Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR HUMERUS

A. Definisi
Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari
ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan
skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang,
ulna dan radius (Wardani, 2017).
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang
humerus (Wardani, 2017).
Fraktur humerus adalah terputusnya hubungan tulang humerus yang
disebabkan oleh benturan/trauma dan disertai kerusakan jaringan lunak
(Muttaqin dalam Mumpuni, 2020).
B. Klasifikasi
Berdasarkan pada patahnya integritas kulit, lokasi, bentuk patahnya dan status
kelurusan menurut (Bare BG dalam Mumpuni, 2020) :
1. Closed fracture (simple fraktur)
Patah yang tertutup karena integritas kulit masih utuh atau tetap tak
berubah.
2. Compound fracture (Open Fraktur)
Patah yang terbuka karena integritas kulit robek atau terbuka dan ujung
tulang menonjol sampai menembus kulit.
3. Complete Frakture
Patah tulang dan retak yang luas dan melintang. Biasanya disertai dengan
perpindahan posisi tulang.
4. Retak tak komplit
Hanya sebagian dari tulang yang retak.
Berdasarkan arah pergeserannya, fraktur humerus dibagi menjadi (Wardani,
2017) :
1. Fraktur sepertiga proksimal humerus
Fraktur yang mengenai proksimal metafisis sampai insersi m. pectoralis
mayor diklasifikasikan sebagai fraktur leher humerus. Fraktur di atas
insersi pectoralis mayor menyebabkan fragmen proksimal abduksi dan
eksorotasi rotator cuff serta distal fragmen bergeser ke arah medial.
Fraktur antara insersi m. pectoralis mayor dan deltoid umumnya terlihat
adduksi pada akhir distal dari proksimal fragmen dengan pergeseran lateral
dan proksimal dari distal fragmen.
2. Fraktur sepertiga tengah dan distal humerus
Jika fraktur terjadi di distal dari insersi deltoid pada sepertiga tengah
korpus humerus, pergeseran ke medial dari fragmen distal dan abduksi
dari fragmen proksimal akan terjadi.
C. ETIOLOGI
Penyebab fraktur menurut Wahid (2013) antara lain :
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
4. Fraktur patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang disebabkan oleh
melelehnya strutur tulang akibat proses patologik. Proses patologik dapat
disebabkan oleh kurangnya nutrisi seperti vitamin D, kalsium, fosfor dan
ferum. Faktor lain yang menyebabkan proses patologik adalah akibat dari
proses penyembuhan yang lambat pada penyembuhan yang lambat pada
penyembuhan fraktur atau terjadi akibat kepanasan.
D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang (Wardani, 2017).
E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut M. Clevo & Margareth dalam Wardani (2017) tanda dan gejala dari
fraktur antara lain :
1. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambanh rasa
nyeri. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri
2. Bengkak dan nyeri tekan: edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi
seperti :
i. Rotasi pemendekan tulang
ii. Penekanan tulang
4. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstermitas yang tidak alami
5. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
6. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
7. Tenderness/keempukan
8. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
9. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
10. Pergerakan abnormal
11. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
12. Krepitas
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurafif (2015), pada pasien fraktur pemeriksaan yang dilakukan
adalah sebagai berikut :
1. X ray yang fungsinya menentukan lokasi / luas fraktur
2. Scan tulang memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
4. Hitung darah lengkap : untuk mengetahui mungkin hemokonsentrasi
mungkin meningkat, menurun pada perdarahan, peningkat leukosit sebagai
respon terhadap peradangan.
5. Kretinin : trauma otot meningkat beban kretinin untuk Pasien ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,transfusi
atau cedera hati
H. Komplikasi
Menurut Mutaqqin dalam Mumpuni 2020, komplikasi dalam fraktur humerus
dapat dibagi menjadi komplikasi awal dan komplikasi lanjutan.
Komplikasi awal :
1) Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun yang tak terlihat) dan kehilangan ciaran ekstrasel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks
pelvis, dan vertebra. Karena tulang merupakan organ yang sangat
vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar
sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur dan pelvis.
2) Sindrom embili lemak. Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur
multiple, atau cedera rumuk, dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada
dewasa muda (20 sampai 30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur globula
lemak dapat masuk kedalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih
tinggi daripada pembuluh kapiler atau krena katekolamin yang dilepaskan
oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian
menyumat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal, dan
organ yang lain. Awitan gejalanya yang sangat cepat dapat terjadi dari
beberapa jam sampai 1 minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi
dalam 24 jam sampai 72 jam.
3) Sindrom kompartemen. Merupakan masalah yang terjadi pada perfusi
jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan
jaringan. Sindroma kompartmen ditandai dengan nyeri hebat, perestesi,
paresis, pucat, di sertai dengan denyut nadi yang hilang. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat,
peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : cedera remuk).
4) Komplikasi awal lainnya. Tromboemboli, infeksi, dan koagulopati
intravaskuler diseminata (KID).
Komplikasi lambat :
1) Delayed union merupakan penyatuan terlambat atau tidak adanya
penyatuan. Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak cepat
terjadi dengan kecepatan normal atau pada umumnya untuk jenis dan
tempat fraktur tertentu. Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan
penyatuan ujung-ujung patah tulang.
2) Nekrosis avaskuler tulang, dapat terjadi bila tulang kehilangan darah dan
mati.
3) Non union merupakan proses penyembuhan yang gagal meskipun sudah
diberi pengobatan.
4) Mal union merupakan proses penyembuhan terjadi tetapi tidak
memuaskan.
I. Penatalaksanaan
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mngoreksi masalahnya. Prosedur yang sering dilakukan
meliputi reduksi terbuka, dengan fiksasi interna atau disingkat ORIF (Open
Reduction Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortopedi dan
indikasinya yang lazim dilakukan (Brunner, 2013):
1. Reduksi terbuka : melakukan reduksi dengan membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang
yang patah.
2. Reduksi tertutup : mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan memanipulasi dan traksi manual.
3. Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup,
plat, paku, dan pin logam.
4. Graft Tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan dan menstabilisasi atau
mengganti tulang yang berpenyakit.
5. Amputasi : penghilangan bagian tubuh.
6. Artoplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artoskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedan mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang
besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka.
7. Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
8. Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam
atau sintetis.
9. Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam
sendi dengan logam atau sintesis.
10. Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan kontriksi otot
atau mengurangi kontraktur fasia.
11. Imobilisasi : dapat dilakukkan dengan metode eksterna dan interna dan
mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurocaskuler selalu
dipantau melalui peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan. Perkiraan
waktu imobilisasi yang dibuthkan untuk penyatuan tulang yang mengalami
fraktur adalah sekitar 3 bulan.
J. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah Pasien yang mungkin
timbul terjadi merupakan respon terhadap Pasien dan penyakitnya. Akibat
fraktur trauma pada fraktur humerus akan menimbulkan dampak baik terhadap
Pasien sendiri maupun kepada keluarganya (Hariawan dalam Mumpuni,
2020).
1. Terhadap pasien
1) Dampak biologis
Pada Pasienfraktur terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang
terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk
penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi
kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi.
2) Dampak psikis
Pasien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari
fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat, dampak hospitalisasi rawat inap dan harus
beradaptasi dengan lingkungannya yang baru serta takutnya terjadi
kecacatan pada dirinya.
3) Dampak sosiologi
Pasien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak
sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan
kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya. Pasienjuga
mengalami perubahan penampilan dan penurunan fungsi tubuh akibat
treuma tersebut dan dapat menyebabkan harga diri rendah pada pasien
tersebut.
4) Dampak spiritual
Pasien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan
keyakinannya dalam beribadah yeng diakibatkan karena rasa nyeri dan
ketidakmampuannya.
2. Terhadap keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota
keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan
pasien, apakah nanti timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping
tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat
vital dalam memberikan penjelasan erhadap keluarga, selain itu keluarga
harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi pasien. Hal ini
tentunya menambah beban bagi keluarga. Masalah-masalah diatas timbul
saat Pasienmasuk rumah saki, sedang masalah juga bisa timbul saat
Pasienpulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi
kebutuhan pasien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan
bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORI FRAKTUR HUMERUS

A. Pengkajian
Proses keperawatan dalam mengumpulkan inforasi atau tentang data pasien
agar dapat mengidentifikasikan, mengenali masalah-masalah keluhan dan
keperawatan pasien. Baik fisik, metal, sosial, dan lingkungan. Pengkajian pada
pasien post op fraktur humerus yaitu (Nursalam, 2014):
1. Identitas
Meliputi nama, faktor usia tidak menentu terkadang yang menderita
fraktur juga bisa pada usia remaja, dewasa, dan tua. Usia tua bisa
dikarenakan osteoporosis, sering terjadi pada laki-laki karena faktor
pekerjaan sedangkan pada usia remaja dan dewasa bisa dikarenakan
mengalami kecelakaan. Jenis kelamin belum dapat diketahui secara pasti
yang mendominasi pasien fraktur karena fraktur itu sendiri dikarenakan
mengalami kecelakaan yang tidak disengaja. Rendahnya pendidikan
berpengaruh juga karena kurangnya pengetahuan tentang rambu-rambu
lalu lintas sehingga pengguna bermotor dapat membahayakan diri sendiri
dan orang lain yang dapat mengakibatkan fraktur, tetapi ini semua
dianggap sudah resiko jika menggunakan kendaraan bermotor. Pekerjaan
yang keras yang mengakibatkan stres, kurangnya istirahat, mengkonsumsi
alkohol, mengkonsumsi stamina juga mengakibatkan resiko kecelakaan
yang tidak sengaja sehingga terjadinya fraktur. Selain hal tersebut diatas
juga termasuk di dalam pengkajian identitas ini meliputi: alamat, nomor
register tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS) dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah terasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut dan kronis tergantung lamanya serangan dan
tingkat atau kualitas nyeri tersebut. Dalam mengkaji nyeri maka digunakan
PQRST.
P = Provoking incident: penyebab nyeri yaitu post operasi fraktur
humerus
Q = Quality of pain: nyeri yang dirasakan atau digambarkan
Pasienseperti ; terbakar, tertusuk, atau berdenyut.
R = Regio : lokasi dari nyeri tersebut, yaitu pada daerah post operasi
fraktur humerus.
S = Scale of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa
berdasarkan skala nyeri, bisa dengan menggunakan skala nyeri angka
dan skala nyeri bergambar atau ekspresi
T = Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang (kronologi terjadinya fraktur dan kronologi
masuk px mulai dari igd, ok, perawatan)
Pada Pasien fraktur atau patah tulang dapat disebabkan oleh trauma atau
kecelakaan, degenertif, dan patologis yang didahului dengan pendarahan,
kerusakan jaringan sekitar yang menyebabkan nyeri, oedema, kebiruan,
pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada pasien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak
sebelumnya dan ada / tidaknya Pasienmengalami pembedahan perbaikan
dan pernah menderita osteoporosis sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga Pasienada / tidak yang mengalami osteoporosis, arthritis,
dan tuberculosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.
6. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Menjelaskan tentang kesadaran penderita, kesakitan atau keadaan
penyakit, dan TTV terkadang abnormal karena ada gangguan fisik.
b) Sistem respirasi (Breath)
Inspeksi : tidak ada perubahan yang menonjol seperti bentuk dada ada
tidaknya sesak nafas, pernafasan cuping hidung, dan pengembangan
paru antara kanan dan kiri simetris.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, gerakan vokal fremitus antara kanan
dan kiri sama.
Perkusi : bunyi peru resonan
Auskultasi : suara nafas vesikuler tidak ada suara nafas tambahan
seperti wheezing atau ronchi.
c) Sistem Cardiovaskular (Blood) :
Inspeksi : kulit dan membran mukosa pucat
Palpasi : tidak ada peningkatan frekuensi dan irama denyut nadi, tidak
ada peningkatan JVP, CRT biasanya menurun >3 detik pada
ekstremitas yang mengalami luka
Perkusi : bunyi jantung pekak
Auskultasi : tekanan darah normal atau hipertensi (kadang terlihat
sebagai respon nyeri), bunyi jantumg S1 dan S2 tunggal, tidak
terdengar suara tambahan seperti murmur dan gallop)
d) Sistem neurologi (Brain)
Inspeksi : menilai kesadaran pasien dengan GCS, tidak ada kejang,
tidak ada kelainan nervus cranialis
Palpasi : tidak ada nyeri kepala
e) Sistem Perkemihan (Bladder)
Inspeksi : pada miksi Pasientidak mengalami gangguan, warna urin
jernih, pasien biasanya masih menggunakan kateter buang air kecil 3-4
x/hari
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada kandung kemih
f) Sistem gastrointestinal (Bowel)
Inspeksi : keadaan mulut bersih, mukosa lembab
Palpasi : tidak ada nyeri tekan atau massa pada abdomen Perkusi :
normal suara tympani
Auskultasi : bissing usus mengalami penurunan karena efek anestesi
g) Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (Bone)
Inspeksi : aktivitas dan latihan mengalami perubahan / gangguan dari
post operative fraktur sehingga sebagian kebutuhan sehari-hari pasien
perlu dibantu oleh perawat atau keluarga, misalnya kebutuhan sehari-
hari kurang maksimal jika melakukannya sendiri. terkadang adanya
pembengkakan, adanya nyeri, kekuatan otot pada area fraktur
mengalami perubahan akibat kerusakan rangka neuromuscular, ROM
mengalami penurunan yaitu mengkaji dengan skala ROM :
Skala 0 : paralisis total
Skala 1 : tidak ada gerakan teraba / terlihat adanya kontraksi otot.
Skala 3 : gerakan normal menentang gravitasi
Skala 4 : gerakan normal menentang gravitasi dengan sedikit tekanan
Skala 5 : gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan tahanan
penuh
Palpasi : tekstur kulit kasar dan suhu kulit hangat pada area di sekitar
luka.
h) Sistem penginderaan
Inspeksi : pada mata terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis
(jika terjadi perdarahan), pergerakan bola mata normal, pupil isokor.
i) Sistem endokrin
Inspeksi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada pembesaran
kelenjar parotis.
j) Rasa nyaman/nyeri
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada
imobilisasi), tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
k) Kebersihan Perorangan
Klien fraktur pada umumnya sulit melakukan perawatan diri.
l) Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
m) Neurosensory
Biasanya klien mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan lunak dan hilangnya darah serta cairan seluler ke
dalam jaringan.
Gejala : Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan.
n) Keamanan
Tanda dan gejala : laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan local
o) Seksualitas
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
p) Keseimbangan dan Peningkatan Hubungan Resiko serta Interaksi
Sosial
Psikologis : gelisah, sedih, terkadang merasa kurang sempurna.
q) Sosiologis : komunikasi lancar/tidak lancar, komunikasi
verbsl/nonverbal dengan orang terdekat/keluarga, spiritual tak/dibantu
dalam beribadah.
B. Diagnosa
Menurut Nurafif (2015), diagnosa yang sering muncul pada pasien dengan
fraktur humerus yaitu :
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme
otot sekunder.
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas
jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
3. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya luka operasi pada
lengan atas.
4. Risiko cedera berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik
5. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan
penurunan kekuatan lengan atas.
6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi,
status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
7. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan sirkulasi darah perifer.
C. Intervensi
1. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme
otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau
dapat diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau
mengurangi nyeri. Klien tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri dengan skala 0-4.
Rasional : nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas
tingkat cidera.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional : imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada
lengan atas.
3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional : nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu,
distensi kandung kemih, dan berbaring lama.
4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan noninvasife.
Rasional : pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya efektif dalam mengurangi nyeri.
5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka
yang dapat mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional : teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2
padajaringan terpenuhi dan nyeri berkurang.
6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Rasional : mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang
menyenakan.
7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang
bantal kecil.
Rasional : istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan
meningkatkan kenyamanan.
8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan
dengan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Rasional : pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu
mengurangi nyeri. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
9) Pantau keadaan pemasangan gips.
Rasional : gips harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa
disangga) karena berat gips dapat digunakan sebagai traksi terus-
menerus pada aksis panjang lengan. Klien dinasihati untuk tidur dalam
posisi tegak sehingga traksi dari berat gips dapat dipertahankan secara
konstan.
10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional : analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan
berkurang.
2. Dx: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas
jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat ikut seta dalam program latihan, tidak
mengalami kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah, dan klien
menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan.
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional : imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada
lengan atas.
3) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang
tidak sakit.
Rasional : gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot,
serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
5) Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional : untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai
kemampuan.
6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien.
Rasional: kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dan tim fisisoterapi.
3. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée
luka operasi pada lengan atas.
Tujuan : infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil : klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan
pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan
menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional : mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang
mungkin timbul secara sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional : teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional : mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu
program latihan.
Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan
merangsang pengembalian system imun.
5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada
sifat pathogen dan infeksi yang terjadi.
4. Dx: Risiko cedera berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik
Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam mencegah cedera
Intervensi:
1) Pertahankan imobilisasi pada lengan atas
Rasional : meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara
fragmen tulanng dan jaringan lunak sekitarnya
2) Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan
sirkkullasi perifer
Rasional : Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai
secara dini adanya gangguan sirkulasi pada bagian distal lengan atas
3) Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan
selimut agar posisi tetap netral
Rasional : mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan
kenyamanan dan keamanan
4) Evaluasi bebat terhadap resolusi edema
Rasional : bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat menjadi
longgar dapat terjadi
5) Evaluasi tanda/gejala perluasan cedera jaringan (peradangan
local/sistemik, seperti peningkatan nyeri, edema, dan demam)
Rasional : menilai perkembangan masalah klien
5. Dx: Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular
dan penurunan kekuatan lengan atas.
Tujuan : perawatan diri klien dapat terpenuhi
Kriteria Hasil : klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri, mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan tingkat kemampuan, dan mengidentifikasi individu yang dapat
memmbantu
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk
melakukan ADL.
Rasional : memantau dalam mengantisipasi dan merencanakan
pertemuan untuk kebutuhan individual.
2) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
Rasional : hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga
harga diri klien karena klien dalam keadaan cemas dan membutuhkan
bantuan orang lain.
3) Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya.
Berikan klien motivasi dan izinkan ia melakukan tugas, kemudianb
beri umpan balik positif atas uasaha yang telah dilakukan.
Rasional : klien memerlukan empati dan perawatan yang konsisten.
Intervensi tersebut dapat meningkatkan harga diri, memandirikan
klien, dan menganjurkan klien untuk terus mencoba.
4) Rencanakan tindakan untuk mengurangi pergerakan pada sisi lengan
yang sakit, seperti tempatkan makanan dan peralatan dalam suatu
tempat yang belawanan dengan sisi yang sakit.
Rasional : klien akan lebih mudah mengambil peralatan yang
diperlukan karena lebih dekat dengan lengan yang sehat. \
5) Identifikasi kebiasaan BAB. Ajurkan minum dan tingkatkann latiahan.
Rasional : meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi.
6. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani
operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya
berkurang.
Intervensi:
1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan
tindakan bila klien menunjukan perilaku merusak
Rasional : reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi,
marah dan gelisa.
2) Hindari konfrontasi.
Rasional : konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan
kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.
3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan
yang tenang dan suasana penuh istirahat.
Rasional : mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
Rasional : control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga
cara membberikan informasi tentang keadaan klien, menekankann
penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang
positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta
memberikan umpan balik yang positif.
5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas
yang diharapkan.
Rasional : orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi
ansietas.
6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya
Rasional : dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran
yang tidak diekspresikan.
7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
Rasional : memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan,
menghilangkan ansietas, dan perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan
teman-teman yang dipilih klien untuk melakukan aktivitas pengalihan
perhatian akan mengurangi perasaan terisolasi.
7. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan sirkulasi darah perifer
Tujuan : risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berkurang atau
tidak terjadi dengan kriteria
Kriteria hasil : Tanda tanda vital Pasien dalam batas normal, edema pada
pasien lambat laun berkurang, CRT < 3 detik
Intervensi
1) Monitor vital sign pasien
Rasional : Untuk memantau keadaan normal Pasiendan memantau
perkembangan pasien
2) Monitor tingkat keparahan edema pasien
Rasional : Untuk memantau tingkat pembengkakan daerah distal luka
3) Menganjurkan pasien untuk rom pasif pada jari tangan
Rasional : Agar otot tangan pasien tidak kaku dan pasien tidak
mengalami kurang gerak
4) Menganjurkan pasien untuk mengonsumsi makanan tinggi protein
Rasional : Untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka post
operasi fraktur
5) Kolaborasi dengan tim medis lain yaitu fisioterapi
Rasional : Memberikan fisioterapi yang cocok untuk Pasiendalam
mempercepat proses penyembuhan luka post operasi
D. Implementasi
Implementasi adalah suatu tindakan pelaksana dari rencana yang sudah
dibuat untuk proses penyembuhan pasien selama pasien dirawat dirumah sakit,
setiap tindakan yang diberikan dari rencana harus diberi tanggal, waktu, dan
paraf (Mumpuni,2020)
E. Evaluasi
Evaluasi adalah respon pasien terhadap terapi dan kemajuan mengarah
pencapaian hasil yang diharapkan. Aktivitas ini berungsi sebagai umpan balik
dan bagian kontrol proses keperawatan, melalui mana status pernyataan
diagnostik pasien secara individual dinilai untuk diselesaikan, dilanjutkan,
atau memerlukan perbaikan (Mumpuni,2020)
Daftar Pustaka
Adi Mahartha Gde Rastu, Dkk. (2013). Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=14484&val=970diakses senin 28-12-2-15 (12:20)
Nurarif, Amin Huda, & Hardhi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 3.
Jogjakarta : MediAction
Nursalam, (2014). Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik
Keperawatan Profesional. Jakarta : Salemba Medika
Bruner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta EGC.
Mumpuni, (2020). Asuhan Keperawatan Tn. A dengan diagnosa medis “Post
Operatif Closed Fracture Humerus Sinistra” Di Ruang Melati Rsud Bangil
Pasuruan. Sidoarjo : Program DIII Keperawatan Akademi Keperawatan
Kerta Cendekia
Wardani, (2017). Laporan Pendahuluan “Fraktur Humerus” Di Ruang 20 Rsud
Dr.Saiful Anwar Malang. Malang : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kepanjen

Anda mungkin juga menyukai