Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................... 2
BAB 1 Pengertian serta ruang lingkup Akhlak, Etika, Moral, Susila, dan Manfaat
Mempelajarinya ......................................................................................... 3
BAB 2 Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lain ................................................. 8
BAB 3 Akhlak Baik dan Buruk serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ..... 19
BAB 4 Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Hati Nurani ........................................ 26
BAB 5 Hak, Kewajiban, dan Keadilan .................................................................. 30
BAB 6 Pembentukan Akhlak Islami ..................................................................... 35
BAB 1
Pengertian serta ruang lingkup Akhlak, Etika, Moral, Susila,
dan Manfaat Mempelajarinya

Peta Konsep:

AKHLAK

DEFINISI CIRI-CIRI RUANG KARAK-


LINGKUP
TERISTIK

ETIKA MORAL

A. Pengertian dan Ciri Akhlak


Secara bahasa akhlak berasal dari kata ‫ اخالق‬yang merupakan bentuk jamak dari kata
‫( خلق‬khuluq), dari fiil madi khalaqa (‫) خلق‬, artinya perangai, kebiasaan, watak, peradaban
yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata khuluq (mufrad).
Menurut Istilah, akhlak adalah:
1. Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
2. Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Ciri Perbuatan Akhlak:


1. Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3. Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan
dari luar.
4. Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5. Dilakukan dengan ikhlas.

1
B. Etika, Moral, dan Akhlak
1. Etika
• Secara bahasa etika berasal dari bahasa Yunani; ethos; yang berarti watak kesusilaan
atau adat. Etika dalam kamus diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak.
• Menurut istilah etika adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruk dan
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia (Ahmad Amin).
• Konsep etika bersifat humanistis dan anthropocentris, karena didasarkan pada
pemikiran manusia dan diarahkan pada perbuatan manusia. Dengan kata lain etika
adalah aturan yang dihasilkan oleh akal manusia.
• Komponen yang terdapat dalam etika meliputi 4 hal:
1. Objek, yaitu perbuatan manusia.
2. Sumber, berasal dari pikiran atau filsafat.
3. Fungsi, sebagai penilai perbuatan manusia.
4. Sifat, berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
2. Moral
• Secara bahasa berasal dari kata mores (latin) yang berarti adat kebiasaan. Dalam
kamus moral diartikan sebagai penentuan baik dan buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.
• Istilah: moral merupakan istilah untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,
kehendak, pendapat, yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau
buruk.
• Acuan moral adalah sistem nilai yang hidup dan diberlakukan dalam masyarakat.
• Persamaan antara moral dan etika terletak pada objeknya yaitu: perbuatan manusia.
• Perbedaan keduanya terletak pada tolok ukur penilaian perbuatan. Etika
menggunakan akal sebagai tolok ukur, sedangkan moral menggunakan norma
yang hidup dalam masyarakat.
3. Susila
• Berasal dari bahasa Sanskerta, Su: artinya baik, dan susila: artinya prinsip, dasar,
atau aturan.
• Susila atau kesusilaan diartikan sebagai aturan hidup yang lebih baik, sopan, dan
beradab.

2
• Kesusilaan merupakan upaya membimbing, memasyarakatkan hidup yang sesuai
dengan norma/nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Persamaan Etika, Moral, dan Akhlak


• Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai
dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
• Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
1. Objek: yaitu perbuatan manusia
2. Ukuran: yaitu baik dan buruk
3. Tujuan: membentuk kepribadian manusia

Perbedaan Etika, Moral, dan Akhlak


Aspek Akhlak Etika Moral
Sumber Acuan Wahyu Akal Adat istiadat
Sifat Pemikiran Teologis Filosofis Empiris
Proses munculnya Tanpa pertimbangan Muncul dari ide Pertimbangan suasana
Sifat Tetap Relative Relatif

C. Karakteristik Akhlak dalam Ajaran Islam


1. Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci. Akhlak yang bersifat umum
misalnya: berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, munkar, dan
permusuhan (Surat An-Nahl: 90). Akhlak yang terperinci seperti: larangan untuk saling
mencela serta memanggil dengan panggilan yang buruk (Al Hujurat: 12).
2. Akhlak bersifat menyeluruh, yaitu meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah
khusus kepada Allah, maupun dalam hubungan dengan sesama manusia.
3. Akhlak sebagai buah iman, karena karakter dasar akhlak berkaitan dengan keimanan.
Iman itu akarnya, ibadah adalah batang, ranting, dan daunnya, sedang akhlak adalah
buahnya.

Ruang lingkup Kajian Ilmu Akhlak:


a. Akhlak kepada Allah: yaitu bersikap sebagai seorang hamba Allah. Alasan perlunya
akhlak terhadap Allah karena:
1. Allah telah menciptakan manusia

3
2. Allah memberi kelengkapan panca indra
3. Allah menyediakan sarana kehidupan
4. Allah memberikan kemampuan atau keahlian
b. Akhlak kepada Rasulullah Saw, sebagai bentuk peneladanan dan kecintaan terhadap
perbuatan Rasul.
c. Akhlak kepada pribadi dan sesama manusia, bertumpu pada amar ma’ruf nahy munkar.
d. Akhlak kepada lingkungan; bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah,
menyangkut: pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian.

D. Sejarah Perkembangan Akhlak


Ditelusuri dari aspek kebangsaan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Akhlak pada bangsa Yunani
• Ditandai dengan munculnya Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana.
• Dasar pemikirannya: rasionalistik, baik dan buruk didasarkan pada pertimbangan akal
pikiran. Argumentasinya didasarkan pada filsafat tentang manusia (anthropocentris),
terkait dengan kejiwaan manusia. Akhlak adalah sesuatu yang fitri yang ada dalam diri
manusia.
• Tokohnya:
- Socrates (469-399 SM): membentuk pola hubungan antara manusia dengan dasar ilmu
pengetahuan.
- Plato (427-347 SM): mengemukakan teori contoh, yaitu apa yang terdapat pada
lahiriyah sebenarnya telah ada contoh sebelumnya yang ada dalam bayangan dari yang
tidak tampak (alam rohani atau alam ide). Teorinya ini terdapat dalam bukunya:
Republik.
- Aristoteles (394-322 SM): mengemukakan teori pertengahan; yang baik adalah yang
berada di tengah-tengah. Tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan. Untuk mencapai
kebahagiaan adalah dengan menggunakan ilmu pengetahuan.

B. Akhlak pada Agama Nasrani


• Dasarnya adalah teocentris, Tuhan adalah sumber akhlak.
• Tuhan yang menentukan dan membentuk patokan akhlak.
• Menekankan pada aspek sufistik (dimensi batin).
• Pendorong kebaikan adalah cinta dan iman kepada Tuhan berdasarkan kitab Taurat.

4
C. Akhlak pada bangsa Romawi
• Dibangun berdasarkan perpaduan antara ajaran Yunani (anthropocentris) dengan
ajaran Nasrani (Teocentris).
• Tokohnya: Abelard (1079-1142 M) dari Perancis, dan Thomas Aquinas (1226-1274
M) dari Italia.

D. Akhlak pada Agama Islam


• Titik pangkal pada wahyu Tuhan dan akal manusia.
• Al-Qur’an memberi perhatian besar pada pembinaan akhlak.
• Nabi menjadi role model dalam pembinaan akhlak dalam penyebaran Islam.

5
BAB 2
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lain

A. HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TASAWUF


Pada umumnya para ahli Ilmu Tasawuf membagi tasawuf ke dalam tiga bagian, yakni
tasawuf falsafi, akhlaki, dan amali. Ketiga tasawuf ini bertujuan sama yaitu mendekatkan diri
kepada Allah dengan membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan mengisi diri dengan
perbuatan yang terpuji. Jadi untuk mencapai tujuan ini seseorang harus lebih dulu berakhlak
mulia.
Pada tasawuf falsafi digunakan pendekatan rasio atau akal pikiran di kalangan para
filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, dan lain-
lain. Pada tasawuf akhlaki digunakan pendekatan akhlak dengan tahapan yang terdiri atas
takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak
yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang/hijab) yang membatasi manusia
dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Pada tasawuf amali pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya berbentuk tarikat.
Pengamalan tasawuf, baik bersifat falsafi, akhlaki, maupun amali, membuat seseorang dengan
sendirinya berakhlak baik. Dengan syarat perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja, sadar,
pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Menurut Harus Nasution, saat mempelajari tasawuf kita mendapati kenyataan bahwa al-
Quran dan al-Hadits mementingkan akhlak. Kedua sumber ajaran Islam tersebut menekankan
manusia untuk memiliki karakter dan berprilaku yang mulia. Kemuliaan akhlak akan memberi
nilai tersendiri bagi manusia. Nilai-nilai tersebut harus meresap ke dalam diri manusia
semenjak kecil.
Dalam tasawuf, perkara ibadah sangat ditekankan karena dalam bertasawuf hakikatnya
adalah melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan sebagainya,
dengan tujuan ibadah tersebut semata adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah erat
kaitannya dengan akhlak. Al-Quran mengaitkan ibadah dengan ketakwaan, dan takwa artinya
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, artinya berbuat baik dan menjauhi
perbuatan buruk. Ini merupakan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak manusia pada
kebaikan dan mencegah dari keburukan. Intinya, manusia yang bertakwa adalah manusia yang
berakhlak mulia. Harun Nasution memaparkan bahwa kaum sufi adalah kaum yang
pelaksanaan ibadahnya memberi pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Dalam istilah

6
sufi ini disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti
Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yakni mensifati diri dengan sifat-sifat Allah.

B. HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TAUHID


Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas mengenai cara-cara meng-Esakan Tuhan,
yakni Esa merupakan salah satu sifat terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Ilmu Tauhid
disebut pula Ilmu Ushul al-Din. Dinamai demikian karena perkara tauhid merupakan perkara
pokok dalam Islam. Disebut pula ilmu ‘aqa’id, kredo atau keyakinan-keyakinan. Arti ‘aqa’id
adalah ikatan yang kokoh, karena keyakinan pada Tuhan harus menjadi ikatan yang kokoh
yang tidak boleh dibuka atau dilepaskan begitu saja, bila terjadi dapat menimbulkan bahaya
yang sangat dahsyat bagi manusia. Ikatan yang tidak kokoh dengan Tuhan menyebabkan
seseorang mudah tergoda pada ikatan lainnya yang membahayakan.
Ilmu Tauhid disebut pula Ilmu Kalam, yakni ilmu tentang kata-kata. Jika yang dimaksud
kalam adalah sabda Tuhan, maka maksudnya adalah kalam Tuhan dalam al-Quran. Masalah
ini pernah menimbulkan pembahasan bahkan pertentangan keras di kalangan umat Islam di
abad kesembilan kesepuluh Masehi, bahkan menimbulkan penganiayaan terhadap sesama
Muslim. Sebagian berpendapat kalam Tuhan adalah baharu, makhluk dan diciptakan,
sedangkan pendapat sebagian lainnya mengatakan bahwa kalam Tuhan itu qadim, tidak
diciptakan sebagaimana makhluk. Pendapat pertama dianut Muktazilah dan pendapat kedua
dianut Asy’ariyah dan lainnya.
Apabila yang dimaksud kalam adalah perkataan manusia maka ilmu kalam adalah ilmu
yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan
pendirian masing-masing.
Pada intinya Ilmu Tauhid berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya
Tuhan dengan segala dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Rukun iman termasuk dalam pembahasan
ilmu tauhid. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid setidaknya dapat dilihat dari beberapa
analisis berikut:
1. Berdasarkan objek pembahasannya. Ilmu tauhid membahas masalah Tuhan baik dzat,
sifat, dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang kuat kepada Tuhan akan menjadi landasan
dalam mengarahkan amal perbuatan manusia, sehingga perbuatan tersebut ditujukan
semata karena Allah SWT. Dengan demikian ilmu tauhid melatih perbuatan manusia
menjadi ikhlas, sedangkan keikhlasan adalah salah satu akhlak mulia. Allah berfirman:

7
              

  

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-Bayyinah[98]: 5)
2. Berdasarkan fungsinya, ilmu tauhid menghendaki seseorang tidak cukup dengan hafal
rukun iman dengan dalil-dalilnya saja, melainkan yang paling penting adalah agar
seseorang yang bertauhid meneladani subjek yang terdapat dalam rukun iman tersebut.
Misalnya Allah bersifat ar-rahman dan ar-rahim maka manusia yang bertauhid akan
menebarkan kasih-sayang di muka bumi, malaikat bersifat patuh kepada perintah Allah
maka manusia yang bertauhid akan meniru sifat-sifat terpuji malaikat, serta dengan
meyakini bahwa ada malaikat yang senantiasa mengawasi setiap gerak langkah manusia,
maka orang yang bertauhi akan penuh kehati-hatian dalam berprilaku. Sebagaimana
firman Allah:

            

         

“(Malaikat-malaikat) itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-


Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.” (QS. At-
Tahrim[66]: 6)

        

“Tidak ada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat
pengawa yang selalu hadir.” (QS. Qaaf[50]: 18)
Iman kepada kitab khususnya al-Quran, sewajarnya bagi orang yang bertauhid akan
menjadikan al-Quran itu sebagai hakim dan imam dalam kehidupannya. Keimanan itu terlukis
dalam perbuatannya yang senantiasa berlandaskan al-Quran, sehingga akhlak yang tercermin
merupakan akhlak al-Quran. Sebagaimana hadits:
“Akhlak nabi adalah akhlak al-Quran.” (HR. Ahmad dan Aisyah)

8
Beriman kepada rasul memerlukan bukti dengan mencintai dan mencontoh akhlak-
akhlak para rasul, terutama Rasulullah Muhammad SAW. Allah berfirman:

    

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti mulia.” (QS. Al-


Qalam[68]:4)

                



“Seseungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab[33]: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sekalian, sehingga aku
(Muhammad) lebih dicintainya daripada harta bendanya, orang tuanya, anak-anaknya, dan
manusia lainnya.” (HR. Muslim)
Beriman kepada hari akhir, secara akhlak harus dibarengi dengan upaya menyadari
bahwa segala perbuatan selama di dunia akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat.
Dengan keimanan ini diharapkan manusia termotivasi untuk selalu beramal baik, menjauhi
perbuatan dosa dan ingkar pada Allah. Selanjutnya orang tersebut bertakwa. Allah berfirman:

       

“Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahannam berrombong-rombongan.” (QS. Az-


Zumar[39]: 71)

       

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berrombong-
rombongan (pula).” (QS. Az-Zumar[39]: 73)
Selanjutnya beriman pada qada dan qadar Tuhan juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu
agar orang yang yakin akan qada dan qadar Tuhan senantiasa bersyukur dan ridha terhadap

9
ketetapan Tuhan. Orang-orang yang ridha tidak mudah kecewa atas pengorbanan yang
dialaminya, tidak merasa menyesal hidup kekurangan, tidak iri akan kelebihan yang diberikan
Allah pada orang lain. Dalam hadits qudsi, Rasulullah menegaskan:
“Allah berfirman: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang
sebenarnya selain Aku, maka barangsiapa tidak sabar terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur
terhadap nikmat-Ku dan tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari
kolong langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku.” (HR. Muslim)
Berdasarkan uraian rukun iman, maka dapat disimpulkan bahwa dalam rangka
mengembangkan ilmu akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran Tauhid yang terdiri atas
keimanan-keimanan tersebut:
1. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid juga dapat dilihat dari keeratan antara iman
dan amal shalih. Iman dan amal shalih seringkali disebutkan beriringan dalam al-Quran
maupun al-Hadits. Diantara adalah ayat-ayat berikut ini:

              

    

“Maka demi Tuhan engkau, mereka belumlah dikatakan beriman sebelum mereka
meminta keputusan kepada engkau (Muhammad) dalam perkara yang menjadi perselisihan di
antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas apa yang
engkau putuskan dan mereka menerima dengan senang hati.” (QS. An-Nisa[4]: 65)

             

     

“Ucapan orang yang beriman itu apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
untuk diputuskan perkara di antara mereka, hanyalah mengatakan: Kami dengar dan kami
patuh. Dan itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur[24]: 51)

10
             

           

           

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu apabila disebut nama Allah, hati mereka
penuh ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat (keterangan) Allah,
keimanan mereka bertambah karenanya dan mereka menyerahkan diri kepada Tuhannya.
Mereka mengerjakan sembahyang dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka. Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman.” (QS. Al-Anfal[8]: 2-4)

             

           

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk


dalam sembahyangnya, dan menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak
berguna. Dan yang mengerjakan perbuatan suci (membayar zakat) dan mereka yang menjaga
kesopanan.” (QS. Al-Mu’minun[23]: 1-5)

          

        

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah
dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan
dirinya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (keimanannya).” (QS. Al-Hujurat[49]:
15)
Ayat-ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa keimanan harus dimanifestasikan
dalam bentuk akhlak-akhlak yang mulia, seperti menerima keputusan yang diberikan
Rasulullah, bertawakal, khusyuk, berinfak di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak

11
berfaedah, menjaga kesopanan, dan tidak ragu untuk berjuang di jalan Allah. Inilah letak
hubungan keimanan yang dipelajari dalam ilmu tauhid dengan amal shalih yang melatih akhlak
seseorang.
Hadits-hadits berikut menerangkan pula mengenai hubungan keimanan dengan amal
shalih:
“Tidak sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Seseorang belum dianggap total (sempurna) keimanannya, kecuali ia meninggalkan
kedustaan dari senda guraunya dan meninggalkan pertengkaran walaupun ia termasuk orang
yang benar.” (HR. Ahmad)
“Bukanlah termasuk mukmin (yang baik) yaitu orang yang merasa kenyang (sendiri)
sementara tetangganya yang dekat menderita kelaparan.” (HR. Ahmad)
“Bukanlah termasuk akhlak dari seorang mukmin, yaitu orang yang tidak pernah merasa
cukup dan bersikap iri, kecuali dalam hal mencari ilmu.” (HR. Baihaqi dan Mu’az)
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada
tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia
memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah
ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Akhlak
tampil dalam memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa
akhlak mulia tidak ada artinya, dan akhlak mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh. Selain
itu, tauhid memberikan arahan terhadap akhlak, sementara akhlak memberi isi terhadap
arahan tersebut.

C. HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU JIWA


Ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak
dalam tingkah laku. Melalui ilmu ini, sifat-sifat psikologis seseorang dapat diketahui. Jiwa
yang bersih dari maksiat serta dengan dengan Tuhan, akan melahirkan perbuatan dan sikap
yang tenang, sedangkan jiwa yang kotor oleh maksiat serta jauh dari Tuhan, dapat
menimbulkan kejahatan, yang sesat dan menyesatkan.
Ilmu jiwa mengarahkan bahasannya pada aspek batin manusia dengan
menginterpretasikannya melalui perilaku yang terlihat. Aspek batin ini dijumpai dalam al-
Quran sebagai kata al-insan. Musa Asy’arie mengatakan bahwa kata insan dalam al-Quran
berkaitan dengan kegiatan manusia, antara lain belajar, tentang musuhnya, penggunaan

12
waktunya, beban atau amanat yang dipikulnya, konsekuensi usahanya, keterkaitannya dengan
moralitas dan akhlak, kepemimpinannya, ibadahnya, dan kehidupannya di akhirat.
Terdapat hubungan yang erat antara potensi psikologis manusia dengan Ilmu Akhlak.
Melalui informasi yang diberikan Ilmu Jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Quran,
maka secara teoritis Ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Quraish Shihab menyatakan
dalam Wawasan Al-Quran, “Kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita
akui bahwa terdapat manusia yang berkelakukan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa
manusia memiliki kedua potensi tersebut.” Ia mengutip ayat berikut:

  

“Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik
dan buruk).” (QS. Al-Balad[90]: 10)

       

“...dan (demi) jiwa serta perumpamaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa
manusia) kedurhakaan dan ketakwaan.” (QS. As-Syams[91]: 7-8)
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri
manusia, namun ditemukan pula isyarat-isyarat dalam al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu
menghias diri manusia daripada kejahatan, dan manusia pada dasarnya cenderung kepada
kebajikan.
Kecenderungan pada kebajikan ini dibuktikan dengan persamaan konsep-konsep pokok
moral di setiap peradaban dan zaman. Perbedaannya hanya pada bentuk dan penerapannya saja.
Tidak satupun peradaban memandang baik kebohongan dan keangkuhan, juga tidak ada
manusia yang menilai bahwa menghormati orang tua adalah keburukan. Namun cara
penghormatan inilah yang berbeda-beda antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Dengan sendirinya manusia dapat menjadi baik atau buruk, dan mengetahui tentang
kebaikan dan keburukan. Pernyataan ini memiliki kebenaran dan kekeliruan. Benar, ada
sejumlah perbuatan moral yang dapat diketahui manusia bahwa itu baik, atau bahwa itu buruk.
Tetapi pengetahuan manusia mengenai baik dan buruk adalah terbatas. Manusia memerlukan
informasi mengenai kebaikan dan keburukan dari Yang Maha Tak Terbatas, yaitu dari Allah
melalui wahyu-Nya. Ini artinya sumber ajaran Akhlak Islami berasal dari akal dan potensi
manusia, yang selanjutnya disempurnakan melalui petunjuk wahyu Allah.

13
Tolak ukur mengenai kelakuan baik atau buruk mestilah merujuk pada ketentuan yang
diberikan Allah. Apa yang dinilai baik oleh Allah pasti baik esensinya, demikian sebaliknya.
Dalam Ilmu Jiwa terdapat informasi megenai perbedaan psikologis yang dialami
seseorang berdasarkan jenjang usianya. Gejala psikologis berdasarkan usia ini akan
memberikan informasi bagi ilmu akhlak tentang perlunya menyampaikan ajaran akhlakul
karimah sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Sehingga dapat dirumuskan metode
dalam pembinaan akhlak mulia bagi perkembangan Ilmu Akhlak.

D. HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU PENDIDIKAN


Ilmu pendidikan berbicara mengenai tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini di
antaranya membahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru,
metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar, dan lain-lain.
Tujuan pendidikan dalam pandangan Islam berhubungan dengan kualitas manusia yang
ditinjau dari akhlak. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa tujuan pendidikan identik dengan
tujuan hidup seorang muslim, yakni menjadi hamba Allah yang berimplikasi pada keyakinan
dan penyerahan diri kepada-Nya. Mohd. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan
budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam menyimpulkan bahwa pendidikan
budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai akhlak sempurna adalah
tujuan sesungguhnya dari pendidikan Islam. Al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa tujuan umum
pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
Apabila rumusan mengenai tujuan pendidikan Islam tersebut dipertalikan maka dapat
diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh
dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta memiliki
sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan ini secara jelas menggambarkan antara Pendidikan
Islam dengan ilmu akhlak ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana
yang mengantarkan peserta didik menjadi sosok yang berakhlak.

E. HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU FILSAFAT


Filsafat merupakan suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya,
universal, dan sistematik dalam rangka menggali inti atau hakikat mengenai segala sesuatu.
Salah satu objek pemikiran filsafat yang berkaitan dengan ilmu akhlak adalah tentang
manusia. Para filsuf muslim seperti Ibn Sina (980-1037 M), dan al-Ghazali (1059-1111 M)
mempunyai pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.

14
Ibn Sina mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan suatu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan,
yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Walaupun jiwa manusia tidak
mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tak berurusan dengan badan namun untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya berpikir, jiwa masih berurusan pada badan. Karena pada
permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir. Pancaindera
dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi, dan rekoleksi yang
menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekitarnya.
Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka
selamanya ia akan berada pada kesenangan. Sebaliknya apabila jiwa berpisah dari badan dalam
keadaan tidak sempurna, karena selama bersatu dengan badan jiwa selalu dipengarhi oleh nafsu
badan, maka jiwa akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di
akhirat.
Pemikiran Ibn Sina mengenai jiwa manusia tersebut memberi petunjuk bahwa dalam
pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangan lebih lanjut
menjadi konsep Ilmu Akhlak.
Al-Ghazali membagi umat manusia menjadi tiga golongan. Pertama kaum awam yang
berpikiran sangat sederhana. Kedua kaum pilihan yang akalnya tajam dan berpikir mendalam.
Ketiga kaum penengkar. Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana tidak dapat
menangkap hakikat-hakikat, sifat mereka lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus
dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk. Kaum pilihan dengan daya akal kuat dan
mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedangkan kaum
penengkar harus dihadapi dengan mematahkan argumen-argumennya.
Pemikiran al-Ghazali memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam
menghadapi seseorangn sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran ini akan
membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam pembinaan akhlak.
Ibn Khaldun mendasarkan diri manusia pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang
sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat manusia sebagai
makhluk yang berpikir. Sehingga manusia mampun melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sifat-sifat ini tidak dimiliki makhluk lain. Lewat kemampuan berpikirnya, manusia
tidak hanya membuat kehidupannya, melainkan juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara
dalam memperoleh makna hidup. Proses-proses berpikir ini malahirkan peradaban.
Dalam pandangan Ibn Khaldun, kelengkapan dan kesempurnaan manusia tidak lahir
begitu saja, melainkan melalui proses tertentu. Proses ini dikenal dengan evolusi. Berbeda

15
dengan Charles Darwin (1809-1882 M) yang memandang proses kejadian manusia sebagai
hasil evolusi makhluk-makhluk organik, Khaldun menghubungkan kejadian manusia
(sempurna) dalam perkembangan dan pertumbuhan alam semesta.
Pemikiran Ibn Khaldun mengarah pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk
budaya yang kesempurnaannya baru dapat terwujud apabila ia berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya. Ini menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk ke dalamnya
pembinaan akhlak.
Jauh sebelum pendapat para filsuf di atas, al-Quran telah menggambarkan manusia dalam
sosoknya yang sempurna melalui istilah basyar, insan, dan an-nas. Musa Asy’arie melakukan
penelitian mengenai istilah tersebut dan berkesimpulan bahwa melalui aktivitas basyariahnya
manusia dalam kehidupannya sehari-hari berkaitan dengan aktivitas lahiriyahnya yang
dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, bersetubuh, dan
akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.
Manusia dalam istilah insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai
subjek kebudayaan dalam pengertian ideal. Sedangkan kata an-nas mengacu pada manusia
sebagai makhluk sosial.
Penjelasan tentang manusia dalam pemikiran filosofis itu memberikan masukan yang
berguna dalam merancang tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya,
berkomunikasi dengannya, dan sebagainya. Sehingga tercipta pola hubungan yang dapat
dilakukan dalam kehidupan yang aman dan damai.
Selain itu filsafat juga berbicara tentang Tuhan, alam, dan makhluk lainnya. Dari
pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan tentang cara-cara berhubungan dengan
Tuhan, alam, dan makhluk-makhluk lain. Dengan demikian akan terwujud tentang akhlak yang
baik kepada Tuhan, manusia, alam, dan makhluk-makhluk lainnya.

16
BAB 3
Akhlak Baik dan Buruk serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Secara garis besar akhlak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-
akhlaq al-karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Adil, jujur, sabar,
pemaaf, dermawan, dan amanah contohnya, termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan
zhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir, dan curang termasuk ke dalam akhlak yang
buruk. Berikut ini akan diuraikan mengenai proses terbentuknya akhlak yang baik maupun
akhlak yang buruk.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang
utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau kesatria), dan iffah (menjaga diri dari
perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat
dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang
berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang
digunakan dengan adil akan menimbulkan hikmah. Sedangkan amarah yang digunakan secara
adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan dengan adil akan
menimbulkan iffah, yakni memelihara diri dari perbuatan maksiat. Berikut ini adalah ayat-ayat
yang memerintahkan manusia untuk berlaku adil dalam menggunakan ketiga potensi yang
dimilikinya:

     ...

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah[5]: 8)

       

“Apabila menetapkan suatu hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya


dengan adil.” (QS. An-Nisa[4]: 58)

             

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku) adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan.” (QS. An-Nahl[16]: 90)

17
Jadi keadilan berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, yakni adil yang
merupakan salah satu akhlak yang baik dapat menimbulkan berbagai perbuatan terpuji lainnya.
Pemahaman ini kemudian membawa pada teori pertengahan, yaitu bahwa sikap
pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Ini sejalan dengan isyarat yang terdapat
dalam hadits, yaitu:
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, akhlak yang buruk adalah kebalikan dari akhlak yang baik, yakni
timbul berdasarkan penggunaan ketiga potensi rohaniah yang tidak disertai adil. Akal yang
dipakai secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau menjadi penipu, dan akal
yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau idiot. Dengan demikian
akal yang digunakan berlebihan atau terlalu lemah akan menjadi pangkal lahirnya akhlak
tercela.
Amarah yang digunakan berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau
hamtam kromo, yakni berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya,
jika amarah digunakan terlalu lemah dapat menimbulkan sikap pengecut. Kemampuan
menahan amarah dijadikan salah satu sifat orang yang bertakwa. Allah berfirman:

          

“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menfkahkan (hartanya) baik di


waktu lapang maupun waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain.” (QS. Al-Imran[3]: 134)
Begitu juga dengan hadits berikut:
“Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, melainkan yang
gagah adalah orang yang dapat menahan amarahnya jika marah.” (HR. Ahmad)
Sedangkan nafsu syahwat yang digunakan berlebihan akan menimbulkan sikap melacur,
dan jika nafsu syahwat digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yakni tidak
memiliki semangat hidup. Nafsu syahwat yang digunakan pertengahanlah yang menimbulkan
sikap iffah, yakni orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah
SWT berfirman:

               

         

18
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, serta orang-orang
yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al-Mu’minun[23]: 1-5)
Dalam hadits disebutkan bahwa salah satu orang yang mendapat perlindungan di hari
kiamat adalah:
“Laki-laki yang diajak serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan
martabat, lalu ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai sekalian alam.”
(HR. Bukhari)
Selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan untuk menjelaskan berbagai sifat
Tuhan yang terkesan saling berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada
yang menunjukkan kelembutan, juga ada yang menunjukkan kekerasan. Seperti ar-rahman dan
ar-rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang) dengan jabbar dan kohhar (Maha Memaksa
dan Maha Mengalahkan). Sifat-sifat yang terkesan kontradiktif ini dapat dipertemukan melalui
sikap pertengahan. Dengan demikian, secara struktural sifat-sifat Tuhan lainnya berada di
bawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara
seimbang atau digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya. Jadi, sifat adil atau seimbang
menjadi koordinator dari sifat-sifat yang kontradiktif.
Teori pertengahan tidak luput pula dari kritik. Teori tengah sebagaimana dikemukakan
Aristoteles dan diikuti oleh Ibn Maskawih dan para filsuf akhlak lainnya tidak dapat
sepenuhnya diterima. Menurut para kritikus, keutamaan tidak selalu berada di titik tengah.
Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan.
Contohnya, sikap dermawan lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir,
sikap berani lebih dekat pada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat pengecut.
Para pengkritik selanjutnya mengatakan, banyak keutamaan yang tidak nampak bahwa
ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan, seperti jujur dan adil. Orang yang jujur dan
adil misalnya, tidak ada pertengahannya, karena tidak ada posisi pada sifat jujur dan adil. Tidak
ada sifat setengah jujur dan setengah adil. Demikian pula sifat benar, tidak ada setengah benar,
setengah salah. Lawan dari benar hanyalah dusta, antara benar dan dusta tidak ada tengah-
tengahnya, begitupun adil, lawan dari adil hanyalah zhalim.
Berlepas dari kritikan tersebut, jelas bahwa teori pertengahan tidak dapat menjelaskan
seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik atau yang buruk. Teori ini terbatas pada akhlak
yang bersumber dari penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah, dan nafsu syahwat yang
digunakan secara adil.

19
Penelitian Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi menghasilkan informasi bahwa dalam al-
Quran kata adil disebutkan sebanyak 28 kali, di antara adalah:

           

“Hai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap
Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadian
dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al-Infithar[82]: 6-7)

                 

 

“Dan jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat), yang pada hari itu seseorang tidak
dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan
tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (QS. Al-Baqarah[2]: 48)

                

                     

  

“Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
(QS. An-Nisa[4]: 135)

              

20
“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan adil (benar).” (QS. Al-Baqarah[2]: 282)

                 

“Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau diri
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.”
(QS. Al-Baqarah[2]: 282)
Apabila ayat-ayat tersebut diperhatikan tampak bahwa kata adil dalam al-Quran
digunakan dalam berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan bahwa teori
pertengahan sebagai sumber timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran al-
Quran atau mendapat tempat di dalam al-Quran. Jika adil dihubungkan dengan akhlak yang
mulia, maka perintah adil tersebut sekaligus perintah berakhlak mulia. Allah berfirman:

              

  

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An-Nahl[16]: 90)
Berkaitan dengan sikap pertengahan, al-Quran tidak selalu menggunakan kata adil, sikap
pertengahan antara kikir dengan boros misalnya, al-Quran menggunakan kata qawwama,
seperti pada ayat berikut:

           

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan,


dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
(QS. Al-Furqan[25]: 67)
Berikutnya ayat yang berkaitan dalam hal menimbang, al-Quran menggunakan kata al-
Qisth, yakni:

       

21
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang adil (benar).” (QS. Al-Isra[17]: 35)
Kemudian ketika menggambarkan pertengahan mengenai berinfak di jalan Allah, al-
Quran menyebutkan perbuatan tersebut antara terlalu kikir dan terlalu longgar (tanpa kontrol).
Yaitu:

             

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra[17]:
29)
Mengenai pengaturan volume suara dalam berdoa, al-Quran menempatkannya antara
tadarru’, khifah dengan al-Jahr, yakni:

              

 

“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
Termasuk orang-orang yang lalai”. (QS. Al-Araf[7]: 205)
Dalam hadits ditemukan kata haunamma yang digunakan untuk menyatakan sikap
pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang. Haditsnya adalah:
“Cintailah kekasihmu dengan sikap pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau
cintai itu menjadi musuhmu di kemudian hari. Dan bencilah musuhmu dengan sikap
pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau musuhi itu menjadi kekasihmu di kemudian
hari.” (HR. Turmudzi)
Untuk menunjukkan sikap pertengahan al-Quran juga menggunakan kata al-adl,
sebagaimana ayat berikut:

       

“Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah ditetapkan dengan


adil.” (QS. An-Nisa[4]: 58)
Terdapat pula kata awwanun yang dipakai untuk menyatakan sikap pertengahan, yakni:

22
         

“Bahwa sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan di
antara itu.” (QS. Al-Baqarah[2]: 68)
Al-Kadzimin juga digunakan dalam al-Quran mengenai sika antara menyalurkan emosi
atau menahannya, dijumpai dalam ayat berikut:

          

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di


waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (QS. Al-Imran[3]: 134)
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa al-Quran jauh lebih lengkap, rinci,
dan komprehensif dalam melukiskan keadaan adil atau pertengahan dibandingkan hasil
pemikiran para filsuf.

23
BAB 4
Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Hati Nurani

A. KEBEBASAN
Para ahli teologi terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat
bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya
menurut kemauannya sendiri. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak
memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya, manusia dibatasi dan ditentukan oleh
Tuhan.
Sekarang ini perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan muncul kembali. Sebagian
ahli filsafat seperti Spinoza, Huca, dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan
sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya. Manakah di antara dua pendapat yang
paling benar bukanlah hak kita untuk menilainya, karena masing-masing memiliki argumentasi
yang sama kuat dan meyakinkan.
Kebebasan sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi saat
kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan atau keterikatan
kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa,
tetapi tidak dikatakan bebas untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila: (1) Dapat menentukan
sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya, (2) Dapat memilih antara kemungkinan-
kemungkinan yang tersedia baginya, (3) Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu
yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri,
oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apa pun.
Kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari,
disengaja, dan dilakukan demi tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Tetapi bersama
dengan itu, manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Namun
keterbatasan yang seperti itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya
rohaniah. Jadi, keterbatasan-keterbatasan itu tidak mengurangi kebebasan kita.
Ditinjau dari sifatnya dapat dibagi tiga. Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan
dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Jika dijumpai
adanya batas-batas jangkauan yang dapat dilakukan oleh anggota badan kita, hal itu tidak
mengurangi kebebasan, melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu. Yang dapat dikatakan

24
melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang atau
lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.
Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu.
Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir, karena
manusia dapat memikirkan dan menghendaki apapun. Kebebasan kehendak berbeda dengan
kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat secara langsung dibatasi dari luar.
Ketiga, kebebasan moral dalam arti luas berarti tidak adanya ancaman, tekanan, larangan,
maupun desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Sedangkan dalam arti sempit berarti
tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan
untuk bertindak.
Kebebasan tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk
bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang ingin diperbuat dengan macam-macam
unsur. Manusia bebas berarti yang dapat menentukan sendiri tindakannya.
Manusia bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat mengambil sikap dan
menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-
dorongannya di dalam, melainkan ia membuat dirinya sendiri berhadapan dengan unsur-unsur
tersebut. Jadi, kebebasan merupakan tanda atau ungkapan martabat manusia, sebagai satu-
satunya makhluk yang tidak dapat digerakkan dan ditentukan, melainkan yang menentukan
dan menggerakkan dirinya sendiri. Apapun yang dilakukan tidak atas kesadaran dan
keputusannya sendiri dianggap tidak wajar.
Perhatikana ayat-ayat berikut yang menjelaskan bahwa manusia berpeluang untuk bebas
menentukan tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri:

           

“Katakanlah kebenaran datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau percayalah ia, siapa
yang tidak mau janganlah ia percaya.” (QS. Al-Kahfi[18]: 29)

        ...

“Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat.”
(QS. Fushilat[41]: 40)

25
                 

    

“Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang
ganda (pada kaum musyrik di Badar) kamu bertanya: Dari mana datangnya ini? Jawabnya
dari kamu sendiri sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Imran[3]: 165)

B. TANGGUNG JAWAB
Kebebasan yang telah diterangkan sebelumnya dihadapkan dengan kewajiban moral.
Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tidak mungkin ada tanggung jawab
menandakan adanya kebebasan.
Dalam kerangka tanggung jawab, kebebasan mengandung arti: (1) Kamampuan untuk
menentukan diri sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan manusia,
dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.
Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai, dan pola pikir merupakan tingkah laku
yang disadari, bukan instingtif, melainkan terdapat makna kebebasan manusia yang merupakan
objek materi etika.
Sejalan dengan kebebasan dan kesengajaan, seseorang harus bertanggung jawab terhadap
tindakan yang disengaja itu. Artinya ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata
hatinya bahwa tindakannya sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati. Jadi, ia berbuat
baik atau tidak jahat sesuai dengan keyakinan.
Tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya baik. Ini
sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu bila dikatakan bahwa orang yang melakukan
kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah
perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan,
mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Dengan demikian, tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan
yang dilakukan dengan kesadaran. Tanggung jawab juga erat kaitannya dengan hati nurani atau
intuisi yang ada dalam diri manusia dan menyuarakan kebenaran. Seseorang baru akan
dikatakan bertanggung jawab apabila secara intuisi tindakannya dapat dipertanggungjawabkan
pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.

26
C. HATI NURANI
Hati nurani atau intuisi adalah tempat di mana manusia dapat memperoleh saluran ilham
dari Tuhan. Hati nurani diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan menolak pada
keburukan. Karenanya muncul paham intuisisme, yakni paham yang mengatakan bahwa
perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan buruk
adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani.
Sifat selalu benar dari hati nurani menjadikannya harus menjadi salah satu dasar
pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan
yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan demikian pada
hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral. Dari pemahaman kebebasan yang
demikian, maka timbul tanggung jawab, yakni kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani
dan moral harus dapat dipertanggungjawabkan.

D. HUBUNGAN KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB, DAN HATI NURANI


DENGAN AKHLAK
Perbuatan termasuk ke dalam kategori akhlak apabila perbuatan tersebut dilakukan atas
kemauan sendiri, bukan paksaan, bukan pula dibuat-buat, dan dilaksanakan dengan tulus
ikhlas. Perbuatan akhlaki baru akan timbul apabila pelakunya memiliki kebebasan atau
kehendak yang timbul dari dalam dirinya. Jadi, perbuatan akhlaki adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja dan bebas. Inilah letak hubungan antara kebebasan dengan akhlak.
Perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas dasar kemauan sendiri dan bukan paksaan.
Perbuatan seperti itulah yang dapat dipertanggungjawabkan dari pelakunya. Inilah letak
hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak.
Perbuatan akhlak harus muncul dari keikhlasan hati pelakunya, dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak denga hati nurani adalah
penting.
Jadi, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani merupakan faktor dominan
yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Inilah letak
hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak.
Karenanya pembahasan akhlak tidak dapat terpisah dari pembahasan mengenai kebebasan,
tanggung jawab, dan hati nurani.

27
BAB 5
Hak, Kewajiban, dan Keadilan

A. HAK
1. Pengertian dan Macam-macam Hak
Hak dapat diartikan sebagai wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat
mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan, atau menuntut sesuatu. Hak dapat
pula berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan
dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.
Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak adalah semacam milik,
kepunyaan, tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran, dan hasil
pikiran itu.
Dalam al-Quran terdapat kata al-haqq, namun pengertiannya agak lain dengan pengertian
hak yang telah dikemukakan di atas. Pengertian hak di atas lebih mengacu kepada semacam
hak memiliki, sedangkan pengertian al-haqq dalam al-Quran tidak bermakna demikian. Kata
memiliki yang merupakan terjemahan dari kata hak dalam bahasa al-Quran disebut milik, orang
yang menguasainya disebut malik.
Al-Raghib al-Asfahani mengemukakan pengertian al-haqq dalam al-Quran, yaitu al-
muthabaqah wa al-muwafaqah yang artinya kecocokan, kesesuaian dan kesepakatan, seperti
cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.
Kata al-haqq dalam al-Quran digunakan untuk empat pengertian. Pertama, untuk
menunjukkan terhadap pelaku yang menunjukkan sesuatu yang mengandung hikmah, seperti
adanya Allah disebut sebagai al-haqq karena Dialah yang mengadakan sesuatu yang
mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Contoh penggunaan kata al-haqq dalam al-
Quran yaitu pada ayat berikut.

      

“Kemudian kembalilah kamu sekalian kepada Allah. Dialah Tuhan mereka yang haq.”
(QS. Al-An’am[6]: 62)
Kedua, kata al-haqq digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang diadakan yang
mengandung hikmah. Misalnya Allah SWT menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq,
yakni mengandung hikmah bagi kehidupan. Misalnya pada ayat berikut:

28
      

“Allah tidak menciptakan yang demikian itu (matahari dan bulan) kecuali dengan haq.”
(QS. Yunus[10]: 5)
Ketiga, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan keyakinan (i’tihad) terhadap sesuatu
yang cocok dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan di
akhirat, pahala, siksaan, surga, dan neraka. Misalnya pada ayat berikut:

           ...

“Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman terhadap apa yang
mereka perselisihan dari haq.” (QS. Al-Baqarah[2]: 213)
Keempat, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan terhadap perbuatan atau ucapan
yang dilakukan menurut kadar atau porsi yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan waktu dan
tempat. Misalnya dalam ayat berikut:

         

“Dan seandainya al-haqq itu menuruti hawa nafsunya, maka terjadilah kerusakan
langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya.” (QS. Al-Mu’minun[23]: 71)
Kata al-haqq dapat berarti upaya mewujudkan keadilan, argumentasi yang kuat,
menegakkan syariat secara sempurna, dan isyarat tentang adanya hari kiamat. Jadi, seluruh kata
al-haqq dalam al-Quran tidak satupun yang mengandung arti hak milik, sebagaimana arti hak
yang umumnya lazim digunakan masyarakat.
Pengertian hak dalam arti memiliki sesuatu dan dapat menggunakan sekehendak hatinya,
dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-milk. Misalnya pada ayat berikut menggunakan
kata al-milk yang dihubungkan dengan kemampuan untuk menolak kemudharatan dan
mengambil manfaat:

           

          

29
“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya, (untuk disembah),
yang tuhan-tuhan itu tidak meciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak
kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil)
sesuatu kemanfaatannya dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupan dan tidak (pula)
membangkitkan.” (QS. Al-Furqan[25]: 3)

2. Macam-macam dan Sumber Hak


Selalu terdapat dua faktor yang menyertai hak. Pertama, faktor yang merupakan hal
(objek) yang hakiki (dimiliki) yang selanjutnya disebut hak objektif. Hak ini dapat bersikap
fisik maupun non fisik. Kedua, faktor orang (subjek) yang berhak, yang berwenang untuk
bertindak menurut sifat-sifat itu, yang selanjutnya disebut hak subjektif.
Dalam kajian akhlak, hak subjektif lebih mendapat perhatian, yaitu wewenang untuk
memiliki dan bertindak. Disebut wewenang bukan kekuatan, karena mungkin saja wewenang
(hak) tidak dapat dilaksanakan karena ada kekuatan lain yang menghalanginya.
Dari segi objek dan hubunganannya dengan akhlak, hak secara garis besar dibagi menjadi
tujuh bagian, yakni hak hidup, hak mendapat perlakuan hukum, hak mengembangkan
keturunan, hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak kebebasan berpikir, dan hak
mendapatkan kebenaran. Ketujuh hak tersebut tidak dapat diganggu gugat karena merupakan
hak asasi yang secara fitrah telah diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga yang dapat
mencabut hak-hak tersebut hanya Tuhan.
Hak asasi manusia dalam sejarah dan masyarakat sering diperlakukan secara
diskriminatif. Pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan
tentang Hak-hak Asasi Manusia (Declaration of The Human Rights). Pernyataan tersebut
menyatakan bahwa hak itu berdasarkan atas kemanusiaan, dan kemanusiaan pada intinya
bertumpu pada budi pekerti. Pernyataan ini dapat dikatakan merupakan kesadaran umat
manusia terhadap nilai kemanusiaannya. Jadi, adanya pernyataan tersebut mengandung misi
pelaksanaan ajaran moral dan akhlak. Di sinilah letak hubungan pembahasan masalah hak-hak
manusia dengan akhlak.
Hak Asasi Manusia kemudian dinyatakan dalam undang-undang. Biasanya merupakan
aturan yang umum untuk masyarakat tertentu, baik masalah pidana maupun perdata. Bangsa
Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat 16 bab dan 37 pasal. Disebut
bahwa hak asasi manusia terdiri dari hak bernegara, bersuara, berusaha, beragama,
berpendidikan, perlakuan hukum, dan seterusnya. UUD 1945 dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila
yang merupakan falsafah, sumber inspirasi, dan sumber moral dalam hidup berbangsa dan

30
bernegara. Jadi, keberadaan hak-hak asasi manusia yang tercermin dalam UUD 1945
menggambarkan hubungan yang erat antara hak-hak asasi manusia dengan ajaran moral.

B. KEWAJIBAN
Karena hak merupakan wewenang, bukan berwujud kekuatan, maka perlu ada penegak
hukum yang melindungi mereka yang lemah, yaitu orang yang tidak dapat menggunakan
haknya manakala berhadapan dengan orang lain yang merintangi pelaksanaan haknya.
Karena hak merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka hak merupakan tuntutan
terhadap orang lain, sehingga hak akan menimbulkan kewajiban bagi orang lain yang dituntut.
Kewajiban maksudnya adalah menghargai terlaksananya hak-hak orang lain. Dengan demikian
orang lain juga akan melaksanakan hal yang sama pada orang yang menghargai hak-hak orang
lain, sehingga akan terpelihara pemenuhan hak asasi manusia.
Masalah kewajiban memegang peran penting dalam pelaksanaan hak. Namun perlu
ditegaskan bahwa kewajiban bukan merupakan keharusan fisik, tetapi tetap berwajib, yakni
wajib yang berdasarkan kemanusiaan, karena hak yang menjadi sebab kewajiban itu juga
berdasarkan kemanusiaan. Jadi, orang yang tidak memenuhi kewajibannya berarti telah
melanggar kemanusiaannya, dan sebaliknya.
Kewajiban dalam ajaran Islam diletakkan sebagai salah satu hukum syara, yaitu suatu
perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan
mendapatkan siksa. Kewajiban dalam agama berkaitan dengan pelaksanaan hak yang
diwajibkan oleh Allah.

C. KEADILAN
Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap
hak (yang sah). Sedangkan dalam literatur Islam, keadilan dapat merupakan istilah yang
digunakan untuk menunjukkan persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara.
Keadilan terjadi berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama. Keadilan
merupakan teori yang menjadi induk akhlak yang mulia.
Di mana ada hak, maka ada kewajiban, dan di mana ada kewajiban, maka ada keadilan,
yakni menerapkan dan melaksanakan hak sesuai dengan tempat, waktu, dan kadarnya yang
seimbang. Allah SWT berfirman:

31
           

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan.” (QS. An-Nahl[16]: 90)
Ayat di atas menempatkan keadilan sejajar dengan kebajikan. Ini menunjukkan bahwa
masalah keadilan termasuk masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak sebagai suatu
kewajiban moral.

D. HUBUNGAN HAK, KEWAJIBAN, DAN KEADILAN DENGAN AKHLAK


Akhlak adalah perbuatan yang disengaja, mendarah daging, sebenarnya, dan ikhlas
karena Allah. Hubungan akhlak dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak yaitu sebagai milik
yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalangi. Hak yang demikian
merupakan bagian dari akhlak karena akhlak harus dilakukan oleh seseorang sebagai haknya.
Akhlak yang mendarah daging kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang.
Dengan kepribadian tersebut timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat.
Keadilan merupakan induk akhlak, sehingga dengan terlaksananya hak, kewajiban, dan
keadilan, maka dengan sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Inilah
letak hubungan fungsional antara hak, kewajiban, dan keadilan dengan hak.

32
BAB 6
Pembentukan Akhlak Islami

A. PENGERTIAN AKHLAK ISLAMI


Akhlak islami dapat dimaknai sebagai akhlak yang didasarkan pada ajaran Islam atau
akhlak yang sifatnya islami. Akhlak Islami merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
mudah, disengaja, mendarah daging, dan sebenarnya, yang didasarkan pada ajaran Islam.
Akhlak islami bersifat universal, namun dalam penjabarannya perlu bantuan pemikiran akal
manusia dan kesempatan sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Akhlak islami di samping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk
akhlak, juga mengakui nilai-nilai yang lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai
yang universal tersebut.
Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun
etika dan moral diperlukan dalam penjabaran akhlak yang berdasarkan agama. Ini dikarenakan
etika terbasa pada sopan santun antar sesama manusia saja, serta hanya berkaitan dengan
tingkah laku lahiriah. Jadi, saat etika atau moral digunakan untuk menjabarkan akhlak islami,
bukan artinya akhlak islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Menurut Quraish Shihab akhlak islami lebih luas maknanya dan mencakup beberapa hal
yang bukan merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin atau pikiran.
Akhlak islami dapat diartikan sebagai akhlak yang menggunakan tolak ukur ketentuan
Allah. Quraish Shihab mengatakan bahwa tolak ukur kelakuan baik mestilah merujuk pada
ketentuan Allah. Rumusan akhlak islami yang demikian itu menurut Quraish Shihab adalah
rumusan yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan bahwa apa yang dinilai
baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya.

B. RUANG LINGKUP AKHLAK ISLAMI


Ruang lingkup akhlak islami sama dengan ruang lingkup Islam, khususnya yang
berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/islami) mencakup aspek akhlak
terhadap Allah, hingga akhlak terhadap sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuhan, dan
benda-benda yang tak bernyawa).

33
1. Akhlak terhadap Allah
Akhlak kepada Allah adalah sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh
manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai Khalik.
Setidaknya ada empat alasan manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, karena
Allah adalah pencipta manusia. Dia menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan ke luar
dari antara tulang punggung dan tulang rusuk (QS. At-Thariq[86]: 5-7). Di ayat lain Allah
menerangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih
yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian menjadi segumpal darah,
segumpal daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, selanjutnya diberi ruh (QS. Al-
Mu’minun[23]: 12-13). Jadi, sebagai yang diciptakan sudah sepantasnya manusia berterima
kasih kepada yang menciptakannya.
Kedua, karena Allah yang telah memberikan perlengkapan pancaindera, berupa
pendengaran, penglihatan, akal pikiran, dan hati sanubari, di samping anggota badan yang
kokoh dan sempurna kepada manusia (QS. An-Nahl[16]: 78).
Ketiga, karena Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan
bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan, air, udara, binatang ternak, dan
sebagainya (QS. Al-Jatsiyah[45]: 12-13).
Keempat, karena Allah telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan
menguasai daratan dan lautan (QS. Al-Isra[17]: 70).
Namun, sungguhpun Allah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia,
bukanlah menjadi alasan Allah perlu dihormati. Bagi Allah dihormati atau tidak, tidak akan
mengurangi kemuliaan-Nya. Tetapi sudah sepantasnya manusia harus menunjukkan sikap yang
layak kepada Allah.
Banyak cara untuk berakhlak kepada Allah, di antaranya dengan tidak menyekutukan-
Nya (QS. An-Nisa[4]: 116), takwa kepada-Nya (QS. An-Nur[24]: 35), mencintai-Nya (QS.
An-Nahl[16]: 72), ridha dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya dan bertaubat(QS. Al-
Baqarah[2]: 22), mensyukuri nikmat-Nya (QS. Al-Baqarah[2]: 152), selalu berdoa kepada-Nya
(QS. Al-Ghafir[40]: 60), beribadah (QS. Adz-Dzariyat[51]: 56), meniru sifat-Nya dan selalu
berusaha mencari keridhaan-Nya (QS. Al-Fath[48]: 29).
Quraish Shihab mengatakan titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian
agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun tidak mampu menjangkaunya. Berkenaan
dengan akhlak kepada Allah dilakukan dengan banyak memujinya (QS. An-Naml[27]: 93,

34
Ash-Shaffat[37]: 159-160). Dilanjutkan dengan senantiasa bertawakal kepada-Nya (QS. Al-
Anfal[6]: 61), yakni menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang menguasai diri manusia.
2. Akhlak terhadap Sesama Manusia
Banyak rincian dalam al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia.
Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif
seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan
sampai kepada menyakiti hati dengan menceritakan aib seseorang, tidak peduli aib itu benar
atau salah, walau sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya (QS. Al-Baqarah[2]:
263).
Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Tidak
masuk ke rumah orang lain tanpa izin, jika bertemu saling mengucapkan salam, dan ucapan
yang dikeluarkan adalah ucapan yang baik (QS. An-Nur[24]: 58, Al-Baqarah[2]: 83). Setiap
ucapan yang dikeluarkan adalah ucapan yang benar (QS. Al-Ahzab[33]: 70), jangan
mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar berprasangka buruk tanpa alasan, atau
menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan buruk
(QS. Al-Hujurat[49]: 11-12). Selanjutnya yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan.
Pemaafan ini hendaknya disertai kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula
melakukan kesalahan (QS. Al-Imran[3]: 134). Selain itu dianjurkan agar menjadi orang yang
pandai mengendalikan nafsu amarah, mendahulukan kepentingan orang lain daripada
kepentingan diri sendiri.
3. Akhlak terhadap Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang di sekitar manusia, baik binatang, tumbuhan,
maupun makhluk tak bernyawa.
Akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia
sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya
dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta
bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptanya.
Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibolehkan mengambil buah sebelum matang
atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini tidak memberi kesempatan kepada makhluk
untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Manusia dituntut untuk mampu menghargai proses-proses yang sedang berlangsung.
Sehingga hal tersebut mengantarkan manusia kepada tanggung jawab, tidak melakukan
perusakan, bahkan dengan kata lain setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai
perusakan pada diri manusia.

35
Binatang, tumbuhan, dan benda tanpa nyawa, semuanya merupakan ciptaan Allah SWT,
menjadi milik-Nya, dan memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan
manusia pada kesadaran bahwa semuanya adalah ‘umat’ Tuhan yang harus diperlakukan secara
wajar dan adil.
Al-Quran surat Al-An’am[6] ayat 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-
burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya seperti dituliskan al-Quthubi
dalam tafsirnya ‘tidak boleh diperlakukan secara aniaya”.
Jangankan dalam masa damai, dalam situasi peperangan pun terdapat petunjuk al-Quran
yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan kepada manusia dan binatang, mencabut
atau menebang pohon pun dilarang, kecuali jika terpaksa, itu pun harus seizin Allah, dalam arti
harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar. Allah
berfirman:

             

“Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di
atas pokoknya, maka itu semua atas izin Allah dan agar Ia membalas orang-orang fasik.” (QS.
Al-Hasyr[59]: 5)
Alam dengan segala isinya telah ditundukkan Tuhan kepada manusia, sehingga dengan
mudah manusia dapat memanfaatkannya. Jika begitu, manusia tidak mencari kemenangan,
tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga keduanya harus
dapat bersahabat.
Akhlak islami juga memerhatikan kelestarian dan keselamatan binatang. Nabi
Muhammad SAW bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang. Kendarailah, dan
beri makanlah dengan baik.”
Uraian di atas menunjukkan bahwa akhlak islami sangat komprehensif, menyeluruh, dan
mencakup berbagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Ini dikarenakan secara fungsional seluruh
makhluk tersebut satu sama lain saling membutuhkan. Punah dan rusaknya salah satu bagian
dari makhluk Tuhan akan berdampak negatif bagi makhluk lainnya.
Jadi, akhlak islami jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak
lainnya hanya berbicara tentang hubungan antar manusia, maka akhlak islami berbicara tentang
cara berhubungan dengan makhluk lainnya. Sehingga, semua makhluk akan merasakan fungsi
dan eksistensinya di dunia ini.

36
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia

Khoiri, Alwan, dkk. 2005. Akhlaq / Tasawuf. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga

Mustofa, A. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia

Nata, Abuddin. 2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers

Solihin, M. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia

37

Anda mungkin juga menyukai