا َو َي ْن‬ ُ
ِ ‫ل ِْلفُ َقرَ ا ِء ْال ُمهَا ِج ِرينَ الَّذِينَ أ ْخ ِرجُوا مِنْ ِدي‬
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda
mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan
RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)
Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  seperti diceritakan dalam
kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud
mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku
berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.”  Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas
lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium
bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang
diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan
pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin
telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara
perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‫اَل َت ُسبُّوا أَحَ ًدا مِنْ أَصْ حَ ِابي َفإِنَّ أَحَ دَ ُك ْم لَ ْو أَ ْنفَقَ م ِْث َل أ ُ ُح ٍد َذ َهبًا مَا أَ ْدرَ كَ ُم َّد أَحَ ِد ِه ْم َواَل َنصِ ي َف ُه‬
”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara
kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang
diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]
Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman,
‫وب َنا غِ اًّل لِلَّذِينَ آَ َم ُنوا رَ َّب َنا إِ َّنكَ رَ ءُوفٌ رَ حِي ٌم‬ ِ ‫اغفِرْ لَ َنا َوإِل ِ ْخ َوا ِن َنا الَّذِينَ سَ َبقُو َنا ِباإْل ِيم‬
ِ ُ ‫َان َواَل َتجْ عَ ْل فِي قُل‬ ْ ‫َوالَّذِينَ جَ اءُوا مِنْ َبعْ ِد ِه ْم َيقُولُونَ رَ َّب َنا‬
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya
Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah).
Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan
selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul.
Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika
seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering
mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah
mencela risalah Muhammad.”[17]
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum
cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan
pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka
ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong
mengenai Aisyah, pen),
َ‫ِظ ُك َم هَّللا ُ أَنْ َتعُودُوا لِم ِْثلِ ِه أَب ًَدا إِنْ ُك ْن ُت ْم م ُْؤ ِمنِين‬
ُ ‫َيع‬
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya,
jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]
Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan
menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan
dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq
dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini
dengan sabdanya,
‫َنضَّرَ هَّللا ُ امْ رَ أً سَ مِعَ ِم َّنا َش ْي ًئا َف َبلَّغَ ُه َكمَا سَ مِعَ ُه َفرُبَّ ُمبَلِّ ٍغ أَ ْوعَ ى مِنْ سَ ام ٍِع‬
“Semoga Allah  memberikan kenikmatan pada  seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia
menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.Betapa banyak  orang yang diberi berita lebih
paham daripada orang yang mendengar.” [19]

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah
berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫بَلِّ ُغوا عَ ِّني َولَ ْو آي ًَة‬
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”  Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari
[20]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.


Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam  adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini
adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena
sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan
melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
‫دَث فِى أَمْ ِر َنا ه ََذا مَا َل ْيسَ ِم ْن ُه َفه َُو رَ ٌّد‬
َ ْ‫َمنْ أَح‬
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.”[22]
Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada
ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta
bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[23]
Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid
nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain
dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian
malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian
malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal
-yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah
yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan
mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]
Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi
[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul
Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul
Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini
bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya
‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang
bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran
beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam
syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar,
Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi,
perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada
makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa
diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]
[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al
Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau
memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan
mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab
dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan)
dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan
maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang
menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan.
Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah).  Karena yang
namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan
maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah
jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang
namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa
disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]
Penutup
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya.
Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah
sebagian salaf mengatakan:
ُ ‫لهذا لما َك ُثرَ األدعياء‬
ُ ‫قُ ْل إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحبُّونَ هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ْم هَّللا‬, ‫طولبوا بالبرهان‬
Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  tentu hanya
mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan
yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang dikemukakan oleh
orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung acara Maulid Nabi.
Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-Sleman.
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah
Nabi

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau, memiliki
kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala menjadikan sunnah
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang
merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan
agama Islam dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,


َ ‫اس َما ُن ِّز َل إِلَي ِْه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َي َت َف َّكر‬
‫ُون‬ ِ ‫الذ ْك َر لِ ُت َبي َِّن لِل َّن‬ َ ‫َوأَ ْن َز ْل َنا إِلَي‬
ِّ ‫ْك‬
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An Nahl: 44)
Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab,“Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746). Ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an,
menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya. (Lihat keterangan imam
an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim 6/26). Maka orang yang paling sempurna dalam
memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling
sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan Al Qur’an dan agama Islam secara
keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan
(utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah:
bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang
menjelaskan makna) al-Qur’an.” (Ushuulus Sunnah, hal. 3)
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara
keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan. (Lihat Jaami’ul Uluumi wal Hikam, hal. 321)
Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah
itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.”
(Syarhus Sunnah, hal. 59)
Arti Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
‫ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َو َي ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َرحِي ٌم‬
َ ‫قُ ْل إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب‬
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya
Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim
(pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti
jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam
pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa
oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam semua ucapan, perbuatan dan
keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu,
maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti
dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka
orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika
terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya,
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab
(etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”
(Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya
dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah (yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan
dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau, atau
memuji dan mensifati beliau  secara berlebihan, dengan menempatkan beliau  melebihi kedudukan
yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau padanya. (Mahabbatur Rasul  bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’,
hal. 65-71)
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian
memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nashrani
melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang
hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HSR Al Bukhari no. 3261)
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh
generasi terbaik umat ini, para sahabatradhiyallahu ‘anhum.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan
tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk
menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.” (HR At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132,
dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)
Bagaimana Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam
Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang
akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah:
1. Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang
dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha,
hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau
sampaikan, mantaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, meninggalkan semua
perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya,
sesuai dengan kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan
ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan
sempurna.
2. Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar,
dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian,
pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliaushallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian
(besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan selalu (mendahulukan) ucapan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain
beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani
beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap zuhud terhadap dunia, mencukupkan diri
dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak)”  (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min
Nafahaati Riyaadhil Qudsi, hal. 34-35)
Keutamaan Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ُول هَّللا ِ أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة لِ َمنْ َك‬
‫ان َيرْ جُو هَّللا َ َو ْال َي ْو َم اآْل َخ َِر َو َذ َك َر هَّللا َ َك ِثيرً ا‬ ِ ‫ان لَ ُك ْم فِي َرس‬
َ ‫لَ َق ْد َك‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua
perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai  “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan
bahwa orang yang meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah
menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan
kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala. (Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika
menafsirkan ayat di atas, hal. 481)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang
agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan
dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/626)
Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk
direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat
dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang
baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah
Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan
kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan
balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk
meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
terlebih lagi yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling semangat
dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan
tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena seorang
muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan
sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah
melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat
(besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan
(sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia.”
(Manaasikul Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)
Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab
beliau Al Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’(1/215) berikut ini:
“Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha
untuk membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku dan
sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamsemaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,
‫ُول هَّللا ِ أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة‬
ِ ‫ان لَ ُك ْم فِي َرس‬
َ ‫لَ َق ْد َك‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab:
21)”
‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc.
Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:
 Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang nama tersebut menjadi
simbol golongan tersebut.
 Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga dijuluki karena amalan
tersebut, dan dikenal dengan amalan tersebut tanpa dikenal dengan amal lainnya. Ini
merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat (ubudiyyah muqayyadah).
Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak dikenal
dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap
panggilan ibadah apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap kalangan ahli
ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama, pakaian, maupun cara-cara buatan.
 Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
 Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
 Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
 Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”.
 Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:
َّ ‫يه ْم تِجَ ارَ ةٌ َوال َب ْي ٌع عَ نْ ذ ِْك ِر هَّللا ِ َوإِ َق ِام الصَّال ِة َوإِي َتا ِء‬
‫الز َكا ِة‬ ِ ‫ال ِرجَ ا ٌل ال ُت ْل ِه‬ ِ َ‫ت أَذِنَ هَّللا ُ أَنْ ُترْ َفعَ َوي ُْذ َكرَ فِيهَا اسْ ُم ُه يُسَ ِّب ُح لَ ُه فِيهَا ِب ْال ُغدُوِّ َواآْل ص‬
ٍ ‫﴿ فِي ُبيُو‬
َ ‫أْل‬ ُ ُ ْ
)37_36:‫ي ََخافونَ ي َْوما َت َت َقلبُ فِي ِه القلوبُ َوا ْبصَ ارُ﴾(النور‬ َّ ً ُ
Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-
Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak
tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat. Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar balikkan hati dan
penglihatan (An Nur: 36-37).
 Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”.
 Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir hadits Nabi
tentang unta temuan):
.‫ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها‬،‫ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها‬
“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia bisa mencari
makan dan minum sendiri, sampai bertemu dengan pemiliknya kembali”
 (Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174).
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Artikel www.muslim.or.id

Walau Engkau Seorang Diri dalam


Kebenaran

Wahai saudaraku … yang namanya kebenaran tidaklah mesti dianut oleh orang banyak. Meskipun
seseorang bersendirian dalam menggenggam ajaran kebenaran, dialah yang berada di jalan yang
benar. Jadi tidak perlu berkecil hati ketika kita hanya bersendirian di kampung atau di negeri,
sedangkan yang lainnya berada dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Karena sebenarnya kita bersama
dengan Rasul dan para sahabat yang terlebih dahulu berpegang pada kebenaran.
Ibnu Mas’ud berkata,
‫ وحدك‬g‫الجماعة ما وافق الحق وإن كنت‬
“Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al
Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/
322/ 13).
Sebagian salaf mengatakan,
‫ الهالكين‬g‫عليك بطريق الحق وال تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل وال تغتر بكثرة‬
“Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya
orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau
tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap asing.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
ُ ‫ َيقُو ُل « بَدَ أَ اإلسْ الَ ُم غَ ريبا ً ُث َّم َيعُو ُد غَ ريبا ً َكمَا بَدَ أَ َف‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫َن ْبنَ سَ َّن َة أَ َّن ُه سَ مِعَ ال َّن ِبى‬
‫ قِي َل يَا رَ سُو َل‬.» ‫طوبَى ل ِْل ُغرَ بَا ِء‬ ِ ‫عَ نْ عَ ْب ِد الرَّ حْ م‬
ِ ِ ِ
ِ ‫هَّللا ِ َوم‬
ُ‫َن ْال ُغرَ بَا ُء َقا َل « الَّذِينَ يُصْ لِحُونَ إِ َذا َفسَ دَ ال َّناس‬
Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabad, “Islam
itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya.
Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74.
Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad
bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda,
» ‫م‬gْ ‫يه ْم أَ ْك َث ُر ِممَّنْ يُطِ ي ُع ُه‬ ُ ُ ُ «
ٍ ‫سَو ٍء َكث‬
ِ ِ‫ِير َمنْ َيعْ ص‬ ْ ‫اس‬ِ ‫َن ْال ُغرَ بَا ُء يَا رَ سُو َل هَّللا ِ َقا َل « أ َناسٌ صَ الِحُونَ فِى أ َن‬
ِ ‫ َفقِي َل م‬.» ‫طوبَى ل ِْل ُغرَ بَا ِء‬
“Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai Rasulullah”, tanya
sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang
yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2:
177. Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Walau terasa asing, namun begitu indahnya bisa berada di atas kebenaran yang dianut sebelumnya
oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.
Hanya Allah yang memberikan petunjuk pada al haq, kebenaran.

Terorisme dan Pengeboman

“DR Azahari telah tewas!” Demikian salah satu berita hangat di media massa beberapa waktu yang
lalu. Nama DR. Azahari tidak dapat dipisahkan dengan terorisme dan pengeboman, dia diyakini
sebagai ahlinya merakit bom. Begitu pula dunia internasional sebelumnya dikejutkan dengan
munculnya seseorang bernama Usamah bin Laden. Namun disini kita tidak akan membahas tentang
sepak terjang DR Azahari atau Usamah bin Laden. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang
ialah: “Apakah aksi-aksi pengeboman ini memiliki dasar syari’at ataukah semata-mata salah
penafsiran terhadap dalil-dalil syar’i, yang tentunya akan berdampak buruk baik bagi kaum muslimin
dan manusia secara umum?” Insya Allah di sini akan sedikit dibahas mengenai terorisme dalam Islam
dan bagaimanakah pemahaman salah yang mendasari tindakan ini. Masalah ini sangat urgen dan
harus diketahui umat, agar tidak tertipu dengan pemahaman mereka atau bahkan merasa simpati dan
ikut tertarik dengan pemikiran mereka.
Awas Bahaya Laten Khowarij !!!
Jika kita tilik ke belakang, maka akan kita dapati bahwa pemahaman mereka ini bukanlah
pemahaman baru yang dipelopori oleh Azahari cs, namun pemahaman ini telah ada sejak dulu dan
akan berlangsung hingga hari kiamat. Kemudian diikuti pula oleh orang-orang jahil yang sebetulnya
punya semangat tinggi, tapi salah jalan.
Pemikiran ini sudah ada sejak di masa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika
Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallammembagi ghonimah (harta rampasan perang). Dalam
pembagian tersebut ada yang mendapat bagian banyak adapula yang sedikit, tentunya dengan
kebijakan Nabi. Kemudian muncullah seseorang yang bernama Dzulkhuwaishiroh, tidak terima
dengan pembagian yang dilakukan oleh Nabi dan mengatakan, “Berbuat adillah wahai Muhammad,
karena sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak ikhlas!” Maka Nabi bersabda, “Celaka
engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil jika saya saja sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka
dan rugi saya jika saya tidak bisa berbuat adil.” Tatkala itu Umar rodhiyallahu ‘anhu meminta izin
pada Nabi untuk memenggal leher orang tersebut. Maka Nabi bersabda, “Biarkan dia. Sesungguhnya
dia mempunyai pengikut yang menganggap kecil sholat kalian dibanding sholat mereka, puasa kalian
dibanding puasa mereka (Mereka adalah ahli ibadah, -ed). Mereka membaca Alqur’an tetapi tidak
sampai tenggorokan mereka. Mereka telah keluar dari batas-batas agama seperti keluarnya anak
panah dari busurnya.” (HR. Bukhori 3610 dan Muslim 1064)
Kemudian paham ini muncul dengan terang di masa kekholifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Tholib rodhiyallahu ‘anhuma, yang berbuntut pada terbunuhnya kedua kholifah tersebut. Pada masa
Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu terjadi suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan
dengan kelompok Khowarij ini. Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah,
maka mereka berdua mengirim utusan masing-masing. Dan pasca Shulh (perdamaian antara
Khalifah Ali dan Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju dengan sikap beliau dan memisahkan
diri, dan menetap di Haruro’ sehingga mereka dikenal dengan Haruriyah. Mereka menganggap
bahwa Kholifah Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah.
Setelah itu Ali mengutus Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk berdialog dengan mereka. Diantara
isi dialognya adalah penentangan mereka terhadap Ali karena berhukum dengan hukum manusia
dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari dan dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash untuk
menyelesaikan perselisihan mereka. Para penentang ini berdalil dengan firman
Allah, “Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.” (QS. Al-An’am: 57). Maka Ibnu Abbas
mengatakan, “Jika aku bacakan ayat dalam kitab Allah yang membantah pendapat kalian, maukah
kalian kembali?” Mereka menjawab, “Ya”. Lantas Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. Annisa’: 35). Akhirnya dua ribu orang sadar
dan kembali ke pangkuan kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu.
Khowarij ini akan tetap ada sampai akhir zaman. Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Akan muncul satu generasi yang membaca Al Quran namun tidak
memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas.” Ibnu Umar berkata, “Saya mendengar
beliau mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh
kali. Kemudin beliau bersabda, ‘Hingga muncullah Dajjal dalam barisan mereka’.”(Shohih, riwayat
Ibnu Majah)
Kelompok ini dalam Islam kemudian lebih dikenal dengan istilah Khowarij. Bisa saja mereka bisa saja
mengatakan, “Kami bukan Khowarij.” Namun perlu diketahui bahwa perubahan nama tidak merubah
hakekat dan wajah asli.
Waspadailah Ciri-Ciri Pemikiran Khowarij!!
Pemikiran Khowarij memiliki ciri-ciri yang selalu ada di setiap zaman, diantara ciri-ciri itu adalah:
1. Mengkafirkan pelaku dosa besar
Seperti tersebut dalam kisah di atas bahwa khowarij generasi awal begitu mudahnya mengkafirkan Ali
dan Mu’awiyah rodhiyallahu ‘anhuma. Syailkhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “… Disebabkan karena
kesalahpahaman mereka (khowarij) terhadap Al Quran meski mereka tidak bermaksud menentang Al
Quran, mereka memahami wajibnya mengkafirkan pelaku dosa besar. Hal ini beralasan bahwa orang
mukmin itu hanyalah orang yang baik lagi bertaqwa saja. Maka barang siapa tidak baik lagi bertaqwa
dia kafir dan kekal di neraka.” (Majmu’ Fatawa XIII/20)
Perlu diketahui bahwa masalah pengkafiran adalah hukum syar’i yang harus dikembalikan kepada
pada Allah dan Rosul-Nya, sebagaimana penghalalan, pengharaman. Kita tidak boleh mengkafirkan
kecuali orang yang telah ditunjuk oleh kitab dan sunnah atas kekafirannya dengan jelas. Pengkafiran
tidaklah cukup dengan semata-mata didasari prasangka, karena akan menimbulkan akibat-akibat
yang berbahaya, seperti penghalalan darah, harta benda, dan tidak boleh saling mewarisi,
pernikahannya menjadi batal dan lain-lainnya yang ditimbulkan akibat murtadnya seseorang. Karena
itulah Nabi memperingatkan dari hukum pengkafiran terhadap seseorang yang bukan kafir, beliau
bersabda: “Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir! Maka sungguh akan
kembali kalimat itu pada salah satu diantara keduanya. Jika memang benar ucapan itu (maka kalimat
itu tidak akan mengenainya) dan jika tidak, maka akan kembali kepadanya’.” (Muttafaqun’alaih)
Pemahaman mereka ini tentunya berlawanan dengan pemahaman ahlus sunnah yang didasari firman
Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa lain di bawah
syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” Intinya, bila seseorang berbuat kesyirikan dan belum bertaubat
sampai ia meninggal maka Allah tidak akan mengampuninya. Akan tetapi dosa lain di bawah syirik
seperti judi, minum khomr dan sebagainya maka boleh jadi Allah mengadzabnya dan boleh jadi
mengampuninya.
Adapun pengkafiran secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka itu adalah wewenang ulama, bukan
orang-orang jahil. Tidak boleh bagi seseorang ketika melihat ada orang lain yang melakukan
perbuatan kekufuran atau syirik akbar langsung mengarahkan meriam takfir kepadanya. Sebab
pengkafiran seperti ini harus melihat apakah syaratnya terpenuhi dan tidak adanya penghalang
(seperti dipaksa atau karena ketidaktahuan). Dari sini kita dapat mengerti, mengapa dengan
mudahnya mereka membom dan menewaskan korban dari kaum muslimin sendiri. Yah, karena
mereka anggap kaum muslimin telah kafir maka darah mereka halal untuk ditumpahkan.
2. Suka mencela dan memberontak kepada penguasa yang sah
Khowarij amat gemar dan menganjurkan untuk memberontak pada pemerintah yang sah seperti kita
lihat pada kisah di atas. Mereka telah memberontak kepada Ali bin Abi Tholib dan kholifah
selanjutnya. Kalau Ali bin Abu Tholib saja yang menegakan hukum Islam namun karena satu
kesalahan dalam berhukum -menurut paham mereka- mereka berontak, apalagi apalagi penguasa
yang jelas-jelas menerapkan hukum thogut.
Memberontak kepada penguasa yang sah ini berseberangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah
yang mengharuskan untuk tetap mendengar dan taat kepada mereka selama tidak bertentangan
dengan syariat Allah, sekalipun mereka berbuat zholim kepada rakyatnya. Bahkan Nabi melarang
untuk menentang kepada para penguasa kecuali bila melihat ada kekufuran yang sangat jelas
dengan sabdanya, “Kecuali engkau melihat kufur yang nyata, yang padanya di sisimu ada bukti dari
Allah.” (Mutafaqun’alaih). Maksud dari “Kecuali Engkau melihat!” yaitu tidaklah cukup berdasar pada
persangkaan dan kabar angin semata. Maksud dari “… kekufuran” yaitu tidak cukup adanya
kefasikan meskipun besar seperti kezholiman, minum khomr, berjudi, berzina dan melakukan
monopoli yang diharamkan. “yang nyata” maksudnya yaitu tidaklah cukup kekufuran yang tidak nyata,
tidak jelas, lagi tidak tampak. Dan “Padanya di sisimu ada bukti dari Allah”, maksudnya yaitu harus
ada dalil yang jelas, yaitu dalil yang benar penetapannya dan gamblang penunjukannya. Maka tidak
cukup jika dalil itu sanadnya lemah dan samar penunjukannya. Serta sabda Nabi “Dari Allah”,
maksudnya yaitu didukung oleh dalil yang benar dari Al Quran dan As Sunnah.
3. Menghalalkan darah kaum muslimin
Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda tentang Khowarij, “Mereka membunuh kaum muslimin dan
membiarkan penyembah berhala.” (HR. Bukhori, Muslim). Sehingga pada kenyataannya kita saksikan
mereka tidak merasa berdosa telah membunuh kaum muslimin akibat bomnya, bahkan justru merasa
bangga dengan aksinya itu.
Syari’at Islam menjaga lima pokok yang amat mendasar dan haram untuk diterjang, yaitu: agama,
jiwa, harta, kehormatan dan akal. Tidak ada perselisihan diantara kaum muslimin tentang haramnya
menganiaya jiwa orang tidak boleh dibunuh tanpa alasan yang benar. Barangsiapa melanggarnya,
niscaya dia memikul dosa yang besar.
Allah berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya
adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93). Begitu juga sabda Nabi dalam sunan
Nasa’i dari Abdulloh bin Amr, “Sungguh hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada
terbunuhnya seorang muslim.”
Termasuk jiwa yang dilindungi adalah orang yang terikat perjanjian dan Ahli dzimmah (orang bukan
islam yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam). Nabi bersabda: “Barangsiapa
membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada ikatan perjanjian) maka ia tidak akan mencium
bau surga, padahal baunya bisa dirasakan dari jarak sejauh 40 tahun perjalanan.” (HR. Bukhori)
4. Mereka selalu berdalil dengan, “Barangsiapa yang tidak berhukum berdasarkan apa yang
telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)
Telah kita lihat tentang awal kemunculan mereka, dan ayat di ataslah alasannya. Dan demikianlah
syiar khowarij dari masa ke masa. Kebodohan mereka yang berdalil dengan ayat di atas minimalnya
mereka tidak memperhatikan makna lafazh kufur ini. Mereka memahami makna kafir secara tekstual
dan tanpa perincian. Mereka menganggap bahwa sekedar berhukum dengan selain hukum Allah
merupakan kekufuran yang mengeluarkan keluar dari Islam sebagaimana kekafirannya orang
musyrik, Nasrani dan yahudi. Kata kufur tidak menunjukkan satu makna saja seperti juga dzolim dan
fasik. Kata dzolim dan fasik tidak mesti pelakunya keluar dari Islam.
Sang penafsir Al Quran, Abdulloh bin Abbas mengatakan, “Kekufuran ini tidak seperti pendapat
mereka, ini bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam, tetapi kufur yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari islam.” (Diriwayatkan dalam mustadrok 2/212, shohih menurut syarat Bukhori dan
Muslim. Syaikh Albani memuat riwayat ini dalam As-shohihah 6/109-116 no 2552). Inilah pemahaman
Ahlus Sunnah, yaitu bahwa seseorang tidak kafir hanya karena tidak berhukum dengan hukum Allah,
terkecuali apabila ia meyakini dalam hatinya bahwa hukum Allah tidaklah wajib dilaksanakan atau
meyakini bahwa hukum buatan manusia itu lebih baik ketimbang hukum Allah.
5. Meninggalkan Ulama dan su’udzon terhadap mereka
Dzul khuwaisroh demikian beraninya menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam tidak ikhlas
dalam pembagiannya, demikian juga khowarj dimasa Ali bin Abi Tholib dengan beraninya mereka
menyelisihi paham para sahabat yang notabene adalah ulama umat ketika itu. Dan tentunya para
sahabat lebih paham tentang maksud ayat daripada mereka. Demikian pula keadaan khowarij masa
kini. Mereka menutup telinga terhadap nasehat para ulama bahkan menuduh para ulama sebagai
ulama “piring” atau ulama pemerintah. Mereka maksudkan dengan tuduhan tersebut bahwa para
ulama berfatwa demi kepentingan piring atau pemerintah semata.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu
sekaligus dari umat manusia. Namun Allah mengangkatnya dengan mewafatkan para ulama.
Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorangpun ulama, manusia mengangkat orang-orang jahil
sebagai tokoh. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat
lagi menyesatkan.”
Dapat dipahami dari hadits di atas bahwa di antara sumber kesesatan adalah meninggalkn fatwa
ulama. Imam Ath Thurhusi berkata, “Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya musibah menimpa
manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah wafat lalu orang-orang jahil mengerluarkan fatwa
atass dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia.”
Aksi Bom Bunuh Diri, Jihadkah?
Jihad fisik adalah termasuk amal sholih yang diperintahkan Allah, bahkan jihad fisik adalah salah satu
dari dua penopang Islam selain tiang bayan (ilmu), yang merupakan jihad lisan. Penyebaran ilmu
syar’i merupakan jihad yang lebih utama dari jihad fisik, apalagi ketika meratanya kebodohan
terhadap ilmu syar’i pada masyarakat. Dengan jihad maka tegaklah kemuliaan kaum muslimin.
Sebaliknya jika kaum muslimin melalaikan jihad maka mereka akan ditimpa kehinaan. Jihad termasuk
ibadah, dan ibadah tidak diterima kecuali terpenuhi dua syarat yaitu, amal itu ikhlash dan sesuai
dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena jihad menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka harus diserahkan kepada ulama senior.
Merekalah yang berhak mengeluarkan fatwa. Bukan menjadi wewenang orang bodoh lagi masih
ingusan. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan tiba nanti atas umat manusia
masa-masa penuh tipu daya. Para pembohong dianggap orang jujur sebaliknya orang jujur dicap
pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap khianat. Dan
para ruwaibidhoh mulai angkat bicara.” Kemudian ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh berkomentar tentang urusan rakyat banyak.” (Shohih,
riwayat Ibnu Majah)
Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membawa bahan peledak di tubuhnya lalu
meledakkan dirinya, maka perbuatan ini termasuk bunuh diri, merupakan perbuatan yang diharamkan
dalam syariat Islam, sebagaimana sabda Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang
membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan ditangannya, ditusukkan keperutnya di
neraka jahannam dia kekal di dalamnya.”(Bukhori: 5778 dan Muslim: 109). Hal ini disebabkan orang
ini membunuh dirinya sendiri bukan untuk kemaslahatan Islam, bahkan malah sebaliknya. Mungkin
mereka dapat membunuh sepuluh orang kafir akan tetapi orang kafir membalasnya dengan
membantai ratusan kaum muslimin dengan cara-cara yang biadab.
Dan bahkan, tindakan tersebut bisa membunuh kaum muslim sendiri, padahal Allah telah
berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (An Nisa: 93) Di sisi lain perbuatan ini semakin membuat
ruang gerak kaum muslimin makin sempit dan menyebabkan nama Islam tercoreng. Akibatnya
dakwah Islam menjadi lebih sulit tersampaikan.
Penutup
Para pembaca sekalian, ulama tidak bosan-bosannya untuk memperingatkan ummat dari bahaya
pemahaman khowarij. Hal ini mengingat bahwa pemahaman khowarij akan selalu ada sampai hari
kiamat dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja hanya dengan menangkapi tokoh-tokohnya. Sehingga
jalan paling baik ialah membekali kaum muslimin dengan pemahaman Islam yang benar dan
memperingatkan mereka dari setiap jalan kesesatan. Dan merupakan keharusan untuk selalu
mengembalikan urusan besar yang berkaitan dengan darah kaum muslimin seperti jihad dan
pengkafiran, kepada para ahlinya yaitu ulama. Tidakkah kita lihat bahwa kesesatan khowarij timbul
karena mereka tidak mengembalikan pemahaman mereka kepada orang yang lebih alim dalam
agama ketimbang mereka, yaitu para sahabat.
Kami juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum, agar tidak tergesa-gesa dan dengan
mudahnya menghukumi setiap orang yang berpenampilan fisik sama dengan para pelaku teroris
kemudian langsung menghukuminya sebagai teroris! Karena hal itu merupakan tindakan yang tidak
didasari dengan ilmu, serta berasal dari rasa emosi belaka.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari tipu daya musuh, dan kita bisa istiqomah dijaman
yang penuh dengan fitnah ini. Marilah kita bertaqwa kepada Allah, dan bertaubat dengan jujur
terhadap segala dosa-dosa yang kita lakukan.

Pengeboman = Jihad???

Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap
ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena.
Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga
Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah
mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta
dampak yang ditimbulkan, baik berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas
umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai
berikut.
Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i
Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir juga harus
dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang
disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Mengkafirkan
seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya
dengan bukti yang jelas, sehingga tidak cukup berdasarkan dugaan saja.
Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai
mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang artinya, “Siapapun orangnya yang
mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara
keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali
kepada diri orang yang mengatakannya.”  (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)
Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan faktor
penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat tersebut yaitu bila
orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan
senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja dalam mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah
yang perkataannya teranggap sebagai pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang
mukmin lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??
Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka persoalannya jelas
lebih parah lagi. Akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat
senjata melawan mereka, kekacauan, menumpahkan darah dan membuat keonaran di tengah-tengah
masyarakat. Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang pemberontakan kepada
penguasa. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran yang
nyata, yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)
Dampak Mudah Mengkafirkan
Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta milik orang-orang
tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat pemukiman serta angkutan-angkutan umum
dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram
menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan dengan jiwa orang kafir
yang berada dalam jaminan keamanan dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda
yang artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka
ia tidak akan mencium baunya sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)
Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah
Ditoleransi

Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau
memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-
pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq
masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada
hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat
tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.
Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun
terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang
dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu
bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’
Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  yang memerintahkan
kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala  berfirman:
‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْوم اآْل خ ِِر َذل َِك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ َتأْ ِوياًل‬ ِ ‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوالرَّ س‬
َ ‫ُول إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن‬ َ ‫َفإِنْ َت َن‬
ِ
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Allah Ta’ala berfirman:
ِ ‫اخ َتلَ ْف ُت ْم فِي ِه مِنْ َشيْ ٍء َفح ُْك ُم ُه إِلَى هَّللا‬
ْ ‫َو َما‬
“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy
Syura: 10)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam  bersabda:
‫ َت َم َّس ُكوا ِب َها‬،‫ِين‬ َ ‫ َف َعلَ ْي ُك ْم ِب ُس َّنتِي َو ُس َّن ِة ْال ُخلَ َفا ِء ْال َم ْه ِدي‬،‫اخ ِتاَل ًفا َك ِثيرً ا‬
َ ‫ِّين الرَّ اشِ د‬ ْ ‫ِش ِم ْن ُك ْم َبعْ دِي َف َس َي َرى‬ ْ ‫َفإِ َّن ُه َمنْ َيع‬
‫َو َعضُّوا َعلَ ْي َها ِبال َّن َوا ِج ِذ‬
“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang
pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham
kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )
Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf.
Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
‫ وتفترق أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة‬، ‫إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة‬
‫ ما أنا عليه وأصحابي‬: ‫ قال من هي يا رسول هللا ؟ قال‬، ‫واحدة‬
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.
Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan
itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR.
Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya  (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya
dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap
semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih
‘ini khan khilafiyyah‘.
 
Pendapat Ulama Bukan Dalil
Para ulama berkata:
‫أقوال أهل العلم فيحتج لها وال يحتج بها‬
“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”
Imam Abu Hanifah berkata:
‫ال يحل ألحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه‬
“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami
mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu
‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
‫ وخذ من حيث أخذوا‬،‫ وال الثوري‬،‫ وال األوزاعي‬،‫ وال الشافعي‬،ً‫ وال تقلد مالكا‬،‫ال تقلدني‬
“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri.
Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302.
Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)
Imam Asy Syafi’i berkata:
‫أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من‬
‫الناس‬
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun”
(Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )
Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan.
Terkadang  masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena
bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik berkata:
‫ وكل ما لم يوافق‬،‫ فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه‬،‫إنما أنا بشر أخطئ وأصيب‬
‫الكتاب والسنة؛ فاتركوه‬
“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap
yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan
Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul
Al Ahkam6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)
Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi
mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi
berkata,
َ ‫ اجْ َت َم َع ف‬، ‫ أَ ْو َزلَّ ِة ُك ِّل َعال ٍِم‬، ‫ص ِة ُك ِّل َعال ٍِم‬
‫ِيك ال َّشرُّ ُكلُّ ُه‬ َ ‫لَ ْو أَ َخ ْذ‬
َ ‫ت ِب ُر ْخ‬
“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil
setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan”
(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya,  3172)
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama
berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di
sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau
kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang
yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah,
atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi
setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita
pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh
diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau
perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang
telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut
kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya
pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga
merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut
menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.
Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada
pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat
menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah
menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan
jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada
ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh
diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)
 
Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi
1. Qunut Subuh
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
 Hadits Bara’ bin ‘Adzib:
ِ ‫ َو ْال َم ْغ ِر‬،‫ْح‬
‫ب‬ ِ ‫صب‬
ُّ ‫ت فِي ال‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك‬
ُ ‫ان َي ْق ُن‬ ِ ‫أَنَّ َرسُو َل‬
َ ‫هللا‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib”
(HR. Muslim 678)
 Hadits dari Muhammad bin Sirin:
َ ‫ أَ َو َق َن‬:ُ‫ َفقِي َل لَه‬،‫ َن َع ْم‬:‫ْح؟ َقا َل‬
‫ت َق ْب َل‬ ُّ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي ال‬
ِ ‫صب‬ َ ‫ أَ َق َن‬: ٍ‫ُس ِئ َل أَ َنسُ بْنُ َمالِك‬
َ ُّ‫ت ال َّن ِبي‬
ِ ‫ « َبعْ دَ الرُّ ُك‬:‫وع؟ َقا َل‬
‫وع يَسِ يرً ا‬ ِ ‫»الرُّ ُك‬
“Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut
ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum
ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
 Hadits Anas bin Maalik:
َ ‫ َو َذ ْك َو‬،‫ْح َي ْدعُو َعلَى ِرعْ ٍل‬
،‫ان‬ ُّ ‫صاَل ِة ال‬
ِ ‫صب‬ َ ‫وع فِي‬ َّ َّ َ ‫هللا‬
ِ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم َشهْرً ا َبعْ دَ الرُّ ُك‬ ِ ‫ت َرسُو ُل‬ َ ‫َق َن‬
‫هللا َو َرسُولَ ُه‬
َ ‫ت‬ َ ‫ُص َّي ُة َع‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ ع‬:ُ‫َو َيقُول‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau
mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
 Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq (3/109) dengan
sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai membaca surat beliau membaca
doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)
 Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313)
dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di
Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh,  103)
Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam
Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan
Daud Rahimahumullah.
Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya
pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
 Hadits Anas bin Maalik:
َ ‫ َو َذ ْك َو‬،‫ْح َي ْدعُو َعلَى ِرعْ ٍل‬
،‫ان‬ ُّ ‫صاَل ِة ال‬
ِ ‫صب‬ َ ‫وع فِي‬ َّ َّ َ ‫هللا‬
ِ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم َشهْرً ا َبعْ دَ الرُّ ُك‬ ِ ‫ت َرسُو ُل‬ َ ‫َق َن‬
‫هللا َو َرسُولَ ُه‬
َ ‫ت‬ َ ‫ُص َّي ُة َع‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ ع‬:ُ‫َو َيقُول‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau
mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan
dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
 Hadits Abu Hurairah:
“Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca ُ‫سمع هَّللا ُ ِل َمنْ حَ مِدَ ه‬
pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:
‫يع َة اللَّ ُه َّم أَ ْن ِج ْال َولِيدَ ب َْن ْال َولِي ِد اللَّ ُه َّم أَ ْن ِج َسلَ َم َة ب َْن ِه َش ٍام اللَّ ُه َّم أَ ْن ِج‬
َ ‫َّاش ب َْن أَ ِبي َر ِب‬
َ ‫اللَّ ُه َّم أَ ْن ِج َعي‬
َ ‫ِين َكسِ نِي يُوس‬
‫ُف‬ َ ‫ُض َر اللَّ ُه َّم اجْ َع ْل َها َعلَي ِْه ْم سِ ن‬ َ ‫ِين اللَّ ُه َّم ا ْش ُد ْد َو ْطأ َ َت َك َعلَى م‬ َ ‫ِين م َِن ْالم ُْؤ ِمن‬
َ ‫ْالمُسْ َتضْ َعف‬
Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah,
tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin.
Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-
tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari
1006, 2932, 3386)
 Hadits Abu Malik Al Asyja-’i
،‫ت‬ ْ ‫ف أَ ِبي َب ْك ٍر َفلَ ْم َي ْق ُن‬َ ‫ْت َخ ْل‬
ُ ‫صلَّي‬
َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َفلَ ْم َي ْق ُن‬
َ ِّ‫ف ال َّن ِبي‬ َ ‫ْت َخ ْل‬ َ ‫َعنْ أَ ِبي ِه‬
ُ ‫صلَّي‬
‫ ُث َّم َقا َل‬، ‫ت‬ ْ ‫ف َعلِيٍّ َفلَ ْم َي ْق ُن‬ َ ‫ْت َخ ْل‬ ُ ‫صلَّي‬ ْ ‫ان َفلَ ْم َي ْق ُن‬
َ ‫ت َو‬ َ ‫ف ع ُْث َم‬ َ ‫ْت َخ ْل‬ ُ ‫صلَّي‬
َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ْ ‫ف ُع َم َر َفلَ ْم َي ْق ُن‬ َ ‫ْت َخ ْل‬ ُ ‫صلَّي‬ َ ‫َو‬
‫صحِي ٌح‬ ٌ َ
َ ٌ‫اجهْ َوالترْ ِمذِيُّ َوقا َل َحدِيث َح َسن‬ ِّ َّ ٌ َّ
َ ‫َيا ُبنيَّ إن َها ِب ْد َعة } َر َواهُ الن َسائِيّ َوابْنُ َم‬ َ
“Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi
Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar
namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak
membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca
Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai
anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata:
“Hadits ini hasan shahih”)
 Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad
shahih:
‫ ما شعرت ان احدا يفعله‬: ‫سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال‬
“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak
ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)
 Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang
menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 106).
 Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan
musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa
Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya
jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun
memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad  273/1).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam
Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi
membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini
diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.
Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih,
didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan
yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini
selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
Pendapat pertama: haram
Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:
 Hadits Jabir bin Abdillah:
:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ‫أُت َِي ِبأ َ ِبي قُ َحا َف َة َي ْو َم َف ْتح َم َّك َة َو َر ْأ ُس ُه َولِحْ َي ُت ُه َك‬
ِ ‫ َف َقا َل َرسُو ُل‬،‫الث َغا َم ِة َب َياضًا‬
َ ‫هللا‬ ِ
َ‫ َواجْ َت ِنبُوا الس ََّواد‬،ٍ‫»«غ ِّيرُوا َه َذا ِب َشيْ ء‬ َ
“Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih
seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna
rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)
 Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
‫ُون َرائ َِح َة ْال َج َّن ِة‬
َ ‫ اَل َي ِريح‬،‫ َك َح َواصِ ِل ْال َح َم ِام‬،ِ‫ان ِبالس ََّواد‬ َ ‫َي ُكونُ َق ْو ٌم َي ْخضِ ب‬
َّ ‫ُون فِي آخ ِِر‬
ِ ‫الز َم‬
“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam bagaikan
tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu Daud 4212,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.
Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:
 Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang
semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu Hajar
dalam Fathul Baari (1/367)
 Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga
bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang termasuk
maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan mereka.
 Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih bahwa
beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
 Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad shahih
bahwa beliau memakruhkan  menyemir rambut dengan warna hitam
Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat ini
dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.
Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram
sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.
Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih,
didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak
keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya
ditoleransi oleh setiap muslim.
Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi
1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali
(Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini sama
sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
 Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:
ٍّ‫اح إِالَّ ِب َولِي‬
َ ‫الَ ِن َك‬
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
َ ْ‫ َفإِن‬،ٌ‫ َف ِن َكا ُح َها بَاطِ ل‬،ٌ‫ َف ِن َكا ُح َها بَاطِ ل‬،ٌ‫ت ِب َغي ِْر إِ ْذ ِن َولِ ِّي َها َف ِن َكا ُح َها بَاطِ ل‬
‫دَخل ِب َها َفلَ َها‬ ْ ‫أَ ُّي َما امْ َرأَ ٍة َن َك َح‬
‫اجرُوا َفالس ُّْل َطانُ َولِيُّ َمنْ الَ َولِيَّ لَ ُه‬ َ ‫ َفإِنْ َت َش‬،‫ْال َم ْه ُر ِب َما اسْ َت َحل مِنْ َفرْ ِج َها‬
“Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak atas
maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini tidak
memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud
2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
‫ َوالَ ُت ْن ِك ُح ْال َمرْ أَةُ َن ْف َس َها‬،‫الَ ُت ْن ِك ُح ْال َمرْ أَةُ ْال َمرْ أَ َة‬
“Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At
Talkhis 3/157)
Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang
bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa
kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak
boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
2. Bid’ahnya Doa Istiftah
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah
(Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil
ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah haram
sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:
 Hadist dari Abu Hurairah:
!‫ يا رسول هللا‬:‫ فقلت‬.‫سكت ُه َنيَّة قبل أن يقرأ‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إذا كبَّر في الصالة؛‬
َ ‫كان رسول هللا‬
‫ … ” فذكره‬:‫ ” أقول‬:‫بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال‬
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam
sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah,
kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan
ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)”
(Muttafaqun ‘alaih)
 Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:
‫ َو ْال َحمْ ُد‬،‫ هللاُ أَ ْك َب ُر َك ِبيرً ا‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم؛ إذ قال رجل من القوم‬
َ ‫بينما نحن نصلي مع رسول هللا‬
‫ ” عجبت لها! فتحت لها‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ فقال رسول هللا‬. ‫هللا ب ُْك َر ًة َوأَصِ ياًل‬ َ ‫ َو ُسب َْح‬،‫هَّلِل ِ َك ِثيرً ا‬
ِ ‫ان‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يقول ذلك‬َ ‫ فما تركتهن منذ سمعت رسول هللا‬:‫ قال ابن عمر‬.“ ‫أبواب السماء‬
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang
berdoa istiftah:  ‫هللا ب ُْكرَ ًة َوأَصِ ياًل‬
ِ َ‫ َو ُس ْبحَ ان‬،‫ َو ْالحَ مْ ُد هَّلِل ِ َكثِيرً ا‬،‫هللا ُ أَ ْك َب ُر َك ِبيرً ا‬. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun
berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim
2/99)
Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang
dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam
Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i. Para ulama
mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik.
Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah,
walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi
As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang
memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi MuhammadShallallahu’alaihi Wasallam. Namun
pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf, kecuali
hadits-hadits dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang
fundamental, diantaranya:
 Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil.
Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:
‫ِين لَ ُه ْم‬ َّ َّ‫ي َب ْي َن ُه ْم َوإِن‬gَ ِ‫ين َما لَ ْم َيأْ َذنْ ِب ِه هَّللا ُ َكلِ َم ُة ْال َفصْ ِل لَقُض‬
َ ‫الظالِم‬ ِ ‫ش َر َكا ُء َش َرعُوا لَ ُه ْم م َِن ال ِّد‬ُ ‫أَ ْم لَ ُه ْم‬
‫َع َذابٌ أَلِي ٌم‬
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran
agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫ْس َعلَ ْي ِه أَمْ ُر َنا َفه َُو َر ٌّد‬
َ ‫َمنْ َع ِم َل َع َماًل لَي‬
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama)
kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
 Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan
 Para ulama bersepakat atas kaidah:
‫ إثبات العبادة‬ ‫ال قياس ف‬
“Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.
Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah aqidah.
Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
 Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah
 Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini bukan
ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
 Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun
dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan Maulid Nabi. Andai
Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena
merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
 Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi
 Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan
Maulid Nabi
Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi walaupun
memang khilafiyah.
Wabillahi At Taufiq Was Sadaad
Keutamaan-Keutamaan Al Qur’an

[1] al-Qur’an adalah Cahaya


Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba dan menuntunnya menuju
keselamatan adalah cahaya al-Qur’an dan cahaya iman. Keduanya dipadukan oleh Allah ta’ala di
dalam firman-Nya (yang artinya), “Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-Kitab dan
apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya Kami
akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS.
asy-Syura: 52)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman-
merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang
paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi
pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 38)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sungguh telah datang kepada kalian
keterangan yang jelas dari Rabb kalian, dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang terang-
benderang.” (QS. an-Nisaa’: 174)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah
mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu
penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-
kegelapan.”(QS. al-Baqarah: 257)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan
Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama
dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar darinya? Demikianlah
dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’aam:
122)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengenai tafsiran ayat ini, “Orang itu -yaitu yang berada dalam
kegelapan- adalah dulunya mati akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah
menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cahaya keimanan yang dengan itu dia bisa
berjalan di tengah-tengah orang banyak.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35)
[2] al-Qur’an adalah Petunjuk
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab yang tidak ada sedikit pun keraguan
padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. al-Baqarah: 1-2). Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan kepada urusan yang lurus dan
memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal salih
bahwasanya mereka akan mendapatkan pahala yang sangat besar.” (QS. al-Israa’: 9).
Oleh sebab itu merenungkan ayat-ayat al-Qur’an merupakan pintu gerbang hidayah bagi kaum yang
beriman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, ataukah pada hati
mereka itu ada gembok-gemboknya?” (QS. Muhammad: 24). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, seandainya ia datang bukan dari sisi Allah
pastilah mereka akan menemukan di dalamnya banyak sekali perselisihan.”  (QS. an-Nisaa’: 82)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia
tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang
membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan
tersesat di dunia dan tidak celaka di akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-
Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal. 49).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari mengikuti
petunjuk Allah ialah:
1. Membenarkan berita yang datang dari-Nya,
2. Tidak menentangnya dengan segala bentuk syubhat/kerancuan pemahaman,
3. Mematuhi perintah,
4. Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-
Karim ar-Rahman, hal. 515 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
[3] al-Qur’an Rahmat dan Obat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sungguh telah datang kepada kalian
nasehat dari Rabb kalian (yaitu al-Qur’an), obat bagi penyakit yang ada di dalam dada, hidayah, dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman.”  (QS. Yunus: 57). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
Kami turunkan dari al-Qur’an itu obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Akan tetapi ia
tidaklah menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Israa’: 82)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya  al-Qur’an  itu mengandung ilmu yang sangat
meyakinkan yang dengannya akan lenyap segala kerancuan dan kebodohan. Ia juga mengandung
nasehat dan peringatan yang dengannya akan lenyap segala keinginan untuk menyelisihi perintah
Allah. Ia juga mengandung obat bagi tubuh atas derita dan penyakit yang menimpanya.”  (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 465 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan
mempelajarinya di antara mereka, melainkan pasti akan turun kepada mereka ketenangan, kasih
sayang akan meliputi mereka, para malaikat pun akan mengelilingi mereka, dan Allah pun akan
menyebut nama-nama mereka diantara para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim
dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a’ wa at-Taubah wa al-Istighfar [2699])
[4] al-Qur’an dan Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah dan
mendirikan sholat serta menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka berharap akan suatu perniagaan yang tidak
akan merugi. Supaya Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah tambahkan keutamaan-
Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir:
29-30)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman maukah Aku tunjukkan
kepada kalian suatu perniagaan yang akan menyelamatkan kalian dari siksaan yang sangat pedih.
Yaitu kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kalian pun berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwa kalian. Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Maka niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai dan tempat tinggal yang baik di surga-surga ‘and. Itulah kemenangan yang
sangat besar. Dan juga balasan lain yang kalian cintai berupa pertolongan dari Allah dan
kemenangan yang dekat. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. ash-
Shaff: 10-13)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang
beriman, jiwa dan harta mereka, bahwasanya mereka kelak akan mendapatkan surga. Mereka
berperang di jalan Allah sehingga mereka berhasil membunuh (musuh) atau justru dibunuh. Itulah
janji atas-Nya yang telah ditetapkan di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih
memenuhi janji selain daripada Allah, maka bergembiralah dengan perjanjian jual-beli yang kalian
terikat dengannya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 111)
[5] al-Qur’an dan Kemuliaan Sebuah Umat
Dari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan
‘Umar di ‘Usfan (sebuah wilayah diantara Mekah dan Madinah, pent). Pada waktu itu ‘Umar
mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Maka ‘Umar pun bertanya kepadanya, “Siapakah yang
kamu angkat sebagai pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” ‘Umar
kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?”. Dia menjawab, “Salah seorang bekas budak yang tinggal
bersama kami.” ‘Umar bertanya, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin
mereka?”. Maka Nafi’ menjawab, “Dia adalah seorang yang menghafal Kitab Allah ‘azza wa jalla dan
ahli di bidang fara’idh/waris.” ‘Umar pun berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam
memang telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini sebagian kaum
dan dengannya pula Dia akan menghinakan sebagian kaum yang lain.”.” (HR. Muslim dalam Kitab
Sholat al-Musafirin [817])
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il
al-Qur’an [5027])
[6] al-Qur’an dan Hasad Yang Diperbolehkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada
hasad kecuali dalam dua perkara: seorang lelaki yang diberikan ilmu oleh Allah tentang al-Qur’an
sehingga dia pun membacanya sepanjang malam dan siang maka ada tetangganya yang mendengar
hal itu lalu dia berkata, “Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si fulan
niscaya aku akan beramal sebagaimana apa yang dia lakukan.” Dan seorang lelaki yang Allah
berikan harta kepadanya maka dia pun menghabiskan harta itu di jalan yang benar kemudian ada
orang yang berkata, “Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si fulan
niscaya aku akan beramal sebagaimana apa yang dia lakukan.”.”(HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il
al-Qur’an [5026])
[7] al-Qur’an dan Syafa’at
Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Bacalah al-Qur’an! Sesungguhnya kelak ia akan datang pada hari kiamat untuk
memberikan syafa’at bagi penganutnya.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [804])
[8] al-Qur’an dan Pahala Yang Berlipat-Lipat
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam Kitabullah maka dia akan
mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak
mengatakan bahwa Alif Lam Mim satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim
satu huruf.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Tsawab al-Qur’an [2910], disahihkan oleh Syaikh al-Albani)
[9] al-Qur’an Menentramkan Hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa
tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan
merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat terpilih
mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat/merenungkan al-Qur’an. Hal itu
disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan
keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh
kecuali dengan menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)
[10] al-Qur’an dan as-Sunnah Rujukan Umat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul,
dan juga ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka
kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59)
Maimun bin Mihran berkata, “Kembali kepada Allah adalah kembali kepada Kitab-Nya. Adapun
kembali kepada rasul adalah kembali kepada beliau di saat beliau masih hidup, atau kembali kepada
Sunnahnya setelah beliau wafat.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 14)
[11] al-Qur’an Dijelaskan oleh as-Sunnah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr/al-Qur’an supaya
kamu menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan mudah-mudahan
mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl: 44). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati
rasul itu maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi
orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir.” (QS. al-Ahzab: 21)
Mak-hul berkata, “al-Qur’an lebih membutuhkan kepada as-Sunnah dibandingkan kebutuhan as-
Sunnah kepada al-Qur’an.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13). Imam Ahmad
berkata, “Sesungguhnya as-Sunnah itu menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskannya.” (lihat ad-Difa’
‘anis Sunnah, hal. 13)
Wallahu a’lam bish showab. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Adab Membaca Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al
Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam
menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam
golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih
utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana
sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an
dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk
mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:
1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.
Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan
apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca
Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia
meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)
2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.
Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia
tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas.
Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu
minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman
bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat
yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.
Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur
atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun
demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang
dibuat-buat.
4. Membaguskan suara ketika membacanya.
Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan
suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk
umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah
membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang
pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu
melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.
5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka
mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu
membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan
suara yang lirih secara khusyu’.
Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat
kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari
kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu
Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.
***
Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf
Kaedah Penting dalam Memahami Al
Qur’an dan Hadits

Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah
kepada  ilaah  (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu,
berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka
tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada
Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
‫ش ُرهُ ي َْو َم ْالقِيَا َم ِة أَعْ مَى‬
ُ ْ‫} َو َمنْ أَعْ رَ ضَ عَ ن ذ ِْك ِرى َفإِنَّ لَ ُه َمعِي َش ًة ضَن ًكا َو َنح‬123{ ‫َن ا َّتبَعَ هُدَ ايَ َفالَ يَضِ ُّل َوالَ َي ْش َقى‬ ْ
ِ ‫َفإِمَّا يَأ ِت َي َّن ُكم ِّم ِّني ه ًُدى َفم‬
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak
akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari
Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja
yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di
dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫هللا َو ُس َّن َة رَ س ُْولِ ِه‬ ِ ‫ت ِف ْي ُك ْم أَمْ رَ ي‬
ِ َ‫ ِك َتاب‬: ‫ْن لَنْ َتضِ لُّ ْوا مَا َت َمس َّْك ُت ْم ِب ِهمَا‬ ُ ‫َترَ ْك‬
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim,
al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal
Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah
berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang
berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran
nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah
memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita
diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah
memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar
dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani  rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama
kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa
Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan
perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para
sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari
kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat,
merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang
banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah,
yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al
Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].
RUJUKAN MEMAHAMI NASH
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan
dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul
Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab dan
as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-
imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan
dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil
‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan].
Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di
antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara
memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri.
Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
 Menafsirkan Alquran dengan Alquran
 Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
 Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat
 Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in
 Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:
 Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global
di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
 Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat
lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas
bagi Alquran.
 Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju`
kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka
menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan
tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang
menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para
sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat
tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki
pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama
sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam
yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-
bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
 Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak
mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada
perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda
kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas,
‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul
‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in
(generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan
tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu,
maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
 Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap
perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam
masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau
keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun
menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.”
(Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat,
tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala,
ْ ‫يل ْالم ُْؤ ِمنِينَ ُن َولِّ ِه مَا َت َولَّى َو ُنصْ لِ ِه جَ َه َّن َم َوسَ آء‬
‫َت مَصِ يرً ا‬ ِ َ‫ع غَ ْير‬gْ ‫َومَن ُي َشاق ِِق الرَّ سُو َل مِن َبعْ ِد مَا َت َبيَّنَ لَ ُه ْالهُدَ ى َو َي َّت ِب‬
ِ ‫سَب‬
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan semua orang yang mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اس َقرْ نِي ُث َّم الَّذِينَ يَلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذِينَ يَلُو َن ُه ْم‬
ِ ‫َخ ْي ُر ال َّن‬
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu
generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan
lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫ار إِاَّل ِملَّ ًة َواحِدَ ًة َقالُوا َو َمنْ هِيَ يَا رَ سُو َل هَّللا ِ َقا َل‬ ٍ ‫ْن َوسَ ْبعِينَ ِملَّ ًة َو َت ْف َت ِر ُق أ ُ َّمتِي عَ لَى ثَاَل‬
ِ ‫ث َوسَ ْبعِينَ ِملَّ ًة ُكلُّ ُه ْم فِي ال َّن‬ ِ ‫ت عَ لَى ِث ْن َتي‬
ْ ‫َوإِنَّ َبنِي إِسْ رَ ائِي َل َت َفرَّ َق‬
َ َ
‫مَا أ َنا عَ لَ ْي ِه َوأصْ حَ ِابي‬
Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan
berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka
(para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu
Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di
dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah
(ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan,
tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َ‫ت َو ُس َّن ِة ْال ُخلَ َفا ِء ْال َم ْه ِديِّينَ الرَّ اشِ دِين‬ َّ ‫أُوصِ ي ُك ْم ِب َت ْق َوى هَّللا ِ َوالسَّمْع َو‬
ْ ‫الطاعَ ِة َوإِنْ عَ ب ًْدا حَ بَشِ ًّيا َفإِ َّن ُه َمنْ َيعِشْ ِم ْن ُك ْم َبعْ دِي َفسَ يَرَ ى‬
ِ ‫اخ ِتاَل ًفا َكثِيرً ا َفعَ لَ ْي ُك ْم ِب ُس َّن‬ ِ
‫ُور َفإِنَّ ُك َّل مُحْ دَ َث ٍة ِب ْدعَ ٌة َو ُك َّل ِب ْدعَ ٍة ضَ اَل لَ ٌة‬ ‫م‬ ُ ‫ت اأْل‬
ِ ‫ا‬ َ
‫ث‬ َ‫د‬ ْ‫ُح‬‫م‬ ‫و‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫َّا‬
‫ي‬ ‫إ‬ ‫و‬
َ ْ ِ َ ِِ َ ِ‫ذ‬ ‫ج‬ ‫ا‬ ‫و‬ َّ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫َا‬
‫ه‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ َ‫ع‬ ‫ُّوا‬
‫ض‬ ‫و‬
َ‫ِ َ ع‬‫َا‬‫ه‬‫ب‬ g
‫ا‬ ‫و‬‫ك‬ُ َّ ‫َت َم‬
‫س‬
ِ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa
kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup
setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada
sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah
dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru
(dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi,
2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman
para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan
alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut
istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah
seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan
kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam [lihat:  ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila
Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah
rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara
bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan
menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa
Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus.
Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya!
Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan
untuk mendekatkan kepada Allah  Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ‫]ق ر ب‬.
Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman
ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan
hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm.
405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi,
Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan
mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan
manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini
adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono
Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata
me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang
perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu
pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal
kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal
itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
Tafsir Surat Al-Fatihah

Keutamaan Surat Al-Fatihah


Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak
membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu
‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca
Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”.
Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah
di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran
sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku.
Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah
bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau
bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul
Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang
dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
‫ان الرَّ ِجي ِْم‬ َ ‫أَع ُْو ُذ ِباهِلل مِنَ ال ََّشي‬
ِ ‫ْط‬
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan
bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya
sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya.
Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah
syaitan ini di dalam Al Quran,
‫َقا َل َف ِبع َِّزتِكَ أَل ُ ْغ ِو َي َّن ُه ْم أَجْ َمعِينَ إِاَّل عِ بَادَكَ ِم ْن ُه ُم ْال ُم‬
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu
yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan
kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang
baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan.
Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau
berdoa kepada Allah,
ً ‫َواجْ ُن ْبنِي َو َبنِيَّ أَن َّنعْ بُدَ األَصْ َنا َم‬
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum
yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar
memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan
manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
ً‫ض ُز ْخرُفَ ْال َق ْو ِل ُغرُورا‬ ُ ْ‫نس َو ْال ِجنِّ يُوحِي َبع‬
ٍ ْ‫ض ُه ْم إِلَى َبع‬ ِ َ‫َو َك َذلِكَ جَ عَ ْل َنا لِ ُك ِّل ن ِِبيٍّ عَ ُدوّ اً َشيَاطِ ين‬
ِ ‫اإل‬
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari
golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-
ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu
Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
ِ ْ‫هللا الرَّ ح‬
‫من الرَّ ح ِِيم‬ ِ ‫ِبسْ ِم‬
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama
Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan
dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja
yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus
Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan
harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah
dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah
memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi
Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan
mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat
yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun
orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan
rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
‫ْالحَ مْ ُد هّلل ِ رَ بِّ ْالعَ الَ ِم‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena
perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan
keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan
oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan
ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta
dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat
yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan
mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir
maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang
jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut
mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang
khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga
menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan
menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada
mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena
hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah
Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-
Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi
dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka
alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
ِ ْ‫الرَّ ح‬
‫مـن الرَّ ح ِِيم‬
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah
bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al
A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama
dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2)
Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka
terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan
sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang
menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga
terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-
dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan.
Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan
Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa
menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallamdan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini.
Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak
sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi
hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah
sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh
kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian
pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang
yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah
berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan
sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak
kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah
menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih
sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
ِ ‫مَالِكِ ي َْو ِم الد‬
‫ِّين‬
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah
dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk
mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk
mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian
awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkanmim) atau Malik (dengan
memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat
manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia.
Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh
makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki
Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun
dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik
rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan
dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka
sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap
siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan
itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah
jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari
pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
ُ‫إِيَّاكَ َنعْ ُب ُد وإِيَّاكَ َنسْ َتعِين‬
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta
pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam
ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang
artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang
menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada
Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami
menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami
tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan
maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha
Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan
sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu
maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas
cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau
perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga
termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata
isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum
isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih
khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan
sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju
keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali
dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah
(ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata
isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah
karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh
ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk
melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak
akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
َ َ‫اه ِد َنــــا الصِّر‬
‫اط المُس َتقِي َم‬
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal
mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta
mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai
surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami
berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa
memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di
atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam.
Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai
macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib
memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan
karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
ِ َ‫اط الَّذِينَ أَنعَ متَ عَ ل‬
‫يه ْم‬ َ َ‫صِ ر‬
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa
mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yangshiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati
syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ialah
setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik,
mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga
mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang
membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah
ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan
menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali
tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan
untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa
dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
َ‫يه ْم َوالَ الضَّالِّين‬
ِ َ‫ب عَ ل‬
ِ ‫غَير المَغضُو‬
ِ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang
tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau
mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang
tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan
mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini
tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini
juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat
dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak
terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung
intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid
rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti
mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung
makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya
kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa
sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah
telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula
Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat
ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak
maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal
mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan
wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti
ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal
hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu
berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik
untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi
secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah
(penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas
perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan
di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah
dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut
ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan
dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala.
Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir
Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang
dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam
bish shawaab.
Tafsir Ayat Kursi

Keutamaan Ayat Kursi


Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat yang
dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan sebagian
surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah,
sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah, ayat 255. Yang akan
kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.
Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling
agung?”
Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku pun menjawab,
‫هَّللا ُ الَ إِلَ َه إِالَّ ه َُو ْالحَ يُّ ْال َقيُّو ُم‬
Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah
kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)
Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan
bahwa setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika
engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah
untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu,
disebutkan bahwa si jin mengatakan:
َ‫ َو َمنْ َقالَهَا حِينَ يُصْ ِب ُح أ ُ ِجيرَ ِم َّنا حَ َّتى يُمْ سِ ي‬، َ‫َمنْ َقالَهَا حِينَ يُمْسِ ي أ ُ ِجيرَ ِم َّنا حَ َّتى يُصْ ِبح‬
“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa
membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.”(HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani
mengatakan bahwa sanadnya bagus)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
ِ ‫َمنْ َقرَ أَ آ َي َة ْال ُكرْ سِ يِّ ُدبُرَ ُك ِّل صَ ال ٍة م َْك ُتو َب ٍة َل ْم َيمْ َنعْ ُه مِنْ ُد ُخ‬
ُ ‫ إِال ْالم َْو‬،ِ‫ول ْالجَ َّنة‬
‫ت‬
“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya dari
masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3) juga
sebelum tidur.
Tafsir Ayat Kursi
‫هَّللا ُ الَ إِلَ َه إِالَّ ه َُو ْالحَ يُّ ْال َقيُّو ُم‬
“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus
menerus mengurus (makhluk).”
Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan menegaskan
kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak
ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan
ibadah apapun kepada selain Allah.
Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya
Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya
dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan
bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung. Pendapat
ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung,
dan semua nama ini ada di ayat kursi.
‫الَ َتأْ ُخ ُذهُ سِ َن ٌة َوالَ َن ْو ٌم‬
“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”
Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu.
Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.
Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.
Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu
menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”
Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih
dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk
tidak berarti otomatis menafikan tidur.
‫ض‬ ِ ْ‫ت َومَا فِي ْاألَر‬ َ ‫َل ُه مَا فِي ال َّسم‬
ِ ‫َاوا‬
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”
Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada
yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
‫َمنْ َذا الَّذِي َي ْش َف ُع عِ ْندَ هُ إِالَّ ِبإِ ْذ ِن ِه‬
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat atau
mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk
dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk
mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat bagi orang
yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke
derajat yang lebih tinggi di surga.
Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di
akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam
keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:
1. Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
2. Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa,
hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan
menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua laranganNya.
ِ ‫َيعْ لَ ُم مَا َب ْينَ أَ ْيد‬
‫ِيه ْم َومَا َخ ْل َف ُه ْم‬
“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau,
sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan
terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah
sangat sempurna.
ُ ‫َوالَ ُيح‬
‫ِيطونَ ِب َشيْ ٍء مِنْ عِ ْل ِم ِه إِالَّ ِبمَا َشا َء‬
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-Nya.”
Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat
dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia
kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.
َ‫ت َو ْاألَرْ ض‬ َ ‫َوسِ عَ ُكرْ سِ ُّي ُه ال َّسم‬
ِ ‫َاوا‬
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
‫ال ُكرْ سيُّ م َْوضِ ُع َقدَ َم ْي ِه‬
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-
Hakim dan adz-Dzahabi)
Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat
makhluk.
Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
‫ات ال َّسبْع مَعَ ال ُكرْ سِ يِّ إِالَّ َكحَ ْل َق ٍة م ُْل َقا ٍة ِبأَرْ ض َفالَ ٍة‬
ُ ‫َاو‬
َ ‫مَا ال َّسم‬
“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di tanah
lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
ُ ‫َوالَ َي ُئو ُدهُ ِح ْف‬
‫ظ ُهمَا‬
“Dan Allah tidak terberati  pemeliharaan keduanya.”
Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga seorang
kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka pimpin.
Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya
sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.
‫َوه َُو ْالعَ لِيُّ ْالعَظِ ي ُم‬
“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di atas
singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak
perempuan: “Di mana Allah?”
Ia menjawab, “Di langit.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”
Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”
Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan
tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)
Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan al-
Qur’an dan al-Hadits.
Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana
ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.
Kesimpulan:
1. Semua ayat al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling agung adalah ayat kursi.
2. Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat wajib, pada dzikir pagi dan sore,
dan sebelum tidur.
3. Penegasan kalimat tauhid.
4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh nama Allah yang lain.
5. Semua bentuk  kekurangan harus dinafikan dari Allah.
6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
7. Ilmu Allah sangat sempurna.
8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat  yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya
sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya dengan nama dan
sifat makhluk.
9. Arti dan keagungan kursi Allah.
10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-mana.
12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan-
Nya.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Al-Quran dan  Terjemahnya
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Fathul Qadir, asy-Syaukani
4. Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
5. Shahih al-Bukhari
6. Shahih Muslim
7. Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
8. al-Mustadrak, al-Hakim.
9. Shahih Ibnu Hibban
10. Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
11. Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
12. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
13. Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
14. Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati, tidak ada kesenangan dan ketenangan
baginya, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat
dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintai-Nya lebih dari yang lain, dan berusaha
mendekatkan diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah)

Fiqih dan
Muamalah
Macam-Macam Najis

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, sehingga Dia-lah yang patut diibadahi. Shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hinga akhir zaman.
Pengertian Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan
selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing-
maka harus dibersihkan.[1]
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan
tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan
hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan
badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan
hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis.
Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis,
asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa
membedakan antara hadats dan najis ini.[2]
Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah
mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan
dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang
tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya
suci. [3] Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan
butuh dalil.[4]
Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫إِ َذا َوطِ ئَ أَحَ ُد ُك ْم ِب َنعْ لَ ْي ِه األَ َذى َفإِنَّ ال ُّترَ ابَ لَ ُه َطهُو ٌر‬
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah
yang nanti akan menyucikannya.”[5]
Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri,
dsb.[6] Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia.
[7] Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan
najisnya kotoran manusia.[8]
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,
ْ ‫ َقا َل َفلَمَّا َفرَ َغ دَ عَ ا ِب‬.» ُ‫ « دَ عُوهُ َوالَ ُت ْز ِرمُوه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أَنَّ أَعْ رَ ِاب ًّيا بَا َل فِى ْال َمسْ ِج ِد َف َقا َم إِلَ ْي ِه َبعْ ضُ ْال َق ْوم َف َقا َل رَ سُو ُل هَّللا‬
‫دَل ٍو مِنْ مَا ٍء‬ ِ
.ِ‫َفصَ َّب ُه عَ لَ ْيه‬
“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan
(kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi
mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”[10]
3,4 -  Madzi dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani,
namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau
ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.
Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[11]
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika
madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliauradhiyallahu ‘anhu berkata,
ُ ‫ت ْال ِم ْقدَ ادَ ْبنَ األَسْ َو ِد َفسَ أَلَ ُه َف َقا َل « ي َْغسِ ُل َذ َكرَ هُ َو َي َت َوضَّأ‬
ُ ْ‫ان ا ْب َن ِت ِه َفأ َ َمر‬
ِ ‫ لِ َم َك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫ت أَسْ َتحْ ِيى أَنْ أَسْ أ َ َل ال َّن ِبى‬
gُ ‫ت رَ ُجالً م ََّذا ًء َو ُك ْن‬
ُ ‫» ُك ْن‬.
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun
memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci  kemaluannya
kemudian suruh dia berwudhu”.”[12]
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
َّ ‫اغسِ ْل َذ َكرَ كَ أَ ْو م ََذاكِيرَ كَ َو َت َوضَّأْ وُ ضُوءَكَ لِل‬
.ِ‫صالَة‬ ْ : ‫ َوأَمَّا ْال َو ْدىُ َو ْالم َْذىُ َف َقا َل‬، ‫ أَمَّا ْال َمنِىُّ َفه َُو الَّذِى ِم ْن ُه ْال ُغسْ ُل‬، ُ‫ْال َمنِىُّ َو ْالم َْذىُ َو ْال َو ْدى‬
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan
madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu
untuk shalat.”[13]
5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya adalah kotoran keledai jinak[14], kotoran anjing[15] dan kotoran babi[16]. Abdullah  bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
َ‫ هِي‬: ‫َار َفأمْ سَكَ الحَ جْ رَ ْينَ َو َطرَ حَ الرَّ ْو َث َة َو َقا َل‬
ٍ ‫ْن َورَ ْو َث ِة ِحم‬
ِ ‫ت لَ ُه حَ جْ رَ ي‬ ٍ َ‫ إِ ْئ ِتنِي ِب َثالَ َث ِة أَحْ ج‬: ‫أَرَ ادَ ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هللا ُ عَ لَ ْي ِه َو سَ لَّ َم أَنْ َي َتبَرَّ َز َف َقا َل‬
ُ ‫ار َف َوجَ ْد‬
ٌ‫ِرجْ س‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan  dua
batu dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan
membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk
najis”.” [17]
Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai
jinak adalah najis.
6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian berkata,
‫دَم ْالحَ ْيضَ ِة َك ْيفَ َتصْ َن ُع ِب ِه‬
ِ ْ‫إِحْ دَا َنا يُصِ يبُ َث ْو َبهَا مِن‬
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫ص ُه ِب ْالمَا ِء ُث َّم َت ْنضَ ُح ُه ُث َّم ُتصَلِّى فِي ِه‬
ُ ‫َت ُح ُّت ُه ُث َّم َت ْق ُر‬
“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya.” [18]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh
tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[19]
7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ت أُوالَهُنَّ ِبال ُّترَ ا‬
‫ب‬ ٍ ‫طهُو ُر إِ َنا ِء َأحَ ِد ُك ْم إِ َذا َولَغَ فِي ِه ْال َك ْلبُ َأنْ ي َْغسِ لَ ُه سَ ْبعَ مَرَّ ا‬
ُ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan
awalnya dengan tanah.”[20] Yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang
termasuk najis adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci
sebagaimana hukum asalnya.[21]
8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.[22] Najisnya
bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas,
َ‫اإلهَابُ َف َق ْد َطهُر‬
ِ َ‫إِ َذا د ُِبغ‬
“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :
a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda,
ِّ ‫َان َف ْال َك ِب ُد َو‬
‫الطحَ ا ُل‬ ِ ‫ُوت َو ْالجَ رَ ا ُد َوأَمَّا ال َّدم‬ ِ ‫َان َفأَمَّا ْال َم ْي َت َت‬
ُ ‫ان َف ْالح‬ ْ َّ‫أ ُ ِحل‬
ِ ‫ت لَ َنا َم ْي َت َت‬
ِ ‫ان َودَ م‬
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.
Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”[23]
b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ َفإِنَّ فِى أَحَ ِد جَ َناحَ ْي ِه شِ َفا ًء َوفِى‬، ‫َطرَ حْ ُه‬
‫اآلخ ِر دَ ا ًء‬ ْ ‫ ُث َّم ْلي‬، ‫ َف ْلي َْغمِسْ ُه ُكلَّ ُه‬، ‫الذبَابُ فِى إِ َنا ِء أَحَ ِد ُك ْم‬
ُّ َ‫إِ َذا َو َقع‬
“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut
seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan
sayap lainnya terdapat penawarnya.”[24]
c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala
sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq  (tanpa sanad),
beliau rahimahullah berkata,
ُ ِ‫ت َناسً ا مِنْ سَ لَفِ ْال ُعلَمَا ِء َيمْ َتش‬
، ‫ َو َي َّد ِه ُنونَ فِيهَا‬، ‫طونَ ِبهَا‬ ُ ‫ِيل َوغَ ي ِْر ِه أَ ْدرَ ْك‬ ِ ‫الزهْ ِرىُّ فِى عِ َظ ِام ْالم َْو َتى َنحْ َو ْالف‬
ُّ ‫ َو َقا َل‬. ‫يش ْال َم ْي َت ِة‬ ْ
ِ ‫َو َقا َل حَ مَّا ٌد الَ بَأسَ ِب ِر‬
‫الَ يَرَ ْونَ ِب ِه بَأْسً ا‬
“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri
mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama
salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah
menganggapnya najis hal ini’.” [25]
Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama
yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga masih tersisa
pembahasan bagaimana cara membersihkan najis. Semoga Allah memudahkan kami membahasnya
dalam rubrik fiqih selanjutnya.
Semoga Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang
dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Selesai disusun di Panggang-Gunung Kidul, 19 Shofar 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22, Darul
‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H

[2] Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71,
Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405
H
[4] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/24.
[5] HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud  mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub
Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[7] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71.
[9] HR. Muslim no. 284
[10] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22.
[11] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari
fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[13] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa
sanad riwayat ini shahih.
[14] Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas
ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
‫ُوم ْال َخي ِْل‬ ُ َ َ ْ ‫ َنهَى ي َْو َم َخ ْيبَرَ عَ نْ لُح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أَنَّ رَ سُو َل هَّللا‬
ِ ‫ُوم ال ُحم ُِر األهْ لِ َّي ِة َوأذِنَ فِى لح‬
ِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang Khoibar memakan daging keledai
jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)
[15] Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang dapat
menyerang manusia) dan bertaring. Padahal Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َاع َفأ َ ْكل ُ ُه حَ رَ ا ٌم‬ ٍ ‫ُك ُّل ذِى َنا‬
ِ ‫ب مِنَ ال ِّسب‬
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
Cara Membersihkan Najis

Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari
pembahasan macam-macam najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.
1 – Menyucikan kulit bangkai[1] dengan disamak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٍ ‫أَ ُّي َما إِ َها‬


‫ب ُد ِب َغ َف َق ْد َطه َُر‬
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”[2]
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka
kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.

[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan
tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah pendapat
yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.

Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati
ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut
tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi
halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini
masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan
kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al
Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]
2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing[6]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ت أُوالَهُنَّ ِبال ُّت َرا‬


‫ب‬ ٍ ‫طهُو ُر إِ َنا ِء أَ َح ِد ُك ْم إِ َذا َو َل َغ فِي ِه ْال َك ْلبُ أَنْ َي ْغسِ َل ُه َسب َْع َمرَّ ا‬
ُ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan
awalnya dengan tanah.” [7]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing
ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “‫”سَ بْع مَرَّ ات‬, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain
menyebut “‫ب‬ ِ ‫”سَ بْع مَرَّ ات أُواَل هُنَّ ِبال ُّترَ ا‬, yaitu tujuh kali dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “
َّ‫”أ ُ ْخرَ اهُنَّ أَ ْو أُواَل هُن‬, yaitu yang terakhir atau pertamanya.  Ada riwayat menyebut, “ِ‫َّابعَ ة ِبال ُّترَ اب‬ ِ ‫”سَ بْع مَرَّ ات الس‬,
yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “ ‫ب‬ َّ ُ‫”سَ بْع مَرَّ ات َوعَ ِّفرُوه‬, yaitu
ِ ‫الثا ِم َنة ِبال ُّترَ ا‬
tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat
ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya
bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat
terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan
madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh
itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga
disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[8]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud
“pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri
tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana
yang dijilat anjing.[9]
3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kemudian dia berkata,

‫ْف َتصْ َن ُع ِب ِه‬ َ ‫إِحْ دَ ا َنا يُصِ يبُ َث ْو َب َها ِمنْ دَ ِم ْال َحي‬
َ ‫ْض ِة َكي‬
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

َ ‫ض ُح ُه ُث َّم ُت‬
‫صلِّى فِي ِه‬ َ ‫ص ُه ِب ْال َما ِء ُث َّم َت ْن‬
ُ ‫َت ُح ُّت ُه ُث َّم َت ْق ُر‬
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan
air, lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah
mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِ ْ‫ َقا َل « َفإِ َذا َطهُر‬.ِ‫ْس لِى إِالَّ َث ْوبٌ َوا ِح ٌد َوأَ َنا أَحِيضُ فِيه‬
ْ ‫ت َف‬
‫اغسِ لِى َم ْوضِ َع‬ َ ‫َيا َرسُو َل هَّللا ِ َلي‬

ِ‫ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ إِنْ َل ْم َي ْخرُجْ أَ َث ُرهُ َقا َل « َي ْكفِيكِ ْال َما ُء َوالَ َيضُرُّ ك‬ َ ‫ال َّد ِم ُث َّم‬
ْ ‫ َقا َل‬.» ‫صلِّى فِي ِه‬

» ُ‫أَ َث ُره‬
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai 
pakaian itu juga?”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian
pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis
tersebut,  sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat
lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan
darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau
mengatakan,

‫ب َقا َل « ُح ِّكي ِه ِبضِ ْل ٍع‬ َّ ‫ْض َي ُكونُ فِى‬


ِ ‫الث ْو‬ ُ ‫َسأ َ ْل‬
gِ ‫ َعنْ دَ ِم ْال َحي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫ت ال َّن ِبى‬

ْ ‫َو‬
.» ‫اغسِ لِي ِه ِب َما ٍء َوسِ ْد ٍر‬
“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian.
Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis
tanaman)”.”[14]
4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –
salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,

ُ
ِ ‫إِ ِّنى امْ َرأَةٌ أطِ ي ُل َذ ْيلِى َوأَمْ شِ ى فِى ْال َم َك‬.
‫ان ْال َقذ ِِر‬
“Aku adalah wanita yang  berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang
kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ي‬
ُ‫ُط ِّه ُرهُ َما َبعْ دَ ه‬
“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[15]
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang
sifatnya kering, seperti Imam Ahmad[16] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita
terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus
dengan cara dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam
hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena
najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan
di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kita perhatikan dalam
keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud
hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang
teramat jauh.”[17]
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena
kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya
banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian
tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.
[18]
5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan
Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

‫ار َي ِة َوي َُرشُّ ِمنْ َب ْو ِل ْال ُغالَ ِم‬


ِ ‫ي ُْغ َس ُل ِمنْ َب ْو ِل ْال َج‬
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup
dengan diperciki.”[19]
Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan.
Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang
berbeda.[20]
Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits
berikut.

ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ْن لِى َع َلى َرس‬ ُ ‫ت دَ َخ ْل‬
ٍ ‫ت ِباب‬ ْ ‫ص ٍن َقا َل‬ ِ ‫ص ٍن أ ُ ْخ‬
ِ ‫ت ُع َّكا َش َة ب‬
َ ْ‫ْن ِمح‬ ِ ‫ْس ِب ْن‬
َ ْ‫ت ِمح‬ ُ
ٍ ‫َعنْ أ ِّم َقي‬
َّ ‫ َل ْم َيأْ ُك ِل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬-
.ُ‫الط َعا َم َف َبا َل َع َل ْي ِه َفدَ َعا ِب َما ٍء َف َر َّشه‬
“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah
masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum
mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).”[21]
Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqih Syaikh Muhammad
bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut
tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan  demikian, bayi ketika
awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak
mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi
makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah
jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan
mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan, pen).”[22]
6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata,
ُ ‫ت أ ُ ْك ِث ُر ِم ْن ُه االِ ْغت َِسا َل َف َسأ َ ْل‬
‫صلى هللا عليه‬- ِ ‫ت َرسُو َل هَّللا‬ ِ ‫ت أَ ْل َقى م َِن ْال َم ْذ‬
ُ ‫ى شِ َّد ًة َو ُك ْن‬ ُ ‫ُك ْن‬

َ ‫ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ َف َكي‬


‫ْف ِب َما‬ ُ ‫ قُ ْل‬.» ‫يك ِمنْ َذل َِك ْالوُ ضُو ُء‬
َ ‫ َعنْ َذل َِك َف َقا َل « إِ َّن َما يُجْ ِز‬-‫وسلم‬

‫ْث ُت َرى أَ َّن ُه‬ َ ‫ِيك ِبأَنْ َتأْ ُخ َذ َك ًّفا ِمنْ َما ٍء َف َت ْن‬
ُ ‫ض َح ِب َها ِمنْ َث ْو ِب َك َحي‬ َ ‫يُصِ يبُ َث ْو ِبى ِم ْن ُه َقا َل « َي ْكف‬

َ َ‫» أ‬.
‫صا َب ُه‬
“Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam  lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas
berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai pakaianku?’.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak
tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi’.” [23]
Asy Syaukani rahimahullah  menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan bahwa jika madzi cuma diperciki
saja, maka itu sudah cukup untuk menghilangkan najisnya. … Ini menunjukkan bahwa memercikinya
termasuk kewajiban. Madzi adalah najis yang ringan, sehingga diberi keringanan cara
menyucikannya.”[24]
Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup diperciki. Sedangkan
kemaluannya cukup dibersihkan dan bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.
7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat
bersama para sahabatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan
meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka pun ikut mencopot
sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kalian
melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami
juga ikut mencopot sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka,
“Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di
sandalku itu terdapat kotoran.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

َ ‫ظرْ َفإِنْ َرأَى فِى َنعْ َل ْي ِه َق َذرً ا أَ ْو أَ ًذى َف ْل َيمْ َسحْ ُه َو ْلي‬
‫ُص ِّل‬ ُ ‫« إِ َذا َجا َء أَ َح ُد ُك ْم إِ َلى ْال َمسْ ِج ِد َف ْل َي ْن‬

» ‫ِيه َما‬
ِ ‫ف‬
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis)
atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah
dengan keduanya.”[25]
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat dengan
menggunakan sendal[26]. Hadits ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis
(ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup yang basah
atau pun yang kering. Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa di sendal beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu
beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu, jika seseorang
berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya
ketika di pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun terus
melanjutkan shalatnya.”[27]
8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu  berkata,

« – ‫ َف َقا َل َل ُه ُم ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم‬، ُ‫َقا َم أَعْ َر ِابىٌّ َف َبا َل فِى ْال َمسْ ِج ِد َف َت َن َاو َل ُه ال َّناس‬

َ ‫ َفإِ َّن َما ُبع ِْث ُت ْم ُم َيس ِِّر‬، ‫ أَ ْو َذ ُنوبًا ِمنْ َما ٍء‬، ‫دَ عُوهُ َو َه ِريقُوا َع َلى َب ْولِ ِه َسجْ الً ِمنْ َما ٍء‬
‫ َو َل ْم‬، ‫ين‬

َ ‫ م َُعس ِِّر‬g‫ُتب َْع ُثوا‬


» ‫ين‬
“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia
kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan
kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit”.” [28]
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena
kencing tadi dengan air dengan maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya
tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya, maka tanah tersebut juga sudah
dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang keluar-
masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan
air. Beliau berkata,

‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ت ْال ِكالَبُ َتبُو ُل َو ُت ْق ِب ُل َو ُت ْد ِب ُر فِى ْال َمسْ ِج ِد فِى َز َم‬
ِ ‫ان َرس‬ ِ ‫َكا َن‬

‫ون َش ْي ًئا ِمنْ َذل َِك‬


َ ‫– َف َل ْم َي ُكو ُنوا َي ُر ُّش‬
“Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak
memerciki kencing anjing tersebut.”[29]
Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam madzhab Imam Malik,
Imam Ahmad dan pendapat baru dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa untuk
menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air, tidak boleh berpaling pada yang lainnya
kecuali jika ada dalil.
Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad,
pendapat yang lama dari Imam Asy Syafi’i[30], pendapat Ibnu Hazm[31], Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah[32] dan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin[33] bahwa diperbolehkan
menghilangkan najis dengan cara apa pun dan tidak dipersyaratkan menggunakan air. Pendapat
kedua inilah yang lebih tepat.
Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:
Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka demikian pula setiap benda
atau cairan yang bisa menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.
Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada beberapa perkara tertentu,
namun syariat tidak memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.
Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air. Seperti ketika istijmar yaitu
membersihkan kotoran ketika buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah
menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah. Begitu pula membersihkan ujung pakaian
wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah kami
sebutkan.
Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun menghindarkan diri dari sesuatu
yang mesti dijauhi. Jika najis tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut
sudah dianggap hilang.
Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang menganggapnya najis) jika telah
berubah menjadi cuka, maka ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.[34]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah  mengatakan, “Pendapat yang terkuat dalam masalah ini
bahwasanya najis kapan saja ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya.
Karena hukum terhadap sesuatu jika  illah (sebab)-nya telah hilang, maka hilang pula hukumnya.
Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis tanpa ada
keperluan karena dalam hal ini menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’
dengan menggunakan keduanya.”[35]
Demikian penjelasan kami mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan
macam-macam najis. Dalam tulisan selanjutnya kita akan mengupas beberapa hal yang dianggap
najis padahal bukan. Semoga Allah memudahkan.
Panduan Praktis Tata Cara Wudhu

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk
menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari
hambanya. Sholawat  serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah,  Muhammad bin
AbdillahShollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Kedudukan wudhu dalam sholat
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya
bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-
tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari
dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu
merupakansyarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan
teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang
mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,
« َ‫ضأ‬
َّ ‫ث َحىَّت َيَت َو‬
َ ‫َح َد‬
ْ ‫صالَةُ َم ْن أ‬
َ ‫» الَ تُ ْقبَ ُل‬
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,
ِ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آَمنُوا إِذَا قُمتُم إِىَل الصَّاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا وجوه ُكم وأَي ِدي ُكم إِىَل الْمرافِ ِق وامسحوا بِرء‬
‫وس ُك ْم‬ُ ُ ُ َ ْ َ ََ ْ ََْْ َ ُُ ْ ْ َ َ َ َ
ِ ‫وأ َْر ُجلَ ُكم إِىَل الْ َك ْعَبنْي‬
ْ َ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki”.  (QS Al Maidah [5] : 6).
Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.
Pengertian wudhu
Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat
dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3].
Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza
wa jalladengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini
telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam
wudhu secara ringkas.
Tata Cara Wudhu secara Global
Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari
Humroon budak sahabat Utsman bin Affanrodhiyallahu ‘anhu[5],
ٍ ‫عن را َن موىَل عثْما َن ب ِن عفَّا َن أَنَّه رأَى عثْما َن دعا بِوض‬
َ َ‫ َفغَ َسلَ ُه َما ثَال‬، ‫غ َعلَى يَ َديْ ِه ِم ْن إِنَائِِه‬
‫ث‬ َ ‫ فَأَ ْفَر‬، ‫وء‬ ُ َ ََ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َْ‫َ ْ مُح‬
‫ مُثَّ َغ َس َل َو ْج َههُ ثَالَثًا َويَ َديِْه إِىَل‬، ‫اسَتْنَثَر‬ ِ ‫ مُثَّ أَدخل مَيِينه ىِف الْو‬، ‫ات‬ ٍ ‫مَّر‬
ْ ‫ َو‬، ‫اسَتْن َش َق‬ ْ ‫ َو‬، ‫ض‬ َ ‫ض َم‬ ْ َ‫ مُثَّ مَت‬، ‫ضوء‬
ُ َ َُ َ َ ْ َ
– ‫ت النَّىِب َّ – صلى اهلل عليه وسلم‬ ُ ْ‫ال َرأَي‬ َ َ‫ مُثَّ ق‬، ‫ مُثَّ َغ َس َل ُك َّل ِر ْج ٍل ثَالَثًا‬، ‫ مُثَّ َم َس َح بَِرأْ ِس ِه‬، ‫الْ ِمْر َف َقنْي ِ ثَالَثًا‬
، ُ‫ِّث فِي ِه َما َن ْف َسه‬ ُ ‫ الَ حُيَد‬، ِ ‫صلَّى َر ْك َعَتنْي‬ َ َّ‫ضوئى َه َذا مُث‬
ِ ‫ضأَ حَنْو و‬
ُ ُ َ َّ ‫ال « َم ْن َت َو‬ َ َ‫ضوئِى َه َذا َوق‬ ُ ‫ضأُ حَنْ َو ُو‬
َّ ‫َيَت َو‬
‫َّم ِم ْن َذنْبِ ِه‬
َ ‫َغ َفَر اللَّهُ لَهُ َما َت َقد‬
Dari Humroon -bekas  budak  Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman  memintanya untuk
membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian iatuangkan air dari wadah tersebut ke kedua
tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan
kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu
beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku
sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali saja pent.) kemudian membasuh kedua kakinya
sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
“Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan
khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6]  maka Allah akan ampuni dosa-
dosanya yang telah lalu”[7].
Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam  secara ringkas sebagai berikut[8],
1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
2. Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung
untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar
(mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
5. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
6. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3
kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
7. Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik
lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga
sebanyak 1 kali.
8. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak
3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.
Syarat-Syarat Wudhu[9]
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada
tujuh[10], yaitu
 Islam,
 Berakal,
 Tamyiz[11],
 Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
 Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang
haram,
 Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk
istinja’ dan istijmar dari hadats),
 Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf
dikalangan kaum muslimin.
Wajib Wudhu
 Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi
was sallam,
« ‫اس َم اللَّ ِه َت َعاىَل َعلَْي ِه‬ ِ ‫» الَ صالََة لِمن الَ وضوء لَه والَ و‬
ْ ‫ضوءَ ل َم ْن مَلْ يَ ْذ ُك ِر‬
ُ ُ َُ َ ُ ُ َْ َ
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan  tidak ada wudhu bagi orang yang tidak
menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]
 Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq
dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai
dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas
kiri kanan adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar
Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya,
sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman
Allah‘azza wa jalla,
ِ ِ ِ َّ
َ ‫ين آَ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
‫وه ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
wajah”.  (QS Al Maidah [5] : 6).
Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi
wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan
wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk
membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫َح ُد ُك ْم َف ْليَ ْسَتْن ِش ْق مِب َْن ِخَريْ ِه ِم َن الْ َم ِاء مُثَّ لَْيْنتَثِْر‬ َّ ‫» إِ َذا َت َو‬
َ ‫ضأَ أ‬
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air
kemudian beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
«‫ض‬ ِ ْ ‫ضأْت فَم‬ ِ
ْ ‫ضم‬ َ َ َّ ‫» إذَا َت َو‬
“Jika engkau hendak wudhu,  maka berkumur-kumurlah”[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah  mengatakan, “Cara berkumur-kumur,
istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk
berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]
 Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam  dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
‫ِ حِل‬ ِِ ٍ ِ
ُ‫ت َحنَكه فَ َخلَّ َل بِه ْيَتَه‬ َّ ‫َكا َن إِ َذا َت َو‬
َ ‫ضأَ أ‬
َ ْ‫َخ َذ َكفًّا م ْن َماء فَأ َْد َخلَهُ حَت‬
‫ال « َه َك َذا أ ََمَرىِن َرىِّب َعَّز َو َج َّل‬َ َ‫» َوق‬
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau
mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnya pent) sampai ketenggorokannya
kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara
berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].
Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di
atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].
 Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِىَل الْ َمَرافِ ِق‬ ِ ِ
َ ‫إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku”.  (QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫ مُثَّ َغ َس َل يَ َدهُ الْيُ ْسَرى إِىَل الْ َم ْرفِ ِق ثَالَثًا‬، ‫» مُثَّ َغ َس َل يَ َدهُ الْيُمْىَن إِىَل الْ َم ْرفِ ِق ثَالَثًا‬
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian
membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].
 Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28].
Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
ِ ‫وامسحوا بِرء‬
‫وس ُك ْم‬ُُ ُ َ ْ َ
“Dan sapulah kepalamu”.  (QS Al Maidah [5] : 6).
Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim
ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam,
« ‫ مُثَّ َر َّدمُهَا إِىَل‬، ُ‫ب هِبِ َما إِىَل َق َفاه‬ ِ ِ ِ ‫مِب‬ ِ‫هِب‬ ِ ِ
َ ‫ َحىَّت َذ َه‬، ‫ بَ َدأَ َُقدَّم َرأْسه‬، ‫ فَأَ ْقبَ َل َما َوأ َْد َبَر‬، ‫مُثَّ َم َس َح َرأْ َسهُ بيَ َديْه‬
ِ ِ ِ
ُ‫» الْ َم َكان الَّذى بَ َدأَ مْنه‬
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan cara pent.) menyapunya ke
depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya  ditarik ke belakang  sampai
ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].
Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat
Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap
dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam
Malikrohimahullah  demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al
Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya
sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa
menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was
salam,

َّ ‫ان ِم َن‬
« ‫الرأْ ِس‬ ِ َ‫» األُذُن‬
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]
Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫اه ِرمِه َا بِِإ ْب َه َامْي ِه‬
ِ َ‫السبَّاحت ِ وظ‬ِ ِ ِِ ِ ِِ ِ
َ ‫» مُثَّ َم َس َح بَرأْسه َوأُذُ َنْيه بَاطنه َما ب َّ َ َ نْي‬
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya
dengan kedua jempolnya”.[34]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama
seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy
Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan
dinukil oleh Al Bukhorirohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].
 Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
ِ ‫وأ َْر ُجلَ ُكم إِىَل الْ َك ْعَبنْي‬
ْ َ
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.
(QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ِ ‫» مُثَّ َغ َس َل ِر ْجلَْي ِه إِىَل الْ َك ْعَبنْي‬
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].
Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah,
dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah
sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,
ِ‫ِ خِب‬
َ ‫َصابِ َع ِر ْجلَْيه ْن‬
« ‫ص ِر ِه‬ َّ ‫» إِذَا َت َو‬
َ َ‫ضأَ َدل‬
َ ‫كأ‬
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya
dengan dengan jari kelingkingnya”[37].
Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah,  namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’,
sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’anirohimahullah[38].
 Muwalah
Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian
membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.)
mengering dalam kondisi/waktu normal[40].
Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِىَل الْ َمَرافِ ِق‬ ِ ِ
َ ‫ين آَ َمنُوا إِذَا قُ ْمتُ ْم إِىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat ini pent.)
merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam  berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu
(yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam  yang diriwayatkan
dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu
‫َح ِس ْن‬ ِ ِِ ِ
َ ‫ َف َق‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ُّ ‫صَرهُ النَّىِب‬
ْ ‫ال « ْارج ْع فَأ‬ َ ْ‫ضأَ َفَتَر َك َم ْوض َع ظُُف ٍر َعلَى قَ َدمه فَأَب‬ َّ ‫أ‬
َّ ‫َن َر ُجالً َت َو‬
‫صلَّى‬
َ َّ‫ َفَر َج َع مُث‬.» ‫ضوءَ َك‬ ُ ‫ُو‬
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar
kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam
Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].
Sunnah Wudhu
 Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫صالٍَة‬ ِ ِ ِّ ِ‫َش َّق علَى أ َُّمىِت ألَمرتُهم ب‬
َ ‫الس َواك عْن َد ُك ِّل‬ ْ ُ َْ َ ُ ‫» لَ ْوالَ أَ ْن أ‬
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada
setiap hendak berwudhu”[45].
 Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih
ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang
menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
ٍ ‫عن را َن موىَل عثْما َن ب ِن عفَّا َن أَنَّه رأَى عثْما َن دعا بِوض‬
َ َ‫ َفغَ َسلَ ُه َما ثَال‬، ‫غ َعلَى يَ َديْ ِه ِم ْن إِنَائِِه‬
‫ث‬ َ ‫ فَأَ ْفَر‬، ‫وء‬ ُ َ ََ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َْ‫َ ْ مُح‬
‫ضوئِى َه َذا‬ ُ ‫ضأُ حَنْ َو ُو‬ َّ ‫ت النَّىِب َّ – صلى اهلل عليه وسلم – َيَت َو‬ ُ ْ‫ال َرأَي‬َ َ‫ مُثَّ ق‬..…‫ات‬ ٍ ‫مَّر‬
َ
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsman pent.) suatu ketika
beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadah pent.), kemudian aku tuangkan air
dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……
kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan
wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].
Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya
karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallammelakukannya. Semata-mata perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam  yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau
sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ْ َ‫َح َد ُك ْم الَ يَ ْد ِرى أَيْ َن بَات‬ ِ ِِ ُ ‫اسَتْي َق َظ أَح ُد ُكم ِمن َنو ِم ِه َف ْلي ْغ ِسل ي َدهُ َقْبل أَ ْن ي ْد ِخلَ َها ىِف و‬
ْ ‫َوإِذَا‬
«‫ت‬ َ ‫ فَإ َّن أ‬، ‫ضوئه‬ َ ُ َ َْ َ ْ ْ ْ َ
ُ‫» يَ ُده‬
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum
ia memasukkan tangannya ke air wudhu,  karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka
jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam  di atas yaitu
semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah
pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].
 Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang
berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫صائِ ًما‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫» بَال ْغ ىِف اال ْستْن َشاق إِالَّ أَ ْن تَ ُكو َن‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].
 Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

ُّ ‫ لَيُ ِح‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬


« ‫ب التَّيَ ُّم َن ىِف طُ ُهو ِر ِه إِذَا تَطَ َّهَر‬ ُ ‫» َكا َن َر ُس‬
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam
thoharoh (berwudhupent.)”[51].
 Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam  membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari
sahabat Abdullah bin Zaid,
ِ ‫ضأَ َمَّرَتنْي ِ َمَّر َتنْي‬ َّ ‫أ‬
َّ ‫َن النَّىِب َّ – صلى اهلل عليه وسلم – َت َو‬
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya
sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”
Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan
Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affanrodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
ٍ ‫عن را َن موىَل عثْما َن ب ِن عفَّا َن أَنَّه رأَى عثْما َن دعا بِوض‬
َ َ‫ َفغَ َسلَ ُه َما ثَال‬، ‫غ َعلَى يَ َديْ ِه ِم ْن إِنَائِِه‬
‫ث‬ َ ‫ فَأَ ْفَر‬، ‫وء‬ ُ َ ََ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َْ‫َ ْ مُح‬
ٍ ‫…مَّر‬
‫ مُثَّ َغ َس َل َو ْج َههُ ثَالَثًا‬.…‫ات‬ َ
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsman pent.) suatu ketika
beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadah pent.), kemudian aku tuangkan air
dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya  sebanyak  3  kali…kemudian
diamembasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]
Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah
satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,
ِ ‫ فَأَ ْقبل هِبِما وأ َْدبر مَّر ًة و‬، ‫مُثَّ أ َْدخل ي َده فَمسح رأْسه‬
‫اح َد ًة‬ َ َ ََ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah
depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].
Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan
dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang
diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat
cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
َّ ‫ َت َو‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬
‫ضأَ َه َك َذا‬ َ ‫ت َر ُس‬ َ َ‫َو َم َس َح َرأْ َسهُ ثَالَثًا مُثَّ َغ َس َل ِر ْجلَْي ِه ثَالَثًا مُثَّ ق‬
ُ ْ‫ال َرأَي‬
Beliau (Utsman bin Affan  pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali,
kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan
wudhu seperti ini”[56].
 Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya
(urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah
sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al
Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,
ٍ ‫ بِوض‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬
‫اسَتْن َش َق ثَالَثًا‬
ْ ‫ض َو‬َ ‫ض َم‬ ْ َ‫ضأَ َفغَ َس َل َكفَّْي ِه ثَالَثًا مُثَّ مَت‬
َّ ‫وء َفَت َو‬ ُ َ ُ ‫أُتِ َى َر ُس‬
ِ ‫اه ِرمِه ا وب‬
‫اطنِ ِه َما‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ‫و َغسل وجهه ثَالَثًا مُثَّ َغسل ِذر‬
َ َ َ َ‫اعْيه ثَالَثًا ثَالَثًا مُثَّ َم َس َح بَرأْسه َوأُذَُنْيه ظ‬ َ َ ََ َُْ َ َ َ َ
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali
kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian
membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun
dalam”[58].
 Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam,
َّ ‫ول أَ ْش َه ُد أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ اللَّهُ َوأ‬ ِ َّ ‫ما ِمْن ُكم ِمن أَح ٍد يتو‬
« ‫َن حُمَ َّم ًدا َعْب ُد‬ ُ ‫ضأُ َفيُْبل ُغ – أ َْو َفيُ ْسبِ ُغ – الْ ُو‬
ُ ‫ضوءَ مُثَّ َي ُق‬ َ ََ َ ْ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫اب اجْلَنَّة الث ََّمانيَةُ يَ ْد ُخ ُل م ْن أَيِّ َها َشاء‬ ْ ‫» اللَّه َو َر ُسولُهُ إِالَّ فُت َح‬.
ُ ‫ت لَهُ أ َْب َو‬
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian
membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang
jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari  pintu mana saja ia mau”[59].
At Tirmidzi menambahkan lafafdz,
ِ ِ
َ ‫اج َع ْلىِن م َن الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ َ ِ‫اج َع ْلىِن م َن الت ََّّواب‬
ْ ‫ني َو‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم‬
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-
orang yang selalu mensucikan diri”[60].
 Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was
sallam,
« ‫َّم ِم ْن َذنْبِ ِه‬ ِ ‫ الَ حُي د‬، ِ ‫ضأَ حَن و وضوئِى ه َذا مُثَّ صلَّى ر ْكعت‬
َ ‫ َغ َفَر اللَّهُ لَهُ َما َت َقد‬، ُ‫ِّث في ِه َما َن ْف َسه‬
ُ َ ‫َ َ ََ نْي‬ َ ُ ُ َ ْ َّ ‫» َم ْن َت َو‬
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan
khusyuked.) setelahnya dan  ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh
dosanya yang telah lalu”[62].
Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan
sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam
bish showab
Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H
Penulis: Aditya Budiman

 
Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah  [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih
Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq
dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]

[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.


[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada
juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniyrohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.
[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah  mengatakan, “Penyebut empat anggota
wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan
adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al
Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah
bahasa Indonesia.
[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam.
[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.
[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan
Maktabah Tauqifiyah.
[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib)
bukanlah berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa
memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan
sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu A’lam.
[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al
Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam  adalah berumur 7 tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan
dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah  dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk
berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was
sallam,  Ibnu Taimiyah rohimahullah  mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati
bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah
thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada
seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang
menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada
di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad
Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al
Imam An Nawawi Asy Syafi’i  rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An
Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA
demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan
tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas
Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat
yang benar.
[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I
[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’
‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 69/I ]
[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan
selainnya [lihat Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As
Sa’diy rohimahullah  hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].
[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad
Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albanirohimahullah  dalam Shohihul Jami’ no.
7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu
hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama
di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsamirohimahullah dalam Majmu’ Az
Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij
beliau untuk hadits ini.
[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al
Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis
Sunnah hal. 113/I.
[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.
[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.
[21] HR. Muslim no. 237.
[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk
Sunan Abu Dawud.
[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rohimahullah  hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul
Gholil no. 92.
[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.
[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.
[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada
menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan
membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’
‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]
[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al
Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III.
[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.
[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah
belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok
bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya
Allah ta’ala.
[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.
[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini
dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalamAsh Shohihah no. 36. Lihat juga
penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil
Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh
Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini
menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.
[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan
Nasa’i.
[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah  hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai
dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak
ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda
Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al
Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].
[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.
[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam
takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.
[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash
Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan
Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam
kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin.
[lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]
[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.
[42] HR. Mulsim no. 243.
[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para
ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran
kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I].
[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk
Sunan At Tirmidzi.
[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.
[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu
Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.
[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min
Bulughil Maroom hal. 218/I.
[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau
untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi.
[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.
[52] HR. Bukhori 158.
[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.
[54] HR. Bukhori 186.
[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rohimahullah  di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabhal.11/I, demikian
juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was
Sunnah hal. 41.
[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah  dalam takhrij
beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.
[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah  dalam takhrij beliau
untuk Sunan Abu Dawud.
[59] HR. Muslim no. 234.
[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan
Tirmidzi.
[61] An Nawawi rohimahullah  mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara
keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan
sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]
[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.
Fiqih Wudhu

Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan mandi (wajib)? Apa hukum perbuatan
yang dilakukan tanpa niat dan apa dalilnya?
Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat untuk menghilangkan
hadats atau untuk menjadikan boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya
amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya adalah firman Allah, “Dan mereka
tidaklah diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”(QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala amalan
itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh
balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya,
maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau
kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”
Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu? Dan apa (serta berapa
macam) yang mewajibkan wudhu?
Jawab: Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara
yang khusus di empat anggota badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun
sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa saja yang mewajibkan wudhu atau mandi
[terbagi menjadi dua macam, (Hadats Besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi dan (Hadats Kecil)
yaitu semua yang mewajibkan wudhu].
Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban
tersebut kalau lupa atau tidak tahu?
Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah
wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya.”
Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapkan basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah
hadits, “Dimaafkan untuk umatku, kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan
mengucapkan bismillah.
Tanya: Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu?
Jawab: Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut:
(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan buruk), (4). Niat, (5). Istishab
hukum niat, (6). Tidak adanya yang mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar sebelumnya (bila
setelah buang hajat), (8). Air yang thahur (suci lagi mensucikan), (9). Air yang mubah (bukan hasil
curian -misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.
Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?
Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:
1. Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu
dikeluarkan).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap kedua daun telinga).
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).
Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang
tumbuh di (daerah) muka ketika berwudhu?
Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang
normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke
bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Wajib membasuh semua bagian muka
bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya) beserta
kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau
rambut jenggotnya lebat maka wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan menyela-nyelanya.
Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan bagian bawah jenggot yang jarang bisa
terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang mewajibkannya dari al-Qur’an dan
As-Sunnah?
Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia.
Yaitu membasuh wajah, kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap kepala,
kemudian membasuh kedua kaki.
Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (ayat 6 surat al-Maidah). Di dalam
ayat tersebut telah dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak
melakukan hal ini melainkan untuk suatu faedah tertentu yang tidak lain adalah tertib (urut).
Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya.”
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah beritahukan
kepadaku tentang wudhu?” Rasulullah berkata, “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air
wudhunya, kemudian berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya
kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga hidungnya bersama air
wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan,
melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu,
kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa
tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap
kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya,
kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air
melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)
Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian mengusap kepalanya (sebagaimana yang
Allah perintahkan),… kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki sebagaimana yang
Allah perintahkan.”
Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu
A’lam.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya?
Jawab: Maksudnya adalah jangan mengakhirkan membasuh anggota wudhu sampai mengering
anggota sebelumnya setelah beberapa saat.
Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Nabi, bahwa beliau melihat seorang
laki-laki di kakinya ada bagian sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu, maka beliau
memerintahkan untuk mengulangi wudhunya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa seorang laki-laki berwudhu, tetapi
meninggalkan satu bagian sebesar kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air wudhu).
Rasulullah melihatnya maka beliau berkata, “Berwudhulah kembali, kemudian shalatlah.” Sedangkan
dalam riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Berwudhulah kembali.”
Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang
buntung ketika berwudhu?
Jawab: Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan membasuh tangannya sebanyak tiga
kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu mengeluarkannya)
sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan. Kemudian, membasuh mukanya sebanyak tiga kali,
kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga kali, kemudian
mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya
rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali
ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan
menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya, kemudian membasuh kedua kakinya beserta
mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib (dari anggota
tubuhnya) yang tersisa. Jika yang buntung adalah persendiannya maka memulainya dari bagian
lengan yang terputus. Demikian pula jika yang buntung adalah dari persendian tumit kaki, maka
membasuh ujung betisnya.
Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara lengkap?
Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya di atas. Dan dalam riwayat
Abdullah bin Zaid tentang tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah memasukkan
tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung dengan satu tangan sebanyak
tiga kali.” (Mutafaq ‘alaih)
“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh kedua
telapak tangannya tiga kali, …kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali,
kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki
kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian berkata, ‘Aku
melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)
Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia berkata, “Dan Rasulullah mengusap
kepalanya, menyapukannya ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)
Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai ke tengkuk, kemudian
menariknya lagi ke bagian depan tempat semula memulai.”
Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu, katanya, “Kemudian (Rasulullah)
mengusap kepalanya, dan memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya, dan
mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun telinganya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan
disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Tanya: Apa saja yang termasuk sunnah-sunnah wudhu beserta dalilnya?
Jawab: Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu adalah:
1. Menyempurnakan wudhu.
2. Menyela-nyela antara jari jemari.
3. Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang berpuasa.
4. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.
5. Bersiwak.
6. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.
7. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali.
8. Menyela-nyela jenggot yang lebat.
Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang membasuh dua telapak tangan sebelum
berwudhu, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi ia
berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu, maka beliau mencuci dua telapak tangannya sebanyak tiga
kali.”
Adapun tentang menyempurnakan wudhu, menyela-nyela jari jemari dan melebihkan (dalam
memasukkan air ke hidung) kecuali bagi yang berpuasa, sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Laqith bin Shabrah, katanya, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku
tentang wudhu?’” Nabi berkata, “Sempurnakan wudhu-mu, dan sela-selalah antara jari-jemarimu, dan
bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan
berpuasa.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)
Dan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi suka mengawali sesuatu dengan yang kanan, dalam memakai
terompah, bersisir, bersuci dan dalam segala sesuatu.”(Mutafaq alaih)
Adapun menyela-nyala jenggot, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Utsman, “Bahwa Nabi ada
menyela-nyala jenggotnya.” (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi dan ia menshahihkannya). Cara menyela-
nyela jenggot ini dengan mengambil seraup air dan meletakkannya dari bawahnya dengan jari-
jemarinya atau dari dua sisinya dan menggosokkan keduanya. Dan dalam riwayat Abu Dawud dari
Anas, “Bahwa Nabi jika berwudhu mengambil seraup air, kemudian meletakkannya di bawah
dagunya dan berkata, ‘Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhan kepadaku.’”
Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?
Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut
ukuran orang Hijaz dan 2 liter menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun
untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas,
katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi
(dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh (dibenci)
berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.
Tanya: Bacaan apa yang disunnahkan ketika selesai berwudhu?
Jawab: Bacaan yang disunnahkan adalah mengucapkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar,
katanya, “Berkata Rasulullah, ‘Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu dan
menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan: asyhadu anlaa ilaaha illalloohu wahdahu laa
syariikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rosuuluh (Aku bersaksi bahwa tidak ada
Ilah yang berhak disembah selain Allah semata; yang tidak ada sekutu baginya. Dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya), melainkan dibukakan untuknya delapan
pintu syurga, ia dapat masuk dari mana saja yang ia kehendaki.’” (HR. Muslim)
Dan Tirmidzi menambahkan: “Alloohummaj’alni minat tawwabiina waj’alnii minl mutathohhiriin (Ya
Allah jadikan aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang
suka mensucikan diri).”
Nawaqidul Wudhu

Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?


Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar dari dua
jalan (kencing dan berak), makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan syahwat,
semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan, obat-obat yang menghilangkan kesadaran,
dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.
Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah
bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah berhadats hingga
dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits no. 225)
Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang dimaksud hadats,
wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)
Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang membatalkan
wudhu adalah buang air besar, buang air kecil, dan tidur.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau
bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami
(harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah
shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat
di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no.
360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta,
maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan
daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan
Abu Dawud hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti,
makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang
kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh
apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak
hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini,
dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat
dan paling berkah. Wallahu ‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur
lama (pulas) membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah,
‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah
Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no. 203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu)
adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-
nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian
mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan
Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah.
Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau
memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping kanannya. Lalu aku pun berada di
samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau
memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu
penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan
wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya lebih parah kalau
dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan.
Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja
membatalkan wudhu. Dan para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila,
mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan)
ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang
pingsan.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi
dengan syahwat?
Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah
bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah,
hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan Abu Zur’ah)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka
janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang paling shahih)
“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya
untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)
Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”
Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang
menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya
maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tentang menyentuh kamaluan
ketika shalat? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata tubuhmu!?” (HR.
Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu Zawaid I/244)
Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa menyentuh
kemaluan tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota tubuhnya
yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa
syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh daun
telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan
cara penyatuan inilah yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik
dan sebagian ulama hadits.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa
pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?
Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau kalian
menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa: 43)
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan
wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka yang
berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat hanya pada
ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang
berpendapat seperti ini sebagai berikut:
Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima
(senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa
Rasulullah:
“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi
wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)
Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan
Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan
tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan
menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak
membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah
itu membatalkan wudhu?
Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam,
baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam
(sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia tidak boleh shalat
sebelum berwudhu lagi.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-
nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan.
Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”
Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara
kalian apabila hadats hingga berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits
no. 225)
Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan
mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti
dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari
kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan
mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman
inilah mereka yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang
yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia
perbuat, termasuk jika ia berhadats).
Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.” Ini adalah
pendapat mayoritas fuqaha dan inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum wajib
harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal ini dan tidak pula nash yang
bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena
memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu
bagi orang yang memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab
(disukai) berwudhu tidak sampai kepada wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak
wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa
memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan hadits di atas
hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum
tersebut menjadi wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya kemungkinan bahwa
itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya
karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu
adalah sabda Rasulullah.
Nawaqidul Wudhu

Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?


Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar dari dua
jalan (kencing dan berak), makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan syahwat,
semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan, obat-obat yang menghilangkan kesadaran,
dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.
Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah
bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah berhadats hingga
dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits no. 225)
Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang dimaksud hadats,
wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)
Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang membatalkan
wudhu adalah buang air besar, buang air kecil, dan tidur.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau
bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami
(harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah
shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat
di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no.
360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta,
maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan
daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan
Abu Dawud hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti,
makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang
kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh
apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak
hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini,
dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat
dan paling berkah. Wallahu ‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur
lama (pulas) membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah,
‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah
Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no. 203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu)
adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-
nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian
mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan
Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah.
Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau
memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping kanannya. Lalu aku pun berada di
samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau
memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu
penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan
wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya lebih parah kalau
dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan.
Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja
membatalkan wudhu. Dan para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila,
mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan)
ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang
pingsan.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi
dengan syahwat?
Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah
bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah,
hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan Abu Zur’ah)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka
janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang paling shahih)
“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya
untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)
Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”
Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang
menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya
maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tentang menyentuh kamaluan
ketika shalat? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata tubuhmu!?” (HR.
Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu Zawaid I/244)
Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa menyentuh
kemaluan tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota tubuhnya
yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa
syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh daun
telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan
cara penyatuan inilah yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik
dan sebagian ulama hadits.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa
pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?
Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau kalian
menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa: 43)
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan
wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka yang
berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat hanya pada
ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang
berpendapat seperti ini sebagai berikut:
Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima
(senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa
Rasulullah:
“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi
wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)
Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan
Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan
tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan
menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak
membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah
itu membatalkan wudhu?
Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam,
baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam
(sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia tidak boleh shalat
sebelum berwudhu lagi.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-
nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan.
Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”
Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara
kalian apabila hadats hingga berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits
no. 225)
Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan
mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti
dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari
kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan
mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman
inilah mereka yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang
yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia
perbuat, termasuk jika ia berhadats).
Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.” Ini adalah
pendapat mayoritas fuqaha dan inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum wajib
harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal ini dan tidak pula nash yang
bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena
memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu
bagi orang yang memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab
(disukai) berwudhu tidak sampai kepada wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak
wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa
memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan hadits di atas
hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum
tersebut menjadi wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya kemungkinan bahwa
itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya
karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu
adalah sabda Rasulullah.
Bersuci Dengan Debu

Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang dada
dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamsebagai jalan hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya penerang serta ruh
kehidupannya. Para pembaca yang budiman, Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah kepada
Allah dalam keadaan suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci. Dan sebagaimana sudah
dikenal di kalangan umat Islam bersuci itu meliputi wudhu, mandi dan tayamum. Nah, pada
kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah tayamum. Semoga
Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita.
Pengertian Tayamum
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mendefinisikan tayamum sebagai berikut.
Secara bahasa tayamum berarti bermaksud atau menyengaja. Sebagaimana ungkapan orang
Arab tayyamamtu asy-syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya menginginkannya). Adapun dalam
terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum yaitu: membasuh wajah dan kedua telapak
tangan dengan menggunakan ash-sha’id yang suci sebagai pengganti bersuci dengan air yaitu ketika
terhalangi memakai air. Bahkan syariat tayamum ini merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki
oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi menyempurnakan agama mereka, dan juga sebagai
tanda bukti kasih sayang dan cinta kasih-Nya kepada mereka (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul
‘Allaam, jilid 1 hal. 112)
Dalil Pensyari’atannya
Diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut shalat berjamaah
bersama orang-orang. Maka beliau pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang
menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, saya
mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja sudah cukup bagimu.” (HR.
Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum) Yang dimaksud dengan ash-sha’id adalah permukaan bumi
serta segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu diperbolehkan bertayamum dengan
apapun yang masih layak disebut sebagai bagian permukaan bumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh
Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahumullah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/198) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila
tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum. Dan menunjukkan pula bahwa
tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci dengan air, selama air tidak ada atau tidak sanggup
memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)
Sebab-Sebab Dilakukan Tayamum
Tayamum boleh dilakukan karena: (1) Ketika tidak sanggup memakai air, atau (2) Karena tidak ada
air, atau (3) Karena khawatir akan bahaya yang timbul bila tersentuh air gara-gara badan sedang
menderita sakit atau karena hawa dingin yang sangat menusuk. Bahkan mayoritas ulama
berpendapat bahwa seseorang yang khawatir mati disebabkan hawa dingin yang sangat menusuk
diperbolehkan untuk bertayamum, karena kondisinya serupa dengan keadaan orang yang sakit
(Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/196) Dalil-dalilnya adalah: Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
(apabila) kemudian kalian tidak berhasil menemukan air maka bertayamumlah dengan tanah yang
suci.” (QS. An-Nisaa’: 43) Diriwayatkan dari Jabirradhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; Pada suatu
saat kami bepergian dalam sebuah rombongan perjalanan. Tiba-tiba ada seorang lelaki diantara kami
yang tertimpa batu sehingga menyisakan luka di kepalanya. Beberapa waktu sesudah itu dia
mengalami mimpi basah. Maka dia pun bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah menurut
kalian dalam kondisi ini saya diberi keringanan untuk bertayamum saja?” Menanggapi pertanyaan itu
mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak diberikan keringanan untuk melakukan hal itu,
sedangkan engkau sanggup memakai air.” Maka orang itu pun mandi dan akhirnya meninggal.
Tatkala kami berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau mendapat
laporan tentang peristiwa itu. Beliau bersabda, “Mereka telah menyebabkan dia mati ! Semoga Allah
membinasakan mereka. Kenapa mereka tidak mau bertanya ketika tidak mengetahui. Karena
sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya. Sebenarnya dia cukup bertayamum
saja.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim. Dinilai shahih oleh Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi. Lihat Al
Wajiz hal. 55. Namun hadits ini dinilai lemah oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Hazm karena sanadnya
lemah. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/195)
Tata Caranya
Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; ‘Saya pernah mengalami
junub dan ketika itu saya tidak mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu saya pun
bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian saya menjalankan shalat. Maka hal itu
pun saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Sebenarnya sudah
cukup bagimu bersuci dengan cara seperti ini.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua
telapak tangannya di atas tanah dan meniup keduanya. Kemudian dengan kedua telapak tangan itu
beliau membasuh wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Bukhari dan Muslim) Berdasarkan hadits ini
dan juga hadits lainnya maka tata cara tayamum yang benar adalah cukup dengan menepukkan
kedua telapak tangan (1X) ke tanah atau permukaan bumi yang lainnya, kemudian meniupnya, lalu
membasuh dengan kedua telapak tangannya itu wajah dan telapak tangannya (dari ujung jari sampai
pergelangan, bagian luar dan dalam telapak tangan) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/202-203)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tata cara tayamum
karena junub sama halnya dengan tayamum karena hadats kecil yaitu dengan cara menepuk tanah
dengan kedua telapak tangannya sekali dan kemudian membasuh telapak tangan kirinya dengan
bagian dalam telapak tangan kanannya dan juga bagian luar kedua telapak tangannya serta
wajahnya. Demikianlah penjelasan beliau tatkala menerangkan hadits ‘Ammar bin Yasir di atas.
Syaikh Ibnu Bassam hafizhahullah menerangkan bahwa tayamum itu cukup dengan satu kali
tepukan saja. Inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama, di antara mereka adalah Imam
Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq serta para ulama ahli hadits berdasarkan hadits-hadits shahih (lihat Tanbiihul
Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 116 dan 117)
Bertayamum Dengan Dinding
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa dia berkata; Saya datang bersama dengan
‘Abdullah bin Yasar bekas budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala kami
bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah Al-Anshari maka Abu Jahim
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal. Kemudian ada
seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam kepada beliau. Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya hingga beliau menyentuh dinding (dengan tangannya,
pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya. Baru setelah itu beliau mau
menjawab salamnya.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits ini menunjukkan bahwa bertayamum dengan
mengusap dinding diperbolehkan (lihat Al-Wajiz, hal. 57)
Pembatal Tayamum
Tayamum menjadi batal karena hal-hal yang bisa membatalkan wudhu. Selain itu tayamum juga
dinilai batal apabila air berhasil ditemukan oleh orang yang berusaha mencari namun belum
menemukannya. Dan tayamum juga dinilai batal apabila seseorang yang pada awalnya tidak
sanggup memakai air karena sakit atau alasan lainnya ternyata pada saat itu dia sudah kembali
sanggup menggunakannya. Sedangkan shalat yang sudah dilakukan sebelumnya dengan bekal
tayamum tersebut tetap dinilai sah dan tidak perlu diulangi. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata; ‘Ada dua orang lelaki yang menempuh suatu
perjalanan. Maka tibalah waktu shalat sementara mereka berdua tidak mendapati air sama sekali.
Oleh sebab itu mereka pun bertayamum dengan tanah yang suci lalu melakukan shalat. Kemudian
pada suatu saat ternyata mereka menemukan air. Maka salah seorang dari keduanya mengulangi
wudhu dan shalat, sedangkan kawannya yang satu tidak. Kemudian mereka berdua menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Maka
beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah sesuai dengan
tuntunan. Dan shalatmu pun dinilai sah.” Dan beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan
mengulangi shalatnya, “Engkau memperoleh pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud dan An-
Nasa’i, Shahih Sunan Abu Dawud : 327. lihat Al-Wajiz hal. 56-57)
Haruskah Mengusap Perban Jika Terluka?
Seseorang yang terluka atau patah salah satu bagian tubuhnya (anggota badan yang dikenai usapan
wudhu atau tayamum, pen) maka dia tidak berkewajiban mengusapnya (ataupun perbannya, pen)
tatkala berwudhu maupun tayamum. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala  yang artinya, “Allah tidak
akan membebankan kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Begitu pula sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila aku memerintahkan kalian untuk
menjalankan sesuatu maka laksanakanlah menurut kemampuan kalian.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i)
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan As-Sunnah ini maka gugurlah kewajiban dari setiap orang yang tidak
berkesanggupan menjalankannya. Menentukan adanya pengganti tata cara tersebut (mengusap
anggota badan, pen) dengan mengusap yang lain (seperti perban dan semacamnya, pen) adalah
tindakan pensyari’atan. Sedangkan syariat tidak bisa digariskan kecuali dengan al-Qur’an atau as-
Sunnah. Padahal tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menyebutkan
adanya pengganti tindakan mengusap anggota badan yang terluka dengan mengusap perban atau
pembalut lukanya. Oleh karena itu pendapat yang menyatakan dituntunkan untuk mengusap perban
adalah pendapat yang tertolak (lihat Al-Wajiz, hal. 57)
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang tayamum. Semoga kaum muslimin bisa memetik faedah
darinya, begitu pula penyusunnya serta orang-orang yang turut menyebarkannya. Ya Allah terimalah
amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengetahui. Dan terimalah taubat kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib

Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah,
pembahasan ini akan dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan kali ini kita
akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi (al ghuslu).
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan
yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan
tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa
dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. [1]
Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi[2] dengan
melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur
ketika kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika
salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan
laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar
sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.[3]
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
َّ ‫َوإِنْ ُك ْن ُت ْم ُج ُنبًا َف‬
‫اط َّهرُوا‬
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
‫يل حَ َّتى َت ْغ َتسِ لُوا‬ ِ ‫صاَل َة َوأَ ْن ُت ْم ُس َكارَ ى حَ َّتى َتعْ لَمُوا مَا َت ُقولُونَ َواَل ُج ُنبًا إِاَّل عَ ِاب ِري‬
ٍ ‫سَب‬ َّ ‫يَا أَ ُّيهَا الَّذِينَ آَ َم ُنوا اَل َت ْقرَ بُوا ال‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam  bersabda,
‫إِ َّنمَا ْالمَا ُء مِنَ ْالمَا ِء‬
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena
keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut
keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi.
Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar
memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun
pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?
Asy Syaukani rahimahullah  mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya
mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi
yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah  jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu yang
basah.”[5]
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
« ‫ َوعَ ِن الرَّ ج ُِل يَرَ ى أَ َّن ُه َق ِد احْ َتلَ َم َوالَ َي ِج ُد ْال َبلَ َل َقا َل‬.» ‫عَن الرَّ ج ُِل َي ِج ُد ْال َبلَ َل َوالَ ي َْذ ُك ُر احْ ِتالَمًا َقا َل « ي َْغ َتسِ ُل‬
ِ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُس ِئ َل رَ سُو ُل هَّللا‬
ِ َ‫ت أُ ُّم ُسلَي ٍْم ْال َمرْ أَةُ َترَ ى َذلِكَ أَعَ لَ ْيهَا ُغسْ ٌل َقا َل « َنعَ ْم إِ َّنمَا ال ِّنسَ ا ُء َش َقائ ُِق الرِّ ج‬
.» ‫ال‬ ْ َ‫ َف َقال‬.» ‫الَ ُغسْ َل عَ لَ ْي ِه‬
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan
dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau
juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau
menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256.
Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6].
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
ْ‫ َه ْل عَ لَى ْال َمرْ أَ ِة مِن‬، ‫ إِنَّ هَّللا َ الَ َيسْ َتحْ ِيى مِنَ ْالحَ ِّق‬، ِ ‫ت يَا رَ سُو َل هَّللا‬ ِ ‫َت أُ ُّم ُسلَي ٍْم امْ رَ أَةُ أَ ِبى َط ْلحَ َة إِلَى رَ س‬
ْ َ‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َف َقال‬ ْ ‫جَ اء‬
‫ت ْالمَا َء‬ َ
ِ ‫َت َف َقا َل رَ سُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – « َنعَ ْم إِ َذا رَ أ‬ ْ ‫» ُغسْ ٍل إِ َذا هِىَ احْ َتلَم‬
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita
wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.”
(HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
Asy Syaukani rahimahullah  mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang
berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani
tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata,
“Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu.  Hal ini
menunjukkan  bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia
merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib
mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi
ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]
Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َف َق ْد َوجَ بَ ْالغَسْ ُل‬، ‫ األَرْ ب َِع ُث َّم جَ هَدَ هَا‬g‫عَب َها‬
ِ ‫ش‬ ُ َ‫إِ َذا جَ لَسَ َب ْين‬
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya ,
pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan
Muslim no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
‫َوإِنْ لَ ْم ُي ْن ِز ْل‬
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
‫صلى هللا عليه‬- ِ ‫ َف َقا َل رَ سُو ُل هَّللا‬.‫عَن الرَّ ج ُِل يُجَ ا ِم ُع أَهْ لَ ُه ُث َّم ي ُْكسِ ُل َه ْل عَ لَي ِْهمَا ْال ُغسْ ُل َوعَ ا ِئ َش ُة جَ الِسَ ٌة‬
ِ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫إِنَّ رَ ُجالً سَ أ َ َل رَ سُو َل هَّللا‬
.» ‫ « إِ ِّنى ألَ ْفعَ ُل َذلِكَ أَ َنا َو َه ِذ ِه ُث َّم َن ْغ َتسِ ُل‬-‫وسلم‬
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki
yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi?
Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen)
namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa
Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita
katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak
keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.
[9]
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna
hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi,
-maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya
sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang
terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian
setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan
badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”[10]
Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
‫اغسِ لِى عَ ْنكِ ال َّد َم َوصَلِّى‬ ْ َ‫صالَ َة َوإِ َذا أَ ْدبَر‬
ْ ‫ت َف‬ ِ َ‫َفإِ َذا أَ ْق َبل‬
َّ ‫ت ْالحَ ْيضَ ُة َفدَعِ ى ال‬
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti,
hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy
Syaukani rahimahullah  mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh
tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan
haditsmutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama
mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”[11]
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,
‫أَ َّن ُه أَسْ لَ َم َفأَمَرَ هُ ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هَّللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم أَنْ ي َْغ َتسِ َل ِبمَا ٍء َوسِ ْد ٍر‬
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi
dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul,
hukum asal perintah adalah wajib.[12] Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam
adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm,
Ibnull Mundzir dan Al Khottobi[14].
Kelima: Karena kematian.
Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang
hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa
memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah
melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai
memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalamKitabul Jana’iz, yang
berkaitan dengan jenazah.
Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan
anaknya,
‫اغسِ ْل َنهَا َثالَ ًثا أَ ْو َخمْسً ا أَ ْو أَ ْك َثرَ َمنْ َذلِكَ إِنْ رَ أَ ْي ُتنَّ َذلِكَ ِبمَا ٍء َوسِ ْد ٍر‬
ْ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau
lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus
(wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak
ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah
mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak
kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang
yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.[16]
Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?
Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh,
maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan
demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan,
sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17]
Demikian pembahasan singkat ini. Insya Allah selanjutnya kita akan melanjutkan pada pembahasan
tata cara mandi (al ghuslu). Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
aalihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Pangukan-Sleman, Kamis, 15 Jumadal Awwal 1431 H (29/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam

[2] Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip
mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau
ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.
Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil
Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)
[3] Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah At
Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul ‘Aqidah, tahun 1428 H.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 57, Darul
‘Aqidah, tahun 1425 H.
[6] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[7] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[8] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50.
[9] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/40-41, Dar Ihya’ At
Turots, cetakan kedua, 1392.
[11] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 57.
[12] Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167.
[13] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di medan
pertempuran dan disebut syahid (seperti orang yang mati karena tenggelam dan sakit perut), maka
mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang mati pada umumnya. Inilah yang
menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/619)
[17] Fiqh Al Mar’ah  Al Muslimah, hal. 51.
Tata Cara Mandi Wajib

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai lima hal yang menyebabkan
mandi wajib. Saat ini kami akan memaparkan serial kedua dari tiga serial secara keseluruhan tentang
tata cara mandi wajib (al ghuslu). Semoga pembahasan kali ini bermanfaat.
Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang
menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi
biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ِ ‫إِ َّنمَا األَعْ مَا ُل ِبال ِّنيَّا‬
‫ت‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
‫ُث َّم ُيفِيضُ ْالمَا َء عَ لَى جَ سَ ِد ِه ُكلِّ ِه‬
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika
mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
ُ ‫أَمَّا أَ َنا َفآ ُخ ُذ ِم ْل َء َك ِّفى َثالَثا ً َفأَصُبُّ عَ لَى رَ ْأسِ ى ُث َّم أُفِي‬
‫ض ُه َبعْ ُد عَ لَى سَ ائ ِِر جَ سَ دِى‬
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya
tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)
Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun
(fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia
mengatakan,
‫ت ُث َّم ُتفِيضِ ينَ عَ لَيْكِ ْالمَا َء‬ َ َ‫ض ُه لِ ُغسْ ِل ْالجَ َنا َب ِة َقا َل « الَ إِ َّنمَا ي َْكفِيكِ أَنْ َتحْ ثِى عَ لَى رَ ْأسِ كِ َثال‬
gٍ ‫ث حَ َثيَا‬ ُ ُ‫ش ُّد ضَ ْفرَ رَ ْأسِ ى َفأ َ ْنق‬
ُ َ‫ت يَا رَ سُو َل هَّللا ِ إِ ِّنى امْ رَ أَةٌ أ‬
ُ ‫قُ ْل‬
.» َ‫َف َت ْطه ُِرين‬
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku
harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah
kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka
kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat
untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai
seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-
gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]
Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan
membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits
dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
‫ ُث َّم َي َت َوضَّأ ُ َكمَا‬، ‫اغ َتسَ َل مِنَ ْالجَ َنا َب ِة بَدَ أَ فَغَ سَ َل يَدَ ْي ِه‬
ْ ‫عَ نْ عَ ا ِئ َش َة َز ْو ِج ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – أَنَّ ال َّن ِبىَّ – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ إِ َذا‬
‫ ُث َّم ُيفِيضُ ْالمَا َء عَ َلى ِج ْل ِد ِه ُكلِّ ِه‬، ‫ث ُغرَ فٍ ِبيَدَ ْي ِه‬ َ َ‫ َفي َُخلِّ ُل ِبهَا أُصُو َل َشعَ ِر ِه ُث َّم َيصُبُّ عَ لَى رَ ْأسِ ِه َثال‬، ‫صَابعَ ُه فِى ْالمَا ِء‬ َّ ‫َي َت َوضَّأ ُ لِل‬
ِ َ‫ ُث َّم ي ُْد ِخ ُل أ‬، ‫صالَ ِة‬
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu
menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan
kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.”
(HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Hadits kedua:
، ‫ْن أَ ْو َثالَ ًثا‬ ِ ‫ فَغَ سَ لَ ُهمَا مَرَّ َتي‬، ‫ َفأ َ ْفرَ َغ عَ لَى يَدَ ْي ِه‬، ‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – مَا ًء ي َْغ َتسِ ُل ِب ِه‬
ِ ‫ْن مَرَّ َتي‬ ُ ْ‫ت َم ْيمُو َن ُة َوضَ ع‬
ِ ‫ت لِرَ س‬ ْ َ‫َّاس َقا َل َقال‬
ٍ ‫ْن عَ ب‬
ِ ‫عَ ِن اب‬
‫ ُث َّم أَ ْفرَ َغ‬، ‫ ُث َّم غَ سَ َل َوجْ َه ُه َويَدَ ْي ِه ُث َّم غَ سَ َل رَ ْأسَ ُه َثالَ ًثا‬، ‫ق‬gَ ‫ ُث َّم َمضْ مَضَ َواسْ َت ْن َش‬، ‫ض‬ ِ ْ‫ ُث َّم دَ لَكَ يَدَ هُ ِباألَر‬، ُ‫ فَغَ سَ َل م ََذاكِيرَ ه‬، ‫ُث َّم أَ ْفرَ َغ ِب َيمِي ِن ِه عَ لَى شِ مَالِ ِه‬
‫ ُث َّم َت َنحَّ ى مِنْ َم َقا ِم ِه فَغَ سَ َل َقدَ َم ْي ِه‬، ‫عَ لَى جَ سَ ِد ِه‬
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan
mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan
air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau
menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke
dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh
kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula
lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no.
317)
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan
dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih
dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah
karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan
kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam
sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan
kotoran yang ada.”[4]
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika
mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa
didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur
air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu
beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang
tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-
sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu,
setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau
boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup,
mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh,
kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah  mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut
dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada
kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha  disebutkan,
‫ حَ َّتى إِ َذا‬، ُ‫ ُث َّم ي َُخلِّ ُل ِب َي ِد ِه َشعَ رَ ه‬، ‫اغ َتسَ َل‬ ْ ‫صالَ ِة ُث َّم‬
َّ ‫ َو َت َوضَّأ َ وُ ضُو َءهُ لِل‬، ‫اغ َتسَ َل مِنَ ْالجَ َنا َب ِة غَ سَ َل يَدَ ْي ِه‬
ْ ‫َكانَ رَ سُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – إِ َذا‬
‫ ُث َّم غَ سَ َل سَ ائِرَ جَ سَ ِد ِه‬، ‫ت‬ٍ ‫ث مَرَّ ا‬َ َ‫ أَ َفاضَ عَ َل ْي ِه ْالمَا َء َثال‬، ‫َظنَّ أَنْ َق ْد أَرْ َوى َب َشرَ َت ُه‬
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya
ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau
mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
‫ َو ِب َي ِدهَا األ ُ ْخرَ ى عَ لَى شِ ِّقهَا األَ ْيسَ ِر‬، ‫َن‬ َ ْ ْ
ِ ‫ ُث َّم َتأ ُخ ُذ ِب َي ِدهَا عَ لَى شِ ِّقهَا األ ْيم‬، ‫ت ِبيَدَ ْيهَا َثالَ ًثا َف ْوقَ رَ أسِ هَا‬
ْ ‫ أَ َخ َذ‬، ‫َت إِحْ دَا َنا جَ َناب ٌَة‬
ْ ‫ُك َّنا إِ َذا أَصَ اب‬
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan
disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh
sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke
bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,  ia berkata,
‫ُور ِه َوفِى َشأْ ِن ِه ُكلِّ ِه‬ ُ
ِ ‫َكانَ ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – يُعْ ِج ُب ُه ال َّت َيمُّنُ فِى َت َن ُّعلِ ِه َو َترَ جُّ لِ ِه َوطه‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika
bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”  (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim
no. 268)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang
membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas
sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku
seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika
mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada
kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim
no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan
dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
‫الطهُورَ ُث َّم َتصُبُّ عَ لَى رَ ْأسِ هَا‬ ُّ ُ‫ِيض َف َقا َل « َتأْ ُخ ُذ إِحْ دَ ا ُكنَّ مَا َءهَا َوسِ ْدرَ َتهَا َف َت َط َّه ُر َف ُتحْ سِ ن‬ ِ ‫ عَ نْ ُغسْ ِل ْال َمح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫ت ال َّن ِبى‬ ِ َ‫أَنَّ أَسْ مَا َء سَ أَل‬
َ‫ت أَسْ مَا ُء َو َك ْيفَ َت َط َّه ُر ِبهَا َف َقا َل « ُس ْبحَ ان‬ ً ْ‫ ُث َّم َتأْ ُخ ُذ فِر‬.َ‫ش ُئونَ رَ ْأسِ هَا ُث َّم َتصُبُّ عَ لَ ْيهَا ْالمَاء‬
ْ َ‫ َف َقال‬.» ‫صَة ُم َم َّس َك ًة َف َت َط َّه ُر ِبهَا‬ ً ‫َف َت ْدل ُ ُك ُه دَ ْل ًكا َشد‬
ُ َ‫ِيدا حَ َّتى َتبْلُغ‬
ُّ ُ‫ َوسَ أَلَ ْت ُه عَ نْ ُغسْ ِل ْالجَ َنا َب ِة َف َقا َل « َتأْ ُخ ُذ مَا ًء َف َت َط َّه ُر َف ُتحْ سِ ن‬.‫ت عَ ا ِئ َش ُة َكأ َ َّنهَا ُت ْخفِى َذلِكَ َت َت َّبعِينَ أَ َثرَ الدَّم‬
‫الطهُورَ – أَ ْو ُت ْبلِ ُغ‬ ْ َ‫ َف َقال‬.» ‫هَّللا ِ َت َطه َِّرينَ ِبهَا‬
ِ
» ‫ش ُئونَ رَ ْأسِ هَا ُث َّم ُتفِيضُ عَ لَ ْيهَا ْالمَا َء‬ ُ َ‫الطهُورَ – ُث َّم َتصُبُّ عَ لَى رَ ْأسِ هَا َف َت ْدل ُ ُك ُه حَ َّتى َتبْلُغ‬ ُّ
“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka beliau
bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil  air dan daun bidara, lalu engkau bersuci,
lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu
menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah
engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu
bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?” Beliau
bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia
menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan
dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu
mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci
kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)
Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
‫ش ُئونَ رَ ْأسِ هَا‬ ً ‫ُث َّم َتصُبُّ عَ لَى رَ ْأسِ هَا َف َت ْدل ُ ُك ُه دَ ْل ًكا َشد‬
ُ َ‫ِيدا حَ َّتى َتبْلُغ‬
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya
mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,
‫ش ُئونَ رَ ْأسِ هَا ُث َّم ُتفِيضُ عَ لَ ْيهَا ْالمَا َء‬
ُ َ‫ُث َّم َتصُبُّ عَ لَى رَ ْأسِ هَا َف َت ْدلُ ُك ُه حَ َّتى َتبْلُغ‬
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mengguyurkan air padanya.”
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan
bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau
potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu,
disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum
lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
‫ َكانَ الَ َي َت َوضَّأ ُ َبعْ دَ ْال ُغسْ ِل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫عَ نْ عَ ا ِئ َش َة أَنَّ ال َّن ِبى‬
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.”
(HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
‫وأَيُّ وُ ضُو ٍء أَعَ ُّم مِنَ ْال ُغسْ ِل؟‬:َ
َ ‫عَن ْالوُ ضُو ِء َبعْ دَ ْال ُغسْ ِل؟ َف َقال‬
ِ ‫ُس ِئ َل‬
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana
lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf[8])
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi  berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk
dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini.
[9]
Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi
wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu
lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?
Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,
‫ َفا ْن َطلَقَ َوهْ َو َي ْن ُفضُ يَدَ ْي ِه‬، ُ‫َف َن َاو ْل ُت ُه َث ْوبًا َفلَ ْم يَأْ ُخ ْذه‬
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi
dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276). Berdasarkan
hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tepat,
hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:
1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa
kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya
yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain
tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
2. Hadits  ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja
beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain
bukanlah makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]
Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di atas juga berlaku untuk
mandi yang sunnah yang akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga atau terakhir).
Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Selesai susun di wisma MTI, 7 Jumadits Tsani 1431 H (20/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379.

[2] Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178,
Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Fathul Bari, 1/360.
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi,
1392.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul
‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.
[7] Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad
Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.
[8] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61
[9] Idem.
[10] Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.
Waktu-Waktu Shalat

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa


Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul
‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammadshallallahu
‘alaihi was sallam.
Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫ت عَ لَى ْالم ُْؤ ِمنِينَ ِك َتابًا م َْوقُو ًتا‬
ْ ‫صاَل َة َكا َن‬
َّ ‫إِنَّ ال‬
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) : 103]
Berikut penjelasan waktu-waktu sholat.
[Sholat Zhuhur]
Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu matahari
bergeser dari tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).
Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah masuk. Sholat zhuhur disebut
juga sholat Al Uulaa (‫ )األ ُ ْولَى‬karena sholat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was
sallam  bersama Jibril ‘Alaihis salam. Disebut juga sholat Al Hijriyah ( ‫[)الح ِْج ِر َي ُة‬1].
Awal Waktu Sholat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah
tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits
Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
‫ص ُر‬ ُ ‫الر ُج ِل َك ُطولِ ِه َما لَ ْم َي ْح‬
ْ ‫ض ِر ا ْل َع‬ َّ ُّ ‫س َو َكانَ ظِ ل‬ ِ َ‫……و ْقتُ ال ُّظ ْه ِر إِ َذا َزال‬..
َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ َ
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga
bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar……….”[2].
Akhir Waktu Sholat Zhuhur
Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih tepat dan
ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang seseorang
semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu
‘alaihi was sallam  dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu  di atas.
Catatan :
Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung waktu
antara terbitnya matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan membagi
duanya.
Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat Zhuhur di Awal Waktunya
Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu ‘anhu,
ُّ ‫ يُصَ لِّى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ُّ‫َكانَ ال َّن ِبى‬
ِ َ‫الظ ْهرَ إِ َذا دَحَ ض‬
ُ‫ت ال َّشمْس‬
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat zhuhur ketika matahari telah
tergelincir”[3].
Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Sholat Zhuhur Jika Sangat Panas
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam,
َّ ‫ َوإِ َذا ا ْش َت َّد ْالحَ رُّ أَ ْبرَ دَ ِبال‬، ‫صالَ ِة‬
‫صالَ ِة‬ َّ ‫َكانَ ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – إِ َذا ا ْش َت َّد ْال َبرْ ُد َب َّكرَ ِبال‬
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan sangat dingin beliau menyegerakan sholat
dan jika keadaan sangat panas/terik beliau mengakhirkan sholat”[4].
Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak terlalu panjang hingga mendekati waktu
akhir sholat.
[Sholat ‘Ashar]
‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir dari dalam
sehari.
Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar, sholat ‘ashar ini juga disebut sholat
woshtho (‫)الو ْس َطى‬.
ُ
Awal Waktu Sholat ‘Ashar
Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur ulama).
Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
ُ‫ت ْالعَ صْ ِر مَا لَ ْم َتصْ َفرَّ ال َّشمْس‬ ُ ‫ت ال َّشمْسُ َو َكانَ ظِ ُّل الرَّ ج ُِل َك‬
ُ ‫طولِ ِه مَا لَ ْم َيحْ ض ُِر ْالعَ صْ ُر َو َو ْق‬ ُّ ‫ت‬
ِ َ‫الظه ِْر إِ َذا َزال‬ ُ ‫……و ْق‬.
َ
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga
bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar
masih tetap ada selama matahari belum menguning………”[5].
Akhir Waktu Sholat ‘Ashar
Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.
 Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu  ketika Jibril
‘alihissalam menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
َ َ
َ‫ث حَ َّتى إِذا كان‬ َ ‫ت ال َّشمْسُ ُث َّم َم َك‬ ُّ ‫ت ال َّشمْ سُ َف َقا َل قُ ْم يَا مُحَ َّم ُد َفصَ ِّل‬
ْ َ‫الظ ْهرَ حِينَ مَال‬ ْ َ‫جَ ا َء ِجب ِْري ُل عَ لَ ْي ِه ال َّساَل م إِلَى ال َّن ِبيِّ صَ لَّى هَّللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم حِينَ َزال‬
‫ت ُكلُّ ُه‬ٌ ‫ْن َو ْق‬ ِ ‫َت ال َّشمْسُ ……مَا َب ْينَ ه ََذي‬ ْ ‫ث حَ َّتى إِ َذا غَ اب‬ َ ‫َفيْ ُء الرَّ ج ُِل م ِْثلَ ُه جَ ا َءهُ ل ِْلعَ صْ ِر َف َقا َل قُ ْم يَا مُحَ َّم ُد َفصَ ِّل ْالعَ صْ رَ ُث َّم َم َك‬
“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam  ketika matahari telah tergelincir ke arah
tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah.
Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang
kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam hingga
matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya”[6].
 Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
ُ‫ت ْالعَ صْ ِر مَا َل ْم َتصْ َفرَّ ال َّشمْس‬
ُ ‫َو َو ْق‬
“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………”[7].
 Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam  yang diriwayatkan dari sahabat Abu
Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
َ‫َمنْ أَ ْدرَ كَ رَ ْكعَ ًة مِنَ ْالعَ صْ ِر َق ْب َل أَنْ َت ْغرُبَ ال َّشمْ سُ َف َق ْد أَ ْدرَ كَ ْالعَ صْ ر‬
“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah
mendapatkan sholat ‘ashar”[8].
Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :
Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam  dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai
penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh.
Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar
jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang
memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.
Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas
bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
‫َكانَ رَ سُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – يُصَلِّى ْالعَ صْ رَ َوال َّشمْ سُ مُرْ َتفِعَ ٌة حَ ي ٌَّة‬
“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam  sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih
tinggi”[9].
Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari
Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,
‫ُك َّنا مَعَ بُرَ يْدَ َة فِى غَ ْز َو ٍة فِى ي َْو ٍم ذِى غَ ي ٍْم َف َقا َل َب ِّكرُوا ِبصَ الَ ِة ْالعَ صْ ِر َفإِنَّ ال َّن ِبىَّ – صلى هللا عليه وسلم – َقا َل « َمنْ َترَ كَ صَ الَ َة ْالعَ صْ ِر َف َق ْد حَ ِب َط‬
‫عَ مَل ُ ُه‬
“Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan,
“Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam  mengatakan, “Barangsiapa
yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal”[10].
Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.
[Sholat Maghrib]
Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib
adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib
Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam hingga
matahari benar-benar tenggelam sempurna.
Akhir Waktu Sholat Maghrib
Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.
Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu
sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan
adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i
dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril
mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam  sholat,
َ‫َت ال َّشمْسُ َو ْق ًتا َواح ًِدا َل ْم َي ُز ْل عَ ْن ُه َف َقا َل ُق ْم َفصَ ِّل َفصَ لَّى ْالم َْغ ِرب‬ ُ
ِ ‫…ث َّم جَ ا َءهُ ل ِْلم َْغ ِر‬..
ْ ‫ب حِينَ غَ اب‬
“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tenggelam
(sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian
dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..”[11].
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah
ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq,
Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat
oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
….‫ب ال َّش َف ُق‬ ِ ‫ت صَ الَ ِة ْالم َْغ ِر‬
gِ ‫ب مَا لَ ْم َي ِغ‬ ُ ‫…و ْق‬..
َ
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam”[12].
Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.
Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam  dari Sahabat ‘Uqbah bin
‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,
gَ ‫الَ َت َزا ُل أ ُ َّمتِى ِب َخي ٍْر – أَ ْو َقا َل عَ لَى ْالف ِْطرَ ِة – مَا لَ ْم ي َُؤ ِّخرُوا ْالم َْغ ِربَ إِلَى أَنْ َت ْش َت ِب‬
‫ك ال ُّنجُو ُم‬
“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan waktu
sholat maghrib hingga munculnya bintang (di langit)”[13].
[Sholat ‘Isya’]
‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga
malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.
Akhir Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.
Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah
pendapatnya Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam
mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam,
….ُ‫ث اللَّي ِْل اأْل َوَّ ل‬
ُ ُ ‫…ث َّم جَ ا َءهُ ل ِْل ِع َشا ِء حِينَ َذهَبَ ُثل‬..
ُ
“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’
ketika sepertiga malam yang pertama………..”[14].
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah
pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu
Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
… ِ‫ت صَ الَ ِة ْال ِع َشا ِء إِلَى نِصْ فِ اللَّي ِْل األَ ْوسَط‬
ُ ‫…و ْق‬.
َ
“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”[15].
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah
pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh
dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Qotadahrodhiyallahu ‘anhu,
…‫صالَ ِة األ ُ ْخرَ ى‬ ُ ‫صالَ َة حَ َّتى َي ِجى َء َو ْق‬
َّ ‫ت ال‬ ُ ‫…إِ َّنمَا ال َّت ْفر‬.
َّ ‫يط عَ لَى َمنْ لَ ْم يُصَ ِّل ال‬ ِ
“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak
mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”[16].
Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang
terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas waktu
bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah.
Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah
malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.
Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
ِ ُ ‫ش َّق عَ لَى أ ُ َّمتِى ألَ َمرْ ُت ُه ْم أَنْ ي َُؤ ِّخرُوا ْال ِع َشا َء إِلَى ُثل‬
‫ث اللَّي ِْل أَ ْو نِصْ فِ ِه‬ ُ َ‫لَ ْوالَ أَنْ أ‬
“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka mengakhirkan
sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”[17].
Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,  sebagaimana dalam
hadits yang lain,
َ‫ْط ُئوا أَ َّخر‬
َ ‫ َوإِ َذا رَ آ ُه ْم أَب‬، ‫ َإذا رَ آ ُه ْم اجْ َت َمعُوا عَ جَّ َل‬: ‫ َوأَحْ يَا ًنا ي َُؤ ِّخ ُرهَا‬، ‫َو ْال ِع َشا ُء أَحْ يَا ًنا ُي َق ِّد ُمهَا‬
“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka
telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)”[18].
Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
َ ‫َكانَ ي َْكرَ هُ ال َّن ْو َم َق ْبلَهَا َو ْالحَ د‬
‫ِيث َبعْ دَ هَا‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan
pembicaraan yang tidak berguna setelahnya[19]”.
[Sholat Shubuh/Fajar]
Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga sebagai sholat shubuh dan
sholat ghodah.
Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang
mencuat ka atas kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.
Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk, cahaya
ini akan terus menerus menjadi lebih terang hingga terbit matahari.
Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.
Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.
Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap
yang Bercampur Putih)
Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada
melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang
berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur
rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
ٍ َ‫ َفصَ لَّ ْي َنا عِ ْندَ هَا صَ الَ َة ْالغَ دَا ِة ِبغَ ل‬، َ‫أَنَّ رَ سُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – غَ َزا َخ ْيبَر‬
‫س‬
“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami
sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saatgholas”[20].
Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat. Amin
Diringkas dari Kitab Shohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin Said Salim hal. 237-249/I
Cet. Maktabah Tauqifiyah, Kairo, Mesir
Sigambal, Sebelum Subuh, 10 Mei 2011 M.
Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel www.muslim.or.id
[1] Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori No. 541.
[2] HR. Muslim No. 612.
[3] HR. Muslim No. 618.
[4] HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.
[5] HR. Muslim No. 612.
[6] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[7] HR. Muslim No. 612.
[8] HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608.
[9] HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.
[10] HR. Bukhori No. 553.
[11] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah  dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[12] HR. Muslim No. 612.
[13] HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan
Ibnu Majah.
[14] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah  dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[15] HR. Muslim No. 612.
[16] HR. Muslim No. 681.
[17] HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan
Tirmidzi.
[18] HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.
[19] HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237.
[20] HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365.
Rukun-Rukun Shalat

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk
hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan
juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah
dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali.
Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan
rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi
karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.
Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍ ‫ َفإِنْ لَ ْم َتسْ َتطِ عْ َف َعلَى َج ْن‬، ‫ َفإِنْ لَ ْم َتسْ َتطِ عْ َف َقاعِ ًدا‬، ‫ص ِّل َقا ِئمًا‬
‫ب‬ َ
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak
mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]
Rukun kedua: Takbiratul ihram
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
ُّ ‫صالَ ِة‬
‫الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها ال َّت ْك ِبي ُر َو َتحْ لِيلُ َها ال َّتسْ لِي ُم‬ َّ ‫ِم ْف َتا ُح ال‬
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah
ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[2]
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa
digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.
Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫صالَ َة لِ َمنْ لَ ْم َي ْق َر ْأ ِب َفات َِح ِة ْال ِك َتا‬
‫ب‬ َ َ‫ال‬
“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]
Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia
disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),
‫ُث َّم ارْ َكعْ َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َرا ِكعًا‬
“Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana  setiap persendian juga
ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang
jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,
‫ض ُع َك َّف ْي ِه َعلَى ر ُْك َب َت ْي ِه َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َم َفاصِ لُ ُه َو َتسْ َترْ خ َِى‬
َ ‫… ُث َّم ُي َك ِّب ُر َف َيرْ َك ُع َف َي‬  ‫صالَةُ أَ َح ِد ُك ْم َح َّتى يُسْ ِب َغ‬
َ ‫الَ َت ِت ُّم‬
“Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, …
kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai
persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib
dalam ruku’.
Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
‫ُث َّم ارْ َفعْ َح َّتى َتعْ َت ِد َل َقا ِئمًا‬
“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]
Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
‫ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َسا ِج ًدا‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”[7]
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri,
[3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan hidung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ‫ْن َوأَ ْط َراف‬ ِ ‫ار ِب َي ِد ِه َعلَى أَ ْنفِ ِه – َو ْال َيدَ ي‬
ِ ‫ َوالرُّ ْك َب َتي‬، ‫ْن‬ َ ‫ظ ٍم َعلَى ْال َج ْب َه ِة – َوأَ َش‬ ُ ْ‫أُمِر‬
ُ ْ‫ت أَنْ أَسْ جُدَ َعلَى َسب َْع ِة أَع‬
ِ ‫ْال َقدَ َمي‬
‫ْن‬
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung,
beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan
kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri.  ”
Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
‫ ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َسا ِج ًدا‬، ‫ ُث َّم ارْ َفعْ َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َجالِ ًسا‬، ‫ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َسا ِج ًدا‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah
ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]
Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
ِ ‫َّات هَّلِل‬ َّ ‫… َفإِ َذا َق َعدَ أَ َح ُد ُك ْم فِى ال‬
ُ ‫صالَ ِة َف ْل َيقُ ِل ال َّت ِحي‬
“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah
…”.”[9]
Bacaan tasyahud:
ِ ‫ ال َّسالَ ُم َعلَ ْي َنا َو َعلَى عِ َبا ِد هَّللا‬، ‫ْك أَ ُّي َها ال َّن ِبىُّ َو َرحْ َم ُة هَّللا ِ َو َب َر َكا ُت ُه‬
َ ‫ ال َّسالَ ُم َعلَي‬، ‫ات‬ َّ ‫ات َو‬
ُ ‫الط ِّي َب‬ َّ ‫َّات هَّلِل ِ َوال‬
ُ ‫صلَ َو‬ ُ ‫ال َّت ِحي‬
‫ أَ ْش َه ُد أَنْ الَ إِلَ َه إِالَّ هَّللا ُ َوأَ ْش َه ُد أَنَّ م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُ ُه‬، ‫ِين‬
َ ‫الصَّالِح‬
“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa
rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha
illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan
hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan tercurah
kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap karunia-Nya. Semoga
kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [10]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu
‘alan nabi”?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,
“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau  bacaan
“assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya
sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan
nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab:
Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan
nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai
hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam  wafat –jika memang itu benar  riwayat yang shahih-, maka itu
hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada.
Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat
dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan
menjelaskannya pada para sahabat.
(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur
Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah  bin Ghodyan sebagai
anggota)[11]
Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]
Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan
bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya ini.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan
lainnya,
‫إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد هللا والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى هللا عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء‬
“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji
Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau
kalian.”[13]
Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.
ِ ‫ اللَّ ُه َّم َب‬، ‫ إِ َّن َك َحمِي ٌد َم ِجي ٌد‬، ‫آل إِب َْراهِي َم‬
‫اركْ َعلَى‬ ِ ‫ْت َعلَى‬َ ‫صلَّي‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
َ ‫ َك َما‬، ‫آل م َُح َّم ٍد‬
‫ إِ َّن َك َحمِي ٌد َم ِجي ٌد‬، ‫آل إِب َْراهِي َم‬
ِ ‫ت َعلَى‬َ ‫ار ْك‬ ِ ‫م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
َ ‫ َك َما َب‬، ‫آل م َُح َّم ٍد‬
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali
Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa
barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”[14]
Rukun kelimabelas: Salam
Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,
ُّ ‫صالَ ِة‬
‫الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها ال َّت ْك ِبي ُر َو َتحْ لِيلُ َها ال َّتسْ لِي ُم‬ َّ ‫ِم ْف َتا ُح ال‬
“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang
menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah,
Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu
‘alaikum wa rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]
Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada
Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“ dalam setiap
rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Syarat dan Rukun Puasa


Syarat Wajib Puasa[1]
Syarat wajibnya puasa yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh[2], dan (4) mengetahui akan
wajibnya puasa.[3]
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan
kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
َ‫َّام أ ُ َخر‬ َ َ
ٍ ‫َو َمنْ َكانَ م َِريضً ا أ ْو عَ لَى سَ َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِنْ أي‬
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al
Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat
sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini
gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah
mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam
keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
ْ َ‫ َقال‬.ُ‫ُور َّي ٍة َولَ ِك ِّنى أَسْ أَل‬
‫ت‬ ُ ْ‫ت لَس‬
ِ ‫ت ِبحَ ر‬ ِ ‫ُوري ٌَّة أَ ْن‬
ُ ‫ت قُ ْل‬ َ ْ َ‫صالَ َة َف َقال‬
ِ ‫ت أحَ ر‬ َّ ‫ِض َت ْقضِ ى الص َّْو َم َوالَ َت ْقضِ ى ال‬ ِ ‫ت مَا بَا ُل ْالحَ ائ‬ ُ ‫ت سَ أ َ ْل‬
ُ ‫ت عَ ا ِئ َش َة َفقُ ْل‬ ْ َ‫عَ نْ مُعَ َاذ َة َقال‬
َّ ‫ َكانَ يُصِ ي ُب َنا َذلِكَ َف ُن ْؤ َم ُر ِب َقضَ ا ِء الص َّْو ِم َوالَ ُن ْؤ َم ُر ِب َقضَ ا ِء ال‬.
‫صالَ ِة‬
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita
yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu
dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’
Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’
puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”[5] Berdasarkan kesepakatan para ulama
pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.
[6]
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan
sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah
tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫إِ َّنمَا األَعْ مَا ُل ِبال ِّنيَّا‬
‫ت‬
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar
bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan
dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan
(dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat
letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah-
yang mengatakan,
ٍ‫ط ال ُّن ْط ُق ِبالَ ِخاَل ف‬
ُ َ‫اَل يَصِ ُّح الص َّْو َم إِاَّل ِبال ِّن َّي ِة َومَحَ لُّهَا ال َق ْلبُ َواَل ُي ْش َتر‬
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan
untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah  mengatakan,
‫ظ ِبهَا َق ْطعً ا َكمَا َقالَ ُه فِي الرَّ ْوضَ ِة‬
ُ ‫ط ال َّتلَ ُّف‬
ُ َ‫ َواَل ُي ْش َتر‬، ‫ان َق ْطعً ا‬
ِ َ‫ َواَل َت ْكفِي ِباللِّس‬، ُ‫َومَحَ لُّهَا ْال َق ْلب‬
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan
untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
‫اق ْال ُعلَمَا ِء ؛ َفإِنْ َن َوى ِب َق ْل ِب ِه َولَ ْم َي َت َكلَّ ْم ِبلِسَ ا ِن ِه أَجْ َزأَ ْت ُه ال ِّني َُّة ِبا ِّت َفاق ِِه ْم‬
gِ ‫َوال ِّني َُّة مَحَ لُّهَا ْال َق ْلبُ ِبا ِّت َف‬
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia
lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para
ulama.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu,
maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya
keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin
berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan
lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan.
Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan
pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[13]
Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
‫صيَا َم َق ْب َل ْال َفجْ ِر َفالَ صِ يَا َم لَ ُه‬
ِّ ‫َمنْ َل ْم يُجْ م ِِع ال‬
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang
dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
[16]
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat
dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut
ini. ‘Aisyah berkata,
َ ‫ ُث َّم أَ َتا َنا ي َْومًا‬.» ‫ َقا َل « َفإِ ِّنى إِ ًذا صَ ا ِئ ٌم‬.َ‫ َفقُ ْل َنا ال‬.» ‫ َذاتَ ي َْو ٍم َف َقا َل « َه ْل عِ ْندَ ُك ْم َشىْ ٌء‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ُّ‫دَخ َل عَ لَىَّ ال َّن ِبى‬
ِ ‫آخرَ َفقُ ْل َنا يَا رَ سُو َل هَّللا‬ َ
ُ ْ‫ َف َقا َل « أَ ِرينِي ِه َفلَ َق ْد َأصْ َبح‬. ٌ‫أُهْ دِىَ َل َنا حَ يْس‬.
‫ َفأ َ َك َل‬.» ‫ت صَ ا ِئمًا‬
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu
mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan
berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah,
kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka
beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di
siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] Di sini
disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia
sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada
perselisihan di dalamnya.[19]
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-
masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak
puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak
boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1
Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”.
Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.[21] Niat itu pun harus
dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal
puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
ِّ ‫ْط اأْل َ ْبيَضُ مِنَ ْال َخيْطِ اأْل َسْ َو ِد مِنَ ْال َفجْ ِر ُث َّم أَ ِتمُّوا ال‬
‫صيَا َم إِلَى اللَّي ِْل‬ ُ ‫َّن لَ ُك ُم ْال َخي‬gَ ‫َو ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا حَ َّتى َي َت َبي‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat
adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
padanya,
‫سَوا ِد اللَّي ِْل‬ ِ ‫إِ َّنمَا َذاكَ َبيَاضُ ال َّنه‬
َ ْ‫َار مِن‬
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang
hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak
kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]

Pembatal-Pembatal Puasa
 
Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1]. Makan dan minum yang
dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang
dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang
membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak ada nilai
manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3]. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ِّ ‫ْط اأْل َ ْبيَضُ مِنَ ْال َخيْطِ اأْل َسْ َو ِد مِنَ ْال َفجْ ِر ُث َّم أَ ِتمُّوا ال‬
‫صيَا َم إِلَى اللَّي ِْل‬ ُ ‫َّن لَ ُك ُم ْال َخي‬gَ ‫َو ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا حَ َّتى َي َت َبي‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ُ‫ َفإِ َّنمَا أَ ْطعَ َم ُه هَّللا ُ َوسَ َقاه‬، ‫صَو َم ُه‬
ْ ‫إِ َذا َنسِ ىَ َفأ َ َك َل َو َش ِربَ َف ْل ُي ِت َّم‬
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan
puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[4]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫إِنَّ هَّللا َ َوضَعَ عَ نْ أ ُ َّمتِى ْال َخ َطأ َ َوال ِّنسْ يَانَ َومَا اسْ ُت ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه‬
“Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]
Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus
dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan
dan minum.[6]
Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya
kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ض‬ِ ‫َمنْ َذرَ عَ ُه َقىْ ٌء َوه َُو صَ ا ِئ ٌم َفلَ ْيسَ عَ لَ ْي ِه َقضَ ا ٌء َوإِ ِن اسْ َت َقا َء َف ْل َي ْق‬
“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’
baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”[8]
3. Haidh dan nifas.
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau
akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para
ulama.”[9]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ َ‫ َقا َل « َف َذلِكَ مِنْ ُن ْقص‬. ‫ قُ ْلنَ َبلَى‬. » ‫ص ْم‬
‫ان دِي ِنهَا‬ ُ ‫اضَت لَ ْم ُتصَ ِّل َولَ ْم َت‬
ْ َ‫» أَلَ ْيسَ إِ َذا ح‬
“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para
wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan
agama wanita.”[10]
Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.
Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[11] Berdasarkan kesepakatan
para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia
suci.[12]
4. Keluarnya mani dengan sengaja.
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani
dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara
disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa
menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ك َطعَ ا َم ُه َو َشرَ ا َب ُه َو َشه َْو َت ُه مِنْ َأجْ لِى‬
ُ ‫َي ْت ُر‬
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-
Ku”[13]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa
sebagaimana makan dan minum.[14]
Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani,
puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal.
Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[15]
Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani?
Jawabnya, puasanya tidak batal.[16] Alasannya, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫إِنَّ هَّللا َ َتجَ َاو َز عَ نْ أ ُ َّمتِى مَا حَ َّد َث‬
‫ مَا لَ ْم َتعْ َم ْل أَ ْو َت َت َكلَّ ْم‬، ‫ت ِب ِه أَ ْنفُسَ هَا‬
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak
melakukan atau pun mengungkapnya”[17]
5. Berniat membatalkan puasa.
Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah
bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang
berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍ ‫َوإِ َّنمَا ِل ُك ِّل امْ ِر‬
‫ئ مَا َن َوى‬
“Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”[18] Ibnu
Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam
keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia
harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.[20]
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’
dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan
adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat
keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk
tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad
berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak
ada kafaroh.[21]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
‫ت عَ لَى امْ رَ أَتِى َوأَ َنا‬ ُ ْ‫ َقا َل َو َقع‬. » َ‫ َقا َل « مَا لَك‬. ‫ت‬ ُ ‫ َف َقا َل يَا رَ سُو َل هَّللا ِ َهلَ ْك‬، ‫ َنحْ نُ جُلُوسٌ عِ ْندَ ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – إِ ْذ جَ ا َءهُ رَ ُج ٌل‬g‫َب ْي َن َما‬
. َ‫ َقا َل ال‬. » ‫ْن‬ ِ ‫ َقا َل « َف َه ْل َتسْ َتطِ ي ُع أَنْ َتصُو َم َش ْهرَ ي‬. َ‫ َقا َل ال‬. » g‫ َف َقا َل رَ سُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – « َه ْل َت ِج ُد رَ َقب ًَة ُتعْ ِت ُق َها‬. ‫صَ ا ِئ ٌم‬
ِ ‫ْن ُم َت َت ِابعَ ي‬
‫ َف َب ْي َنا َنحْ نُ عَ لَى َذلِكَ أُتِىَ ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه‬، – ‫ث ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ َقا َل َف َم َك‬. َ‫ َقا َل ال‬. » ‫َف َقا َل « َف َه ْل َت ِج ُد إِ ْطعَ ا َم سِ ِّتينَ مِسْ كِي ًنا‬
ِ ‫ َف َقا َل الرَّ ُج ُل أَعَ لَى أَ ْف َقرَ ِم ِّنى يَا رَ سُو َل هَّللا‬. » ‫ َقا َل « ُخ ْذهَا َف َتصَ د َّْق ِب ِه‬. ‫ َف َقا َل أَ َنا‬. » ‫وسلم – ِبعَ رَ ٍق فِيهَا َتمْ ٌر – َو ْالعَ رَ ُق ْالم ِْك َت ُل – َقا َل « أَ ْينَ السَّا ِئ ُل‬
‫َدَت أَ ْنيَا ُب ُه ُث َّم َقا َل « أَ ْطعِمْ ُه‬
ْ ‫ َفضَ حِكَ ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – حَ َّتى ب‬، ‫ت أَ ْف َق ُر مِنْ أَهْ ِل َب ْيتِى‬ ٍ ‫ْن – أَهْ ُل َب ْي‬ِ ‫َف َوهَّللا ِ مَا َب ْينَ الَ َب َت ْيهَا – ي ُِري ُد ْالحَ رَّ َتي‬
َ‫» أَهْ لَك‬
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah
seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai
Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria
tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang
dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi
menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat
memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang
memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas
menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan
bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada
orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung
timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah
makanan tersebut pada keluargamu.”[22]
Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan
tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan
Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan),
mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh.
Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya
(tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini.
Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama
dikenai kafaroh.
Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam
salah satu pendapatnya,  bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya
kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas,
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk
membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki
kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak
mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-
laki sebagaimana mahar.[23]
Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.
a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan
satu mud[24] makanan.[25]
Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh
di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini
diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan
dari An Nawawi rahimahullah.[26]
Semoga sajian ini bermanfaat.

Yang Dibolehkan Ketika Puasa (1)


Bagi hamba yang masih memiliki tabi’at baik pasti mengetahui bahwa Allah selalu menginginkan
kemudahan dan bukan menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam perihal puasa,
Allah Ta’ala juga menginginkan demikian dan ingin menghilangkan kesulitan dari hamba-Nya. Berikut
ini adalah beberapa hal yang dibolehkan oleh syari’at ini dan tidak membatalkan puasa :
1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata,
‫ ُث َّم ي َْغ َتسِ ُل َو َيصُو ُم‬، ‫أَنَّ رَ سُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ ي ُْد ِر ُك ُه ْال َفجْ ُر َوه َُو ُج ُنبٌ مِنْ أَهْ لِ ِه‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati  waktu fajar  (waktu Shubuh) dalam keadaan
junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan
tetap berpuasa.”[1]
Istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha  berkata,
‫ ي ُْد ِر ُك ُه ْال َفجْ ُر فِى رَ مَضَ انَ َوه َُو ُج ُنبٌ مِنْ غَ ي ِْر حُل ُ ٍم َفي َْغ َتسِ ُل َو َيصُو ُم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ َق ْد َكانَ رَ سُو ُل هَّللا‬.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam
keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
dan  tetap  berpuasa.”[2]
2. Bersiwak ketika berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ش َّق عَ لَى أ ُ َّمتِى ألَ َمرْ ُت ُه ْم ِبالس َِّواكِ عِ ْندَ ُك ِّل وُ ضُو ٍء‬
ُ َ‫َل ْوالَ أَنْ أ‬
“Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi
(bersiwak) setiap kali berwudhu.”[3]
Imam Al Bukhari membawakan hadits di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah dan kering
bagi orang yang berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin menyanggah
sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi) yang memakruhkan untuk bersiwak ketika
berpuasa dengan siwak basah.[4]
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada
perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang makruhnya
hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Ada dua pendapat yang
masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang
mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang
membolehkan untuk bersiwak.”[5]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang
membicarakan keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak
dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.”[6]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak  dianjurkan bagi
orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”[7]
Dalil yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫الس َِّواكَ م‬
ِّ‫ ل ِْل َف ِم َمرْ ضَ اةٌ لِلرَّ ب‬gٌ‫َطهَرَ ة‬
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.”[8]
Adapun menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena
pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang
seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang
mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari
perkara yang dapat merusak puasanya.[9]
3. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اق إِالَّ أَنْ َت ُكونَ صَ ا ِئ ًم‬
ِ ‫َوبَال ِْغ فِى االِسْ ِت ْن َش‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau
berpuasa.”[10]
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam
hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan
tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.”[11]
Juga tidak mengapa jika orang yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan
mandi.[12]
Jika masih ada sesuatu yang basah –yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu
tertelan tanpa sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu
Hajar rahimahullah mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat sesuatu yang basah
di dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang basah di dalam
mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun sesuatu yang basah tadi ikut tertelan.”[13]
4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani.
Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama
terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani.
[14] An Nawawi rahimahullah  mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa
bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani”.[15]
Dalil-dalil berikut menunjukkan bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa sebagaimana
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
َ
ِ ‫ َو َكانَ أمْ لَ َك ُك ْم‬، ‫ َوه َُو صَ ا ِئ ٌم‬، ‫ َكانَ ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – ُي َق ِّب ُل َو ُيبَاشِ ُر‬.
‫إلرْ ِب ِه‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.”[16]
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata,
‫صلى هللا عليه‬- ِ ‫ت َوأَ َنا صَ ا ِئ ٌم َف َقا َل رَ سُو ُل هَّللا‬
ُ ‫ت ْالي َْو َم أَمْ راً عَظِ يما ً َقب َّْل‬
ُ ْ‫ت صَ َنع‬ ُ ‫ َف ُق ْل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫ْت ال َّن ِبى‬ ُ ‫ت َوأَ َنا صَا ِئ ٌم َفأ َ َتي‬
ُ ‫ت ي َْوما َف َقب َّْل‬
ُ ‫َه َش ْش‬
‫ « َففِي َم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ت الَ بَأسَ ِب َذلِكَ َف َقا َل رَ سُو ُل هَّللا‬ ْ َ َ َ
ُ ‫ ُق ْل‬.» ‫ « أرَ أيْتَ َل ْو َت َمضْ َمضْ تَ ِبمَا ٍء َوأ ْنتَ صَ ا ِئ ٌم‬-‫» وسلم‬
“Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang
berpuasa, maka aku datang kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari ini aku
melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa
kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“[17]
Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah,
ْ َ‫مَا َي ِح ُّل لِلرَّ ج ُِل مِنْ اِمْ رَ أَته صَ ا ِئمًا ؟ َقال‬
َ‫ت ُك ُّل َشيْ ء إِاَّل ْال ِجمَاع‬
“Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala
sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’.”[18]
– Bersambung insya Allah -

Yang Dibolehkan Ketika Puasa (2)


5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.
‫ َوهْ َو مُحْ ِر ٌم َواحْ َتجَ َم َوهْ َو صَا ِئ ٌم‬، ‫َّاس – رضى هللا عنهما – أَنَّ ال َّن ِبىَّ – صلى هللا عليه وسلم – احْ َتجَ َم‬
ٍ ‫ْن عَ ب‬
ِ ‫عَن اب‬
ِ .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam
dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)
ِ‫ إِالَّ مِنْ أَجْ ِل الضَّعْ ف‬. َ‫يُسْ أ َ ُل أَ َنسَ ْبنَ مَالِكٍ – رضى هللا عنه – أَ ُك ْن ُت ْم َت ْكرَ هُونَ ْالحِجَ ا َم َة لِلصَّائ ِِم َقا َل ال‬
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang
berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940)
Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah
membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin
Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa
dalam rangka kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam, aku
tidak menganggap puasanya batal.”[1]
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan di
bekam adalah hadits yang telah di mansukh(dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu
Sa’id Al Khudri berikut:
‫ فِى ْالقُ ْبلَ ِة لِلصَّائ ِِم َو ْالحِجَ ا َم ِة‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ُّ‫رَ َّخصَ ال َّن ِبى‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk
mencium istrinya dan berbekam.”[2]
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan
bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan
tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam“. Sanad hadits ini shohih. Maka
wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanyarukhsoh (keringanan) pasti ada setelah
adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan
batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam)
adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”[3]
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits
semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-
hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadits
yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana
yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.”[4]
Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan
pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal
puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adalah bahwa orang yang membekam
dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini
adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ إِ ْب َقا ًء عَ لَى أَصْ حَ ِاب ِه‬g‫ َنهَى عَ ِن ْالحِجَ ا َم ِة َو ْالم َُواصَ لَ ِة َولَ ْم يُحَ رِّ مْ ُه َما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أَنَّ رَ سُو َل هَّللا‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun tidak sampai
mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.”[5]
Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang
ketika akan membuat lemah. Anas ditanya,
ِ‫ إِالَّ مِنْ أَجْ ِل الضَّعْ ف‬. َ‫أَ ُك ْن ُت ْم َت ْكرَ هُونَ ْالحِجَ ا َم َة لِلصَّائ ِِم َقا َل ال‬
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak,
kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam
tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi
lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya
sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[6]
6. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia  mengatakan,
َ َ‫الَ بَأْسَ أَنْ ي َُذ ْوق‬
‫الخ َّل أَ ْو ال َّشيْ َء مَا َل ْم ي َْد ُخ ْل حَ ْل َق ُه َوه َُو صَا ِئ ٌم‬
“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk
sampai ke kerongkongan.”[7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat,
namun tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana
berkumur-kumur ketika berpuasa.”[8]
Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti
membantu mengunyah makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan untuk
anaknya sedangkan dia dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘. ‘Abdur Rozaq
membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata,
‫رَ أَ ْي ُت ُه َيمْ ضَ ُغ لِلص َِّبي َطعَ امًا َوه َُو صَ ا ِئ ٌم َيمْ ضَ ُغ ُه ُث َّم ي ُْخ ِر ُج ُه مِنْ ِف ْي ِه يَضَعَ ُه فِي َف ِم الص َِّبي‬
“Aku melihat  Yunus  mengunyah makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan
berpuasa-. Beliau mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari
mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”[9]
7. Bercelak dan tetes mata
Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa[10]. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Pendapat
yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari
agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah
perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan
oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita
sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal
ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung sampai
Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam  tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang
menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if(lemah). Hadits tersebut
dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya.
Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.”[11]
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
‫اَل بَأْس ِب ْال ُكحْ ِل لِلصَّائ ِِم‬
“Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.”[12]
8. Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar
Bukhari membawakan Bab dalam kitab shohihnya ‘Mandi untuk orang yang berpuasa.’ Ibnu Hajar
berkata, “Maksudnya adalah dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.
Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang dianjurkan,
diwajibkan dan mandi yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan tentang lemahnya
pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai larangan orang yang berpuasa untuk memasuki
kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq, namun dengan sanad dho’if. Hanafiyah
bersandar dengan hadits ini sehingga mereka melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang
berpuasa.”[13]
Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata,
ِّ‫ش أَ ْو مِنَ ْالحَ ر‬ َ ‫ ِب ْالعَ رْ ج َيصُبُّ عَ لَى رَ ْأسِ ِه ْالمَا َء َوه َُو صَ ا ِئ ٌم مِنَ ْال‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ْت رَ سُو َل هَّللا‬
ِ ‫عَط‬ ُ ‫ َل َق ْد رَ أَي‬.
ِ
“Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya
-karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam keadaan
berpuasa. ”[14]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa untuk
menyegarkan badan dari cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau seluruh
badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib,
sunnah atau mubah.” [15]
9. Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak[16] tidak membatalkan puasa karena ia
dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[17]
10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari.
Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit
dihindari dan juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka
seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih banyak dari air ludah
yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal.[18]
11. Makan, minum, jima’ (berhubungan badan) dalam keadaan lupa.
12. Muntah yang tidak sengaja.
Demikian sajian tentang hal-hal yang bukan merupakan pembatal puasa, namun masih dibolehkan
ketika berpuasa. Semoga bermanfaat.
Panduan Zakat (1): Keutamaan
Menunaikan Zakat

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya. 
Para pembaca Muslim.Or.Id sekalian -yang semoga senantiasa mendapat penjagaan Allah-, insya
Allah dalam beberapa serial ke depan, kami dari pihak redaksi akan mengetengahkan bahasan yang
cukup urgent karena bahasan ini adalah bagian dari rukun Islam, yaitu mengenai zakat. Seluk beluk
zakat akan dipaparkan satu per satu dimulai dari keutamaan zakat, syarat zakat, harta-harta yang
dizakati dan siapakah yang berhak menerima zakat, juga beberapa perincian lainnya yang dianggap
penting untuk dibahas. Semoga para pembaca bisa bersabar menantikan serial ini hingga tuntas dan
moga bermanfaat.
Pengertian Zakat
ّ
Zakat –secara bahasa- berarti “‫والزيادة‬ ‫ ”ال ّنماء والرّيع‬berarti bertambah atau tumbuh. Makna seperti dapat
kita lihat dari perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,
‫العلم يزكو باإلنفاق‬
“Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”
Zakat secara bahasa juga berarti “‫”الصّالح‬, yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita lihat pada firman
Allah Ta’ala,
‫َفأَرَ ْد َنا أَنْ ُي ْب ِدلَ ُهمَا رَ ُّب ُهمَا َخيْرً ا ِم ْن ُه َز َكا ًة‬
“Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih
baik kesuciannya dari anaknya itu” (QS. Al Kahfi: 81).[1]
Secara bahasa, zakat juga berarti “‫ ”تطهير‬mensucikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
‫َق ْد أَ ْفلَحَ َمنْ َز َّكاهَا‬
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy Syams: 9). Zakat
mensucikan seseorang dari sikap bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
َ َ‫ُخ ْذ مِنْ أ‬
ِ ‫مْوال ِِه ْم صَ دَ َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّك‬
‫يه ْم ِبهَا‬
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka” (QS. At Taubah: 103).[2]
Secara istilah syar’i, zakat berarti penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dengan cara yang
khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun)
dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang dimaksudkan untuk harta
yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta dan
mengeluarkan zakatnya.[3]
Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat dapat disebut zakat karena pokok
harta itu akan tumbuh dengan bertambah barokah ketika dikeluarkan dan juga orang yang
mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan do’a dari orang yang berhak menerima zakat
tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat, ditambah dengan terlepasnya dari
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut.[4]
Hukum Zakat
Zakat disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan waktu disyari’atkannya puasa
Ramadhan.[5] Zakat ini merupakan suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Hal ini tidak bisa
diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kata sepakat
ulama).
Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam ayat,
َّ ‫َوأَقِيمُوا ال‬
َّ ‫صاَل َة َوآَ ُتوا‬
‫الز َكا َة‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” (QS. Al
Baqarah: 43). Perintah zakat ini berulang di dalam Al Qur’an dalam berbagai ayat sampai berulang
hingga 32 kali.[6]
Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui haditsd dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫ َو‬، ‫ َو ْالحَ ِّج‬، ‫الز َكا ِة‬
َ‫صَو ِم رَ مَضَ ان‬ َّ ‫ َوإِ َق ِام ال‬، ِ ‫مْس َشهَادَ ِة أَنْ الَ إِلَ َه إِالَّ هَّللا ُ َوأَنَّ مُحَ م ًَّدا رَ سُو ُل هَّللا‬
َّ ‫ َوإِي َتا ِء‬، ‫صالَ ِة‬ ٍ ‫اإلسْ الَ ُم عَ لَى َخ‬
ِ َ‫ُبنِى‬
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan
zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”[7]
Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan pada Mu’adz yang
ingin berdakwah ke Yaman,
‫ ُت ْؤ َخ ُذ مِنْ أَ ْغ ِنيَائ ِِه ْم َو ُترَ ُّد عَ لَى ُف َقرَ ائ ِِه ْم‬، ‫مْوال ِِه ْم‬
َ َ‫َفإِنْ ُه ْم أَ َطاعُوا ل َِذلِكَ َفأَعْ لِمْ ُه ْم أَنَّ هَّللا َ ا ْف َترَ ضَ عَ لَي ِْه ْم صَ دَ َق ًة فِى أ‬
“… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan shalat ), maka
ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut diambil dari
orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar kembali oleh orang miskin di antara
mereka.”[8]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu kepastian dalam syari’at Islam,
sehingga tidak perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya. Para
ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya. Adapun hukum asalnya telah disepakati
bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[9]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna yang sama.
Keduanya terbagi menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian masyarakat
bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah
anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang
sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.”[10]
Keutamaan Menunaikan Zakat
1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang lima.
Apabila seseorang melakukannya, maka keislamannya akan menjadi sempurna. Hal ini tidak
diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang amat agung dan setiap muslim pasti selalu
berusaha agar keislamannya menjadi sempurna.
2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta adalah sesuatu yang sangat dicintai
oleh jiwa. Sesuatu yang dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan mengharap balasan yang
semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan. Oleh karena itu, zakat disebut juga shodaqoh (yang
berasal dari kata shiddiq yang berarti benar/jujur, -pen) karena zakat akan menunjukkan benarnya
iman muzakki (baca: orang yang mengeluarkan zakat) yang mengharapkan ridha Allah dengan
zakatnya tersebut.
3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda yang artinya,
‫ال ي ُْؤمِنُ أَحَ ُد ُك ْم حَ َّتى ُيحِبَّ ألَخِي ِه مَا ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ِه‬
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana
dia mencintai dirinya sendiri.”[11] Sebagaimana kita mencintai jika ada saudara kita meringankan
kesusahan kita, begitu juga seharusnya kita suka untuk meringankan kesusahan saudara kita yang
lain. Maka pemberian seperti ini merupakan tanda kesempurnaan iman kita.
4. Sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ ‫ُورهَا َف َقا َم أَعْ رَ ِابىٌّ َف َقا َل ِل َمنْ هِىَ يَا رَ سُو َل هَّللا ِ َقا َل لِ َمنْ أَ َطابَ ْال َكالَ َم َوأَ ْطعَ َم‬ ُ ُ ُ ُ
‫الطعَ ا َم‬ ِ ‫ مِنْ ظه‬g‫إِنَّ فِى ْالجَ َّن ِة ُغرَ ًفا ُترَ ى ظهُو ُرهَا مِنْ بُطو ِنهَا َوبُطو ُن َها‬
‫صيَا َم َوصَ لَّى هَّلِل ِ ِباللَّي ِْل َوال َّناسُ ِنيَا ٌم‬ ِّ ‫َوأَدَ ا َم ال‬
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat terlihat dari dalamnya dan dalamnya
dapat terlihat dari luarnya.” Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya, “Kepada siapa
(kamar tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi orang yang berkata baik, memberi
makan (di antaranya lewat zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah di malam hari di saat
manusia sedang terlelap tidur.”[12] Setiap kita tentu saja ingin masuk surga.
5. Menjadikan masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu kesatuan). Karena dengan zakat, berarti
yang kaya menolong yang miskin dan orang yang berkecukupan akan menolong orang yang
kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu saudara. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫َوأَحْ سِ نْ َكمَا أَحْ سَنَ هَّللا ُ إِلَ ْيك‬
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (QS. Al
Qoshosh: 77)
6. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang miskin menjadi marah karena melihat
orang kaya hidup mewah. Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia suka (dengan berganti-
ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau. Tidak ragu lagi, pasti akan timbul sesuatu
(kemarahan, -pen) pada hati orang miskin. Apabila orang kaya berderma pada mereka, maka
padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan mengatakan,”Saudara-saudara kami ini mengetahui
kami berada dalam kesusahan”. Maka orang miskin tersebut akan suka dan timbul rasa cinta kepada
orang kaya yang berderma tadi.
7. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan perampasan. Karena dengan zakat,
sebagian kebutuhan orang yang hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi, sehingga hal ini
menghalangi mereka untuk merampas harta orang-orang kaya atau berbuat jahat kepada mereka.
8. Menyelamatkan seseorang dari panasnya hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ئ فِى ظِ ِّل صَدَ َق ِت ِه حَ َّتى ُي ْفصَ َل َب ْينَ ال َّن‬
‫اس‬ ٍ ‫ُك ُّل امْ ِر‬
“Setiap orang akan berada di naungan amalan sedekahnya hingga ia mendapatkan keputusan di
tengah-tengah manusia.”[13]
9. Seseorang akan lebih mengenal hukum dan aturan Allah. Karena ia tidaklah menunaikan zakat
sampai ia mengetahui hukum zakat dan keadaan hartanya. Juga ia pasti telah mengetahui nishob
zakat tersebut dan orang yang berhak menerimanya serta hal-hal lain yang urgent diketahui.
10. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang dizakati. Sebagaimana
terdapat dalam hadits yang artinya,
ٍ ‫صَت صَ دَ َق ٌة مِنْ م‬
‫َال‬ ْ ‫مَا َن َق‬
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”[14]
11. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫مْوال ِِه ْم إِالَّ ُم ِنعُوا ْال َق ْطرَ مِنَ ال َّسمَا ِء َولَ ْوالَ ْال َبهَا ِئ ُم لَ ْم ي‬
‫ُمْطرُوا‬ َ َ‫َولَ ْم َيمْ َنعُوا َز َكا َة أ‬
“Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, melainkan mereka akan
dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak,
niscaya mereka tidak diberi hujan.”[15]
12. Zakat akan meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
‫إِنَّ الصَّدَ َق َة لَ ُت ْطفِئُ غَ ضَبَ الرَّ بِّ َو َت ْد َف ُع مِي َت َة السُّو ِء‬
“Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang jelek.”[16]
13. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ‫َوالصَّدَ َق ُة ُت ْطفِئُ ْال َخطِ ي َئ َة َكمَا ي ُْطفِئُ ْالمَا ُء ال َّنار‬
“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.”[17] [18]
-bersambung insya Allah-
Panduan Zakat (2): Hukum Orang yang
Enggan Menunaikan Zakat

Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat.


Kita sudah pahami bahwa zakat adalah bagian dari rukun Islam. Para ulama bersepakat (berijma’)
bahwa siapa yang menentang dan mengingkari kewajiban zakat, maka ia telah kafir dan murtad dari
Islam. Karena ini adalah perkara ma’lum minad diini bid doruroh,  yaitu sudah diketahui akan
wajibnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengingkari kewajiban zakat di zaman
ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan para ulama.”[1] Ibnu Hajar berkata, “Adapun hukum asal zakat
adalah wajib. Siapa yang menentang hukum zakat ini, ia kafir.”[2]
Kedua: Orang yang enggan menunaikan zakat dala rangka bakhil dan pelit.
Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik dan
akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
ُ ‫ ي َْو َم يُحْ مَى عَ لَ ْيهَا فِي َنار جَ َه َّن َم َف ُت ْك َوى ِبهَا ِجبَا ُه ُه ْم َو ُج ُنو ُب ُه ْم َو‬ ‫ب أَلِيم‬ َّ َ‫َوالَّذِينَ ي َْك ِن ُزون‬
‫ظهُو ُر ُه ْم‬ ِ ٍ ٍ ‫يل هَّللا ِ َف َب ِّشرْ ُه ْم ِبعَ َذا‬ ِ ‫سَب‬ َّ ِ‫الذهَبَ َو ْالف‬
ِ ‫ فِي‬g‫ض َة َواَل ُي ْنفِقُو َن َها‬
َ‫م َف ُذو ُقوا مَا ُك ْن ُت ْم َت ْك ِن ُزون‬gْ ‫ه ََذا مَا َك َن ْز ُت ْم أِل َ ْن ُفسِ ُك‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung
dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At
Taubah: 34-35).
Di dalam beberapa hadits disebutkan ancaman bagi orang yang enggan menunaikan zakat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
‫ َفي ُْك َوى ِبهَا جَ ْب َه ُت ُه‬،‫ار جَ َه َّن َم‬ ُ ُ ‫ض ٍة الَ ي َُؤدِّي ِم ْنهَا حَ َّقهَا إِالَّ إِ َذا َكانَ ي َْو َم القِيَا َم ِة‬ ٍ ‫ب َذ َه‬
ِ ‫ َفأحْ مِيَ عَ لَ ْيهَا فِي َن‬،‫ار‬ ٍ ‫ت لَ ُه صَ َفا ِئ ُح مِنْ َن‬
ْ َ‫صفِح‬ َّ ِ‫ب َوالَ ف‬ ِ ‫مَا مِنْ صَ ا ِح‬
ِ ‫ َفيَرَ ى‬،ٍ‫ْدَت إِلَ ْي ِه فِي ي َْو ٍم َكان ِم ْقدَ ا ُرهُ َخمْسِ ْينَ أَ ْلفَ سَ َنة‬
ِ ‫ َوإِمَّا إِلَى ال َّن‬،ِ‫سَب ْيلَ ُه إِمَّا إِلَى الجَ َّنة‬
‫ار‬ ْ ‫ُدَت أُعِ ي‬ْ ‫ ُكلَّمَا َبر‬،ُ‫َوجَ ْن ُب ُه َو َظ ْه ُره‬
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari
kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka
Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali
dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama
dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke
neraka.”[3]
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku datang menemui
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berlindung di bawah naungan Ka’bah. Beliau
bersabda, ‘Merekalah orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik Ka’bah’. Beliau
mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Aku pun menjadi sedih, aku menarik nafas lalu
berkata, ‘Ini merupakan peristiwa yang buruk pada diriku. Aku bertanya, Siapakah mereka? Ayah dan
ibuku menjadi tebusannya?’” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫ك غَ َنمًا اَ ْو إِ ِبالً أَ ْو َب َقرً ا الَ ي َُؤدِّي َز َكا َتهَا إِالَّ جَ ا َء ْت ُه ي َْو َم‬ ُ ‫هللا َه َك َذا َو َه َك َذا َو َقلِ ْي ٌل مَا ُه ْم مَا مِنْ رَ ج ٍُل َيم ُْو‬
ُ ‫ت َف َي ْت ُر‬ ِ ‫ إِالَّ َمنْ َقا َل فِي عِ بَا ِد‬،ً‫مْواال‬ َ َ‫األَ ْك َثر ُْونَ أ‬
‫اس ُث َّم َتع ُْو ُد أ ُ ْوالَهَا عَ لىَ أ ُ ْخرَ اهَا‬
ِ ‫ حَ َّتى َي ْقضِ يَ هللا ُ َب ْينَ ال َّن‬،‫ َو َت ْنطِ ُح ُه ِبقُر ُْو ِنهَا‬،‫القِيَا َم ِة أَعْ َظ ُم مَا َت ُك ْونُ َوأَسْ مَنُ حَ َّتى َت َطأَهُ ِبأ َ ْظالَفِهَا‬
 “Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah
begini dan begini. Namun sangat sedikit mereka itu. Tidaklah seorang lelaki mati lalu ia meninggalkan
kambing atau unta atau sapi yang tidak ia keluarkan zakatnya melainkan hewan-hewan itu akan
datang kepadanya pada hari kiamat dalam bentuk yang sangat besar dan sangat gemuk lalu
menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya dengan tanduknya. Hingga Allah memutuskan
perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling depan menginjaknya kembali, begitu pula
hewan yang paling belakang berlalu, begitulah seterusnya.”[4]
Panduan Zakat (3): Syarat-Syarat Zakat

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan
dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka.[1]
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap
dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan
dipilih oleh mayoritas ulama.[2]
Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna,
(2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah
mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan
dari kebutuhan pokok.[3]
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.
(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah
ayat,
‫آَ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َورَ سُولِ ِه َوأَ ْنفِقُوا ِممَّا جَ عَ لَ ُك ْم مُسْ َت ْخلَفِينَ فِي ِه َفالَّذِينَ آَ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوأَ ْن َفقُوا َل ُه ْم أَجْ ٌر َك ِبي ٌر‬
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah
telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7) Al
Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik Allah.
Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan
hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang lain
dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”[4]
Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi harta
saat ini dianggap sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta tersebut adalah milik di tangan individu
dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan
faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.[5]
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang tepat dalam hal ini, piutang bisa dirinci
menjadi dua macam:
1. Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk
mengembalikan. Piutang seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki
oleh orang yang member utangan dan dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam
melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[6]
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si
empunya atau harta itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama membagi
harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta yang berkembang secara hakiki (kuantitas),
seperti harta perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan, (b) harta yang berkembang
secara takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫َل ْيسَ عَ لَى ْالمُسْ ل ِِم صَ دَ َق ٌة فِى عَ ْب ِد ِه َوالَ َفرَ سِ ِه‬
“Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.”[7]
Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok semisal makanan
yang disimpan, kendaraan, dan rumah.[8]
(3) Telah mencapai nishob.
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat.  Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍ ‫مْس أَ ْوس‬
‫ُق صَدَ َق ٌة‬ ِ ‫ َولَ ْيسَ فِيمَا ُدونَ َخ‬، ‫مْس َذ ْو ٍد صَ دَ َق ٌة‬ ٍ ‫مْس أَ َو‬
ِ ‫ َولَ ْيسَ فِيمَا ُدونَ َخ‬، ‫اق صَ دَ َق ٌة‬ ِ ‫َل ْيسَ فِيمَا ُدونَ َخ‬
“Tidak zakat bagi perak di bawah 5 uqiyah[9], tidak ada zakat bagi unta di bawah 5 ekor dan tidak
ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq[10].”[11]
Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ada ketentuan nishob masing-masing yang nanti
akan dijelaskan.
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
‫َال َز َكاةٌ حَ َّتى َيحُو َل عَ لَ ْي ِه ْالحَ ْو ُل‬
ٍ ‫َولَ ْيسَ فِى م‬
“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.”[12]
Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil
pertanian tidak ada syarat haul. Zakat pertanian dikeluarkan setiap kali panen.[13]
(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu
dianggap mampu atau berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka seseorang
bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. [14]
Harta yang Dikenai Zakat
Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat adalah:
1. Atsman (emas, perak dan mata uang).
2. Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
3. Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).
-bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kaum muslimin yang ingin menitipkan harta zakatnya, untuk disalurkan kepada saudara-
saudari kita yang termasuk dalam delapan golongan yang berhak menerima zakat,
dapat menunaikannya melalui Layanan Penyaluran Harta Zakat Peduli Muslim.
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 11-12.
[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 12-13 dan Az Zakat, 64-66.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 13 dan Az Zakat, 63.
[4] Tafsir Al Qurthubi, 17: 238
[5] Lihat Az Zakat, 67.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/14-15.
[7] HR. Bukhari no. 1464
[8] Lihat Az Zakat, 69-70.
[9] Satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Jadi nishob perak adalah 5 uqiyah x 40 dirham/uqiyah = 200
dirham (Lihat Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376).
[10] Satu wasaq sama dengan 60 sho’. Jadi nishob zakat tanama adalah 5 wasaq x 60 sho’/wasaq =
300 sho’ (Lihat Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376). Satu sho’ kira-kira sama
dengan 3 kg. Sehingga nishob zakat tanaman = 300 sho’ x 3 kg/sho’ = 900 kg.
[11] HR. Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979.
[12] HR. Abu Daud no. 1573, Tirmidzi no. 631 dan Ibnu Majah no. 1792. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[13] Lihat Az Zakat, 70-71.
[14] Lihat Az Zakat, 71-72.
Tuntunan Ibadah Haji (1)

Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya
semata, sebagaimana firman-Nya:
‫وما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون‬
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz
dzariyat:56)
kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat
menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan hikmah-
Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan
syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah
atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan
ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan
ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana
dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah
dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya
telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu
adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim
yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian
mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya
untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.
Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang
berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan dicita-
citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak
dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan
menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini sebagai bekal
bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan belas kasihan
kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.
1. Definisi Haji
a. Secara Etimologi
Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-
hajj dan Al-Hijj [1]
b. Secara terminologi syariat
Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah
ditetapkan dalam sunnah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama yang
berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu
untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena
haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan
yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
2. Dalil Pensyari’atannya
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan
dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.
Adapun dalil dari Al-Qur’an:
‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيالً ومن كفر فإن هللا غني عن العـالمين‬
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)
dan firman Allah Ta’ala
‫وأتموا الحج والعمرة هلل فإن أحصرتم فما استيسر من الهدي وال تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محلة فمن كان منكم مريضً ا أو به ًأذى من رأسه‬
‫ففدية من صيام أو صدقة أو نسك فإذا أمنتم فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثالثة أيام فى الحج وسبعة إذا‬
‫رجعتم تلك عشرة كاملة ذلك لمن لم يكن أهله حاضرى المسجد الحرام واتقوا هللا واعلموا أن هللا شديد العقاب‬
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah,
yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih)
kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-
orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk
kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-
Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)
Dalil dari As-Sunnah:
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
‫ خطبنا رسول هللا‬ ‫فقال يأأيها الناس قد فرض هللا عليكم الحج فحجوا‬
“Telah berkhutbah Rasulullah  Shallallahu’alaihi Wasallam  kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian
manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah
kalian.” (HR. Muslim)
Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ً
‫محمدا رسول هللا وإقام الصالة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان‬ ‫بني اإلسالم على خمس شهادة أن ال إله إال هللا وأن‬
“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam  adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa
di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’
Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah
bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]
3. Syarat-syarat haji
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5. Merdeka
4. Miqat-miqat untuk haji
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat
atau waktu.[5] Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani.
Adapun miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan
tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi
menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:
1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu
Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.
2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.
3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah
Dan yang rajih -wallahu’alam- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil
firman Allah Ta’ala:
‫ فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال فى الحج‬g‫الحج أشهر معلومات‬
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)
dan firman Allah Ta’ala :
‫وأذان من هللا ورسوله إلى الناس يوم الحج األكبر أن هللا بريء من المشركين‬
“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar,
bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.” (QS At-Taubah
9:3)
Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (‫ )أشهر‬dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua
bulan sembilan hari. padahal (‫ )أشهر‬jamak dari (‫ )شهر‬dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan
dan pada asalnya kata (‫ )شهر‬masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali
dengan dalil syar’i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan
suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.
Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap
sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.
Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang
akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh
Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
‫ وقت رسول هللا‬ ‫ألهل المدينة ذا الحليفة وألهل الشام الجحفة وألهل النجد قرن وألهل اليمن يلملم قال هن لهن لمن أتى عليهن من غير أهلهن‬
‫ممن كان يريد الحج و العمرة فمن كان دونهن مهله من أهله وكذلك أهل مكة يهلون منها‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul
Hulaifah *  dan bagi ahli Syam  Al-Juhfah dan bagi ahli NajdQarn  dan bagi ahli
Yamam Yalamlam  lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk
orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah.
Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya,
dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.” (H.R Bukhari 2/165,
166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)
Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli
Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di
Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang setara kurang lebih 11
km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan
sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu
tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh  (tempat yang
sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian
ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari
Syam mengambil Raabigh  sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai miqat penduduk Mesir,
Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh
di  Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melaluiYalamlam maka miqat mereka adalah miqat
ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah
bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari
Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.
Demikian pula miqat penduduk Najd adalah  Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah
bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan
berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.
[8]Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul
Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah
atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para
ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari perintah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin KhaththabRadhiallahu’anhu?
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits
Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:
‫أن رسول هللا وقت ألهل العراق ذات العرق‬
“Sesungguhnya Rasulullah  Shallallahu’alaihi Wasallam  telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah
Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]
b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya.
Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar
tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiallahu’anhu:
‫فانظروا حذوها من طريقكم‬
“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan
Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
Yang rajih –wallahu’alam- bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.
Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat
melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya
maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang Indonesia yang melewati Madinah dan
tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk
berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi
ke Qarnul Manazil atau Yalamlam  akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk berihram
dari  Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan
para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah,
a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-
Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa seorang
yang melewati dua miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya
adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah ,maka boleh
mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.
b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir
hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang
lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
‫ولمن أتى عليهن من غير أهلهن‬
“Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).
Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari tempat dia
tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di
antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti penduduk ar-Rauha’, penduduk Badr dan Abyar al-Maasy
untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk madinah kemudian
bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji
maka miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka
hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari miqatnya yaitu Dzul Hulaifah.
contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah
sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke
Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi
ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: “Kalau dikendaki Alah
dan saya mempunyai kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan
yaitu ke Jeddah. Maka dia berihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka
diambil tujuan melaksanakan umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram
dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah
yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau
berumrah setelah haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi
Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:
‫ أمرني رسول هللا‬ )‫أن أردف عائشة وأعمرها من التنعم (متفق عليه‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan
(Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)
Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-
rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang
terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati miqat-miqat tersebut, maka
wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat yang terdekat dari jalan
yang dilewati tersebut.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:
1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia
berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan
berihram darinya.
2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya
untuk berhaji dan berumrah.
3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat
b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau
memilih miqat yang terdekat dengannya.
Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:
1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia
masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi
menjadi dua:
a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji dan umrah
ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
‫إنه ال يدخل إال من كان محرمًا‬
“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat masuk
makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah
mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang
khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”
b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini
adalah madzhab Syafi’i.
Mereka berdalil sebagai berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
)‫ عليه‬g‫لمن أراد الحج و العمرة (متفق‬
“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)
Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang
berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak
berihram jika ingin masuk makkah
Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah
dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)
Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah
tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat
yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-
Mukhtar asy-Syanqithy.
Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah ditentukan
oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram
maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali
ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena
dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.
2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat,
masalah ini ada dua gambaran:
a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau
kembali dan lain sebagainya.
b.Tidak memiliki udzur syar’i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah
kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.
3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu kembali dan
berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan
hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab
Syafi’iyah
c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau
kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-
Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.
5. Jenis-jenis Manasik Haji
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1. Ifrad
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa dibarengi
dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian
pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram
dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani hadyu
(sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang
lainnya.
Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali
ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
2. Tamattu’
Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada tahun
itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena itu
setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.
3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan)
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga
bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “‫ ” لبيك عمر ًة وحجً ا‬dengan dalil bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:
‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة‬
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai
thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian
haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah
tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dalam hadits tersebut:
‫سعيك طوافك لحجك وعمرتك‬
“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)
c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama
ada dua pendapat:
Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:
‫ أهل رسول هللا‬ ‫بالحج‬
“Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.
dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:
‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة‬
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
‫دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة‬
“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.
Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.
Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata Syaikhul Islam:
“Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak
boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama” [10]
Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan
menjadi tiga pendapat:
1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, ‘Aisyah,
Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan
madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru
dua pendapat Imam Syafi’i.
2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:
Hadits Anas, beliau berkata:
‫ سمعت رسول هللا‬ )‫ لبيك عمرة و حجً ا (متفق عليه‬،‫ لبيك عمرة و حجً ا‬:‫أهل بها جميعً ا‬
“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“ (Mutafaqun
Alaih)
Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia
menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu Dawud no.
1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)
Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:
)‫ النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول هللا لقولك (رواه البيهقي‬g‫سمعت‬
“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan
meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)
Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.
3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi’i
serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:
 Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam melakukan haji ifrad
 Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan
lebih utama dari yang membutuhkan.
 Amalan Khulafaur Rasyidin
Sedangkan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat pertama dengan dalil:
a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana ,
lalu setelah shalat subuh beliau berkata:
‫من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة‬
“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun
Alaihi)
b. Hadits Aisyah:
‫ خرجنل مع رسول هللا‬ ‫ فلما قدما مكة تطوفنا بالبيت فأمر رسول هللا‬،‫ وال أريد إال أنه الحج‬ ‫ قالت فحل من لم‬،‫ما لم يكن ساق الهديي أن يحل‬
‫يكن ساق الهدي و ناؤه لم يسقن اللهدي فاحللنا‬
“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji, ketika
kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak
membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang
tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul ” (Mutafaqun
‘Alaih)
c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya
ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.
Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih utama.
Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.
d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam
‫لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة‬
“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan
membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”.(H.R Muslim Ahmad no. 6/175)
e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya yang
masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana
hadits Aisyah:
‫ من اغضبا يا رسول هللا اخله هللا النار؟ قال أوما شعرت أني أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون‬:‫فدخل علي و هو غضبان فقلت‬
“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu
marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-
orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim)
Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang
lainnya, Wallahu’alam.
Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan
keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) makaqiran lebih utama, dan apabila dia telah
berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan
selainnya tama  Radhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah
hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan
satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-
bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan
ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan
apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu
kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama
baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, ber-tahallul dari
ihram untuk umrah lebih utama”[11]
Tuntunan Ibadah Haji (2)

Hal-hal yang diwajibkan dalam haji


1.Ihram dari Miqot
Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah,
dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk kepada kehormatan
ibadah haji, maka dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah,
berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya.Sehingga dapat diambil satu definisi syar’i bahwa ihram
adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan  , 1

dari sini jelas terpahami sebagai suatu kesalahan apa yang telah dipahami sebagian kaum muslimin
bahwaihram adalah berpakaian dengan kain ihram karena ihram adalah niat masuk kedalam haji atau
umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang
yang telah berihram .
Dan melakukan ihram dari miqat merupakan satu kewajiban dari hal-hal yang wajib dilakukan oleh
seorang yang ingin menunaikan haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat berihram
sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan suatu kewajiban dalam haji
dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan Dam (denda).
Adapun cara berihram , maka seorang yang telah berketetapan untuk haji atau umrah maka
disunnahkan baginya untuk mencontoh RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan hal-
hal yang berhubungan dengan amalannya sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh hadits-hadits
yang shahih .
Adapun cara-caranya adalah :
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci
atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu’anhu, beliau berkata:
‫ عميس محمد بن أبي بكر فأرسلت الىرسول هللا‬g‫ فخرجنا معه حتى أتينا ذا الحليفة فولدت أسماء بنت‬ ‫ اغتسلي واستثفري بثوب‬: ‫كيف أصنع؟ قال‬
)‫واحرمي (رواه مسلم‬
“Lalu kami keluar bersamanya Shallallahu’alaihi Wasallam lalu tatkala sampai Dzul hulaifah Asma
binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk
bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan?
maka beliauShallallahu’alaihi Wasallam  menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah   dan berihramlah.” 2

(Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no.3074.)
Apabila tidak mendapatkan air maka tidak ber-tayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila
tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam
bersuci dari hadats sebagai firman-Nya:
‫يا أيها الذين ءامنوا اذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحو برؤوسكم وارجلكم إلى الكعبين وان كنتم جنبًا فاطهروا‬
ً
‫صعيدا طيبًا‬ ‫وان كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحدمنكم أو الغائط أو لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); “(QS.Al Maidah :6)
maka tidak bisa dianalogikan (di-qiyas-kan) kepada yang lainnya,dan juga tidak ada contoh atau
perintah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi kalau mandi ihram
tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma bintu Umais yang
sedang haidh untuk mandi tersebut.
2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah:
g‫كنت أطيب النبي الحرامه قبل ان يحرم و لحله قبل أن يطوف بالبيت‬.
“Aku memakaikan nabi wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya
sebelum thawaf di Ka’bah” (HR, Bukhory no.1539 dan Muslim no. 1189).
Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ال تلبسوا ثوبا مسه الزعفران و ال الورس‬
“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.”(Muttafaqun
alaih).
Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram,dan ini sepakat tidak ada permasalahan
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka
ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan
pendapatnya.
Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:
‫ كان رسول هللا‬ ‫اذا اراد أن يحرم يتطيب بأطيب ما يجد ثم أرى وبيص الدهن في رأسه و لحيته بعد ذلك رواه مسلم‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling
wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya
setelah itu”.(HR.Muslim no.2830 ).
Dan Aisyah berkata pula:
‫ كأني أنظر الى وبيص المسك في مفرق رسول هللا‬ ‫و هو محرم‬
“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam sedangkan beliau dan keadaan ihram “. (HR. Muslim no. 2831 dan
Bukhory no. 5923).
Masalah: Apabila sesorang memakai wangi- wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya,
lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau
tidak?
Jawab: Tidak mempengaruhi , karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan
tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan sahabatnya
tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada
keadaan yang dibolehkan  3

Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak
rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia
lakukan maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua telapak tangannya walaupun hanya
sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?
Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dengan mengatakan: “Tidak
perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya demikian juga
tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak
tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan:. 4

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung (izar) dan selendang (rida’),
sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
‫ليحرم أحدكم فى إزار و رداء و نعلين‬
“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta
sepasang sandal.”(H. R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir)
dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫ البياض فالبسوها وكفنوا فبها موتكم‬g‫حير ثيابكم‬
“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian
padanya” (H.R Ahmad lihat syarahahmadsyakir 4/2219 dan berkata isnadnyaa shahih)
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik (hal. 21): “Dan disunnahkan untuk berihram dengan dua
kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di bolehkan ihram
dengan segala jenis kain yang dibolehkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dan
dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan,
walaupun berwarna-warni”. 5

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah
dan telapak tangan.
4. Disunahkan berihram setelah shalat. sebagaimana dalam hadits Ibnu
Umar Radhiallahu’anhuma dalam shahih Bukhary bahwa RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallambersabda:
‫ صل فى هذا الوادى المبارك وقل عمر ًة فى حجة‬: ‫أتاني الليلة آت من ربي فقال‬
“Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan
katakan: Umrotan fi hajjatin.”
Dan hadits Jabir:
‫ فصلى رسول هللا‬ ‫في المسجد ثم ركب القصواء حتى اذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج‬
“Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi
Al Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’ berihram untuk
haji”.  (HR.Muslim).
Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat
fardhu.  Akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari
para ulama:
a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits
Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma:
‫صل في هذا الوادي‬
“Shalatlah di Wadi ini”
b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana
beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah shalat baik fardhu
maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan
yang lain kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram
shalat yang khusus dan ini yang rajih.”
Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat (hal. 116): “Dan berihram setelah shalat fardhu kalau ada atau
sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”.
Demikianlah tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.
5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan
untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan
Aisyah:
‫ خرجنا مع رسول هللا‬ ‫ و منا من اهل بحج و عمرة و منا من اهل بحج و أهل رسول هللا فا ما من أهل‬g‫عام حجة الوداع فمنا من اهل بعمرة‬
)‫ فحل عنه قدوصه و اما من اهل بحج أو جمع بين الحج والعمرة فلم يحلوا حتى كان يوم النحر (متفق عليه‬g‫بعمرة‬
“Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada tahun haji wada’ maka ada
diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada
yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berihram dengan
haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya   dan yang (*)

berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya)
sampai dia berada dihari nahar(**)  “ (Mutafaq alaih)

Maka seorang yang ber-manasik ifrad mengatakan:


‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬
dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan:
‫ لبيك عمرة‬atau ‫لبيك اللهم عمرة‬
dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:
‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬
dan sunnah yang ber-manasik Qiran menyatakan: ‫لبيك عمرة و حجا‬
6. Ber-talbiyah, yaitu membaca:
‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك ال شريك لك‬
Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani’mata laka wal mulk
laa syariikaa laka, dan yang sejenisnya.
6.1. Waktu Talbiyyah
Waktu talbiyah adalah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya, berkata
Jabir Radhiallahu’anhu :
‫…… حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-
Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……”
(H.R Muslim)
6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah:
a.  ‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك ال شريك لك‬
6

b. )‫ عليه من تلبية ابن عمر‬g‫لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل (متفق‬
c. )‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى‬
d. Talbiyah yang poin “a” namun ditambah kalimat:
)‫لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (حديث جابر رواه مسلم‬
6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Ta’ala.
Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 27.
‫ رجاال وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق‬g‫وأذن في الناس بالحج يأتتوك‬
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang
kepadamudengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)
Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala ini : “Ketika Allah Ta’ala
memerintahkan Ibrahim ‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata:
‫يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بي ًت ا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه‬
)106\17 ‫ابن جرير‬
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan
memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja yang
mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang ada, lalu mereka
berkata  ‫( …… لبيك اللهم لبيك‬H.R Ibnu Jarir 17/106)
Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah dari sebagian dari Ulama’:
“Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika memberitahukan manusia
untuk berhaji””,  7

Adapun ma’na dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :


(‫ )اللهم‬:Wahai Allah
(‫ )لبيك‬:Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan
menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan
kepada-Nya
(‫ )ال شريك لك‬:Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu
(‫ )لبيك‬:Sebagagi penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena
pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan
tersebut karena Engkau saja
(‫ )إن الحمد و النعمة لك والملك‬:Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat
itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan
(‫ )ال شريك لك‬:Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu
Kalau kita melihat kepada ma’na kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya
penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (‫)أهل بالتوحيد‬ (Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah dengan tauhid”) Dan hal ini tampak kalau kita mentelaah dan
memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata (‫ )لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك‬terdapat
peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (‫ )ال شريك لك لبيك‬terdapat tauhid rububiyyah karena
kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Ta’ala semata, dan hal itupun
mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada
tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah, dan dalam kata (‫)إن الحمد و النعمة لك‬
terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada zat dan perbuatan Allah Ta’ala adalah hak dan hal ini
adalah merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah Ta’ala.
Kalau demikian keharusan orang yang bertalbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah
dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar
mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.
6.4. Cara membacanya
Talbiyah ini dibaca dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالتلبية‬
“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku
agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah. “
Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjamaah akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam
talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu padahal jumlah mereka sangat
banyak maka hal tersebut sangat memungkinan untuk terjadinya talbiyah dengan suara yang
berbarengan, akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan
menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan
untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.
6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang
berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :
1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab
maliki,mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang lafadznya;
‫ بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي‬g‫ كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت‬ ‫كان يفعل ذلك‬
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap dzi thuwa dan
beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”
2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib
3. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (Istilam) hajar aswad dan ini
pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad
dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’:
‫كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر‬
“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad” (HR Abu
Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297) dan juga hadits
Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:
ً
‫ اعتمر رسول هللا‬ ‫ثالث ا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzul
qa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad”  (H.R Ahmad dan Baihaqi
denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-
Albanny dala Irwa’ 4/297)
Dan mereka berkata : “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan
ketika memulai ibadah yaitu thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam  dan Ibnu 8

Qudamah   akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa
9
Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena
melihat Rasulullah telah melakukannya, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah   . 10

Demikian juga pada haji terdapat beberapa pendapat ulama;


1. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah,
Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-hasan Al-bashry dan madzhab malikiyah. Berdalil dengan
hadits:
‫الحج عرفة‬
“Haji itu adalah wuquf di Arafah”
Maka kalau telah sampai Arafah maka akan habis pemenuhan panggilan karena telah sampai kepada
inti dan rukun pokok ibadah tersebut. akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat
bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.
2 Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur ,akan tetapi mereka
berselisih menjadi dua pendapat;
a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari
mereka, dengan dalil hadits Al fadl bin Al Abbas
‫ كنت رديف النبي‬ )‫من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة‬
”Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan teru meneru bertalbiyah sampi melempar jumroh
Aqobah “(HR jama’ah)
dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:
‫ خرجت مع رسول هللا‬ ‫فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إال أن يخلطها بتكبير أو تهليل‬.
“Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak mmeninggalkan talbiyah sampai beliau
melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir” (HR Thohawi dan Ahmad
dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa’, /2966).
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma’na,
maka seorang yang telah sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini- maka dia
masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah
wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah mmemulai dalam
melempar jumrah maka telah selesai panggilannya (Majmu’ Fatawa 26/173)
b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam jumroh Aqobah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian
pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:
‫ أفضت مع النبي‬ )‫من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة‬
“Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar jumroh
Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu
yang dilempar” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan beliau berkata :” ini hadit hahih yang
menafsirkan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain).

[Bersambung]

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc


Artikel www.muslim.or.id

1 Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal 65 dan Syarhul Mumti’ 6/67
2 Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya daarah dari kemaluan orang yang haidh
atau nifas dengaan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah
tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan
di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita). Lihat syarah
Muslim 8/404.
3 Lihat Syarhul Mumti’ 6/73-74
4 Syarhul Mumti’ 6/74
5 dinukil dari Syarhul Mumti‘ 6/75
 (*) setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sya’i
 (**) pada tanggal 10 Dzul Hijjah
6 dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalamm shahih Bukhari & Muslim
7 Fathul Bari 3/406
8 Syarah Umdah 2/461
9 Al-Mughny 5/256
10 Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207

Anda mungkin juga menyukai