Oleh :
2. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan faktor
penyebab pembedaran tiroid antara lain:
1) Defisiensi iodium :
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi
air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
2) Kelainan metabolik kongenital yang menghambat hormon tiroid
3) Penghambatan sintesis hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobal.
dan kacang kedelai)
4) Penghambatan sintesis hormon oleh obat-obatan (thiocarbamide, sulfonylyurea)
(Brunicardi et al, 2010)
3. Klasifikasi
Struma nodusa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu :
1) Berdasarkan jumlah nodul :
Bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodusa soliter (uninodusa), dan bila
lebih dari satu disebut struma multi nodusa.
2) Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radio aktif dikenal 3 bentuk nodul
tyroid yaitu :
Nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas.
3) Berdasarkan konsistensinya :
Nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.
(Brunicardi et al, 2010)
4. Manifesasi klinis
1) Gagguan menelan
2) Peningkatan metabolisme karena kien hiperaktif dengan meningkatnya denyut
nadi
3) Peningkatan simpat (jantung berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan
cuaca dingin, diare, gemetar dan kelelahan)
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodusa, dibedakan dalam hal :
1) Jumlah nodul ; satu (soliter), atau lebih dari satu (multipel)
2) Konsistensi : lunak, kistik, keras dan sangat keras
3) Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada.
4) Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5) Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tyroid ; ada atau tidak ada.
(Brunicardi et al, 2010)
5. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi
darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar tiroid, iodium
dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Thyroid Stimulating Hormone
(TSH) kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.
Senyawa yang terbentuk dalam molekul diidotironiin membentuk T4 dan T3. T4
menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bekerja langsung
pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme
tiroid sekaligus menghambat sintesis T4 dan melalui rangsangan umpan balik negatif
meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid.
6. Pathway
Defisiensi Yodium, Hiperekskresi TSH, Glikosit gaiostrogenik
Hipotalamus
TSH
Penurunan reflek
Nyeri di
batuk
persepsiakan
Akumulasi
sputum Nyeri Akut
8. Penatalaksanan
1) Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah
endemik sedang dan berat.
2) Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
3) Penyuntikan lipidol.
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik
diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan
anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8
cc.
4) Tindakan operasi (strumektomi).
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila
pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ
sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.
5) L-tiroksin selama 4-5 bulan
Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan
sidik tiroid ulng. Apabila nodul mengecil, terapi dianjutkan apabila tidak
mengecil bahkan membesar dilakukan biopsy atau operasi.
6) Biopsy aspirasi jarum halus.
Dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10mm
9. Penatalaksanaan Medis
1) Operasi / pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak
dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang
dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan.
Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal
(suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini
disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan
pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat
sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang
tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat
dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu
setelah tindakan pembedahan.
2) Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi
maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %.
Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga
memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak
meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik35 Yodium
radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di
rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi,
sebelum pemberian obat tiroksin.
3) Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena
itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini
juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi
pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat
ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol
10. Komplikasi
1) Gangguan menelan atau bernafas.
2) Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung
kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh).
3) Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang
menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tiddak efektif berhubungan dengan obstruksi trakea,
pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.
2) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan
laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada
sistem saraf pusat.
4) Nyeri akut berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot
dan edema pasca operasi.
5) Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang
ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
3. Intrvensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan
No DX
Tujuan Intervensi Rasional
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan perawatan 1. Monitor pernafasan dan 1. Mengetahui perkembangan
tidak efektif selama 1x24 jamdi kedalaman dan kecepatan dari gangguan pernafasan.
berhubungan dengan harapkan jalan nafas klien nafas. 2. Ronchi bisa sebagai indikasi
obstruksi trakea, dapat efektif dengan kriteria 2. Dengarkan suara nafas, adanya sumbatan jalan nafas.
pembengkakan, hasil: barangkali ada ronchi. 3. Indikasi adanya sumbatan
perdarahan dan spasme 1. Menunjukan jalan nafas 3. Observasi kemungkinan pada trakhea atau laring.
laryngeal. yang paten. adanya stridor, sianosis. 4. Memberikan suasana yang
2. Mendemonstrasikan batuk 4. Atur posisi semifowler lebih nyaman.
efektif dan suara nafas 5. Bantu klien dengan teknik 5. Memudahkan pengeluaran
yang bersih, tidak ada nafas dan batuk efektif. sekret, memelihara bersihan
sianosis dan dypsneu. 6. Melakukan suction pada jalan nafas.dan ventilsassi
3. Tidak ada sumbatan pada trakhea dan mulut. 6. Sekresi yang menumpuk
trakhea. 7. Perhatikan klien dalam hal mengurangi lancarnya jalan
menelan apakah ada nafas.
kesulitan. 7. Mungkin ada indikasi
perdarahan sebagai efek
samping opersi.
2. Gangguan komunikasi Setelah dilakukan perawatan 1. Kaji pembicaraan klien 1. Suara parau dan sakit pada
verbal berhubungan selama 1x24 jam secara periodik tenggorokan merupakan
dengan cedera pita diharapkan rasa nyeri 2. Lakukan komunikasi dengan faktor kedua dari odema
suara/kerusakan laring, berkurang. Dengan kriteria singkat dengan jawaban jaringan / sebagai efek
edema jaringan, nyeri, hasil: ya/tidak. pembedahan.
ketidaknyamanan. 1. Mampu berkomunikasi 3. Kunjungi klien sesering 2. Mengurangi respon bicara
secara efektif mungkin yang terlalu banyak.
2. Dapat menyatakan nyeri 4. Ciptakan lingkungan yang 3. Mengurangi kecemasan klien
berkurang tenang. 4. Klien dapat mendengar
dengan jelas komunikasi
antara perawat dan klien.
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan perawatan 1. Pantau tanda-tanda vital 1. Hypolkasemia dengan tetani
berhubungan dengan selama 1x24 jam dan catat adanya (biasanya sementara) dapat
proses pembedahan, diharapkan klien menunjukkan peningkatan suhu tubuh, terjadi 1 – 7 hari pasca operasi
rangsangan pada sistem tidak ada cedera dengan takikardi (140 – 200/menit), dan merupakan indikasi
saraf pusat. komplikasi terpenuhi atau disrtrimia, syanosis, sakit hypoparatiroid yang dapat
terkontrol. Dengan kriteria waktu bernafas terjadi sebagai akibat dari
hasil: (pembengkakan paru). trauma yang tidak disengaja
1. Klien bebas dari tanda 2. Evaluasi reflesi secara pada pengangkatan parsial
gejala infeksi periodik. Observasi adanya atau total kelenjar paratiroid
2. Tidak terdapat cedera peka rangsang, misalnya selama pembedahan.
3. Menunjukan kemampuan gerakan tersentak, adanya 2. Menurunkan kemungkinan
untuk mencegah timbulnya kejang, prestesia. adanya trauma jika terjadi
infeksi 3. Pertahankan penghalang kejang.
tempat tidur/diberi 3. Kalsium kurang dari 7,5/100
bantalan, tmpat tidur pada ml secara umum
posisi yang rendah. membutuhkan terapi
4. Memantau kadar kalsium pengganti.
dalam serum. 4. Memperbaiki kekurangan
5. Kolaborasi kalsium yang biasanya
Berikan pengobatan sesuai sementara tetapi mungkin juga
indikasi (kalsium/glukonat, menjadi permanen
laktat).
4 Nyeri akut Setelah dilakukan perawatan 1. Atur posisi semi fowler, 1. Mencegah hyperekstensi leher
berhubungan dengan selama 1x24 jam ganjal kepala /leher dengan dan melindungi integritas
dengan tindakan bedah diharapkan rasa nyeri bantal kecil pada jahitan pada luka.
terhadap jaringan/otot berkurang. Dengan kriteria 2. Kaji respon verbal /non 2. Mengevaluasi nyeri,
dan edema pasca hasil: verbal lokasi, intensitas dan menentukan rencana tindakan
operasi. 1. Melaporkan nyeri lamanya nyeri. keefektifan terapi.
berkurang atau hilang 3. Intruksikan pada klien agar 3. Mengurangi ketegangan otot
dengan rentang 0-3 menggunakan tangan untuk 4. Makanan yang halus lebih
2. Frekuensi nyeri berkurang menahan leher pada saat baik bagi klien yang
3. Menyatakan rasa nyaman alih posisi . menjalani kesulitan menelan.
setelah nyeri berkurang 4. Beri makanan /cairan yang 5. Memutuskan transfusi SSP
halus seperti es krim. pada rasa nyeri.
5. Lakukan kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
analgesik.
5 Kurangnya Setelah dilakukan perawatan 1. Diskusikan tentang 1. Mempertahankan daya tahan
pengetahuan yang selama 1x24 jam diharapkan keseimbangan nutrisi. tubuh klien.
berhubungan dengan Pengetahuan klien bertambah. 2. Hindari makanan yang
salah interprestasi yang Dengan kriteria hasil : banyak mengandung zat 2. Kontraindikasi pembedahan
ditandai dengan sering 1. Klien mengetahui goitrogenik misalnya kelenjar thyroid
bertanya tentang penyebab dan factor yang makanan laut, kedelai,
penyakitnya. berkontribusi terhadap Lobak cina dll. 3. Memaksimalkan suplai dan
terjadinya penyakit. 3. Konsumsikan makanan absorbsi kalsium.
2. Mengethaui tanda dan tinggi calsium dan vitamin
gejala dari penyakit. D.
3. Klien dapat menggunakan
strategi untuk
meminimallisir laju
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, drs. AMK. 2010. Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan, edisi 3.
EGC : Jakarta.
Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P. 2009. Assesment of nodular goiter. Journal of
Elseiver.
Smeltzer, Suzanne. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &Suddart