Anda di halaman 1dari 46

TINJAUAN YURIDIS PERUSAHAAN BUMN DIKAITKAN DENGAN

PERMASALAHAN TENAGA KERJA OUTSOURCING DALAM

PERUSAHAAN BUMN

(Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang BUMN dan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan )

MAKALAH

Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Kelulusan

Mata Kuliah Hukum Perusahaan

Oleh :

MAYA TIARA SARI

010117015

Kelas Ekstensi Hukum

Dosen :

1. AGUS SATORY, S.H.,M.H.


i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala,

karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “TINJAUAN YURIDIS PERUSAHAAN BUMN DIKAITKAN

DENGAN PERMASALAHAN TENAGA KERJA OUTSOURCING DALAM

PERUSAHAAN BUMN”. Makalah ini saya susun guna memenuhi salah

satu persyaratan Kelulusan Mata Kuliah Hukum Perusahaan.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu Saya

menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya

mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca makalah ini agar

penulis bisa menyadari kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi pembaca dan

bermanfaat umtuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Amin.

Bogor, 01 Januari 2020

MAYA TIARA SARI

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……………………………...…………………………............i

DAFTAR ISI……………..…………………………………………………………….ii

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1

1. Latar Belakang ……………………………….………………….………………1

2. Identifikasi Masalah…………....………………………...………………………5

3. Tujuan Penulisan……………………….………………………………………...6

4. Manfaat Penulisan ….………………………………………...…………………6

BAB II

TINJAUAN TEORI MENGENAI BUMN DAN KETENAGAKERJAAN

A. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) …………………………………….........10

1. Pengertian dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan UU No. 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ……………..……………….……...10

2. BUMN sebagai Badan Hukum ………………………….…………………..…...11

3. Bentuk Badan Usaha Milik Negara ………………………………..……….…….12

B. OUTSOURCING …………………………………………………………........….17

BAB III

PEMBAHASAN ………………………...………………………………………..........22

A. BUMN dan OUTSOURCING ………………………………………..……………22

B. Hak dan Kewajiban Pegawai Outsourcing …………….………………………..24

C. Permasalahan didalam Pelaksanaan Outsourcing ………………………….…25

ii
D. KASUS DAN ANALISIS ………………………………………………………….29

1. Profil PT. Telekomunikasi TBK .…………………………………………………29

2. Permasalahan ………….………………………………………………………….31

3. Analisis Kasus ………………………………………..……………………………34

BAB IV

PENUTUP……………………………………………………………………………..41

1. Kesimpulan……………………..…………………………………………..……...41

2. Saran ………………….…………………………………….…………………..….42

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional merupakan wujud pengamalan terhadap Pancasila

dan juga pelaksanaan terhadap amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945, yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa

Indonesia dalam rangka mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang adil,

makmur, dan sejahtera. Pembangunan Nasional sebagai upaya meningkatkan

kualitas hidup bangsa Indonesia didalam segala aspek kehidupan yang mencakup,

aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan Negara yang

dilakukan secara terencana, terpadu, terarah, menyeluruh, dan berkelanjutan.

Bagi suatu negara, dimana negara tersebut memiliki tujuan untuk

mensejahterakan masyarakat yang hidup di wilayahnya, maka negara tersebut

membutuhkan suatu cara agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Salah

satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara membentuk suatu badan usaha

milik negara. Badan usaha milik negara (BUMN) ini dijalankan oleh negara sebagai

suatu perusahaan yang mana seluruh atau sebagian besar dari kepemilikan

perusahaan tersebut dimiliki oleh negara, agar segala keuntungan yang didapatkan

oleh perusahaan tersebut akan menjadi keuntungan negara dan negara dapat

menjalankan salah satu tujuannya yaitu mensejahterakan masyarakat yang berada

di wilayahnya. Untuk itu, dalam menjalankan badan usaha milik negara tersebut

dibutuhkan suatu peraturan agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan tujuan

didirikannya badan usaha milik negara tersebut, dan didalam makalah ini selain

penulis akan menjelaskan mengenai badan usaha milik negara secara umum namun

1
akan dikaitkan juga dengan permasalahan yang sering terjadi di badan usaha milik

negara yang salah satunya adalah mengenai tenaga kerja outsourcing.

BUMN merupakan salah satu wujud usaha pemerintah dalam melaksanakan

kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan

Undang – undang Dasar 1945 dan lebih rinci dalam pasal 33 Undang – Undang

Dasar 1945. Berdasarkan amanat pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 tersebut

pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan

ekonomi nasional melalui kepemilikan negara terhadap unit – unit usaha tertentu

terutama yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dengan maksud untuk

memberi manfaat yang sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang seluruhnya atau

sebagian besar modalnya modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara

langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003). Bentuk dari BUMN terdiri atas dua yaitu

perusahaan perseroan (persero) dan perusahaan umum (perum). Ini dibagi

berdasarkan kepemilikan negara dari BUMN tersebut, dan untuk lebih jelasnya akan

dijelaskan dalam bab berikutnya.

Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama,

yaitu  tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan

yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis

strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang

menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahan listrik dan minyak, dan gas

bumi. Dengan adanya BUMN diaharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan

masyarakat, terutama masyarakat yang berada disekitar lokasi BUMN. Tujuan

2
BUMN bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh

BUMN. Upaya untuk membangkitkan kerja dalam mendukung kelancaran proses

kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerinta untuk memberdayakan

usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada disekitar lokasi BUMN.

Pegawai Outsourcing akhir-akhir ini sering kali menjadi sorotan dalam

permasalahan ketenaga kerjaan, perlu diketahui bahwa outsourcing adalah

hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan disuatu perusahaan

dengan sistem kontrak ,tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan

pemberi kerja,melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja.Sistem

outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian

pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini

ditemukan tiga pihak,yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja/pekerja

(penyedia),perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna),dan tenaga

kerja/pekerja.1

Pelaksanaan outsourcing2 dalam beberapa tahun setelah terbitnya Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai

kelemahan; terutama hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan

Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja

antara pengusaha dengan pekerja. Namun demikian, pada dasarnya praktek

outsourcing tidak dapat dihindari oleh pengusaha apalagi oleh pekerja. Hal tersebut

1
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra Aditya
Bakti,2009,hlm.74
2

Pengertian atau definisi mengenai outsourcing tidak ditemukan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Lihat Rr Ani Wijayati, “Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain (Outsourcing) dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003,” dalam Bunga Rampai Masalah-
masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004, h.66.

3
dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendapat legalisasi

memberlakukan praktek outsourcing tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh

undang-undang.

Persoalan hukum dalam pelaksanaan outsourcing antara lain disebabkan

oleh adanya perbedaan kepentingan oleh para pihak. Pada praktek outsourcing,

terdapat tiga pihak yang berhubungan hukum yaitu perusahaan pemberi kerja,

perusahaan penerima kerja dan pekerja outsourcing itu sendiri. Kepentingan ketiga

pihak dalam outsourcing tersebut berbeda-beda.

Pemberi kerja mengharapkan kualitas barang atau jasa yang tinggi dengan

harga yang serendah-rendahnya. Sedangkan penerima pekerjaan mengharapkan

kualitas barang atau jasa yang terendah dengan harga yang tertinggi. Pada sisi

lain, pengusaha mengharapkan pekerja agar melakukan pekerjaan dengan

sungguh-sungguh untuk menghasilkan produksi yang maksimal, sebaliknya pekerja

mengharapkan kerja yang ringan dengan penghasilan atau upah yang tinggi. 3

Yang menjadi sorotan kali ini bahwa Pegawai Outsourcing justru sangat

banyak dalam perusahaan BUMN, tentu sangat dipertanyakan mengenai bagaimana

bisa perusahaan BUMN masih memperkerjakan seorang pegawai dengan status

Outsourcing. Hal tersebut merupakan permasalahan yang sering kali di keluhkan

oleh pekerja Outsourcing.

Kita ambil contoh di salah satu BUMN yaitu PT Telkom yang merupakan

sebuah BUMN strategis melalui anak perusahaannya, PT Graha Sarana Duta (GSD)

dianggap telah melakukan pelanggaran hak-hak normatif pekerja, yang dapat


3
Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, cet.2, h.95.

4
dikategorikan sebagai praktik eksploitasi tenaga kerja. Sebanyak 378 pekerja

security, cleaning service dan teknik outsourcing TELKOM yang tergabung dalam

Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) afiliasi ASPEK INDONESIA telah

bekerja sejak tahun 1995 di lingkungan TELKOM. Dengan berganti-ganti status di

beberapa perusahaan outsourcing TELKOM, pada Desember 2012 yang lalu

mereka dipaksa kembali untuk dialihkan status pekerjanya kepada mitra outsourcing

lain. 378 orang pekerja dimaksud menolak dialihkan, karena tindakan GSD

melanggar ketentuan UU.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara kita telah dapat mengetahui tujuan-tujuan dari BUMN itu sendiri, dalam

implementasinya terdapat tujuan dari BUMN yang belum terpenuhi yang semestinya

keseluruh tujuan dari BUMN dapat dilaksanakan. Dan salah satunya adalah

mengenai karyawan dari BUMN itu sendiri. Dalam undang-undang itu dijelaskan

mengenai karyawan BUMN yang diperkenankan untuk membentuk serikat pekerja

(Pasal 87 Undang -Undang Nomor 19 Tahun 2003), namun terdapat permasalahan

mengenai kesejahteraan mereka dan ini juga berkaitan dengan outsourcing. Untuk

itu penulis akan lebih lanjut menjelaskan BUMN serta permasalahannya berkenaan

dengan outsourcing.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalahnya adalah:

1. Bagaimana perlindungan bagi pegawai outsourcing di lingkungan BUMN

dikaitkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?

5
2. Bagaimana penyelesaian kasus pada PT.Telkom selaku BUMN berkenaan

dengan pelindungan bagi karyawan Outsourcing di PT.Telkom?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu :

1. Untuk mengetahui Pengertian dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara.

2. Untuk mengetahui Bentuk-bentuk Badan Usaha Milik Negara

3. Untuk mengetahui Mengenai Pelaksanaan Outsourcing.

4. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Pegawai Outsourcing .

5. Untuk Mengetahui Permasalahan didalam pelaksanaan Outsourcing.

D. Manfaat Penulisan

Selain tujuan yang ingin dicapai, adapun manfaat yang ingin di peroleh dari

penulisan makalah ini yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi

sumbangan ilmu dalam mata kuliah Hukum Perusahaan, khususnya

dalam bidang Tinjauan Yuridis Perusahaan BUMN Dikaitkan dengan

permasalahan tenaga kerja outsourcing di dalam perusahaan BUMN.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya makalah ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk pihak

pihak terkait seperti :

a. Masyarakat

Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa dan mahasiswi

sebagai Tenaga Kerja semakin menyadari hak-haknya sebagai tenaga

Kerja.

b. Bagi penulis

6
Diharapkan bisa menjadi tambahan ilmu, khususnya dalam bidang

Hukum Perusahaan dan ketenagakerjaan

BAB II
TINJAUAN TEORI MENGENAI BUMN DAN KETENAGAKERJAAN

A. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

1. Pengertian dan Tujuan BUMN Berdasarkan Undang – Undang Nomor 19

Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara

Dalam penyelenggaraan ekonomi negara Indonesia Terdapat tiga jenis

badan usaha yang berperan di dalamnya. Ketiga jenis badan usaha tersebut adalah

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta, dan Koperasi.

Ketiga jenis badan usaha tersebut dalam menjalankan kegiatan usahanya

melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi 4.

Dalam sistem perekoniman nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan

barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar –

besarnya kemakmuran rakyat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai

pelapor dan/atau perintis dalam sektor – sektor usaha yang belum diminati usaha

swasta. Disamping itu BUMN juga mempunyai peranan strategis sebagai

pelaksanaan pelayanan publik, penyeimbang kekuatan – kekuatan swasta besar

dan turut membantu mengembangkan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan

salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis

pajak, deviden dan hasil privatisasi. Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan

dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor
4
Penjelasan Umum Bagian 1 alinea 2 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

7
pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur,pertambangan,keuangan,

pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri, perdagangan serta kontruksi. 5

Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No. 19 Tahun 2003

Tentang BUMN yang dimaksud dengan BUMN adalah badan usaha yang seluruh

atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara

langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Pemahaman bahwa modal BUMN barasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan oleh adanya pemisahan kekayaan negara yang digunakan sebagai

penyertaan modal pada BUMN dengan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara. Selanjutnya pembinaan dan pengelolaan kekayaan negara

yang dipisahkan tersebut tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara, melainkan pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada

prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

2. BUMN sebagai badan Hukum.

Dalam teori hukum suatu organisasi atau lembaga dapat menjadi subjek

hukum sama halnya seperti manusia. Ketika ia memenuhi persyaratan tertentu baik

yang ditetapkan secara formal dengan sistem tertutup oleh hukum positif atau

praturan perundang – undangan maupun sistem terbuka yang dianut oleh pasal

1653 BW.

Suatu badan, perkumpulan atau badan usaha dapat berstatus sebagai

badan hukum, bila memenuhi beberapa syarat yaitu syarat materiil (menurut

doktrin). Berdasarkan syarat materil, syarat suatu badan hukum adalah 6 :

5
Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Di Indonesia, Bandung : Pustaka, 2001,Hlm 374
6
Ali Rido, Badan Hukum dan kedudukan badan hukum perseroan, perkumpulan, koperasi, yayasan, wakaf,
PT Alumni, Bandung, 2004, hlm 45

8
1) Adanya kekayaan yang bersifat terpisah

2) Mempunyai tujuan tertentu

3) Mempunyai kepentingan sendiri

4) Adanya organisasi teratur.

Dari bunyi pasal 2 Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN

didirikan untuk turut membangun perekonomian nasional, menguasai bidang

produksi yang berkaitan bagi hajat hidup rakyat banyak demi menyelenggarakan

kemanfaatan umum bagi kesejahteraan rakyat serta mengejar keuntungan. Dari

pemahaman akan tujuan pendirian BUMN tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa

disatu pihak BUMN diberi kewajiban untuk memberikan sumbangan bagi

penerimaan negara yaitu BUMN harus berusaha mengejar keuntungan semaksimal

mungkin dalam kegiatan usahanya untuk memberikan deviden bagi negara, dan

disisi lain BUMN juga memilki tujuan pelayanan masyarakat (public service) yang

mengharuskan BUMN dengan tanpa pamrih melaksanakan tugas kemanfaatan

umum bagi kesejahteraan rakyat.7

3. Bentuk Badan Usaha Milik Negara

UU No. 19 Tahun 2003 yang pada ketentuan penutupnya mencabut dan

menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan – ketentuan sebagai berikut :

a. Indonesische Bedrijvenwet (staatblaad Tahun 1927 nomor 419)

sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan

undang – undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Usaha Negara;

b. Undang – Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan

Negara;

7
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Huruf a UU N0. 19 Tahun 2003

9
c. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1969 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerinth Pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1969 Tentang

Bentuk – Bentuk usaha negara.

Berdasarkan pada ketentuan penutup UU No. 19 Tahun 2003 tersebut maka

pengaturan mengenai Badan Usaha Milik Negara mengacu kepada satu ketentuan

peraturan perundang – undangan, yaitu Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003

Tentang BUMN. Dalam Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

pada pasal 9 menyebutkan bahwa BUMN hanya terdiri dari Persero dan Perum.

Maksud pasal ini adalah semenjak diberlakukannya Undang – Undang Nomor 19

Tahun 2003 Tentang BUMN maka bentuk Perjan harus berubah status badan

hukumnya menjadi Perum atau Persero. Hal ini diperjelas dengan ketentuan

peralihan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 pasal 93 ayat (1) yang

seluruhnya berbunyi:

“Dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak undang – undang ini mulai

berlaku, semua BUMN yang berbentuk perusahaan jawatan (perjan), harus telah

dirubah bentuknya menjadi Perum atau Persero.”

Sejak diberlakukan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang

BUMN tersebut, BUMN – BUMN di Indonesia mulai bersiap – siap untuk melakukan

penataan bentuk badan usahanya. 8 Dalam persiapan tersebut tidak hanya

mempersiapkan restrukturisasi bentuk badan usaha saja tetapi juga harus

mempersiapkan restrukturisasi pada aspek – aspek lain dalam perusahaan yang

tidak sesuai dengan pengaturan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang

BUMN.

8
Djokosantoso Moeljono,op cit, hlm 18

10
a. Perusahaan Jawatan

Berdasarkan penjelasan instruksi presiden Nomor 17 Tahun 1967 Tentang

Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara ke dalam tiga Bentuk Usaha

Negara, maka ciri – ciri pokok perusahaan negara yang berbentuk Perusahaan

Jawatan adalah sebagai berikut9 :

1) Makna usaha adalah “Public service” yang artinya pengabdian serta

pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan usaha dan memberikan

pelayanan tersebut, syarat – syarat efisiensi dan efektifitas harus dipegang

teguh. Dalam pelayanan kepada umum atau masyarakat dilakukan secara

ekonomis (kehematan) dan manajemen yang efektif dengan cara yang baik dan

memuaskan.

2) Sebagai salah satu bagian dari susunan Departemen/Direktorat

Jendral/Pemerintah Daerah maka Perusahaan Jawatan mempunyai hubungan

hukum publik (publiek rechtelijk verhouding). Bila ada tuntutan/dituntut atau

melakukan tuntutan, maka kedudukannya sebagai pemerintah atau seijin

pemerintah.

3) Tidak dipimpin oleh suatu direksi tetapi oleh seorang kepala (yang

merupakan bawahan suatu bagian dari departemen/Direktorat Jendral /

Direktorat/Pemerintah Daerah

Bentuk perusahaan jawatan ini semenjak dikeluarkannya undang – undang

No.19 tahun 2003 tentang BUMN telah dihapuskan dan selanjutnya bagi BUMN

yang masih berbentuk Perusahaan Jawatan dalam waktu 2 tahun semenjak

9
I.G.Widjaya, op.cit hlm 73

11
undang – undang No.19 tahun 2003 diberlakukan harus telah merubah

bentuknya menjadi Perum atau Persero.10

b. Perusahaan Umum (PERUM)

Perusahaan Umum atau Perum merupakan salah satu BUMN yang diatur

menurut Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Selain itu

pengaturan Poerum juga mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Perusahaan Umum.

Organ perum terdiri dari Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas. Kedudukan

menteri adalah sebagai organ yang memegang kekuasaan tertinggi di perum yang

mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan

Pengawas dalam batas yang ditentukan oleh Undang – Undang BUMN dan/atau

Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

Menteri selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal perum menetapkan

kebijakan pengembangan perum yang bertujuan menetapkan arah dalam mencapai

tujuan perusahaan baik yang menyangkut kebijakan investasi, pembiayaan usaha,

sumber pembiayaannya, penggunaan hasil usaha perusahaan, dan kebijakan

pengembangan lainnya. Dewan pengawas akan mengawasi pelaksanaan kebijakan

tersebut, maka usulan direksi kepada menteri harus didahului dengan persetujuan

dewan pengawas.

Perum didirikan dengan peraturan pemerintah sekaligus penetapan

keputusan untuk melakukan penyertaan modal negara ke dalam Perum. Perum

memperoleh status badan hukum setelah Peraturan Pemerintah mengenai pendirian

10
Pasal 93 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003

12
Perum Berlaku. Anggaran Dasar Perum ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah

tentang Pendiriannya.

Pangkat dan pemberhentian Dewan Pengawas ditetapkan oleh menteri

sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang – undangan.

c. Persero

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 Tentang PERSERO dalam

pasal 1 menjelaskan definisi Persero yaitu :

“Perusahaan Perseroan, untuk selanjutnya disebut PERSERO, adalah

Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9

Tahun 1969 yang berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 yang seluruh atau paling sedikit 51% saham

yang dikeluarkannya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara

langsung.”

BUMN Persero merupakan badan usaha dalam bentuk PT seperti diatur

menurut ketentuan – ketentuan kitab Undang – Undang Hukum Dagang atau KUHD

yang saham – sahamnya baik untuk sebagian maupun seluruhnya dimiliki oleh

Negara.

Setelah keluarnya Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas, dengan sendirinya bentuk PT yang dimaksudkan adalah seperti

apa yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 menggantikan berlakunya ketentuan

– ketentuan mengenai PT yang diatur dalam KUHD.

Di dalam BUMN Persero ada yang berbentuk perseroan terbuka. Perseroan

terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi

13
kriteria tertentu atau persero yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan

peraturan perundang – undangan di bidang pasar modal 11. Terhadap perseroan

terbuka berlaku ketentuan peraturan perundang – undangan dibidang pasar modal

(UU No. 8 Tahun 1995).

B. OUTSOURCING.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaaan adalah hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa

kerja. Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan

pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan

dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerjaan,

dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas

dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya

berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan

kerja saja.

Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah

memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan

kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang popular

disebut outsourcing.

Pengertian outsourcing adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang

dipekerjakan disuatu perusahaan dengan sistem kontrak ,tetapi kontrak tersebut

bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja,melainkan oleh perusahaan

pengerah tenaga kerja.Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan


11
Pasal 34 UUNo.19 Tahun 2003

14
perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding).Pada hubungan

kerja ini ditemukan tiga pihak,yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga

kerja/pekerja (penyedia),perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja

(pengguna),dan tenaga kerja/pekerja.12

Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian

beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia

jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi

serta kreteria yang telah disepakati oleh para pihak. 13

Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia

diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja

pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-

Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian Perusahaan

Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No. 220/Men/X/2004 tentang

Syarat-syarat Penyerahan Sebagai Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan

lain.14

Outsourcing sebenarnya adalah sistem yang sudah diterima secara global di

negara-negara lain, bahkan Indonesia sendiri telah mengadopsinya dalam Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi disebabkan

kurangnya pengawasan pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan

sistem outsourcing melenceng dari aturan semestinya, outsourcing dipakai

12
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra Aditya
Bakti,2009,hlm.74
13
Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009, hlm 308.
14
Ibid, hlm 334

15
perusahaan sebagai jalan keluar untuk mengurangi upah buruh, sehingga mengarah

ke perbudakan modern.15

Berdasarkan pasal 64 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 ditegaskan

bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja secara tertulis melalui dua

cara,yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan,harus memenuhi ketentuan pasal 65 Undang-undang

nomor 13 tahun 2003 sebagai berikut :

a. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain adalah :

1) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama

2) Dilakukan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan

3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan

4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung

a. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk badan

hukum

b. Memberikan perlindungan dan syarat-syarat kerja minimal sama dengan

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-

undangan

c. hubungan kerja antara perusahan penerima pekerjaan dengan pekerja/buruh

diatur dalam perjanjian secara tertulis

15
Leila Nagib, dikutip dari http :///www.tempo.com, “sistem outsourcing melenceng dari tujuan”, di Buat
Pada Tanggal 24 April 2012, di Unduh Pada Tanggal 28 Desember 2019.

16
d. Hubungan kerja tersebut butir 4 dapat dilakukan dengan perjanjian kerja

waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu jika memenuhi

persyaratan PKWT (pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003)

b. Jika butir a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi,demi hukum hubungan kerja

beralih menjadi hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan

dengan pekerja/buruh yang bersangkutan.16

2. Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Berdasarkan ketentuan pasal 66 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 diatur

penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh sebagai berikut :

a. Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang

berhubungan langsung dengan proses produksi.

Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan langsung

dengan proses produksi adalah jelas bukan kegiatan penunjang dalam suatu

perusahaan.Yang termasuk kegiatan penunjang antara lain usaha pelayanan

kebersihan (cleaning service),usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh

(catering),usaha tenaga pengaman (security),usaha jasa penunjang di

pertambangan dan perminyakan,serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.

b. Penyedia jasa pekerja/buruh :

1) Harus memenuhi syarat-syarat :

a) Adanya hubungan kerja antara pekerja/burh dan perusahaan penyedia

jasa pekerja/burh

16
Abdul Khakim, Op.cit,hlm 76

17
b) Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditanda tangani kedua pihak,melalui

perjanjian kerja untuk waktu tertentu jika memenuhi persyaratan pasal 59

Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 dan/atau perjanjian kerja waktu

tidak tertentu.

c) Perlindungan upah dan kesejahteraan,syarat-syarat kerja,serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh.

Dalam hal ini pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) atas

perlindungan upah dan kesejahteraan,syarat-syarat kerja,serta perselisihan

yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya esuai dengan yang berlaku di

perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.Perlindungan tersebut minimal

harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

d) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib

memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

2) Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

c. Jika ketentuan butir a,b.1) a), b.1)b), b.1)d) dan b.2) tidak terpenuhi,demi hukum

status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahan pemberi pekerjaan.

Lebih lanjut,mengenai hal ini telah diatur dalam Keputusan menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Nomor Kep-101/Men/VI/2004 tentang tata cara perizinan

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

18
BAB III

PEMBAHASAN

A. BUMN dan Outsourcing

Berdasarkan Pasal 87 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

Tentang Badan Usaha Milik Negara menjelaskan bahwa :

“Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan,


pemberhentian,
kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja
bersama
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan”

Artinya bahwa pengaturan mengenai segala hal Karyawan BUMN Mengacu

pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan selain

yang diatur dalam undang-undang tersebut maka kembali ke Anggaran Dasar dan

Peraturan Perusahaan serta Perjanjian Kerja antara BUMN dan Karyawan.

Dalam Undang-undang tidak di jelaskan secara terperinci mengenai bagian-

bagian dalam pekerjaan, namun pada pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

menyatakan bahwa dalam perjanjian kerja ada dua jenis yaitu perjanjian kerja untuk

waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu yang tidak di tentukan.

Untuk pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja untuk waktu yang tidak

ditentukan menurut KEPMEN NO.100 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menegaskan dalam pasal 1 ayat 2 bahwa :

“Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah

Perjanjian kerja antara Pekerjaan/buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan

hubungan kerja yang bersifat tetap. Dengan kata lain itu menyatakan bahwa PKWTT

merupakan Karyawan Tetap.

19
Sedangkan untu Pekerja yang berdasarkan perjanjian kerja untuk waktu

yang ditentukan (PKWT) ini sering kita kenal sebagai pekerja kontrak. Pekerja

Kontrak ada yang berasal dari melamar kerja sendiri / tanpa dari yayasan penyedia

Jasa dan ada juga Pekerja Outsourcing.

Dimana pekerja kontrak kelak akan di berikan Surat Perjanjian Kerja yang

ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja yang bersangkutan. Ketentuan umum

tentang PKWT menurut Kepmenaker No.100 Tahun 2004 tentang ketentuan

pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang

selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan

pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk

pekerja tertentu.

Berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang

menyatakan :

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan

tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai

dalam waktu tertentu, yaitu :

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu

lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

20
Outsourcing sebenarnya adalah sistem yang sudah diterima secara global di

negara-negara lain, bahkan Indonesia sendiri telah mengadopsinya dalam Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi disebabkan

kurangnya pengawasan pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan

sistem outsourcing melenceng dari aturan semestinya, outsourcing dipakai

perusahaan sebagai jalan keluar untuk mengurangi upah buruh, sehingga mengarah

ke perbudakan modern.

B. Hak dan Kewajiban Pegawai Outsourcing :

Pegawai Outsourcing memiliki hak dan kewajiban sebagaimana pegawai


pada lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 , bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dari pasal tersebut dapat dikatakan
bahwa setiap warga Indonesia yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan
pekerjaan harus diberikan perlindungan dalam rangka mewujudkan manusia dan
masyarakat Indoensia yang sejahtera, adi, makmur dan merata baik materiil maupun
spiritual.
Selain pada UUD 1945, hal tentang hak bagi warga negara Indonesia untuk
memperoleh pekerjaan jelas juga diatur dalam pasal 5 UU Ketenagakerjaan bahwa :
“Setiap Tenaga Kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan”

Begitu juga pada Pasal 6 UU Ketenagakerjaan bahwa :

“Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa


diskriminasi dari perngusaha”

Dari kedua pasal tersebut mengandung arti bahwa setiap warga negara

Indonesia yang ingin bekerja seharusnya tidak diperbolehkan untuk di

diskriminasikan dalam hal perlakuan ataupun memperoleh pekerjaan dari pelaku

usaha atau dengan nama lain Pengusaha. Tentu hal tersebut menjadi dasar untuk

21
para pekerja Kontrak ataupun Outsourcing yang dalam hal ini seringkali menerima

Diskriminasi dari para pengusaha.

Selain mengenai pendiskriminasian , dalam UU Ketenagakerjaan ini juga

mengatur mengenai hak dari para pekerja, tanpa ada nya pembedaan antara PKWT

dan PKWTT. Walaupun tidak ditegaskan, namun pada pasa 54 ayat 1 huruf f

menjelaskan bahwa syarat – syarat kerja memuat hak dan kewajiban pengusaha

dan pekerja. Yang kemudian pada bagian penjelasannya diatur bahwa syarat kerja

adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja / buruh yang belum diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

Artinya kelak menegenai hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan

pengusaha akan diatur dalam Perautran Perusahaan ataupun Perjanjian Kerja ( PK )

dan / ataupun Perjanjian Kerja Bersama ( PKB ).

C. Permasalahan di Dalam Pelaksanaan Outsourcing

Berikut 5 permasalahan yang terjadi dalam dunia kerja yang lebih mensoroti

pada pekerja Outsourcing yang terjadi baik di swasta ataupun di BUMN sebagai

berikut :

1. Masalah-masalah di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca Berlakunya


Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
a. Berlakunya Outsourcing Melegalkan Perdagangan dan Perbudakan
Manusia
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, praktik penyediaan jasa pekerja untuk dipekerjakan di perusahaan
lain sudah terjadi. Bidang-bidang pekerjaan seperti satuan pengamanan (satpam),
sekuriti dan cleaning service merupakan pekerjaan yang diserahkan perusahaan
untuk dikerjakan oleh tenaga kerja dari perusahaan lain. Praktik pelaksanaannya
pun tidak berbeda dengan yang diatur dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003

22
tentang Ketenagakerjaan. Praktek outsourcing di Indonesia ditilik dari sejarahnya
telah dilakukan bertahun-tahun yang lampau.

b. Beralihnya Hubungan Hukum dalam Outsourcing Merugikan Pekerja


Hubungan hukum dalam outsourcing bagi pekerja dan perusahaan penerima
pekerjaan menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
bisa beralih menjadi hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan pemberi
kerja untuk pekerjaan yang sifatnya berlangsung terus menerus dalam hal terjadi
pergantian perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Hubungan hukum yang
dimaksud tidak terbatas pada pemberian upah dan pesangon ketika pekerja diputus
hubungan kerjanya melainkan juga perlindungan hak-hak pekerja, di antaranya
keikutsertaan pekerja dan keluarganya dalam program Jamsostek, program
perlindungan pensiun dan lain-lain. Menurut ketentuan undang-undang, perusahaan
pemberi kerja harus mengambil alih tanggung jawab terhadap pekerja dalam hal
terjadi perusahaan pemberi kerja telah memberi pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja yang tidak berbadan hukum. Akan tetapi masalah yang
sering timbul terjadi pada masalah perjanjian kerja antara pekerja outsourcing
dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang harus berakhir karena
perjanjian kerja sama antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerjanya telah berakhir. Akibatnya perusahaan pemberi kerja
tidak lagi mempekerjakan pekerja outsourcing dan perusahaan penyedia jasa juga
tidak mau membayar sisa upah yang diperjanjikan dalam kontrak perjanjian kerja
sama. Pada banyak kasus seperti yang tersebut di atas bermuara pada tuntutan di
Pengadilan Hubungan Industrial. Akan tetapi hingga tingkat kasasi pun pekerja
outsourcing tidak dapat menuntut hak-haknya yang menurut undang-undang
ketenagakerjaan kedudukannya beralih dari menjadi pekerja di perusahaan pemberi
kerja apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak melakukan kewajibannya
sesuai dengan hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja.
Kasus karyawan koperasi Setia Kawan melawan PT Bakrie Tosan Jaya karena
buruh menuntut agar dibayarkan upah pesangon sesuai dengan yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan kepada PT Bakrie Tosan Jaya oleh
karena hubungan kerja diputus secara sepihak oleh perusahaan penyedia jasanya
yaitu Koperasi Setia Kawan. Dasar pemikiran para karyawan tersebut yang
berjumlah 60 orang adalah karena diatur bahwa buruh yang dipekerjakan melalui
23
perusahaan penyedia jasa berubah status hukumnya menjadi pekerja di
perusahaan pengguna dengan segala hak dan kewajibannya. Kelemahan
kedudukan dan hak pekerja outsourcing tersirat dalam Putusan Kasasi No.192
K/PHI/2007 yang memenangkan PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena pada dasarnya
buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan
pengguna, sehingga tidak mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran
hubungan kerja.17

c. Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja


Outsourcing
Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya dalam
penerapannya banyak terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
bidang hukum ketenagakerjaan. Bidang hukum ketenagakerjaan berlaku untuk
mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk
melakukan suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan fungsi
Hukum Perdata terutama menata hubungan antara perusahaan dengan perusahaan
dalam perjanjian kerja sama. Oleh karena perjanjian kerja yang bersifat waktu
tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dengan penerima kerja pada umumnya
dibatasi masa berlakunya, maka tidak ada kepastian kesinambungan dalam
pekerjaan sehingga pekerja merasa terancam. Persoalan yang muncul adalah
bahwa setelah pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para pekerja
akan berhenti bekerja. Oleh karena itu untuk menghindar dari kewajiban membayar
gaji kepada pekerja dalam hal tidak ada pekerjaan bagi pekerja, pengusaha
mensyaratkan kontrak kerja. Pada pelaksanaannya kontrak kerja dapat berlangsung
secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut bertentangan dengan undang-
undang, pengusaha menempuh jalan pekerja yang selesai masa kontraknya
diistirahatkan dulu selama beberapa bulan, kemudian masuk kembali ke perusahaan
yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat menentukan penawaran dan
mengajukan persyaratan kepada pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja
yang tersedia. Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang
menuntut haknya terlalu banyak oleh karena masih banyak pelamar lain yang

17
Ibid., h.360-361.

24
bersedia bekerja dengan syarat-syarat yang memberatkan pekerja yang ditetapkan
oleh pengusaha.

d. Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing


Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan ditandatangani oleh
pekerja dengan perusahaan pemberi kerja, akan tetapi antara perusahaan
pengguna dengan perusahaan pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan
hak-hak pekerja outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara kedua
perusahaan tersebut tanpa diketahui oleh pekerja. Keuntungan perusahaan
penyedia jasa tersebut diperoleh dari selisih antara upah yang diberikan perusahaan
pengguna dengan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja outsourcing. Oleh
karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing biasanya sangat kecil dan
paling tinggi hanya untuk memenuhi ketentuan upah minimum. Berdasarkan hal
tersebut pula, maka banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya raya dan
para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau maksimal dengan
upah sesuai dengan ketentuan mengenai upah minimum. Para pekerja outsourcing
dalam hal upah ini tidak dapat berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab
pada satu sisi upah yang diberikan telah memenuhi ketentuan mengenai upah
minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha tidak akan menerima tuntutan pekerja
outsourcing untuk disamakan kedudukannya dalam menerima upah dengan pekerja
yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung kepada perusahaan
pemberi kerja.

e. Pengabaian Pengembangan Kemampuan Pekerja Outsourcing


Kesulitan lain yang dihadapi oleh pekerja outsourcing adalah peningkatan
kemampuan seorang pekerja yang sulit diperolehnya dari pengusaha. Sebab pada
umumnya pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing adalah pekerjaan yang
dilakukan berulang-ulang. Selain itu pengembangan kemampuan dan karier pada
pekerja outsourcing juga dibatasi oleh adanya spesialisasi yang dilakukan
perusahaan pemberi kerja sehingga yang dihasilkan perusahaan memberi kesan
kuat pada perusahaan pengguna untuk menggunakan jasa tenaga kerja yang ada
pada perusahaan pemberi kerja.

25
Dari 5 permasalahan diatas tentu juga dialami para pekerja Outsourcing di

BUMN, baik secara langsung ataupun tidak langsung, tentu hal tersebut tidak

seharusnya dilakukan oleh sebuah Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya

memberikan perlindungan serta kepastian bagi karyawan yang bekerja untuk

mereka, memang begitu banyaknya permasalahan mengenai Outsoucing di

Indonesia, dengan lambatnya tanggapan dari pemerintah mencerminkan

keprihatinan para Tenaga Kerja kita.

D. KASUS DAN ANALISIS

1. Profil PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA TBK

PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (TELKOM) merupakan perusahaan

penyelenggara informasi dan telekomunikasi (InfoComm) serta penyedia jasa dan

jaringan telekomunikasi secara lengkap (full service and network provider) yang

terbesar di Indonesia. TELKOM (yang selanjutnya disebut juga Perseroan atau

Perusahaan) menyediakan jasa telepon tidak bergerak kabel (fixed wire line), jasa

telepon tidak bergerak nirkabel (fixed wireless), jasa telepon bergerak (cellular), data

& internet dan network & interkoneksi baik secara langsung maupun melalui

perusahaan asosiasi.

Sejalan dengan visi TELKOM untuk menjadi perusahaan InfoComm

terkemuka di kawasan regional serta mewujudkan TELKOM Goal 3010 maka

berbagai upaya telah dilakukan TELKOM untuk tetap unggul diantara pemain

telekomunikasi. Hasil dari kerja keras tersebut terlihat dari jumlah pelanggan

TELKOM. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2006, jumlah pelanggan TELKOM

sebanyak 48,5 juta pelanggan yang terdiri dari: pelanggan telepon tidak bergerak

26
kabel sejumlah 8,7 juta, pelanggan telepon tidak bergerak nirkabel sejumlah 4,4 juta

pelanggan dan 35,6 juta pelanggan jas telepon bergerak.

Pertumbuhan jumlah pelanggan TELKOM ditahun 2006 sebesar 30,73%

telah mendorong kenaikan pendapatan usaha TELKOM dalam tahun 2006 sebesar

23% dibanding tahun 2005. Saham TELKOM per 31 Desember 2006 dimiliki oleh

pemerintah Indonesia sebanyak 51,19% dan pemegang saham publik 48,81% yang

terdiri dari 45,54% investor asing dan 3,27% investor lokal. Sementara itu, harga

saham TELKOM di bursa efek Jakarta selama tahun 2006 telah meningkat 71,2%

dari Rp. 5.900 menjadi Rp. 10.100,-. Kapitalisasi pasar saham TELKOM pada akhir

tahun 2006 sebesar U$ 22,6 Miliar.

Hasil upaya tersebut tercermin dari market share produk dan layanan yang

unggul di antara para pemain telekomunikasi. Selama tahun 2006 TELKOM telah

menerima beberapa penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri, di antaranya

The Best Value Creator, The Best of Performance Excellence Achievement, Asia’s

Best Companies 2006 Award dari Majalah Finance Asia.

Dengan pencapaian dan pengakuan yang diperoleh TELKOM, penguasaan pasar

untuk setiap portofolio bisnisnya, kuatnya kinerja keuangan, serta potensi

pertumbuhannya di masa mendatang, saat ini TELKOM menjadi model korporasi

terbaik Indonesia.18

18
Johannes Simatupang, “KASUS DIBIDANG TELEKOMUNIKASI PT. TELEKOMUNIKASI
INDONESIA, TBK “, 2008, Diakses di https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB4QFjAA&url=https%3A%2F
%2Fjohannessimatupang.files.wordpress.com%2F2008%2F09%2Fkasus-telekomunikasi-mm-agustus-
2008.doc&ei=FvzFU7CrKZCLuATQzIHACQ&usg=AFQjCNEhhGME-1bGQYMylEpqJDMZ2pR_Hw pada

[28/12/2019]

27
2. Permasalahan

Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja

Indonesia (KSPI) mendatangi PT Telkom pada bulan Februari tahun 2013.

Perusahaan tersebut dianggap telah melakukan eksploitasi terhadap buruh yang

dilakukan dalam bentuk sistem kontrak berkepanjangan, lebih dari 5 tahun, dan

seharusnya demi hukum berubah menjadi pekerja tetap. Hak-hak normatif pekerja

juga tidak dibayarkan sesuai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, antara lain

upah di bawah UMP, tidak adanya tunjangan makan dan tunjangan transport.

Bahkan di anak perusahaan TELKOM, pekerja security dipaksa untuk membayar

biaya pelatihan kerja sebesar RP.500.000 untuk biaya sertifikat Garda Pratama,

yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan.

PT Telkom merupakan sebuah BUMN strategis melalui anak

perusahaannya, PT Graha Sarana Duta (GSD) dianggap telah melakukan

pelanggaran hak-hak normatif pekerja, yang dapat dikategorikan sebagai praktik

eksploitasi tenaga kerja. Sebanyak 378 pekerja security, cleaning service dan teknik

outsourcing TELKOM yang tergabung dalam Serikat Pekerja Graha Sarana Duta

(SEJAGAD) afiliasi ASPEK INDONESIA telah bekerja sejak tahun 1995 di

lingkungan TELKOM. Dengan berganti-ganti status di beberapa perusahaan

outsourcing TELKOM, pada Desember 2012 yang lalu mereka dipaksa kembali

untuk dialihkan status pekerjanya kepada mitra outsourcing lain. 378 orang pekerja

dimaksud menolak dialihkan, karena tindakan GSD melanggar ketentuan UU.

28
Berikut adalah 11 Eksploitasi dan pelanggaran hak-hak normatif yang

dilakukan oleh PT GSD (anak perusahaan PT Telkom) 19:

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dilakukan secara terus menerus, dan

terjadi selama belasan tahun d lingkungan TELKOM. (Pelanggaran Pasal 59 UU

13/2003)

2. Belasan tahun upah di bawah UMP/UMK.

3. Hanya sebagian kecil pekerja didaftarkan sebagai peserta JAMSOSTEK.

4. Upah lembur tidak sesuai UU 13/2003 dan Kepmenakertrans No.102 Tahun

2004.

5. Tunjangan uang makan dan transport yang dihilangkan secara sepihak.

6. Pungutan paksa Rp.500.000,- untuk biaya pelatihan kerja (Sertifikat Garda

Pratama) yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan namun

dibebankan kepada para pekerja. Faktanya pekerja security tersebut telah

memiliki sertifikat SATPAM, namun GSD tetap memungut uang dari pekerja,

bahkan tanpa adanya kegiatan pelatihan dimaksud (fiktif) namun copy

sertifikatnya dapat diberikan kepada pekerja.

7. Pelemahan/intiminidasi terhadap hak berserikat kepada anggota dan

pengurus serikat pekerja/union busting. (Pelanggaran Pasal 28 UU 21/2000).

8. PHK sepihak terhadap 378 orang pengurus dan anggota SEJAGAD.

9. Tidak membayarkan upah kepada 378 pekerja anggota SEJAGAD, sejak

Januari 2013. (pelanggaran Pasal 151 jo Pasal 155 UU 13/2003). Sebelumnya,

akibat gagalnya proses perundingan, maka pada 3 Oktober 2012 terjadi mogok

kerja yang sah oleh SEJAGAD. Pada 11 Januari 2013, 5 dan 6 Februari 2013,

19
_______, “Lakukan Eksploitasi, Buruh Tuntut PT Telkom”, 2013,
http://www.m.cuplik.com/read/ekonomi/2013/02/16/8783/lakukan-eksploitasi-buruh-tuntut-pt-telkom.html
pada [28/12/2019]

29
SEJAGAD dan ASPEK Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di kantor TELKOM

di Jalan Gatot Subroto Jakarta dan di Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat. 

 Tuntutan Buruh20: 

1. Mengangkat 378 pekerja anggota SEJAGAD ASPEK INDONESIA menjadi

Karyawan Tetap TELKOM sesuai Pasal 59 jo Pasal 66 UU No.13 tahun 2003 jo

Keputusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011, serta mempekerjakan

kembali seluruh Pengurus dan Anggota SEJAGAD di pekerjaan dan lokasi

semula.

2. Membayar upah seluruh pekerja anggota SEJAGAD ASPEK INDONESIA

sejak Januari 2013.

3. Membayar kekurangan Upah Lembur sesuai UU No.13 Tahun 2003 dan

Kepmenakertrans No.102 Tahun 2004, sejak pekerja bekerja di TELKOM.

4. Memberikan hak seluruh pekerja atas Jamsostek.

5. Membayar tunjangan uang makan dan uang transport yang tidak diberikan

sejak 2 (dua) tahun terakhir hingga saat ini.

6. Mengembalikan uang Sertifikat yang dipungut paksa dari pekerja sebesar Rp.

500.000,-.

7. Memberikan kesempatan dan waktu kepada Pengurus dan Anggota

SEJAGAD untuk menjalankan kegiatan berserikat di waktu jam kerja.

8. Memberlakukan Struktur Skala Upah yang membedakan upah antara pekerja

baru dengan pekerja di atas masa kerja (1) satu tahun.

Selain itu, PT TELKOM juga dinilai tidak melakukan pengawasan dan

penertiban serta membiarkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh PT SGD,

hal itu berdasarkan pada aturan-aturan sebagai berikut: 


20
Ibid

30
 Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 Pasal 18: "Perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh DILARANG MENYERAHKAN pelaksanaan sebagian atau seluruh

pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

lain".

 Keputusan Direksi PT Telekomunikasi Indonesia Nomor: KD. 15/HK250/CP-

B0011000/2010 pasal 6 ayat (2) tentang Pedoman Penyerahan Sebagian

Pelaksana Pekerjaan Kepada Perusahaan Penerima Pekerjaan (Outsourcing),

yang tegas menyatakan: "Perusahaan penerima pekerjaan TIDAK DAPAT

MENYERAHKAN seluruh atau sebagian pekerjaan yang diterima kepada

perusahaan penerima pekerjaan lainya".

 Perjanjian Pemborongan Penyediaan Jasa Outsourcing Pelayanan

Pengamanan di Lingkungan TELKOM, No: K.TEL.18/HK810/CRM-00/2012

tanggal 17 Februari 2012, Pasal 17 tentang Larangan Penyerahan Kepada

Pihak Ketiga, yang tegas menyatakan: 

(1) Mitra DILARANG MENYERAHKAN pelaksanaan baik sebagian atau seluruh

pekerjaan dimaksud Pasal 3 Perjanjian ini kepada Pihak Ketiga.

(2) Apabila ketentuan ayat 1 pasal ini dilanggar oleh Mitra, maka TELKOM

berhak secara sepihak MEMUTUSKAN Perjanjian ini, tanpa adanya tuntutan

apapun dari Mitra dan TELKOM berhak menunjuk pihak lain untuk

melanjutkan pekerjaan tersebut.

Jo Pasal 34 tentang Larangan Sub-Kontrak dan Gratifikasi: (1) Mitra DILARANG

menyerahkan pekerjaan (sub-kontrak) baik sebagian maupun seluruhnya

kepada perusahaan milik pejabat dan/atau karyawan TELKOM atau kepada

pihak-pihak manapun atau kepada siapapun yang terkait dengan kedudukan

atau tugasnya sebagai pejabat dan atau karyawan TELKOM".

31
 Keputusan Kepala Kepolisian RI No.24 Tahun 2007 Pasal 23 ayat (4):

"Dukungan pembiayaan pelatihan menjadi tanggung jawab organisasi,

perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah yang bersangkutan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku."

3. Analisis Kasus

Perselisihan outsourcing di BUMN ini di proses berlanjut ke Pengadilan

Hubungan Industrial Jakarta. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia,

membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan

pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Untuk mengkaji hubungan hukum

antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan,

akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih

Daya) dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut

outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66

(terdiri dari 4 ayat);

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan

bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan

jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:

 Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain

dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara

tertulis (ayat 1);

32
 Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat

(1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

pekerjaan;

- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)

 Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum

(ayat 3);

 Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan

perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan

atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);

 Perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut

dalam keputusan menteri (ayat 5);

 Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis

antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)

 Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan

pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu

(ayat 7);

 Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai

pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa

perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara

pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi

hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan

(ayat 8).

33
Sejalan dengan hal tersebut, kami berpendapat bahwa telah terjadi

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Pelangaran tersebut tercantum dalam Pasal 59 ayat (7) UU No 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan "Perjanjian kerja untuk waktu tertentu

yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),

ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu

tidak tertentu. Selain itu dalam Pasal 66 ayat (4) undang undang yang sama

menyatakan bahwa dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi

hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

pemberi pekerjaan.

Namun perlu diingat kembali, di dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dan

Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 telah dinyatakan bahwa pekerjaan utama yang

menjadi inti roda perusahaan tidak boleh dialih dayakan. Peraturan-peraturan

tersebut juga telah membatasi penggunaan tenaga alih daya hanya dapat digunakan

pada 5 jenis pekerjaan, yakni pengamanan, layanan kebersihan, transportasi,

katering dan jasa penunjang di pertambangan, sekali lagi, bukan pekerjaan utama

yang memegang peranan penting dan menjadi inti perusahaan. Pasal 66 UU Nomor

13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa

tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan

pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali

untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses

produksi.21
21
Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003

34
Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan

langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan,

antara lain:22

 Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa

tenaga kerja;

 Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa

tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu

yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;

 Perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang

timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

 Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.

Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan

hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan.23 Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai

ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja

antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi

hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. 24

Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :

”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan

langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha

22
Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003
23
Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003
24
Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003

35
pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha

pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi

pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan),

usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan

angkutan pekerja/buruh.”

Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya)

dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan

langsung dengan proses produksi. Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan

dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada

persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa

yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core

business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak

semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah

yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak

undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak

mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah

tersebut.25

Ditambah lagi dalam proses persidangan kasus ini Manajemen juga menyebut telah

menjalankan efisiensi internal perusahaan dengan melakukan beberapa prosedur.

Atas dasar itu pihak manajemen berharap agar majelis hakim menolak gugatan para

pekerja untuk seluruhnya. Sebelumnya, Kasubdit Pencegahan Perselisihan

Hubungan Industrial Kemnakertrans, Reytman Aruan menegaskan bahwa UU

Ketenagakerjaan hanya memungkinkan perusahaan untuk memperpanjang atau


25
R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif
Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade
Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hlm.5.

36
memperbaharui kontrak kerja. Dua hal itu bersifat alternatif, tak bisa digabungkan.

Dengan pemahaman seperti itu, maka pekerja hanya bisa dikontrak dengan total

jangka waktu paling lama adalah tiga tahun untuk skema perpanjangan dan empat

tahun untuk pilihan pembaharuan kontrak.26

26
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b629f3ebc00/kontrak-tak-jelas–pekerja-outsourcing-
menggugat Di akses pada 28 Desember 2019 pukul 13.00

37
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari kesimpulan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Perjan,


Perum, dan perseroan adalah bentuk-bentuk badan usaha dari BUMN yang
merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara
yang dipisahkan, memiliki tujuan umum yaitu untuk memajukan kesejahteraan
rakyat. Landasan hukum pendirian BUMN adalah adalah Undang-undang Dasar
1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) dan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang BUMN.

Dan karena tujuan dan sumber pendanaan BUMN ini maka pengelolaan
BUMN tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dan karena itu ditetapkanlah
Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, dan
Pengawasan BUMN. Dengan adanya peraturan pemerintah ini maka dalam rangka
pengelolaan BUMN tidak boleh menyalahi aturan yang sudah ditetapkan dalam
peraturan pemerintah tersebut begitu juga aturan hukum yang mengatur tentang
BUMN ini.

Outsourcing di Indonesia merupakan sistem kerja kontrak yang didalamnya


terdapat pemberi kerja dan pekerja. Berdasarkan UU no.13 tahun 2003 memberi
dasar pertimbangan tentang UU Ketenagakerjaan, kaitan dengan perspektif HAM
adalah kesinambungan kepentingan pengusaha dalam mekanisme ekonomi pasar.
Salah satu pertentangan dengan UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan hak
asasi serta kebebasan berserikat dan berorganisasi dan untuk melakukan
perundingan kolektif yang tekmaktub dalam konvensi ILO no.87 dan 98.

Namun, sistem outsourcing dan kerja kontrak itu sendiri bertentangan


dengan HAM dan tidak bisa diterapkan pada siapapun tanpa kecuali. Buruh cleaning
service, catering, satpam, buruh usaha angkutan pekerja dan buruh jasa penunjang
di pertambangan serta perminyakan juga memiliki hak yang sama dengan buruh-
buruh dibagian core-business.

38
Outsourcing menjadi salah satu solusi yang paling sering digunakan untuk
mengembangkan suatu sistem informasi pada suatu perusahaan, karena dengan
outsourcing suatu perusahaan akan lebih fokus pada bisnis inti. Penggunaan
outsourcing sebagai suatu solusi untuk implementasi sistem informasi sebaiknya
mempertimbangkan beberapa faktor berikut :

 Pahami jenis-jenis outsourcing yang ada. Hal ini karena jenis-jenis


outsourcing cukup bervariasi sesuai dengan skala sistem informasi yang akan
dikembangkan.
 Pastikan bahwa strategi outsourcing yang akan digunakan sesuai dengan
strategi bisnis yang sedang atau akan dijalani.
 Gunakan suatu tolak ukur untuk penilaian terhadap outsourcing yang akan
dijalankan.
 Pastikan relasi outsourcing dengan vendor akan dapat terjalin dan terkelola
dengan baik.
 Lakukan observasi sederhana terhadap perilaku organisasi atau perusahaan
lain yang menggunakan outsourcing. Lihat apakah perusahaan atau
organisasi tersebut telah berhasil melakukan outsourcing atau tidak tanpa
harus melakukan survey yang mendalam terhadap vendor outsourcing
maupun outsourcing itu sendiri
2. Saran
Berdasarkan atas apa yang saya tulis dalam karya tulis ini, saya selaku
penulis berharap agar peraturan mengenai ketenagakerjaan dapat diperbaharui
guna melindungi kepentingan pekerja maupun pengusaha.
Jika pelaksanaan outsourcing dilakukan, maka disarankan agar bentuk
outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dapat
dipertimbangkan, namun bukanlah outsourcing penyedia jasa pekerja.
Agar pengawas perburuhan dari Departemen Tenaga Kerja lebih aktif dan
independen dalam mengawasi perusahaan dan pelaksanaan outsourcing.
Dan juga penulis berharap dapat memberi pemahaman bagi segenap
pembaca sehingga dapat menambah wawasan bagi para pembaca terlebih lagi
kepada penulis sendiri.

39
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra Aditya


Bakti,2009,hlm.74

Pengertian atau definisi mengenai outsourcing tidak ditemukan dalam Undang-undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lihat Rr Ani Wijayati, “Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outsourcing) dalam Undang-undang No.
13 Tahun 2003,” dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI
Press, 2004, h.66.

Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, cet.2, h.95

Penjelasan Umum Bagian 1 alinea 2 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Di Indonesia, Bandung : Pustaka,


2001,Hlm 374

Ali Rido, Badan Hukum dan kedudukan badan hukum perseroan, perkumpulan, koperasi, yayasan,
wakaf, PT Alumni, Bandung, 2004, hlm 45

Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Huruf a UU N0. 19 Tahun 2003

Djokosantoso Moeljono,op cit, hlm 18

I.G.Widjaya, op.cit hlm 73

Pasal 93 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003

Pasal 34 UUNo.19 Tahun 2003

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra Aditya


Bakti,2009,hlm.74

Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009, hlm 308.

Ibid, hlm 334

Leila Nagib, dikutip dari http :///www.tempo.com, “sistem outsourcing melenceng dari tujuan”, di Buat
Pada Tanggal 24 April 2012, di Unduh Pada Tanggal 28 Desember 2019.

Abdul Khakim, Op.cit,hlm 76

Ibid., h.360-361

Johannes Simatupang, “KASUS DIBIDANG TELEKOMUNIKASI PT. TELEKOMUNIKASI


INDONESIA, TBK “, 2008, Diakses di https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB4QFjAA&url=https%3A%2F
%2Fjohannessimatupang.files.wordpress.com%2F2008%2F09%2Fkasus-telekomunikasi-mm-

40
agustus-2008.doc&ei=FvzFU7CrKZCLuATQzIHACQ&usg=AFQjCNEhhGME-
1bGQYMylEpqJDMZ2pR_Hw pada [28/12/2019]

_______, “Lakukan Eksploitasi, Buruh Tuntut PT Telkom”, 2013,


http://www.m.cuplik.com/read/ekonomi/2013/02/16/8783/lakukan-eksploitasi-buruh-tuntut-pt-
telkom.html pada [28/12/2019]

Ibid

Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003

Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003

Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003

Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003

R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif


Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement,
World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hlm.5.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b629f3ebc00/kontrak-tak-jelas–pekerja-outsourcing-
menggugat Di akses pada 28 Desember 2019 pukul 13.00

41

Anda mungkin juga menyukai