Artikel ini menjelaskan tentang berbagai perubahan masyarakat di Indonesia saat terjadinya penjajahan
bangsa kolonial Belanda dan Jepang
Banyak yang bilang kalau belajar sejarah itu tidak penting-penting amat. Buat apa kita mempelajari
kejadian yang sudah lewat? Kenyataannya, apa yang kamu lakukan sekarang adalah akibat dari kejadian-
kejadian di masa lalu. Bukan tidak mungkin jalan yang kamu lewati ke sekolah merupakan hasil dari
kesepakatan beberapa pihak di masa lalu.
Di artikel kali ini, kita akan membahas tentang kehidupan masyarakat di masa penjajahan. Baik saat
masa penjajahan Kolonial, maupun saat Jepang berada di Indonesia. Kira-kira gimana ya situasinya
waktu itu?
separator - kolonial
Meskipun telah berkembang sebelum penjajahan, perkebunan di Indonesia mengalami kemajuan yang
cukup signifikan. Adanya penambahan jumlah lahan untuk mengembangkan berbagai tanaman ekspor.
Pemerintah Kolonial juga melibatkan perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia. Hutan dibuka
untuk pembukaan lahan perkebunan.
Nah, yang namanya pembukaan lahan pasti harus diatur oleh manusia dong. Nggak mungkin hutan
ditebas, dijadikan lahan pertanian lalu nggak ada kehidupan di sekitar sana. Gara-gara Kolonial yang
berfokus pada hal ini, mau nggak mau, penduduk kita jadi tersebar. Salah satunya, karena adanya
perjanjian Politik Etis yang memberikan tiga keuntungan: 1) Irigasi, 2) Transmigrasi, dan 3) Edukasi.
Hutan-hutan di Sumatera Selatan, misalnya. Dibabat dan diubah kegunaannya. Sebagian ada yang
menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Ada juga yang menjadi lahan irigasi yang digunakan di
sepanjang alirannya dimanfaatkan sebagai lumbung padi.
Salah satu bekas peninggalan yang paling nyata adalah saluran air Bendung Komering 10 di Kabupaten
OKU Timur. Sampai saat ini, masih dimanfaatkan dengan baik untuk lahan sekitar.
Selain concern terhadap perkebunan yang tinggi, Kolonial juga membangun berbagai infrastruktur
seperti jalan raya, rel kereta, dan telepon.Jalan Raya Pos
Dia datang ke Batavia pada 5 Januari 1808. Sebagai Gubernur Jenderal, ia mendapat mandat untuk
menjaga Hindia agar tidak jatuh ke tangan Inggris yang saat itu sedang berpusat di India. Demi
menjalankan misinya tersebut, ia memutuskan untuk membuka jalan dari Anyer (Banten) sampai
Panarukan (Situbondo, Jawa Timur).
Tentu aja, proyek ambisius Daendels ini harus dibayar mahal oleh para pekerja dari kaum pribumi kala
itu. Kaum pribumi, dalam artikel Sejarah Jalur Daendels: Semacam Jalan Tol di Era Hindia Belanda
dikatakan “dipekerjakan secara paksa tanpa diberi upah.”
Saat ini, jalur ini biasa kita sebut dengan Pantura (Pantai Utara). Salah satu jalan sentral yang sering
dilewati pemudik ketika lebaran. Walau begitu, dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (201), Jan
Breman mengatakan kalau proyek jalan ini menelan belasan ribu korban jiwa.
Inilah ironisnya: di satu sisi, Daendels berjasa bagi pembangunan kita. Tapi di sisi lain, ia juga menelan
banyak korban. Bayangkan coba kalau hal ini terjadi di masa sekarang? Sebagai sobat rebah, kita pasti
ngamuk. Lagi enak-enak tiduran nonton Spongebob, eh disamperin emak. ‘Gali jalan lo sono! Tiduran
aje?!’
separator - jepang
Meskipun sama-sama datang dengan tujuan menguasai Indonesia, Jepang terkenal "lebih sadis dan
brutal" dibandingkan para Koloni. Bayangkan, dari awal kedatangannya, Jepang menggunakan strategi
licik: propaganda. Ia berpura-pura menjadi juru selamat bagi negara-negara di Asia. Slogannya adalah
3A: Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia.
Propaganda Jepang udah kayak cara kita ngecek duit asli. "Ingat tiga D! Dilihat, diraba, diterawang!"
Terbayang masa-masa kelam itu. Ketika kaum pribumi mulai curiga dengan tingkah laku Jepang, mereka
tinggal tutup mulut kita. ‘Ssst! Jangan banyak protes! Ingat 3A! Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung
Asia, Jepang Cahaya Asia!’
Upaya pemasukan budaya Jepang memang sangat kental. Anak-anak sekolah harus menyanyikan
Kimigayo, harus menghormati bendera Hinomaru, dan mendengarkan lagu-lagu AKB48. Oke, yang
terakhir bercanda.
Jepang juga mengeruk sumber daya alam yang ada. Lahan-lahan perkebunan yang sebelumnya dibuat
oleh Belanda, kini diganti menjadi lahan pertanian. Oke, mungkin kamu bertanya ‘Apa bedanya, Kak?’
Bedanya, pada masa Jepang, lahan pertanian dipakai untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari aja.
Berbeda dengan Belanda yang bisa diekspor sehingga meningkatkan ekonomi masyarakat.
Perintah pembayaran pajak yang tinggi juga diterapkan oleh Jepang. Udah kita dipersulit dapet uang, eh
malah “dipalak”. Alhasil, miskin lah kita cuy. Sampai-sampai banyak penduduk yang terpaksa
mengenakan baju dari karung goni.