Anda di halaman 1dari 18

MALABSORBSI (3A)

DEFINISI

suatu keadaan terdapatnya gangguan pada proses absorbsi secara normal pada satu atau lebih zat
gizi pada setiap titik di mana nutrisi diserap.

Maldigestion mengacu pada pencernaan nutrisi yang terganggu di dalam lumen usus atau di brush
border.

ETIOLOGI

Dapat terjadi dari berbagai kelainan dalam proses absorpsi dan pencernaan. Kelainan ini dapat
terjadi karena :

- Penyakit permanent dari mukosa


- Kondisi yang menyebabkan kerusakan mukosa
- Defek kongenital pada sistem transport membran usus
- Terganggunya motilistas sistem pencernaan (penurunan peristaltik dan stasis)
- Flora bakteri yang terganggu
- Infeksi
- Aliran darah atau limfatik yang terganggu

Hasilnya adalah gangguan global penyerapan semua nutrisi atau nutrisi tertentu.

 Defisiensi enzim atau adanya gangguan pada mukosa usus tempat absorbsi zat tersebut
 Reseksi usus halus atau kolon
Pada bagian tersebut tudak terjadi absorbsi zat gizi
 Reseksi lambung
 Malabsorbsi lemak
 Reseksi ileum hingga 60 cm atau yang melibatkan ileocecal valve
 Malabsorbsi vitamin B12, garam empedu, dan lemak
 Reseksi usus halus hingga 75%
 Malabsorbsi lemak, glukosa, protein, asam folat, dan vitamin B12
 Reseksi luas meliputi yeyenum dan ileum
 Malabsorbsi total seluruh zat nutrisi
 Reseksi pankreas
 Malabsorbsi akibat defisiensi dari enzim pankreas

PATOFISIOLOGI

Ketika proses penyakit mengganggu salah satu fase luminal, mukosa, atau postabsortif, akibatnya
sering terjadi malabsorpsi.

MALABSORPSI LEMAK

Biasanya menyebabkan steatorrhea

- Penurunan pH duodenum (N: 6.5)


- Hilangnya area penyerapan pada permukaan usus
- Gangguan pengolahan lemak oleh asam empedu
- Overgrow bakteri usus halus
- Insufisiensi eksokrin pankreas
- Defek sekresi kilomikron/lipoprotein
- Kelainan sistem limfatik

MALABSORPSI KARBOHIDRAT

- Defisiensi amilase pankres


- Aktivitas disakaridase yang tidak adekuat
- Hilangnya area penyerapan pada permukaan usus

MALABSORPSI PROTEIN

- Terganggunya aktivitas dan/atau sekresi bikarbonat pankreas dan protease


- Hilangnya area penyerapan pada permukaan usus

MALABSORPSI VITAMIN, MINERAL, DAN ZAT LAIN

- Kelainan patologi dari lambung atau bagian proksimal usus halus (B12)
- Malabsorbsi lipid
- Hilangnya area penyerapan pada permukaan usus
DIAGNOSIS

Anamnesis

 Diare kronis
Biasanya bentuk feses cair mengingat gangguan pada usus halus tidak ada zat nutrisi yang
terabsorbsi sehingga feses tak berbentuk.
 Malabsorbsi lemak → fesesnya berminyak (steatore)

Pemeriksaan Fisik

 Dapat ditemukan tanda anemia (karena defisiensi besi, asam folat, dan B12)
o konjungtiva anemis
o kulit pucat
o status gizi kurang.
 Dicari tanda dan gejala spesifik tergantung dari penyebabnya.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap

 Anemia/Tidak

Malabsorbsi
MCV rendah Defisiensi Fe
Fe
Hb rendah Defisiensi Malabsorbsi
Folat Folat
MCV tinggi
Defisiensi Malabsorbsi
Vitamin B12 Vitamin B12

Pemeriksaan Radiologi

 Foto polos abdomen


 ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan Histopatologis Usus Halus

 Menentukan penyebab dari lesi yang ditemukan


 Melalui esofagogasroduodenoskopi

Pemeriksaan Lemak Feses (Fecal Fat)

 Pewarnaan sudan

Pemeriksaan Laboratorium Lain

 Pemeriksaan Fungsi pakreas


 Pemeriksaan asam empedu
 Pemeriksaan toleransi xylose
 Pemeriksaan absorbsi pankreas
 Pemeriksaan absorbsi vitamin B12 (schilling)

TATA LAKSANA

Tergantung penyebab

 Pembatasan nutrisi tertentu


sedikit-sedikit, tetapi sering
o Menghindari konsumsi susu (terutama laktase)
o Pembatasan lemak (<30 g/hari)
dinaikan secara bertahap tegrantung toleransi
o Penyakit coeliac : diet bebas gluten
 Suplementasi vitamin dan mineral
o Kalsium
o Vitamin A, D, E, K
o Vitamin B12 (reseksi ileum)
o Folat (gangguan usus halus)
 Suplemen enzim pencernaan
Enzim pankreas
o Lipase
o Amilase
o Protease
 Obat-obatan
Disesuaikan dengan keadaan atau gangguan yang terjadi
o Antibiotik diberikan jika malabsorbsi disebakan oleh overgrowth bakteri
enterotoksigenik: E. colli, K. Pneumoniae dan Enterrobacter cloacae pada usus halus
atas
o Kortikosteroid
o Antidiare
DIAGNOSIS BANDING

 Pankreatititis
 Penyakit Chrons pada illeum terminalis
 Sprue Celiac
 Penyakit whipple
 Amiloidosis
 Defisiensi laktase
 Sindrom Zollinger-Ellison
 Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus halus atau kolon

KOMPLIKASI

 Dehidrasi dan gangguan elektrolit


 Malnutrisi
 Penurunan Berat badan
 Defisiensi vitamin, mineral, dan zat lain→ Osteomalasia/riketsia, koagulomati, gangguan
penglihatan, kelainan kulit, anemia
 Gangguan kardiovaskular (aritmia)
 Disfungsi neurologik (Neuropati, ataxia)
 Disfungsi endokrin (disfungsi paratiroid, kelelahan kronis)

PROGNOSIS

Tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan pengobatannya.

Pada umumnya, prognosis tidak mengancam jiwa, namun fungsionam dan sanationamnya adalah
dubia ad bonam.
KERACUNAN MAKANAN (4)
Pada tata laksana keracunan pemeriksaan penunjang tidak diutamakan yang diutamakan adalah
penatalaksanaan dari keracunan tersebut.

Foodborne Illness

DEFINISI

Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan pencernaan yang disebabkan oleh
konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan zat patogen dan atau bahan kimia, misalnya
Norovirus, Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter, dan Staphylococcus aureus.

EPIDEMIOLOGI

 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, telah terjadi dua
milyar kasus dan lebih dari satu juta kematian akibat keracunan makanan dari 22 etiologi
yang berbeda. Prevalensi ini berbeda-beda tergantung dari negara masing-masing.
 Berdasarkan data dari Center for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat, sekitar 76 juta
orang mengalami keracunan makanan setiap tahunnya. Dari angka tersebut, 300.000 di
antaranya membutuhkan rawat inap dan 5.000 kasus berakibat fatal sampai ke kematian.

ETIOLOGI

 Bakteri
 Virus
 Parasit
FAKTOR RISIKO

 Riwayat makan/minum di tempat yang tidak higienis


 Makanan mentah yang berasal dari hewan, yaitu daging mentah dan unggas, telur mentah,
susu yang tidak dipasteurisasi, dan kerang mentah adalah yang paling mungkin
terkontaminasi.
o Konsumsi daging/unggas yang kurang matang dapat dicurigai untuk Salmonella spp,
Campylobacter spp, toksin Shiga E coli, dan Clostridium perfringens.
o Konsumsi makanan laut mentah dapat dicurigai untuk Norwalk- like virus, Vibrio spp,
atau hepatitis A.
 Buah dan sayuran juga dapat terkontaminasi dengan kotoran hewan jika kotoran digunakan
untuk memupuk produk di lapangan, atau air kotor digunakan untuk mencuci produk.
 Kecambah mentah karena kondisi di mana mereka bertunas ideal untuk menumbuhkan
mikroba.
 Jus atau sari buah yang tidak dipasteurisasi juga dapat terkontaminasi jika terdapat patogen
pada buah yang digunakan untuk membuatnya.
 Makanan apa pun yang disentuh oleh orang yang sakit muntah atau diare, atau yang baru
saja menderita penyakit semacam itu, dapat terkontaminasi. Ketika makanan ini tidak
dimasak setelah itu (mis., Salad, buah potong) mereka dapat menularkan penyakit ke orang
lain.
 Risiko Tinggi
o Usia Lanjut
Semakin bertambahnya usia sistem imun mungkin tidak berespon cepat dan efektif
terhadap organisme penginfeksi sperti pada usia muda
o Kehamilan
Perubahan metabolisme dan sirkulasi.
o Bayi dan anak
Sistem imun belum berkembang
o Penderita penyakit kronik
Diabetes, penyakit liver, AIDS, kemoterapi, radioterapi akan mengurangi respon
imun

PATOFISIOLOGI

Diare noninflamasi disebabkan karena enterotoksin pada mekanisme sekresi di mukosa usus halus
(tanpa adanya invasi) yang mengakibatkan tinja berair (tanda darah, nanah, atau nyeri perut) yang
dapat berakibat terjadinya dehidrasi.

Diare inflamasi disebabkan sitotoksi di mukosa yang mengakibatkan invasi dan destruksi yang
mengakibatkan diarenta berdarah, berlendir, dan ditemukan leukosit. Toksinnya juga
mengakibatkan demam.

Pada beberapa tipe keracunan makanan (eg, staphylococci, B cereus) muntah terjadi karena
toksinnya mempengaruhi sistem saraf pusat.

Patofisiologi keracunan makanan non infeksi masih belum diketahui.


ANAMNESIS

 Diare akut.
Pada keracunan makanan biasanya berlangsung kurang dari 2 minggu. Darah atau lendir
pada tinja; menunjukkan invasi mukosa usus atau kolon.
 Nyeri perut.
Nyeri kram otot perut; menunjukkan hilangnya elektrolit yang mendasari, seperti pada
kolera yang berat.
 Kembung.
 Mual
 Muntah
 Demam

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk menilai keparahan dehidrasi.

 Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda tekanan darah turun, nadi cepat, mulut kering,
penurunan keringat, dan penurunan output urin.
 Nyeri tekan perut, bising usus meningkat atau melemah.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses untuk telur cacing dan parasit.
 Pewarnaan Gram, Koch dan metilen biru Loeffler untuk membantu membedakan penyakit
invasifdari penyakitnon-invasif.

DIAGNOSIS BANDING

 Intoleransi
 Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain.

KOMPLIKASI

Dehidrasi berat

TATA LAKSANA

 Rehidrasi yang cukup dan suplemen elektrolit.


o Pemberian cairan rehidrasi oral (oralit) atau larutan intravena (misalnya, larutan
natrium klorida isotonik, larutan Ringer Laktat).
o Rehidrasi oral dicapai dengan pemberian cairan yang mengandung natrium dan
glukosa.
o Obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium hidroksida) membantu
memadatkan feses diberikan bila diare tidak segera berhenti.
 Diphenoxylate dengan atropin (Lomotil) tersedia dalam tablet (2,5 mg
diphenoxylate) dan cair (2,5 mg diphenoxylate / 5 mL). Dosis awal untuk
orang dewasa adalah 2 tablet 4 kali sehari (20 mg / d), digunakan hanya bila
diare masif.
 Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus ditentukan dengan
melakukan kultur tinja. Untuk itu harus segera dirujuk.
 Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri.

PROGNOSIS

Umumnya bila tidak mengalami komplikasi adalah bonam.

PENCEGAHAN

Edukasi dan promosi kesehatan untuk selalu menjaga kebersihan dan higienitas makanan, terutama
dalam proses membersihkan, mengolah, dan menyimpan makanan.

 Cuci tangan, peralatan makan, dan permukaan makanan


 Pisahkan makanan mentah dan matang
 Masak makanan dengan matang
KERACUNAN RACUN ALAM (3B) : RACUN TANAMAN
JAMUR AMANITA PHALLOIDES

GAMBARAN AMANITA PHALLOIDES


 Sering ditemukan di daerah pedalaman yang berhutan
 Ada sebuah annulus atau cincin (ring) di sekeliling stipe (batang) yang disebut death cup,
spora biasanya berwarna putih dengan gills (permukaan dibawah cup) berwarna putih juga
dan gills ini tidak melekat pada batang sehingga disebut free gills
 Paling toksik dan menyebabkan 90% kematian

PATOFISIOLOGI

Mengandung racun amatoksin 10-15 mg (dimana dosis letalnya adalah 0.1 mg/kgBB) ->
menghambat polimerasi RNA -> menghambat sintesa protein seluler.

GEJALA KLINIS

 Diawali periode laten (waktu antara menelan jamur dengan munculnya gejala): Asimtomatik
6 – 12 jam
 Fase gastroenteritis : Nyeri perut (cramp), muntah dan atau diare dapat menyebabkan
dehidrasi dan syok hipovolemi dalam 24 jam pertama.
 Setelah fase gastroenteritis dapat dilalui dengan selamat, penderita tampak baik selama 1 –
2 hari.
 Kemudian akan muncul kegagalan faal hepar dengan peningkatan SGOT dan SGPT sampai >
10.000 U/L, hiperbilirubinemia dan waktu protrombin memanjang.
 Dapat disertai penurunan fungsi ginjal, gangguan jantung, dan otot skelet
 Jika terdapat enselofati hepatikum, asidosis metabolik, dan hipoglikemi, prognosa biasanya
buruk dan fatal

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Laboratorium: Hb, lekosit, trombosit, kreatinin, urea N, SGOT, SGPT, Kreatinin, Urea N, Gula
darah, elektrolit, fibrinogen, protrombin, waktu pembekuan, amilase, lipase, urin rutin
 Tes Meixner untuk mendeteksi amanitotoxin
Tes Meixner (juga dikenal sebagai tes Wieland) menggunakan terkonsentrasi asam
hidroklorik dan koran untuk menguji yang mematikan amatoxins ditemukan di beberapa
spesies Amanita, Lepiota, dan Galerina. Tes menghasilkan positif palsu untuk beberapa
senyawa, seperti psilocin.

TATA LAKSANA

- Antidotum : Silibinin bolus 5 mg/kg sebagai iv infus selama 1 jam selanjutnya 20 mg/kg/24
jam sebagai infus kontinu minimal selama 3 hari setelah tertelan. Bila tidak tersedia dapat
diberi Benzilpenisilin 300 mg/kg/24 jam sebagai infus kontinue
JENGKOL (Pithecellobium jiringa)
Zat beracunnya : Asam Jengkol

Biasanya biji jengkol mentah atau setengah matang sangat dicurigai sebagai penyebab keracunan
jengkol karena asam jengkolnya masih dalam keadaan aktif dan masih utuh.

Terjadinya keracunan jengkol tidak tergantung pada jumlah, tua/muda, dan cara memasak tetapi
tergantung kerentanan seseorang.

PATOFISIOLOGI

Asam jengkol dapat melalui capsula Bowman dan apabila dalam tubulu renalis terjadi kejenuhan,
asam jengkol akan mengkristal sehingga terjadi obstruksi di tubuli renalis sehingga meningkatkan
tekanan hidrostatik dalam tubuli dan glomeruli yang menimbulkan keluhan kolik ginjal. Apabila
tekana hidrostatik ini semakin tinggi dan menyamai tekanan hidrostatik arteriole afferen, maka
filtrasi glomerulu akan terhenti dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

GEJALA KLINIS

Gejalanya muncul 5-12 jam setelah makan jengkol:

- Nyeri perut kolik


- Muntah
- Disuria (gangguan berupa munculnya nyeri atau perih saat sedang buang air kecil
atau setelahnya)
- Hematuri
- Bau jengkol pada napas, mulur, dan urine
- Pada urin terdapat endapan putih
- Pada orificio urethra externa terdapat residu berwarna putih yang mengering
- Jika berlanjut : Gagal ginjal akut = fase oligouria-anuria <30cc/jam atau <400 cc/24 jam) yang
diikuti fase poliuria.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Pada kasus dengan komplikasi gagal ginjal akut: Hb, lekosit, trombosit, elektrolit, kreatinin,
urea N, Gula darah, Analisa Gas Darah, Urine rutin
- Adanya kristal jengkol dalam urine

TATA LAKSANA

- Antidotum : Na bikarbonat 4 x 2 gram seharu peroral sampai asimptomatis untuk mencegah


terbentuknya kristal
- Jika terdapat gagal ginjal akut : Na bikarbonat per infus dengan dosis sesuai analisa gas
darah
KERACUNAN INSEKTISIDA (3B)
Pestisida pembunuh insekta. Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus
dengan sempurna. Jenis yang paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia adalah golongan
organofosfat dan organoklorin.

KERACUNAN GOLONGAN ORGANOFOSFAT


FAKTOR RISIKO

Riwayat kontak dengan insektisida golongan organofosfat

PATOFISIOLOGI

Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase, sehingga
asetilkolin tidak terhidrolisa sehingga asetilkolin berlebihan, mengakibatkan perangsangan terus
menerus saraf muskarinik dan nikotinik.

GEJALA KLINIS

 Efek Muskarinik
Akibat hiperaktivitas parasimpatik
- Kardiovaskular; bradikardia dan hipotensi.
- Mata; pupil mengecil dan penglihatan kabur, lakrimasi
- Saluran napas; bronkospasme, batuk, bersin, dispnea dan dada sesak.
- Saluran cerna; mual, muntah, diare dan sakit perut.
- Pengeluaran cairan tubuh; pengeluaran keringat meningkat, lakrimasi, salviasi dan
juga sekresi bronchial.

 Efek Nikotinik
Akibat hiperaktivasi simpatik dan disfungsi neuromuskuler
- Otot-otot; lemah, fascikulasi dan kram.

 Efek Sistem Saraf Pusat


sakit kepala, bingung, berbicara tidak jelas, ataksia, demam, konvulsi dan koma.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Laboratorium : Hb, Lekosit, Trombosit, Analisa Gas Darah, Elektrolit, Kreatinin, Urea N, Gula
darah, urine rutin,
 Penurunan aktivitas asetilkolin esterase pada eritrosit dan darah sebanyak 25% atau lebih
 Oximetri
 EKG
 Foto thorax
TATA LAKSANA

Keracunan Akut

 Tindakan Gawat Darurat


o Buat saluran napas.
o Pantau tanda-tanda vital.
o Berikan pernapasan buatan dengan alat dan beri oksigen.
o Berikan atropin sulfat 2 mg secara i.m, ulangi setiap 3 – 8 menit sampai gejala
keracunan parasimpatik terkendali.
o Berikan larutan 1g pralidoksim dalam air secara i.v, perlahan-lahan, ulangi setelah 30
menit jika pernapasan belum normal. Dalam 24 jam dapat diulangi 2 kali. Selain
pralidoksim, dapat digunakan obidoksim (toksogonin).
o Sebelum gejala timbul atau setelah diberi atropine sulfat, kulit dan selaput lendir
yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan air dan sabun.
o Jika tersedia Naso Gastric Tube, lakukan bilas lambung dengan air dan berikan sirup
ipecac supaya muntah.
 Tindakan Umum
o Sekresi paru disedot dengan kateter.
o Hindari penggunaan obat morfin, aminofilin, golongan barbital, golongan fenotiazin
dan obat-obat yang menekan pernapasan.

Keracunan Kronik

Jika keracunan melalui mulut dan kadar enzim kolinesterase menurun, maka perlu dihindari kontak
lebih lanjut sampai kadar kolinesterase kembali normal.

KOMPLIKASI

 edema paru
 pernapasan berhenti
 blockade atrioventrikuler
 konvulsi
KERACUNAN ORGANOKLORIN
ETIOLOGI

Insektisida organoklorin dikelompokkan menjadi tiga golongan berikut:

 DDT (Dikloro Difenil Tri Kloroetana) dan analognya, misalnya BHC, dicofol, Klorobenzilat, TDE
dan metoxychlor.
 Senyawa siklodien, misalnya aldrin, dieldrin, endrin, endusulfan dan heptaklor
 Terpena berklor, misalnya toksafen

FAKTOR RISIKO

Riwayat kontak dengan insektisida golongan organoklorin

GEJALA KLINIS

 Gejala keracunan turunan halobenzen dan analog, terutama muntah, tremor dan konvulsi.
 Pada keracunan akut melalui mulut disebabkan oleh 5 g DDT akan menyebabkan muntah-
muntah berat setelah 0,5 – 1 jam, selain kelemahan dan mati rasa pada anggota badan yang
terjadi secara bertahap, rasa takut, tegang dan diare juga dapat terjadi.
 Dengan 20 g DDT dalam waktu 8 – 12 jam kelopak mata akan bergerak-gerak disertai tremor
otot mulai dari kepala dan leher, selanjutnya konvulsi klonik kaki dan tangan. Nadi normal,
pernapasan mula-mula cepat kemudian perlahan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Hb, leukosit, trombosit, elektrolit, gula darah, SGOT, SGPT, kreatinin, dan urea N.

TATA LAKSANA

Tindakan gawat darurat:

 Jika keracunan melalui mulut, usahakan untuk muntah


 Pantau tanda-tanda vital.
 Berikan karbon aktif, diikuti bilas lambung dengan air 2 – 4 liter. Kemudian berikan obat
pencuci perut. Pembersihan usus, juga dapat dilakukan dengan 200 mL larutan manitol 20 %
dengan melalui pipa.
 Jangan diberi lemak atau minyak.
 Jika kulit juga terkena, bersihkan dengan air dan sabun.

Tindakan umum:

 Untuk mengatasi konvulsi, berikan diazepam 10 mg secara i.v perlahan-lahan. Jika belum
menunjukkan hasil berikan obat yang memblokade neuromuscular.
 Atasi hiperaktivitas dan tremor, berikan natrium fenobarbital 100 mg secara s.c setiap jam
sampai mencapai jumlah 0,5 g atau sampai konvulsi terkendali.
 Jangan diberi obat stimulan terutama epinefrin, karena dapat menimbulkan fibrilasi
ventrikuler.

PENCEGAHAN

 Pestisida sebaiknya disimpan dalam tempat aslinya dengan etiket yang jelas dan disimpan di
tempat yang tidak terjangkau oleh anak-anak, serta jauh dari makanan dan minuman.
 Pada waktu menggunakan pestisida, perlu diikuti dengan cermat dan tepat, sesuai prosedur
dan petunjuk lain yang telah ditentukan.
 Hindari kontak atau menghisap pestisida.
 Pada waktu bekerja dengan pestisida, sebaiknya tidak sambil makan, minum atau merokok.
 Tempat atau wadah pestisida yang telah kosong, sebaiknya dibuang atauNdimusnahkan,
demikian juga pestisida yang tidak berlabel atau etiketnya sudah rusak, sehingga tidak dapat
diketahui dengan pasti.
 Tergantung pada tingkat toksisitasnya, jika bekerja yang berhubungan dengan pestisida,
sebaiknya tidak lebih dari 4 – 5 jam.

Anda mungkin juga menyukai