Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan
terhadap penyakit. Salah satu penyebab terbesar kematian pada anak usia balita
di dunia adalah pneumonia ataupun bronkopneumonia. Pneumonia menjadi
target dalam Millenium Development Goals (MDGs), sebagai upaya untuk
mengurangi angka kematian anak. Sampai saat ini, penyakit pneumonia
merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Diperkirakan ada 14%
kematian anak diakibatkan oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS,
malaria dan tuberkulosis. Di Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan
kedua penyebab kematian pada balita setelah diare (WHO 2017).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2017 angka kejadian
penderita pneumonia maupun bronkopneumonia pada balita di Indonesia
tercatat sebanyak 447.431 balita menderita bronkopneumonia. Kematian balita
yang disebabkan oleh pneumonia tahun 2017 yaitu sebesar 1.351 balita, jumlah
tersebut cukup tinggi.
Demikian juga hasil survei di provinsi banten tercatat 30.402 balita
menderita pneumonia. Prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun mengalami
penurunan, namun tetap menjadi masalah besar karna angka data tersebut
masih terbilang cukup tinggi.
Penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumonia merupakan flora
normal pada kerongkongan manusia sehat. Ketika daya tahan tubuh mengalami
penurunan yang dapat disebabkan karena usia tua, masalah gizi, maupun
gangguan kesehatan, bakteri tersebut dapat memperbanyak diri setelah
menginfeksi. Infeksi yang terjadi pada individu umumnya dapat menimbulkan
gejala panas tinggi, nafas terengah berkeringat, dan denyut jantung meningkat
cepat. Akibatnya bibir dan kuku dapat membiru karena tubuh mengalami
kekurangan oksigen. Bahkan pada kasus yang parah, pasien akan menunjukan
gejala menggigil, mengeluarkan lendir hijau saat batuk, serta nyeri pada dada
(Misnadiarly, 2008)
Bronkopneumonia yang disebabkan oleh virus umumnya dapat sembuh
dengan pengobatan diberikan hanya bersifat mengurangi gejala, seperti obat
untuk batuk dan demam. Pengobatan dan perawatan pada pasien
bronkopneumonia di rumah sakit antara lain dapat dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya pemberian terapi simptomatik untuk meringankan gejala
bronkopneumonia seperti batuk, demam, dahak produktif dan obstruksi saluran
nafas. Bila terdapat obstruksi jalan nafas dan lendir serta ada febris, diberikan
obat bronkodilator. Pada umumnya faktor penyebab obstruksi jalan nafas atas
atau bawah pada anak dengan pneumonia yaitu karena peningkatan produksi
sekret sebagai salah satu manifestasi adanya inflamasi pada saluran nafas
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Ketidakmampuan mengeluarkan sekret merupakan kendala yang sering
dijumpai pada anak usia bayi sampai anak usia pra sekolah. Hal ini dapat
terjadi karena pada usia tersebut reflek batuk masih sangat lemah. Tatalaksana
pasien anak di rumah sakit secara farmakologi biasanya menggunakan terapi
inhalasi yang memberikan obat secara langsung pada saluran nafas melalui
hirupan uap untuk mengurangi gejala sesak nafas pada jalan nafas akibat sekret
yang berlebihan (Potter & Perry, 2006).
Obat bronkodilator merupakan salah satu obat yang sering digunakan
dalam terapi inhalasi karena dapat melebarkan saluran udara pada paru-paru,
obat ini bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di sekitar saluran
pernapasan yang menyempit sehingga udara dapat mengalir lebih lancar ke
dalam paru-paru. Tindakan ini termasuk aman karena efek obat yang bekerja
langsung pada saluran nafas. Kerja obat cepat dengan dosis minimal sehingga
konsentrasi obat dalam darah sedikit, dan tentunya efek samping obat pun
menjadi minimal. Pemilihan terapi ini harus sesuai indikasi karena
keberhasilannya dipengaruhi oleh pemilihan jenis obat dan teknik
pemberiannya (Katzung, BG. 2006).
Pentingnya pengobatan dan perawatan terhadap penyakit
bronkopnemonia, maka penulis akan membahas tentang pemberian terapi
inhalasi terhadap pasien bronkopneumonia untuk mengurangi gejala sesak
nafas.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik mengambil kasus dengan
judul “Penerapan Terapi Inhalasi Untuk Mengurangi Gejala Sesak Nafas Pada
Pasien Anak Dengan Bronkopneumonia.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan dengan penerapan terapi inhalasi
dapat mengurangi gejala sesak nafas pada anak dengan bronkopneumonia?

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Menggambarkan penerapan terapi inhalasi dapat mengurangi gejala
sesak nafas pada anak.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan adanya suara nafas tambahan, frekuensi nafas,
irama nafas, tarikan dinding dada ke dalam, dan adanya
pernafasan cuping hidung sebelum diberikan terapi inhalasi.
b. Menggambarkan adanya suara nafas tambahan, frekuensi nafas,
irama nafas, tarikan dinding dada ke dalam, dan adanya
pernafasan cuping hidung setelah diberikan terapi inhalasi.
D. Manfaat Studi Kasus
Karya tulis ini, diharapkan memberikan manfaat bagi:
1. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang cara meredakan sesak
nafas pada pasien Bronkopneumonia dengan menggunakan terapi
inhalasi.
2. Bagi Pengembangan Ilmu Teknologi Keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan
tentang cara meredakan sesak nafas pada pasien Bronkopneumonia
dengan menggunakan terapi inhalasi.
3. Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur terapi
inhalasi pada asuhan keperawatan pasien anak dengan
Bronkopneumonia.

Anda mungkin juga menyukai