Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH SEMINAR KEPERAWATAN

“APENDISITIS AKUT”
Tugas Ini Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Seminar Keperawatan
Dosen Pengampu : Ikhsan Nurdiansyah, S.Kep

DISUSUN OLEH :
ARISTA ALIFIA NUR MUHAMMAD RAFLY R
AYU DWI SAFITRHI NUR PUSPA FAJRIYATI
DEDE ARIS HERDIANSYAH RIKA NURZAQIAH
FIKRI RAIHAN AKBAR RINDIANI KURNIA
HADIAN NURFAJAR SITI AISYAH
LIA YULIAWATI SITI MARISA
NEGIA NOVIA RAHMADANTI SYIFA MARIATUL KIBTIAH

KEPERATAN 4B
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU (STIKIM)
Jl. Harapan No.50, RT.2/RW.7, Lenteng Agung, Kec. Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12610

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat,hidayah,dan inayah-nya,sehingga penulis dapat menyeleaikan tugas ini dengan tepat dan
waktunya.
Makalah ini di susun penulis untuk untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Seminar
Keperawatan dari Bapak Ikhsan Nurdiansyah, S.Kep dengan judul “Apendisitis Akut”
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang sebesa-besarnya kepada ibu dosen serta pihak-pihak
yang terlibat dan telah memberi bantuan baik moril maupun material.
Makalah ini tentu jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Cianjur, 29 Mei 2021

Penyusun,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................3

DAFTAR ISI.................................................................................................................4

3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja.
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan
terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak
sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik
yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap
memiliki angka morbiditas yang signifikan2. Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-kadang
sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal.
Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien
dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis2
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan
shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendicitis
acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia.

4
BAB II PEMBAHASAN
A. Apendisitis
a) Pengertian
Apendisitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh benda asing batu feses
kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks verivormis (Nugroho,
2011). Apendisitis merupakan peradangan yang berbahaya jika tidak ditangani segera bisa
menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins, 2011). Apendisitis adalah suatu
peradangan yang berbentuk cacing yang berlokasi dekat ileosekal (Reksoprojo, 2010).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Infeksi ini
bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010).
Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya appendiks vermivormis,
yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6-9 cm dengan pangkal terletak pada
bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak pada perut kanan bawah (Handaya, 2017).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks)
(Wim de jong, 2005 dalam Nurarif, 2015). Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi
pada vermiforis. Apendisitis adalah inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan kecil yang
berukuran sekitar 4 inci yang buntu pada ujung sekum (Rosdahl dan Mary T. Kowalski, 2015).
Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks
vermiformis yang disebut dengan umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus buntu,
merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum (Nurfaridah, 2015).
b) Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis menurut Nurafif & Kusuma (2013) terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Apendisitis akut, radang mendadak di umbai cacing yang memberikan tanda, disertai maupun
tidak disertai rangsangan peritoneum lokal.
Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberi tanda setempat. Gejala apendisitis
akut antara lain nyeri samar dan tumpul merupakan nyeri visceral di saerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini disertai rasa mual muntah dan penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini, nyeri yang dirasakan menjadi lebih tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Hidayat 2005 dalam
Mardalena,Ida 2017)

5
2. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian kanan bawah
yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut
pertama sembuh spontan.
3. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua
minggu (sumbatan di lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa), dan
keluhan hilang setelah apendiktomi.
Apendisitis kronis baru bisa ditegakkan apabila ditemukan tiga hal yaitu pertama, pasien
memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit tiga minggu
tanpa alternatif diagnosa lain. Kedua, setelah dilakukan apendiktomi, gejala yang dialami pasien
akan hilang. Ketiga, secara histopatologik gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis
yang aktif atau fibrosis pada apendiks (Santacroce dan Craig 2006 dalam Mardalena, Ida 2017).
3) Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal menjadi faktor penyebabnya.
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, batu
feses, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat juga menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang
diduga menimbulkan apendisitis yaitu erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.Histolytica
(Sjamsuhidajat, 2010).
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi
kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi
karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan
pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:
Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix
oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis
yaitu7: Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia coli Viridans streptococci
Pseudomonas aeruginosa Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila
species Lactobacillus species.
4) Patofisiologi
Apendisitis terjadi karena disebabkan oleh adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh
apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam
kalsium, debris fekal), atauparasit E-Histolytica. Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh

6
kebiasaan makan makanan yang rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi. Kondisi
obstruktif akan meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan perkembangan bakteri.
Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kongesti dan penurunan perfusi pada dinding
apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks. Pada fase ini penderita mengalami
nyeri pada area periumbilikal. Dengan berlanjutnya pada proses inflamasi, akan terjadi
pembentukan eksudat pada permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan
perietal peritoneum, maka intensitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroce, 2009 dalam dalam
muttaqin & kumala sari, 2011).
Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan meningkatkan
tekanan intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang ditandai dengan
ketidaknyamanan pada abdomen. Adanya penurunan perfusi pada dinding akan menimbulkan
iskemia dan nekrosis serta diikuti peningkatan tekanan intraluminal, juga akan meningkatkan risiko
perforasi dari apendiks. Pada proses fagositosis terhadap respon perlawanan terhadap bakteri
ditandai dengan pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen apendiks.
Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan
pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga
abdomen kemudian akan memberikan respon inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi
peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan abses, maka akan ditandai dengan gejala
nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian akan memberikan respons peritonitis. Gejala yang
khas dari perforasi apendiks adalah adanya nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan
bawah (Tzanaki, 2005 dalam muttaqin, Arif & kumala sari, 2011).
e) Patogenesis
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam

setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3 hari

Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith,

gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering

disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan.

Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah

penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendicitis akut dan 30-40% pada anak
7
dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan

obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid

yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat

infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,

Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat

diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan

cytomegalovirus.

Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat

perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan

obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200

tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya

appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis.

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan,

perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan.

Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak5.

Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai

nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri

8
dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah

menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih

dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat

yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,

terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan

menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah

itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat

kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari

dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan

teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s.

Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral

sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena

eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan

penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang.

Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan

peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica

urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi

retensi urine. Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis

umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan

pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan

suhu melebihi 38,6℃, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik.

Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam

tanpa perforasi.

9
Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi.

Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum.

Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat

diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus

sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat

iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.

f) Gambaran Klinis

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada

neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis jauh

lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali

dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan

waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring

dengan perkembangan penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri

yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat

mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank,

nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan

appendicitis retrocecal arau pelvis1. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau

bladder, gejal dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan

kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam

beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat

infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat

yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis.

Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat

terjadi pada anak dengan appendicitis1. Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam
10
ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak

dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan

dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising

usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang. Anak dengan

appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat

tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan . Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang

menderita appendicitis, kecuali pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik

renal akibat perangsangan ureter.

g) Manifestasi Klinis

Menurut Wijaya AN dan Putri (2013), gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu nyeri

atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti anoreksia, nausea dan muntah, ini berlangsung

lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke nyeri pindah ke kanan bawah dan

menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney, nyeri rangsangan peritoneum

tidak langsung, nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan, nyeri pada

kuadran kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, dan mengedan,

nafsu makan menurun, demam yang tidak terlalu tinggi, biasanya terdapat konstipasi, tetapi

kadang-kadang terjadi diare.

h) Komplikasi

Komplikasi bisa terjadi apabila adanya keterlambatan dalam penanganannya. Adapun jenis

komplikasi menurut (LeMone, 2016) diantaranya sebagai berikut:

1. Perforasi apendiks

11
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi nanah sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.

Perforasi dapat diketahui dengan gambaran klinis seperti suhu tubuh lebih dari 38,50C dan nyeri

tekan pada seluruh perut yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit.

2. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen). Komplikasi

ini termasuk komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.

3. Abses

Abses adalah peradangan pada spendiks yang berisi nanah. Teraba massa lunak di kuadran kanan

bawah atau daerah pelvis.

i) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan sel darah putih (Leukosit) hingga 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang
lebih, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi.
2. Pemeriksaan Radiologi
a) Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang membantu)
b) Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dari apendik.
c) CT – Scan
Pemeriksaan CT – Scan pada abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan adanya kemungkinan
perforasi.
d) C – Reactive Protein (CRP)
C – Reactive Protein (CRP) adalah sintesis dari reaksi fase akut oleh hati sebagai respon dari
infeksi atau inflamasi. Pada apendisitis didapatkan peningkatan kadar CRP (Mutaqqin, Arif &
Kumala Sari 2011)

12
j) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penderita apendisitis yaitu dengan tindakan
pembedahan/Apendiktomi
1. Pengertian Apendiktomi
Apendiktomi adalah intervensi bedah untuk melakukan pengangkatan bagian tubuh yang
mengalami masalah atau mempunyai penyakit. Apendiktomi dapat dilakukan dengan dua metode
pembedahan yaitu pembedahan secara terbuka/ pembedahan konveksional (laparotomi) atau dengan
menggunakan teknik laparoskopi yang merupakan teknik pembedahan minimal infasif dengan
metode terbaru yang sangat efektif (Berman& kozier, 2012 dalam Manurung, Melva dkk, 2019)
Laparoskopi apendiktomi adalah tindakan bedah invasive minimal yang paling banyak digunakan
pada apendisitis akut. Tindakan ini cukup dengan memasukkan laparoskopi pada pipa kecil (trokar)
yang dipasang melalui umbilikus dan dipantau melalui layar monitor. Sedangkan Apendiktomi
terbuka adalah tindakan dengan cara membuat sayatan pada perut sisi kanan bawah atau pada
daerah Mc Burney sampai menembus peritoneum.

2. Tahap Operasi Apendiktomi

Tindakan sebelum operasi :


a. Observasi pasien
b. Pemberian cairan melalui infus intravena guna mencegah dehidrasi dan mengganti cairan
yang telah hilang
c. Pemberian analgesik dan antibiotik melalui intravena
d. Pasien dipuasakan dan tidak ada asupan apapun secara oral
e. Pasien diminta melakukan tirah baring

2. Tindakan Operasi
a. Perawat dan dokter menyiapkan pasien untuk tindakan anastesi sebelum dilakukan
pembedahan
b. Pemberian cairan intravena ditujukan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan
menggantikan cairan yang telah hilang.
c. Aspirin dapat diberikan untuk mengurangi peningkatan suhu.
d. Terapi antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi.

3. Tindakan pasca operasi


a. Observasi TTV
b. Sehari pasca operasi, posisikan pasien semi fowler, posisi ini dapat mengurangi
tegangan pada luka insisi sehingga membantu mengurangi rasa nyeri
c. Sehari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30
menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri tegak dan duduk diluar kamar
d. Pasien yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan melalui
intravena. Cairan peroral biasanya diberikan bila pasien dapat mentoleransi
e. Dua hari pasca operasi, diberikan makanan saring dan pada hari berikutnya dapat
diberikan makanan lunak.

13
j). Konsep Nyeri

1. Pengertian nyeri

Nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang

rusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri (Arthur

C Curton; Prasetyo 2010 dalam Andarmoyo, 2013).

Menurut Association for the study of pain, Nyeri adalah awitan yang tiba – tiba atau lambat

dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan

berlangsung < 6 bulan maupun > 6 bulan. Nyeri merupakan mechanism protektif yang

dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran telah atau akan terjadi kerusakan jaringan

(Sherwood L., 2001 dalam Andarmoyo, 2013).

2. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi menurut Wilkinson Judith M. & Nancy R. Ahern, 2011 sebagai berikut :

 Nyeri Akut

Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan

jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti

( International Association for the study of pain) ; awitan yang tiba – tiba atau

perlahan dengan intesitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi

atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan.

 Nyeri Kronis

Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan

(International Association for the study of pain); awitan yang tiba – tiba atau perlahan

dengan intesitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat

diramalkan dan durasinya lebih dari 6 bulan.

3. Etiologi Nyeri

Menurut Atoilah, E. M., & Engkus, K. (2013), etiologi dari nyeri adalah sebagai
14
berikut :

1) Trauma

 Trauma mekanik berupa benturan, gesekan, luka, bekas sayatan pasca operasi yang

merangsang nyeri karena reseptor nyeri mengalami kerusakan

 Trauma thermik seperti panas api, air dingin yang berlebih akan merangsang reseptor

nyeri

 Trauma kimia seperti sentuhan asam dan basa yang kuat

 Trauma elektrik seperti aliran listrik yang kuat akan merangsang reseptor nyeri akibat

kejang otot atau kerusakan reseptor nyeri

2) Neoplasma

 Neoplasma jinak dapat menyebabkan penekanan pada ujung saraf reseptor nyeri.

 Neoplasma ganas akan mengakibatkan kerusakan jaringan, akibat tarikan, jepitan atau

metestase dari kanker.

 Peradangan seperti abses, pleuritis akan mengakibatkan kerusakan saraf reseptor nyeri

akibat adanya peradangan atau karena adanya penekanan dari pembengkakan

jaringan.

3) IskemikJaringan

4) Trauma psikologis

15
2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

1. Usia

Usia sangat mempengaruhi respon terhadap nyeri. Anak kecil

mempunyai kesulitan memahami rasa nyeri sebab belum dapat

mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan secara verbal dan

mengekspresikan nyeri kepada orangtua ataupun petugas kesehatan.

Berbeda pada pasien lansia, harus dilakukan pengkajian secara lebih

rinci ketika pasien lansia melaporkan adanya nyeri. Hal ini

dikarenakan lansia sering kali memiliki sumber nyeri yang lebih dari

satu, terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita

menimbulkan gejala yang sama. Sebagian lansia terkadang pasrah

terhadap apa yang mereka rasakan, karena menganggap hal tersebut

merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari.

2. Jenis kelamin

Jenis kelamin antara pria maupun wanita tidak ada perbedaan

secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan

mempengaruhi jenis kelamin dalam memaknai nyeri misal,

menganggap bahwa anak laki – laki harus berani dan tidak boleh

menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi

yang sama (Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo 2013).

3. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu

mengatasi rasa nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan

apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.Budaya dan etnisitas

16
berpengaruh pada bagaimana seseorang merespon terhadap nyeri.Sejak

dini pada masa kanak-kanak, individu belajar dari lingkungan sekitar

mereka merespon nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau tidak

dapat diterima(Smeltzer, S.S & Bare, B.G,2002 dalam Andarmoyo,

2013).

4. Makna nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi

pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal

ini juga dikaitkan dengan latar belakang budaya individu tersebut.

individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda,

apabila nyeri tersebut memberikan pesan ancaman, suatu kehilangan,

hukuman, dan tantangan(Potter& Perry,2006 dalam Andarmoyo,

2013).

5. Perhatian

Tingkat pasien memfokuskan perhatianya terhadap nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan

dengan nyeri yang meningkat,sedangkan upayapengalihan(distraksi)

dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun(Gill,1990;Potter

&Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013).

6. Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri,tetapi nyeri

juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas (Paice, 1991) dikutip

dari Potter & perry (2006),melaporkan suatu bukti bahwa stimulus

17
nyeri mengaktifkan bagian sistem limbicyang diyakini mengendalikan

emosi seseorang,khususnya ansietas (Andarmoyo, 2013).

7. Keletihan

Keletihan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan persepsi

nyeri. Rasa keletihan akan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif

dan menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan disertai

kesulitan tidur, persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi.

Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu

periode tidur yang lelap( Potter& Perry, 2006 dalam Andarmoyo,

2013).

8. Pengalaman sebelumnya

Apabila individu mempunyai riwayat nyeri tanpa pernah

sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas dapat muncul.

Apabila individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama secara

berulang, tetapi kemudian nyeri dapat berhasil dihilangkan akan lebih

mudah bagi individu untuk menginterpretasikan sensasi nyeri

akibatnya, individu akan lebih siap untuk melakukan tindakan yang

diperlukan untuk menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2006 dalam

Andarmoyo 2013).

9. Gaya koping

Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuanbaik sebagian

maupun keseluruhan. Individu seringkali menemukan berbagai cara

untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis

nyeri. Penting untuk memahami sumber koping klien selama klien

18
mengalami nyeri, sumber yang dimaksud seperti berkomunikasi

dengan keluarga pendukung melakukan latihan,atau menyanyi dapat

digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya

mendukung klien dan mengurangi nyeri (Potter& Perry,2006 dalam

Andarmoyo, 2013).

10. Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran

orang terdekat individu dan bagaimana sikap mereka terhadap klien.

Individu yang mengalami nyeri sering bergantung pada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan

perlindungan. Meskipun nyeri tetap dirasakan,kehadiran orang yang

dicintai individu akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila

tidak ada keluarga atau teman,seringkali pengalaman nyeri membuat

individu semakin tertekan. Kehadiran orangtua sangat penting bagi

anak-anak yang sedang mengalami nyeri ( Potter & Perry,2006 dalam

Andarmoyo, 2013).

2.1.2 Upaya dalam mengatasi nyeri

Penatalaksaan nyeri bersifat sangat individual, dan intervensi yang

berhasil untuk satu orang klien mungkin tidak berhasil untuk klien yang

lainnya hal ini karena tingkat mekanisme koping antara individu

berbeda.Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi nyeri

antara lain sebagai berikut :

19
1. Terapi Farmakologis

Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk

mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri

dengan efektif, perawatan dan dokter masih cenderung tidak

melakukan upaya analgesik dalam penanganan nyeri karena informasi

obat yang tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien akan

mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam

menggunakan analgesik narkotik dan pemberian obat yang kurang

dari yang diresepkan. Tiga jenis analgesik umumnya digunakan untuk

meredakan nyeri. Ketiga jenis ini adalah :

a. Analgesik non-narkotik dan obat anti inflamasi nonsteroid

(NSAID)

NSAID antara lain aspirin, ibu profen (Motrin) dan

naproksen (Naprosyn, Aleve). NSAID Non-narkotik umumnya

menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri

terkait dengan artritis reumatoid, prosedur pengobatan gigi, dan

prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah pada punggung

bagian bawah. Satu pengecualian, yaitu ketorolak (Taradol),

merupakan agens analgesik pertama yang dapat diinjeksikan

yangkemanjurannya dapat dibandingkan dengan morfin

(Andarmoyo, 2013).

b. Analgesik narkotik atau opiate

Analgesik narkotik atau opiat umumnya diresepkan dan

digunakan untuk nyeri sedang sampai berat, seperti pascaoperasi

20
dan nyeri maligna.Analgesik ini bekerja pada sistem saraf pusat

untuk menghasilkan kombinasi efek mendepresi dan

menstimulasi (Andarmoyo,2013).

c. Obat tambahan (Adjuvan)

Adjuvan seperti sedatif, anticemas, dan relaksasi otot

meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain yang

terkait dengan nyeri seperti mual muntah. Agens tersebut

diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai dengan

analgesik.Sedatif sering kali diresepkan untuk penderita nyeri

kronik. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk dan

kerusakan koordinasi, keputusasaan, dan kewaspadaan mental

(Andarmoyo, 2013).

2. Terapi Non Farmakologis

Managemen nyeri nonfarmakologis merupakan tindakan

menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agens

farmakologis.Melakukan intervensi manajemen nyeri non farmakologi

merupakan tindakan mandiri perawat dalam mengatasi respon nyeri

klien.Managemen nyeri nonfarmakologi sangat beragam.Banyak

literatur yang membicarakan mengenai teknik-teknik peredaan nyeri.

Beberapa tindakan non farmakologis dalam mengurangi nyeri antara

lain sebagai berikut :

a. Distraksi

Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada

sesuatu selain nyeri, atau dapat diartikan lain bahwa distraksi

21
adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal di

luar nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak terfokus

pada nyeri lagi dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien

terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

1) Distraksi visual/ penglihatan

Distraksi visual atau penglihatan adalah pengalihan perhatian

selain nyeri yang diarahkan ke dalam tindakan-tindakan

visual atau pengamatan. Misalnya melihat pertandingan

olahraga, menonton televisi, membaca koran, melihat

pemandangan indah, dsb (Andarmoyo, 2013).

2) Distraksi Audio/ pendengaran

Pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke dalam

tindakan-tindakan melalui organ pendengaran.Misalnya

mendengarkan musik yang disukai atau mendengarkan suara

kicauan burung serta gemercik sir.Saat mendengarkan musik,

individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan

musik tenang seperti musik klasik dan minta untuk

berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu.Klien juga

diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama

lagu seperti bergoyang, mengetuk jari atau kaki (Andarmoyo,

2013).

3) Distraksi Intelektual

pengalihan perhtian selain nyeri yang diarahkan ke tindakan

dengan menggunakan daya intelektual pasien, mislanya

22
dengan mengisi teka teki silang, beramin kartu, menulis buku

cerita, dan sebagainya (Andarmoyo, 2013).

b. Relaksasi

Relaksasi merupakan pelemasan otot sehingga akan mengurangi

ketegangan otot yang dapat mengurangi rasa nyeri. Teknik yang

dilakukan yaitu dengan nafas dalam secara teratur dengan cara

menghirup udara melalui hidung, tahan dan keluarkan secara

perlahan melalui mulut (Atoilah, E. M., & Engkus, K. 2013).

c. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan/TENS (Transcutaneous

Elektrical Nerve Stimulation)

Transcutaneous Elektrical Nerve Stimulation(TENS) adalah alat

yang menggunakan aliran listrik baik dengan frekuensi rendah

maupun tinggi yang dihubungkan dengan elektroda pada kulit

untuk menghsilkan sensasi kesemutan, bergetar, atau mendengung

pada area yang nyeru. TENS adalah salah satu prosedur non

invasif dan salah satu metode yang aman untuk mengurangi nyeri

akut maupun kronis (Andarmoyo, 2013).

d. Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah suatu cara dengan menggunakan

imajinasi seseorang dalam cara yang dirancang secara khusus

untuk mencapai efek positif tertentu. Tindakan ini membutuhkan

konsentrasi yang cukup. Usahakan kondisi lingkunan mendukung

untuk tindakan ini misalnya kegaduhan, kebisingan, bau

23
menyengat maupun cahaya yang terang perlu di pertimbangkan

agar tidak mengganggu konsentrasi klien.

e. Akupuntur

Akupuntur adalah suatu teknik tusuk jarum yang mempergunakan

jarum kecil panjang (ukuran bervasiasi mulai dari 1,7 cm sampai

10 cm) kemudian di tusukkan pada bagian tertentu di badan (area

yang sering digunakan adalah kaki, tungkai bawah, tangan, dan

lengan bawah). Setelah dimasukan ke area tubuh tertentu, jarum

diputar – putar atau di pakai untuk menghantar arus listrik yang

kecil. Titik-titik akupuntur dapat distimulasi dengan mmasukkan

dan mencabut jarum menggunakan panas, tekanan/pijatan, laser

atau stimulasi elektrik atau kombinasi dari berbagai macam cara

tersebut

2.1.3 Mengukur Derajat Nyeri

Intensitas derajat nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah

nyeri yang dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif

dan invidual serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri

dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan

respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.

Pengukuran intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan

skala sebagai berikut :

24
1. Skala numerik (Numerical Rating Scale)

Skala penilaian numerik lebih digunakan sebagai alat

pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10.Skala paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi teraupetik.Apabila

digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan

10 (Perry dan Potter, 2006 dalam Andarmoyo, 2013). Skalanya seperti

gambar dibawah ini:

Gambar 2.2 Skala numerik


Sumber : Sulistyo Andarmoyo, 2013

2. Skala Deskriptif (Verbal Descriptor Scale)

Skala deskriptif adalah alat pengukur tingkat keparahan yang

lebih objektif.Skala deskriptif merupakan sebuah garis yang terdiri

dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak

yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari

“Tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat

menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih

intensitas nyeri terbaru yang klien rasakan.Perawat juga menanyakan

seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri

terasa tidak menyakitkan(Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo,

2013). Skala tersebut seperti gambar dibawah ini:

25
Gambar 2.3 Skala Deskriptif
Sumber : Sulistyo Andarmoyo, 2013.

3. Skala analog (Visual Analog Scale)

Skala analog adalah garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang

mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendekskripsi verbal pada

setiap ujungnya.Pasien diminta untuk menunjukkan titik pada garis yang

menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut.Ujung kiri

biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung

kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang paling buruk”. Untuk

menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang

dibuat pasien pada garis “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam

centimeter (Smeltzer, 2002 dalam Andarmoyo, 2013). Skala analog seperti

gambar dibawah ini:

Gambar 2.4 Skala Analog


Sumber : Sulistyo Andarmoyo, 2013

26
PENCEGAHAN

Pencegahan apendisitis sebgai berikut:

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap


kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh
kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:

 Diet tinggi serat


Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi
serat dan insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian
membuktikan bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk
kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai
kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu
mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak
terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
 Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran
feces. Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar
volume feces dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu
yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu
keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi
feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan
tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces
memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks
dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan pada appendiks.
 Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar
juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara
keseluruhan.

27
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat
untuk mencegah timbulnya komplikasi.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi
utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi
perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

KOMPLIKASI

1) Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau


makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar.
2) Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus, atau usus besar.
3) Perforasi
4) Peritonitis
5) Syok septik
6) Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7) Gangguan peristaltik
8) Ileus

PENATALAKSANAAN

Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis : Puasakan dan Berikan analgetik dan
antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala n Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat pemeriksaan
fisik. n Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi. n Berikan
antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan
Laparotomy Perawatan appendicitis tanpa operasi n Penelitian menunjukkan

28
pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk Appendicitis acuta bagi
mereka yang sulit mendapat intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut
lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi
Rujuk ke dokter spesialis bedah. Antibiotika preoperative n Pemberian antibiotika
preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post opersi. n Diberikan
antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob n
Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah. n Antibiotik
profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan
antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan
Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat,
termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus
viridans, Klebsiella, dan Bacteroides. Teknik operasi Appendectomy 2,,5 A. Open
Appendectomy 1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan
kulit: Horizontal Oblique 3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a. Pararectal/
Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial.
Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascia
ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan karena bila terjahit hanya
satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis. 2 lapis M.rectus abd. sayatan b. Mc
Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut
otot. Lokasi insisi yang sering digunakan pada Appendectomy B. Laparoscopic
Appendectomy Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat
dipakai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen
dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk
pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan
penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta sangat mudah dengan
menggunakan laparoskop

29
BAB III KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix

vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada

anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah

emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja Gejala

appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel

dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam

beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi

lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering

diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendicitis baru

diketahui setelah terjadi perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan

pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis

appendicitis.

30
31

Anda mungkin juga menyukai