Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Kontak Akibat Kerja


2.1.1 Definisi

Menurut Krishnan, dkk. (2013) dermatitis merupakan kondisi inflamasi

kulit yang bervariasi dari segi keparahannya, bersifat non-infectious, dan tidak

dapat menular dari satu orang ke orang lain. Menurut Sjamsoe (2005), dermatitis

merupakan peradangan pada kulit yang bersifat akut, subakut, ataupun kronis dan

dapat dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya konstitusi, iritan, alergen, panas,

stress, infeksi, dll, sedangkan dermatitis kontak merupakan kelainan kulit yang

bersifat polimorfi yang diakibatkan oleh kontak kulit dengan bahan eksogen.

Menurut Michael (2005), dermatitis kontak adalah suatu respon inflamasi kulit

terhadap antigen atau iritan yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan merupakan

kelainan kulit yang paling banyak diderita pekerja, sedangkan dermatitis kontak

akibat kerja (DKAK) merupakan penyakit kulit dimana paparan di tempat kerja

merupakan kontributor utama timbulnya dermatitis.

2.1.2 Epidemiologi

Menurut American Academy of Dermatology (1994), 90% penyakit kulit

akibat kerja merupakan dermatitis kontak. Dermatitis kontak akibat kerja

merupakan penyakit yang paling sering dilaporkan dengan angka kejadian 5-9

kasus per 10.000 karyawan kerja full-time setiap tahunnya (Belsito, 2005).

6
7

Gambar 2.1
Dermatitis kontak akibat kerja di Britania Raya periode 1996-2014
Sumber: (Darnton, 2014)

Menurut Krishnan dkk., didapatkan 29.000 orang memiliki masalah kulit

yang berkaitan dengan pekerjaan. Pada tahun 2005 hasil survey menunjukkan

penyakit kulit akibat kerja dengan insiden 4,4 kasus per 10.000 pekerja full time.

(Krishnan dkk.,2013). Menurut Keefner (2004), dermatitis kontak iritan

mempunyai persentase sebesar 80% dan dermatitis kontak alergi memiliki

persentase sekitar 10-20%. Menurut Cahill dkk. (2012), secara epidemiologi

diperkirakan dermatitis kontak berkisar antara 79-95% dari seluruh kasus penyakit

kulit akibat kerja. Menurut Susanti, di Indonesia, data di RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa insiden DKAK pada tahun 1996

adalah 50 kasus per tahun atau 11,9% dari seluruh kejadian dermatitis kontak.

Data dari Balai Hiperkes Depnaker RI juga menunjukkan angka kejadian DKAK

yang tinggi yaitu sekitar 80% dari total penyakit kulit akibat kerja (Susanti, 2010).
8

2.1.3 Jenis Dermatitis Kontak

Ada 2 tipe dermatitis disebabkan oleh zat yang kontak dengan kulit,

yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergi (DKA).

1. Dermatitis kontak iritan

Beberapa substansi bekerja sebagai iritan yang memproduksi reaksi inflamasi

non-spesifik di kulit. Paparan sebelumnya tidak diperlukan dan efek yang terjadi

dalam hitungan menit atau jam. Kulit kering cenderung reaktif terhadap

kontaktan. Kulit tebal kurang reaktif dibandingkan kulit tipis. Paparan berulang

dalam jangka waktu tertentu dapat menyebakan efek pengerasan dan membuat

kulit lebih resisten terhadap paparan zat yang diberikan (James, 2011).

2. Dermatitis kontak alergi

Menurut Palomo dkk. (2011), DKA adalah reaksi imunologi tipe lambat (tipe IV)

terhadap respon kontak dengan alergen pada individu yang telah tersensitisasi.

Dermatitis kontak alergi terjadi sebagai hasil dari proses fisikokimia dan proses

imun (Martins dan Reis, 2011). Tipe ini dilaporkan frekuensinya lebih jarang

daripada DKI di lingkungan kerja (Honari, 2012). Jumlah penderita DKA

cenderung lebih sedikit dibandingkan DKI karena hanya mengenai orang yang

kulitnya ipersensitif. Dermatitis kontak alergi lebih sering diakibatkan bukan oleh

pekerjaan dibandingkan oleh pekerjaan (Sularsito dan Djuanda, 2011)


9

Tabel 2.1
Perbedaan dermatitis kontak alergi dan iritan

Variabel Dermatitis kontak Dermatitis kontak


iritan alergi
Orang yang berisiko Atopik Predisposi secara
genetik
Mekanisme Multifaktor, gangguan Tipe IV (reaksi
pelindung epidermal hipersensitivitas
tertunda yang di
mediasi oleh sel-T)
Mode onset Cepat dengan iritan kuat 12-72 jam (harus
(menit hingga jam), tersensitisasi
gradual dengan iritan terlebih dahulu)
lemah dimana pelindung
epidermal menjadi lemah
Distribusi Lokasilasi Terlokalisasi atau
menyebar
Morfologi Eritema, bersisik, fisur,
mungkin terdapat vesikel,
sulit untuk dibedakan
secara klinis
Diagnosis Riwayat dan pemeriksaan Uji temple
Ekslusi dermatitis kontak
alergi
Sumber: (Hannam dan Nixon, 2013)

2.1.4 Etiologi dan Patogenesis

1. Dermatitis kontak iritan

Bahan iritan yang dapat menyebabkan dermatitis kontak adalah bahan

yang dapat menyebabkan kerusakan sel bila dioleskan pada kulit. Bahan

iritan dapat diklasifikan menjadi iritan kuat, rangsangan mekanik, bahan

kimia, dan bahan biologis (Harahap 2000). Penyebab yang mungkin dari

DKI adalah pembersih, deterjen, asam atau basa, minyak, larutan,

tumbuhan dan hewan, fiberglass (PHSA, 2012). Bahan iritan yang kuat

menyebabkan nekrosis sel epidermis dan menimbulkan reaksi dalam


10

hitungan jam, tapi dalam beberapa kasus efeknya lebih kronis

(Gawkrodger, 2002).

Menurut Sasseville, DKI disebabkan oleh aksi sitotoksik langsung oleh

agen perusak pada sel epidermis dan dermis. Permukaan kulit berubah

sebagai hasil dari perubahan pelindung epidermal, kerusakan seluler,

trans-epidermal waterloss, dan inflamasi sekunder keluarnya peptida

vasoaktif dan sitokin proinflamasi. Bahan iritan kumulatif merupakan zat

yang lebih lemah seperti detergen atau larutan yang memerlukan aplikasi

berulang (Sasseville, 2008).

2. Dermatitis kontak alergi

Dermatitis kontak alergi dapat disebabkan oleh logam, zat aditif, karet,

antioksidan, biosida, fragrance, dan DKI sebagai pencetus (PSHSA,

2012). Dermatitis kontak alergi disebabkan oleh bahan kimia sederhana

dengan berat molekul rendah dan merupakan alergen yang disebut hapten.

Reaksi imunologi tipe IV terjadi melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan

fase elisitasi. Individu yang dapat mengalami DKA hanya yang telah

melalui fase sensitisasi (Afifah, 2012).

a. Fase sensitisasi

Bahan kimia merupakan antigen incomplete atau hapten akan

ditangkap oleh antigen presenting cell (APC) kemudian terikat dengan

protein major histocompatibility complex dan mengekspresikan

kembali ke permukaan untuk menjadi complete antigen. Antigen

presenting cell bermigrasi ke limfonodi lokal dimana mereka


11

mempresentasikan pembentukan alergen baru ke sel T. Limfosit ini

kemudian melakukan proliferasi klonal dan diferensiasi menjadi

efektor CD4 dan CD8, supresor, dan sel memori yang dibawa ke aliran

darah dan menuju kulit. Proses ini memerlukan waktu sekitar 10-15

hari dan jarang menimbulkan lesi kulit yang terlihat (Sasseville, 2008).

b. Fase elisitasi

Untuk menemukan alergen, sel T harus menembus dermis dan

mencapai keratinosit yang dimodifikasi oleh antigen dimana ia akan

bekerja. Seluruh bagian ini diregulasi oleh kemokin dan molekul

adhesi yang diekspresikan yang diekspresikan di jaringan dan dikenali

oleh T lymhocyte (TL). Aktivasi TL mempresentasikan homing

antigen yaitu cutaneous lymphocyte antigen (CLA), very late antigen-

4 (VLA-4), dan reseptor kemokin. CLA terikat dengan E-selektin yang

diekspresikan di sel endotel di stimulasi oleh adanya antigen di kulit.

Di dermis, VLA-4 dan VLA-5 dari TL terikat dengan fibronektin yang

memfasilitasi transit sel di medium ini. Kemokin mengarahkan

limfosit ke epitelium dan hubungan antara intercellular adhesion

molecule-1 (ICAM-1), di ekspresikan di keratinosit, dan leukosit

fungsional antigen-1 (LFA-1) leukosit memulai interaksi interaksi

antara sel-sel tersebut. Limfosit memproduksi respon inflamasi untuk

mengeliminasi keratinosit yang dimodifikasi oleh antigen. Sel ini

merilis jumlah besar interferon gamma yang menstimulasi sel T

lainnya (Martins dan Reis, 2011).


12

Gambar 2.2
Patofisiologi dermatitis kontak alergi
Sumber: (Martins dan Reis, 2011)

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak merupakan multifaktorial, secara umum dibagi menjadi 2 yaitu

faktor endogen dan faktor eksogen.

2.1.5.1 Faktor endogen

1. Jenis kelamin dan umur

Perbedaan jenis kelamin dapat dikaitkan pada sosial dan lingkungan

misalnya jenis pekerjaan. Dermatitis kontak alergi pada anak cenderung

jarang terjadi. (Palomo dkk., 2011). Keparahan DKAK jika dinilai

berdasarkan derajat keparahan didapat hasil yang signifikan lebih tinggi

pada pasien usia >40 tahun (Caroe dkk., 2013). Pada orang tua terjadi

penurunan fungsi pelindung epidermal dan melambatnya perbaikan kulit


13

setelah terjadi luka meningkatkan kemungkinan terjadinya dermatitis

kontak (Palomo dkk., 2011).

2. Ras

Orang berkulit hitam kurang rentan pada sensitisasi oleh alergen yang

lebih lemah dan memiliki insiden rendah terjadinya dermatitis kontak

karena kompaksi komponen lipid stratum korneum, memberi peningkatan

fungsi pelindungan kulit (Palomo dkk., 2011).

3. Genetika

Genetika mengatur kemampuan tubuh dalam mereduksi radikal bebas,

kadar enzim antioksidan, dan perlindungan terhadap trauma suhu. Setiap

individu memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda terhadap bahan kimia

(Afifah, 2008).

4. Riwayat atopi

Dermatitis atopi merupakan faktor risiko yang paling penting untuk

dermatitis (Palomo, 2011). Riwayat atopi juga menyebabkan penurunan

ambang batas dermatitis akibat kerusakan pelindung kulit dan menurunnya

proses penyembuhan (Afifah, 2012).

5. Lokasi kulit

Terdapat perbedaan fungsi yang signifikan antara fungsi pelindung yang

membuat kulit wajah, leher, skrotum, dan dorsal tangan lebih rentan
14

terhadap dermatitis kontak khususnya yang bersifat iritan. Telapak tangan

dan telapak kaki lebih resisten (Amado, 2012).

6. Riwayat penyakit kulit sebelumnya

Penyakit kulit yang pernah diderita pekerja menyebabkan pekerja menjadi

lebih rentan untuk terserang dermatitis kontak yang diakibatkan oleh

pekerjaannya saat ini . Bekas yang ditinggalkan oleh penyakit sebelumnya

dapat menjadi predisposisi dermatitis kontak (Cahyawati dan Budiono,

2011)

2.1.5.2 Faktor eksogen

1. Karakteristik paparan

Meliputi lama kontak, jumlah, konsentrasi, tipe dan frekuensi kontak,

paparan simultan terhadap iritan lain, dan interval setelah paparan

sebelumnya. Ketika satu atau lebih iritan digunakan bersamaan atau secara

simultan, efek sinergis atau antagonis dapat terjadi sebagai konsekuensi

interaksi sel spesifik antar senyawa, atau perubahan permeabilitas kulit

(Amado, 2012). Menurut Indrawan dkk. (2014), semakin lama kontak

dengan bahan kimia akan menyebabkan peradangan dan iritasi kulit

sehingga menyebabkan kelainan kulit yang dapat meningkatkan kejadian

dermatitis kontak.

2. Bahan kimia
15

Hal yang harus dinilai dari bahan kimia yang terlibat dalam proses kerja

antara lain pH, keadaan fisik, konsentrasi, struktur molekul, jumlah,

polarisasi, ionisasi, dan solubilitas (Amado, 2012).

3. Faktor lingkungan

Kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembaban udara akan

mempengaruhi fisiologis kulit. Kelembaban udara yang rendah dan udara

dingin dapat mengurasi kandungan air stratum korneum dan membuat

kulit semakin rentan terhadap iritasi (Amado, 2012).

4. Faktor mekanis

Faktor mekanis meliputi paparan yang terjadi diakibatkan oleh proses

kerja seperti tekanan, friksi, dan abrasi yang menyebabkan kulit menjadi

terkikis dan bahan iritan semakin mudah untuk masuk dan mengiritasi

kulit.

5. Masa kerja

Masa kerja berkaitan dengan lama kontak dan frekuensi kontak dengan

bahan kimia. Semakin sering pekerja mengalami kontak maka risiko dan

tingkat keparahan dermatitis kontak akan semakin tinggi pula (Afifah,

2012)

2.1.6 Gejala Klinis


16

Dermatitis kontak dapat mengenai bagian apapun jika pada daerah

khusus menunjukkan kesan adanya kontak dengan objek tertentu (Gawkrodger,

2002).

Gambar 2.3
Petunjuk distribusi pada dermatitis kontak
Sumber: (Gawkrodger, 2002)

Lesi akut dimulai sebagai eritematosa pruritik dan edema, plak mirip

urtikaria yang dengan cepat diikuti munculnya vesikel dan kadang-kadang juga

bula. Eritema dan edema masih terdapat pada fase subakut, namun vesikulasi

menjadi samar-samar dan digantikan oleh erosi, krusta, dan deskuamasi. Dalam

kondisi lama, kasus kronis, kulit menjadi kering dan terlihat kasar, fisura, keabu-

abuan, dan menebal dengan peningkatan garis kulit, proses ini disebut likenifikasi

(Sasseville, 2008).

1. Dermatitis kontak iritan

Tipe klinis DKI bervariasi berdasarkan jenis bahan iritannya, missal

ulserasi (asam dan basa kuat), folikulitis (minyak), dan hiperpigmentasi

(logam kuat). Terdapat 10 tipe klinis DKI yang telah digambarkan, antara

lain reaksi iritasi, DKI akut, iritasi akut tertunda, DKI kronik kumulatif,
17

iritasi subjektif, iritasi suberitema, dermatitis fraksional, reaksi traumatik,

reaksi akneiformis, dan eksim iritan asteatotik (Amado, 2012).

2. Dermatitis kontak alergi

Gejala klinis DKA terdiri dari 2 fase yaitu akut dan kronis (Sularsito dan

Djuanda, 2011; Harahap, 2000 ):

a. Fase akut: timbulnya bercak eritema dengan batas jelas, diikuti edema,

papulovesikel, vesikel, dan bula. Jika vesikel atau bula pecah akan

mengakibatkan erosi dan eksudat yang ketika mengering akan

menimbulkan krusta.

b. Fase kronis: kulit terlihat kering, timbul skuama, papul, likenifikasi,

fisur, batas tidak jelas, dan hiperpigmentasi.

Tabel 2.2
Perbedaan gambaran klinis dermatitis kontak alergi dan iritan

Dermatitis kontak alergi Dermatitis kontak iritan


Kulit kemerahan Pembengkakan ringan kulit
Kering, bersisik Kulit terasa kaku dan keras
Bula Kulit kering dan pecah
Sensasi terbakar atau perih Bula
Pembengkakan Reaksi terlokalisasi
Gatal-gatal
Penggelapan atau kulit pecah-
pecah
Reaksi menyebar di area
dimana kontak terjadi
Sumber: (Krishnam, 2013)

Disamping dilihat dari respon inflamasinya, lokasi gambaran klinis

dermatitis kontak juga dapat membantu menentukan etiologinya (Suryani, 2011).


18

Tangan merupakan lokasi yang paling sering mengalami dermatitis kontak karena

tangan merupakan bagian yang paling dominan kontak dengan zat-zat terutama

dalam proses kerja (Hannam dan Nixon, 2013).

Gambar 2.4
Dermatitis kontak pada telapak tangan
Sumber: (Hannam dan Nixon, 2013)

2.1.7 Diagnosis

Pada pasien yang menunjukkan dermatitis yang berkaitan dengan tempat

kerja dan menentukan apakah dermatitis tersebut iritan atau alergi, dokter

pemeriksa harus memverifikasi diagnosis dengan mengkonfirmasi bahwa

dermatitis diperparah oleh paparan di tempat kerja (Fonacier dkk. 2015). Mathia

memaparkan7 kriteria objektif yang membentuk kerangka kerja untuk diagnosis

yang benar dari dermatitis kontak akibat kerja. Jika 4 kriteria ini terpenuhi, klinisi

dapat menyimpulkan dermatitis mungkin disebabkan oleh pekerjaan (Sasseville,

2008).

Tabel 2.3
Kriteria Mathia untuk dermatitis kontak akibat kerja
19

No Kriteria dermatitis
1 Gambaran klinis konsisten dengan kontak dermatitis
2 Paparan di tempat kerja terhadap iritan atau allergen potensial yang
berhubungan dengan kulit
3 Distribusi anatomis konsisten dengan paparan pada kulit yang
berhubungan dengan pekerjaan
4 Hubungan sementara antara paparan dan onset konsisten dengan
dermatitis kontak
5 Paparan yang bukan dari pekerjaan di eklusi sebagai penyebab
6 Menghilangkan paparan memicu perbaikan dari dermatitis
7 Uji tempel atau provokasi melibatkan paparan di tempat kerja spesifik
Sumber: (Sasseville, 2008)

Diagnosis dermatitis kontak harus diawali anamnesis yang sistematik

untuk mendapatkan informasi sedetail mungkin dari pasien. Tahap-tahap umum

dalam mendiagnosis dermatitis kontak antara lain:

1. Riwayat

Menggali riwayat pasien harus dilakukan secara lengkap dan koheren,

mulai dari onset dermatitis, lokasi awal, dan evolusi berikutnya. Klinisi

juga harus menanyakan mengenai penanganan yang pernah diberikan,

riwayat liburan, nama, alamat, dan data pribadi pasien lainnya,

penggunaan alat perlindungan diri, hobi, kebiasaan pribadi, riwayat

penyakit kulit sebelumnya kosmetik, dan penggunaan bahan topical.

Pasien juga harus menyertakan Material Safety Data sheets (MSDs) dari

semua produk yang digunakan selama proses kerja (Sasseville, 2008)

2. Pemeriksaan fisik

Ketika memeriksan area yang terkena, dokter harus mencatat keparahan

dermatitis, distribusinya, dan derajat seberapa pengaruhnya terhadap

fungsi (Sasseville, 2008).


20

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Dermatitis kontak alergi harus diinvestigasi dengan uji tempel yang

dilakukan oleh dermatologis. Sampel zat terdilusi berdasarkan standar

internasional diletakkan pada disk kecil yang dipasang pada strip

hipoalergi. Tempelan ini kemudian diletakkan di punggung pasien selama

kira-kira 48 jam (selama uji ini pasien tidak boleh basah). Biasanya lebih

dari 80 tes akan di aplikasikan. Iritan kulit yang diketahui sebaiknya tidak

dilakukan tes karena akan dapat menimbulkan reaksi seperti terbakar dan

skar pada kulit. Tes akan diinterpretasikan sekitar 15 menit setelah

mengangkat tape. Pembacaan kedua dilakukan setelah 48-72 jam

kemudian, hal tersebut membantu untuk menentukan reaksi iritasi (yang

menghilang) dan reaksi alergi sebenarnya. Reaksi positif muncul

kemerahan dan gatal. Hasil uji tempel kemudian di kategorikan sebagai

negatif atau lemah (+) dengan gejala nonvesikular, eritema, dan papul,

kuat (++) dengan gejala edematous atau vesicular, dan ekstrim (+++)

dengan gambaran terdapat bula dan ulserasi (Hannam dan Nixon, 2013).

2.1.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dibuat berdasarkan dua prinsip, yaitu pertama

diagnosis nosologi yang tepat untuk mengeklusi penyakit-penyakit yang tidak

disebabkan oleh pekerjaan, dan kedua identifikasi agen etiologis yang mendasari

dermatitis kontak akibat kerja (Afifah, 2012).

Diagnosis banding dermatitis kontak antara lain (Hannam dan Nixon, 2013):
21

1. Urtikaria kontak

2. Eksim endogen termasuk diantaranya eksim atopik, eksim tangan (yang

sebelumnya disebut pompholyx atau eksim dishidrotik), eksim diskoid,

pada orang dengan riwayat psoriasis, eksim atau dermatitis kontak dapat

muncul sebagai hyperkeratotic-like psoriasis.

3. Psoriasis khususnya yang terjadi di daerah friksi

4. Tinea (infeksi jamur) khususnya jika unilateral pada tangan.

5. Reaksi autoeksematisasi (khususnya yang berhubungan dengan inflamasi

tinea pedis)

6. Erupsi fotosensitisasi yang sering disebabkan oleh obat dan porphyria

cutanea tarda.

2.2 Pencegahan Dermatitis Kontak Akibat Kerja

Pencegahan primer bertujuan untuk menghindari onset penyakit. Berikut

adalah daftar pengukuran control untuk pencegahan penyakit kulit akibat kerja

(PHSA, 2012):

1. Eliminasi: menghapus bahan penyebab dari tempat kerja.

2. Substitusi: mengganti bahan berbahaya dengan zat yang lebih aman.

3. Kontrol mesin: automatisasi proses, ventilasi.

4. Kontrol administrasi: penerapan keselamatan kerja, pengawasan

kesehatan.
22

5. Alat perlindungan diri: sarung tangan, kacamata pelindung.

Pada pengrajin patung, daerah yang paling sering kontak dengan zat

kimia adalah tangan. Sarung tangan merupakan salah satu jenis proteksi yang

kerap digunakan. Sangat penting untuk melepas sarung tangan secara regular

karena keringat dapat memperparah adanya dermatitis. Mengidentifikasi bahan

penyebab merupakan sesuatu yang esensial dalam penanganan dan pencegahan

dermatitis kontak (Bourke et al., 2008). Pekerja dengan risiko dermatitis kontak

juga harus diberikan edukasi yang tepat terkait dermatitis. Prinsip higienitas

tangan, dan penggunaan krim (emollients) sebelum dan sesudah bekerja (Adisesh,

2011).

2.3 Industri Kerajinan Patung

Kerajinan patung berbahan dasar kayu merupakan salah satu produk

kerajinan khas daerah Ubud, Bali. Patung yang dihasilkan mulai dari yang

berukuran kecil hingga besar dan biasanya menunjukkan bentuk yang menyerupai

mitos dewa-dewi. Industri ini bergerak mulai dari tingkat rumah tangga hingga

pabrik produksi yang besar. Kebanyakan pekerjanya adalah ibu-ibu rumah tangga

di sekitaran wilayah Ubud. Karena permintaan yang tinggi dari wisatawan

mancanegara, nilai jual karya seni ini juga terbilang sangat tinggi. Maka dari itu

minat masyarakat untuk bekerja di bidang ini juga cukup banyak. Proses

pembuatan patung memerlukan keahlian khusus agar menghasilkan bentuk yang

proporsional. Lama pengerjaan tergantung ukuran patung dan seberapa rumit

teknik yang digunakan dalam proses pembuatannya. Menurut Leino (2000),

pengerasan kulit sering terjadi pada tangan, terdapat pula kalositis pada jari dan
23

telapak tangan akibat penekanan berkepanjangan dengan peralatan pahat. Abrasi

ringan dan luka sayat juga tidak jarang terjadi.

Tabel 2.4

Zat yang dicurigai menjadi penyebab dermatitis kontak pada


pengrajin kayu

Nama zat Terkandung pada


Potasium dikromat Bahan pengawet kayu
Carba mix Pegangan perkakas
Thiuram mix Pegangan perkakas
Mercaptobenzothiazole Pegangan perkakas
Formaldehid Agen pembersih
Epoxy resin Bahan perekat
Colophony Pernis, pengering cat
Paratertiarybutyl-phenol- Bahan perekat
formaldehyde resin
Cobalt chloride Pengering pada pernis
Sumber: (Leino, 2000)

Menurut Adams, zat kimia yang dapat menyebab dermatitis kontak pada

pemahat kayu antara lain cobalt chloride 2% petrolatum, pentachlorophenol 1 %

aqueus, phenol formaldehyde resin 10% petrolatum yang mungkin terdapat pada

perekat dan lem, toxicodendron, frullania, dan turpentine 10% olive oil (Adams,

1995).

Proses pembuatan patung menurut yang dilakukan oleh pengrajin di Desa

Mas antara lain pembuatan sketsa, proses pemahatan, pengalusan dengan amplas,

penyemiran atau pengecatan, dan penyikatan dengan sikat kering. Pada proses

pemahatan, pengrajin mengalami kontak dengan bahan berupa serbuk kayu dan

logam dimana serbuk kayu bersifat sebagai iritan dan logam bersifat alergen. Pada

proses penghalusan, pengamplasan, dan penyikatan pengrajin mengalami friksi

sehingga berisiko menimbulkan trauma pada kulit, penebalan, dan kulit kering

serta mengelupas.
24

Pada proses penyemiran, menurut Olaoye (2013), pekerja mengalami

kontak dengan larutan pewarna, wax, pernis polyurethane, dan pewarna kayu

yang pada umumnya mengandung mineral seperti turpentine yang bersifat toksik

ketika kontak dengan kulit. Proses ini menjadi ancaman kesehatan dan keamanan

yang luas akibat volume dari bahan kimia yang terlibat. Bahaya kimia juga dapat

meliputi asam, petroleum, dan material berserat. Berdasarkan Ministry of Labour

(2013), bahaya kimia dapat masuk ke tubuh melalui inhalasi, ingesti, dan kontak

dengan kulit.

Anda mungkin juga menyukai